You are on page 1of 12

Renie's Weblog . .

Home

Posts RSS

Comments RSS

Edit

Selasa, 02 November 2010

TANTANGAN PRO dan KONTRA PROGRAM CSR

Anggapan lainnya, bahwa kini makin banyak perusahaan sekarang telah berupaya
memperhatikan pelaksanaan program kepentingan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR)
dalam kegiatan kepedulian dan kedermawanan sosial terhadap masyarakat tersebut, tetapi secara
praktik terdapat program kepedulian sosial perusahaan yang hanya bersifat secara fungsional
atau instrumental. Artinya, pelaksanaan kepedulian terhadap tanggung jawab sosial perusahaan
sekarang yang masih banyak berpandangan atau menganggap bahwa pelaksanaan CSR tersebut
hanya bersifat sekadar sebagai aksesoris belaka dari suatu kegiatan pemanis program public
relations, dan tujuan lain yang sesungguhnya program CSR adalah sebagai sarana untuk
memaksimalkan profit yang menjadi target utama dalam kegiatan bisnisnya, maka program CSR
telah dicanangkan tersebut bukanlah merupakan program prioritas utama atau secara integral
yang merupakan sebagai bagian prioritas utama dalam kegiatan bisnis inti suatu perusahaan.
Bahkan kini, ada juga pihak perusahaan-perusahaan tertentu secara tegas untuk berpartisipasi
menolak melaksanakan program CSR, karena dianggap dapat mengurangi pendapatan
keuntungan, karena akan menambah menjadi beban berat bagi perusahaan yang bersangkutan,
dan apalagi harus diatur mengenai pelaksanaan kewajiban program CSR ke dalam peraturan per
-UU-an.
1. Pengertian 3-P (Triple bottom line)
Sebetulnya untuk merumuskan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang menjadi bagian
dari keberhasilan kegiatan bisnis utamanya adalah melalui triple bottom line, menurut John
Elkington dalam buku Canibal with forks: The Triple Buttom Line in 21st Century Business
(1997), yaitu dikembangkan melalui suatu konsep economical prosperty (nilai harta kekayaan
ekonomi), environmental quality (kualitas lingkungan hidup) , and social justice (keadilan
sosial). Perkembangan tiga konsep tersebut yang selanjutnya terkenal dengan istilahFormula
3-P, yaitu terdiri unsur-unsur; people (kepedulian perusahaan terhadap tanggung jawab sosial-
masyarakat) , profit (berupaya mencari atau mencapai keuntungan bagi perusahaan), dan planet
safe (kemampuan perusahaan demi menjaga kelestarian alam/bumi).
Perpaduan dari pengertian 3-P yang merupakan prinsip dari konsep dasar corporate social
responsibility (CSR), dan bagaimana pihak perusahaan yang akan melaksanakan program
tanggung jawab sosial tersebut terdapat dua bentuk konsep, yaitu
Pertama: Melalui program philantrophy (filantropi) atau kedermawanan perusahaan, dan dengan
memfasilitasi kegiatannya berbentuk program terencana baik dan dalam jangka panjang, seperti
pelaksanaan program community development(pengembangan komuniti) serta terkait dengan
kegiatan sosial lainnya community empowering (pemberdayaan komuniti) dan hingga community
relationship (membangun hubungan komuniti yang baik).
Dalam arti yang lainnya secara luas adalah pihak perusahaan yang memiliki program filantropi
yang terencana tersebut mengarah pada investasi sosial (corporate social investment-CSI) dan
hingga mampu meningkatkan dan penguatan masyarakat atau pengembangan komuniti
(community development) yang sekaligus sebagai program modal sosial (social capital) terhadap
kepedulian pembangunan sosial masyarakat yang berkelanjutan.
Kedua: adalah program jangka pendek, yaitu disebut dengan charity (karitas) yang tidak selalu
terencana baik dan hanya bersifat spontanitas, yaitu bentuk program bersifat charity (karitas),
yaitu bersifat memberikan bantuan amal, berbentuk jangka pendek dan biasanya untuk
kebutuhan mendesak untuk mengatasi kendala-kendala sosial yang bentuk program
kepeduliannya sesaat (spontanitas), dan secara mendesak(immediate relief to some lack or
need). Misalnya, program untuk membantu meringankan beban penderitaan para korban sebagai
akibat dari bencana alam atau ingin membantu kehidupan golongan masyarakat yang sangat
miskin.

