You are on page 1of 11

Aspek Kerawanan Bencana

dalam Perencanaan Wilayah Pesisir

Purwa Cipta Lenggana


purwa.cipta@yahoo.com
Agustus, 2014

I. Prolog
Terjadinya tragedi tsunami di Aceh pada tahun 2004 merupakan wake up call bagi
Indonesia terhadap aspek kebencanaan. Hal tersebut telah menjadi pembelajaran tersendiri bagi
para pemangku kekuasaan. Sebelumnya, tidak ada peraturan/ regulasi yang membahas mengenai
aspek kebencanaan di Indonesia. Namun, setelah terjadinya bencana tersebut, mulai disusun
peraturan/ regulasi terkait kebencanaan, diantaranya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Beberapa hal penting dari undang-undang
tersebut diantaranya dilakukan pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, penjelasan mengenai mitigasi bencana, serta
tanggap darurat bencana.

Perubahan tersebut memberikan implikasi tersendiri bagi pembangunan dan perencanaan


wilayah, diantaranya dalam pengaturan dan penyelenggaraan dalam penataan ruang. Aspek
kebencanaan kemudian menjadi perhatian baik dalam perencanaan tapak, perencanaan
infrastruktur utama ataupun perencanaan fasilitas pendukung. Pada lingkup perencanaan
wilayah, aspek kebencanaan menjadi bagian dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota/
Kabupaten dengan masuknya peta kerawanan bencana. Namun, hal tesebut menjadi dilema
tersendiri karena pada beberapa wilayah yang sudah terbangun dan mengalami pertumbuhan
ekonomi yang pesat, merupakan wilayah dengan kerentanan bahaya yang cukup tinggi.
Tulisan ini memberikan informasi mengenai implementasi perencanaan dan
pengembangan kawasan pesisir di Indonesia dengan memperhatikan aspek kebencanaan. Pada
tulisan ini, dijelaskan pula peran dari perencanaan terkait pengendalian ruang beserta beberapa
kendala yang dihadapi dalam implementasi perencanaan. Selain itu, diberikan juga ulasan
singkat mengenai mitigasi yang sering diterapkan dalam perencanaan kawasan pesisir.
II. Kebencanaan

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang


Penanggulangan Bencana, yang dimaksud dengan bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat, yang
disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis. Bencana alam (natural disaster) berbeda dengan bahaya alam (natural
hazard). Bahaya alam merupakan kondisi atau peristiwa alam yang tidak normal, diantaranya
seperti banjir, gempa bumi dan letusan gunung api. Bahaya alam tersebut dapat terjadi di mana
saja, namun tidak selalu menimbulkan bencana alam (Awotona, 1997 dalam Rosyidie, 2004)
Dalam bencana, terdapat unsur resiko yang dapat merugikan manusia serta makhluk
hidup lainnya sesuai dengan kerentanan yang dimiliki. Resiko adalah kemungkinan yang bisa
terjadi, dihasilkan melalui interaksi dari alam atau bahaya dikarenakan ulah manusia dan kondisi
kerentanan. Sedangkan, kerentanan adalah kondisi yang dijelaskan faktor fisik, sosial, ekonomi
dan lingkungan untuk memperkirakan dampak dari suatu bencana dalam sebuah komunitas.
Dalam perencanaan wilayah, kondisi kerentanan lebih identik diidentifikasi dari aspek fisik dan
spasial. Walaupun begitu, kondisi kerentanan juga dapat ditinjau dari berbagai aspek lain,
diantaranya seperti sosia-budaya, ekonomi dan kelembagaan.

