You are on page 1of 38

STROKE ISKEMIK : AFASIA

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan


Klinik Senior pada Bagian / SMF Neurologi Fakultas Kedokteran Unsyiah
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun Oleh :
Weny Noralita
(1607101030020)

Pembimbing:
dr. Sri Hastuti, Sp.S

BAGIAN/SMF NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2017

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T. yang telah

1
menciptakan manusia dengan akal dan budi dan berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus ini. Shalawat beriring salam
penulis sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW, atas semangat perjuangan
dan panutan bagi umatnya.
Adapun tugas Laporan kasus ini berjudul Stroke Iskemik: Afasia.
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian / SMF Neurologi Fakultas Kedokteran Unsyiah BPK RSUD dr.
Zainoel Abidin BandaAceh.
Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada dr. Sri Hastuti, Sp.S yang telah meluangkan waktunya untuk
memberi arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran
dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan penulis terima dengan
tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa
mendatang.

Banda Aceh, 26 Januari 2017

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar........................................................................................................... 2
Daftar isi.....................................................................................................................
3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................4

2
1.1. Latar Belakang....................................................................................................
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 5
2.1. Cedera Kepala......................................................................................................
5
2.2. Definisi Subarachnoid Haemorhage....................................................................
6
2.3. Anatomi Meningen..............................................................................................6
2.4 Epidemiologi........................................................................................................8
2.5 Etiologi.................................................................................................................9
2.6. Patofisiologi........................................................................................................9
2.7. Diagnosis............................................................................................................10
2.8. Diagnosis Banding.............................................................................................13
2.9. Tatalaksana.........................................................................................................15
2.10. Komplikasi.......................................................................................................16
2.11. Prognosis..........................................................................................................19
BAB III LAPORAN KASUS.................................................................................. 20
3.1. Identitas
Pasien................................................................................................... 20
3.2. Anamnesis.........................................................................................................
.. 20
3.3. Vital
Sign............................................................................................................ 21
3.4. Pemeriksaan
Fisik............................................................................................... 21
3.5. Status
Neurologis................................................................................................ 24
3.6. Pemeriksaan
Penunjang.................................................................................. 26
3.7. Diagnosis
Kerja...................................................................................................28
3.8. Penatalaksanaan.................................................................................................
. 28
3.9. Prognosis...........................................................................................................
.. 29
BAB IV ANALISISKASUS.................................................................................. 30
BAB V KESIMPULAN.......................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA... ............................................................................................36
BAB I
PENDAHULUAN

Stroke merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang


ditandai dengan tingginya morbiditas dan mortalitasnya. Stroke
merupakan penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal

3
dan/atau global, munculnya mendadak, progresif dan cepat. Gangguan
fungsi syaraf pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah
otak non traumatik dan menyebabkan gejala antara lain: kelumpuhan
wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo),
1
mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain.
Jumlah penderita stroke terus meningkat setiap tahun, tidak hanya
menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang
berusia muda dan produktif. Pada tahun 2010, penderita stroke di dunia
sebanyak 33 juta orang dengan 16,9 juta (51,2%) orang yang mengalami
stroke pertama. Stroke menjadi penyebab kecacatan nomor satu dan
penyebab kematian nomor dua di dunia setelah penyakit jantung yaitu
11,13% dari total kematian di seluruh dunia. 2
Setiap tahun, hampir 795.000 orang Amerika mengalami stroke,
dan stroke mengakibatkan hampir 129.000 kematian. Di Amerika Serikat
tercatat setiap 40 detik terjadi kasus stroke, dan setiap 4 menit terjadi
kematian akibat stroke. 2
Di negara-negara ASEAN penyakit stroke juga merupakan masalah
kesehatan utama penyebab kematian. Dari data South East Asian Medical
Information Centre (SEAMIC) tahun 2008 diketahui bahwa angka kematian
stroke terbesar terjadi di Indonesia yang diikuti secara berurutan oleh Filipina,
Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Setiap 7 orang yang meninggal di
Indonesia, 1 diantaranya karena stroke. 2
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, diketahui bahwa
prevalensi stroke mengalami peningkatan sebesar 3,8%, dimana hasil Riskesdas
RI tahun 2007 ditemukan stroke di Indonesia sebesar 8,3% dan stroke tahun 2013
sebesar 12,1 %. Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan
pendidikan rendah sebesar 49,3%, prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di
desa sebesar 20,9 dan prevalensi stroke lebih tinggi pada masyarakat yang tidak
bekerja sebesar 29,4%. 1
Stroke secara luas diklasifikasikan ke dalam stroke iskemik dan
hemoragik. Faktor risiko stroke di antaranya adalah merokok, hipertensi,
hiperlipidemia, fibrilasi atrium, penyakit jantung iskemik, penyakit katup jantung,

4
dan diabetes. Data mengenai faktor risiko yang dapat memicu terjadinya stroke
mengalami peningkatan, seperti prevalensi umur > 18 tahun di Indonesia sebesar
31,7% dengan kasus hipertensi terdiagnosis/ minum obat 23,9% dan tidak
terdiagnosis 76,1%. Kasus diabetes mellitus sebanyak 5,7% dari total populasi,
1,5% sudah terdiagnosis dan 4,2% belum terdiagnosis. 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stroke Iskemik


Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif,
cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global, yang berlangsung 24 jam
atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata di sebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik.3
Stroke iskemik adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak
yang disebabkan kurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu kebutuhan
darah dan oksigen di jaringan otak. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih pada
umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan
cacat atau kematian. Stroke iskemik sekitar 85%, yang terjadi akibat obstruksi
atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi
dapat disebabkan oleh bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh
otak atau pembuluh atau organ distal. Trombus yang terlepas dapat menjadi
embolus.4

2.2 Etiologi Stroke Iskemik


Stroke iskemik bisa terjadi akibat suatu dari dua mekanisme patogenik
yaitu trombosis serebri atau emboli serebri. Trombosis serebri menunjukkan
oklusi trombotik arteri karotis atau cabangnya, biasanya karena arterosklerosis
yang mendasari. Proses ini sering timbul selama tidur dan bisa menyebabkan
stroke mendadak dan lengkap. Defisit neurologi bisa timbul progresif dalam
beberapa jam atau intermiten dalam beberapa jam atau hari.4
Emboli serebri terjadi akibat oklusi arteria karotis atau vetebralis atau
cabangnya oleh trombus atau embolisasi materi lain dari sumber proksimal,

5
seperti bifurkasio arteri karotis atau jantung. Emboli dari bifurkasio karotis
biasanya akibat perdarahan ke dalam plak atau ulserasi di atasnya di sertai
trombus yang tumpang tindih atau pelepasan materi ateromatosa dari plak sendiri.
Emboli serebri sering dimulai mendadak, tanpa tanda-tanda disertai nyeri kepala
berdenyut.4
2.3 Klasifikasi Stroke Iskemik
Stroke iskemik merupakan 88% dari seluruh kasus stroke. Pada stroke
iskemik terjadi iskemia akibat sumbatan atau penurunan aliran darah otak. 11
Berdasarkan perjalanan klinis, dikelompokkan menjadi:5
a. TIA (Transient Ischemic Attack)
Pada TIA gejala neurologis timbul dan menghilang kurang dari 24
jam. Disebabkan oleh gangguan akut fungsi fokal serebral, emboli
maupun trombosis
b. RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)
Gejala neurologis pada RIND menghilang lebih dari 24 jam namun
kurang dari 21 hari.
c. Stroke in Evolution Stroke yang sedang berjalan dan semakin
parah dari waktu ke waktu.
d. Completed Stroke
Kelainan neurologisnya bersifat menetap dan tidak berkembang
lagi.

