You are on page 1of 27

REFLEKSI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. S

Usia : 12 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Pekayon RT 07/03, Ragunan

Pendidikan : SD kelas 5

Status : Belum menikah

Tanggal periksa : 26 Agustus 2013

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dari ayah pasien

A. Keluhan utama :

Gatal pada lipat kaki kanan sejak 1 minggu yang lalu

B. Riwayat Penyakit Sekarang:

Sejak 1 minggu SMRS, pasien mengeluh gatal pada lipat lutut kanan. Gatal ini
dirasakan sudah sejak 2 tahun lalu namun hilang timbul tidak menentu. Pada awalnya
sejak 2 tahun yang lalu pada lipat lutut kanan pasien terlihat berupa bentol-bentol dan
kemerahan yang terasa sangat gatal. Pasien sering menggaruk lipat lutut kanannya
tersebut sehingga kadang-kadang keluar cairan bening dan terlihat titik-titik merah.
Gatal bisa timbul kapan saja, namun dirasakan terutama malam hari. Apabila
berkeringat, lipat lutut kanan pasien terasa perih. Sekarang, pasien menyadari
kemerahan pada lipat lutut kanannya berubah menjadi lebih gelap dan kulitnya terasa
tebal. Gatal ini dirasakan pasien kadang bisa menghilang sendiri tanpa pengobatan .

1
Pasien menyangkal gatalnya timbul atau semakin hebat jika sedang emosi atau banyak
tugas sekolah.

Pasien pernah berobat dengan krim Clotrimazole waktu 2 tahun lalu kemudian
gatalnya berkurang namun kemerahannya masih tetap ada. Untuk gatal yang sekarang,
sudah diberikan krim Clotrimazole lagi selama 3 hari namun tidak membaik. Pasien
menyangkal adanya demam, riwayat kontak dengan barang maupun zat yang tidak
biasa/ produk kosmetik/obat oles di daerah yang terkena, ataupun merasa gatal atau
kemerahan di bagian tubuh lainnya misalnya areola, tangan dan kaki. Pasien
menyangkal adanya alergi terhadap makanan tertentu seperti makanan laut, bulu
binatang, bahan baju tertentu seperti wol atau obat tertentu. Pasien menyangkal kulit
yang terasa kering, sering kemerahan pada mata, atau perih pada sudut bibir.

C. Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien alergi terhadap debu. Jika terkena debu, pasien bersin-bersin tidak bisa berhenti,
dan keluar ingus encer dari hidungnya. Pasien menyangkal alergi terhadap bahan-bahan
lainnya.

Pasien menyangkal adanya riwayat asma, mata yang sering gatal bila terkena debu,
ataupun biduran.

Riwayat penyakit kulit lainnya disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga:

Ayah pasien mempunyai alergi juga terhadap debu. Jika terkena debu tanpa memakai
masker akan bersin-bersin dan pilek. Kakak perempuan pasien mempunyai riwayat
batuk-batuk, sesak nafas dan terdengar bunyi mengi saat masih anak-anak. Nenek
pasien dari ibu mempunyai riwayat asma.

Riwayat penyakit kulit serupa disangkal

2
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan umum : Baik
Tekanan darah :110/70 mmHg
Frekuensi nadi : 92 x/menit
Frekuensi nafas : 22 x/menit
Suhu : 36,7oC

Kepala : normocephaly

Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, bagian bawah mata
lebih gelap.

Sistem kardiovascular : bunyi jantung I-II reguler, gallop (-), murmur (-)

Sistem respiratorik : bunyi napas vesikuler, wheezing (-), ronchi (-).

Sistem gastrointestinal : supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)

Ekstremitas : pucat -, white dermographism +/+, hiperlinear palmaris -/-,


xerosis kutis -/-, tes white dermographism +.

Sistem urogenital : Tidak diperiksa

Gangguan khusus : Tidak ditemukan kelainan

B. Status Dermatologikus :
1. Regio/ Letak lesi: fossa popliteal kanan
Gambaran umum lesi:
a. Efloresensi: Primer ( plak hiperpigmentasi berbatas difus, berukuran 4 cm x 6
cm, berbentuk pulau, berwarna coklat tua) dan sekunder (ekskoriasi,
likenifikasi).
b. Bentuk lesi : pulau, tidak teratur
c. Susunan: polisiklik
d. Distribusi: regional, asimetris
e. Palpasi: kering & kasar, tidak teraba massa atau cairan, tidak nyeri, sensasi +.

3
Gambar 1. Lesi kulit pada lipat lutut kanan.

Gambar 2. Bawah mata terlihat gelap (allergic shiners)

4
Gambar 3. Tes White dermographism pada pasien

C. Pemeriksaan Penunjang :

Tidak dilakukan

D. Pemeriksaan Anjuran:
Tidak diperlukan

IV. RESUME

Seorang pasien perempuan, usia 12 tahun datang dengan keluhan gatal pada
lipat lutut kanannya sejak 1 minggu yang lalu. Gatal ini dirasakan sudah dari 2 tahun
lalu namun hilang timbul. Lesi awalnya berupa bentol-bentol kemerahan yang sangat
gatal. Pasien sering menggaruk hingga keluar cairan bening dan terlihat titik merah
pada lipat lututnya. Gatal terutama pada malam hari, dan terasa perih ketika berkeringat.
Sekarang, pasien menyadari kemerahan pada lipat lutut kanannya berubah menjadi
lebih gelap dan kulitnya terasa tebal. Untuk gatal yang sekarang, sudah diberikan
canesten selama 3 hari namun tidak membaik. Pasien menyangkal adanya riwayat
kontak dengan barang maupun zat yang tidak biasa/ produk kosmetik/obat oles di
daerah yang terkena, ataupun merasa gatal atau kemerahan di bagian tubuh lainnya.

