You are on page 1of 29

10 Pahlawan Revolusi Korban

Kekejaman G30S/PKI

Bintang.com, Jakarta Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI


1965 merupakan sejarah kelam bangsa Indonesia yang tak mudah dilupakan dari benak kita
semua. Saat itu terjadi pemberontakan PKI dengan menculik beberapa petinggiTNI Angkatan
Darat di zamannya. Mereka lalu dibantai secara keji di sebuah tempat yang kini dikenal
dengan nama Monumen Lubang Buaya. Gugurnya mereka menjadi tombak perlawanan
bangsa ini pada kekejaman PKI. Mereka mendapat gelar Pahlawan Revolusi. Pahlawan
Revolusi adalah gelar yang diberikan kepada sejumlah perwira militer yang gugur dalam
tragedi G30S yang terjadi di Jakarta dan Yogyakarta pada tanggal 30 September 1965. Sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, gelar ini diakui juga sebagai Pahlawan
Nasional.

Para pahlawan tersebut adalah:

1
BIODATA 10 PAHLAWAN REVOLUSI

1. Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman

Profil
Nama Lengkap : Siswondo Parman
Alias : S. Parman
Agama : Islam
Tempat Lahir : Wonosobo, Jawa Tengah
Tanggal Lahir : Minggu, 4 Agustus 1918
Warga Negara : Indonesia
Ayah : Kromodihardjo
Saudara : Ir. Sakirman
Meninggal : 1 Oktober 1965 (umur 47)
Lubang Buaya, Jakarta
Sebab meninggal : Terbunuh pada
persitiwa Gerakan 30 September
Pekerjaan : TNI)

Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman atau yang lebih dikenal dengan
nama S. Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Agustus 1918 meninggal di Lubang
Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 47 tahun). Parman adalah salah satu pahlawan
revolusi Indonesia dan tokoh militer Indonesia. Ia meninggal dibunuh pada persitiwa Gerakan
30 September dan mendapatkan gelar Letnan Jenderal Anumerta. Ia dimakamkan di TMP
Kalibata, Jakarta.
Parman merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu tentang kegiatan PKI. Dia
termasuk salah satu di antara para perwira yang menolak rencana PKI untuk membentuk

2
Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani. Penolakan serta posisinya sebagai pejabat
intelijen yang tahu banyak tentang PKI, membuatnya menjadi korban penculikan oleh
Resimen Tjakrabirawa yang dipimpin Serma Satar. Penculikannya diduga diatur oleh kakak
kandungnya sendiri, yaitu Ir. Sakirman yang merupakan petinggi di Politbiro CC PKI kala
itu.
Kehidupan pribadi
S. Parman adalah anak keenam dari sebelas bersaudara yang dilahirkan di
Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 4 Agustus 1918. Ayahnya bernama Kromodihardjo
bekerja sebagai seorang pedagang. S. Parman memiliki seorang kakak laki-laki bernama Ir.
Sakirman dimana nanti kakaknya ini akan menjadi petinggi di Politbiro CC PKI (semacam
Dewan Syuro atau Dewan Penasihat Parpol sekarang).
Meskipun Kromodihardjo hanyalah seorang pedagang di Pasar Wonosobo, dia selalu
mengusahakan agar anak-anaknya bisa memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Parman
menyelesaikan pendidikan di HIS (Hollandsch Inlandsche School) atau Sekolah Dasar
Belanda di Wonosobo. Kemudian dia melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebried Lager
Onderwijs) atau Sekolah Menengah Pertama di Yogyakarta. Seharusnya dia setelah lulus,
Parman melanjutkan ke AMS (Algemeene Middelbare School) yang setara dengan tingkat
SMA namun karena ayahnya meninggal dunia pada tahun 1937 membuat Parman tidak
bersekolah hampir dua tahun. parman kemudian membantu ibunya berdagang di Pasar
Wonosobo. Setelah menemukan waktu yang tepat, Parman kembali melanjutkan sekolahnya
di AMS. Sesuai dengan keinginan ayahnya, Parman kemudian masuk ke Sekolah Tinggi
Kedokteran (STOVIA) di Jakarta.
Lagi-lagi sekolah Parman kembali terhambat. Dia tidak bisa menyelesaikan sekolah
kedokterannya ini karena invasi Jepang pada tahun 1942. Suatu hari ketika Parman tengah
berada di Wonosobo, ia bertemu polisi militer Jepang, Kenpetai yang mengatakan kalau
mereka membutuhkan seseorang yang bisa berbahasa Inggris sebagai penerjemah. Mulai saat
itu, Parman yang fasih berbahasa Inggris mengikuti Kenpetai hingga ke Yogyakarta. Meski
membantu Jepang, rasa nasionalisme Parman tetap tinggi. Ia terus berhubungan dengan
teman-temannya yang berjuang diam-diam untuk melawan Jepang. Sekembalinya ke tanah
air ia kembali lagi bekerja pada Jawatan Kempeitai.
Karir militer
Awal kariernya di militer dimulai dengan mengikuti Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
yaitu Tentara RI yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan. Pada akhir bulan Desember
1945, ia diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara (PT) di Yogyakarta.