Apabila dinotasikan secara sederhana, Resiko (Risk) = Bahaya (Hazard) x


Kerentanan (Vulnerability). Mengetahui resiko merupakan kemampuan untuk menjelaskan apa
yang dapat terjadi di masa depan, dipengaruhi oleh seberapa banyak informasi dan tanggapan
orang terhadap resiko.
III. Kerentanan dan Mitigasi dalam Perencanaan Wilayah Pesisir

Pembentukan undang-undang dan peraturan mengenai pengendalian bencana juga


memberikan pengaruh di bidang perencanaan wilayah, diantaranya dalam merencanakan
kawasan di bagian pesisir. Konsep penginapan dekat pantai yang menjadi daya tarik pengunjung
menjadi hal yang dilematis untuk diterapkan. Di satu sisi, pengembang menginginkan adanya
daya tarik bagi pengunjung dengan menyajikan pemandangan pantai yang dekat hunian. Di sisi
lain, wilayah yang berdekatan dengan pantai perlu diwaspadai karena memiliki kerentanan yang
lebih tinggi terhadap bahaya alam tsunami dibandingkan dengan wilayah yang jauh dari pantai.
Coba perhatikan dua gambar di bawah ini . Apa yang berbeda dari kedua gambar ini?
Lokasinya? Jelas beda. Keduanya merupakan kawasan wisata pantai yang dipenuhi hotel dan
villa. Lalu apa yang berbeda?

Gambar 1. Kawasan Pantai Anyer


Sumber : googleearth, 2014

Gambar 2. Kawasan Pantai Pangandaran


Sumber : googleearth, 2014

Pada Gambar 1., hunian berhadapan langsung dengan pantai, tanpa adanya batas berupa
vegetasi sabuk hijau (green belt) ataupun jalur pemisah antara pantai dan hunian. Sedangkan
pada Gambar 2, hunian relatif lebih jauh dari tepi pantai karena dipisahkan oleh jalur perkerasan.
Selain itu, terdapat vegetasi sabuk hijau sebagai usaha preventif pengurangan dampak apabila
terjadi tsunami.

Jika ditinjau dari segi kerentanan, apabila di kedua wilayah tersebut terjadi bahaya
tsunami dengan kekuatan yang sama , sudah dapat ditebak kan mana wilayah yang sekiranya
mengalami kerusakan lebih ringan?
IV. Mitigasi dalam Perencanaan Wilayah Pesisir

Secara umum, mitigasi bertujuan untuk meminimalisir potensi bahaya (hazard) yang
dapat terjadi ataupun resiko(risk/consequences) yang dapat ditimbulkan. Mitigasi sendiri
memiliki arti mengurangi dampak. Jadi sebenarnya, bahaya alam memang pasti dapat terjadi
dimana saja. Tapi, kita dapat mengurangi kerusakan yang ditimbulkan.

Secara umum mitigasi terbagi menjadi dua kategori, yaitu mitigasi struktural dan
mitigasi-non struktural. Bedanya, kalau mitigasi non struktural itu meminimalisir resiko tanpa
membutuhkan penggunaan sesuatu yang bersifat pembangunan. Teknik mitigasi non struktural
lebih mengajarkan tentang bagaimana caranya manusia beradaptasi dengan alam. Oleh karena
itu, mitigasi non struktural cenderung lebih murah apabila dibangdingkan dengan mitigasi
struktural yang cenderung fokus pada pembangunan fisik.

Beberapa contoh dari mitigasi struktural diantaranya adalah :

- Konstruksi bangunan yang dapat beradaptasi dengan bahaya diantaranya terhadap


temperatur (cuaca angat panas atau sangat dingin), angin (tornado), air (banjir atau
tsunami), dan gempa bumi
- Relokasi, yaitu dengan memindahkan penduduk ke area yang lebih aman
- Konstruksi dari pelindung (barrier) diantaranya seperti pohon, gundukan tanah, batu atau
baja. Contohnya dalam pembangunan breakwater dan penanaman pohin mangrove
sebagai sea belt.

Berdasarkan National Preparedness Directorate (FEMA), 2014, mitigasi non struktural


dapat dibedakan menjadi lima kategori, diantaranya :

- Regulatory measures
Penegasan peraturan dilakukan secara legal untuk mengatur aksi dari setiap
pembangunan dengan tujuan kebaikan bersama. Beberapa contohnya seperti pengelolaan
guna lahan (land use management), pelestarian ruang terbuka, regulasi bangunan, dan
regulasi sumber daya alam.
- Community awareness and education programs
Program edukasi diberikan kepada masyarakat umum dengan sebelumnya menyatakan
bahwa bahaya yang mengincar mereka itu nyata, pengajaran yang diberikan adalah
mengenai bagaimana cara meminimalisir resiko yang dpaat terjadi pada mereka. Program
dari edukasi publik terdiri dari mitigasi dan tingkat kesiapan. Untuk mendukung program
tersebut, dapat dibuat juga pemetaan resiko dan sistem peringatan.