5
Pasien menyangkal adanya alergi terhadap makanan tertentu seperti makanan laut, bulu
binatang, bahan baju tertentu seperti wol atau obat tertentu.

Pasien mempunyai riwayat bersin-bersin hebat jika terkena debu. Pasien


mempunyai riwayat keluarga atopi dimana ayah, kakak perempuan, dan nenek pasien
mempunyai riwayat alergi.

Pada pemeriksaan didapatkan lesi kulit pada lipat lutut kanan berupa plak
hiperpigmentasi berbatas difus, berukuran 4 cm x 6 cm, berbentuk pulau, berwarna
coklat tua disertai lesi kulit sekunder berupa ekskoriasi dan likenifikasi. Bentuk lesi
berupa pulau, tidak teratur dengan perabaan kering dan kasar.

V. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja :

Dermatitis atopik kronik remaja

Diagnosis banding :

Liken simpleks kronikus

VI. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana umum:
o Edukasi pasien mengenai penyakitnya
o Edukasi untuk menghindari bahan-bahan yang dicurigai menimbulkan
iritasi/gatal
o Edukasi untuk mengganti sabun untuk kulit sensitif dan mencuci bersih
pakaian dari sisa deterjen
o Edukasi cara pemakaian obat, dan menjaga kulit tetap lembab dengan
emolien.
o Kontrol kembali jika tidak ada perbaikan
Tatalaksana khusus:
o Topikal:
Emolien: Krim urea 10%. Emolien dipakai setelah mandi dengan
air hangat selama 20 menit untuk kelembaban optimal.

6
Kortikosteroid topikal potensi sedang: krim 0,1% mometasone
furoate. Dioleskan 2 kali sehari selama 1 minggu kemudian
kontrol kembali untuk melihat respon obat.
o Sistemik:
Cetirizine: 1 x 5 mg PO.

VII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Quo ad sanactionam : dubia

Pembahasan Kasus

7
Epidemiologi

Pasien perempuan berusia 12 tahun.

Menurut teori, herpes zoster paling sering muncul pada masa awal kehidupan dengan
predisposisi pada wanita. (1.3 kali lipat dibanding pria).

Gambaran klinis dan Diagnosis

Keluhan pasien yang utama pada pasien ini adalah sangat gatal terutama pada malam hari.
Ruam terasa perih ketika terkena keringat. Pada pasien tidak terdapat riwayat kontak dengan
barang iritan, obat-obatan oles, atau kosmetik tertentu. Riwayat atopi pada pasien menonjol
dengan pasien mengalami rhinitis alergi terhadap debu dan kakak perempuan pasien
mempunyai asma, ayah pasien mempunyai rhinitis alergi, dan nenek pasien mempunyai asma
berdasarkan anamnesis. Gambaran klinis yang tampak pada pasien adalah lesi kulit pada fosa
popliteal kanan berupa plak hiperpigmentasi berbatas difus berukuran 4 cm x 6 cm, berbentuk
pulau, berwarna coklat tua dengan ekskoriasi dan likenifikasi. Distribusi lesi kulit regional
hanya pada fosa popliteal kanan dan asimetris.

Gejala utama pada DA ialah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari tetapi umumnya lebih
hebat pada malam hari. Lesi kulit pada dermatitis atopik pada usia 12 tahun termasuk tipe DA
remaja dan dewasa. Lesi kulit yang timbul dapat berupa plak papular-eritematosa dan
berskuama atau plak likenifikasi yang gatal. Pada DA remaja lokalisasi lesi berada di lipat siku,
lipat lutut, samping leher, dahi dan sekitar mata. Lesi gatal dan digaruk sehingga dapat timbul
likenifikasi dan luka bervariasi dari erosi-ekskoriasi. Lesi menjadi agak menimbul, papul datar,
dan cenderung bergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit skuama. Lambat laun terjadi
hiperpigmentasi.

Pembahasan : Gejala yang timbul pada pasien ini sesuai dengan gejala DA dimana keluhan
utama yang timbul berupa gatal yang dirasakan lebih hebat terutama pada malam hari. Pada
pasien juga didapatkan riwayat atopi berupa rhinitis alergi dan riwayat keluarga atopi sesuai
dengan kriteria mayor Hannifin dan Rajka. Gambaran lesi yang ditemukan pada pasien ini
sesuai dengan gambaran lesi kulit dermatitis atopik kronis pada remaja di mana ditemukan
adanya plak likenifikasi dengan tanda garukan berupa ekskoriasi. Distribusi lesi juga sesuai

8
yaitu pada lipatan fleksural terutama pada ekstremitas. Diagnosis pada pasien ini didasarkan
pada kriteria Hanifin dan Rajka untuk dermatitis atopik. Pada pasien memenuhi 3 kriteria
mayor dan 3 kriteria minor.