3
Selama Agresi Militer II Belanda, ia turut berjuang dengan melakukan perang gerilya. Pada
bulan Desember 1949, ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya.
Salah satu keberhasilannya saat itu adalah membongkar rahasia gerakan Angkatan Perang
Ratu Adil (APRA) yang akan melakukan operasinya di Jakarta di bawah pimpinan
Westerling. Selanjutnya, pada Maret 1950, ia diangkat menjadi kepala Staf G. Dan setahun
kemudian dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan pada Military Police
School.
Sekembalinya dari Amerika Serikat, ia ditugaskan di Kementerian Pertahanan untuk
beberapa lama kemudian diangkat menjadi Atase Militer RI di London, Inggris pada tahun
1959. Lima tahun berikutnya yakni pada tahun 1964, ia diserahi tugas sebagai Asisten I
Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) dengan pangkat Mayor Jenderal.
Ketika menjabat Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) ini, pengaruh
PKI juga sedang marak di Indonesia. Partai Komunis ini merasa dekat dengan Presiden
Soekarno dan sebagian rakyat pun sudah terpengaruh. Namun sebagai perwira intelijen, S.
Parman sebelumnya sudah banyak mengetahui kegiatan rahasia PKI. Maka ketika PKI
mengusulkan agar kaum buruh dan tani dipersenjatai atau yang disebut dengan Angkatan
Kelima. Ia bersama sebagian besar Perwira Angkatan Darat lainnya menolak usul yang
mengandung maksud tersembunyi itu. Dengan dasar itulah kemudian dirinya dimusuhi oleh
PKI. Dan akhirnya pada saat terjadinya peristiwa G30S ,beliau menjadi korban karena
termasuk musuh PKI. S.Parman diculik dari rumahnya,dibunuh di Lubang Buaya,dan
disembunyikan di sumur Lubang Buaya.
Siswondo Parman ditetapkan menjadi Pahlawan Revolusi pada 5 Oktober 1965
dengan Keppres No. 111/KOTI/1965.
PENDIDIKAN
HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Wonosobo
MULO (Meer Uitgebried Lager Onderwijs) di Yogyakarta
AMS (Algemeene Middelbare School)
Sekolah Tinggi Kedokteran (STOVIA) di Jakarta
Sekolah Tinggi Hukum
PENGHARGAAN
Siswondo Parman alias S. Parman mendapatkan gelar kehormatan sebagai Pahlawan
Revolusi
(sumber: Wikipedia bahasa Indonesia, merdeka.com)

4
2. Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto

Profil:
Nama Lengkap : Raden Suprapto
Pekerjaan: TNI,
panggkat: Letnan Jenderal
Tempat Lahir :
Purwokerto, Jawa tengah
Tanggal Lahir :
Rabu, 2 Juni 1920

Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Supraptomerupakan salah satu korban dalam


G30SPKI, beliau meninggal di Lubangbuaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 45 tahun,
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. R. Suprapto dijadikan Pahlawan
Revolusi olehSoekarno berdasarkan Kepres no. 111/KOTI/1965 .
Suprapto yang lahir di Purwokerto, 2 Juni 1920, ini boleh dibilang hampir seusia dengan
Panglima Besar Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang
Panglima Besar. Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS
(setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1941.
Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan dengan
pecahnya Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer pada
Koninklijke Militaire Akademie di Bandung. Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya
sampai tamat karena pasukan Jepang sudah keburu mendarat di Indonesia. Oleh Jepang, ia
ditawan dan dipenjarakan, tapi kemudian ia berhasil melarikan diri.
Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti kursus Pusat

5
Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah itu, ia bekerja di
Kantor Pendidikan Masyarakat.
Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan
berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi
anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk
sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan tentara
Jepang seperti di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang
dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya.
Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut
menjadi salah satu yang turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris.
Ketika itu, pasukannya dipimpin langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Ia juga salah satu
yang pernah menjadi ajudan dari Panglima Besar tersebut.
Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah tugas.
Pertama-tama ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/
Diponegoro di Semarang. Dari Semarang ia kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Staf
Angkatan Darat, kemudian ke Kementerian Pertahanan. Dan setelah pemberontakan
PRRI/Permesta padam, ia diangkat menjadi Deputy Kepala Staf Angkatan Darat untuk
wilayah Sumatera yang bermarkas di Medan. Selama di Medan tugasnya sangat berat sebab
harus menjaga agar pemberontakan seperti sebelumnya tidak terulang lagi.
Pada tanggal 01 Oktober dini hari, Suprapto, yang saat itu tidak bisa tidur karena sakit gigi
yang dideritanya, didatangi oleh sekawanan orang, yang mengaku sebagai pengawal
kepresidenan (Cakrabirawa), yang mengatakan bahwa ia dipanggil oleh presiden Sukarno
untuk menghadap. Suprapto kemudian dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke Lubang
Buaya, daerah pinggiran kota Jakarta, bersama dengan 6 orang lainnya.
Malam harinya, Jendral Suprapto dan keenam orang lainnya ditembak mati dan
dilemparkan ke dalam sebuah sumur tua. Baru pada tanggal 5 Oktober, jenazah para korban
pembunuhan tersebut bisa dikeluarkan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata. Di hari itu juga, Presiden Sukarno mengeluarkan Kepres no. 111/KOTI/1965, yang
meresmikan Suprapto bersama korban Lubang Buaya yang lain sebagai Pahlawan Revolusi.
Pendidikan:
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setara SLTP di Yogyakarta
AMS (Algemeene Middlebare School) yang setara SLTA di Yogykarta
Koninklijke Militaire Akademie di Bandung