Gambar 3. Pemetaan Bahaya, Kerentanan dan Resiko dengan Masyarakat


Sumber : PMI Kabupaten Tegal, 2010
- Nonstructural physical modifications
Berbeda dengan modifikasi struktural, objek dari modifikasi fisik secara
nonstrkturaladalah hal hal yang berada di dalam bangunan, baik struktur bangunan atau
peralatan dalam bangunan. Contohnya seperti pengamanan furnitur misalnya dengan
pemasangan dengan menggunakan tali logam dan minimalisir benda tajam.
- Environmental control
Kontrol lingkungan dimaksudkan untuk memodifikasi bahaya yang sudah spesifik.
Misalnya pernah dilakukan di tahun 1933 oleh tentara Swiss yang membersikan
reruntuhan dalam rute perjalanan dengan mortir dan roket (Gilman Et Al, 2009 dalam
FEMA, 2014)
- Behavioral modification
Beberapa contoh langkah-langkah mitigasi yang mempertimbangkan modifikasi perilaku
diantaranya rationing; konservasi lingkungan; insentif pajak, subsidi dan penghargaan
bentuk nominal lain ; serta penguatan ikatan sosial.
Untuk wilayah pesisir, bencana yang dapat terjadi diantaranya adalah erosi pantai,
tsunami, banjir, gempa bumi, angin topan/ badai, kenaikan paras muka air laut (sea level rise),
kekeringan, serta longsor. Secara umum, untuk menghadapi tsunami, mitigasi yang seringkali
dilakukan diantaranya pembuatan vegetasi sabuk hijau dan breakwater.

Secara sekilas, beberapa bencana yg terjadi di wilayah pesisir di Indonesia dan sekitarnya pada
tahun 1992-2006 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Bencana yang Terjadi di Sekitar Wilayah Pesisir Indonesia Tahun 1992-2006

Tahun Lokasi Negara Kehilangan


(Jiwa)
1992 Flores, Nusa Tenggara Timur Indonesia 1 950
1994 Banyuwangi, East Java Indonesia 238
1994 Mindoro Philippines 78
1996 Toli-Toli, Central Sulawesi Indonesia 6
1996 Biak, Irian Jaya Indonesia 110
1998 Taliabu, Maluku Indonesia 18
1998 Aitape, PNG Papua New Guinea 3 000
2000 Banggai, Central Sulawesi Indonesia 4
2004 Indian Ocean Tsunami Indian Ocean countries 283 000
2005 Nias, North Sumatra Indonesia unknown
2006 Pangandaran, West Java Indonesia 600
Sumber : Latief, 2007

Pada tanggal 17 Juli tahun 2006, Pangandaran mengalami gempa yang diikuti tsunami
setinggi 2 meter. Bencana tersebut merenggut 600 korban jiwa dan kerugian materil lainnya.
Sebagian wilayah yang terkena dampak tsunami dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Pantai Pangandaran Setelah dan Sebelum Terjadi Tsunami 2006
Sumber: CRPS dalam Latief, 2007

Gambar 4. menyajikan perbandingan wilayah yang terkena dampak sebelum dan setelah
terjadinya tsunami. Pada gambar tersebut, dapat dilihat urgensi mitigasi bencana untuk sebagai
usaha dalam pengurangan dampak. Daerah yang minim vetegasi (ditandai dengan lingkaran
kuning), mengalami kerusakan yang lebih berat dibandingkan dengan daerah yang ditanami
vegetasi (ditandai dengan lingkaran merah).

V. Peran Perencanaan Ruang dalam Mitigasi Kawasan Pesisir

Dua hal penting yang menjadi isi dari masterplan (Rencana Tata Ruang Wilayah)
diantaranya adalah pola ruang dan struktur ruang. Lah.. kok penting sih?