Stroke iskemik dibagi lagi berdasarkan lokasi penggumpalan, yaitu: 5


a. Stroke Iskemik Embolik
Pada tipe ini embolik tidak terjadi pada pembuluh darah otak,
melainkan di tempat lain seperti di jantung dan sistem vaskuler sistemik.
Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada penyakit jantung dengan shunt
yang menghubungkan bagian kanan dengan bagian kiri atrium atau ventrikel.
Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan
gangguan pada katup mitralis, fibrilasi atrium, infark kordis akut dan embolus
yang berasal dari vena pulmonalis. Kelainan pada jantung ini menyebabkan
curah jantung berkurang dan serangan biasanya muncul disaat penderita
tengah beraktivitas fisik seperti berolahraga.

6
b. Stroke Iskemik Trombus
Terjadi karena adanya penggumpalan pembuluh darah di otak.
Dapat dibagi menjadi stroke pembuluh darah besar (termasuk sistem arteri
karotis) merupakan 70% kasus stroke iskemik trombus dan stroke pembuluh
darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus posterior). Trombosis
pembuluh darah kecil terjadi ketika aliran darah terhalang, biasanya ini terkait
dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit atherosklerosis. 5

2.4 Faktor risiko


Beberapa faktor risiko stroke yang sering teridentifikasi pada stroke
iskemik, diantaranya yaitu faktor risiko yang tidak dapat di modifikasi dan yang
dapat di modifikasi.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :6
a. Usia
Pada umumnya risiko terjadinya stroke mulai usia 35 tahun dan
akan meningkat dua kali dalam dekade berikutnya. 40% berumur 65 tahun
dan hampir 13% berumur di bawah 45 tahun.
b. Jenis kelamin
Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia, ternyata bahwa
kaum pria lebih banyak menderita stroke di banding kaum wanita,
sedangkan perbedaan angka kematianya masih belum jelas.
c. Heriditer
Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya
hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus dan kelainan pembuluh
darah, dan riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih
anggota keluarga pernah mengalami stroke pada usia kurang dari 65 tahun,
meningkatkan risiko terkena stroke. Menurut penelitian Tsong Hai Lee di
Taiwan pada tahun 1997-2001 riwayat stroke pada keluarga meningkatkan
risiko terkena stroke sebesar 29,3%.
d. Rasa atau etnik
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada kulit
putih. Data sementara di Indonesia, suku Padang lebih banyak menderita
dari pada suku Jawa

7
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi :7
a. Riwayat stroke
Seseorang yang pernah memiliki riwayat stoke sebelumnya dalam
waktu lima tahun kemungkinan akan terserang stroke kembali sebanyak
35% sampai 42%.
b. Hipertensi
Hipertensi meningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak empat
sampai enam kali ini sering di sebut the silent killer dan merupakan
risiko utama terjadinya stroke iskemik dan stroke hemoragik. Berdasarkan
Klasifikasi menurut JNC 7 yang dimaksud dengan tekanan darah tinggai
apabila tekanan darah lebih tinggi dari 140/90 mmHg, makin tinggi
tekanan darah kemungkinan stroke makin besar karena mempermudah
terjadinya kerusakan pada dinding pembuluh darah, sehingga
mempermudah terjadinya penyumbatan atau perdarahan otak.
c. Penyakit jantung
Penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot jantung,
paska operasi jantung juga memperbesar risiko stroke, yang paling sering
menyebabkan stroke adalah fibrilasi atrium, karena memudahkan
terjadinya pengumpulan darah di jantung dan dapat lepas hingga
menyumbat pembuluh darah otak.
d. Diabetes melitus
Kadar gulakosa dalam darah tinggi dapat mengakibatkan kerusakan
endotel pembuluh darah yang berlangsung secara progresif.
e. TIA
TIA merupakan serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak
dan singkat akibat iskemik otak fokal yang cenderung membaik dengan
kecepatan dan tingkat penyembuhan bervariasi tapi biasanya 24 jam. Satu
dari seratus orang dewasa di perkirakan akan mengalami paling sedikit
satu kali TIA seumur hidup mereka, jika diobati dengan benar, sekitar 1/10
dari para pasien ini akan mengalami stroke dalam 3,5 bulan setelah
serangan pertama, dan sekitar 1/3 akan terkena stroke dalam lima tahun

8
setelah serangan pertama.

f. Hiperkolesterol
Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak
bebas. Kolesterol dan trigliserida adalah jenis lipid yang relatif mempunyai
makna klinis penting sehubungan dengan aterogenesis. Lipid tidak larut
dalam plasma sehingga lipid terikat dengan protein sebagai mekanisme
transpor dalam serum, ikatan ini menghasilkan empat kelas utama
lipuprotein yaitu kilomikron, lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL),
lipoprotein densitas rendah (LDL), dan lipoprotein densitas tinggi (HDL).
Dari keempat lipo protein LDL yang paling tinggi kadar kolesterolnya,
VLDL paling tinggi kadar trigliseridanya, kadar protein tertinggi terdapat
pada HDL.
Hiperlipidemia menyatakan peningkatan kolesterol dan atau
trigliserida serum di atas batas normal, kondisi ini secara langsung atau
tidak langsung meningkatkan risiko stroke, merusak dinding pembuluh
darah dan juga menyebabkan penyakit jantung koroner. Kadar kolesterol
total >200mg/dl, LDL >100mg/dl, HDL <40mg/dl, trigliserida >150mg/dl
dan trigliserida >150mg/dl akan membentuk plak di dalam pembuluh
darah baik di jantung maupun di otak. Menurut Dedy Kristofer (2010),
dari penelitianya 43 pasien, di dapatkan hiperkolesterolemia 34,9%,
hipertrigliserida 4,7%, HDL yang rendah 53,5%, dan LDL yang tinggi
69,8%.
g. Obesitas
Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan
diabetes melitus. Prevalensinya meningkat dengan bertambahnya umur.
Obesitas merupakan predisposisi penyakit jantung koroner dan stroke.
Mengukur adanya obesitas dengan cara mencari body mass index (BMI)
yaitu berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter
dikuadratkan. Normal BMI antara 18,50-24,99 kg/m2, overweight BMI
antara 25-29,99 kg/m2 selebihnya adalah obesitas.
h. Merokok

9
Merokok meningkatkan risiko terjadinya stroke hampir dua kali lipat,
dan perokok pasif berisiko terkena stroke 1,2 kali lebih besar. Nikotin dan
karbondioksida yang ada pada rokok menyebabkan kelainan pada dinding
pembuluh darah, di samping itu juga mempengaruhi komposisi darah
sehingga mempermudah terjadinya proses gumpalan darah.

