You are on page 1of 11

VAKSINASI TEPAT WAKTU DIBANDINGKAN DENGAN TERTUNDA DAN

KEJANG PADA ANAK-ANAK

ABSTRAK

LATAR BELAKANG :

Sedikit yang diketahui mengenai waktu vaksinasi pada masa kanak-kanak dan kejang setelah
vaksinasi

METODE :

Dalam sebuah studi kohort 323 247 anak-anak AS dari Vaccine safety Datalink yang lahir
dari 2004 hingga 2008, kami menganalisis hubungan antara waktu vaksinasi pada masa
kanak-kanak dan kejadian pertama kejang dengan metode Self Controlled Case Series pada
dosis pertama dari setiap vaksin yang diterima dalam 2 tahun pertama kehidupan.

HASIL :

Pada bayi, tidak ada hubungan antara waktu bayi vaksinasi dan kejang setelah vaksinasi.
Dalam tahun kedua kehidupan, rasio tingkat insiden (IRR) untuk kejang setelah menerima
dosis pertama Vaksin Campak-gondok-rubella (MMR) pada 12-15 bulan adalah 2,65 (95%
confidence interval [CI] 1.99-3,55); IRR setelah dosis MMR pada 16 sampai 23 bulan adalah
6,53 (95% CI 3.15-13.53). IRR untuk kejang setelah menerima dosis vaksin campak-gondok-
rubella-varicella (MMRV) pertama di 12-15 bulan 4,95 (95% CI 3.68- 6.66); IRR setelah
dosis MMRV pada 16 sampai 23 bulan adalah 9,80 (95% CI 4,35-22.06).

KESIMPULAN :

Tidak ada peningkatan resiko kejang setelkah vaksinasi pada bayi tanpa memperhitungkan
waktu vaksinasi. Pada tahun ke 2 menunda vaksin MMR di usia 15 bulan terakhir berakibat
pada resiko tinggi kejang. Kekuatan hubungan 2x lipat dari vaksin MMRV. Penemuan ini
menyarankan bahwa vaksinasi tepat waktu sama amannya dengan vaksinasi tertunda pada 1
tahun pertama kehidupan dan vaksinasi tertunda pada tahun ke dua lebih berhubungan
dengan kejang setelah vaksinasi dari pada vaksinasi tepat waktu.
Meskipun terdapat bukti yang aman mengenai vaksin pada masa anak-anak, sejumlah
keluarga banyak yang meminta penundaan jadwal imunisasi untuk anak-anak mereka.
Seringnya, penundaan tersebut diluar jadwal imunisasi yang disarankan oleh Advisory
Committee on Immunization Practices (ACIP) atau Komite Penasehat Imunisasi. Hal ini
dapat menimbulkan risiko bagi anak-anak mereka. Sampai saat ini, terdapat beberapa studi
yang mempelajari risiko timbulnya berbagai macam penyakit yang dapat dicegah dengan
vaksin pada anak-anak yang tidak melakukan imunisasi. Namun,sangat sedikit studi yang
langsung membandingkan keamanan vaksin pada anak-anak yang imunisasinya tertunda
dengan imunisasi sesuai jadwal yang direkomendasikan. Sebuah Institusi Kesehatan baru-
baru ini melakukan penilaian melalui penelitian terkait dengan keselamatan antara imunisasi
sesuai jadwal dengan yang tidak terstandar atau diluar jadwal yang telah direkomendasikan.