Secara garis besar, struktur ruang mengatur konstelasi pusat-pusat kegiatan yang
berhierarki satu sama lainnya dan dihubungkan oleh sistem jaringan prasarana. Sedangkan pola
ruang merupakan peruntukan ruang yang terbagi menjadi fungsi lindung dan budidaya. Jadi
struktur dan pola ruang secara tidak langsung (harusnya) mempertimbangkan tingkat bencana
dari wilayah yang direncanakan tersebut. Nah didalamnya bisa ada pembatasan, kayak misalnya
ada beberapa area yang berpotensi terkena bencana dengan skala besar, itu tingkat huniannya
dibatasi, dengan struktur bangunan yang memperhatikan mitigasi bencana juga. Penetapan
pembatasan itu dasarnya dari hasil overlay peta kawasan rawan bencana sama kegiatan
masyarakat. Oleh karena itu, seperti yang sudah dibilang sebelumnya kalau masuknya Peta
Kerawanan Bencana dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota/ Kabupaten menjadi perubahan
penting bagi perencanaan.

Disini dapat dilihat bahwa masyarakat (sebagai target dari perencanaan) juga mempunyai
peran dalam meminimalisir kerentanan. Karenanya, pelibatan peran masyarakat dalam
perencanaan menjadi hal yang penting. Dengan begitu, perwakilan dari masyarakat dapat
mengetahui dan merasakan dan ikut bagian dalam suatu perencanaan. Gagasan dan
pertimbangan dari perwakilan masyarakat tersebut juga menjadi masukan tersendiri dalam
perencanaan, sehingga terjadi suatu kesepakatan dari hasil perencanaan yang telah dilakukan.

Beberapa kendala sering muncul dalam implementasi perencanaan khususnya di wilayah


rawan bencana, diantaranya dikarenakan faktor politik, ekonomi , maupun sosial budaya.
Implementasi suatu rencana tentunya perlu mendapatkan persetujuan yang bersifat politis dari
pemangku kebijakan. Jadi sebaik apapun rencana yang dibuat, namun bila tidak disetujui oleh
pemanmgku kebijakan, rencana tersebut akan menjadi sia-sia. Faktor ekonomi memiliki peranan
penting dalam pembangunan, dari mulai kesiapan anggaran, sampai dengan pertimbangan
keuntungan nominal yang dapat dicapai dari alternatif pembangunan rencana. Terkadang,
rencana yang dibuat lebih mementingkan pertimbangan keuntungan ekonomis, tanpa
mementingkan aspek lain seperti kebencanaan.

Faktor sosial budaya akan berbicara banyak mengenai perilaku, kebiasaan dan
kepercayaan masyarakat. Kendala sosial yang seringkali dihadapi adalah ketidaksadaran
pengembang usaha dan atau masyarakat terhadap wilayah bahaya. Salah satu cara yang
dikembangkan diantaranya dengan menetapkan insentif dan disinsentif sebagai salah satu bentuk
mitigasi non struktural. Contoh insentif diantaranya seperti pemberian pajak yang ringan di
wilayah yang minim bahaya serta kemudahan izin pendirian usaha. Disinsentif yang dilakukan
diantaranya pembatasan dan pengaturan yang lebih ketat dalam pendirian izin kegiatan di
wilayah yang cenderung berbahaya.

Salah satu konsep penataan ruang kota pesisir di wilayah bahaya tsunami dibuat oleh
bidang Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Ditjen P3K DKP. Konsep tersebut dapat
dilihat pada Gambar 5
Gambar 5. Konsep Penataan Ruang Kota Psisir du Wilayah Bahaya Tsunami
Sumber : Bidang Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , Ditjen P3K DKP, 2004

Konsep penataan ruang pada Gambar 5 menampilkan hierarki kegiatan dari tingkat kota,
kecamatan, kawasan wisata dan desa nelayan. Kegiatan yang berhadapan langsung dengan tepi
laut dapat dialokasikan untuk desa nelayan dan pengembangan pelabuhan perikanan. Kawasan
yang memiliki potensi kepadatan tinggi, seperti pelabuhan umum dan kawasan wisata hendaknya
berada di daerah terlindungi dan tidak menghadap langsung dengan tepi pantai.

