You are on page 1of 16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR


A. Kajian Pustaka
1. Perkembangan Teori Pilihan Rasional
Memahami makna dan tujuan suatu tindakan individu dalam masyarakat
merupakan salah satu kajian yang cukup menarik dalam ilmu sosial. Ternyata
suatu tindakan yang dilakukan oleh individu bukan tanpa maksud dan tujuan,
melainkan terdapat tendensi yang mendasarinya. Dalam perspektif teori pilihan
rasional yang dipopulerkan oleh James S Coleman ini menyatakan bahwa
tindakan seseorang sebagai sesuatu yang purposive (Huber dalam Wirawan,
2012:191). Tindakan purposive merupakan suatu tindakan yang didasarkan
keinginan memperoleh keuntungan atas pilihannya (Coleman, 1992:23).
Suatu tindakan purposive memerlukan optimalisasi. Sebagai teori yang
banyak dipengaruhi oleh ekonomi maka prinsip optimalisasi ini hampir sama
dengan prinsip ekonomi. Rasional di bidang ekonomi mendefinisikan perilaku
rasional tidak hanya sebagai bertindak dalam pelayanan preferensi untuk
menghasilkan suatu hasil yang bermanfaat, tetapi sebagai memaksimalkan
keuntungan (Coleman, 1992:23). Secara keseluruhan, esensi dari pendekatan
ekonomi terdiri dari gabungan asumsi memaksimalkan perilaku, keseimbangan
pasar, dan stabilitas preferensi (Becker dalam Krstic, 2015:2). Preferensi atau
kepentingan dalam perilaku individu dipengaruhi oleh kepentingan sosial.
Keuntungan yang diperoleh individu tidak hanya terbatas pada keuntungan
material, melainkan secara psikologis maupun sosial seperti prestise atau
perilaku yang diterima masyarakat (Wittek, 2013:689). Jadi individu
menentukan suatu pilihan didasarkan pada suatu tujuan tertentu. Tujuan
tersebut mengarah pada suatu upaya memperoleh keuntungan yang semaksimal
mungkin atas pilihannya.
Inti dari pemikiran teori pilihan rasional adalah individu melakukan
tindakan didasarkan untuk memaksimalkan keuntungannya (Coleman,
1992:23). Dalam kaitannya terhadap optimalisasi keuntungan, Becker mencoba
mejelaskannya melalui kasus pengambilan keputusan dalam suatu keluarga.

6
7

Pilihan siapa yang harus bekerja di dalam suatu keluarga didasarkan atas
perhitungan siapa yang lebih layak jual yakni ia yang memiliki keterampilan
bekerja seperti pengalaman dan ijazah. Sementara itu anggota keluarga yang
tidak marketable atau layak jual ditempatkan pada urusan domestik rumah
tangga. Apabila yang bekerja adalah pasangan yang tidak layak jual maka
hasil yang mereka dapat tidak maksimal (Agger, 2007:316). Artinya
pengambilan keputusan dalam keluarga pun diperhitungkan secara matang
untuk memperoleh keuntungan atau hasil yang semaksimal mungkin.
Termasuk dalam konteks pemilihan lembaga pendidikan bagi anak. Orang tua
telah menghitung berbagai keuntungan dan kerugian dari sekian banyak jenis
sekolah hingga akhirnya meyakini bahwa pesantren merupakan pilihan yang
paling menguntungkan.
Pilihan rasional dirangsang oleh stimulus tertentu, dan pilihan yang
ditawarkan sifatnya terbatas. Stimulus dari setiap pilihan antar individu
berbeda-beda tergantung sistem dimana individu-individu itu berada (Agger,
2007:315). Maksudnya, alternatif pilihan yang ditawarkan pada individu
sifatnya terbatas, oleh karenanya individu menggunakan informasi yang
dimiliki untuk menentukan alternatif pilihan yang paling tepat dan memberikan
keuntungan yang maksimal. Pemilihan tersebut juga seringkali dipengaruhi
oleh nilai yang berkembang di masyarakat. Apa yang dipilih oleh individu
cenderung mengikuti apa yang dianggap baik oleh masyarakat.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori pilihan rasional memandang suatu
tindakan individu sebagai sesuatu yang purposive atau bertujuan. Tujuan dari
tindakan tersebut adalah memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin
dan berusaha meminimalkan resiko yang mungkin akan diperoleh jika tidak
melakukan tindakan tersebut. Dalam melakukan tindakannya, individu
dipengaruhi oleh berbagai informasi yang dimiliki dan nilai yang berkembang
dalam masyarakat. Individu mempergunakan informasi tersebut untuk
memperhitungkan secara matang alternatif pilihan yang akan mendatangkan
keuntungan atau manfaat yang besar. Keuntungan tidak selalu berkaitan
8