Anak-anak mengalami penundaan jadwal imunisasi dapat dikarenakan keinginan


orang tua atau karena terdapat hambatan untuk imunisasi, seperti kurangnya jaminan
kesehatan dan transportasi. Terlepas dari itu, tidak ada pengaruh dari alasan yang mendasari
untuk menunda jadwal imunisasi terhadap efek samping vaksin pada anak-anak.Bahkan,
sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa kegawatan yang terjadi adalah setara antara
anak-anak yang menunda imunisasi dengan mereka yang divaksinasi tepat waktu.Kami
menggunakan data penelitian nasional sebelumnya dengan metode kohortbaik untuk data
anak-anak dengan imunisasi tepat waktu maupun tertunda untuk menentukan risiko kejang
setelah vaksinasi pada anak-anak. Khususnya, kami membuat pertanyaan berikut ini: apakah
ada hubungan antara kejadian kejang dengan pemberiandosis awal dari masing-masing
vaksin yang diberikan dalam 2 tahun pertamakehidupan?Apakah besarnya setiap hubungan
berbeda antara anak-anak yang mendapatkan vaksinasi tepat waktu dengan yang tertunda?
Pertanyaan-pertanyaan ini secara khusus berhubungan untuk vaksin, seperti vaksin campak,
yang diketahui berkaitan dengan kejadian kejang demam setelah vaksinasi.

METODE

Kami menggunakan sebuah penelitian kohort sebelumnya dengan populasi anak-anak


dari Vaccine Safety Datalink (VSD), sebuah proyek kerjasama antara Pusat Pengendalian
Penyakit dan Pencegahanatau Centers for Disease Control and Prevention dan beberapa
organisasi pelayanan kesehatan atau managed care organizations (MCOs) di seluruh Amerika
Serikat yang mana meliputi >3% penduduk Amerika Serikat. MCOs menawarkan paket
pelayanan pencegahan yang serupa dan imunisasi dasar anak-anak berdasarkan usia. Waktu
penelitian dilakukan pada tahun 2004 sampai 2010. Kohort awal (Fig 1) terdiri dari setiap
anak yang lahir antara 2004 dan 2008, yang secara berkelanjutan terdaftar dalam 1 dari 8
VSD, MCOs dari usia 2-12 bulan dan sampai usia 24 bulan, dan anak yang setidaknya telah
menjalani rawat jalan di MCO. Penelitian ini telah disetujui oleh lembaga dewan
pertimbangan di semua bagian yang berpartisipasi dan di Pusat Pengendalian Penyakit dan
Pencegahan. Anak-anak dengan usia >24 bulan termasuk kriteria eksklusi, karena sangat
sedikit vaksin yang diberikan di tahun ketiga dan keempat kehidupan dalam penelitian kohort
yang dilakukan VSD, akibatnya sangat sedikit kasus vaksinasi untuk dianalisis dalam
kelompok usia tersebut.

Dalam penelitian ini, pertama kami mengidentifikasi setiap anak dengan International
Classification of Diseases, Ninth Revision, Clinical Modification(345.x dan 780.3 x,
berdasarkan publikasi sebelumnya) di Instalasi Gawat Darurat atau rumah sakit antara 38 hari
dan 730 hari (2 tahun) kehidupan. Kami mengeksklusi waktu sebelum 38 hari, karena kami
tidak ingin mengidentifikasi kejang neonatal yang terjadi sebelum awal usia yang
direkomendasikan bagi bayi untuk menerima imunisasi yakniusia 2 bulan. Kami selanjutnya
mengeksklusi setiap anak yang memiliki diagnosis kejang pada saat baru lahir atau
myoclonus, begitu juga dengan anak-anak dengan gangguan kejang kronis. Analisis kohort
terakhir terdiri dari 5667anak-anak, 1659 anak telah mengalami kejang pertama kali pada
tahun pertama kehidupan, sedangkan 4008 anak telah mengalami kejang pertama kali pada
tahun kedua kehidupan. Untuk catatan, sekitar 2% dari anak-anak yang termasuk dalam
populasi di VSD mengalami kejang pada 2 tahun pertama kehidupan.