2. Penolakan Perusahaan Terhadap Kewajiban UU-CSR


Bertolak belakang dengan pandangan tersebut diatas, dan kemudian muncul pemikiran yang
mengkaitkan tentang penolakan kepentingan dunia usaha dengan kewajiban tanggung jawab
sosialnya secara langsung. Jika perusahaan yang pendekatannya adalah mencari keuntungan
sebesar-besarnya dan diminta untuk memberikan konstribusi secara langsung demi kesejahteraan
sosial (public well being), atau pengertian lainya kegiatan CSR yang sebelumnya adalah bersifat
sukarela (voluntary), dan perkembangan kini bersifat menjadi suatu kewajiban yang mengikat
(mandatory atau obligatory responsibility). Argumen pihak yang mewajibkan, yaitu merupakan
suatu konsep yang berarti program CSR harus untuk dilaksanakan (mandatory). Sebaliknya,
pihak-pihak menyatakan tanggung jawab pelaksanaan CSR tersebut hanya sebagai kegiatan
sukarela (voluntary) yang sebetulnya adalah contadictioin-terminis atau merupakan
pertentangan istilah?. Perkembangan wacana terkini yang nampaknya tengah
menempatkan kubu pengusaha dengan pendekatan voluntarydi posisi terdepan, maka argumen
dikemukakan tersebut demi menciptakan iklim usaha yang kompetitif, dan dengan
dikembangkan berbagai standar program CSR yang dapat diadopsi secara sukarela oleh setiap
perusahaan tanpa paksaaan kewajiban melalui peraturan pemerintah yang mengikat.
Sedangkan kubu pengusaha pendukung CSR yang bersifat mandatory (kewajiban yang
mengikat) yang tengah memperjuangkan keterlibatan seluruh manajemen perusahaan melalui
kewajiban peraturan hukum, yang berarti sebagai bentukcorporate accountability movement.
Lain halnya dengan mengkritik pandangan CSR voluntarisme, yang berpendirian bahwa
perusahaan dapat melaksanakan semaunya untuk memilih melakukan atau tidak melakukan sama
sekali mengenai program CSR. Pada hal, yang dimaksudkan voluntarisme tersebut sebagai upaya
melampaui regulasi, yang berarti seluruh regulasi baik secara lokal, nasional maupun
internasional harus dipatuhi dahulu, dan biasanya regulasi tersebut sifatnya penetapan batas
minimum yang dapat diterima, karena kepatuhan perusahaan pada regulasi merupakan batas
CSR minimum.
Disamping itu, masih terjadi wacana, penolakan keras dari kalangan pelaku bisnis beraliran
kapitalisme yang selama ini perusahaan beranggapan merasa telah patuh membayar pajak
kepada pemerintah, dan seharusnya tidak perlu lagi memperhatikan atau bahkan dapat menolak
memberikan dana sumbangan wajib terhadap pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan
(CSR) terhadap kesejahteraan sosial masyarakat, apa lagi harus diatur melalui peraturan per-UU
atau hukum yang mewajibkan memberikan sumbangan dengan presentase tertentu dari nilai
profit atau komponen biaya lainnya (biaya promosi atau operasional) yang dipotong khusus demi
sumbangan pelaksanaan program CSR tersebut.
Hal ini, menurut pernyataan Thurow, menulis buku berjudul The Future of Capitalism
(1966), yang beralasan untuk menolak CSR, yaitu berbunyi; There is no social must in
capitalim.Artinya, tidak ada namanya aspek sosial dalam pandangan kapitalisme. Bahkan
pandangan penolakan pihak perusahaan terhadap berkewajiban dalam pelaksanaan CSR tersebut
didukung oleh pendapat pakar bisnis, Peter F. Drucker dalam bukunya The Corporation (2004),
yang sala h satu pendapatnya menyatakan bahwa kewajiban CSR adalah sebagai tindakan