dengan masalah ekonomi melainkan dapat berupa manfaat psikologis maupun


sosial seperti prestise atau perilaku yang diterima masyarakat.
2. Pesantren Sebagai Suatu Pilihan Rasional
Teori pilihan rasional juga dikenal dengan istilah rational choice
theory. Elemen-elemen kunci dari teori ini adalah preferensi individu,
keyakinan, dan kendala. Tiga asumsi yang penting dalam pilihan rasional
adalah: (1) individu memiliki preferensi egois, (2) mereka memaksimalkan
manfaat dan (3) mereka bertindak secara bebas berdasarkan informasi penuh
yang dimiliki (Wittek, 2013:688).
Preferensi egois yang dimaksudkan dalam teori ini adalah individu
melakukan tindakan atas dasar memperoleh keuntungan sebesar-besarnya
dengan biaya atau usaha seminimal mungkin. Kepuasan individu
dimaksimalkan sampai pada tingkat penawaran barang berharga yang dikuasai
oleh seorang individu termaksimalkan, dan kebutuhan atau permintaan barang
berharga itu terminimalkan. Dalam teori rasionalitas, total biaya untuk
memperoleh keuntungan dipertahankan nol (Wirawan, 2012:226-227).
Asumsi kedua dari teori pilihan rasional adalah tatanan preferensi
didasarkan pada prinsip memaksimalkan manfaat dan meminimalkan
resiko. Jadi individu cenderung melakukan tindakan yang sedikit mengandung
resiko dan justru menghasilkan keuntungan baginya. Prinsip ini menjadikan
individu mengambil keputusan melalui preferensi yang telah ditata berdasarkan
urutan skala prioritas. Hal ini dapat dijelaskan melalui kasus dilema tahanan
yang disampaikan Coleman sebagai berikut:
Dua orang tahanan yang diduga bekerja sama melakukan kejahatan
ditempatkan dalam sel terpisah. Polisi berkata pada masing-masing
tahanan kalau dia akan dibebaskan (a) jika dia melaporkan satu tahanan
lainya dan teman itu tidak melaporkan dia. (b) Jika mereka saling
melaporkan, keduanya akan dihukum tiga tahun. (c) Jika dia tidak
melaporkan temannya, tetapi temannya melaporkan dia, dia akan
dipenjara lima tahun. (d) Jika keduanya tidak saling melaporkan, polisi
punya bukti yang cukup untuk menghukum masing-masing tahanan
(Wirawan, 2012:229-230).
9

Berdasarkan kasus yang telah dipaparkan, maka untuk menghasilkan


keuntungan yang maksimal seharusnya skala prioritas yang ditentukan pada
dilema tahanan tersebut adalah (a), (d), (b), (c). Sedikit saja individu
melakukan kesalahan maka resiko yang ia tanggung semakin besar. Oleh
karena itu dalam menentukan pilihan diperhitungkan secara matang.
Asumsi ketiga adalah individu menentukan pilihan atas dasar informasi
yang diperolehnya. Coleman menyebutkan bahwa manusia termotivasi untuk
mencapai kesenangan dan menghindari rasa sakit sehingga motivasi ini
membawa mereka untuk bertindak dalam batas informasi yang mereka miliki.
Informasi tersebut digunakan untuk memprediksi masa depan sehingga
diharapkan dapat memperoleh hasil atau keuntungan yang lebih besar dari
biaya atau usaha yang dilakukan (Coleman, 1992: 23). Jika informasi yang
diperoleh tidak tepat maka akan mempengaruhi hasil akhir dari suatu pilihan.
Namun demikian, terkadang individu bertindak atas dasar asumsi salah
yang menyatakan bahwa apa yang bermanfaat bagi individu dalam lingkungan
tertentu bermanfaat pula pada individu dalam lingkungan tertentu (Wirawan,
2012:210). Asumsi salah ini tergambar pada suatu contoh kasus penggundulan
hutan yang diberikan oleh Sartre. Pada dasarnya petani berkeinginan untuk
memiliki lahan yang luas dengan cara melakukan penebangan pohon, tetapi
tanpa disadari hal itu mengakibatkan terjadinya penggundulan hutan dan erosi
yang pada akhirnya justru petani hanya akan memperoleh hasil yang sedikit
(Wirawan, 2012:219).
Dalam konteks permasalahan pemilihan pesantren sebagai lembaga
penidikan anak, orang tua meyakini jika memasukkan anak ke pesantren
merupakan pilihan terbaik. Pesantren memberikan keuntungan yang lebih besar
daripada sekolah umum. Menyekolahkan anak di pesantren bukan suatu
perkara mudah bagi orang tua karena mereka harus berpisah dengan anak
untuk beberapa waktu. Hanya sebagian orang tua yang mampu merelakan
anaknya sekolah di pesantren. Tentu tindakan tersebut bukan tanpa maksud, di
dalamnya terdapat tujuan untuk memperoleh keuntungan yang maksimal dan
10

