You are on page 1of 4

Rancangan Tata Ruang NAD yang Ditawarkan Pemerintah

Setelah ditunggu sekian lama dan diwarnai berbagai spekulasi, akhirnya Tim
Kelompok Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen
Pekerjaan Umum menjabarkan masterplan tata ruang Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Selasa (1/3). Penjabaran masterplan itu berlangsung dalam sebuah
lokakarya yang bermaksud menjaring aspirasi masyarakat Aceh, di Universitas Syah
Kuala, Banda Aceh.

Ketua Tim Rekonstruksi dan Rehabilitasi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)


pascatsunami, Sujana Rohiyat, mengatakan, timnya melibatkan 10 kelompok kerja
dan 112 tenaga ahli dari berbagai pihak, termasuk lembaga donor. Penjabaran yang
disaksikan sekitar 400 orang dari berbagai kalangan itu terkesan "hati-hati", yang
tercermin dari pernyataan anggota tim yang berkali-kali mengatakan masterplan itu
"belum final", "masih menjaring aspirasi masyarakat", "masih akan diperkaya saran-
saran warga". Itu wajar, karena selama ini ada kesan proses pembuatan masterplan itu
sangat Jakarta-sentris, kurang melibatkan partisipasi rakyat Aceh, dan top- down
(Kompas, 1/3).

Dalam jabarannya, Tim Pokja menyebutkan, rumusan mereka mengenai rancangan


tata ruang di Provinsi NAD antara lain didasarkan pada kondisi kerusakan akibat
gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004. Dari hasil survei tercatat sembilan
kabupaten/kota rusak, yaitu Kota Banda Aceh, Aceh Besar/ Lhok Nga, Aceh
Jaya/Calang, Nagan Raya, Aceh Barat/Meulaboh, Simeuleu/Sinabang, Aceh
Utara/Lhok Seumawe, Pidie/Sigli, dan Bireun/Bireun.

Wilayah daratan, terutama pantai barat, rusak fisik hingga sejauh empat kilometer dari
garis pantai. Di Kota Banda Aceh, Meulaboh, dan Lhok Nga, garis pantai ikut
bergeser ke daratan. Permukiman dan perkotaan yang umumnya berada di sepanjang
garis pantai rusak hingga 60 persen, sedangkan kerusakan total terjadi pada sepanjang
kota pantai barat (Lhok Nga, Calang, Teunom, Kruet, hingga Meulaboh). Selain itu,
badan jalan (1.614 km) dan jembatan (118 buah) yang mengikuti garis pantai, rusak
berat, khususnya dari Lhok Nga ke arah Calang hingga Meulaboh.

Akibatnya, fungsi kota di Banda Aceh, Meulaboh dan Lhok Seumawe lumpuh.
Kerusakan di pantai barat-yang mengakibatkan hilangnya sentra ekonomi kelautan,
industri semen, perbankan, dan lainnya-menyebabkan kecenderungan melebarnya
kesenjangan antarwilayah (pantai barat dan pantai timur).

Agar kondisi sosial, ekonomi, budaya di NAD bisa berjalan lebih baik, dibutuhkan
persyaratan baru. Persyaratan itu adalah terwujudnya keseimbangan perkembangan
wilayah barat dan timur dan terciptanya kondisi aman di NAD. Kondisi "aman" itu
artinya pengembangan wilayah di situ mutlak mengantisipasi potensi gempa dan
mutlak dilengkapi manajemen bencana (disaster management), seperti early warning
system dan penyediaan fasilitas penyelamatan (vertikal atau horizontal sesuai kondisi
geografis kawasan permukiman). Selain itu, pengembangan kota dilakukan dengan
membangun zona penyangga (buffer zone).
DARI penjabaran di atas, Tim Pokja merumuskan tiga skenario struktur ruang NAD.
Skenario pertama, pusat pertumbuhan utama ditetapkan di pantai utara, timur, dan
tengah (Lhok Seumawe, Takengon, Langsa). Sedangkan wilayah pantai barat tidak
dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan utama untuk mengantisipasi datangnya
kembali bencana tsunami.