amoral, dan Jika anda menemui seorang eksekutif di perusahaan yang berniat ingin
menjalankan tanggung jawab sosial, dan pecat dia segera. Alasannya, bahwa perusahaan
tersebut milik pemegang saham, dan kepentingannya adalah demi keuntungan pemegang saham,
yaitu para eksekutif bertindak atau wajib memaksimalkan laba yang sebanyak-banyaknya, dan
pendapat inilah didukung oleh Milton Friedman (1990) yang terkenal dengan pemeo The
business of business is business yang sekaligus merupakan pandangan imperatif dari bentuk
moral bisnis secara sepihak.
Selanjutnya friedman (1990) menyatakan secara keras bahwa,there is one and only one social
responsibility in business, to use its resources and engage in activities designed to increase its
profits. Sesungguhnya CSR bukanlah menjadi tanggung jawab perusahaan, dan kegiatan bisnis
yang dirancang khusus adalah menambah keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sebab, tugas
untuk tanggung jawab sosial dan kelestarian lingkungan tersebut merupakan amanah yang hanya
dibebankan ke pihak pemerintah yang selama ini telah memungut pajak terhadap perusahaan-
perusahaan.
Pandangan mengenai penolakan CSR tersebut, maka bagi para pengusaha nasional adalah
sebagai konsekuensi wajar selain dari pengaruh pandangan perusahaan, baik
berbentuk kapitalismemaupun voluntarisme yang menolak pelaksanaan kewajiban CSR, dan
sekaligus penolakan terhadap pemberlakuan kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan dan
lingkungan alam yang tercantum pada pasal 74 dalam UU PT baru (UU No. 40/2007, tentang
Peseroan Terbatas) yang telah disahkan pada medio Juli 2007, dan khususnya secara nasional
pemberlakuannya tahun depan (2008) setelah PP-nya keluar, dan akan dikenakan bagi
perusahaan-perusahaan yang selama ini bergerak bidang pengelolaan sumber daya alam (SDA).
Seharusnya, kalau mau adil adalah dapat diberlakukan hal sama pada perusahaan yang selama ini
menjadi musuh publik atau memiliki resiko tinggi, seperti perusahaan-perusahaan bergerak
bidang industri rokok, industri layanan jasa angkutan umum, perumahan atau properti termasuk
pabrik/industri peralatan mesin, otomotif, PLTU/PLTN, SPBU (Pelayanan Pompa bensin), kimia
serta jasa layanan jalan lintas cepat tol-way yang selama ini telah terbukti banyak menciptakan
polusi atau pencemaran udara, atau perusahaan yang berindikasi tidak bersahabat dengan
lingkungan kehidupan sosial dan alam sekitarnya.
Milton Friedman (1990), dalam bukunya; Business Ethic, Reading and Cases in Corporate
Moralities, yaitu telah mengungkapkan, What does it mean to say that business has
responsibility?. Only people can have responsibility, and a corporation is an artificial person
and this sense may have artificial responsibilities. Asumsi Friedman tersebut yang secara
implisit menjelaskan bahwa keberadaan perusahaan nasional atau milik asing yang seharusnya
tidak diperlukan lagi untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), karena
selama ini telah diwakilkan kepada negara melalui pajak-pajak atau pungutan resmi yang telah
dibayar mahal secara periodik.
Bunyi Pasal 74, UU PT baru (UU PT No. 40/2007), yang disahkan medio Juli 2007, yaitu
Berkaitan dengan kewajiban melaksanakan tanggung jawab perusahaan (corporate social
responsibility) sebagai berikut bunyinya:

1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaiitan dengan


dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan
lingkungan.

2. Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya
peseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan
kewajaran.

3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksisesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Maka dengan demikian wujud tanggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya telah
tercermin dari pajak yang dipungut oleh negara, salah satunya alokasi dana diperuntukan demi
kepentingan pembangunan kesejahteraan masyarakat atau tanggung jawab sosial yang
seharusnya dikelola oleh pihak pemerintah.Bahkan pihak KADIN (Kamar Dagang dan Industri
Indonesia) termasuk tidak setuju atau secara terbuka menentang keras adanya kewajiban CSR
(Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) yang tertuang dalam pasal 74, yaitu alasannya disatu sisi
CSR merupakan tanggung jawab sukarela, tetapi disisi lainnya bersifat Mandatoris atau
memaksa (kewajiban) bagi setiap perusahaan untuk melaksanakan program CSR tersebut (Media
Indonesia, 04/02/2009), maka Kadin, termasuk Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia)
dan Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) telah bersama-sama mengajukan permohonan uji
material pasal 74 tersebut kepada MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyangkut UU N0.
40/2007 tentang Perseroan Terbatas, mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan yang wajib
dilakukan korporat tersebut harus dicabut, kata Wakil Ketua Umum Kadin, Bidang Kebijakan
Publik, Perpajakan dan Kepabeaan Sistem Fiskal dan Moneter, Haryadi B. Sukamdani.
Menurut alasan Hariyadi, pengaturan program CSR tersebut menimbulkan ketidakpastian
hukum, bersifat diskriminatif, dan membuat iklim usaha menjadi tidak efisien serta tidak adil,
artinya pasal 74, UU No. 40/2007 tersebut merupakan materi hukum materiil yang mengatur
kewajiban perseroan dan dapat memberikan sanksi bagi pihak yang melanggarnya dan hal-hal
yang memberatkan inilah perlu dilakukan uji material untuk mencabutnya dari UU perseroan
baru tersebut.
"Kewajiban perusahaan adalah berusaha semaksimal untuk mencari keuntungan sebanyak-
banyaknya, dan kemudian berkewajiban membayar pajak kepada pemerintah. Dengan
membayar uang pajak tersebut dipergunakan untuk mensejahterakan masyarakat, dan hal
pelaksanaan CSR tersebut sudah menjadi kewajiban pemerintah, bukan digeser ke setiap
perusahaan, tegas Haryadi. Selanjutnya, berdasarkan penelitian dan referensi pihak Kadin,
tidak ada satu negara di dunia-pun kecuali pemerintah Indonesia yang memasukan kewajiban
pelaksanaan program CSR bagi perusahaan, alasan keberatan Haryadi dalam sidang Pleno
pertama uji material pasal 74, UU No. 40/2007 di Gedung MK, Jakarta (03/02/09).
Namun pada akhir MK tetap menolak Uji Material (Judical Review) mengenai pasal 74, ayat
1, 2 dan 3 yang mewajibkan pelaksanaan Program CSR bagi perusahaan, khususnya
bergerak dibidang sumber daya alam yang telah diajukan oleh Wakil Ketua Umum Kadin
tersebut (Koran Tempo, 16 April 2009), karena program CSR tidak bertentangan dengan
pasal 33, UUD '45 dan "Majelis melindungi hak konstitusional warga yang berada
dilingkungan perusahaan dengan mewajibkan perusahaan yang diuntungkan untuk
membagi kekayaannya untuk kemakmuran rakyat," ujar Mahfud MD di Jakarta.
Kemudian yang Kedua, dampak buruk dari demi komersialisasi atau keserakahan dari
prilaku dunia usaha yang berkelakuan tidak etis tersebut telah banyak merusak
kehidupan sosial atau mencemari lingkungan alam sekitarnya, bahwa kini kesadaran
sosial-masyakat tersebut berbalik menuntut dunia usaha yang seharusnya memiliki rasa
tanggung jawab moral dan sosial. Jika kenyataannya banyak dilanggar oleh perusahaan
raksasa bersangkutan dan dampaknya banyak yang gulung tikar sebagai akibat telah
mengabaikan kekuatan sosial yang menghukumnya, dengan seringnya terjadi demonstrasi
publik yang memprotes prilaku negatif perusahaan baik secara internal atau eksternal,
dan produknya akan disabotase atau diblokir publiknya karena melakukan pencemaran,
menggunakan bahan kimia berbahaya atau polusi udara. Sebagai akibatnya akan
menimbulkan ketidakpuasan pekerjanya terhadap lingkungan pekerjaan yang tidak
nyaman serta iklim bekerja kurang kondusif, dan dampaknya dapat menjerumuskan
terjadinya kebankrutan perusahaan atau pemailitan usaha.