meminimalkan resiko yang mungkin terjadi terhadap anaknya jika tidak


disekolahkan di pesantren.
Seringkali orang tua merasa khawatir akan kehidupan di masyarakat yang
dirasa memiliki banyak pengaruh negatif. Kesibukan orang tua membuat
mereka tidak memiliki banyak waktu untuk mengurus anak secara intensif.
Sementara itu orang tua juga memiliki tanggung jawab untuk memperoleh
penghasilan bagi keluarga. Namun, jika banyak waktu orang tua digunakan
untuk mengurus anak akan mengurangi penghasilan mereka. Pesantren menjadi
pilihan yang rasional bagi orang tua untuk tetap memperoleh penghasilan
maksimal tanpa direpotkan oleh urusan anak.
Disisi lain, pesantren dipercaya akan mampu membentuk anak
berkepribadian baik. Tanpa harus mendidik anak secara ekstra, anak telah
terbentuk kepribadiannya selama di pesantren. Selain itu anak yang keluar dari
pesantren secara sosial keagamaan ia akan berada pada posisi atas
dibandingkan anak yang sekolah di sekolah biasa. Secara otomatis orang tua
akan memperoleh prestige karena mampu menyekolahkan anaknya di
pesantren. Ia akan memperoleh posisi yang diperhitungkan dalam masyarakat
karena dianggap memiliki kualitas keagamaan yang bagus dengan
menyekolahkan anak di pesantren.
3. Perkembangan Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan
Dalam kehidupan bermasyarakat, keyakinan terhadap suatu agama
menjadi sesuatu yang sangat penting. Agama menjadi pedoman yang dapat
mempengaruhi tingkah laku dan pemikiran seseorang (Karim, 1994:78).
Seringkali individu bertindak berdasarkan apa yang diperboleh dan dilarang
oleh agamanya. Realitas agama menunjukkan sesuatu yang menarik karena
agama dapat menjelaskan keberadaan dan posisi individu di dalam masyarakat.
Semakin tinggi ketaatan agama seseorang semakin tinggi posisinya di dalam
masyarakat.
Geertz membagi masyarakat jawa menjadi 3 golongan berdasarkan
agamanya. Golongan tersebut adalah abangan, santri, dan priyayi. Abangan
11