Kriteria Mayor
Pruritus
Morfologi dan distribusi lesi tipikal
Dermatitis kronis, residif
Riwayat atopi keluarga
Kriteria Minor
Xerosis kutis Tidak ada
Keratosis pilaris / iktiosis vulgaris/ hiperlinear Tidak ada
palmaris
Peningkatan reaktivitas IgE Tidak diperiksa
Peningkatan kadar IgE serum Tidak diperiksa
Onset masa awal kehidupan
Tendensi untuk infeksi kulit Tidak ada
Tendensi untuk dermatitis non spesifik pada Tidak ada
tangan/kaki
Dermatitis pada areola mamae Tidak ada
Cheilitis Tidak ada
Konjungtivitis berulang Tidak ada
Lipatan infraorbital Dennie Morgan Tidak ada
Keratokonus Tidak diperiksa
Katarak subkapsular anterior Tidak ada
Allergic shiners
Wajah terlihat pucat/kemerahan Tidak ada
Pityriasis alba Tidak ada
Gatal bila berkeringat
Intoleransi pada wol atau pelarut lemak Tidak ada
Aksentuasi perifolikullar Tidak ada
Hipersensitivitas terhadap makanan Tidak ada
Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor Tidak ada
lingkungan atau emosional
White dermographism atau delayed blanch
response

Diagnosis banding

1. Liken simpleks kronikus

9
Pada pasien ini diagnosis diferensial yang paling memungkinkan adalah liken
simpleks kronikus karena memiliki gejala utama dan gambaran klinis yang hampir
sama. Pada pasien dengan LSK, keluhan utama yang timbul adalah gatal sekali yang
memainkan peran sentral dalam timbulnya pola reaksi kulit berupa likenifikasi atau
prurigo nodularis. Rasa gatal yang timbul tidak terus menerus biasanya timbul pada
waktu tidak sibuk dan sulit ditahan untuk tidak digaruk. Penderita biasanya merasa
enak jika digaruk, setelah luka timbul baru rasa gatal menghilang karena diganti
oleh rasa nyeri. Lesi biasanya tunggal, pada awalnya berupa plak eritematosa,
sedikit edematosa, lambar laut eritema dan edema menghilang menjadi likenifikasi
dan ekskoriasi dengan hiperpigmentasi. Batas dengan kulit normal tidak jelas.
Gambaran klinis dipengaruhi oleh lokasi dan lamanya lesi.
Namun LSK biasanya tidak terjadi pada anak tetapi pada usia dewasa ke atas
dengan puncak insiden antara usia 30-50 tahun. Wanita lebih banyak daripada pria.
Letak lesi dapat dimana saja tetapi biasa ditemukan pada kulit kepala, tengkuk,
samping leher, lengan bagian ekstensor, pubis, vulva, skrotum, perianal, paha media,
lutut, tungkai bawah, pergelangan kaki bagian depan dan punggung kaki.

Pemeriksaan Penunjang

Pada pasien ini tidak diperlukan karena sudah memenuhi kriteria diagnosis

Tatalaksana

Pada pasien ini diberikan tatalaksana secara umum untuk DA berupa edukasi,
pemberian terapi topikal berupa kortikosteroid dan terapi emolien pada pasien ini, dan
pengobatan sistemik dengan antihistamin untuk mengurangi rasa gatal. Pada pasien ini dipilih
pengobatan awal dengan kortikosteroid potensi sedang yaitu mometason furoate 0,1% karena
pasien merupakan pasien anak dengan kulit yang relatif tipis namun lesi kulit yang timbul
adalah lesi kulit kronis dengan likenifikasi dimana terjadi penebalan epidermis. Area tempat
yang terkena bukan merupakan area yang sensitif seperti wajah ataupun intertrigo. Penyakit
yang diderita berupa lesi kulit yang responsif terhadap kortikosteroid sehingga tidak diperlukan
kortikosteroid dengan potensi tinggi yang harus dipertimbangkan efek samping yang mungkin
timbul.

10
Pada pasien ini diberikan antihistamin karena pasien merasa sangat gatal untuk
membantu pemutusan rantai gatal-garuk. Salah satu mediator yang berperan dalam patogenesis
DA adalah histamin sehingga terapi antihistamin akan memblok reseptor H1 pada kulit dan
meringankan rasa gatal.

DERMATITIS ATOPIK

I. PENDAHULUAN
Dermatitis atopik (DA) merupakan kelainan kulit kronis residif yang timbul
umumnya pada masa balita dan anak-anak. DA sering berhubungan dengan
berkurangnya fungsi perlindungan dari kulit dan sensitisasi allergen. Diagnosis DA
didasarkan pada gabungan dari penemuan klinis seperti pada kriteria diagnosis
Hanifin dan Rajka karena tidak ada satupun manifestasi klinis pathognomonik atau
tes laboratorium yang diagnostik untuk DA.

