You are on page 1of 5

PELUKIS

Antonio Maria Blanco


Antonio Maria Blanco (lahir di Manila, Filipina, 15 September 1912 meninggal
di Bali, Indonesia, 10 Desember 1999 pada umur 87 tahun) adalah seorang pelukis
keturunan Spanyol dan Amerika. Antonio lahir di distrik Ermita di Manila, Filipina. Ia pada
mulanya hidup dan bekerja di Florida dan California, Amerika Serikat, hingga pada suatu waktu
hatinya tertarik untuk mengeksplorasi pulau-pulau di Samudra Pasifik sebagai sumber
inspirasinya seperti pelukis Paul Gauguin, Jos Miguel Covarrubias dan yang lainnya sebelum
dirinya. Ia berencana untuk pergi ke Tahiti, tetapi nasib membawanya
ke Hawaii, Jepang dan Kamboja, dimana ia menjadi tamu kehormatan Pangeran Norodom
Sihanouk.
Dari Cambodia ia kemudian pergi ke Bali pada tahun 1952 dan menikahi seorang wanita model
lukisannya dan seorang penari tradisional Bali bernama Ni Ronji pada tahun
1953. Bali memberikan Antonio elemen penting yang ia butuhkan untuk membangun hasrat
seninya yang jenius: pemandangan yang indah, suasana lingkungan yang seperti impian, dan
keberadaan seni dan cinta yang luar biasa.
Semenjak saat itu, Antonio tidak pernah meninggalkan mimpinya dan mulai mewujudkan
mimpinya itu dalam hidup dan karya-karyanya. Ia membangun sebuah rumah tinggal plus
museum di Ubud yang menjadi tempat istirahatnya yang penuh keajaiban. Bangunan tersebut
dibangun berdasarkan citra dan kesukaannya dimana Antonio menjadi sangat betah tinggal di
dalamnya dan sangat jarang keluar.
Tanah tempat dibangunnya tempat tinggal Antonio tersebut adalah tanah pemberian
Raja Ubud dari Puri Saren Ubud, Tjokorda Gde Agung Sukawati.
Orang tidak akan bisa membicarakan Antonio Blanco tanpa berbicara mengenai wanita sebab
wanita adalah fokus dari karya-karya lukisnya. Bisa dikatakan bahwa Antonio adalah seorang
pelukis feminin abadi. Ia merupakan seorang maestro lukisan romantik-ekspresif.
Sepanjang kariernya, Antonio menerima berbagai penghargaan, termasuk diantaranya Tiffany
Fellowship (penghargaan khusus dari The Society of Honolulu Artists), Chevalier du
Sahametrai dari Cambodia, Society of Painters of Fine Art Quality dari
Presiden Soekarno dan Prize of the Art Critique di Spanyol. Antonio juga menerima
penghargaan Cruz de Caballero dari Raja Spanyol Juan Carlos I yang memberikannya hal untuk
menyandang gelar "Don" di depan namanya. [1]
Banyak kolektor yang menghargai karya-karya lukisnya, seperti aktris Ingrid Bergman, ratu
telenovela Mexico Thala (Ariadna Thala Sodi Miranda), Soekarno (Presiden
pertama Indonesia), Soeharto (Presiden kedua Indonesia), mantan Wakil Presiden
Indonesia Adam Malik, Pangeran Norodom Sihanouk, Michael Jackson (penyanyi yang dijuluki
Raja Pop Dunia yang sempat membubuhkan tanda-tangannya pada sebuah lukisan sebagai
sebuah donasi untuk Children of the World Foundation), dan masih banyak lagi.[butuh rujukan]
Keinginan Antonio untuk suatu hari nanti memiliki museum akhirnya mulai terwujud juga dan
diberi nama The Blanco Renaissance Museum. Museum yang mulai dibangun pada 28 Desember
1998 di lingkungan kediamannya yang asri itu kini berdiri megah, menyimpan lebih dari 300
karya Antonio dan secara kronologis memperlihatkan pencapaian estetik dari Antonio muda
hingga yang paling mutakhir. Secara arsitektural, bangunan museum yang berkesan rococo itu
juga menawarkan filosofi dan kearifan Bali.
Don Antonio Maria Blanco meninggal dunia pada tanggal 10 Desember 1999 di Denpasar, Bali,
akibat penyakit jantung dan ginjal yang dideritanya. Ia meninggalkan seorang istri dan empat
orang anak: Cempaka, Mario, Orchid dan Mahadewi. Semenjak Antonio telah menjadi penganut
Hindu, upacara persiapan kremasi ala Bali untuknya diadakan di sebuah rumah peristirahatan
jenazah di Campuhan, Ubud, yang diikuti dengan rentetan upacara lainnya semenjak tanggal 23
Desember 1999. Peristiwa pembakaran mayatnya sendiri (Ngaben) baru terjadi pada tanggal 28
Desember 1999.

