You are on page 1of 5

Beberapa waktu ini saya selalu aktif mengamati apa yang sedang terjadi di media online-

offline tentang hingar-bingar pencalonan Gubernur DKI di tahun 2017 nanti. Walaupun
pemilihan ini akan diadakan tahun depan tapi keramaiannya sudah bisa kita rasakan sekarang.
Saling bantah argumen di media menjadi drama yang selalu kita konsumsi setiap hari.
Pernyataan dari calon kelompok A ditentang oleh calon dari kelompok B, kebijakan
kelompok C di komentari negatif oleh kelompok D, kebijakan lingkungan disisipi
kepentingan politik, saling tuding korupsi antara satu dengan yang lain, komentar negatif
dibalas komentar negatif juga, dan begitu seterusnya. Bersahut-sahutan. Tapi ya itulah media.
Semakin isu yang dilontarkannya banyak dibicarakan orang, semakin banyak pula mereka
mendapatkan keuntungan.
Terlepas dari semua konflik kepentingan diatas, saya pribadi lebih tertarik untuk mengamati
aktivitas Teman Ahok yang saat itu sedang berjuang mengumpulkan 1 juta KTP sebagai
syarat dari KPU dalam memajukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon Gubernur
DKI pada pemilihan tahun 2017 dari jalur independen. Kampanye pengumpulan 1 juta KTP
ini dimulai dari bulan Maret 2016 dan ditargetkan bisa mencapai angka 1 juta pada bulan Juli
2016 menurut Teman ahok.
Jumlah KTP yang berhasil dikumpulkan oleh Teman Ahok saat tulisan ini di publish sudah
mencapai lebih dari 1 juta lembar, walaupun pada akhirnya Ahok memilih jalur Parpol.
Lalu bagaimana dengan nasib 1 juta formulir KTP yang sudah dikumpulkan oleh Teman
Ahok? Apakah hanya akan menjadi gundukan kertas tak bermanfaat yang siap dibuang ke
tong sampah?
Memanfaatkan Momentum
Sebagai seorang Digital Strategist (bukan dari latar belakang politik), saya melihat ada
momentum yang bisa dimanfaatkan oleh Teman Ahok dari kegiatan mengumpulkan 1 juta
KTP ini. Momentum yang tidak dimiliki oleh para calon Gubernur DKI yang lain. Tinggal
permasalahannya apakah Teman Ahok bisa memanfaatkan momentum tersebut dengan baik
atau melewatkannya dengan begitu saja.
Sangat disayangkan sekali apabila Teman Ahok menggunakan 1 juta data yang masuk hanya
untuk kepentingan syarat administrasi KPU semata, padahal apabila dimanfaatkan lebih luas
lagi, data yang besar tersebut bisa dijadikan elemen pertama dari dua elemen penting dalam
strategi memenangkan kampanye pemilu politik menggunakan media digital. Dua elemen itu
adalah big data dan micro-targeting.
Big Data
Banyak sekali referensi di Internet yang mencoba mendefinisikan arti kata big data (dalam
bahasa Indonesia mahadata):

Wikipedia: Big Data adalah istilah umum untuk segala himpunan data (data set)
dalam jumlah yang sangat besar, rumit dan tidak terstruktur sehingga menjadikannya
sukar ditangani apabila hanya menggunakan perkakas manajemen basis data biasa
atau aplikasi pemroses data tradisional belaka.

Edd Dumbill, 2012: Big Data adalah data yang melebihi proses kapasitas dari
database yang ada. Data tersebut terlalu besar, terlalu cepat atau tidak sesuai dengan
struktur arsitektur database yang ada. Untuk mendapatkan nilai dari data, maka harus
memilih jalan altenatif untuk memprosesnya.

