You are on page 1of 32

BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis merupakan respons sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin
dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivitas proses inflamasi. Sepsis dibagi
dalam derajat Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat, sepsis
dengan hipotensi, dan syok septik. Istilah sepsis digunakan untuk membedakan antara penyakit
dengan etiologi mikrobial dari sebuah sindrom identik yang dapat ditimbulkan oleh berbagai
etiologi non-mikrobial seperti pankreatitis. Persamaan dari kedua penyakit terdapat pada peran
berbagai macam sitokin dalam proses patofisiologi keduanya. Oleh karena itu, dapat ditarik
kesimpulan bahwa sepsis adalah sebuah respons inflamasi nonspesifik yang terbukti atau diduga
disebabkan oleh etiologi mikrobial. Ketika terjadi hipoperfusi atau disfungsi pada setidaknya satu
sistem organ, kondisi sepsis tersebut dinyatakan sebagai berat. Ketika sepsis berat berlanjut hingga
timbul hipotensi atau indikasi penggunaan vasokonstriktor meski telah ditangani dengan resusitasi
cairan, kondisi tersebut dinamakan syok sepsis.1
Sepsis adalah penyebab tersering di perawatan pasien di unit perawatan intensif. Sepsis
hampir diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya. Insidennya diperkirakan
sekitar 50-95 kasus diantara 100.000 populasi dengan peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya. Syok
akibat sepsis merupakan penyebab kematian tersering di unit pelayanan intensif di Amerika
Serikat.2
Penelitian epidemiologi sepsis di AS menyatakan insiden sepsis sebesar 3/1.000 populasi
yang meningkat lebih dari 100 kali lipat berdasarkan umur (0,2/1.000 pada anak-anak, sampai
26,2/1.000 pada kelompok umur > 85 tahun). Angka perawatan sepsis berkisar antara 2 sampai
11% dari total kunjungan ICU. Angka kejadian sepsis di Inggris berkisar 16% dari total kunjungan
ICU.2
Risiko mortalitas akibat sepsis dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti umur, jenis kelamin,
ras, penyakit penyerta, riwayat trauma paru akut, sindrom gagal napas akut, gagal ginjal dan jenis
infeksinya yaitu nosokomial, polimikrobial atau jamur sebagai penyebabnya. Diperkirakan angka
mortalitas akibat sepsis, sepsis berat, dan syok sepsis masing-masing mencapai 10-20%, 20-50%,
dan 40-80%. Insiden mortalitas yang lebih tinggi umumnya lebih sering ditemukan di negara
berkembang daripada negara maju

Hal 1
BAB II
ISI PUSTAKA

Definisi
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh yang
berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme, ditandai dengan panas, takikardia,
takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah.3 Terdapat
pengertian lain pada sepsis yaitu sebuah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
dengan dugaan infeksi.4 Berikut ini adalah derajat sepsis menurut perjalanan penyakitnya:5
a. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan 2 gejala sebagai
berikut:
Hipertermia/ Hipotermia (> 38,3oC atau < 35,6oC)
Takikardi (> 100x/menit)
Takipneu (>20x/menit) atau Pa CO2 < 32 mmHg
Leukositosis (>12.000/mm3)
Sel imatur >10%
b. Sepsis : Infeksi disertai SIRS
c. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai dengan MODS / MOF (Multi Organ Dysfunction
Syndrome / Multi Organ Failure), kelainan hipoperfusi yang meliputi asidosis laktat,
oligouria, anuria atau perubahan akut pada status mental, serta hipotensi. Tanda-tanda
MODS dengan komplikasi: sindroma distress pernafasan, koagulasi intravaskular, gagal
ginjal akut, perdarahan usus, gagal hati, disfungsi SSP, gagal jantung, hingga kematian.
d. Sepsis dengan Hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau
penurunan tekanan sitolik >40 mmHg).
e. Syok Septik : Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai
hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan
disertai hipoperfusi jaringan.

