You are on page 1of 13

Atresia duodenum

1. Definisi
Atresia duodenum adalah suatu kondisi dimana duodenum (bagian

pertama dari usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak

berupa saluran terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan

perjalanan makanan dari lambung ke usus. Pada kondisi ini duodenum

bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga menghalangi

jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami proses

absorbs. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini

disebut dengan duodenal stenosis. (Willie, 2007)


2. Etiologi
Penyebab atresia duodenum belum diketahui, tetapi diperkirakan hasil

dari permasalahan selama perkembangan embrio dimana duodenum tidak

berubah bentuk secara normal. Masa kehamilan minggu ke 5 sampai ke

10, duodenum berupa chord padat. Obstruksi instriksi hasil dari kegagalan

vakuoliasasidan rekanalisasi. Pancreas annular hasil dari fusi bagian

anterior dan posterior, pembentukkan cincin jaringan pankreas yang

disekitar duodenum. Obstruksi ekstrinsik hasil dari berbagai macam

kelainan perkembangan embriologi spesifik penyebab patologi. (Willie,

2007)
Atresia duodenal sering ditemukan bersamaan dengan malformasi

pada neonates lainnya yang menunjukkan kemungkinan bahwa anomaly

ini disebabkan karena gangguan yang dialami pada awal kehamilan. Pada

beberapa penelitian, anomaly ini diduga karena gangguan pembuluh darah


mesenterika. Gangguan ini bisa disebabkan karena volvulus, malrotasi,

gastroskisis maupun penyebab yang lain. Pada atresia duodenum, juga

diduga disebabkan karena kegagalan proses rekanalisasi. Disamping itu,

beberapa penelitian menyebutkan bahwa annular pancreas berhubungan

dengan terjadinya aresia duodenal. (Willie, 2007)


3. Klasifikasi
Atresia duodenum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 morfologi, yaitu :
a. Tipe 1
Atresia duodenum yang ditandai oleh adanya webs atau membrane

pada lumen duodenum.


b. Tipe 2
Atresia duodenum dengan segmen proksimal dan distal

dihubungkan dengan fibrous cord.


c. Tipe 3
Atresia dengan diskontinuitas komlit antar segmen proksimal dan

distal. (Willie, 2007)

Gambar . Tipe atresia duodenum (Willie, 2007)

4. Patogenesis

Ada faktor ekstrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan

terjadinya atresia duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan


terjadinya anomali ini karena kegagalan rekanalisasi lumen usus.

Duodenum dibentuk dari bagian akhir foregut dan bagian sefalik midgut.

Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh proliferasi sel dindingnya

dan segera mengalami rekanalisasi pada minggu ke 8- 10. Kegagalan

rekanalisasi ini disebut dengan atresia duodenum. Perkembangan

duodenum terjadi karena proses ploriferasi endoderm yang tidak adekuat

(elongasi saluran cerna melebihi ploriferasinya atau disebabkan kegagalan

rekanalisasi epitelial (kegagalan proses vakuolisasi). (Willie, 2007)

Epitel duodenum berploriferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari

ataupada kehamilan minggu ke 5 atau minggu ke 6, kemudian akan

menyumbat lumen duodenum secara sempurna. Kemudian akan terjadi

proses vakuolisasi. Pada proses ini sel akan mengalami proses apoptosis

yang timbul pada lumen duodenum. Apoptosis akan menyebabkan

terjadinya degenerasi sel epitel, kejadian ini terjadi pada minggu ke 11

kehamilan. Proses ini mengakibatkan terjadinya rekanalisasi pada lumen

duodenum. (Willie, 2007)

Apabila proses ini mengalami kegagalan, maka lumen duodenum akan

mengalami penyempitan. Pada beberapa kondisi, atresia duodenum dapat

disebabkan karena faktor ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena

gangguan perkembangan struktur organ sekitarnya, seperti pankreas.

Atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular. Pankreas anular

merupakan jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum,


terutama deodenum bagian desenden. Kondisi ini akan mengakibatkan

gangguan perkembangan duodenum. (Willie, 2007)

5. Penegakkan diagnosis
a. Manifestasi klinis

Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus.

Gejala akan nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa

pasien dapat timbul gejala dalam beberapa jam hingga beberapa hari

setelah kelahiran. Muntah yang terus menerus merupakan gejala yang

paling sering terjadi pada neonatus dengan atresia duodenal. Muntah

akan berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu

(biliosa). Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah

neonates mendapat ASI. Karakteristik dari muntah tergantung pada

lokasi obstruksi. Jika atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila

obstruksi pada bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna

kuning atau seperti susu yang mengental. (Kessel et al, 2011)

Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah akan berbau

dan nampak adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada

hari pertama kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup

sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti

roentgen dan harus dicurigai mengalami obstruksi usus. Ukuran feses

juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk menegakkan

diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan memiliki

mekonium yang jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering,


dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium yang normal.