Imunisasi Tepat Waktu Versus Tertunda

Kami menggunakan modifikasi dari metode yang pertama kali dideskripsikan oleh
Luman et al untuk menentukan waktu pada tiap anak yang mendapat imunisasi tidak optimal
dalam kelompok kohort. Untuk setiap vaksin yang diterima dalam 2 tahun pertama
kehidupan, dengan pengecualian influenza dan vaksin hepatitis A, kami menentukan
imunisasi tepat waktu dibandingkan tertunda sesuai dengan jadwal yang dianjurkan ACIP.
Setiap vaksin yang dianjurkan pada usia 2 bulan pertama dianggap tepat waktu jika diterima
sebelum 93 hari pertama kehidupan. Setiap vaksin yang dianjurkan diterima pada usia 12-15
bulan dianggap tepat waktu jika diterima sebelum hari ke 489 (usia 16 bulan). Vaksin
hepatitis A dikecualikan karena tidak dianjurkan secara umum hingga 2007, dan vaksin
influenza dikecualikan karena mudah berubah dari tahun ke tahun dan bergantung pada
musim. Kami tidak menyertakan dosis pertama vaksin hepatitis B (disarankan tidak lama
setelah kelahiran) dalam analisis. Kamihanya akan meneliti dosis pertama setiap vaksin
karena orang lain telah mengamati bahwa dosis pertama vaksin tertentu (vaksinDifteri,
Tetanus, dan aselular Pertusis [DTaP] dan vaksin yang mengandung campak) mungkin
kebanyakan reactogenic. Kami tidak menganalisis secara spesifik jadwal vaksinasi catch-
up.

Mendefinisikan Hasil Status Kejang

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, kejang didefinisikan menurut International


Classification of Diseases, Ninth Revision, Clinical Modification kode 345.x and 780.3x.
Pada penelitian oleh VSD sebelumnya, kode tersebut telah terbukti memiliki Nilai Prediksi
Positif (NPP) 94% untuk kejang di IGD atau rumah sakit pada anak-anak usia 12 sampai 23
bulan; 92%-nya adalah kejang demam. Penelitian tambahan di VSD menunjukkan bahwa
kode yang serupa juga memiliki 92 % NPP untuk kejang di IGDbagi bayi usia 6 minggu
sampai 12 bulan, dan 99% untuk anak-anak yang lebih tua dari 1 tahun. Berdasarkan
tingginya NPP tersebut, kami tidak melakukan tinjauan grafik pada kasus-kasus kejang. Kami
membatasianalisis kami pada evaluasi dari diagnosis kejang yang ditegakkan pertama kali
untuk setiap anak.
Desain Penelitian dan Analisis