11
II. Epidemiologi
DA merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang mendunia dengan
prevalensi pada anak sekitar 10-20% di Amerika Serikat, Eropa, Afrika, Jepang,
Australia, dan negara industri lainnya. Prevalensi pada orang dewasa lebih sedikit
kira-kira 1-3%. Prevalensi DA jauh lebih sedikit pada negara agrikultural seperti
China, Eropa Timur, pedesaan Afrika, dan Asia Tengah. DA juga lebih banyak
diderita oleh wanita dibanding pria dengan rasio 1,3:1.
Faktor yang mempengaruhi seseorang untuk menderita DA cukup menarik dan
kompleks. Beberapa faktor risiko seperti jumlah keluarga yang kecil, meningkatnya
pendapatan dan edukasi individu, migrasi dari pedesaan ke kota, dan meningkatnya
penggunaan antibiotik. Hal ini menimbulkan hygiene gypothesis dimana ada
kemungkinan penyakit allergi dapat dicegah dengan infeksi pada masa kanak-kanak
yang ditularkan melalui kontak yang kurang higienis dari saudara yang lebih tua.
III. Etiopathogenesis
DA merupakan penyakit inflamasi pada kulit yang bermanifestasi gatal yang
cukup hebat diakibatkan oleh interaksi kompleks antara predileksi genetik
menyebabkan fungsi perlindungan kulit yang terganggu, defek pada sistem imun
bawaan, meningkatnya respon imunologis terhadap allergen dan antigen mikrobial.
Berkurangnya Fungsi Perlindungan Kulit
Penurunan ini disebabkan oleh downregulasi dari gen-gen tertentu seperti
filaggris dan lorikrin, berkurangnya tingkat ceramide kulit, meningkatnya
kadar enzim proteolitik endogen, dan meningkatnya kehilangan cairan dari
kulit. Penambahan sabun atau detergen pada kulit meningkatkan pH kulit
sehingga aktivitas enzim protease meningkat sehingga memperparah
kerusakan kulit. Protease dari agen infeksius seperti kutu rumah atau S.
Aureus juga ikut berperan. Kadar protease inhibitor pada kulit juga
berkurang. Semua ini menyebabkan kadar penyerapan alergen pada kulit dan
kolonisasi bakterial meningkat. Penyerapan allergen lewat kulit lebih tinggi
dibanding penyerapan antigen daripada sistemik ataupun melalui mukosa
saluran nafas.
Imunopatologi dari Dermatitis Atopik
Kulit pasien DA yang tidak terpengaruh mengalami hiperplasia epidermal
ringan dengan infiltrasi sel T perivaskuler yang ringan. Lesi akut dermatitis

12
ditandai dengan edema interseluler yang berat pada lapisan epidermis
(spongiosis). Sel penyaji atigen seperti sel Langerhans dan makrofag pada
kulit yang sakit dan lebih sedikit pada kulit yang sehat mengalami
pengikatan dengan molekul IgE pada permukaannya.
Pada lapisan dermis, terdapat influks dari sel T dengan beberapa sel
monosit atau makrofag. Infiltrat limfosit kebanyakan terdiri dari sel T
memori terakvitasi. Eosinofil jarang timbul pada DA yang akut. Keadaan sel
mast ditemukan normal.
Lesi likenifikasiditandai dengan epidermis yang hiperplastik dengan
elongasio rete ridges hiperkeratosis yang menonjol, dan spongiosis minimal.
Terdapat peningkatan kadar sel Langerhans yang terikat dengan IgE pada
epidermis dan makrofag mendominasi pada lapisan dermis. Sel mast pada
umumnya mengalami peningkatan jumlah. Neutrofil tidak ditemukan pada
lesi kulit DA bahkan pada keadaan infeksi bakterial sekalipun. Peningkatan
eosinofil terlihat pada lesi kulit kronis. Eosinofil ini mengalami degranulasi
mengeluarkan proteinnya ke lapisan dermis atas pada lesi. Eosinofil
berkontribusi terhadap inflamasi alergi dengan mensekresikan sitokin dan
mediator untuk meningkatkan inflamasi dan menyebabkan kerusakan
jaringan melalui produk reactive oxygen species.
Sitokin dan Kemokin Yang Berperan
Inflamasi kulit atopik dimulai dengan ekspresi lokal dari sitokin dan
kemokin proinflamasi.Sitokin seperti Tumor necrosis factor (TNF-alfa) dan
interleukin 1 (IL-1) dari sel residen (keratinosit, sel mast, sel dendritik)
berikatan dengan reseptor pada endotelium vaskuler, mengaktifkan jalur
sinyal seluler menginduksi keluarnya molekul adhesif sel endotelium.
Setelah berikatan dengan sel endotelium akan terjadi inflamasi ditandai
dengan keluarnya sel inflamasi kepada kulit. Setelah terjadi inflamasi,
keluarnya kemokin-kemokin akan menyebabkan daya tarik kemotaktik ke
tempat yang mengalami kerusakan.
DA akut ditandai dengan produksi sitokin sel Th-2 yaitu IL-4 dan IL-13
yang nantinya akan mensintesis IgE dan meningkatkan ekspresi molekul
adhesif pada sel endotelium. IL-5 juga berpengaruh pada pembentukan

