Professional Documents
Culture Documents
Setelah ditunggu sekian lama dan diwarnai berbagai spekulasi, akhirnya Tim
Kelompok Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen
Pekerjaan Umum menjabarkan masterplan tata ruang Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Selasa (1/3). Penjabaran masterplan itu berlangsung dalam sebuah
lokakarya yang bermaksud menjaring aspirasi masyarakat Aceh, di Universitas Syah
Kuala, Banda Aceh.
Wilayah daratan, terutama pantai barat, rusak fisik hingga sejauh empat kilometer dari
garis pantai. Di Kota Banda Aceh, Meulaboh, dan Lhok Nga, garis pantai ikut
bergeser ke daratan. Permukiman dan perkotaan yang umumnya berada di sepanjang
garis pantai rusak hingga 60 persen, sedangkan kerusakan total terjadi pada sepanjang
kota pantai barat (Lhok Nga, Calang, Teunom, Kruet, hingga Meulaboh). Selain itu,
badan jalan (1.614 km) dan jembatan (118 buah) yang mengikuti garis pantai, rusak
berat, khususnya dari Lhok Nga ke arah Calang hingga Meulaboh.
Akibatnya, fungsi kota di Banda Aceh, Meulaboh dan Lhok Seumawe lumpuh.
Kerusakan di pantai barat-yang mengakibatkan hilangnya sentra ekonomi kelautan,
industri semen, perbankan, dan lainnya-menyebabkan kecenderungan melebarnya
kesenjangan antarwilayah (pantai barat dan pantai timur).
Agar kondisi sosial, ekonomi, budaya di NAD bisa berjalan lebih baik, dibutuhkan
persyaratan baru. Persyaratan itu adalah terwujudnya keseimbangan perkembangan
wilayah barat dan timur dan terciptanya kondisi aman di NAD. Kondisi "aman" itu
artinya pengembangan wilayah di situ mutlak mengantisipasi potensi gempa dan
mutlak dilengkapi manajemen bencana (disaster management), seperti early warning
system dan penyediaan fasilitas penyelamatan (vertikal atau horizontal sesuai kondisi
geografis kawasan permukiman). Selain itu, pengembangan kota dilakukan dengan
membangun zona penyangga (buffer zone).
DARI penjabaran di atas, Tim Pokja merumuskan tiga skenario struktur ruang NAD.
Skenario pertama, pusat pertumbuhan utama ditetapkan di pantai utara, timur, dan
tengah (Lhok Seumawe, Takengon, Langsa). Sedangkan wilayah pantai barat tidak
dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan utama untuk mengantisipasi datangnya
kembali bencana tsunami.
Kota-kota yang menjadi pusat pertumbuhan utama dilengkapi zona penyangga dan
manajemen bencana yang berbasis penataan ruang. Pengembangan jaringan
transportasi (jalan, pelabuhan, dan bandara) hanya difokuskan pada jaringan
penghubung wilayah-wilayah pusat pertumbuhan dengan kota di luar NAD seperti
Medan.
Skenario kedua, pusat-pusat pertumbuhan utama tetap seperti kondisi saat ini, yaitu di
pantai utara-timur: Kota Banda Aceh, Sabang, Lhok Seumawe dan Langsa, serta di
pantai barat-selatan kota Meulaboh dan Tapaktuan. Masing-masing kota dilengkapi
dengan zona penyangga, manajemen bencana, dan bila dianggap perlu akan dilakukan
"relokasi terbatas" dengan menggunakan kebijakan atau kearifan lokal.
Dalam skenario ini, kota-kota pertumbuhan akan dilengkapi zona penyangga dan
manajemen bencana. Jaringan jalan akan mengikat wilayah-wilayah pusat
pertumbuhan, tetapi akses terbatas di Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Simeuleu.
Menurut Tim Pokja, pemilihan ketiga alternatif itu dilakukan bersama dengan
masyarakat Banda Aceh, pemerhati, profesional, maupun simpatisan yang prihatin
dengan Aceh melalui pembahasan intensif. Akhirnya, pada 27 Januari, skenario kedua
dipilih menjadi alternatif paling rasional. Alasannya, bencana tsunami merupakan
kehendak Tuhan sehingga harus disikapi rasional.
Jaringan jalan direhabilitasi untuk menjaga keterkaitan antarkota di pantai barat dan
timur. Pelabuhan Malahayati, Ulee Lheue, Meulaboh, Calang dan Lhok Nga serta
bandar udara Cut Nyak Dien diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya.
Skenario ini juga menuntut program relokasi (building relocation program) dan
program adaptasi bangunan tahan gempa (construction practice for earthquake
threats); menyiapkan zoning regulation bagi kawasan permukiman, perdagangan, jasa,
dan perkantoran.
Sedangkan "taman kota" selain untuk penghijauan, juga digunakan sebagai area
penelitian bagi mereka yang tertarik peristiwa tsunami pada 26 Desember 2004 yang
disebut sebagai terdahsyat dalam sejarah itu.
Secara lebih rinci, kawasan zona penyangga terbagi atas: sekitar 300-400 meter dari
bibir pantai diperuntukkan bagi kawasan mangrove, dilanjutkan dengan kawasan
tambak sepanjang 600-700 meter, setelah itu kampung nelayan (600 meter), taman
kota (200-300 meter), baru setelah itu masuk ke zona permukiman terbatas.
Berkaitan dengan tata ruang baru Banda Aceh itu, Pemerintah Kota Banda Aceh akan
membebaskan 440 hektar tanah warga dan berjanji memberi ganti rugi. Ini berkaitan
dengan warga non-nelayan yang sebelumnya bermukim di zona 1, 2, dan 3. Mereka
diharapkan mau direlokasi ke wilayah aman di zona permukiman baru.
Masalah pembebasan tanah ini diperkirakan akan rumit karena banyak warga yang
kehilangan sertifikat tanah sewaktu bencana dan banyak tanah "tak bertuan" karena
seluruh pemiliknya tewas. Pemerintah daerah kini sedang memetakan status
kepemilikan tanah dan membekukan transaksi penjualan tanah untuk menghindari
penyalahgunaan.
Rancangan tata ruang baru itu akan menggusur 8.795 rumah penduduk di zona
penyangga (zona 1, 2, 3) dan akan terjadi alih fungsi atas sawah seluas 128 sampai
268 hektar.
Rancangan tata ruang ini memang belum final, dan pemerintah masih memberi
kesempatan penjaringan aspirasi masyarakat sampai 9 Maret 2005.
Rencananya, pada 26 Maret 2005 masterplan ini akan menjadi konsep final dan
ditetapkan lewat peraturan daerah.
(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/03/Geliat/1596446.htm)