menitikberatkan pada aspek animistis dari sinkretisme jawa yang dihubungkan


dengan petani, santri menitikberatkan pada aspek Islam dari sinkretisme yang
dihubungkan dengan elemen dagang, sedangkan priyayi menekankan pada
aspek hindu dan hubungannya dengan elemen birokratik (Geertz, 1960:8).
Kenyataan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat abangan dan santri
menjadi cukup menarik untuk dikaji. Pasalnya, meskipun kedua golongan
tersebut menganut agama yang sama, seolah terjadi perbedaan antara
keduanya. Kaum abangan menjalankan ajaran agama Islam dengan tetap
percaya dan menjalankan ritual adat keupacaraan seperti berbagai jenis
selametan. Sementara itu, santri merupakan kaum yang menitikberatkan
doktrin Islam yang secara tegas menolak kepercayaan terhadap praktek
kejawen (Geertz, 1960:172-173). Kaum santri menganggap bahwa ritual
peribadatan yang tidak diajarkan di dalam Quran dan Hadits merupakan
tindakan yang tidak tepat. Kaum santri dipandang sebagai mereka yang taat
terhadap agama seperti menjalankan sholat 5 waktu dengan tekun dan tepat
waktu. Sementara itu kaum abangan dianggap sebagai kelompok yang kurang
peduli terhadap agama (Dirdjosanjoto, 1999:95). Jadi kaum santri menganggap
apa yang mereka lakukan adalah ajaran agama Islam yang benar sementara
kaum abangan dianggap kurang tepat.
Pembicaraan mengenai kaum santri tidak terlepas dari sistem pendidikan
pesantren. Pesantren adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional
dimana para siswa tinggal bersama dan belajar ilmu keagamaan dibawah
bimbingan kiai, asrama berada dalam kompleks pesantren dimana kiai tinggal
(Zubaedi, 2005:142). Umumnya pesantren memiliki pondok atau asrama untuk
tempat tinggal santri, masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan
keagamaan (Dhofier, 1984:44).
Pesantren mulai dikembangkan sejak abad ke 13. Pada saat itu, pesantren
merupakan satu-satunya lembaga yang terstruktur, sehingga pendidikan jenis
ini dianggap bergengsi (Mutohar, 2013:178). Pesantren mulai tumbuh di Jawa
dibawa oleh para walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa pada abad 15-16.
12

Perkembangan pesantren tersebut karena kepercayaan dan keinginan


masyarakat. Pesantren memiliki integritas yang tinggi dengan masyarakat
sekitarnya dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum,
sesuai dengan aliran yang dibawanya (Abdullah, 2008:41). Bahkan keberadaan
santri hingga kini tetap diperhitungkan oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan
penelitian Hendra Kurniawan (2015) yang berjudul Pendidikan Pesantren dan
Pengembangan Ajaran Moderasi Islam di Indonesia. Dalam penelitianya
tersebut ia menjelaskan bahwa kiprah kaum terpelajar dari kalangan santri,
baik yang berada di pedesaan maupun perkotaan telah membawa dampak
positif dalam model pendidikan dan pengembangan ajaran moderasi Islam di
berbagai kalangan dan kelas sosial masyarakat. Masyarakat telah merasakan
peran nyata para santri dibidang keilmuan, pendidikan, konsultasi serta
penyelesaian berbagai masalah sosial menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Masyarakat mengharapkan adanya penyebaran tenaga pendidik keagamaan
yang moderat ke daerah pelosok-pelosok.
Pada dasarnya pesantren merupakan pendidikan berbasis masyarakat
yang tumbuh atas inisiatif masyarakat muslim yang tujuan utamanya adalah
mendidik generasi muda agar memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran
Islam dengan baik. Adapun nilai-nilai yang diimplementasikan dalam
pesantren antara lain ukhuwah (persaudaraan), taawun (kerjasama), jihad
(berjuang), taat, sederhana, mandiri, dan ihklas (Zubaedi, 2005:140-141). Hal
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kamin Sumardi (2012)
dengan judul Potret Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Salafiah.
Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa pendidikan karakter di pondok
pesantren salafiah dilakukan melalui pembiasaan. Dalam kesehariannya santri
telah diberikan aturan dan tanggung jawab, baik dalam hal belajar maupun
dalam kehidupan keseharian. Nilai-nilai yang ditanamkan kepada santri
diantaranya kemandirian, kebersamaan dan gotong royong, toleransi, tanggung
jawab dan kepatuhan. Selain itu, Kiai selalu mengingatkan santri untuk belajar
13