Hal 2
Gambar 1. Derajat sepsis
Terdapat beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis. Bagian terpenting adalah
memasukkan penanda biomoluekuler yaitu procalsitonin (PCT) dan C-Reactive Protein (CRP)
sebagai langkah awal dalam diagnosis sepsis. Rekomendasi utama adalah implementasi dari suatu
sistem tingkatan Predisposition, Insult infection, Response and Organ dysfunction (PIRO) untuk
menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien dengan modifikasi
gejala dan risiko yang individual.4

Gambar 2. Sistem tingkatan PIRO

Hal 3
Gambar 3. Current and future perspectives for PIRO

Epidemiologi
Respons septik merupakan salah satu factor yang beperan dalam terjadinya >200.000
kematian per tahun di Amerika Serikat. Kejadian sepsis berat dan syok septik telah meningkat
selama 20 tahun terakhir dan jumlah kasus tahunan sekarang mencapai >700.000 (3 per 1000
penduduk). Sekitar dua pertiga kasus terjadi pada pasien dengan penyakit dasar yang signifikan.
Kejadian dan tingkat kematian yang terkait dengan sepsis meningkat seiring bertambahnya usia
dan komorbiditas yang ada sebelumnya. Kejadian insidensi sepsis yang meningkat di Amerika
Serikat disebabkan oleh banyaknya usia tua pada populasi, meningkatnya pasien yang berusia
lanjut disertai dengan penyakit kronis dan frekuensi yang relatif tinggi dimana sepsis berkembang
pada pasien dengan AIDS. Penggunaan agen antimikroba secara meluas, obat imunosupresif,
kateter dan alat mekanis yang tinggal, dan ventilasi mekanis juga berperan dalam hal ini. Infeksi
bakteri invasif merupakan salah satu penyebab kematian yang berperan besar di seluruh dunia,
terutama di kalangan anak kecil. Di Afrika Sub-Sahara misalnya screening yang teliti untuk kultur
darah positif dapat ditemukan bahwa bakteriemia yang didapat masyarakat menyumbang
setidaknya seperempat kematian anak-anak >1 tahun. Spesies Salmonella non-tifoid,
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, dan Escherichia coli adalah bakteri yang
paling sering diisolasi. Bakteremia anak-anak sering terinfeksi HIV atau sangat kekurangan gizi.6

Hal 4
Etiologi
Sepsis bisa disebabkan oleh banyak mikroorganisme. Mikroba yang masuk ke peredaran
darah tidak esensial, sampai terjadi inflamasi lokal dan juga adanya kerusakan organ yang jauh
serta hipotensi. Pada kenyataannya kultur darah terdapat bakteri atau jamur hanya sekitar 20-40%
dari kasus severe sepsis dan 40-70% pada kasus syok sepsis.1,4
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60-70% dari kasus,
yang menghasilkan berbagai macam produk yang dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut
kemudian dipacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting dalam
sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS berfungsi merangsang peradangan pada jaringan,
demam dan syok pada pasien yang terinfeksi. Bakteri gram positif lebih jarang menyebabkan
sepsis jika dibandingkan bakteri gram negatif. Angka kejadiannya hanya berkisar 20-40% dari
keseluruhan kasus.1,4
Peptidoglikan diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin berbagai
kuman juga dapan menjadi faktor penyebab karena dapat merusak integritas membran sel imun
secara langsung. Dari semua faktor tersebut yang terpenting adalah LPS endotoksin gram negatif
yang dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS tidak mempunyai sifat toksik, tetapi
merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis.
Makrofag mengeluarkan polipeptida yang disebut tumor necrosis factor (TNF) dan
interleukin (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat
tinggi pada penderita immune compromise yang mengalami sepsis.1,4

Patofisiologi
Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang berat. Hal ini
dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan berlangsung terus menerus dengan
sendirinya, dikatakan intravaskular karena proses ini menggambarkan penyebaran infeksi melalui
pembuluh darah dan dikatakan peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah perluasan dari
peradangan biasa.
Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator-mediator inflamasi
termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan antiinflamasi. Sitokin yang
termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1,interferon yang bekerja membantu sel untuk
menghancurkan mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi

Hal 5
yaitu IL-1-reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi
atau represi terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini bertujuan untuk
melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi proses penyembuhan. Namun ketika
keseimbangan ini hilang maka respon proinflamasi akan meluas menjadi respon sistemik. Respon
sistemik ini meliputi kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan jaringan
akibat gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan
konskuensi dari kelebihan respon antiinfalmasi adalah alergi dan immunosupressan. Kedua proses
ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga menciptakan kondisi ketidak harmonisan imunologi
yang merusak.4,5

