Professional Documents
Culture Documents
Home
Posts RSS
Comments RSS
Edit
Anggapan lainnya, bahwa kini makin banyak perusahaan sekarang telah berupaya
memperhatikan pelaksanaan program kepentingan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR)
dalam kegiatan kepedulian dan kedermawanan sosial terhadap masyarakat tersebut, tetapi secara
praktik terdapat program kepedulian sosial perusahaan yang hanya bersifat secara fungsional
atau instrumental. Artinya, pelaksanaan kepedulian terhadap tanggung jawab sosial perusahaan
sekarang yang masih banyak berpandangan atau menganggap bahwa pelaksanaan CSR tersebut
hanya bersifat sekadar sebagai aksesoris belaka dari suatu kegiatan pemanis program public
relations, dan tujuan lain yang sesungguhnya program CSR adalah sebagai sarana untuk
memaksimalkan profit yang menjadi target utama dalam kegiatan bisnisnya, maka program CSR
telah dicanangkan tersebut bukanlah merupakan program prioritas utama atau secara integral
yang merupakan sebagai bagian prioritas utama dalam kegiatan bisnis inti suatu perusahaan.
Bahkan kini, ada juga pihak perusahaan-perusahaan tertentu secara tegas untuk berpartisipasi
menolak melaksanakan program CSR, karena dianggap dapat mengurangi pendapatan
keuntungan, karena akan menambah menjadi beban berat bagi perusahaan yang bersangkutan,
dan apalagi harus diatur mengenai pelaksanaan kewajiban program CSR ke dalam peraturan per
-UU-an.
1. Pengertian 3-P (Triple bottom line)
Sebetulnya untuk merumuskan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang menjadi bagian
dari keberhasilan kegiatan bisnis utamanya adalah melalui triple bottom line, menurut John
Elkington dalam buku Canibal with forks: The Triple Buttom Line in 21st Century Business
(1997), yaitu dikembangkan melalui suatu konsep economical prosperty (nilai harta kekayaan
ekonomi), environmental quality (kualitas lingkungan hidup) , and social justice (keadilan
sosial). Perkembangan tiga konsep tersebut yang selanjutnya terkenal dengan istilahFormula
3-P, yaitu terdiri unsur-unsur; people (kepedulian perusahaan terhadap tanggung jawab sosial-
masyarakat) , profit (berupaya mencari atau mencapai keuntungan bagi perusahaan), dan planet
safe (kemampuan perusahaan demi menjaga kelestarian alam/bumi).
Perpaduan dari pengertian 3-P yang merupakan prinsip dari konsep dasar corporate social
responsibility (CSR), dan bagaimana pihak perusahaan yang akan melaksanakan program
tanggung jawab sosial tersebut terdapat dua bentuk konsep, yaitu
Pertama: Melalui program philantrophy (filantropi) atau kedermawanan perusahaan, dan dengan
memfasilitasi kegiatannya berbentuk program terencana baik dan dalam jangka panjang, seperti
pelaksanaan program community development(pengembangan komuniti) serta terkait dengan
kegiatan sosial lainnya community empowering (pemberdayaan komuniti) dan hingga community
relationship (membangun hubungan komuniti yang baik).
Dalam arti yang lainnya secara luas adalah pihak perusahaan yang memiliki program filantropi
yang terencana tersebut mengarah pada investasi sosial (corporate social investment-CSI) dan
hingga mampu meningkatkan dan penguatan masyarakat atau pengembangan komuniti
(community development) yang sekaligus sebagai program modal sosial (social capital) terhadap
kepedulian pembangunan sosial masyarakat yang berkelanjutan.
Kedua: adalah program jangka pendek, yaitu disebut dengan charity (karitas) yang tidak selalu
terencana baik dan hanya bersifat spontanitas, yaitu bentuk program bersifat charity (karitas),
yaitu bersifat memberikan bantuan amal, berbentuk jangka pendek dan biasanya untuk
kebutuhan mendesak untuk mengatasi kendala-kendala sosial yang bentuk program
kepeduliannya sesaat (spontanitas), dan secara mendesak(immediate relief to some lack or
need). Misalnya, program untuk membantu meringankan beban penderitaan para korban sebagai
akibat dari bencana alam atau ingin membantu kehidupan golongan masyarakat yang sangat
miskin.
2. Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya
peseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan
kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksisesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Maka dengan demikian wujud tanggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya telah
tercermin dari pajak yang dipungut oleh negara, salah satunya alokasi dana diperuntukan demi
kepentingan pembangunan kesejahteraan masyarakat atau tanggung jawab sosial yang
seharusnya dikelola oleh pihak pemerintah.Bahkan pihak KADIN (Kamar Dagang dan Industri
Indonesia) termasuk tidak setuju atau secara terbuka menentang keras adanya kewajiban CSR
(Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) yang tertuang dalam pasal 74, yaitu alasannya disatu sisi
CSR merupakan tanggung jawab sukarela, tetapi disisi lainnya bersifat Mandatoris atau
memaksa (kewajiban) bagi setiap perusahaan untuk melaksanakan program CSR tersebut (Media
Indonesia, 04/02/2009), maka Kadin, termasuk Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia)
dan Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) telah bersama-sama mengajukan permohonan uji
material pasal 74 tersebut kepada MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyangkut UU N0.