Pada beberapa kasus, anak memiliki mekonium yang nampak seperti

normal. (Kessel et al, 2011)

Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak

terganggu. Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan.

Apabila kondisi anak tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan

mengalami dehidrasi, penurunan berat badan, gangguan keseimbangan

elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis

metabolik hipokalemia atau hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik

akan mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah

bermakna. Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami

aspirasi gastrik dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat,

biasanya aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik

ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalan nafas anak.

Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini disebabkan

karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103 F

maka kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonitis.

(Kessel et al, 2011)

b. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan

tetapi distensi ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan

lamaya pasien tidak dirawat. Jika obstruksi pada duodenum, distensi


terbatas pada epigastrium. Distensi dapat tidak terlihat jika pasien

terus menerus muntah. Pada beberapa neonatus, distensi bisa sangat

besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi

karena ruptur lambung atau usus sehingga cairan berpindah ke kavum

peritoneal. Neonatus dengan atresia duodenum memiliki gejala khas

perut yang berbentuk skafoid. (Kessel et al, 2011)

Saat auskultasi, terdengar gelombang peristaltik gastrik yang

melewati epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik

duodenum pada kuadran kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum,

ileum maupun kolon, maka gelombang peristaltik akan terdapat pada

semua bagian dinding perut. (Kessel et al, 2011)

c. Pemeriksaan penunjang
Pre natal
Secara general, atresia duodenum sulit untuk di diagnosis

selama kehamilan. Diagnosis prenatal selalu berdasarkan tanda non

spesifik pada fetal ultrasound seperti dilatasi lambung. Karena cairan

amnion ditelan dan dicerna secara normal oleh fetus, atresia duodenum

dapat menyebabkan peningkatan cairan dalam sakus amnion,

hidramnion. Ini mungkin merupakan tanda awal atresia duodenum.

Diagnosis saat masa prenatal yakni dengan menggunakan prenatal

ultrasonografi. Sonografi dapat meng-evaluasi adanya polihidramnion

dengan melihat adanya struktur yang terisi dua cairan dengan

gambaran double bubble. (Kessel et al, 2011)


Gambar . Gambaran USG prenatal pada atresia duodenal
(Kessel et al, 2011)

Post natal
Pemeriksaan yang dilakukan pada neonatus yang baru lahir

dengan kecurigaan atresia duodenum, yakni pemeriksaan laboratorium

dan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan laboratorium yang diperiksa

yakni pemeriksaan serum, darah lengkap, serta fungsi ginjal pasien.

Pasien bisanya muntah yang semakin progresive sehingga pasien akan

mengalami gangguan elektrolit. Biasanya mutah yang lama akan

menyebabkan terjadinya metabolik alkalosis dengan hipokalemia atau

hipokloremia dengan paradoksikal aciduria. Oleh karena itu, gangguan

elektrolit harus lebih dulu dikoreksi sebelum melakukan operasi.

Disamping itu, dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk


mengetahui apakah pasien mengalami demam karena peritonitis dan

kondisi pasien secara umum. (Kessel et al, 2011)

Pemeriksaan roentgen yang pertama kali dilakukan yakni plain

abdominal x-ray. X-ray akan menujukkan gambaran double-bubble

sign tanpa gas pada distal dari usus. Pada sisi kiri proksimal dari usus

nampak gambaran gambaran lambung yang terisi cairan dan udara dan

terdapat dilatasi dari duodenum proksimal pada garis tengah agak

kekanan. Apabila pada x-ray terdapat gas distal, kondisi tersebut tidak

mengekslusi atresia duodenum. Pada neonatus yang mengalami

dekompresi misalnya karena muntah, maka udara akan berangsur-

angsur masuk ke dalam lambung dan juga akan menyebabkan

gambaran double-bubble. (Kessel et al, 2011)


Gambar . Gambaran double bubble pada atresia duodenum (Kessel et al, 2011)

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum yaitu :
a. Pemasangan tube orogastrik untuk mendekompresi lambung
b. Memberikan cairan elektrolilt melalui intravena (mengkoreksi

dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit).


c. Mengatasi sindrom down.
d. Pembedahan untuk mengkoreksi kebuntuan duodenum perlu dilakukan

namun tidak darurat. Pembedahan ini tergantung pada sifat

abnormalitas. Prosedur operatif standar saat ini berupa

duodenoduodenostomi. (Kessel et al, 2011)


a. Pre operasi
Penatalaksanaan terdiri dari dekompresi nasogastrik dan

menyediakan penggantian cairan dan elektrolik. Banyak penderita

merupakan prematur dan umur kelahirannya rendah, maka harus

menjaga tubuh dari panas dan menghindari hipoglikemia terutama

pada kasus berat bayi lahir rendah, penyakit jantung kongenital,

sindroma distres respirasi. (Kessel et al, 2011)


Setelah diagnosis ditegakkan, maka resusitasi yang tepat

diperlukan dengan melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan

dan abnormalitas elektrolit serta melakukan kompresi pada gastrik.