McKinseyGlobal Institute (MGI), dalam laporannya yang dirilis pada Mei 2011,
mendefinisikan bahwa big data adalah data yang sudah sangat sulit untuk dikoleksi,
disimpan, dikelola maupun dianalisa dengan menggunakan sistem database biasa
karena volume-nya yang terus berlipat.
Berdasarkan pengertian para ahli di atas, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa Big
Data adalah data yang memiliki volume besar sehingga tidak dapat diproses menggunakan
alat tradisional biasa dan harus menggunakan cara atau alat baru untuk mendapatkan nilai
dari data tersebut.
Sekarang coba bayangkan apabila diatas meja kantor Anda, pada jam makan siang, ada
makanan pizza satu lingkaran penuh berdiameter tengah 10 cm. Karena kantor Anda
mempunyai sepuluh orang karyawan maka pizza tersebut dibagi menjadi sepuluh bagian.
Hasil pizza yang dibagi tadi tentunya akan berukuran sangat kecil sehingga ketika
memakannya tidak akan bisa menghilangkan rasa lapar. Sekarang bayangkan apabila pizza
tersebut memiliki diameter 1 meter. Pastilah orang yang memakannya akan merasa
kekenyangan hingga bisa melewati jam makan malam.
Seberapa besar angka 10% untuk Ahok?
Jumlah penduduk Jakarta pada tahun 2014 mencapai kurang lebih 10 juta jiwa (dari angka
statistik yang dikeluarkan oleh Bappeda Provinsi DKI Jakarta). Apabila kita bandingkan
jumlah total penduduk Jakarta dengan jumlah 1 juta KTP yang dikumpulkan oleh Teman
Ahok, berarti bisa disimpulkan secara sederhana bahwa 10% dari jumlah total penduduk
Jakarta terindikasi akan memilih Ahok pada pemilihan Gubernur DKI tahun 2017 nanti.
Apabila penduduk Jakarta berjumlah 10.000 jiwa tentunya angka 10% tidaklah besar, namun
karena penduduk Jakarta memiliki 10.000.000 jiwa maka data yang diperoleh dari hasil 10%
tersebut akan membutuhkan kapasitas penyimpanan data yang besar sehingga diperlukan
infrastruktur dan SDM yang cukup mumpuni dalam pengklasifikasian, pengolahan,
penyimpanan, dan proses menampilkan hasil.
Tanpa kita sadari, memiliki data yang besar saat ini merupakan sebuah keuntungan lebih.
Dengan memiliki data yang besar berarti kita akan mampu melihat sesuatu yang baru, lebih
baik, dan berbeda dari sebelumnya.
Berbagai solusi dari tantangan yang dihadapi oleh planet bumi seperti pemanasan global,
pelayanan medis, penghematan energi, penanggulangan bencana alam, perlindungan
kesejahteraan anak, pelestarian satwa liar merupakan contoh manfaat dari efektivitas
penggunaan big data. Mobil masa depan, pergerakan robot yang menyerupai manusia, mesin
pencari Google, penempatan iklan di Facebook, bahkan sampai alat pendeteksi kanker pun
merupakan hasil dari pengkoleksian data yang besar. Para ahli sudah bisa memastikan apabila
yang terjadi di film Minority Report akan segera menjadi kenyataan dimana kriminalitas bisa
dicegah sebelum terjadi.
Ya, semua ini karena adanya big data.
Apa yang bisa dilakukan dengan big data yang sudah dimiliki oleh Teman Ahok?
Bentuk kampanye politik di Indonesia sudah waktunya berubah. Peran teknologi digital
dalam kampanye politik seharusnya bukan lagi diperlakukan hanya sebagai media untuk
membagikan argumen politik usang, melainkan untuk merubah kampanye politik menjadi
lebih rasional. Kampanye politik yang dijalankan berdasarkan fakta, data, dan analisa valid.
Diluar sana, kampanye politik lewat media digital sudah berubah. Bukan lagi tentang cara
bagaimana si calon politisi menggiring opini publik secara massal, acak, dan tanpa arah,
tetapi sudah tentang bagaimana cara memanfaatkan data yang dimiliki dengan sebaik-baiknya
dan se-efektif mungkin.
Data yang didapat dari hasil pengumpulan 1 juta formulir Teman Ahok berupa jenis kelamin,
umur, agama, penghasilan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, suku, kelurahan,
kecamatan, RT/RW, nomor telepon, alamat email, akun-akun media sosial, minat, hobi, dst,