40/2007 tentang Perseroan Terbatas, mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan yang wajib
dilakukan korporat tersebut harus dicabut, kata Wakil Ketua Umum Kadin, Bidang Kebijakan
Publik, Perpajakan dan Kepabeaan Sistem Fiskal dan Moneter, Haryadi B. Sukamdani.
Menurut alasan Hariyadi, pengaturan program CSR tersebut menimbulkan ketidakpastian
hukum, bersifat diskriminatif, dan membuat iklim usaha menjadi tidak efisien serta tidak adil,
artinya pasal 74, UU No. 40/2007 tersebut merupakan materi hukum materiil yang mengatur
kewajiban perseroan dan dapat memberikan sanksi bagi pihak yang melanggarnya dan hal-hal
yang memberatkan inilah perlu dilakukan uji material untuk mencabutnya dari UU perseroan
baru tersebut.
"Kewajiban perusahaan adalah berusaha semaksimal untuk mencari keuntungan sebanyak-
banyaknya, dan kemudian berkewajiban membayar pajak kepada pemerintah. Dengan
membayar uang pajak tersebut dipergunakan untuk mensejahterakan masyarakat, dan hal
pelaksanaan CSR tersebut sudah menjadi kewajiban pemerintah, bukan digeser ke setiap
perusahaan, tegas Haryadi. Selanjutnya, berdasarkan penelitian dan referensi pihak Kadin,
tidak ada satu negara di dunia-pun kecuali pemerintah Indonesia yang memasukan kewajiban
pelaksanaan program CSR bagi perusahaan, alasan keberatan Haryadi dalam sidang Pleno
pertama uji material pasal 74, UU No. 40/2007 di Gedung MK, Jakarta (03/02/09).
Namun pada akhir MK tetap menolak Uji Material (Judical Review) mengenai pasal 74, ayat
1, 2 dan 3 yang mewajibkan pelaksanaan Program CSR bagi perusahaan, khususnya
bergerak dibidang sumber daya alam yang telah diajukan oleh Wakil Ketua Umum Kadin
tersebut (Koran Tempo, 16 April 2009), karena program CSR tidak bertentangan dengan
pasal 33, UUD '45 dan "Majelis melindungi hak konstitusional warga yang berada
dilingkungan perusahaan dengan mewajibkan perusahaan yang diuntungkan untuk
membagi kekayaannya untuk kemakmuran rakyat," ujar Mahfud MD di Jakarta.
Kemudian yang Kedua, dampak buruk dari demi komersialisasi atau keserakahan dari
prilaku dunia usaha yang berkelakuan tidak etis tersebut telah banyak merusak
kehidupan sosial atau mencemari lingkungan alam sekitarnya, bahwa kini kesadaran
sosial-masyakat tersebut berbalik menuntut dunia usaha yang seharusnya memiliki rasa
tanggung jawab moral dan sosial. Jika kenyataannya banyak dilanggar oleh perusahaan
raksasa bersangkutan dan dampaknya banyak yang gulung tikar sebagai akibat telah
mengabaikan kekuatan sosial yang menghukumnya, dengan seringnya terjadi demonstrasi
publik yang memprotes prilaku negatif perusahaan baik secara internal atau eksternal,
dan produknya akan disabotase atau diblokir publiknya karena melakukan pencemaran,
menggunakan bahan kimia berbahaya atau polusi udara. Sebagai akibatnya akan
menimbulkan ketidakpuasan pekerjanya terhadap lingkungan pekerjaan yang tidak
nyaman serta iklim bekerja kurang kondusif, dan dampaknya dapat menjerumuskan
terjadinya kebankrutan perusahaan atau pemailitan usaha.
Ketiga, bentuk proses evolusi perusahaan dari tahapan kepemilikan pribadi yang berubah
menjadi milik publik, artinya secara tidak langsung perusahaan tidak lagi sekedar institusi
bisnis belaka, tetapi telah berubah menjadi institusi sosial, dan konsekuensinya perubahan
perusahaan tersebut sebagai institusi sosial tidak lagi selalu berorientasi mencari
keuntungan secara sepihak, dan secara berimbang bahwa perusahaan yang bersangkutan
untuk dituntut harus mampu memenuhi kewajiban tanggung jawab sosialnya sebagai
kegiatan prioritas utama dalam rencana investasi perusahaan. Sesuai dengan konsep
mainstream mengenai pelaksanaan CSR yang diajukan oleh World Bank Group yang
menyatakan, bahwa pengertian CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan merupakan
komitmen bisnis untuk dapat memberikan konstribusi bagi pembangunan ekonomi
berkelanjutan, melalui kerja sama dengan karyawan serta pewakilannya, keluarga karyawan,
komuniti setempat dan hingga masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas hidup, dengan
cara pihak perusahaan yang bermanfaat baik dari aspek bisnisnya maupun demi kepentingan
sosial dan pembangunan perekonomian yang berkelanjutan (sustainability economic
development).
Label: csr
0 komentar:
Poskan Komentar
Analog Clock
Daily Calendar
Blog Archive
2012 (2)
2011 (21)
2010 (50)
DEFINISI HUMAS
MEDIA RELATIONS
press tour
press release
SEJARAH HUMAS
SALES PROMOTION
CSR
2009 (8)
my friends
IISIP JAKARTA
owner
renie
jakarta, Indonesia
halo everyone,,,,it's me reni mahasiswa iisip jakarta anggkatan 2008 welcome to my
blog..
Lihat profil lengkapku
Labels
csr (3)
Komunikasi (37)
psikologi (1)