serta memberikan contoh dalam menjalankan taqorub kepada Allah, jika santri
melanggar aturan akan diberlakukan sanksi.
Selama di dalam pesantren, santri mempelajari kitab-kitab agama Islam
secara bertahap. Namun, dalam pelaksanaannya tidak semua santri setiap hari
berada di dalam pesantren. Santri yang berasal dari dalam desa atau desa
tetangga dan tidak suka tinggal di pondok diperbolehkan tinggal dirumah dan
hanya datang pada saat pengajian (Dirdjosanjoto, 1999:145). Pada akhirnya
terdapat dua jenis santri, yakni santri mukim dan santri kalong.
a. Santri mukim: santri yang berdatangan dari tempat-tempat yang jauh yang
tidak memungkinkan dia untuk pulang kerumahnya, maka ia mondok
tinggal) di pesantren. Sebagai santri mukim mereka memiliki kewajiban-
kewajiban tertentu.
b. Santri kalong: siswa-siswa yang berasal dari daerah sekitar yang
memungkinkan mereka pulang ke tempat tinggal masing-masing. Santri
kalong ini mengikuti pelajaran dengan cara pulang-pergi antara rumahnya
dengan pesantren. (Daulay 2001: 15)
Eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan dikarenakan terdapat
potensi yang dimilikinya. Pertama, pendidikan di asrama berlangsung 24 jam
baik sebgai lembaga pendidikan kegamaan, sosial kemasyarakatan, atau
pengembangan potensi umat dapat diterapkan secara tuntas, optimal dan
terpadu. Kedua, pesantren berkembang atas tuntutan dan kebutuhan
masyarakat Ketiga, kepercayaan masyarakat menyekolahkan anaknya di
pesantren (Zubaedi, 2005: 146-147). Orang tua menganggap pesantren sebagai
tempat yang aman untuk menghindarkan anak dari lingkungan pergaulan yang
tidak kondusif (Abdullah, 2008:109).
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren harus memiliki sistem
managemen yang jelas. Pertama perencanaan, salah satu elemen pokok
pesantren adalah kiai, ia merupakan orang yang berpengaruh dalam
keberlangsungan pesantren. Perencanaan pengembangan pesantren banyak
dipengaruhi oleh pemikiran kiainya. Keberhasilan pesantren tergantung
14

eksistensi kiai didalam masyarakat. Kedua pengorganisasian, perlu adanya


pembagian kerja yang jelas di pesantren sesuai dengan keahlian pada
bidangnya masing-masing. Ketiga, pesantren menjalankan fungsi pengawasan.
Kiai, pengasuh asrama atau ustadzah berperan dalam mengawasi setiap
kegiatan santri agar tidak menyimpang. Keempat, sebagai lembaga yang jelas
pesantren harus mampu mengelola keuangan yang tepat. Kelima evaluasi,
setiap periode tertentu pesantren perlu melakukan evaluasi bersama agar
pengelolaan kedepan menjadi lebih baik (Zubaedi, 2005:156-162).
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa pesantren
merupakan lembaga pendidikan berbasis keagamaan tertua yang tumbuh di
Indonesia. Pesantren merupakan lembaga pendidikan kemasyarakatan yang
berkembang karena keinginan dan kebutuhan masyarakat. Beberapa orang tua
merasa pesantren merupakan sarana yang tepat untuk menghindarkan anak dari
pengaruh negatif. Selama di dalam pesantren anak diajarkan ilmu agama Islam
dan pembiasaan kehidupan dengan nilai-nilai keIslaman. Sebagai lembaga
pendidikan, pesantren telah memiliki sistem managemen yang jelas
diantaranya perencanaan yang sedikit banyak tergantung pemikiran sang kiai,
struktur kerja yang jelas, melakukan pengawasan terhadap santri, memiliki
sistem keuangan yang tepat dan melakukan evaluasi kinerja setiap periode
tertentu.
4. Modernisasi Pendidikan Pesantren
Ciri khas yang membedakan pesantren dengan sekolah pada umumnya
adalah sistem pengajarannya. Sistem pengajaran pesantren menggunakan
sistem pendidikan tradisional sorogan dan bandongan atau weton. Sistem
sorogan bersifat individual yang umumnya dilakukan pada santri yang
tertinggal dalam mengikuti pelajaran dan dilakukan oleh santri senior untuk
membantu santri yang baru masuk. Sementara itu bandongan adalah sistem
dimana kiai membacakan salah satu kitab, menerjemahkanya dalam bahasa
Jawa kemudian memberi keterangan pada kata-kata yang sulit (Dirdjosanjoto,
1999:149).
15

Saat ini pesantren telah mengalami perkembangan yang cukup pesat.