2.5 Patofisiologi
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang
dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang
memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara
berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar
2% (1200-1400 gram) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20%
oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial.8
Dalam jumlah normal darah yang mengalir ke otak sebanyak 50-60ml per
100 gram jaringan otak per menit. Jumlah darah yang diperlukan untuk seluruh
otak adalah 700-840 ml/menit, dari jumlah darah itu di salurkan melalui arteri
karotis interna yang terdiri dari arteri karotis (dekstra dan sinistra), yang
menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum
anterior, yang kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian
belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior, selanjutnya
sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum
posterior membentuk suatu sirkulus Willisi.9
Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-
arteri yang membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum,
apabila aliran darah ke jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi
infark atau kematian jaringan. Perlu di ingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak
selalu menyebabkan infark di daerah otak yang di perdarahi oleh arteri tersebut
dikarenakan masih terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut.
Proses patologik yang sering mendasari dari berbagi proses yang terjadi di dalam
pembuluh darah yang memperdarhai otak diantaranya dapat berupa: 8
1. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada
aterosklerosis dan thrombosis.

10
2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok
atau hiperviskositas darah.
3. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal
dari jantung atau pembuluh ekstrakranium.

Gambar 2.1. Sirkulus Willisi. 9

Dari gangguan pasokan darah yang ada di otak tersebut dapat menjadikan
terjadinya kelainan-kelainan neurologi tergantung bagian otak mana yang tidak
mendapat suplai darah, yang diantaranya dapat terjadi kelainan di system motorik,
sensorik, fungsi luhur, yang lebih jelasnya tergantung saraf bagian mana yang
terkena.9

2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis dan gejala klinis
Gejala stroke iskemik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di
otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi
tempat gangguan peredaran darah. Gangguan yang biasanya terjadi yaitu
gangguan mototik (hemiparese), sensorik (anestesia, hiperestesia,

11
parastesia/geringgingan, gerakan yang canggung serta simpang siur, gangguan
nervus kranial, saraf otonom (gangguan miksi, defeksi, salvias), fungsi luhur
(bahasa, orientasi, memori, emosi) yang merupakan sifat khas manusia, dan
gangguan koordinasi (sidrom serebelar) :5,10
1. Disekuilibrium yaitu keseimbangan tubuh yang terganggu yang terlihat
seseorang akan jatuh ke depan, samping atau belakang sewaktu berdiri
2. Diskoordinasi muskular yang diantaranya, asinergia, dismetria dan
seterusnya. Asinergia ialah kesimpangsiuran kontraksi otot-otot dalam
mewujudkan suatu corak gerakan. Dekomposisi gerakan atau gangguan
lokomotorik dimana dalam suatu gerakan urutan kontraksi otot-otot baik
secara volunter atau reflektorik tidak dilaksanakan lagi. Disdiadokokinesis
tidak biasa gerak cepat yang arahnya berlawanan contohnya pronasi dan
supinasi. Dismetria, terganggunya memulai dan menghentikan gerakan.
3. Tremor (gemetar), bisa diawal gerakan dan bisa juga di akhir gerakan
4. Ataksia berjalan dimana kedua tungkai melangkah secara simpangsiur dan
kedua kaki ditelapakkanya secara acak-acakan.
Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang dimana
penderita stroke iskemik yang mengalami infrak bagian hemisfer otak kiri akan
mengakibatkan terjadinya kelumpuhan pada sebalah kanan, dan begitu pula
sebaliknya dan sebagian juga terjadi hemiparese dupleks, penderita stroke iskemik
yang mengalami hemiparese dupleks akan mengakibatkan terjadinya kelemahan
pada kedua bagian tubuh sekaligus bahkan dapat sampai mengakibatkan
kelumpuhan.11
Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak
mungkin berkaitan dengan pengelompokan gejala dan tanda berikut yang
tercantum dan disebut sindrom neurovaskular :5,11
1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior : gejala biasanya unilateral)
a. Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena,
akibat insufisiensi arteri retinalis
b. Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena
insufisiensi arteria serebri media
c. Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior atau arteria
serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas dan
mungkin mengenai wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka

12
terjadi afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara motorik
Broca.
2. Arteri serebri media (tersering)
a. Hemiparese atau monoparese kontralateral (biasanya mengenai
lengan)
b. Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral
c. Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua
fungsi yang berkaitan dengan bicara dan komunikasi
d. Disfasia
3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)
a. Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai
b. Defisit sensorik kontralateral
c. Demensia, gerakan menggenggam, reflek patologis
4. Sistem vertebrobasilaris (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya bilateral)
a.Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas
b. Meningkatnya reflek tendon
c.Ataksia
d. Tanda Babinski bilateral
e.Gejala-gejala serebelum, seperti tremor intention, vertigo
f. Disfagia
g. Disartria
h. Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah
i. Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi
j. Gangguan penglihatan dan pendengaran
5. Arteri serebri posterior
a. Koma
b. Hemiparese kontralateral
c. Afasia visual atau buta kata (aleksia)
d. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis.

13
Gambar 2.2 Oklusi Vaskular pada Stroke Iskemik12

Gejala akibat gangguan fungsi luhur: 13


1. Aphasia yaitu hilangnya kemampuan dalam berbahasa. Aphasia dibagi
dua yaitu, Aphasia motorik adalah ketidakmampuan untuk berbicara,
mengeluarkan isi pikiran melalui perkataannya sendiri, sementara
kemampuannya untuk mengerti bicara orang lain tetap baik. Aphasia
sensorik adalah ketidakmampuan untuk mengerti pembicaraan orang
lain, namun masih mampu mengeluarkan perkataan dengan lancar,
walau sebagian diantaranya tidak memiliki arti, tergantung dari
luasnya kerusakan otak.
2. Alexia adalah hilangnya kemampuan membaca karena kerusakan otak.
Dibedakan dari Dyslexia (yang memang ada secara kongenital), yaitu

14
Verbal alexia adalah ketidakmampuan membaca kata, tetapi dapat
membaca huruf. Lateral alexia adalah ketidakmampuan membaca
huruf, tetapi masih dapat membaca kata. Jika terjadi ketidakmampuan
keduanya disebut Global alexia.
3. Agraphia adalah hilangnya kemampuan menulis akibat adanya
kerusakan otak.
4. Acalculia adalah hilangnya kemampuan berhitung dan mengenal
angka setelah terjadinya kerusakan otak.
5. Right-Left Disorientation & Agnosia jari (Body Image) adalah
sejumlah tingkat kemampuan yang sangat kompleks, seperti
penamaan, melakukan gerakan yang sesuai dengan perintah atau
menirukan gerakan-gerakan tertentu. Kelainan ini sering bersamaan
dengan Agnosia jari (dapat dilihat dari disuruh menyebutkan nama jari
yang disentuh sementara penderita tidak boleh melihat jarinya).
6. Hemi spatial neglect (Viso spatial agnosia) adalah hilangnya
kemampuan melaksanakan bermacam perintah yang berhubungan
dengan ruang.
7. Syndrome Lobus Frontal, ini berhubungan dengan tingkah laku akibat
kerusakan pada kortex motor dan premotor dari hemisphere dominan
yang menyebabkan terjadinya gangguan bicara.
8. Amnesia adalah gangguan mengingat yang dapat terjadi pada trauma
capitis, infeksi virus, stroke, anoxia dan pasca operasi pengangkatan
massa di otak.
9. Dementia adalah hilangnya fungsi intelektual yang mencakup
sejumlah kemampuan.
2.6.2 Pemeriksaan fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke,
dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami, pemeriksaan neurologik
terdiri dari penilaian hal-hal berikut ini :14
1. Status mental
a. Tingkat kesadaran
b. Bicara
c. Orientasi
d. Pengetahuan kejadian-kejadian mutakhir
e. Respons emosional