13
eosinofil dan menyebabkan eosinofil bertahan lebih lama dan berjumlah
lebih banyak pada DA kronis. Pada kulit yang mengalami DA kronis juga
terjadi produksi sitokin Th-1 seperti IL-12 dan IL-18 disertai beberapa
sitokin yang menginduksi remodelling kulit seperti IL-11 dan TGF-beta.
Molekul kemokin yang spesifik pada kulit diekspresikan lebih banyak
pada DA. Keparahan DA berhubungan dengan tingkat sitokin dari timus dan
jumlah sitokin yang ada. Kemokin yang dipicu oleh IFN-gamma
diregulasikan dengan lebih banyak pada keratinosit menyebabkan migrasi
sel Th-1 ke epidermis khususnya pada DA kronis.
Genetik
DA mempunyai pengaruh herediter yang cukup kuat. Skrining genom pada
penderita DA menunjukkan beberapa gen yang berperan seperti pada
penyakit kulit inflamasi lain seperti psoriasis. Beberapa gen yang berperan
pada patogenesis DA khususnya untuk gen yang berperan pada fungsi barrier
kulit. Mutasi pada protein pelindung pada kulit yaitu filaggrin berhubungan
dengan faktor predisposisi mayor untuk DA seperti juga pada iktiosis
vulgaris, sebuah kelainan kulit keratinisasi yang berhubungan dengan DA.
Kandidat gen lainnya seperti SPINK5 yang diekspresikan pada permukaan
epidermis dimana produksinya akan menginhibisi protease pada kulit
ditemukan mutasi sehingga efeknya akan terjadi proteolisis yang
bermanifestasi dalam deskuamasi dan inflamasi. Ekspresi gen protease pada
epidermis juga meningkat pada penderita DA.
Peran Pruritus Pada Dermatitis Atopik
Pruritus merupakan gejala utama dari DA disebabkan oleh hipereaktivitas
dari kulit diikuti dengan garukan menyebabkan paparan terhadap alergen
semakin banyak, perubahan kelembaban, keringat berlebihan, dan iritasi
lokal. Kontrol dari pruritus merupakan hal yang penting karena kerusakan
mekanik dapat menginduksi produksi sitokin dan kemokin menyebabkan
siklus garuk-gatal yang memperparah lesi kulit DA. Mekanisme pruritus
pada DA belum diketahui secara jelas namun melibatkan keluarga histamin
dari sel mast yang diinduksi allergen. Peran dari kortikosteroid topikal

14
ataupun inhibitor kalsineurin sebagai imunomodulator memperlihatkan
peran penting dari sel inflamasi pada gatal di DA.
IV. Penemuan Klinis
AD biasanya menyerang anak-anak pada masa bayi. Sekitar 50% pasien dengan
DA berusia di bawah 1 tahun, dan 30% lainnya berusia 1-5 tahun. Sekitar 50-80%
pasien dengan DA akan menderita rhinitis alergika atau asma pada masa kanak-
kanak seiring bertambah baiknya keadaan DA pasien-pasien ini.
Lesi Kutaneus:
Gejala kardinal dari dermatitis atopik adalah rasa gatal yang intens dan
hipersensitivitas kulit. Pruritus dapat hilang timbul sepanjang hari namun paling
berat dirasakan pada waktu malam hari saat pasien beristirahat. Lesi akut pada DA
ditandai dengan rasa gatal yang intens, papul eritem dengan ekskoriasi, bisa timbul
vesikel di atas kulit yang kemerahan dan eksudat serosa. DA subakut ditandai
dengan papul-papul yang kemerahan, terjadi ekskoriasi, dan skuama. DA kronis
ditandai dengan plak yang menebal dengan garis kulit yang menebal (likenifikasi)
dan papul fibrotik. Pada DA kronis, ketiga reaksi kulit seringkali timbul bersamaan.
Pada semua tingkatan, pasien DA biasanya mempunyai kulit yang kering.
Distribusi dan reaksi kulit pada pasien Da ditentukan dari umur pasien dan
aktivitas penyakit. Pada masa infantil, DA biasanya lebih akut dan distribusi lesinya
lebih banyak pada wajah, kulit kepala, dan permukaan ekstensor ekstremitas. Area
popok biasanya tidak terkena. Pada anak yang lebih tua dan pasien yang menderita
penyakit lebih lama, pasien biasanya timbul DA jenis kronis dengan likenifikasi dan
lokalisasi ruam pada lipatan fleksura pada ekstremitas. DA anak biasanya bertambah
baik seiring pasien bertumbuh, namun meninggalkan kulit yang lebih gampang gatal
dan terjadi peradangan ketika terkena bahan-bahan iritan. Dermatitis kronis pada
tangan sering merupakan manifestasi utama dari banyak orang dewasa dengan DA.

15
a. b.

c. d.

e. f.

16
Gambar a-e. Lesi kulit akut kronis pada DA. Lesi kulit akut dapat berupa papul
prurigo (a), vesikel yang timbul pada kulit kemerahan yang menjadi krusta jika
pecah (b). Lesi subakut berupa papul kemerahan (c) dan ekskoriasi (d). Lesi kronis
berupa likenifikasi (e). Secara umum kulit penderita terlihat kering. Salah satu
kriteria minor Hanifin dan Rajka yaitu lipatan intraocular Dennie Morgan (f).

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan untuk evaluasi rutin dan


penatalaksanaan dari DA tanpa komplikasi. Kadar IgE serum meningkat pada 70-
80% pasien DA. Hal ini berkaitan dengan sensitisasi terhadap bahan inhalan dan
makanan dan atau rhinitis alergi dan asma. Kontrasnya pada 20-30% pasien dengan
DA mempunyai kadar IgE serum yang normal. Pada pasien ini biasanya tidak
mempunyai sensitisasi IgE terhadap alergen inhalasi atau makanan. Namun
beberapa pasien tersebut mempunyai sensitisasi terhadap antigen mikroba seperti
toksin S. Aureus, dan C.albicans.