Perkembangan tersebut dimulai sejak abad ke-19 seiring berkembangnya
sistem pendidikan Barat di Indonesia. Keberadaan sistem pendidikan Barat
yang memberikan jaminan pekerjaan di bidang yang strategis, membuat
banyak pemuda meninggalkan pesantren tradisional. Sebagai upaya
mempertahankan eksistensi, beberapa pesantren besar pada tahun 1950-an
memasukkan pendidikan umum di dalam pesantren. Saat ini banyak pesantren
yang menyelenggarakan SMP dan SMA, maupun universitas yang membuka
cabang pengetahuan umum (Dhofier, 1982:38-41). Pada akhirnya pesantren
terbagi menjadi 2 kelompok besar yakni pesantren salafi (tradisional) dan
pesantren khalafi (modern).
Pesantren salafi merupakan pesantren yang tetap mempertahankan
pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. (Dhofier,
1984:41). Pesantren salafi masih mempertahankan kurikulum serta sistem
pendidikan khas pesantren. Bahan ajar yang digunakan meliputi ilmu-ilmu
agama Islam dengan menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab sesuai
dengan tingkatan kemampuan masing-masing santri (Mutohar, 2013:204).
Pesantren jenis ini sudah tidak terlalu banyak berkembang. Namun beberapa
pesantren masih mempertahankan sistem ini seperti pesantren Al-Fattah
Temboro Magetan.
Sementara itu, pesantren khalafi merupakan pesantren yang memasukkan
pelajaran-pelajaran umum atau membuka tipe sekolah umum dalam lingkungan
pesantren (Dhofier, 1984:41). Pondok pesantren khalafi mengadopsi sistem
madrasah atau sekolah dengan kurikulum disesuaikan dengan kurikulum
pemerintah baik dengan Departemen Agama (Depag) maupun Departemen
Pendidikan Nasional (Depdiknas) (Mutohar, 2013:204). Jadi siswa
mempelajari materi pelajaran umum di sekolah setelah itu mempelajari ajaran
agama Islam di dalam asrama. Penerapan modernisasi pesantren ini telah
terlihat pada Pesantren Assalam Surakarta. M Uripto Yunus dan Kadarusman
(2015) dalam penelitiannya yang berjudul Ijtihad Pengembangan Pesantren
16

Modern (Kasus Pesantren Assalam Surakarta) menjelaskan bahwa PPMI


Assalam menjadi contoh proses adaptasi terhadap kemodernan. PPMI Assalam
telah mengadaptasi aspek-aspek modernitas seperti pada konsep manajemen,
proses belajar-mengajar, struktur kurikulum dan sistem kepemimpinan.
Pesantren dengan sistem dan model boarding school tersebut diyakini
mampu menyelesaikan persoalan pada negara modern seperti saat ini seperti
korupsi, dekadensi moral, dan sebagainya.
Salah satu perbedaan yang menonjol dalam pendidikan pesantren adalah
pada sistem pengajarannya. Pesantren modern tidak lagi menggunakan sistem
bandongan dan sorogan. Saat ini pesantren telah menggunakan metode
pengajaran yang diterapkan di sekolah umum seperti: tanya jawab, hafalan,
sosio-drama, widyawisata, ceramah, hingga sistem modul. Pesantren juga telah
mengaplikasikan sistem informasi dan komunikasi dalam pembelajarannya
(Tuanaya, 2007:10). Selain itu, kepemilikan pesantren tidak secara turun
menurun dari seorang kiai melainkan telah mengembangkan kelembagaan
yayasan yang pada dasarnya merupakan kepemimpinan kolektif (Tuanaya,
2007:11). Berbagai jenis yayasan maupun organisasi keagamaan mendirikan
pesantren untuk mengajarkan ajaran agama Islam sesuai tuntunannya masing-
masing. Beberapa diantaranya adalah Pondok Pesantren Imam Syuhodo
dibawah naungan Muhammadiyah, Pondok Pesantren Jamsaren dibawah
naungan Nahdhatul Ulama (NU) dan SMP & SMA MTA dibawah naungan
Majlis Tafsir Quran (MTA).
Modernitas pesantren juga dialami oleh SMP MTA Gemolong, salah satu
jenis pesantren khalafi atau pesantren modern dibawah naungan yayasan MTA.
Modernitas ditunjukkan dalam metode pembelajarannya yakni telah
menggunakan metode ceramah, diskusi, tanya-jawab, dan sebagainya. Selain
itu, sebagai pesantren modern SMP MTA mengajarkan ilmu umum dan Ilmu
agama Islam seperti tahfidzul Quran, taksin, hafalan hadits dan ayat pilihan,
hafalan sholat, doa-doa harian, khitobah serta pengembangan Bahasa Arab
dan Inggris (Sumber: Profil SMP MTA Gemolong).
17