Gambar 4. Ketidakseimbangan homeostasis pada sepsis

Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika bakteri gram
negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan endotoksin dengan lipopolisakarida
(LPS) yang secara langsung dapat mengikat antibodi dalam serum darah penderita sehingga
membentuk lipopolisakarida antibodi (LPSab). LPSab yang beredar didalam darah akan bereaksi
dengan perantara reseptor CD 14+ dan akan bereaksi dengan makrofag dan mengekspresikan
imunomodulator.4,5
Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit. Mereka dapat berperan
sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai antigen
processing cell yang kemudian ditampilkan sebagai APC (Antigen Presenting Cell). Antigen ini
membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari MHC (Major Histocompatibility

Hal 6
Complex). Antigen yang bermuatan MHC akan berikatan dengan CD 4+ (Limfosit Th1 dan
Limfosit Th2) dengan perantara T-cell Reseptor.
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan mengeluarkan
substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai immodulator akan mengeluarkan IFN-,
IL2 dan M-CSF (Macrophage Colony Stimulating Factor), sedangkan Th2 akan mengekspresikan
IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IFN-g, IFN 1 dan TNF yang merupakan sitokin proinflamantori. IL-1
yang merupakan sebagai imuno regulator utama juga memiliki efek pada sel endothelial termasuk
didalamnya terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang menyebabkan neutrofil tersensitisasi oleh GM-
CSF mudah mengadakan adhesi. Neutrofil yang beradhesi akan mengeluarkan lisosim yang
menyebabkan dinding endotel lisis sehingga endotel akan terbuka dan menyebabkan kebocoran
kapiler. Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk kedalam radikal bebas (nitrat
oksida) sehingga mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga endotel menjadi nekrosis
dan terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah. Adanya kerusakan endotel pembuluh darah
menyebabkan gangguan vaskuler dan hipoperfusi jaringan sehingga terjadi kerusakan organ
multipel.5
Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-, IL-8, IL-6 menimbulkan
respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah terjadi reperfusi pada jaringan iskemik,
terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif) sebagai hasil metabolisme xantin dan hipoxantin
oleh xantin oksidase, dan hasil metabolisme asam amino yang turut menyebabkan kerusakan
jaringan. ROS penting artinya bagi kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi
peradangan, membunuh bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah, Namun bila
dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia akan menyerang isi
sel itu sendiri sehingga menambah kerusakan jaringan dan bisa menjadi disfungsi organ multipel
yang meliputi disfungsi neurologi, kardiovaskuler, respirasi, hati, ginjal dan hematologi.4,5

Hal 7
Gambar 5. Patogenesis sepsis

Gambar 6. Pengaktifan komplemen dan sitoki pada sepsis

Mekanisme Kegagalan Organ


Penyebab akhir kematian pada pasien dengan sepsis adalah kegagalan organ multipel.
Terdapat hubungan erat antara derajat keberatan disfungsi organ terhadap perawatan intensif dan
kemungkinan kesintasan serta antara jumlah organ yang gagal dengan risiko kematian. Mekanisme
ini melibatkan deposisi fibrin luas yang menyebabkan oklusi mikrovaskular, timbulnya eksudat
jaringan yang kemudian menganggu oksigenasi adekuat dan gangguan hemostasis mikrovaskular