Ketiga, bentuk proses evolusi perusahaan dari tahapan kepemilikan pribadi yang berubah
menjadi milik publik, artinya secara tidak langsung perusahaan tidak lagi sekedar institusi
bisnis belaka, tetapi telah berubah menjadi institusi sosial, dan konsekuensinya perubahan
perusahaan tersebut sebagai institusi sosial tidak lagi selalu berorientasi mencari
keuntungan secara sepihak, dan secara berimbang bahwa perusahaan yang bersangkutan
untuk dituntut harus mampu memenuhi kewajiban tanggung jawab sosialnya sebagai
kegiatan prioritas utama dalam rencana investasi perusahaan. Sesuai dengan konsep
mainstream mengenai pelaksanaan CSR yang diajukan oleh World Bank Group yang
menyatakan, bahwa pengertian CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan merupakan
komitmen bisnis untuk dapat memberikan konstribusi bagi pembangunan ekonomi
berkelanjutan, melalui kerja sama dengan karyawan serta pewakilannya, keluarga karyawan,
komuniti setempat dan hingga masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas hidup, dengan
cara pihak perusahaan yang bermanfaat baik dari aspek bisnisnya maupun demi kepentingan
sosial dan pembangunan perekonomian yang berkelanjutan (sustainability economic
development).

4. Mitra Kerja Sama dan Pelaporan Kinerja Program CSR


Untuk menyukseskan pelaksanaan konsep CSR tersebut harus diperlukan koordinasi dan kerja
sama melalui bentuk partnership (kemitraan) antara stakeholder yang erat dengan keterlibatan
dari tiga unsur pelaku utama sebagai penggerak tanggung jawab sosial perusahaan (Jurnal, CSR-
EBAR. FE-UI, 2006:18. Edisi III. September-Desember), yaitu terdiri dari unsur-unsur; civil
society (masyarakat), government (pemerintah) dan pihakbusiness-man (pelaku usaha). Dalam
contoh kasus pelaksanaan pengawasan kewajiban program CSR tersebut dari pemerintah Inggris
sebagai upaya untuk mendorong kegiatan tanggung jawab sosial bagi perusahaan baik milik
pemerintah maupun swasta, yaitu tahun 2004 melalui peraturan Operating and Financial
Review (OFR) yang mewajibkan bagi perusahaan-perusahaan besar untuk mempublikasikan
mengenai pelaporan kinerja tanggung jawab sosial dan lingkungannya (CSR Publicatian &
Reporting), serta disamping itu pemerintah Inggris mendirikanCSR Academy atau sebagai
perguruan tinggi pertama CSR di Manchester, Inggris untuk mendorong kompetensi CSR
melalui serangkaian program pelatihan dan pendidikan khusus mengenai kegiatan CSR baik
secara praktikal maupun kepentingan kajian ilmiah (Akademik).
Pengungkapan kinerja CSR melalui pelaporan berkelanjutan kini menjadi penting dan terutama
ketika membuat keputusan investasi jangka panjang, dengan melalui pelaporan kinerja CSR
tersebut akan mencerminkan apakah perusahaan telah menjalankan akuntabilitas sosial dan
lingkungan secara optimal atau tidak, yang sekaligus akan terungkap bahwa perusahaan
bersangkutan apakah telah melaksanakan best practice, norma-norma usaha yang sehat, inisiatif,
konsensus dan komitmen usaha yang telah sesuai atau tidak dengan peraturan per-undang-
undangan berlaku. Disamping itu, pihak perusahaan harus bersikap terbuka dan jujur dalam
penyampaian informasi akurat atau pelaporan mengenai program pelaksanaan tanggung jawab
CSR kepada stakeholder-nya.
Biasanya, pelaporan kinerja CSR tersebut akan mengungkapkan profile ringkas tentang visi,
misi, tujuan, sasaran, kebijakan dan hingga perencanaan strategi perusahaan bersangkutan yang
terkait dengan kinerja dari tolok ukur atau parameter bidang ekonomi, lingkungan dan sosial.
Perusahaan yang secara sukses dalam menjalankan program CSR adalah tercermin dengan
memiliki tiga nilai-nilai dasar (core values) yang terdapat di dalam perusahaan yang
bersangkutan, dengan indikator yaitu: (1) aspek ketangguhan ekonomi, (2) tanggung jawab
lingkungan, dan (3) akuntabilitas sosial. Menurut Jurnal eBAR (Economic Business Accounting
Review). Edisi III (2006 : 88-89), maka parameter bagi tolok ukur kinerja pelaksanaan CSR itu
dapat disimak, jika kinerja keuangan suatu perusahaan akan nampak dalam laporan rugi-laba
keuangan secara periodik, dan sedangkan kinerja program CSR dapat dilihat dari laporan
berkelanjutan (sustainability report). Secara praktik dapat menggunakan istilah lainnya, seperti
laporan social report, environmental report, atau social and environtmental report, sesuai
dengan prosedur laporan dari organisasi lembaga GRI (Global Reporting Initiative) yang
merupakan lembaga independen yang berdiri sejak tahun 1977, yang berpusat di Belanda.
Hingga kini Indonesia belum meratifikasi secara resmi atau tidak memiliki standar lembaga GRI
Guidelines secara nasional, tetapi dalam hal ini pihak IAI-KAM (Ikatan Akuntan Indonesia-
Kompartemen Akuntan Manajamen) telah berinisiatif untuk mengadopsi pedoman laporan GRI
tersebut pada pertengahan 2005, dengan mendirikan lembaga independen semacam GRI
Guidelines dengan nama NCSR (National Center fo Sustainable Reporting), dengan misinya
berbunyi yaitu: Menyusun dan menyebarluaskan pedoman laporan berkelanjutan untuk
organisasi atau perusahaan di Indonesia. Diharapkan selanjutnya, sebagai lembaga independen
NCSR yang dapat diakui keberadaan dan kredibilitasnya baik oleh pihak regulator (pemerintah),
serta institusi/lembaga swasta maupun masyarakat.
Seperti contoh kegiatan telah dilakukan oleh IAI-KAM (6-7 September 2007), yang memberikan
motivasi untuk mendorong kepedulian tanggung jawab sosial perusahaan dalam beberapa bentuk
penghargaan, misalnya bertema; Thde Best Social and Environment Reporting Awards 2007,
dan Best Website dalamIndonesia Sustainability Reporting Awrads 2007, serta Social
Empowerment Awards 2007, terhadap kebeberapa perusahaan industri pengelolaan sumber daya
alam dan perusahaan telekomunikasi lainnya, karena proses evaluasi terhadap kegiatan CSR
perusahaan tersebut cukup panjang atau laporannya yang layak dinilai telah berprestasi terbaik
mengenai keberpihakan atas laporan pertumbuhan atau pertanggungjawaban sosial perusahaan.