15
f. Daya ingat
g. Berhitung
h. Pengenalan benda

2. Nervus kranial
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan
lesi
I: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya
penghidu)
II: Optikus Penglihatan Amaurosis
III: Okulomotorius Gerak mata; kontriksi Diplopia (penglihatan
pupil; akomodasi kembar), ptosis;
midriasis; hilangnya
akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Diplopia
V: Trigeminus Sensasi umum wajah, mati rasa pada wajah;
kulit kepala, dan gigi; kelemahan otot rahang
gerak mengunyah
VI: Abdusen Gerak mata Diplopia
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi Hilangnya kemampuan
umum pada platum dan mengecap pada dua pertiga
telinga luar; sekresi anterior lidah; mulut kering;
kelenjar lakrimalis, hilangnya lakrimasi; paralisis
submandibula dan otot wajah
sublingual; ekspresi
wajah
VIII: Pendengaran; Tuli; tinitus(berdenging terus
Vestibulokoklearis keseimbangan menerus); vertigo; nitagmus
IX: Glosofaringeus Pengecapan; sensasi Hilangnya daya pengecapan
umum pada faring dan pada sepertiga posterior
telinga; mengangkat lidah; anestesi pada farings;
palatum; sekresi mulut kering sebagian
kelenjar parotis
X: Vagus Pengecapan; sensasi Disfagia (gangguan menelan)
umum pada farings, suara parau; paralisis
laring dan telinga; palatum
menelan; fonasi;
parasimpatis untuk
jantung dan visera
abdomen
XI: Asesorius Spinal Fonasi; gerakan Suara parau; kelemahan otot
kepala; leher dan bahu kepala, leher dan bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan
lidah
Tabel 2.2 . Gangguan nervus kranial.15

16
3. Fungsi motorik
a. Massa otot bisa dengan inspeksi.
b. Kekuatan otot, dengan menyuruh pasien bergerak secara aktif melawan
tahanan, bandingkan dengan sisi yang lain. Sekala yang lazim digunakan
yaitu 0: tidak ada kontraksi, 1: hanya ada sedikit kontraksi, 2: gerakan
yang dibatasi oleh gravitasi, 3: gerakan melawan gravitasi, 4: gerakan
melawan gravitasi dengan sedikit tahanan, 5: gerakan melawan gravitasi
dengan tahanan penuh (normal).
c. Tonus otot dengan membandingkan gerakan pasif pada otot itu bandingkan
dengan sisi yang lain, lesi neuron motorik atas terjadi peningkatan tonus
tetapi sebaliknya lesi pada neuron motorik bawah menyebabkan penurunan
tonus otot.
4. Reflek
Ada dua jenis reflek yang di periksa yaitu reflek renggang, atau tendo
profunda, dan reflek superfisial. Reflek renggang diantaranya yaitu reflek biseps,
brakioradialis, triseps, patela dan achiles bisa dinilai berdasarkan skala 0-4+ yaitu
0: tak ada respon, 1+: berkurang, 2+: normal, 3+: meningkat, 4+: hiperaktif. Jika
reflek hiperaktif merupakan ciri penyakit traktus ekstrapiramidalis, kelainan
elektrolit, hipertiroidisme dan kelainan metabolik, sedangkan jika reflek
berkurangnya reflek merupakan ciri kelainan sel kornu anterior dan miopati.
Reflek superfisial yang abnormal yaitu reflek babinski, reflek chaddock, reflek
openheim. Reflek babinski untuk menguji radiks saraf pada lumbal lima sampai
sacrum dua, dengan menggores bagian telapak kaki bagian lateral dari tumit ke
arah pangkal jari-jari kaki melengkung ke medial, maka akan terjadi dorsifleksi
ibu jari kakai dengan penyebaran jari-jari lainya. Reflek chaddock akan terjadi
dorsofleksi ketika sisi lateral kaki di gores. Reflek openheim dengan penekanan
tulang kering yang akan menyebabkan dorsofeksi ibu jari kaki.
5. Fungsi sensorik
a. Sentuhan ringan
b. Sensasi nyeri
c. Sensasi getar
d. Propriosepsis (sensasi posisi)
e. Lokalisasi taktil.
6. Fungsi serebelar

17
a. Tes jari ke hidung jika terjadi gangguan di serebelum maka akan melewati
sasaran secara terus menerus dan kadang di sertai tremor.
b. Tes tumit kelutut, pasien di suruh menggeserkan tumit suatu ekstremitas
bawah menuruni tulang kering ekstremitas bawah lainya dengan dimulai
dari lutut, dalam keadaan penyakit serebelum tumitnya bergoyang-
goyang dari sisi ke sisi.
c. Gerakan yang berganti-ganti dengan cepat.
d. Tes Romberg dengan cara menyuruh pasien berdiri di depan pemeriksa,
dengan kaki di rapatkan sehingga kedua tumit dan jari-jari kaki saling
bersentuhan tes ini positif jika pasien mulai bergoyang-goyang dan harus
memindahkan kakinya untuk keseimbangan.
e. Gaya berjalan. Hemiplegi cenderung menyeret kakinya. parkinson cenderung
berjalan dengan langkah pendek, diseret, kepala membungkuk dengan
punggung membungkuk dan tergesa-gesa. Ataksia serebelum berjalan
dengan langkah kaki berdasar lebar, kedua kakinya sangat jauh terpisah
ketika berjalan. Foot drop dengan gaya berjalan seperti menampar yang
khas. Ataksia sensoris yaitu berjalan dengan langkah-langkah yang
tinggi.

2.6.3 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan laboratorium standar biasanya di gunakan untuk menentukan
etiologi yang mencakup urinalisis, darah lengkap, kimia darah, dan serologi.
Pemeriksaan yang sering dilakukan untuk menentukan etiologi yaitu pemeriksaan
kadar gula darah, dan pemeriksaan lipid untuk melihat faktor risiko dislipidemia :
16

1. EKG
2. Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal hemostasis,
kadar gula darah, analisis urin, analisa gas darah, dan elektrolit)
Tabel 2.3. Kadar glukosa darah.9
Kriteria diagnostik DM
Bukan DM Belum pasti DM DM (mg/dl)
(mg/dl) (mg/dl)
Kadar glukosa darah sewaktu

Plasma Vena <110 110 199 >200


Darah kapiler <90 90 199 >200

18
Kadar glukosa darah puasa

Plasma vena <110 110 125 >126


Darah <90 90 109 >110
Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke, namun tidak sekuat
hipertensi. Gatler menyatakan bahwa penderita stroke aterotrombotik di jumpai
30% dengan diabetes mellitus. Diabetes melitus mampu menebalkan pembuluh
darah otak yang besar, menebalnya pembuluh darah otak akan mempersempit
diameter pembuluh darah otak dan akan mengganggu kelancaran aliran darah otak
di samping itu, diabetes melitus dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis
(pengerasan pembuluh darah) yang lebih berat sehingga berpengaruh terhadap
terjadinya stroke.5,17
Tabel 2.4. Kadar Lipid Serum Normal.18
Kolesterol Total (mg/dl)
Optimal < 200
Diinginkan 200 239
Tinggi 240