Hal 8
yang timbul dari elaborasi zat-zat vasoaktif seperti PAF, histamin dan prostanoid. Inflitrat selular,
terutama netrofil, merusak jaringan secara langsung dengan melepaskan enzim lisosomal dan
radikal-radikal bebas turunan superoksida. TNF- dan sitokin-sitokin lainnya meningkatkan
ekspresi sintase oksida nitrat terinduksi dan peningkatan produksi oksida nitrat lebih lanjut akan
menyebabkan instabilitas vaskular dan juga berkontribusi terhadap depresi miokardial yang timbul
pada sepsis.
Hipoksia jaringan yang timbul pada sepsis digambarkan dengan hutang oksigen, misalnya
perbedaan antara hantaran oksigen dengan kebutuhan oksigen. Beratnya hutang oksigen terkait
dengan hasil akhir sepsis, dan strategi yang dirancang untuk mengoptimalkan hantaran oksigen ke
jaringan dapat memperbaiki kesintasan. Sebagai tambahan terhadap hipoksia, sel dapat menjadi
disoksik semisal tidak mampu untuk mengutilisasi oksigen yang tersedia. Data-data terbaru
menunjukan bahwa hal ini mungkin merupakan akibat dari kelebihan produksi oksida nitrat, oleh
karena biopsi otot skeletal dari pasien sepsis menunjukkan bukti-bukti adanya gangguan respirasi
mitokondrial, yang dihambat oleh oksida nitrat.
Komunikasi silang antara sitokin dan neurohormon merupakan pangkal pemulihan
homeostasis selama stres. Produksi dan pelepasan vasopresin serta hormon pelepas kortikotropin
ditingkatkan oleh TNF dan interleukin-1, 6 dan 2 yang beredar, dengan ekspresi lokal interleukin
1 dan NO serta oleh serabut-serabut vagal aferen. Terlebih lagi, sintesis kortisol dimodulasi oleh
ekspresi lokal interleukin-6 dan TNF. Hormon-hormon yang diregulasi meningkat membantu
untuk mempertahankan homeostasis kardiovaskular dan metabolisme selular serta melokalisasi
fokus inflamasi.
Gangguan respons endokrin sampai sepsis dapat terjadi sebagai akibat dari sitokin,
apoptosis neuronal, gangguan metabolik dan juga iskemik pada kelenjar-kelenjar hipotalamik-
hipofisis dan adrenal serta oleh pemberian obat-obatan. Gangguang fungsi kelenjar adrenal dan
produksi vasopresin timbul pada setengah dan sepertiga kasus syok sepsis, dan berkontribusi pada
hipotensi dan kematian. Gangguan endokrin lainnya pada saat sepsis tidak mempunyai mekanisme
dan akibat yang jelas.
Imunomodulasi merupakan suatu jaringan interaksi yang kompleks dan saling tumpang
tindih antara zat-zat yang bekerja sama untuk mengendalikan serangan berat terhadap tubuh.
Namun, jaringan ini juga dapat menyebabkan gangguan terhadap tubuh dan menimbulkan keadaan
yang disebut sebagai SIRS dan MODS. Saat ini terdapat suatu hipotesis yang diajukan untuk

Hal 9
menjelaskan keadaan paradoksikal ini yang diamati pada pasien-pasien sakit kritis. Lima stadium
yang terdapat pada perkembangan disfungsi organ multipel adalah sebagai berikut:
1. Reaksi lokal pada lokasi trauma atau infeksi
2. Respons sistemik awal
3. Inflamasi sistemik masif
4. Imunosupresi berlebihan
5. Disonansi imunologik

Gambar 7. Konsep untuk sekuel klinis sepsis, SIRS, CARS dan MARS.

Stadium 1
Sebelum timbulnya SIRS atau MODS terjadi gangguan seperti nidus infeksi, kerusakan
traumatik (termasuk luka bedah), luka bakar atau pankreatitis yang menyebabkan pelepasan
berbagai macam mediator ke dalam lingkungan mikro. Respons awal tubuh adalah untuk
menginduksi keadaan proinflamatorik, di mana mediator-mediator mempunyai efek tumpang
tindih multipel yang dirancang untuk membatasi kerusakan baru dan untuk menghambat kerusakan

Hal 10
yang telah timbul. Reaksi-reaksi ini akan menghancurkan jaringan rusak, membantu pertumbuhan
jaringan baru dan memerangi organisme patogenik, sel neoplastik dan antigen asing.
Suatu respons anti-inflamatorik kompensatorik yang segera timbul memastikan bahwa
efek dari mediator-mediator inflamasi ini tidak menjadi destruktif. Molekul-molekul seperti IL-4,
IL-10, IL-11, IL-13, reseptor faktor nekrosis tumor solubel (TNF-ot), antagonis reseptor IL-1,
faktor perubah pertumbuhan dan lainnya yang masih belum ditemukan bekerja untuk menekan
ekspresi kompleks histokompatibilitas II monositik, menekan aktivitas penghantaran antigen dan
menurunkan kemampuan sel untuk menghasilkan sitokin-sitokin inflamatorik. Kadar lokal baik
mediator-mediator proinflamatorik dan anti-inflamatorik dapat secara substansial lebih tinggi
dibandingkan yang ditemukan secara sistemik.7

Stadium 2
Apabila gangguan awal cukup berat, pertama mediator proinflamatorik dan kemudian anti-
inflamatorik akan timbul pada sirkulasi sistemik melalui berbagai mekanisme. Adanya mediator-
mediator proinflamatorik di dalam sirkulasi adalah bagian dari respons normal terhadap infeksi
dan meerupakan sinyal peringatan bahwa lingkungan mikro tidak mampu mengendalikan
gangguan awal. Mediator-mediator proinflamatorik membantu untuk merekrut netrofil, sel dan B,
trombosit dan faktor-faktor koagulasi ke lokasi kerusakan atau infeksi. Kaskade ini merangsang
suatu respons anti-inflamatorik sistemik kompensatorik, yang biasanya akan menekan secara cepat
respons proinflamatorik. Sedikit, bila ada, tanda dan gejala klinis yang ditimbulkan.organ-organ
mungkin dapat dipengaruhi oleh kaskade inflamatorik, namun disfungsi organ signifikan jarang
ditemukan.7