Jadi, saat ini banyak pesantren salah satunya SMP MTA Gemolong telah
mengalami proses modernisasi. Modernisasi tersebut terjadi pada sistem
pengajarannya. Beberapa pesantren yang berkembang saat ini tidak lagi hanya
mengajarkan kitab-kitab agama Islam secara bertahap. Akan tetapi telah
memasukkan materi pelajaran umum seperti Ilmu Alam, Ilmu Sosial, Bahasa
Indonesia, dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini.
Sistem pengajaran di pesantren juga tidak lagi menggunakan sistem sorogan
dan bandongan melainkan ceramah, diskusi, tanya jawab, dan sebagainya.
Modernisasi sistem pengajaran di pesantren mengingat kebutuhan masyarakat
saat ini. Individu tidak hanya membutuhkan pemahaman terhadap kitab
melainkan perlu memiliki pengetahuan yang luas dan skill sebagai bekal
memperoleh pekerjaan dan menghadapi persaingan dalam masyarakat yang
semakin kompetitif.
5. Karakteristik Remaja Awal
Masa remaja merupakan masa peralihan individu dari masa anak-anak
menuju kedewasaan. Masa remaja ini seringkali dianggap rentan terhadap
permasalahan. Hal ini disebabkan oleh perkembangan emosinya menunjukkan
sifat yang sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau
situasi sosial, emosinya bersifat negatif dan temperamental (Yusuf, 2008:197).
Kondisi emosional yang belum matang pada diri remaja tersebut akan beresiko
terjadinya kenakalan. Dalam sebuah studi psikologi, kejahatan seksual, tindak
merampok, menipu, menjambret, dan kejahatan lain banyak terjadi pada usia
remaja (Kartono, 2014:7). Oleh karena itu dalam proses pencapaian emosional
remaja, orang tua berperan untuk mengendalikan dan mengarahkan
perilakunya.
Pada umumnya, masa remaja terbagi menjadi 2 fase yakni masa remaja
awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal dimulai ketika anak telah
genap berusia 12 atau 13 tahun, dan berakhir pada usia 17 atau 18 tahun.
Sementara itu WHO menggolongkan remaja awal pada usia 10 14 tahun
(Mighwar, 2006:68). Pada usia remaja awal, secara umum mereka sedang
18

menempuh pendidikan jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada masa


ini, remaja sedang mengalami masa perkembangan yang tersulit yakni
berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri
dengan lawan jenis dan harus menyesuaikan diri dengan orang dewasa di luar
lingkungan keluarga dan sekolah. Dalam hal ini yang terpenting dan tersulit
adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok teman
sebaya (Hurlock dalam Nisfianoor, 2014: 160-161)
Pada masa perkembangan sosial remaja, ia memiliki kebutuhan-
kebutuhan untuk kasih sayang, kepuasan hubungan dengan individu-individu
lainnya, untuk diterima, pengakuan, dan status di grup sosial (Rice dalam
Nissfianoor, 2004:160). Pada masa ini remaja membutuhkan orang-orang yang
secara emosional dekat dengan dirinya agar mampu mengarahkan pada arah
perkembangan yang baik. Pada masa remaja juga menjadi masa yang cukup
penting dalam pembentukan kepribadian.
Keluarga merupakan tempat yang sempurna untuk melangsungkan
pendidikan ke arah pembentukan kepribadian yang utuh, tidak hanya saat anak-
anak melainkan juga remaja (Tirtarahardja, 2005:169). Orang tua memberikan
tuntunan, ajaran, serta contoh dalam berperilaku, sehingga suasana keluarga
menjadi tempat yang sebaik-baiknya dalam melakukan pendidikan individual
maupun sosial. Keberadaan keluarga menjadi sangat penting dalam
pelaksanaan pendidikan kepribadian maupun pendidikan sosial. Umumnya
penanaman watak dilakukan oleh keluarga. Dalam studi yang dilakukan oleh
Decroly 70 % anak-anak yang terlibat kejahatan karena kehidupan keluarga
yang rusak (Tirtarahardja, 2005:170). Saad juga mengemukakan bahwa
kualitas komunikasi antarpribadi memberi pengaruh yang besar terhadap
perilaku anak dan remaja. Komunikasi yang jarang dilakukan antara orang tua
dan anak menjadikan anak merasa teralineasi (Saad, 2003:26).
Remaja yang merasa tidak dihargai dan tidak dipahami serta tidak
diterima oleh lingkungan terutama orang tua, maka akan cenderung lari
melakukan tindakan yang tidak jelas arah dan tujuannya. Remaja yang sedang
19