PENARI

Ni Ketut Arini
Ni Ketut Arini lahir di Denpasar, Bali, 15 Maret 1943. Sejak usia muda, dia sudah mendalami
dunia kesenian, utamanya seni tari dari pamannya. Meskipun awalnya, keluarganya tidak
mengizinkan dia menari karena postur tubuh dan kulitnya dianggap kurang menarik, namun itu
justru membuatnya bersemangat untuk terus belajar menari. Minatnya itu kemudian diperdalam
dengan melanjutkan pendidikan di Sekolah Konservatori Kerawitan Indonesia Jurusan Bali
(KOKAR BALI) dan Sekolah Tinggi Seni IndonesiaDenpasar. Di sekolah ini, ia mempelajari
teknik tari Bali secara teori dan praktik sebagai disiplin studi dan ekspresi seni, sehingga
pemikiran-pemikiran mengenai tari Bali semakin berkembang. Ia juga belajar menari
kepada Mario di Tabanan, Lokasabha di Gianyar, dan Biang Sengok, khusus untuk
tari Legong gaya Peliatan.[3][4]
Tahun 1957, ia resmi menjadi penari Bali saat terpilih menjadi Sang Hyang Dedari di Banjar
Pande, Desa Sumerta Kaja (Denpasar-Bali). Hal ini merupakan kebanggaan bagi dirinya, karena
penari pada waktu itu sangat dihormati dan dianggap sakral pada saat akan menari. Di usia 14
tahun ia sudah mengajar tari di berbagai sanggar tari. Pada perkembangannya, Ni Ketut Arini
kemudian dikenal sebagai maestro tari Condong, yang mengisahkan tokoh pembantu putri raja.
Tokoh pembantu ini selalu ditampilkan pada drama tari Bali sesuai perkembangan zamannya,
mulai tari Gambuh (drama tari dengan dialog), tari Arja (drama tari dengan nyanyian),
dan Legong (tari yang diiringi gamelan pelegongan).
Selain Condong, ia juga menghidupkan kembali tari Legong Klasik yang nyaris ditinggalkan
penerusnya. Di Bali, ada 14 gaya tari Legong Klasik, dan ia menguasai enam di antaranya,
yaitu Legong Pelayon, Lasem, Kuntul, Kuntir, Jobog, dan Semarandhana. Keenam tarian itu ia
ajarkan di sanggarnya, Warini. Muridnya tak hanya datang dari sekitar sanggar, tetapi juga dari
negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Swiss. Di sanggar yang dirikan tahun 1973, ini
setiap tahun meluluskan sekitar 100 siswa tari. Ia mempunyai cara agar tari klasik Bali tetap
dipelajari generasi muda, yaitu menggunakan gamelan dan gong sebagai pengiring gerakan. Ia
tak memakai hitungan untuk setiap gerakan yang dilakukan, Dengan iringan gamelan, anak-anak
merasa sudah menari dan itu membuat mereka bersemangat.[5]
Sejak tahun 1965 Ni Ketut Arini menjalani misi kebudayaan ke berbagai negara. Bersama salah
seorang muridnya dari Amerika Serikat, Rucina Balinger, pada tahun 2004, bekerja sama
mengangkat kembali karya gurunya, I Nyoman Kaler, antara lain tari Panji Semirang,
Mregapati, Wiranata, Demang Miring, Candrametu, Puspawarna, Bayan Nginte, Kupu-kupu
Tarum, dan Legong Kebyar. Legong Kebyar sendiri pernah terkenal di Bali, lalu hilang karena
tak ada yang menarikannya. Keberadaan tarian itu hanya diceritakan di buku-buku. Mereka
kemudian menggali lagi karya Kaler lewat simposium dan pementasan yang ditarikan tiga penari
lanjut usia, dewasa, dan remaja. Tahun 2010, mendokumentasikan enam tari Legong yang
dikuasainya untuk arsip Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar dan menjadi bahan ajar
bagi mahasiswa tari.
PENYAIR
Chairil Anwar
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan puisinya yang
berjudul Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun.[6] Hampir semua puisi-puisi
yang ia tulis merujuk pada kematian.[6] Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di
majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu
individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur
Raya. Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi
hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-
puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak
diterbitkan hingga tahun 1945.[6][7] Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah
Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa,
namun bercerai pada akhir tahun 1948. Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi
fisiknya. Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil
meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949; penyebab kematiannya tidak diketahui
pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman
Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.[8] Chairil dirawat di CBZ (RSCM) dari 22-28 April
1949. Menurut catatan rumah sakit, ia dirawat karena tifus. Meskipun demikian, ia sebenarnya
sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi yang menyebabkan dirinya makin lemah,
sehingga timbullah penyakit usus yang membawa kematian dirinya - yakni ususnya pecah. Tapi,
menjelang akhir hayatnya ia menggigau karena tinggi panas badannya, dan di saat dia insaf akan
dirinya dia mengucap, "Tuhanku, Tuhanku..." Dia meninggal pada pukul setengah tiga sore 28
April 1949, dan dikuburkan keesokan harinya, diangkut dari kamar mayat RSCM ke Karet oleh
banyak pemuda dan orang-orang Republikan termuka.[9] Makamnya diziarahi oleh ribuan
pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari
Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil
telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat dalam puisi
berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus".[3]

Selama hidupnya, Chairil telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi; kebanyakan tidak
dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara Menderai Sampai
Jauh, ditulis pada tahun 1949,[4] sedangkan karyanya yang paling terkenal
berjudul Aku dan Krawang Bekasi.[5] Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang
diduga diciplak, dikompilasi dalam tiga buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi
pertama berjudul Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang
Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul
Sani dan Rivai Apin)

You might also like