6
Penghargaan:
Gelar Pahlawan Revolusi
(sumber: Wikipedia bahasa Indonesia, Merdeka.com)

7
3. Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono

PROFIL

Nama Lengkap : Mas Tirtodarmo Haryono


Alias: Tirtodarmo Haryono | M.T. Haryono
Agama : Islam
Tempat Lahir : Surabaya
Tanggal Lahir : Minggu, 20 Januari 1924
Warga Negara : Indonesia
Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono atau dikenal juga
dengan nama MT Haryono adalah tokoh pahlawan revolusi Indonesia yang meninggal pada 1
Oktober 1965 saat terjadinya peristiwa Gerakan 30 September. Mas Tirtodarmo Harjono
menjadi Pahlawan Revolusi pada tanggal 5 Oktober 1965 berdasarkan Keppres No.
111/KOTI/1965.
MT Haryono mengenyam pendidikan pertamanya di ELS, yakni pendidikan setingkat
sekolah dasar bentukan Belanda. Ia juga sempat melanjutkan sekolah di HBS, pendidikan
setingkat sekolah umum. Kemudian beralih ke masa pendudukan Jepang, MT Haryono
sempat disekolahkan ke Ika Dai Gakko, sebuah sekolah kedokteran pada masa pendudukan
Jepang, tetapi tidak sampai selesai.
Saat Kemerdekaaan RI dikumandangkan, MT Haryono sedang berada di Jakarta dan
segera bergabung dengan para pemuda lain untuk mempertahankan Indonesia. Semangat
perjuangan tersebut juga dilanjutkan dengan masuknya MT Haryono ke TKR (Tentara

8
Keamanan Rakyat). Pada masa awal pengangkatannya, MT Haryono mendapat jabatan
sebagai Mayor. Dengan prestasinya, MT Haryono pun akhirnya berkali-kali naik pangkat
hingga mendapat jabatan Letnan Jenderal.
Pada tragedy G30S PKI yang terjadi pada tanggal 30 September 1965, MT Haryono
menjadi salah satu korban indsiden lubang buaya. Ia adalah salah satu korban yang
ditemukan meninggal di lubang buaya. Para korban dari insiden G30S PKI tersebut kemudian
dijuluki sebagai Pahlawan Revolusi. Selain MT Haryono, pahlawan revolusi lainnya yang
turut menjadi korban adalah Jenderal TNI (Anumerta) Achmad Yani,Letjen. (Anumerta)
Siswondo Parman, Letjen. (Anumerta) Suprapto, Mayjen. (Anumerta) Donald Isaac
Pandjaitan, Mayjen. (Anumerta) Sutojo Siswomihardjo,Brigjen. (Anumerta) Katamso
Darmokusumo (wafat di Yogyakarta), Kolonel Inf. (Anumerta) Sugiono (wafat di
Yogyakarta), Kapten CZI (Anumerta) Pierre Tendean, dan Aipda (Anumerta) Karel Satsuit
Tubun. Jenazah MT Haryono dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

PENDIDIKAN
Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran)
HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum)
ELS (setingkat Sekolah Dasar)
KARIR
Mayor TKR (Tentara Keamanan Rakyat)
Sekretaris Dewan Pertahanan Negara
Sekretaris Delegasi Militer Indonesia
PENGHARGAAN
Pahlawan Revolusi Indonesia
(sumber: merdeka.com)

9
4. Kapten CZI Anumerta Pierre Andreas Tendean

Profil
Lahir: 21 Februari 1939
Batavia, Hindia Belanda
Meninggal: 1 Oktober 1965 (umur 26)
Jakarta, Indonesia
Dimakamkan: Taman Makam Pahlawan
Kalibata
Pengabdian: Indonesia
Dinas/cabang: ABRI
Lama dinas: 1962-1965
Pangkat: Letnan Satu (saat kematian)
Kapten (anumerta)
Penghargaan: Pahlawan Revolusi

Kapten CZI Anumerta Pierre Andreas Tendean adalah seorang perwira militer
Indonesia yang menjadi salah satu korban peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965.
Mengawali karier militer dengan menjadi intelijen dan kemudian ditunjuk sebagai ajudan
Jenderal Abdul Haris Nasution dengan pangkat letnan satu, ia dipromosikan menjadi kapten
anumerta setelah kematiannya. Tendean dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata
dan bersama enam perwira korban G30S lainnya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi
Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965.

Pierre Andreas Tendean terlahir pada tanggal 21 Februari 1939 di Batavia (kini
Jakarta), Hindia Belanda dari pasangan Dr. A.L Tendean, seorang dokter yang berdarah
Minahasa, dan Cornet M.E, serang wanita Indo yang berdarah Perancis. Pierre adalah anak

10
kedua dari tiga bersaudara; kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan
Rooswidiati. Tendean mengenyam sekolah dasar di Magelang, lalu melanjutkan SMP dan
SMA di Semarang tempat ayahnya bertugas. Sejak kecil, ia sangat ingin menjadi tentara dan
masuk akademi militer, namun orang tuanya ingin ia menjadi seorang dokter seperti ayahnya
atau seorang insinyur. Karena tekadnya yang kuat, ia pun berhasil bergabung dengan
Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada tahun 1958.
Pada tahun 1962 Tandean lulus dari akademi militer dengan pangkat letnan dua, dan menjadi
Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan. Setahun
kemudian, ia mengikuti pendidikan di sekolah intelijen di Bogor. Setamat dari sana, ia
ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke
Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia; ia bertugas
memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Malaysia. Pada
tanggal 15 April 1965, Tendean dipromosikan menjadi letnan satu, dan ditugaskan sebagai
ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution.

Pada pagi tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September (G30S)


mendatangi rumah Nasution dengan tujuan untuk menculiknya. Tendean yang sedang tidur di
ruang belakang rumah Jenderal Nasution terbangun karena suara tembakan dan ribut-ribut
dan segera berlari ke bagian depan rumah. Ia ditangkap oleh gerombolan G30S yang mengira
dirinya sebagai Nasution karena kondisi rumah yang gelap. Nasution sendiri berhasil
melarikan diri dengan melompati pagar. Tendean lalu di bawa ke sebuah rumah di daerah
Lubang Buaya bersama enam perwira tinggi lainnya. Ia ditembak mati dan mayatnya dibuang
ke sebuah sumur tua bersama enam jasad perwira lainnya.