Kebanyakan pasien dengan DA juga mempunyai kadar eosinofil darah tepi yang
meningkat. Pasien dengan DA mengalami kenaikan pelepasan histamin dari basofil.
Hal ini menunjukkan respon imun Th-2 pada pasien dengan DA khususnya yang
memiliki peningkatan kadar IgE serum.
V. Diagnosis
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, diagnosis dari DA didasarkan pada
kriteria Hanifin dan Rajka yang telah diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris
yang dikoordinasi oleh Williams (1994). Kriterianya terdiri dari kriteria mayor dan
minor seperti berikut:
Kriteria Mayor (harus memenuhi 3 dari kriteria mayor)
1. Pruritus
2. Ruam dengan morfologi dan distribusi tipikal
Ruam pada wajah dan/atau permukaan ekstensor pada bayi
dan kanak-kanak awal.
Likenifikasi fleksural pada anak yang lebih dewasa dan
dewasa
3. Tendensi ke arah kronis atau dermatitis yang kronis residif
4. Riwayat atopi pada keluarga: asma, rhinitis alergi, dermatitis atopik.
Kriteria Minor (harus memenuhi 3 dari kriteria minor)

17
1. Xerosis kutis
2. Keratosis pilaris/Ichthyosis vulgaris / Hiperliniar palmaris
3. Peningkatan reaktivitas IgE (reaksi segera dari skin test +, tes RAST
+)
4. Peningkatan kadar IgE serum
5. Onset pada masa awal kehidupan
6. Tendensi untuk infeksi kulit (S.aureus, Herpes simpleks)
7. Tendensi terjadi dermatitis tidak spesifik pada tangan dan kaki
8. Dermatitis pada areola mamae
9. Cheillitis
10. Konjungtivitis berulang
11. Lipatan infra-orbital Dennie-Morgan (garis atau lipatan di bawah
batas dari kelopak mata bawah lebih tegas)
12. Keratokonus
13. Katarak subkapsular anterior
14. Allergic shiners (bagian di bawah mata terlihat gelap)
15. Wajah terlihat pucat/kemerahan
16. Pityriasis alba
17. Gatal kita berkeringat
18. Intoleransi pada bahan wol dan pelarut lemak
19. Aksentuasi perifolikular
20. Hipersensitivitas terhadap makanan
21. Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan atau
emosional
22. White dermographism (garis putih timbul pada kulit dalam 1 menit
ketika digores dengan benda tumpul) atau respon lambat terhadap
agen kolinergik

Untuk anak dikembangkan kriteria yang telah dimodifikasi sebagai


berikut:

18
Gambar. Kriteria DA pada anak-anak yang telah dimodifikasi

VI. Differential Diagnosis


Sebagai diagnosis banding DA ialah dermatitis seboroik (terutama pada bayi),
dermatitis kontak, dermatitis numularis, skabies, iktiosis vulgaris, psoriasis
(terutama di daerah palmoplantar), keratosis pilaris, dan dermatofitosis. Pada DA
yang kronis dengan likenifikasi yang jelas juga perlu didiagnosis banding dengan
liken simpleks kronikus. Pada bayi, beberapa sindrom imunodefisiensi seperti
sindrom Wiskott-Aldrich, dan sindrom hiperIg-E juga merupakan diagnosis banding
DA.
VII. Komplikasi
a. Okuler: dermatitis dapat timbul pada kelopak mata dan menimbulkan blefaritis
kronis dapat berakibat pada gangguan penglihatan karena jaringan parut pada
kornea. Keratokonjungtivitis atopik biasanya bilateral dan menyebabkan
beberapa gejala seperti terbakar, gatal, perih, mata berair dan keluarnya cairan
serous. Mata dapat terasa sangat gatal dieksaserbasi jika terpapar dengan iritan.
Keratokonus dapat timbul akibat kebiasaan menggosok mata pada pasien
dengan DA dan rhinitis alergi. Katarak dilaporkan terjadi pada 21% dari pasien
dengan DA derajat parah. Namun tidak jelas apakah katarak timbul akibat DA
atau merupakan efek saping dari timbulnya dermatitis.

19
b. Infeksi: DA dapat diperberat dengan infeksi virus yang menunjukkan defek pada
fungsi sel T. Infeksi yang paling parah adalah herpes simpleks. Manifestasinya
dalam menyerang berbagai umur berupa erupsi kaposi varicelliform atau
ekzema herpeticum.

Gambar. Ekzema Herpeticum berupa vesikel dan krusta.


c. Dermatitis tangan: DA dapat timbul dalam bentuk dermatitis iritan yang tidak
spesifik pada tangan. Biasanya dipicu oleh penggunaan sabun yang kasar secara
berulang, deterjen, dan desinfektan.
d. Dermatitis eksfoliativa: keterlibatan kulit secara luas pada pasien. Terdapat lesi
kulit generalisata berupa kemerahan, mengelupas, berkrusta, toksisitas sistemik,
limfadenopati, dan demam. Komplikasi infeksi sekunder cukup tinggi terutama
dari S. Aureus dan herper simpleks. Pada pasien DA, rebound dari pemberian
kortikosteroid sistemik dapat menjadi penyebab eritroderma eksfoliatif.

VIII. Prognosis
Sampai sekarang belum ada studi yang cukup baik untuk mengetahui perjalanan
alamiah pada DA. Walaupun demikian, DA biasanya lebih parah dan persisten
apabila terjadi pada usia kanak-kanak muda. Periode remisi akan lebih sering
seiring bertumbuh dewasa. Resolusi spontan dari DA sudah pernah dilaporkan
setelah usia 5 tahun pada 40-60% dari penderita DA infantil khususnya jika
penyakit ringan. Walaupun demikian, lebih dari setengah biasanya mengalami
relaps pada masa dewasa.