LDL
Optimal < 100
Mendekati
optimal 100 129
Diinginkan 130 159
Tinggi 160 189
Sangat tinggi 190

HDL
Rendah < 40
Tinggi 60

Trigliserida
Optimal < 150
Diinginkan 150 199
Tinggi 200 449
Sangat tinggi 500

LDL adalah lipoprotein yang paling banyak mengandung kolesterol. LDL


merupakan komponen utama kolesterol serum yang menyebabkan peningkatan
risiko aterosklerosis, HDL berperan memobilisasi kolesterol dari ateroma yang
sudah ada dan memindahkannya ke hati untuk diekskresikan ke empedu , oleh

19
karena itu kadar HDL yang tinggi mempunyai efek protektif dan dengan cara
inilah kolesterol dapat di turunkan, namun penurunan kadar HDL merupakan
faktor yang meningkatkan terjadinya aterosklerosis dan stroke.19
Pemeriksaan lain yang dapat di lakukan adalah dengan menggunakan
teknik pencitraan diantaranya yaitu :19
1. Thorax
2. CT Scan
Pencitraan otak sangat penting untuk mengkonfirmasi diagnosis
stroke iskemik. Non contrast computed tomography (CT) scanning adalah
pemeriksaan yang paling umum digunakan untuk evaluasi pasien dengan
stroke akut yang jelas. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk
menentukan distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi
kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalanya mirip dengan stroke
(hematoma, neoplasma, abses).19
Kasus stroke iskemik hiperakut (0-6 jam setelah onset), CT Scan biasanya
tidak sensitif mengidentifikasi infark serebri karena terlihat normal pada >50%
pasien, tetapi cukup sensitif untuk mengidentifikasi perdarahan intrakranial akut
dan/atau lesi lain yang merupakan kriteria eksklusi untuk pemberian terapi
trombolitik..20

2.7 Diagnosis Banding

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Stroke Iskemik
1. Pengobatan terhadap hipertensi pada stroke akut
Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15%
(sistolik maupun diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila
tekanan darah sistolik (TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolic (TDD)
>120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi terapi
trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS <185 mmHg dan
TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Selanjutnya,
tekanan darah harus dipantau hingga TDS <180 mmHg dan TDD <105
mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA. Obat antihipertensi yang

20
digunakan adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem
intravena.
2. Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak direkomendasikan
diberikan pada kebanyakan pasien stroke iskemik (AHA/ASA, Level of
evidence A)
3. Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia
a. Hiperglikemia
Sasaran kadar glukosa darah = 80-180 mg/dl (90-110 untuk intensive care
unit ICU) Standart drip insulin 100 U/100 ml 0,9% NaCl via infus (IU/1ml).
Infus insulin harus dihentikan bila penderita makan dan menerima dosis
pertama dari insulin subkutan
b. Hipoglikemia
Hentikan insulin drip. Berikan dextrose 50% dalam air (D50W) intravena.
Bila penderita sadar: 25 ml (1/2 amp) ii. Bila tak sadar: 50 ml (1 amp)
Periksa ulang gula darah tiap 20 menit dan beri ulang 25 ml D50W intravena
bila gula darah 70 mg/dl (periksa 2 kali).
4. Strategi untuk memperbaiki aliran darah dengan mengubah reologik darah
secara karakteristik dengan meningkatkan tekanan perfusi tidak
direkomendasikan (grade A).
5. Pemberian terapi trombolisis pada stroke akut
a. Pemberian IV rTPA dosis 0,9 mg/KgBB (maksimum 90 mg), 10% dari
dosis total diberikan sebagai bolus inisial, dan sisanya diberikan sebagai infus
selama 60 menit, terapi tersebut harus diberikan dalam rentang waktu 3 jam
dari onset (AHA/ASA, Class I, Level of evidance A).
b. Pemberian rTPA dorekomendasikan secepat mungkin yaitu dalam rentang
waktu 3 jam (AHA/ASA, Class I, Level of evidance A) atau 4,5 jam (ESO
2009).
c. Disamping komplikasi perdarahan, efek samping lain yang mungkin
terjadi yaitu angioedema yang dapat menyebabkan obstruksi jalan napas
parsial, harus diperhatikan. (AHA/ASA, Class I, Level of evidance C)
6. Pemberian antikoagulan
a. Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya stroke
ulang awal, menghentikan perburukan deficit neurologi, atau memperbaiki

21
keluaran setelah stroke iskemik akut tidak direkomendasikan sebagai
pengobatan untuk pasien dengan stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class
III, Level of evidence A)
b. Antikoagulasi urgent tidak drekomendasikan pada penderita dengan
stroke akut sedang sampai berat karena meningkatnya risiko komplikasi
perdarahan intracranial (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A)
c. Inisiasi pemberian terapi antikoagulan dalam jangka waktu 24 jam
bersamaan dengan pemberian intravena rtPA tidak direkomendasikan
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
d. Secara umum, pemberian heparin,.LMWH atau heparinoid setelah
stroke iskemik akut tidak bermanfaat. Namun, beberapa ahli masih
merekomendasikan heparin dosis penuh pada penderita stroke iskemik
akut dengan risiko tinggi terjadi reembolisasi, diseksi arteri atau stenosis
berat arteri karotis sebelum pembedahan. Kontraindikasi pemberian
heparin juga termasuk infark besar >50%, hipertensi yang tidak dapat
terkontrol, dan perubahan mikrovaskuler otak yang luas
7. Pemberian antiplatelet
a. Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24 sampai 48 jam
setelah awitan stroke dianjurkan untuk seiap stroke iskemik akut
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).
b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi akut
pada stroke, seperti pemberian rtPA intravena (AHA/ASA, Class III, Level
of evidence B).
c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
d. Penggunaan aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah
pemberian obat trombolitik tidak dierkomendasikan (AHA/ASA, Class III,
Level of evidence A).
e. Pemberian klopidrogel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada stroke
iskemik akut, tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C),
kecuali pada pasien dengan indikasi spesifik, misalnya angina pectoris tidak
stabil, non-Q-wave MI, atau recent stenting, pengobatan harus diberikan

22
sampai 9 bulan setelah kejadian (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).
f. Pemberian antiplatelets intravena yang menghambat reseptor glikoprotein
IIb/IIIa tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
8. Hemodilusi dengan atau tanpa venaseksi dan ekspansi volume tidak
dianjurkan dalam terapi stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence A).
9. Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi
stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).3
10. Dalam keadaan tertentu, vasopressor terkadang digunakan untuk
memperbaiki aliran darah ke otak (cerebral blood flow). Pada keadaan tersebut,
pemantauan kondisi neurologis dan jantung harus dilakukan secara ketat.
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
11. Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang
efekif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of
evidence A). Namun, citicolin sampai saat ini masih memberikan manfaat pada
stroke akut. Penggunaan citicolin pada stroke iskemik akut dengan dosis 2x1000
mg intravena 78 hari dan dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg selama 3 minggu
dilakukan dalam penelitian ICTUS (International Citicholin Trial in Acute Stroke,
ongoing). Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh PERDOSSI secara
multisenter, pemberian Plasmin oral 3x500 mg pada 66 pasien di 6 rumah sakit
pendidikan di Indonesia menunjukkan efek positif pada penderita stroke akut
berupa perbaikan motoric, score MRS dan Barthel index.
12. Cerebral venous sinus thrombosis (CVST)
Diagnosa CVST tetap sulit. Faktor risiko yang mendasari baru diketahui
sebesar 80%. Beberapa faktor risiko sering dijumpai bersamaan. Penelitian The
International Study On Cerebral Vein And Dural Sinus Thrombosis (ISCVT)
mendapatkan 10 faktor risiko terbanyak, antara lain kontrasepsi oral (54,3%),
trombofilia (34,1%), masa nifas (13,8%), infeksi dapat berupa infeksi SSP, infeksi
organ-organ wajah, dan infeksi lainnya (12,3%), gangguan hematologi seperti
anemia, trombositemia, polisitemia (12%), obat-obatan (7,5%), keganasan (7,4%),
kehamilan (6,3%), presipitasi mekanik termasuk cedera kepala (4,5%), dan
vaskulitis (3%). Penatalaksanaan CVST diberikan secara komprehensif, yaitu