Bersama keenam perwira lainnya Tendean dimakamkan di Taman Makam Pahlawan


Kalibata, Jakarta. Untuk menghargai jasa-jasanya, Tendean dianugerahi gelar Pahlawan
Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI
No. 111/KOTI/Tahun 1965.

Sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya, termasuk di Manado, Balikpapan, dan
di Jakarta. Pasca kematiannya, ia secara anumerta dipromosikan menjadi kapten.

(sumber: Wikipedia bahasa Indonesia)

11
5. Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo

Profil
Nama : Katamso Darmokusumo
Agama : Islam
Tempat Lahir: Sragen, Jawa Tengah
Tanggal Lahir : Senin, 5 /2/1923
Warga Negara : Indonesia

Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo yang lahir pada hari Senin, 5 Februari
1923 adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia yang terbunuh dalam peristiwa
G.30S/PKI, namun ia tidak mengalaminya bersama para jenderal lainnya di Jakarta,
melainkan di Jogjakarta, sekalipun dalam hari dan peristiwa yang sama. Beliau meninggal
pada 22 Oktober 1965.
Selama masa mudanya, Katamso Darmokusumo menamatkan pendidikan di Sekolah
Dasar dan Sekolah Menengah. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikan tentara Peta di
Bogor.
Setelah kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, beliau mengikuti TKR yang perlahan lahan
berubah menjadi TNI. Selama masa agresi militer belanda, pasukan yang dipimpinnya sering
bertempur untuk mengusir Belanda dari Indonesia. Sesudah pengakuan Kedaulatan, beliau
diserahi tugas untuk menumpas pemberontakan Batalyon 426 di Jawa Tengah.
Pada tahun 1958 Ketika beliau menjabat sebagai Komandan Batalyon A Komando Operasi
17 Agustus yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani, terjadilah peristiwa pemberontakan
PRRI/Permesta.

12
Pada tahun 1963, beliau menjabat sebagai Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro
yang berkedudukan di Yogkakarta. Untuk menghadapi kegiatan PKI di daerah Solo, beliau
aktif membina mahasiswa. Mahasiswa mahasiswa itu diberi pelatihan militer.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 di Yogyakarta, disaat terjadi upaya kudeta oleh Partai
Komunis Indonesia dengan penculikan para jenderal di Jakarta, G.30 S/PKI pun berhasil
menguasai RRI Jogjakarta, Markas Korem 072 dan mengumumkan pembentukan Dewan
Revolusi.
Pada sore harinya mereka menculik Komandan Korem 072, Kolonel Katamso dan Kepala
Staf Korem Letnan Kolonel Sugiono dan membawanya ke daerah Kentungan. Kedua perwira
tersebut dipukul dengan kunci mortar dan tubuhnya dimasukan dalam sebuah lubang yang
sudah disiapkan. Kedua jenazah baru ditemukan pada tanggal 21 Oktober 1965 dalam
keadaan rusak, setelah dilakukan pencarian secara besar-besaran.
Dan pada tanggal 22 Oktober 1965 beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Semaki Yogyakarta. Katamso Darmokusumo diangkat menjadi Pahlawan Revolusi pada 19
Oktober 1965 atas Keppres No. 118/KOTI/1965.
Pendidikan:
Sekolah Menengah Pendidikan Militer: Pembela Tanah Air (PETA), Bogor
Karir:
Shodanco Peta di Solo
Komandan Kompi di klaten
Komandan Kompi Batalyon 28 Divisi IV
Komandan Batalyon "A" Komando Operasi 17 Agustus
Kepala Staff Resimen Team Pertempuran (RTP) II Diponegoro
Kepala Staff Resimen Riau Daratan Kodam III/17 Agustus
Komando Pendidikan dan Latihan (Koplat) merangkap Komandan Pusat
Pendidikan Infanteri (Pusdikif) di Bandung
Komandan Resort Militer korem 072, Komando Daerah Militer (Kodam) VII Diponegoro di
Yogyakarta.
Pengghargaan
Gelar Pahlawan Revolusi (SK Presiden RI No. 118/KOTI/Tahun 1965, tanggal 19 Oktober
1965)
(sumber: merdeka.com)

13
6. Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani

Profil

Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani

Menteri/Panglima Angkatan Darat

Masa jabatan:
23 Juni 1962 1 Oktober 1965
Informasi pribadi:
Lahir: 19 Juni 1922, Jawa Tengah,
Hindia Belanda
Meninggal: 1 Oktober 1965 (umur 43)
Jakarta, Indonesia
Kebangsaan: Indonesia
istri: Yayu Rulia Sutowiryo
Anak: 8
Profesi: Tentara
Agama: Islam

Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani juga dieja Achmad Yani; lahir di Purworejo, Jawa
Tengah, 19 Juni 1922 meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43
tahun, terlahir di keluarga Wongsoredjo, keluarga yang bekerja di sebuah pabrik gula yang
dijalankan oleh pemilik Belanda. Pada tahun 1927, Yani pindah dengan keluarganya ke
Batavia, di mana ayahnya kini bekerja untuk General Belanda. Di Batavia, Yani bekerja jalan
melalui pendidikan dasar dan menengah. Pada tahun 1940, Yani meninggalkan sekolah tinggi
untuk menjalani wajib militer di tentara Hindia Belanda pemerintah kolonial. Ia belajar
topografi militer di Malang, Jawa Timur, tetapi pendidikan ini terganggu oleh kedatangan

14
pasukan Jepang pada tahun 1942. Pada saat yang sama, Yani dan keluarganya pindah kembali
ke Jawa Tengah.

Pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara yang disponsori Jepang Peta (Pembela
Tanah Air), dan menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang. Setelah menyelesaikan
pelatihan ini, Yani meminta untuk dilatih sebagai komandan peleton Peta dan dipindahkan ke
Bogor, Jawa Barat untuk menerima pelatihan. Setelah selesai, ia dikirim kembali ke
Magelang sebagai instruktur.