IX. Terapi

20
Penatalaksanaan DA meliputi pendekatan sistematis meliputi hidrasi kulit, terapi
farmakologis, dan identifikasi serta eliminasi faktor pencetus seperti iritan, alergen,
agen infeksius, dan faktor emosional. Banyak faktor berkontribusi untuk timbulnya
gejala. Penatalaksanaan disesuaikan per individu tergantung faktor pencetus yang
unik dari masing-masing pasien. Pada pasien yang refrakter terhadap terapi
konvensional, agen anti inflamasi dan imunomodulator bisa dipertimbangkan.
Berikut secara umum algoritma pendekatan dengan pasien DA.

21
Gambar. Algoritma penanganan pasien dengan DA
A. Terapi Topikal
i. Hidrasi Kulit: Pasien dengan DA mempunyai fungsi pelindung kulit
yang berkurang dan kulit yang cenderung kering (xerosis) berkontribusi
morbiditas penyakit dengan menimbulkan mikrofisur dan keretakan pada
kulit yang menjadi tempat masuknya alergen, agen patogen, ataupun
iritan pada kulit. Masalah ini diperparah apabila terjadi bersamaan
dengan musim dingin atau pada kondisi lingkungan tertentu yang
memperparah kekeringan kulit. Mandi air hangat paling tidak selama 20
menit diikuti dengan aplikasi emolien untuk menjaga kelembaban kulit
dapat mengurangi gejala dengan sangat baik. Hal ini menjaga hidrasi
kulit sehingga meningkatkan fungsi perlindungan dari stratum korneum
pada epidermis dan mengurangi kebutuhan kortikosteroid topikal.

Pemilihan emolien dapat berupa lotion, krim, atau salep. Dipilih


emolien yang tidak mengandung pengawet, pelarut, dan parfum karena
bisa menimbulkan iritasi. Terapi topikal untuk menggantikan lapisan
lemak abnormal pada epidermis, meningkatkan hidrasi kulit, dan
memperbaiki fungsi perlindungan pada kulit dapat berguna. Beberapa

22
studi membuktikan manfaat terapi topikal dengan bahan aktif lipid dan
ceramides, begitu juga dengan krim nonsteroid mengantung palmitamid
MEA, sebuah asam lemak esensial, dan krim hidrolipid dengan
glycyrrhetinic acid . Pemberian emolien juga meningkatkan penetrasi
transepidermal dari kortikosteroid topikal.

ii. Kortikosteroid topikal: merupakan ujung tombak untuk pengobatan


dermatitis atopik. Namun efek samping yang dapat timbul menyebabkan
terapi ini diberikan untuk meredakan keadaan eksaserbasi akut dari DA.
Namun penelitian terbaru menemukan bahwa penggunaan fluticasone
topikal pada daerah DA atau rentan DA 2 kali seminggu dapat mencegah
kekambuhan DA setelah sebelumnya eksaserbasi akut diredakan dengan
kortikosteroid topikal harian.
Pasien diberikan pengarahan yang jelas mengenai cara pemakaian
kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal digunakan pada daerah
sakit sedangkan emolien digunakan pada daerah yang tidak
terkena.Kemudian kortikosteroid sangat poten jangan digunakan untuk
area wajah, genital ataupun sela jari. Pada daerah ini digunakan
kortikosteroid potensi rendah. Apabila diberikan kortikosteroid dengan
potensi sangat tinggi, penggunaan hanya untuk jangka sangat pendek
pada area yang mengalami likenifikasi di luar area wajah dan intertrigo.
Sasaran terapi adalah menggunakan emolien untuk meningkatkan hidrasi
kulit dan kortikosteroid potensi rendah untuk terapi rumatan.
Kortikosteroid potensi sedang dapat digunakan untuk waktu yang lebih
panjang untuk DA kronik meliputi batang tubuh dan ekstremitas.
Faktor yang mempengaruhi potensi dan efek samping dari
kortikosteroid adalah struktur molekuler dan keaktifan kortikosteroid,
vehikulum, banyak obat diberikan, durasi aplikasi, terapi oklusif, juga
faktor pengguna (umur, body surface area, berat badan, inflamasi kulit,
lokasi anatomis, dan perbedaan individual dari metabolisme obat). Efek
samping topikal dapat berupa atrofi, striae, dermatitis perioral,

23
telangiektasis dan erupsi akneiformis. Efek samping sistemik dapat
berupa supresi adrenal berisiko timbul pada bayi dan anak-anak.
iii. Inhibitor kalsineurin topikal: takrolimus dan pimekrolimus dapat
digunakan sebagai imunomodulator nonsteroid. Salep takrolimus 0,03%
sudah disetujui untuk pengobatan DA sedang-berat secara intermiten
pada anak berusia > 2 tahun. Pada orang dewasa digunakan takrolimus
0,1%. Pimekrolimus 1% disetujui sebagai pengobatan DA ringan-sedang
pada pasien anak usia > 2 tahun. Kedua obat aman digunakan sampai 4
tahun untuk takrolimus dan 2 tahun untuk pimekrolimus. Keamanaan
jangka panjang belum dibuktikan. Efek samping yang dapat timbul
berupa sensasi terbakar. Keunggulan inhibitor kalsineurin topikal adalah
tidak menimbulkan atrofi kulit sehingga berguna untuk digunakan pada
area wajah dan intertrigo. Kasus malignansi kulit dan limfoma
dilaporkan dengan penggunaan takrolimus walaupun belum terbukti
secara jelas.
iv. Preparat tar: digunakan sebagai pengganti kortikosteroid untuk terapi
rumatan. Produk tar terbaru lebih dapat diterima dari segi estetika dan
bau. Tar dalam bentuk shampoo baik digunakan untuk dermatitis kulit
kepala dan mengurangi kebutuhan kortikosteroid topikal. Preparast tar
jangan digunakan pada kulit dengan inflamasi akut karena dapat
menimbulkan iritasi. Efek samping berupa folikulitis dan
fotosensitivitas. Terdapat risiko kanker secara teoritis berdasarkan
penelitian observasional dari pekerja yang menggunakan komponen tar
dalam pekerjaannya.
B. Identifikasi dan Eliminasi Faktor Pencetus
a. Pasien dengan DA lebih rentan terhadap iritan dan alergen karena itu
penting untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor pemicu siklus
gatal-garuk. Faktor tersebut termasuk sabun atau detergen, kontak
dengan bahan kimia, asap, baju yang abrasif, dan paparan terhadap suhu
yang terlalu ekstrim dan kelembaban tertentu. Sabun yang dipakai lebih
baik efek menghilangkan lemak yang minimal, dan dengan pH netral.
Pakaian baru lebih baik dicuci terlebih dahulu untuk mengurangi bahan