23
dengan terapi antitrombotik, terapi simptomatik, dan terapi penyakit dasar.
Pemberian terapi UFH atau LMWH direkomendasikan untuk diberikan, walaupun
terdapat infark hemoragik (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). Terapi
dilanjutkan dengan antikoagulan oral diberikan selama 3-6 bulan, diikuti dengan
terapi antiplatelet (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence C).21

2.10 Komplikasi
Kebanyakan morbiditas dan mortilitas stroke berkaitan dengan komplikasi
non neurologis yang dapat di minimalkan dengan perawatan.

3. Afasia
3.1 Definisi Afasia
Afasia adalah suatu gangguan kemampuan berbahasa. Penderita dengan afasia
menggunakan bahasa secara tidak tepat atau mengalami gangguan kemampuan
pemahaman suatu kata atau kalimat. Afasia harus dikenal secara klinis karena hal ini
menunjukkan lokasi lesi pada korteks serebri dan hemisfer kiri. 22
Etiologi Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat
timbul akibat cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal ,temporal
atau parietal yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area Broca, Area
Wernicke, dan jalur yang menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini
biasanya terletak di hemisfer kiri otak dan pada kebanyakan orang, bagian hemisfer
kiri merupakan tempat kemampuan berbahasa diatur (4,5,6,7,8,9,10).Pada dasarnya
kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke, cedera otak
traumatik, perdarahan otak aku dan sebagainya.Afasia dapat muncul perlahan-lahan
seperti pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek samping yang
langka dari fentanyl, suatu opioiduntuk penanganan nyeri kronis. 22
3.2Anatomi Afasia
Kemampuan berbahasa merupakan salah satu fungsi hemisfer kiri pada
hampir semua individu yang tidak kidal dan sebagian individu kidal. Komponen
anatomik berbahasa terletak pada daerah vaskularisasi arteri serebri media disekitar
fisura Silvii dan fisura Rolandik. Suatu proses bicara melibatkan 4 regio pada
hemisfer kiri, bergerak dari anterior ke posterior. Jadi, proses bicara melibatkan
hubungan antara area Wernicke atau posterior atau girus pertama lobus temporalis;

24
dikenal sebagai girus angularis, fasikulus arkuatus, dan area Broca atau girus 3
frontalis bagian posterior.19
Area Wernicke terletak dekat dengan korteks auditorik primer dan mencakup
pengertian terhadap rangsang auditorik sebagai bahasa dan monitor keluaran bicara.
Area Wernicke terletak pada ujung posterosuperior girus temporalis superior.
Area Wernicke berdekatan dengan area pendengaran primer dan sekunder. Hubungan
antara area pendengaran dengan area Wernicke memungkinkan adanya
interpretasibahasa terhadap apa yang didengar. Selain berhubungan dengan
area pendengaran, area Wernicke juga berhubungan dengan area asosiasi
penglihatan. Oleh karena itu pemahaman bahasa juga dapat terjadi melalui
membaca.13
Semua impuls auditorik disampaikan kepada korteks auditorik primer kedua
sisi. Pada hemisferium yang dominan data auditorik itu dikirim ke pusat Wernicke.
Pengiriman data dari hemisferium yang tidak dominan ke pusat Wernicke
dilaksanakan melalui serabut korpus kalosum. Di pusat Wernicke suara dikenal
sebagai simbol bahasa. Kemudian data itu dikirim ke pusat pengertian bahasa.
Simbol bahasa lisan (auditorik) diintegrasikan dengan simbol bahasa visual dan sifat-
sifat lain dari bahasa. Bahasa lisan dihasilkan oleh kegiatan di pusat pengertian
bahasa yang menggalakkan pusat pengenalan kata (wernicke), yang pada gilirannya
mengirimkan pesan kepada pusat broca (yang menyelenggarakan produksi kata-
kata) melalui daerah motorik primer dan melalui lobus frontalis (area motorik
suplementer), yang ikut mengatur produksi aktivitas motorik yang tangkas dalam
bentuk kata-kata yang jelas. Bahasa visual dikembangkan melalui persepsi visual
bilateral. Dari korteks visual primer kedua sisi data visual disampaikan kepada
korteksvisual sekunder di hemisferium yang dominan. Data tersebut dikirim ke pusat
Wernicke dan ke pusat pengintegrasian pengertian bahasa. 12

25
Gambar 2.3 Anatomi Afasia
3.3 Klasifikasi Afasia
Bentuk Eksp Kompre Repeti Mena Kompre Menul Lesi
Afasia resi hensi si mai hensi is
verbal membac
a
Ekspresi Tak Relatif Tergang Tergan Bervarias Tergan Frontal
(Broca) lanca terpelihar gu ggu i ggu inferior
r a posterior
Reseptif Lanca Tergangg Tergang Tergan Tergangg Tergan Temporal
(Wernic r u gu ggu u ggu superior
ke) posterior
(area
wernicke)
Global Tak Tergangg Tergang Tergan Tergangg Tergan Fronto
lanca u gu ggu u ggu temporal
r
Konduks Lanca Relatif Tergang Tergan Bervarias Tergan Fasikulus
i r terpelihar gu ggu i ggu arkuatus,
a girus
supramar
ginal
Nominal Lanca Relatif Terpelih Tergan Bervarias Bervari Girus
r terpelihar ara ggu i asi angular,
a temporal
superior
posterior
Transkor Tak Relatif Terpelih Tergan Bervarias Tergan Peri
tikal lanca terpelihar ara ggu i ggu sylvian
motor r a anterior
Transkor Lanca Tergangg Terpelih Tergan Tergangg Tergan Peri
tikal r u ara ggu u ggu syvian
sensorik posterior