Karier militer

Setelah Kemerdekaan Yani bergabung dengan tentara republik yang masih muda dan
berjuang melawan Belanda. Selama bulan-bulan pertama setelah Deklarasi Kemerdekaan,
Yani membentuk batalion dengan dirinya sebagai Komandan dan memimpin kepada
kemenangan melawan Inggris di Magelang. Yani kemudian diikuti ini dengan berhasil
mempertahankan Magelang melawan Belanda ketika ia mencoba untuk mengambil alih kota,
mendapat julukan "Juruselamat Magelang". Sorot lain yang menonjol karier Yani selama
periode ini adalah serangkaian serangan gerilya yang diluncurkan pada awal 1949 untuk
mengalihkan perhatian Belanda sementara Letnan Kolonel Soeharto dipersiapkan untuk
Serangan Umum 1 Maret yang diarahkan pada Yogyakarta.

Setelah Kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda, Yani dipindahkan ke Tegal, Jawa
Tengah. Pada tahun 1952, ia dipanggil kembali beraksi untuk melawan Darul Islam, sebuah
kelompok pemberontak yang berusaha untuk mendirikan sebuah teokrasi di Indonesia. Untuk
menghadapi kelompok pemberontak ini, Yani membentuk sebuah kelompok pasukan khusus
yang disebut The Banteng Raiders. Keputusan untuk memanggil Yani dividen dibayar dan
selama 3 tahun ke depan, pasukan Darul Islam di Jawa Tengah menderita kekalahan satu
demi satu.

Yani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar di Komando dan Staf Umum College,
Fort Leavenworth, Texas pada Desember 1955. Setahun kemudian Yani kembali ke
Indonesia dan dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta di mana ia menjadi
anggota staf Umum untuk Abdul Haris Nasution. Di Markas Besar Angkatan Darat, Yani
menjabat sebagai Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat sebelum menjadi Wakil
Kepala Staf Angkatan Darat untuk Organisasi dan Kepegawaian.

15
Pada bulan Agustus tahun 1958, ia memerintahkan Operasi 17 Agustus terhadap
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pemberontak di Sumatera Barat. Pasukannya
berhasil merebut kembali Padang dan Bukittinggi, dan keberhasilan ini menyebabkan ia
dipromosikan menjadi wakil kepala Angkatan Darat ke-2 staf pada 1 September 1962, dan
kemudian Kepala Angkatan Darat stafnya pada 13 November 1963 (otomatis menjadi
anggota kabinet), menggantikan Jenderal Nasution.

Tahun Akhir

Sebagai Presiden, Soekarno bergerak lebih dekat ke Partai Komunis Indonesia (PKI) di
awal 60-an. Yani yang sangat anti-komunis, menjadi sangat waspada terhadap PKI, terutama
setelah partai ini menyatakan dukungannya terhadap pembentukan kekuatan kelima (selain
keempat angkatan bersenjata dan polisi) dan Sukarno mencoba untuk memaksakannya
Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme) doktrin di militer. Keduanya, Yani dan
Nasution menunda-nunda ketika diperintahkan oleh Soekarnopada tanggal 31 Mei 1965
mempersiapkan rencana untuk mempersenjatai rakyat.

Pada dini hari 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September mencoba untuk menculik tujuh
anggota staf umum Angkatan Darat. Sebuah tim dari sekitar 200 orang mengepung rumah
Yani di Jalan Latuhahary No 6 di pinggiran Jakarta Menteng, Jakarta Pusat. Biasanya Yani
memiliki sebelas tentara menjaga rumahnya. Istrinya kemudian melaporkan bahwa seminggu
sebelumnya tambahan enam orang ditugaskan kepadanya. Orang-orang ini berasal dari
komando Kolonel Latief, yang diketahui Yani, adalah salah satu komplotan utama dalam
Gerakan 30 September. Menurut istri Yani, orang-orang tambahan tersebut tidak muncul
untuk bertugas pada malam itu. Yani dan anak-anaknya sedang tidur di rumahnya sementara
istrinya keluar merayakan ulang tahunnya bersama sekelompok teman-teman dan kerabat.
Dia kemudian menceritakan bahwa saat ia pergi dari rumah sekitar pukul 23:00, ia melihat
seseorang duduk di seberang jalan seakan menjaga rumah di bawah pengawas. Dia tidak
berpikir apa-apa pada saat itu, tetapi setelah peristiwa pagi itu ia bertanya-tanya berbeda.
Juga, dari sekitar jam 9 pada malam 30 September ada sejumlah panggilan telepon ke rumah
pada interval, yang ketika menjawab akan bertemu dengan keheningan atau suara akan
bertanya apa waktu itu. Panggilan terus sampai sekitar 01:00 dan Mrs Yani mengatakan dia
memiliki firasat sesuatu yang salah malam itu.

Yani menghabiskan malam dengan beberapa pertemuan, pukul 7 malam ia menerima


seorang kolonel dari KOTI, Komando Operasi Tertinggi. Jendral Basuki Rahmat, komandan

16
divisi di Jawa Timur, kemudian tiba dari markasnya di Surabaya. Basukidatang ke Jakarta
untuk melaporkan kepada Yani pada keprihatinan tentang meningkatnya aktivitas komunis di
Jawa Timur. Memuji laporannya, Yani memintanya untuk menemaninya ke pertemuan
keesokan harinya dengan Presiden untuk menyampaikan laporannya.