Kami menggunakan self-controlled case series(SCCS) desain untuk menilai


hubungan antara vaksinasi dengan insiden kejang. Dalam case-only method ini, tingkat
insiden dalam jangka waktu yang beresiko setelah vaksinasi dibandingkan dengan tingkat
insiden dalam kelompok dengan jangka waktuyang tidak diketahui yang terdiri dari periode
waktu sebelum vaksinasi dan setelah jeda waktu yang berisiko. Setiap kasus berfungsi
sebagai kontrolnya sendiri, dengan demikian secara implisit mengendalikan variabel luar
yang tidak berubah dari waktu ke waktu, seperti jenis kelamin, atau latar belakang ras/etnis.
Kami melakukan analisis SCCS untuk dosis pertama dari setiap vaksin yang
direkomendasikan padausia 2 bulan dan 12 bulan, bertingkat sesuai dengan periode vaksinasi
(tepat waktu dibandingkan tertunda). Setiap vaksin dievaluasi secara terpisah, tanpa
memperhatikan penerimaan yang bersamaan dengan vaksin lainnya.Jangka waktu berisiko
untuk setiap vaksin didasarkan pada kebenaran biologis dan bukti dari literatur. Kami
menggunakan jeda waktu 0-2 hari sebagai risiko untuk semua vaksin yang dianjurkan di usia
2 bulan, kecuali rotavirus, untuk risiko jeda waktu 0 7 hari yang kami gunakan, karena
waktu tersebut merupakan jangka wakturisiko untuk terjadi intususepsi dan waktu ketika
vaksin yang mengandung virus hidup yang dilemahkan atau reassortant virus kemungkinan
akan melakukan replikasi; maka tidak ada data kejang setelah vaksinasi rotavirus. Untuk
vaksin measles-mumps-rubella (MMR), varicella dan measles-mumps-rubella-varicella
(MMRV), kami menggunakan risiko jeda waktu 7-10 hari setelah vaksinasi. Jangka waktu
dari 1-14 hari sebelum vaksinasi dikecualikan untuk mengurangi potensi healthy vaccinee
effect. Periode kontrol didefinisikan sebagai periode 14-hari segera setelah risiko jeda waktu
yang telah ditentukan setelah vaksinasi, dan periode 14-hari segera sebelum jangka waktu
dimana anak yang telah divaksinasi dalam keadaan sehat; periode kontrol awal ini dipotong
jika pada hari apapun terdapat usia 37 hari atau lebih muda. Untuk setiap vaksin dan
kelompok eksposur (eksposur yang menerima vaksin tepat waktu atau terlambat), kami
menghitung incidence rate ratio(IRR) kejang pertama kali dalam jeda waktu setelah
vaksinasi menggunakan regresi Poisson bersyarat. IRR menunjukkan, di antara anak-anak
dengan diagnosis awal kejang, tingkat insiden kejang dalam jangka waktu yang diketahui
(jeda waktu risiko) setelah vaksinasi dibandingkandengan tingkat insiden kejang dalam
jangka waktu yang tidak diketahui (jeda waktu kontrol). Karena kami menggunakan desain
studi SCCS, di mana kasus berfungsi sebagai kontrol mereka sendiri, kami menggunakan
model Poisson bersyarat untuk menganalisis hasil diskrit dan menghitung ketergantungan
pengamatan dalam kasus. Semua analisis dilakukan dengan menggunakan SAS versi 9.2
(lembaga SAS, Inc, Cary, NC).
HASIL

Inisial kohort terdiri dari 323 247 anak. Setelah eksklusi dan pembatasan analisis pada kasus
vaksin dengan kejang, analisis kohort terakhir terdiri dari 5667 anak. Dari anak tersebut,
49,7% telah divaksin pada umur 2 tahun pertama untuk semua vaksin. Penandaan status
vaksin pada waktu pertama kejang 71,2% anak dengan kejang pertama pada usia 38-364 hari
telah divaksin tepat waktu; untuk anak dengan kejang pertama pada umur 365-730 hari, 62%
telah divaksin tepat waktu.

Untuk anak-anak yg menerima vaksin pertama mereka pada rekomendasi ACIP diumur 38-92
hari, tidak ada hubungannya dengan vaksin dan kejang. Kejang berkurang pada kelompok
umur ini tetapi tidak terjadi lagi setelah vaksinasi pada periode kontrol. Untuk contohnya,
IRR untuk kejang terjadi kurang dari 2 hari dari DTaP vaksinasi dibanding dengan periode
kontrol adalah 1,26 (95% CI 0,65-2,45). Untuk anak-anak yang menerima vaksinasi pertama
mereka pada jadwal yg tertunda antara umur 93-730 hari, IRR untuk kejang secara umum
naik tapi tidak signifikan. Untuk contoh DTaP IRRnya adalah 1,56 (95% CI 0,19-12,92).