a. Afasia Motorik

26
Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan
terjadinya afasia motorik dapat terletak pada lapisan permukaan
(lesikortikal) daerah Broca atau pada lapisan di bawah permukaan (lesi
subkortikal) daerah Broca atau juga di daerah otak antara daerah Broca
dan daerah Wernicke (lesi transkortikal). Oleh karena itu, didapati adanya
19
tiga macam afasia motorik ini, antara lain:
1. Afasia Motorik Kortikal
Tempat menyimpan sandi-sandi perkataan adalah korteks daerah
Broca. Maka apabila gudang penyimpanan itu musnah, tidak akan ada
lagi perkataan yang dapat dikeluarkan. Jadi, afasia motorik kortikal adalah
hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan
menggunakan perkataan. Penderitanya masih mengerti bahasa lisan dan
tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak dapat sama sekali; sedangkan
19
ekspresi visual (bahasa tulis dan bahasa isyarat) masih dapat dilakukan.
2. Afasia Motorik Subkortikal
Sandi-sandi perkataan disimpan di lapisan permukaan (korteks)
daerah Broca, maka apabila kerusakan terjadi pada bagian bawahnya
(subkortikal) semua perkataan masih tersimpan utuh di dalam gudang.
Namun, perkataan itu tidak dapat dikeluarkan karena terputus, sehingga
perintah untuk mengeluarkan perkataan tidak dapat disampaikan. Melalui
jalur lain, perintah untuk mengeluarkan perkataan masih dapat
disampaikan ke gudang penyimpanan perkataan itu (gudang Broca)
sehingga ekspresi verbal masih mungkin dengan pancingan. Jadi,
penderitanya tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan
menggunakan perkataan, tetapi masih dapat berekspresi verbal dengan
membeo. Selain itu, pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu,
19
dan ekspresi visual pun berjalan normal.
3. Afasia Motorik Transkortikal
Afasia motorik transkortikal terjadi karena terganggunya hubungan
langsung antara daerah Broca dan Wernicke. Ini berarti, hubungan
langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu. Pada
umumnya afasia motorik transkortikal ini merupakan lesikortikal yang

27
merusak sebagian daerah Broca. Jadi, penderitanya dapat mengutarakan
perkataan yang singkat dan tepat; tetapi masih mungkin menggunakan
perkataan substitusinya. Misalnya untuk mengatakan pensil sebagai
jawaban atas pertanyaan Barang yang saya pegang ini namanya apa?
Dia tidak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu untuk
mengeluarkan perkataan,itu ,tu ,tu ,tu ,untuk menulis. Afasia ini disebut
juga afasia nominatif. 19

b. Afasia Sensorik
Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya
kerusakan pada lesikortikal di daerah Wernicke pada hemisferium yang
dominan. Daerah itu terletak di kawasan asosiatif antara daerah visual,
daerah sensorik, daerah motorik, dan daerah pendengaran. Kerusakan di
daerah Wernicke ini menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang
didengar (pengertian auditorik) terganggu, tetapi juga pengertian dari apa
yang dilihat (pengertian visual) ikut terganggu. Jadi, penderita afasia
sensorik ini kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun,
dia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami oleh
dirinya sendiri maupun oleh orang lain.
Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru (neologisme) yang
tidak dipahami oleh siapa pun. Curah verbalnya itu terdiri atas kata-kata,
ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa; tetapi
19
kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa apa pun.

BAB III
LAPORAN KASUS

28
3.1 Identitas Pasien
Nama : Fitriana
Umur : 39 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Aceh
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
CM : 1-11-44-44
Tgl pemeriksaan : 9 Januari 2017

3.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
Nyeri kepala dan kelemahan anggota gerak sebelah kanan
b. Keluhan Tambahan
Tidak bisa bicara
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien kiriman dari RS Avicena Bireun dengan diagnosa Cerebral Vaskular
Disease. Pasien awalnya terjatuh dari kamar mandi karena nyeri kepala 5 hari
sebelum masuk rumah sakit. Kemudian 2 hari setelahnya pasien bicara pelo dan
lidah terasa berat. Setelah dirawat di RS keluhan semakin bertambah dengan
kelemahan anggota gerak kanan dan tidak bisa berbicara. Riwayat hipertensi tidak
diketahui. Riwayat DM disangkal.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami hal yang sama sebelumnya
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami seperti pasien
f. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat untuk keluhan ini sebelumnya.

g. Riwayat Kebiasaan Sosial

Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga.


3.3 Pemeriksaan Fisik

29
a. Vital sign
GCS : E4M6Vafasia
Tekanan darah : 202/123 mmHg
Frekuensi nadi : 88x/menit
Frekuensi pernafasan : 20x/ menit
Temperatur : 36.8 C

b. Status generalis
Kulit
Warna : coklat sawo
Turgor : cepat kembali
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Edema : tidak ada

Kepala dan Leher


Ukuran : normocephali
Rambut : hitam, distribusi merata
Wajah : simetris, tidak dijumpai deformitas dan tidak edema
Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), ikterik (-/-), pupil bulat isokor
3mm/3mm, kornea dan lensa jernih, refleks cahaya langsung (+/+) dan
refleks cahaya tidak langsung (+/+)
Telinga : normotia, sekret (-/-)
Hidung : NCH (-/-), sekret (-/-)
Mulut : afasia, sianosis (-), bibir kering (-), pucat (-)
Leher : deviasi (-), massa (-), pembesaran KGB (-)

Thorax
Inspeksi : simetris pada saat statis dan dinmais, retraksi (-0)
Palpasi : nyeri tekan (-), sf dextra = sf sinistra
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi : vesikular (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)

30
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : batas pekak jantung melebar ke kanan dan ke kiri, thrill (-)
Perkusi : Sonor memendek (+/+)
Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler, bising (-)

Abdomen
Inspeksi : simetris, distensi (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
-Lien : tidak teraba
-Hepar : tidak teraba
-Ginjal : ballotement (-/-)
Perkusi : timpani (+)
Auskulatasi : peristaltik normal

Genetalia : Tidak diperiksa

c. Status neurologis
Kesadaran : Apatis, GCS : E4M6Vafasia motorik
Tanda rangsang meningeal :
- Kaku kuduk : tidak ditemukan
- Kernig sign : tidak ditemukan
- Laseque sign : tidak ditemukan
- Brudzinski 1 : tidak ditemukan
- Brudzinski 2 : tidak ditemukan
- Brudzinski 3 : tidak ditemukan
- Brudzinski 4 : tidak ditemukan

Pemeriksaan saraf kranial :

1. N-1 (Olfaktorius) : Tidak ada gangguan (normosia)

31
2. N-II (Optikus)
Visus : (6/6) menggunakan hitung jari
Warna : Tidak ada gangguan
Funduskopi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Lapang pandang : normal

3. N-III, IV, VI (Okulomotorius, Trochlearis, Abducens)


Gerakan bola mata : atas (+/+), bawah (+/+), lateral (+/+), medial (+/+), atas
lateral (+/+), atas medial (+/+), bawah lateral (+/+), bawah
medial (+/+)
Ptosis : -/-
Pupil : Isokor, bukat 3mm/3mm. Refleks cahaya langsung (+/+)
Refleks cahaya tidak langsung (+/+)

4. N-V (Trigeminus)
Sensorik : Pasien dapat menunjukkan tempat rangsang raba
Motorik : Pasien dapat merapatkan gigi dan membuka mulut

5. N-VII (Fasialis)
a. Sensorik : normal
b. Motorik
- mengangkat alis : (+/+), simetris kanan dan kiri
- menutup mana : (+/+)
- menggembungkan pipi : kanan (tidak baik), kiri (baik)
- menyeringai : kanan (tidak baik), kiri (baik)

6. N-VIII (Vestibulicochlearis)
a. Keseimbangan
- Tes Romberg : tidak dilakukan pemeriksaan
b. Pendengaran
- Tes Rinne : tidak dilakukan pemeriksaan
- Tes Schwabach : tidak dilakukan pemeriksaan
- Tes Weber : tidak dilakukan pemeriksaan