Kota-kota yang menjadi pusat pertumbuhan utama dilengkapi zona penyangga dan
manajemen bencana yang berbasis penataan ruang. Pengembangan jaringan
transportasi (jalan, pelabuhan, dan bandara) hanya difokuskan pada jaringan
penghubung wilayah-wilayah pusat pertumbuhan dengan kota di luar NAD seperti
Medan.

Skenario kedua, pusat-pusat pertumbuhan utama tetap seperti kondisi saat ini, yaitu di
pantai utara-timur: Kota Banda Aceh, Sabang, Lhok Seumawe dan Langsa, serta di
pantai barat-selatan kota Meulaboh dan Tapaktuan. Masing-masing kota dilengkapi
dengan zona penyangga, manajemen bencana, dan bila dianggap perlu akan dilakukan
"relokasi terbatas" dengan menggunakan kebijakan atau kearifan lokal.

Jaringan transportasi pendukung dikembangkan untuk "mengikat" kota-kota pusat


pertumbuhan utama, mengikat wilayah pantai barat-selatan dengan utara-timur
sehingga tercipta perkembangan wilayah yang sinergis dengan kota-kota di luar NAD.
Kota-kota lain terhubungkan dengan jaringan jalan secara berjenjang hingga
membentuk struktur ruang provinsi, Sumatera, dan nasional.

Skenario ketiga, pusat-pusat pertumbuhan utama terkonsentrasi di pantai timur-utara,


sedangkan di pantai barat hanya ada satu pusat pertumbuhan yaitu Kota Tapaktuan
yang dihubungkan dengan jaringan jalan langsung ke Lhok Seumawe dan Langsa (di
timur-utara); Kabupaten Aceh Barat, Simeuleu, dan Aceh Jaya dibatasi
perkembangannya karena terletak di kawasan rawan tsunami.

Dalam skenario ini, kota-kota pertumbuhan akan dilengkapi zona penyangga dan
manajemen bencana. Jaringan jalan akan mengikat wilayah-wilayah pusat
pertumbuhan, tetapi akses terbatas di Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Simeuleu.

Menurut Tim Pokja, pemilihan ketiga alternatif itu dilakukan bersama dengan
masyarakat Banda Aceh, pemerhati, profesional, maupun simpatisan yang prihatin
dengan Aceh melalui pembahasan intensif. Akhirnya, pada 27 Januari, skenario kedua
dipilih menjadi alternatif paling rasional. Alasannya, bencana tsunami merupakan
kehendak Tuhan sehingga harus disikapi rasional.

DENGAN terpilihnya skenario kedua sebagai masterplan pembangunan kembali


Provinsi NAD, konsekuensinya pusat permukiman atau kota-kota di pantai barat
harus dipertahankan untuk menjaga keseimbangan antarwilayah.

Kota-kota tepi air akan tetap dikembangkan dengan memperhatikan aspek-aspek


lokal, terutama keterkaitannya dengan daerah rawan gempa dan tsunami juga dengan
kawasan konservasi dan penyangga.

Jaringan jalan direhabilitasi untuk menjaga keterkaitan antarkota di pantai barat dan
timur. Pelabuhan Malahayati, Ulee Lheue, Meulaboh, Calang dan Lhok Nga serta
bandar udara Cut Nyak Dien diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya.

Penyeberangan ke pulau-pulau kecil (Pulau Weh, Sabang, Simeuleu) difungsikan


kembali untuk mobilisasi penduduk dan perkembangan ekonomi wilayah. Jaringan
irigasi dan sumber daya air lain difungsikan.

Selain itu, pengembangan pusat-pusat permukiman pascatsunami dikaji ulang


sehingga pusat-pusat kota dapat berfungsi dan terhindar dari tsunami melalui
penyiapan lahan cadangan untuk kawasan perkotaan (permukiman, perkantoran, pusat
kegiatan perekonomian dan pemerintahan).