Ketika para penculik datang ke rumah Yani dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan
dibawa ke hadapan presiden, ia meminta waktu untuk mandi dan berganti pakaian. Ketika
penculik menolak ia menjadi marah, menampar salah satu prajurit penculik, dan mencoba
untuk menutup pintu depan rumahnya. Salah satu penculik kemudian melepaskan tembakan,
membunuhnya secara spontan. Tubuhnya dibawa ke Lubang Buaya di pinggiran Jakarta dan
bersama-sama dengan orang-orang dari jenderal yang dibunuh lainnya, disembunyikan di
sebuah sumur bekas.

Tubuh Yani, dan orang-orang korban lainnya, diangkat pada tanggal 4 Oktober, dan
semua diberi pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya, sebelum dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan di Kalibata. Pada hari yang sama, Yani dan rekan-rekannya resmi
dinyatakan Pahlawan dari Revolusi dengan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965 dan
pangkatnya dinaikkan secara anumerta dari Letnan Jenderal untuk bintang ke-4 umum
(Indonesia:Jenderal Anumerta).

Ibu Yani dan anak-anaknya pindah dari rumah setelah kematian Yani. Ibu Yani membantu
membuat bekas rumah mereka ke Museum publik yang berdiri sebagian besar seperti itu pada
Oktober 1965, termasuk lubang peluru di pintu dan dinding, dan dengan perabot rumah itu
waktu itu. Saat ini, banyak kota di Indonesia memiliki jalan dinamai Yani.

Pendidikan
tahun 1956 HIS (setingkat SD) Bogor, tamat tahun 1935

MULO (setingkat SMP) kelas B Afd. Bogor, tamat tahun 1938

AMS (setingkat SMU) bagian B Afd. Jakarta, berhenti tahun 1940

Pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang

Pendidikan Heiho di Magelang

PETA (Tentara Pembela Tanah Air) di Bogor

Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, Amerika Serikat, tahun
1955

Special Warfare Course di Inggris,

17
Bintang Kehormatan

Bintang RI Kelas II

Bintang Sakti

Bintang Gerilya

Bintang Sewindu Kemerdekaan I dan II

Satyalancana Kesetyaan VII, XVI

Satyalancana G: O.M. I dan VI

Satyalancana Sapta Marga (PRRI)

Satyalancana Irian Barat (Trikora)

Ordenon Narodne Armije II Reda Yugoslavia (1958) dan lain-lain

18
7. Sugiyono Mangunwiyoto

Profil:

Nama : Sugiyono Mangunwiyoto


Tempat Lahir : Gedaren, Gunungkidul
Tanggal Lahir : Kamis, 12 Agustus 1926
Warga Negara : Indonesia
Istri : Supriyati

Anak :
R. Erry Guthomo,
R. Agung Pramuji,
R. Agung Pramuji, R. Danny Nugroho,
R. Budi Winoto, R. Ganis Priyono,
Rr. Sugiarti Takarina

Sugiyono Mangunwiyoto dilahirkan pada 12 Agustus 1926 di Gedaren, Gunung kidul. Ia


adalah anak kesebelas dari 14 bersaudara. Sugiyono adalah salah satu pahlawan revolusi RI
yang meninggal pada peristiwa G30S PKI.

19
Ayah Sugiyono adalah Kasan Sumitrorejo, Ia adalah petani sekaligus Kepala Desa
Gedara. Meskipun Sugiyono pernah mengikuti Sekolah Guru di Wonosari. Namun selesai
sekolah, ia tidak menjadi guru.

Sugiono kemudian memutuskan untuk masuk dalam militer setelah dia memahami Situasi
penjajahan Jepang malah memicu Sugiyono untuk terjun di dunia militer.
Setelah ikut serta dalam Peta (Pembela Tanah Air), Sugiyono diangkat sebagai Budanco
(Komandan Peleton) di Wonosari. Seperti para Pahlawan Revolusi lainnya, Sugiyono pun
ikut bergabung ketika Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk dan diganti menjadi Tentara
Keamanan Rakyat (TKR).

Sugiyono menikah dengan Supriyati dan dikaruniai enam orang anak yang terdiri dari:
laki-laki; R. Erry Guthomo (l. 1954), R. Agung Pramuji (l. 1956), R. Haryo Guritno (l. 1958),
R. Danny Nugroho (l. 1960), R. Budi Winoto (l. 1962), dan R. Ganis Priyono (l. 1963); serta
seorang anak perempuan, Rr. Sugiarti Takarina (l. 1965), yang lahir setelah ayahnya
meninggal. Nama Sugiarti Takarina diberikan oleh Presiden Sukarno.

Sugiyono meninggal pada pada 2 Oktober 1965 setelah terjadi peristiwa G30S PKI,
Sugiyono dipukul hingga tewas. Mayatnya dimasukkan ke dalam lubang. Lokasi lubang ini
baru ditemukan pemerintah tanggal 21 Oktober 1965.

Di dalam lubang yang sama pula, mayat Kolonel Katamso ditemukan. Berdasarkan Surat
Keputusan Presiden R.I No. 111/KOTI/1965, tanggal 5 Oktober 1965, beliau turut
dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.

Karir:

Komandan 1 Kompi 2 Batalyon 10 Resimen 3 di Yogyakarta. Pangkat Letnan Dua.

Ajudan Komandan Batalyon 30 Resimen 22

Ajudan Komandan Brigade 10 Divisi III, Letnan Kolonel Suharto

Perwira Operasi Brigade C di Yogyakarta

Komandan Kompi 4 Batalyon 411 Brigade C di Purworejo

20
Wakil Komandan Batalyon 441 di Semarang. Saat ini pangkatnya sudah Kapten.

Komandan Batalyon 441/Banteng Raiders III. Pangkatnya sudah Mayor.

Komandan Komandi Distrik Militer (Kodim) 0718 di Pati.