Kita selanjutnya memeriksa rekomendasi vaksin pertama untuk administrasi setelah umur 1
tahun. Setelah vaksin MMR telah dimasukkan berdasarkan rekomendasi ACIP pada usia 12-
15 bulan (361-488 hari), berhubungan dengan naiknya resiko kejang pada 7-10 hari setelah
vaksinasi : IRR 2,65 (95% CI 1,99-3,55). Hubungan ini lebih besar jika administrasi dari
vaksin tertunda lebih dari 15 bulan IRR 6,53 (95% CI 3,15-13,53). Ketika kita mengkonduksi
subgrup analisis untuk memeriksa waktu vaksinasi lebih detail kita menemukan hubungan
dari vaksin MMR dengan kejang pada umur 16-18 bulan mempunyai IRR sebesar 5,09 (95%
Ci 2,05-12,66). Dan yang paling jelas pada umur 19-21 bulan dengan IRR 8,75 (95% CI
2,35-32,58). Data lebih jarang pada anak umur 22-23 bulan untuk izin analisis (n=1 kasus
diekspos, tidak ada kauss yang tidak terekspos) karena sangat rendahnya jumlah anak yg
divaksin pada umur ini.

Vaksin varissela telah dihubungkan dengan meningkatnya resiko kejang pada 7-10 hari
setelah vaksinasi. Ketika dihitung pada anak usia 12-15 bulan, dengan
IRR adalah 2,75 (95% CI 2,05-3,70) IRR meningkat ke 3,64 ketika dihitung pada umur 16-23
bulan.

Hubungan dari vaksin dengan kejang sekitar 2x lebih kuat dengan penerima vaksin MMRV
daripada penerima vaksin MMR. Keduanya yg menerima vaksin tepat waktu dan penerima
vaksin dengan waktu yg tertunda. Secara spesifik untuk penerima vaksin MMRV yg tepat
waktu IRR untuk kejang pd 7-10hari setelah vaksin adalah 4,95 (95% CI 3,68-6,66) untuk
penerima vaksin MMRV yg tertunda IRR 9,8 (95% CI 4,35-22,06). Kejang yg berhubungan
dengan vaksin sangat jelas jika vaksin MMRV telah diberi pada umur 16-18 bulan (IRR 11,00
(95% CI 4,26-28,38))

PEMBAHASAN

Kita tidak menemukan hubungan yang signifikan antara vaksinasi ditahun pertama kehidupan
dan kejang akut tanpa memperhatikan tipe vaksin dan tanpa memperhatikan dari apapun
vaksin yg telah diterima tepat waktu atau ditunda. Bagaimana pun di 2 tahun pertama
kehidupan penundaan vaksin MMR pertama sampai umur 16 bulan atau lebih tua dihasilakn
di IRR untuk kejang pada 7-10 hari setelah vaksinasi adalah 3x lebih besar jika vaksinasi
MMR tepat waktu. Menerima vaksin MMRV dibanding MMR double IRR untuk post
vaksinasi kejang antara 12-15 bulan dan 16-23 bulan telah dijelaskan.

Dulu sebagian besar vaksin sel dipteri tetanus pertusis telah dihubungkan dengan
meningkatnya resiko kejang demam setelah vaksin pada anak-anak. Tidak ada bukti bahwa
sel DtaP vaksin yg digunakan sejak akhir 1990 berhubungan dengan kejang di AS. Vaksin
anak-anak lainnya seperti DTaP, polio virus yang mati dan HIB combinasi vaksin (DTaP-IPV-
HIB), tidak berhubungan dengan kejang di AS, walaupun kombinasi DTap-IPV-HIB telah
dihubungakn dnegan meningkatnya kejang demam di denmark. Vaksin yg diberikan oada
anak2 diawal kehidupan lainnya yg dihubungkan dengan kejang demam di AS termasuk
influenza vaksin tetapi hanya di musim influenza pada tahun 2010-2011 dan vaksin 13-valen
penumococcal. Resiko untuk kejang setelah vaksin influensa dan valenpneumococal lebih
besar jika vaksin diberikan di hari yg sama di umur 2 tahun. Ini akan menjadi catatn bahwa
vaksin di awal kehidupan diumur 1 tahun diberikan pada waktu secara relatif mempunyai
dasar yg rendah untuk menjadi kejang demam.