Skenario ini juga menuntut program relokasi (building relocation program) dan
program adaptasi bangunan tahan gempa (construction practice for earthquake
threats); menyiapkan zoning regulation bagi kawasan permukiman, perdagangan, jasa,
dan perkantoran.

SEPERTI apa tata ruang di pusat-pusat pertumbuhan utama di Provinsi NAD,


tampaknya akan mengikuti rancangan yang diterapkan bagi Kota Banda Aceh. Kota
yang saat ini memiliki luas 6.113 hektar, di dalam masterplan itu dibagi ke dalam
beberapa zona. Zona 1, 2, dan 3 yang disebut buffer zone, misalnya, terdiri dari zona
pantai, zona perikanan/tambak, dan zona taman kota.

Adanya zona penyangga dimaksudkan untuk mengurangi energi gelombang tsunami


sehingga daya rusaknya menurun. Di dalam zona rawan ini, awalnya muncul gagasan
agar dibebaskan dari permukiman. Namun, setelah diskusi panjang, akhirnya zona ini
diperbolehkan bagi permukiman nelayan. Namun, masyarakat nelayan diharapkan
bersedia ditata kembali perumahannya, dan di zona ini akan dibangun manajemen
bencana, seperti bangunan atau bukit penyelamatan disertai rute-rute penyelamatan.

Sedangkan "taman kota" selain untuk penghijauan, juga digunakan sebagai area
penelitian bagi mereka yang tertarik peristiwa tsunami pada 26 Desember 2004 yang
disebut sebagai terdahsyat dalam sejarah itu.

Zona berikutnya dimaksudkan sebagai permukiman terbatas, di mana bangunannya


memenuhi ketentuan tahan gempa. Zona lebih luar lagi untuk permukiman perkotaan
dan zona pusat kota lama. Sedangkan zona permukiman baru dijadikan sebagai
tempat untuk menampung penduduk yang bersedia pindah dari zona 1, 2, dan 3. Juga
ada zona kota baru sampai Lambaro, zona perguruan tinggi, dan zona pertanian yang
merupakan zona terluar.

Secara lebih rinci, kawasan zona penyangga terbagi atas: sekitar 300-400 meter dari
bibir pantai diperuntukkan bagi kawasan mangrove, dilanjutkan dengan kawasan
tambak sepanjang 600-700 meter, setelah itu kampung nelayan (600 meter), taman
kota (200-300 meter), baru setelah itu masuk ke zona permukiman terbatas.

Berkaitan dengan tata ruang baru Banda Aceh itu, Pemerintah Kota Banda Aceh akan
membebaskan 440 hektar tanah warga dan berjanji memberi ganti rugi. Ini berkaitan
dengan warga non-nelayan yang sebelumnya bermukim di zona 1, 2, dan 3. Mereka
diharapkan mau direlokasi ke wilayah aman di zona permukiman baru.
Masalah pembebasan tanah ini diperkirakan akan rumit karena banyak warga yang
kehilangan sertifikat tanah sewaktu bencana dan banyak tanah "tak bertuan" karena
seluruh pemiliknya tewas. Pemerintah daerah kini sedang memetakan status
kepemilikan tanah dan membekukan transaksi penjualan tanah untuk menghindari
penyalahgunaan.

Rancangan tata ruang baru itu akan menggusur 8.795 rumah penduduk di zona
penyangga (zona 1, 2, 3) dan akan terjadi alih fungsi atas sawah seluas 128 sampai
268 hektar.

Rancangan tata ruang ini memang belum final, dan pemerintah masih memberi
kesempatan penjaringan aspirasi masyarakat sampai 9 Maret 2005.

Rencananya, pada 26 Maret 2005 masterplan ini akan menjadi konsep final dan
ditetapkan lewat peraturan daerah.

(http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/03/Geliat/1596446.htm)

You might also like