Komandan Kodim di Yogyakarta sekaligus Pejabat Sementara Kepala Staf Korem


072. Pangkatnya sudah Letnan Kolonel.

Penghargaan

Bintang RI II

Bintang Gerilya

Bintang Sewindu ABRI

Satya Lencana Kesetiaan XVI Tahun

Satya Lencana Perang Kemerdekaan I

Satya Lencana Perang Kemerdekaan II

Satya Lencana Gerakan Operasi Militer I

Satya Lencana Gerakan Operasi Militer II

Satya Lencana Gerakan Operasi Militer IV

Satya Lencana Sapta Marga

Satya Lencana Satya Dharma

Pahlawan Revolusi

(sumber: merdeka.com)

21
8. Mayor Jendral TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo

22
Profil
Lahir: 28 Agustus 1922di Kebumen,
Jawa Tengah
Meninggal: 1 Oktober 1965 (umur 43)
Lubang Buaya, Jakarta
Tempat peristirahatan:
TMP Kalibata, Jakarta
Pekerjaan: Tentara

Mayor Jendral TNI Anumerta SutoyoSiswomiharjo adalah seorang perwira tinggi


TNI-AD yang diculik dan kemudian dibunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September di
Indonesia. Sutoyo Siswomiharjo yang lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 28 Agustus 1922
termasuk ke dalam salah satu Pahlawan Revolusi 1965.
Kehidupan awal
Sutoyo Siswomiharjo menyelesaikan sekolahnya sebelum invasi Jepang pada tahun 1942,
dan selama masa pendudukan Jepang, ia belajar tentang penyelenggaraan pemerintahan di
Jakarta. Dia kemudian bekerja sebagai pegawai pemerintah di Purworejo, namun
mengundurkan diri pada tahun 1944.
Karier militer
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Sutoyo bergabung ke dalam bagian Polisi Tentara
Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. Hal ini kemudian menjadi
Polisi Militer Indonesia. Pada Juni 1946, ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto,
komandan Polisi Militer. Ia terus mengalami kenaikan pangkat di dalam Polisi Militer, dan
pada tahun 1954 ia menjadi kepala staf di Markas Besar Polisi Militer. Dia memegang posisi
ini selama dua tahun sebelum diangkat menjadi asisten atase militer di kedutaan besar
Indonesia di London. Setelah pelatihan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di

23
Bandung dari tahun 1959 hingga 1960, ia diangkat menjadi Inspektur Kehakiman Angkatan
Darat, kemudian karena pengalaman hukumnya, pada tahun 1961 ia menjadi inspektur
kehakiman/jaksa militer utama.
Kematian
Sama seperti Pahlawan Revolusi lainnya, Sutoyo Siswomiharjo meninggal saat terjadinya
Gerakan 30 September 1965. Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, anggota Gerakan 30
September yang dipimpin oleh Sersan Mayor Surono masuk ke dalam rumah Sutoyo di Jalan
Sumenep, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka masuk melalui garasi di samping rumah. Mereka
memaksa pembantu untuk menyerahkan kunci, masuk ke rumah itu dan mengatakan bahwa
Sutoyo telah dipanggil oleh Presiden Soekarno. Mereka kemudian membawanya ke markas
mereka di Lubang Buaya. Di sana, dia dibunuh dan tubuhnya dilemparkan ke dalam sumur
yang tak terpakai. Seperti rekan-rekan lainnya yang dibunuh, mayatnya ditemukan pada 4
Oktober dan dia dimakamkan pada hari berikutnya. Dia secara anumerta dipromosikan
menjadi Mayor Jenderal dan menjadi Pahlawan Revolusi.
Sutoyo Siswomiharjo meninggal di Lubang Buaya, Jakarta pada 1 Oktober 1965 saat berusiar
43 tahun, Beliau menjadi Pahlawan Revolusi pada 5 Oktober 1965 atas Keppres No.
111/KOTI/1965.
Pendidikan:
Balai Pendidikan Pegawai Negeri Jakarta
AMS
HIS
Karir:
Kepala Organisasi Resimen II PT (Polisi Tentara) Purworejo, 1946
Kepala Staf CPMD Yogyakarta, 1948-1949
Komandan Batalyon I CPM, 1950
Danyon V CPM, 1951
Kepala Staf MBPM, 1954
Pamen diperbantukan SUAD I, 1955-1956
Asisten ATMIL di London, 1956
Berpangkat Kolonel dan menjabat sebagai IRKEHAD, 1961Berpangkat Brigjen, 1964
Penghargaan
Pahlawan Revolusi
9. Karel Satsuit Tubun

24
Profil
Nama Lengkap: Karel Satsuit Tubun
Alias: Karel satsuit tubun
Tempat Lahir: Tual, Maluku Tenggara,
Tanggal Lahir: Minggu, 14 Okt 1928

Karel Satsuit Tubun atau disebut juga K.S Tubun merupakan salah satu pahlawan
revolusi, pahlawan yang ikut menjadi korban G30SPKI pada 1965. Dia dilahirkan di Tual,
Maluku Tenggara tanggal 14 Oktober 1928. Karel Satsuit Tubun dijadikan Pahlawan
Revolusi pada 5 Oktober 1965 dengan Keppres No. 114/KOTI/1965.