Dilakukan pemasangan orogastrik tube dan menjaga hidrasi IV.

Managemen preoperatif ini dilakukan mulai dari pasien lahir. Sebagian

besar pasien dengan duodenal atresia merupakan pasien premature dan

kecil, sehingga perawatan khusus diperlukan untuk menjaga panas

tubuh bayi dan mencegah terjadinya hipoglikemia, terutama pada


kasus berat badan lahir yang sangat rendah, CHD, dan penyakit pada

respirasi. Sebaiknya pesien dirawat dalam incubator. (Kessel et al,

2011)
b. Intraoperasi
Tindakan ini memerlukan anestesi general dengan intubasi

endotrakeal. Yang sering banyak digunakan dengan insisi pemotongan

otot, transversal, insisi kuadran kanan atas. Namun, beberapa

menggunakan motode laparoskopi untuk memperbaiki. (Kessel et al,

2011)
Sisi ke sisi duodenoduodenostomi merupakan standar

perbaikan untuk stenosis duodenal, atresia atau obstruksi yang

disebabkan vena porta preduodenal. Ketika pankreas annular

dihubungkan dengan obstruksi duodenal bertemu, pilihan

penyembuhan dengan duodenoduodenostomi antara segmen

duodenum yang diatas dan dibawah pada area cincin pancreas. (Kessel

et al, 2011)
Teknik pembedahan pada atresia duodenum :
1) Side to side anastomosis
Dimulai dari bagian dorsal dari anastomosis, sebuah duodenostomi

melintang dibuat di segmen proksimal. Bagian ujung dari lambung dan

duodenum dilakukan duodenotomi. Insisi pararel dibuat pada distal

duodenum kemudian lapisan posterior anastomosis dijahitkan. (Kessel

et al, 2011)
2) For diamond shape duodenostomi
Diperlukan mobilisasi untuk menempatkan dinding duodenum

proksimal terlihat dengan jelas. Kemudian dibuat sayatan melintang di

proksimal membujur ke duodenum bagian distal. (Kessel et al, 2011)


3) For a duodenal web
Untuk web duodenum, membrane biasanya terletak di kedua bagian

duodenum, Lokasi membrane dapat dibantu oleh pemasangan NGT ke

dalam duodenum. (Kessel et al, 2011)


4) For membrane resection
Untuk reseksi membrane, sayatan dibuat memanjang. Kemudian

mengidentifikasi ampula vater. Eksisi dimulai dengan insisi radial di

pusat ostium. Sebelum menutup duodenum secara melintang, patensi

duodenum bagian distal diuji terlebih dahulu dengan menggunakan

kateter silicon kecil. (Kessel et al, 2011)

Selain itu, tindakan bedah dapat dilakukan sesuai dengan tipe

dari atresia duodenum.

1) Tipe 1
Atresia duodenum yang ditandai oleh adanya webs atau

membrane pada lumen duodenum. Tindakan bedah yang dilakukan

adalah menginsisi dinding duodenum kemudian mengeksisi

membrane bagian dalamnya, kemudian dijahit. (Kessel et al, 2011)


Gambar . Tindakan bedah pada atresia duodenum tipe 1 (Kessel et al,

2011)

2) Tipe 2
Atresia duodenum dengan segmen proksimal dan distal

dihubungkan dengan fibrous cord. Tindakan pembedahan yang

dilakukan adalah dudenoduodenostomi. Bagian yang mengalami

atresia dihilangkan, kemudian kedua ujung tersebut digabungkan.

(Kessel et al, 2011)


3) Tipe 3
Atresia dengan diskontinuitas komlit antar segmen proksimal

dan distal. Tindakan bedah yang dilakukan adalah gastrojejunum,

yaitu menggabungkan antara utung jejunum langsung ke lambung.

(Kessel et al, 2011)

Gambar . Tindakan operasi pada atresia duodenum tipe 2 (atas) dan

atresia duodenum tipe 3 (bawah). (Kessel et al, 2011)


c. Post operasi
Penggunaan selang transanastomik berada dalam di jejunum,

pemberian makan dapat diberikan setelah 48 jam paska operasi.

Nutrisi parenteral via central atau perifer dimasukan kateter dapat

sangat efektif untuk menjaga nutrisi waktu yang lama jika

transanastomik enteral tidak cukup atau tidak dapat ditolenrasi oleh

tubuh pasien. (Kessel et al, 2011)

Daftar pustaka

Kessel D, Bruyn D, Drake F. Case report: Ultrasound Diagnosis Of Duodenal Atresia


Combined With Isolated Oesophageal Atresia. The British Journal of
Radiology. 2011 ;66: 86-88
Wyllie, R. 2007. Intestinal Atresia, Stenosis, and Malrotation: Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 327.

You might also like