Professional Documents
Culture Documents
I. Prolog
Terjadinya tragedi tsunami di Aceh pada tahun 2004 merupakan wake up call bagi
Indonesia terhadap aspek kebencanaan. Hal tersebut telah menjadi pembelajaran tersendiri bagi
para pemangku kekuasaan. Sebelumnya, tidak ada peraturan/ regulasi yang membahas mengenai
aspek kebencanaan di Indonesia. Namun, setelah terjadinya bencana tersebut, mulai disusun
peraturan/ regulasi terkait kebencanaan, diantaranya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Beberapa hal penting dari undang-undang
tersebut diantaranya dilakukan pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, penjelasan mengenai mitigasi bencana, serta
tanggap darurat bencana.
Pada Gambar 1., hunian berhadapan langsung dengan pantai, tanpa adanya batas berupa
vegetasi sabuk hijau (green belt) ataupun jalur pemisah antara pantai dan hunian. Sedangkan
pada Gambar 2, hunian relatif lebih jauh dari tepi pantai karena dipisahkan oleh jalur perkerasan.
Selain itu, terdapat vegetasi sabuk hijau sebagai usaha preventif pengurangan dampak apabila
terjadi tsunami.
Jika ditinjau dari segi kerentanan, apabila di kedua wilayah tersebut terjadi bahaya
tsunami dengan kekuatan yang sama , sudah dapat ditebak kan mana wilayah yang sekiranya
mengalami kerusakan lebih ringan?
IV. Mitigasi dalam Perencanaan Wilayah Pesisir
Secara umum, mitigasi bertujuan untuk meminimalisir potensi bahaya (hazard) yang
dapat terjadi ataupun resiko(risk/consequences) yang dapat ditimbulkan. Mitigasi sendiri
memiliki arti mengurangi dampak. Jadi sebenarnya, bahaya alam memang pasti dapat terjadi
dimana saja. Tapi, kita dapat mengurangi kerusakan yang ditimbulkan.
Secara umum mitigasi terbagi menjadi dua kategori, yaitu mitigasi struktural dan
mitigasi-non struktural. Bedanya, kalau mitigasi non struktural itu meminimalisir resiko tanpa
membutuhkan penggunaan sesuatu yang bersifat pembangunan. Teknik mitigasi non struktural
lebih mengajarkan tentang bagaimana caranya manusia beradaptasi dengan alam. Oleh karena
itu, mitigasi non struktural cenderung lebih murah apabila dibangdingkan dengan mitigasi
struktural yang cenderung fokus pada pembangunan fisik.
- Regulatory measures
Penegasan peraturan dilakukan secara legal untuk mengatur aksi dari setiap
pembangunan dengan tujuan kebaikan bersama. Beberapa contohnya seperti pengelolaan
guna lahan (land use management), pelestarian ruang terbuka, regulasi bangunan, dan
regulasi sumber daya alam.
- Community awareness and education programs
Program edukasi diberikan kepada masyarakat umum dengan sebelumnya menyatakan
bahwa bahaya yang mengincar mereka itu nyata, pengajaran yang diberikan adalah
mengenai bagaimana cara meminimalisir resiko yang dpaat terjadi pada mereka. Program
dari edukasi publik terdiri dari mitigasi dan tingkat kesiapan. Untuk mendukung program
tersebut, dapat dibuat juga pemetaan resiko dan sistem peringatan.
Secara sekilas, beberapa bencana yg terjadi di wilayah pesisir di Indonesia dan sekitarnya pada
tahun 1992-2006 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Bencana yang Terjadi di Sekitar Wilayah Pesisir Indonesia Tahun 1992-2006
Pada tanggal 17 Juli tahun 2006, Pangandaran mengalami gempa yang diikuti tsunami
setinggi 2 meter. Bencana tersebut merenggut 600 korban jiwa dan kerugian materil lainnya.
Sebagian wilayah yang terkena dampak tsunami dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Pantai Pangandaran Setelah dan Sebelum Terjadi Tsunami 2006
Sumber: CRPS dalam Latief, 2007
Gambar 4. menyajikan perbandingan wilayah yang terkena dampak sebelum dan setelah
terjadinya tsunami. Pada gambar tersebut, dapat dilihat urgensi mitigasi bencana untuk sebagai
usaha dalam pengurangan dampak. Daerah yang minim vetegasi (ditandai dengan lingkaran
kuning), mengalami kerusakan yang lebih berat dibandingkan dengan daerah yang ditanami
vegetasi (ditandai dengan lingkaran merah).
Dua hal penting yang menjadi isi dari masterplan (Rencana Tata Ruang Wilayah)
diantaranya adalah pola ruang dan struktur ruang. Lah.. kok penting sih?