Labels : free wallpapers wall black weldingmachines


Diposkan oleh renie di 07.21
Reaksi:

Label: csr

0 komentar:

Poskan Komentar

Link ke posting ini

Buat sebuah Link

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda


Langganan: Poskan Komentar (Atom)

SUBSCRIBE RSS feeds

Analog Clock

Daily Calendar

Blog Archive
2012 (2)

2011 (21)

2010 (50)

o 12/05 - 12/12 (4)

o 11/21 - 11/28 (1)

o 11/14 - 11/21 (7)

o 11/07 - 11/14 (22)

o 10/31 - 11/07 (11)

DEFINISI HUMAS

MEDIA RELATIONS

press tour

press release

PR Writing: Teknik Penulisan Humas

SEJARAH HUMAS

TANTANGAN PRO dan KONTRA PROGRAM CSR

MACAM MACAM TEORI KOMUNIKASI

SALES PROMOTION

CSR

KONSEP 6-Program Inisiatif PELAKSANAAN CSR

o 04/18 - 04/25 (5)

2009 (8)

my friends
IISIP JAKARTA

owner

renie
jakarta, Indonesia
halo everyone,,,,it's me reni mahasiswa iisip jakarta anggkatan 2008 welcome to my
blog..
Lihat profil lengkapku

Labels

csr (3)

hubungan manusiawi (3)

Komunikasi (37)

komunikasi dalam organisasi (4)

komunikasi massa (5)

komunikasi politik (2)

komunikasi sosial dan pembangunan (3)

manajemen pemasaran (13)

mau tau.. (3)


MPR (3)

Pengantar ilmu politik (4)

perilaku konsumen (14)

psikologi (1)

publik relations (8)

teori komunikasi (5)

cari buku KLIK aja . .

Masukkan Code ini K1-CB35DA-X


untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com
Copyright 2010 Renie's Weblog . . | Design : Noyod.Com | Images: Fluffy_Fuzzy_Ears |
blogger tree colom free blogger template motor blogger template news |

You might also like