24
kimia seperti formaldehid yang berlebih. Detergen sisa pada baju yang
baru dicuci juga lebih baik diminimalisir dengan menggunakan deterjen
cair atau membilas sebanyak 2 kali.
Anak dengan DA harus diusahakan untuk beraktivitas senormal
mungkin. Olahraga seperti berenang lebih dapat ditolerir daripada
olahraga dengan tingkat perspirasi yang lebih tinggi, kontak fisik erat,
dan pakaian yang berat dan tebal. Klorin sisa berenang secepatnya
dibilas. Penggunaan tabir surya lebih baik digunakan untuk mencegah
terbakar matahari namun dipilih yang tidak iritan.
Alergen spesifik seperti kutu, debu, bulu binatang, jamur, dan
serbuk sari bisa memicu eksaserbasi DA. Alergen spesifik bisa
ditentukan dari riwayat dan tes skin-prick atau tes IgE serum yang
spesifik. Menjaga kebersihan kamar, tempat tidur dengan membersihka
seminggu sekali, dan mengurangi kelembaban kamar dengan AC dapat
membantu. Pada bayi dan anak-anak lebih sering ditemukan alergi
makanan sedangkan anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih sensitif
terhadap aeroallergen.
Pengaruh keadaan emosional juga dapat mengeksaserbasi DA.
Pasien dengan DA dapat merespon frustasi, rasa malu, dan kejadian
penuh stres lain dengan menggaruk karena terasa lebih gatal. Evaluasi
psikologis dan psikoterapi penting untuk pasien dapat menyalurkan
kebiasaan menggaruk ke hal yang lebih positif.
Faktor pencetus dapat juga berupa agen infeksi seperti infeksi S.
Aureus, virus herpes simpleks, ataupun jamur dermatofita. Terapi agen-
agen infeksius ini diperlukan jika terlihat adanya kolonisasi pada pasien
atau dibuktikan dengan pemeriksaan lanjutan seperti IgE spesifik.
C. Terapi Sistemik
a. Kortikosteroid sistemik: penggunaannya seperti prednisone oral jarang
diindikasikan untuk DA kronis. Beberapa pasien dan dokter
menggunakannya untuk menghindari terapi topikal hidrasi dan
kortikosteroid topikal yang memakan waktu. Namun respon terhadap
terapi ini, DA akan berkurang secara dramatis, namun seringkali akan
timbul flare DA yang parah saat berhenti mengkonsumsi kortikosteroid.

25
Penggunaannya mungkin diperlukan untuk eksaserbasi akut DA beserta
terapi konvensional lainnya. Dalam penggunaannya, dosis kortikosteroid
lebih baik dititrasi secara perlahan disertai kortikosteroid topikal dan
emolien untuk mencegah rebound flaring dari DA.
b. Siklosporin: merupakan imunosupresan poten yang bekerja pada sel T
untuk mengurangi produksi sitokin. Penelitian menunjukkan pada anak
dan orang dewasa dengan DA yang parah dan refrakter terhadap
pengobatan lain akan mendapat keuntungan dari siklosporin jangka
pendek.
c. Antihistamin: antihistamin berperan untuk mengurangi gatal yang dipicu
histamin dengan menghambat reseptor H1 pada dermis. Histamin hanya
salah satu mediator yang bisa menimbulkan gatal pada kulit sehingga
kadang bisa tidak efektif untuk terapi gatal yang tidak dimediasi
histamin. Beberapa antihistamin mempunyai efek anxiolitik yang dapat
meringankan gejala melalui efek sedatif dan penenang. Studi
antihistamin non sedatif mempunyai hasil bervariasi pada gatal di DA,
namun keuntungan jelas sudah dibuktikan pada DA yang bersamaan
dengan urtikaria dan rhinitis alergika.

DAFTAR PUSTAKA

1.Habif TP. Clinical Dermatology: A Color Guide To Diagnosis And Therapy Ed-5. Elsevier.
China: 2010.

2. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Disease of The Skin: Clinical Dermatology
Ed-10. Elsevier. Canada : 2006.

3. Sohn A, Frankel A, Patel RV, Goldenberg G. Eczema. Mount Sinai Journal of Medicine. Pp.
730-739. Wiley Online Library : 2011.

4. Sularsito SA, Djuanda S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed-6. Badan Penerbit FKUI.
Jakarta : 2010.

5. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine Ed-7. Mc-Graw Hill. United States : 2008.

26
27

You might also like