adalah sekumpulan besar modal yang sangat berharga bagi sebuah kampanye politik di era
digital ini.
Micro-targeting
Micro-targeting adalah salah satu strategi pemasaran yang menggunakan data demografis
dalam mengidentifikasi rasa ketertarikan pada setiap individu ataupun kelompok kecil
tertentu dengan maksud untuk mempengaruhi pemikiran, keputusan, dan aksi mereka.
Proses kerjanya kurang lebih mirip seperti beriklan di Facebook Ads, Twitter Ads, ataupun
Google AdWords. Mereka menggunakan data pengguna sebagai panduan pengiklan dalam
menempatkan iklan. Pengiklan bisa memilih apakah informasi pesan yang ingin disampaikan
bersifat global atau hanya akan fokus pada kategori tertentu saja. Semakin kecil irisan target
yang dibidik, semakin spesifik pula informasi pesan yang kita kirimkan.
Dengan micro-targeting tentunya informasi yang disampaikan akan mengarah pada pasar
ataupun konsumen yang tepat sehingga memiliki tingkat efektifitas tinggi.
Micro-targeting dalam kampanye politik
Penggunaan big data dan micro-targeting sebenarnya bukan barang baru dalam dunia politik.
Ide strategi pemenangan kampanye politik model ini diawali kira-kira tahun 2005 ketika
George W. Bush mencalonkan diri kembali sebagai presiden Amerika Serikat dan ditiru oleh
presiden Barack Obama di pemilihan keduanya pada tahun 2012.
Model kampanye politik micro-targeting mengacu pada premis bahwa untuk mendapatkan
suara pemilih lebih banyak maka kampanye pemilu harus berdasarkan pada pembagian per-
kategori wilayah potensial. Metode ini dilakukan supaya pesan yang disampaikan bisa lebih
terfokus pada kebutuhan, harapan, permasalahan, dan kepentingan setiap segmentasi kunci
dalam upaya meningkatkan elektabilitas sang calon pemimpin.
Cara pendekatan yang digunakan dalam micro-targeting lebih menyentuh tiap individu
ketimbang kelompok besar. Bisa saja antara kita dan tetangga akan mendapatkan literatur
kampanye berbeda dari calon politisi yang sama, bergantung pada informasi pribadi yang
telah kita kirim sebelumnya.
Dengan memahami topik tertentu dalam skala individu tentu akan membentuk suara
pemimpin yang mampu mempengaruhi keputusan anggota pemilih-pemilih yang lain dalam
kelompok yang sama.
Misalkan saja ketika sang politikus akan mengangkat persamaan hak bagi perempuan di
Kalijodo atau usaha penanggulangan sampah di sungai Ciliwung. Tim kampanye digital harus
bisa mendistribusikan content yang relevan di channel Facebook, Twitter, Blog, newsletter,
video Youtube, podcast, dll pada setiap social media leads yang aktif berada dalam kelompok
isu tersebut. Pemasangan iklan digital yang diarahkan pada irisan target juga sangat
diperlukan untuk lebih banyak mendapatkan exposure.
Bukan hanya dengan media digital saja, micro-targeting dengan cara kampanye tradisional
berupa pengiriman surat langsung dari pintu ke pintu, penyebaran leaflet atau spanduk di
daerah yg bersangkutan, dan iklan di surat kabar atau radio pun bisa dilakukan.
Penutup
Mungkin diantara kita ada yang bertanya tentang bagaimana cara menjalankan itu semua?
Apakah harus memiliki SDM yang banyak? Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk
membangun seluruh infrastruktur? Apakah ada tools diluaran sana yang bisa men-generate
ini semua?
Untuk tulisan ini saya tidak dibayar sepeserpun oleh NationBuilder dan NGP Van, namun
saya merekomendasikan kedua tools digital tersebut untuk digunakan dalam sebuah
kampanye politik.
NationBuilder dan NGP Van menyediakan seluruh kebutuhan kampanye politik dari
penggalangan donasi, mendistribusikan informasi ke media sosial, mengimport data pemilih,
mengelola komunitas, memantau aktifitas leads, dll.
Silahkan pilih sendiri diantara keduanya yang mana yang paling baik dan cocok untuk
kampanye politik Anda.

You might also like