Hubungan diantara waktu vaksin dan perubahan kejang demam di 2 tahun pertama
kehidupan, ketika menerima MMR dan MMRV vaksin diantra 16-23 bulan adalah
dihubungkan dengan tingginya insiden kejang diantara 12-15 bulan. Secara jelas vaksin pada
anak-anak yg paling besar resikonya untuk kejang demam adalah umur 16-18 bulan. Pada
kohort VSD insiden kejang demam meningkat dari 1/100000 anak pada umur 7 bulan sampai
maksimal 5/100.000 anak di umur 17 bulan sebelum menurun menjadi 3/100.000 anak usia
24 bulan menjadi 1/100.000 hari pada umur 45 bulan (data tidak ditunjukkan). Hubungan yg
paling kuat dari kejang dengan MMR atau MMRV vaksin yg diberikan setelah umur 15 bulan
dibanding pada umur 12-15 bulan seperti berdasarkan kompleks imunogenik dari vaksin
genetik penerimaan fisiologi pada anak dan maturasi dari sistem imun anak. Seperti yg kita
ketahui, imun sistem anak matur pada umur 2 tahun. Hal itu juga menjadi respon terbesar
demam saat imun dirangsang seperti saat vaksinasi. Hubungan diantara reaksi gen dan reaksi
imun dari vaksin diduga pada penelitian ini bahwa menunjukkan resko campak pada anak2
usia sekolah yg menerima 2 dosis MMR bdengan dosis pertama diumur 12-13 bulan
dibanding umur kurang dari 15 bulan. Hal iini resaksi gen yg lebih rendah dari vaksin yg
diberikan di umur 2 tahun juga menghasilkan efektifitas yg lebih rendah pula.
Resiko kejang demam di 7-10 hari setelah vaksin MMRV dibanding dengan vaksin varisella
dan MMR yang diberikan secara terpisah dihari yg sama telah dilaporkan pertama kali oleh
Clein dkk pada tahun 2010. Mereka melaporkan bahwa penggunaan MMRV dibanding
dengan MMR yg terpisah dengan vaksin varisella akan menghasilakan 1 kejang demam 7-10
hari setelah vaksinasi untuk setiap 2300 dosis MMRV yang diberikan diumur 2 tahun.
Pirogenik yang lebih matur dari MMRV dibanding dengan vaksin varisella dan MMR yang
terpiusah mungkin karena konsentrasi yg lebih tinggi dari virus varisella yg dilemahkan pada
vaksin MMRV (lebih dari 7x dosis kultur jaringan infeksi dibanding dengan vaksin varisella).
Secara alternatif ini mungkn karena vaksin MMRV menginduksi titer antibodi untuk campak
daripada MMR + vaksin varisella , menunjukkan level yg lebih tinggi dari replikasi vaksin
campak.

Rowhani-Rahbar dkk baru saja meneliti dampak dari usia di tahun kedua kehidupan pada
demam kejang setelah vaksinasi. Menggunakan desain Studi kohort risiko-interval
(dibandingkan dengan desain SCCS dalam studi ini) mereka menemukan bahwa risiko kejang
dalam 7-10 hari setelah setiap vaksin campak meningkat dua kali lipat (dari rasio tingkat
insiden 3.4-6,5) jika anak itu 16 sampai 23 bulan daripada 12-15 bulan pada saat penerimaan
vaksin. Risiko dua kali lipat pada kedua kelompok umur jika MMRV digunakan sebagai
pengganti terpisah MMR ditambah varicella vaksin. Dengan demikian, hasil penelitian kami,
menggunakan populasi pasien sebagian tumpang tindih dan analitis pendekatan yang
berbeda, mengkonfirmasi penemuan-penemuan ini. Berdasarkan temuan Klein et al,
Rowhani-Rahbar et al, dan tim kami, kami memperkirakan bahwa jenis vaksin dan usia anak
baik secara mandiri maupun yang ditambahkan meningkatkan risiko kejang 7 sampai 10 hari
setelah diterimanya Vaksin Campak. Dengan demikian kejang yang kira-kira dua kali lipat
lebih cenderung terjadi setelah MMRV versus vaksin MMR ditambah varicella, dua kali lipat
lebih cenderung pada anak-anak untuk 23 bulan-berusia 16 versus 12-15 bulan, dan kira-kira
empat kali lipat lebih mungkin anak-anak yang lebih tua yang menerima MMRV
dibandingkan anak-anak muda yang menerima MMR ditambah vaksin varicella. Meskipun
kami data dari tahun kedua kehidupan memiliki signifikan tumpang tindih dengan yang
dipublikasikan sebelumnya, kami merasa penting untuk memasukkan hasil ini karena
implikasi untuk pengiriman vaksin dalam konteks keterlambatan orangtua.