32
7. N-IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
Refleks menelan : (+)
Refleks batuk : (+)
Refleks muntah : normal
Posisi ulva : normal, deviasi (-)
Posisi arkus faring : simetris

8. N-XI (Aksesorius)
Kekuatan M. Sternokleidomastoideus : +/+
Kekuatan M. Trapezius : +/+

9. N-XII (Hipoglosus)
Tremor lidah : (-)
Atrofi lidah : (-)

Sistem motorik
Anggota Gerak Atas
Motorik Kesan lateralisasi ke kiri
Refleks Kanan Kiri
- Biceps ++ ++
- Triceps ++ ++

Anggota Gerak Bawah


Motorik Kesan lateralisasi ke kiri
Refleks Kanan Kiri
- Patella ++ ++
- Achilles ++ ++
- Babinski Positif negatif
- Chaddok negatif negatif
- Gordon negatif negatif
- Oppenheim negatif negatif
Tanda Laseque negatif negatif
Tanda Kernig negatif negatif

33
Kekuatan Otot :
Ekstremitas Superior Dextra Ekstremitas Superior Sinistra
1111 5555
Ekstremitas Inferior Dextra Ekstremitas Inferior Sinistra
1111 5555

Sistem sensorik : dalam batas normal

Sistem Saraf Otonom


BAK : Kateter
BAB : Normal
Keringat : Normal

3.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
PemeriksaanLaboratoriu
Hasil Nilai Normal
m
Darah Rutin
Hb 13,4 gr/dl 12-15 gr/dl
Ht 40 % 47-47 %
Leukosit 9,7 x 103/mm3 4.500-10.500/mm3
Eritrosit 4,1x 106 /L 4,7-6,1 jt/ L
Trombosit 361.000/ mm3 150.000-450.000/mm3
Eosinofil 0% 0-6 %
Basofil 0% 0-2 %
Netrofil segmen 82 % 50-70 %
Limfosit 12 % 20-40 %
Monosit 6% 2-8 %
Ginjal hipertensi
Ureum 14 13-43 mg/dL
Kreatinin 0,60 0,67-1,17 mg/dL
Elektrolit
Natrium 142 132 146
Kalium 3,2 3,7 5,4
Clorida 107 96 106
Kalsium 8,2 8,6 10,3
Magnesium 1,3 1,6 2,6
Diabetes

34
Gula Darah Sewaktu 180 gr/dl <200 gr/dl

2. Thorax AP
Kesimpulan: Kardiomegali

3. CT-Scan Kepala
Kesimpulan :
Infark multipel di lobus temporal kiri dan periventrikel lateralis kiri. Mastoiditis
kanan . Kalsifikasi di falx cerebri.

35
3.5 Resume
Pasien kiriman dari RS Avicena Bireun dengan diagnosa Cerebral Vaskular
Disease. Pasien awalnya terjatuh dari kamar mandi karena nyeri kepala 5 hari
SMRS. Kemudian 2 hari setelahnya pasien bicara pelo dan lidah terasa berat.
Setelah dirawat di RS keluhan semakin bertambah dengan kelemahan anggota
gerak kanan dan tidak bisa berbicara. Riwayat hipertensi tidak diketahui. Riwayat
DM disangkal. Pemeriksaan vital sign didapatkan TD : 202/123 mmHg; N:
88x/menit; RR: 20x/menit; T: 36.8 C. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
kelemahan pada anggota gerak sebelah kanan.
3.6 Diagnosis kerja
Diagnosis Klinis : Hemiparese anggota gerak kanan + afasia motorik e.c
Stroke iskemik
Diagnosis Topis : Lobus temporal kiri dan periventrikel lateralis kiri

36
Diagnosis Patologis : Infark
Diagnosis Etiologi : Emboli

3.7 Tatalaksana
Non-medikamentosa
1. Head up 30o
Medikamentosa
1. Neurotropik : Inj. Citicoline 500 mg/ 12 jam
2. Nootropik : Piracetam 3 gr/ 24 jam
3. Antihipertensi : Perdipin 0,5 mg syringepump

3.8 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Fuctionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam

DAFTAR PUSTAKA
1. Kalache, A. & Aboderin, I., 2010. Stroke: The Global Burden. Available
from: http://heapol.oxfordjournals.org/content/10/1/1.abstract.
2. Emanuel, E.J. & Emanuel, L.L., 2005. Palliative and End-of-Life Care. In:
Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L.,
Jameson, J.L., ed. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th Edition.
United States of America: McGraw-Hill.
3. Wilkinson, I. & Lennox, G., 2005. Essential Neurology. Fourth Edition. UK:
Blackwell.
4. Misbach, J., 2011. Stroke Aspek Diagnosis, Patofisiologi, Manajemen.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
5. Nasution, I.K., 2011. Perbedaan Nilai GFR Pada Penderita Stroke dengan
atau Tanpa Sindroma Metabolik. Program Studi Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran USU RSUP H. Adam Malik Medan.
6. Adam, H. P., et.al., 2007. Guidelines for the Early Management of Adults
With Ischemic Stroke: A Guideline From the American Heart Association/
American Stroke Association Stroke Council, neurologists. Available from :
http://www.stroke.ahajournal.org
7. Irdawati. Perbedaan Pengaruh Latihan Gerak Terhadap Kekuatan Otot Pada
Pasien Stroke Non-Hemoragik Hemiparese Kanan Dibandingkan Dengan
Hemiparese Kiri. Media Medika Indonesia. Surakarta, 2008.

37
8. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.Riset kesehatan dasar 2007.Jakarta.2008.
9. Hudak, Gallo. Modified National Institute of Health Stroke Scale for Use in
Stroke Clinical Trials. USU Digital Library. 2006.
10.Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta
Kedokteran FKUI Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta. 2000: 17-8.
11.Price SA & Wilson LM. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
jilid 2. EGC. Jakarta. 2006: 1110-19.
12.Sabiston. Buku Ajar Bedah Bagian 2. EGC. Jakarta. 1994.hal:579-80.
13.Mardjono M & Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat.
Jakarta. 2010: 290-91.
14.Madiyono B & Suherman SK. Pencegahan Stroke & Serangan Jantung Pada
Usia Muda. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2003.hal:3-11.
15.Sudoyo AW. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2006.
16.Feigin V. Panduan bergambar tentang pencegahan dan pemulihan stroke. PT
Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. 2011: 29-30.
17.Price SA & Wilson LM. Patofisiologi , Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
jilid 1. EGC. Jakarta. 2006: 580-81.
18.Swartz MH, Buku Ajar Diagnostic Fisik, EGC, Jakarta,2002: 359-98
19.Rubenstein D, Waine D & Bradley J. Kedokteran Klinis Edisi Ke 6,Penerbit
Erlangga. Jakarta. 2005: 98-99.
20.Giraldo, elias. Stoke ischemic.2010. http://www.merck.com/mmpe/sec16/
ch211/ch211b.html.
21.LB. Stroke Ischemic.2010. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/
ency/article/000726.htm.
22. Yayasan Stroke Indonesia. Stroke Non Hemoragik. Jakarta. 2011.
http://www.yastroki.or.id/read.php?id=250

38

You might also like