Stadium 3
Kehilangan regulasi respons proinflamatorik menghasilkan suatu manifestasi reaksi
sistemik masif sebagai temuan klinis SIRS. Mendasari temuan klinis adalah perubahan-perubahan
patofisiologi yang termasuk sebagai berikut: (1) Disfungsi endotelial progresif, menyebabkan
peningkatan permeabilitas mikrovaskular. (2) Pembentukan lumpur trombosit yang menghambat
sirkulasi mikro,menyebabkan maldistribusi aliran darah dan mungkin menyebabkan iskemia, yang
kemudian akan menyebabkan trauma reperfusi dan menginduksi protein renjatan panas. (3)
Aktivasi sistem koagulasi dan mengganggu jalur inhibitorik protein C dan S. (4) Vasodilatasi berat,

Hal 11
transudasi cairan dan maldistribusi aliran darah dapat menyebabkan syok berat. Disfungsi organ
dan akhirnya kegagalan akan diakibatkan oleh perubahan-perubahan ini kecuali segera terjadi
pemulihan homeostasis.7

Stadium 4
Terdapat kemungkinan reaksi anti-inflamatorik kompensatorik dapat berlebihan dengan
akibat terjadi imunosupresi. Beberapa peneliti telah menamakannya sebagai paralisis imun dan
jendela imunodefisiensi, sedangkan pada konsep ini dinamakan sebagai sindrom respons anti-
inflamatorik kompensatorik (compensatory anti-inflammatory respons syndrome-CARS). CARS
merupakan respons tubuh terhadap inflamasi dan lebih dari sekedar paralisis imun. CARS dapat
menjelaskan kelainan-kelainan seperti meningkatnya kerentanan pasien luka bakar terhadap
infeksi dan bahkan anergi pasien pankreatitis. Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa terapi pada
pasien sepsis dengan IFN tidak hanya mengembalikan ekspresi HLA-DR pada monosit namun
juga mengembalikan kemampuan monosit untuk mensekresi sitokin IL-6 dan TNF.7

Stadium 5
Stadium akhir pada MODS adalah apa yang disebut sebagai disonansi imunologik. Istilah
ini menunjukkan adanya suatu respons sistem imunomodulatorik yang tidak sesuai dan keluar dari
keseimbangan. Pada beberapa pasien, keadaan ini timbul sebagai akibat dari inflamasi persisten
dan berat yang dapat timbul persisten pada pasien SIRS dan MODS, dengan peningkatan risiko
kematian. Pada pasien lainnya, persistensi penekanan sistem imun menyebabkan terjadinya
disonansi imunologik. Studi-studi telah menunjukkan tidak hanya deaktivasi monosit timbul pada
banyak pasien namun persistensi deaktivasi tersebut meningkatkan risiko kematian secara
signifikan. Pada pasien-pasien dengan imunosupresi persisten, penyebab kegagalan organ dapat
berupa inhibisi sintesis zat-zat proinflamatorik yang dibutuhkan oleh organ-organ untuk pulih.
Pada pasien-pasien dengan disonansi imunologik, pemulihan fungsi organ dapat dimungkinkan
apabila tubuh dapat mengembalikan keseimbangannya.7

Hal 12
Diagnosis
Diagnosis sepsis memerlukan kecermatan tinggi dalam menggali perjalanan penyakit,
membutuhkan pemeriksaan fisik yang cermat, uji laboratorium yang sesuai dan tindak lanjut
hemodinamik.3,4

Tabel 1. Kriteria diagnosis sepsis4

Gambaran umum
Demam (>38,3 C)
Hipotermia (suhu <36 C)
Nadi > 90x/menit
Takipneu
Perubahan status mental
Hipeglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dl) tanpa riwayat diabetes
Edema
Gambaran inflamasi
Leukositosis (leukosit > 12,000 uL)
Leukopenia (leukosit < 4,000 uL)
Leukosit normal dengan > 10% sel imatur
Peningkatan C- reaktive protein
Peningkatan prokalsitonin plasma
Hemodinamik
Hipotensi arterial ( TD <90 mmHg, MAP < 70 mmHg, atau penurunan TD > 40 mmHg pada
dewasa)
Disgungsi organ
Hipoksemia (PaO2/FiO2 <300)
Oliguria akut ( urin output <0,5 mL/kgBB/jam setelah 2 jam resusitasi cairan yang adekuat)
Peningkatan kreatinin > 0,5 mg/dl
Abnormalitas faktor koagulasi (INR > 1,5 atau aPTT > 60 detik)
Ileus
Trombositopenia ( trombosit < 100,000 ul )
Hiprbilirubinemia ( bilirubin total > 4mg/dL )