Pada tahun 1941 Karel lulus dari Sekolah Dasar dan langsung mendaftarkan diri di
Kepolisian. Setamat mengikuti pendidikan kepolisian, Karel diangkat menjadi polisi dengan
pangkat AIP (Agen Polisi Tingkat) II dan kemudian ditempatkan dalam kesatuan Brigade
Mobil (Brimob) di Ambon. Karel kemudian dipindahtugaskan ke Jakarta.
Di Jakarta dia ikut dalam operasi militer di Irian ketika pembebasan irian barat dari Belanda.
Setelah keberhasilan tersebut dia diberi tugas untuk mengawal kediaman wakil perdana
menteri Dr. J.Leiman yang membuat pangkatnya naik menjadi Brigadir Polisi.
Karel Satsuit Tubun menjadi salah satu korban PKI ketika dia menjaga rumah Dr.J. Leiman.
Pada waktu itu PKI merasa terancam dan menganggap para Pimpinan Angkatan Darat
sebagai penghalang utama cita cita mereka. Maka PKI merencanakan untuk melakukan
penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah Perwira Angkatan Darat yang dianggap
membahayakan rencana operasi mereka. Dan salah satu sasarannya adalah Jenderal A.H.
Nasution yang bertetangga dengan rumah Dr.J. Leimena yang dijaga oleh K.S. Tubun.
Saat Gerakan itu dimulai, Karel Satsuit Tubun sedang kebagian tugas jaga pagi, maka ia
menyempatkan diri untuk tidur. Para penculik pun datang, pertama-tama mereka menyekap
Para Pengawal rumah Dr.J. Leimena. Karena mendengar suara gaduh maka K.S.Tubun pun
terbangun dengan membawa senjata ia mencoba menembak para gerombolan PKI tersebut.

25
Malang, gerombolan itu pun juga menembaknya. Karena tidak seimbang K.S.Tubun pun
tewas seketika setelah peluru pasukan PKI menembus tubuhnya.

Atas segala jasa-jasanya selama ini, serta turut menjadi korban Gerakan 30 September
maka pemerintah memasukannya sebagai salah satu Pahlawan Revolusi Indonesia, bersama
dengan Jenderal Ahmad Yani, Letjen R. Suprapto, Letjen M.T. Haryono, Letjen S.
Parman, Mayjen Sutoyo, Mayjen D.I. Pandjaitan, Brigjen Katamso, Kolonel
Sugionodan Kapten CZI Pierre Tendean. Selain itu pula pangkatnya dinaikkan menjadi Ajun
Inspektur Dua Polisi. Namanya juga kini diabadikan menjadi nama sebuah Kapal Perang
Republik Indonesia dari fregat kelas Ahmad Yani dengan nama KRI Karel Satsuit Tubun
(356).

KARIR
Anggota Polri

Polisi Brimob Pangkat Agen Polisi Kelas Dua

Polisi Brimob Pangkat Agen Polisi Kelas Satu

Polisi Brimob Brigadir Polisi

Polisi Pangkat Ajun Inspektur Dua Polisi.

PENGHARGAAN
Pahlawan Revolusi pada tanggal 5 Oktober 1965.

26
10. Brigadir Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan

Profil
Nama Lengkap: Donald Isaac Panjaitan
Alias : D.I. Panjaitan
Agama : Islam
Tempat Lahir : Balige, Tapanuli
Tanggal Lahir : Selasa, 9 Juni 1925
Warga Negara : Indonesia

Brigadir Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir di Balige,


Sumatera Utara, 9 Juni 1925 dan meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada
umur 40 tahun. beliau adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia. Ia dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta
Beliau mendapatkan pendidikan formal dari SD hingga kuliah di Associated
Command and General Staff College, Amerika Serikat. Selama masih di Indonesia, ia sempat
menjadi anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau dan membentuk Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) yang kemudian berubah menjadi TNI. Ia menduduki jabatan sebagai komandan
batalyon di TKR yang kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di
Bukittinggi pada tahun 1948. Setelah itu, ia menjadi Kepala Staff Umum IV (Supplay)
Komandemen Tentara Sumatra.
Ketika Agresi Militer Belanda ke II terjadi beliau berhasil meraih posisi sebagai
Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Setelah
Agresi Militer Belanda II berakhir, ia diangkat kembali menjadi Kepala Staf Operasi Tentara

27
dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan yang selanjutnya di pindahkan ke palembang
menjadi Kepala Staf T&T II/Sriwijaya.
Kepulangan Panjaitan ke Indonesia membuat suatu gebrakan besar, yakni dengan
membongkar rahasia PKI akan pengiriman senjata dari Republik Rakyat China yang
dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan . Senjata-senjata tersebut diperkirakan akan
digunakan oleh PKI untuk melancarkan aksi pemberontakan.
Dengan terbongkarnya rahasisa pengiriman senjata tersebut maka pihak PKI marah.
Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekelompok anggota Gerakan 30 September datang ke rumah
Panjaitan. Ketika Panjaitan berusaha untuk melarikan diri, ia tertembak oleh anggota PKI dan
meninggal. Mayatnya dibawa dan dibuang di Lubang BUaya. Pada tanggal 4 Oktober, mayat
Panjaitan diambil dan dimakamkan secara layak di TMP Kalibata, Jakarta. Berkat
keberaniannya membela negara, Donald Isaac Panjaitan diangkat menjadi Pahlawan Revolusi
pada 5 Oktober 1965 dengan Keppres No. 111/KOTI/1965.
Donald Isaac Panjaitan meninggalkan istri Alm Marieke Pandjaitan br Tambunan, dan
enam Anak yakni: Catherine Pandjaitan, Masa Arestina, Ir (Ing) Salomo Pandjaitan, Letnan
Jendral (Purn) Hotmangaraja Panjaitan, Tuthy Kamarati Pandjaitan, dan Riri Budiasri
Pandjaitan.

Pendidikan
SD, SMP, dan SMA di Indonesia
Associated Command and General Staff COllege, Amerika Serikat
Karir
Komandan batalyon di TKR
Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948
Kepala Staff Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatra.
Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan
Kepala Staf T&T II/Sriwijaya di Palembang
Penghargaan
Pahlawan Revolusi Indonesia
(sumber: merdeka.com dan Wikipedia bahasa Indonesia)

28
29

You might also like