Secara garis besar, struktur ruang mengatur konstelasi pusat-pusat kegiatan yang
berhierarki satu sama lainnya dan dihubungkan oleh sistem jaringan prasarana. Sedangkan pola
ruang merupakan peruntukan ruang yang terbagi menjadi fungsi lindung dan budidaya. Jadi
struktur dan pola ruang secara tidak langsung (harusnya) mempertimbangkan tingkat bencana
dari wilayah yang direncanakan tersebut. Nah didalamnya bisa ada pembatasan, kayak misalnya
ada beberapa area yang berpotensi terkena bencana dengan skala besar, itu tingkat huniannya
dibatasi, dengan struktur bangunan yang memperhatikan mitigasi bencana juga. Penetapan
pembatasan itu dasarnya dari hasil overlay peta kawasan rawan bencana sama kegiatan
masyarakat. Oleh karena itu, seperti yang sudah dibilang sebelumnya kalau masuknya Peta
Kerawanan Bencana dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota/ Kabupaten menjadi perubahan
penting bagi perencanaan.
Disini dapat dilihat bahwa masyarakat (sebagai target dari perencanaan) juga mempunyai
peran dalam meminimalisir kerentanan. Karenanya, pelibatan peran masyarakat dalam
perencanaan menjadi hal yang penting. Dengan begitu, perwakilan dari masyarakat dapat
mengetahui dan merasakan dan ikut bagian dalam suatu perencanaan. Gagasan dan
pertimbangan dari perwakilan masyarakat tersebut juga menjadi masukan tersendiri dalam
perencanaan, sehingga terjadi suatu kesepakatan dari hasil perencanaan yang telah dilakukan.
Faktor sosial budaya akan berbicara banyak mengenai perilaku, kebiasaan dan
kepercayaan masyarakat. Kendala sosial yang seringkali dihadapi adalah ketidaksadaran
pengembang usaha dan atau masyarakat terhadap wilayah bahaya. Salah satu cara yang
dikembangkan diantaranya dengan menetapkan insentif dan disinsentif sebagai salah satu bentuk
mitigasi non struktural. Contoh insentif diantaranya seperti pemberian pajak yang ringan di
wilayah yang minim bahaya serta kemudahan izin pendirian usaha. Disinsentif yang dilakukan
diantaranya pembatasan dan pengaturan yang lebih ketat dalam pendirian izin kegiatan di
wilayah yang cenderung berbahaya.
Salah satu konsep penataan ruang kota pesisir di wilayah bahaya tsunami dibuat oleh
bidang Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Ditjen P3K DKP. Konsep tersebut dapat
dilihat pada Gambar 5
Gambar 5. Konsep Penataan Ruang Kota Psisir du Wilayah Bahaya Tsunami
Sumber : Bidang Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , Ditjen P3K DKP, 2004
Konsep penataan ruang pada Gambar 5 menampilkan hierarki kegiatan dari tingkat kota,
kecamatan, kawasan wisata dan desa nelayan. Kegiatan yang berhadapan langsung dengan tepi
laut dapat dialokasikan untuk desa nelayan dan pengembangan pelabuhan perikanan. Kawasan
yang memiliki potensi kepadatan tinggi, seperti pelabuhan umum dan kawasan wisata hendaknya
berada di daerah terlindungi dan tidak menghadap langsung dengan tepi pantai.
VI. Penutup
Wilayah yang berbeda tentunya memiliki kondisi bahaya dan kerentanan yang juga
berbeda, baik dipengaruhi oleh aspek fisik, ekonomi, maupun sosial budaya masyarakatnya.
Kawasan pesisir yang pada umumnya menjadi wilayah potensial untuk pariwisata, memiliki
tantangan tersendiri dari pengembangannya karena harus memperhatikan sisi ekonomis dan sisi
kerawanan bencana.
Potensi bahaya dari suatu kawasan pesisir akan lebih besar apabila penduduk dan
pengembang usaha tidak sadar akan bahaya yang mengancam. Pengembangan yang dikejar
hanya karena aspek ekonomis dan tanpa memperhatikan aspek lain seperti kebencanaan, dapat
menjadi bom tersendiri dalam pengembangan wilayah pesisir. Hal tersebut dikarenakan, apabila
sudah terjadi pengembangan yang tidak sesuai, bila terjadi bencana, resiko hilangnya materil dan
nyawa akan semakin tinggi. Mitigasi menjadi usaha dalam meminimalisir dampak yang dapat
terjadi. Pemberian pengetahuan kepada masyarakat sekitar , pengaturan guna lahan dan
penegasannya, serta usaha pembangunan struktural dapat mengurangi kerentanan yang dimiliki
suatu wilayah. Bahaya akan selalu ada, namun apabila kesiap siagaan ditungkatkan, maka
kerentanan akan berkurang dan resiko pun dapat diminimalisir.
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005.
Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulai Kecil.
ISBN 979-3556-18-8.
Latief, Hamzah dan Safwan Hadi. Chapter 1 Protection From Tsunamis, Thematic Paper : The
Role Of Forest And Trees In Protecting Coastal Areas Again Tsunamis.
http://www.fao.org/docrep/010/ag127e/ag127e06.htm
PMI Kabupaten Tegal. 2010. Sibat Desa Bumijawa Petakan Risiko Bencana.
http://pmikabupatentegal.blogspot.com/2012/10/sibat-desa-bumijawa-petakan-
risiko.html
Rosyidie, Arief. 2004. Aspek Kebencanaan pada Kawasan Wisata. Jurnal perencanaan Wilayah
dan Kota, Vol. 15, Nomor 3, Juli 2004. Bandung : ITB.