pada penelitian kami, terdapat beberapa keterbatasan. Pertama, meskipun ukuran dari cohort
kami, terdapat jarak kejang dalam data tahun pertama dari kehidupan ( contohnya, untuk
vaksin DTaP terdapat kasus yang diekspos). Dengan demikian, kita tidaklah dapat langsung
memeriksa risiko kejang ketika menunda pertama vaksinasi sampai akhir tahun pertama
kehidupan, ketika kejadian demam kejang mulai meningkat. Kedua, kita tidak
memperhitungkan simultan administrasi pada vaksin yang berbeda pada hari yang sama,
tetapi sebaliknya melakukan analisis pada setiap vaksin secara individual. Ada sedikit vaksin
yang diberikan dalam isolasi di usia dini untuk melakukan analisis yang bermakna yang tidak
simultan diberikan pada beberapa vaksin. Namun, pendekatan kami menghasilkan, misalnya,
peningkatan risiko untuk kejang dalam 7 sampai 10 hari setelah vaksin varicella, tapi Asosiasi
ini disebabkan adanya peningkatan risiko yang disebabkan oleh vaksin MMR yang diberikan
pada hari yang sama. Penelitian lain belum menemukan seiring pemberian vaksin menjadi
risiko bagi peningkatan kejadian buruk di tahun kedua hidup dibandingkan dengan
ketidakseiringan dalam pengiriman. Ketiga, desain SCCS tidak mengizinkan seseorang
langsung melakukan perbandingan statistik IRR antara berbagai vaksin. Namun, kami
menemukan bahwa IRR untuk kejang setelah vaksin MMRV adalah dua kali lipat
dibandingkan dengan vaksin MMR yang baru saja dijelaskan di dalam literatur.

KESIMPULAN

kesimpulannya, dalam analisis utama kami, kami menemukan ada hubungan antara vaksinasi
di tahun pertama kehidupan dengan kejang berikutnya, baik bayi divaksinasi pada waktu
yang tepat atau pada jadwal yang tertunda. Dalam tahun kedua kehidupan, penerimaan vaksin
MMR dan MMRV adalah dikaitkan dengan peningkatan risiko kejang, dengan kuat Asosiasi
diamati pada anak-anak menerima vaksinasi pada jadwal yang tertunda. Hal ini diketahui
bahwa risiko kejang puncak pada 16-18 bulan hidup terlepas dari status vaksinasi; oleh
karena itu menunda vaksin MMR atau MMRV hingga usia ini dapat mengakibatkan lebih
demam kejang. Diberikan secara keseluruhan risiko rendah mutlak kejang setelah vaksin
MMR dan MMRV. Keseluruhan mutlak diberikan rendah resiko serangan setelah mmr dan
mmrv vaksin, kurangnya asosiasi sederhana kejang dengan demam akibat, merugikan jangka
panjang dan manfaat yang dikenal on-time vaksinasi, penemuan kami memberikan tambahan
alasan untuk tidak menunda masa kanak-kanak vaksinasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

kami mengucapkan terima kasih atas kontribusi dari klinik marshfield penelitian yayasan di
marshfield, wisconsin, untuk penelitian ini.

You might also like