mengalami pertumbuhan dan perkembangan memerlukan dorongan dari orang


tuanya untuk menjadi pribadi yang mandiri, dihargai, dan diakui keberadaanya
dimanapun berada (Saad, 2003:50). Oleh karena itu keberadaan orang tua
sangatlah penting ketika anak memasuki masa remaja. Orang tua diharapkan
dapat membantu remaja mencapai kematangan emosionalnya.
Kondisi ini kemungkinan akan sulit ditemukan remaja yang menempuh
pendidikan di pesantren. Sejak pagi hingga pagi kehidupannya telah diatur oleh
pondok pesantren. Bahkan seorang santri tidak bisa bebas menghubungi kedua
orang tuanya, begitu juga sebaliknya. Santri harus patuh terhadap semua aturan
yang telah ditetapkan oleh pihak pesantren.
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa masa
remaja awal merupakan masa ketika anak berada pada usia 10-14 tahun. Pada
usia tersebut umumnya mereka sedang menempuh pendidikan jenjang SMP.
Karakteristik yang khas pada diri remaja awal adalah perkembangan emosional
yang belum stabil. Perkembangan emosional yang belum stabil tersebut
beresiko mempengaruhi perilaku anak kearah yang negatif. Oleh karena itu
pada perkembangannya, anak perlu didampingi orang tua agar perilakunya
dapat terarah. Kasih sayang dan perhatian orang tua menjadi sangat penting
agar anak merasa keberadaannya diakui di dalam masyarakat.
B. Kerangka Berpikir
Angka kenakalan remaja di Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak utamanya orang tua. Upaya
yang dilakukan orang tua dalam mengatasi masalah tersebut adalah dengan
mengoptimalkan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan di luar keluarga.
Dewasa ini, terdapat berbagai jenis pendidikan diantaranya pendidikan umum
seperti di sekolah dan pendidikan berbasis agama seperti pesantren. Dalam
memilih jenis pendidikan tersebut orang tua mempertimbangkannya secara
rasional. Coleman menyebutkan bahwa dalam teori pilihan rasional, tindakan
individu merupakan suatu tindakan yang purposive. Suatu tindakan purposive
memerlukan optimalisasi. Dalam teori pilihan rasional individu melakukan
20

suatu tindakan karena memiliki tujuan tertentu. Tujuan tersebut dalam rangka
memaksimalkan keuntungan dan meminimalisasi resiko dari sekian banyak
pilihan yang ditawarkan. Sama halnya dengan pilihan orang tua terhadap
pesantren MTA sebagai lembaga pendidikan anak. Orang tua telah
memperhitungkan berbagai jenis sekolah yang mampu memberikan
keuntungan yang maksimal. Orang tua menganggap pesantren jenis MTA
mampu membentuk anak memiliki ahklak yang bagus, ekonomis, serta
menunjukkan loyalitasnya sebagai anggota MTA. Disamping itu terdapat
berbagai macam keuntungan yang ingin dimaksimalkan dan resiko yang ingin
diminimalisir oleh orang tua. Keuntungan dan resiko tersebut erat kaitannya
dengan ideologi MTA yang mereka pegang. Secara lebih jelas kerangka
berpikir dapat dilihat pada Gambar 2.1.
21

Angka kenakalan
Upaya Orang tua
remaja tinggi

Pemilihan
Pendidikan Anak

Sekolah Umum Sekolah berbasis


agama/Pesantren MTA
MTS

b. Sedikit nilai agama Perbedaan a. Banyak nilai agama


c. Banyak waktu luang b. Kegiatan dipantau 24
anak setelah KBM jam
d. Resiko pergaulan di c. Terhindar pengaruh
luar sekolah negatif diluar sekolah

Bagaimana rasionalitas
pilihan orang tua?

Pilihan Rasional
James S Coleman

Tujuan Maksimalisasi Minimalisasi


Keuntungan Resiko

Anak berakhlak Ekonomis Boros


sesuai MTA Efisien waktu Pekerjaan terganggu
Menghemat Kualitas agama pengasuhan anak
pembiayaan bagus Kualitas agama anak
Bukti loyalitas Aman dari rendah
anggota MTA pergaulan remaja Pengaruh pergaulan
yang negatif remaja
Prestise Pandangan negatif
Bukti loyalitas masyarakat
anggota MTA Eksistensi organisasi

Gambar 2.1. Kerangka Berpikir

You might also like