VI. Penutup

Wilayah yang berbeda tentunya memiliki kondisi bahaya dan kerentanan yang juga
berbeda, baik dipengaruhi oleh aspek fisik, ekonomi, maupun sosial budaya masyarakatnya.
Kawasan pesisir yang pada umumnya menjadi wilayah potensial untuk pariwisata, memiliki
tantangan tersendiri dari pengembangannya karena harus memperhatikan sisi ekonomis dan sisi
kerawanan bencana.

Pengembangan dari sisi ekonomis di kawasan pesisir cenderung bertentangan dengan


pemerhatian sisi kebencanaan. Pengendalian pengembangan dilakukan agar didapat batasan-
batasan sehingga selain memiliki dampak ekonomis, perencanaan dan pengembangan kawasan
pesisir juga tidak melupakan aspek kerawanan bencana di wilayah pesisir. Salah satu hal penting
dari perencanaan tersebut adalah pelibatan semua pihak yang terpengaruh oleh perencanaan,
yaitu dari masyarakat, pemerintah dan swasta. Agar kondisi tersebut dapat berjalan, peran
masyarakat dan pengembang usaha diperlukan untuk mematuhi konsep pengendalian yang
diterapkan. Selain itu, diperlukan juga kepatuhan dan ketegasan pemerintah dalam pemberian
izin sesuai dengan rencana pengendalian pengembangan pesisir yang telah dibuat.

Potensi bahaya dari suatu kawasan pesisir akan lebih besar apabila penduduk dan
pengembang usaha tidak sadar akan bahaya yang mengancam. Pengembangan yang dikejar
hanya karena aspek ekonomis dan tanpa memperhatikan aspek lain seperti kebencanaan, dapat
menjadi bom tersendiri dalam pengembangan wilayah pesisir. Hal tersebut dikarenakan, apabila
sudah terjadi pengembangan yang tidak sesuai, bila terjadi bencana, resiko hilangnya materil dan
nyawa akan semakin tinggi. Mitigasi menjadi usaha dalam meminimalisir dampak yang dapat
terjadi. Pemberian pengetahuan kepada masyarakat sekitar , pengaturan guna lahan dan
penegasannya, serta usaha pembangunan struktural dapat mengurangi kerentanan yang dimiliki
suatu wilayah. Bahaya akan selalu ada, namun apabila kesiap siagaan ditungkatkan, maka
kerentanan akan berkurang dan resiko pun dapat diminimalisir.
Daftar Pustaka

Direktorat Jenderal pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005.
Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulai Kecil.
ISBN 979-3556-18-8.

Latief, Hamzah dan Safwan Hadi. Chapter 1 Protection From Tsunamis, Thematic Paper : The
Role Of Forest And Trees In Protecting Coastal Areas Again Tsunamis.
http://www.fao.org/docrep/010/ag127e/ag127e06.htm

Luthfi, Asrizal . Tata Ruang dan Bencana 2 Oktober 2013.


http://aceh.tribunnews.com/2013/10/02/tata-ruang-dan-bencana

National Preparedness Directorate (FEMA). 2014. Title: Comparative Emergency Management.


Session 14: Structural Mitigation . www.training.fema.gov/

National Preparedness Directorate (FEMA). 2014. Title: Comparative Emergency Management.


Session 15: Session 15: Nonstructural Mitigation. www.training.fema.gov/

PMI Kabupaten Tegal. 2010. Sibat Desa Bumijawa Petakan Risiko Bencana.
http://pmikabupatentegal.blogspot.com/2012/10/sibat-desa-bumijawa-petakan-
risiko.html

Rosyidie, Arief. 2004. Aspek Kebencanaan pada Kawasan Wisata. Jurnal perencanaan Wilayah
dan Kota, Vol. 15, Nomor 3, Juli 2004. Bandung : ITB.

You might also like