Hal 13
Perfusi jaringan
Hiperlactatemia (>1 mmol/L)
Penurunan CRT atau mottling

Tabel 2. Kriteria diagnosis sepsis berat.3,4

Sepsis berat
Sepsis yang menyebabkan hipotensi
Peningkatan laktat diatas nilai normal
Urine output < 0,5 mg/KgBB/jam setelah 2 jam pemberian cairan yang adekuat
Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 <250 pada pasien yang tidak pneumonia sebagai
sumber infeksinya
Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 <250 pada pasien pneumonia sebagai sumber
infeksinya
Kreatinin >2,0 mg/dl
Bilirubin >2 mg/dl
Platelet <100,000 uL
Koagulopati (INR >1,5)

Data laboratorium meliputi Complete Blood Count, hitung diferensial, urinalisis, faktor
koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, fungsi hati, asam laktat, analisa gas
darah. Lalu dapat dilakukan biakan kultur dari darah, urin, sputum dan tempat lain yang terinfeksi.
Lakukan Gram stain pada daerah steril seperti darah, CSF, dan ruang pleura.3,4

Hal 14
Tabel 3. Temuan klinis uji laboratorium pada keadaan sepsis.3,4

Uji Laboratorium Temuan Keterangan


Hitung leukosit Leukositosis atau Endotoksemia dapat
leukopenia menyebabkan leukopenia
dini
Hitung trombosit Trombositosis atau Nilai tinggi dapat timbul
trombositopenia pada respons fase akut. Nilai
rendah ditemukan pada KID
Kaskade koagulasi Defisiensi protein C, Nilai abnormal dapat
defisiensi antitrombin, ditemukan sebelum onset
peningkatan D-dimer, PT kegagalan fungsi organ
& APTT memanjang tanpa disertai perdarahan.
Kadar kreatinin Meningkat Peningkatan sebesar dua kali
lipat nilai normal
menandakan gagal ginjal
akut
Kadar asam laktat Meningkat >4 mmol/L Menandakan hipoksia
(36mg/dL) jaringan
Kadar enzim hepar Peningkatan alkalin Menandakan kerusakan
fosfatase, SGOT, SGPT, hepatoselular akibat
bilirubin hipoperfusi
Kadar fosfat serum Hipofosfatemia Berbanding terbalik dengan
kadar sitokin proinflamasi
Kadar protein reaktif C Meningkat Menandakan respons fase
(CRP) akut
Kadar prokalsitonin Meningkat Membedakan antara SIRS
infeksius dan SIRS
noninfeksius

Komplikasi
Insidensi komplikasi yang diakibatkan oleh SIRS dan sepsis adalah sebagai berikut :6

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) sebanyak 8-18%


Adult Respiratory Disease Syndrome (ARDS) sebanyak 2-8%
Acute Renal Failure (ARF) sekitar 9-23%
Gastrointestinal bleeding
Gagal hati (12%)
Disfungsi sistem saraf pusat (19%)
Gagal jantung
Kematian

Hal 15
Sepsis dapat menyebabkan Multiple organ dysfunctions (MODS). MODS disebabkan oleh
adanya gangguan perfusi jaringan yang mengalami hipoksia sehingga terjadi nekrosis dan
gangguan fungsi ginjal dimana pembuluh darah memiliki andil yang cukup besar dalam
patogenesis ini.

Gambar 8. MODS yang disebabkan oleh sepsis

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)


Sepsis akan mengaktifkan Tissue Factor yang memproduksi trombin yang merupakan
suatu substansi proinflamasi. Trombin akhirnya menghasilkan suatu gumpalan fibrin di dalam
mikrovaskular. Sepsis selain mengaktifkan tissue factor, dia juga menggangu proses fibrinolisis
melalui pengaktifan IL-1 dan TNF dan memproduksi suatu plasminogen activator inhibitor-1
yang kuat mengahambat fibrinolisis.8 Sitokin proinflamasi juga mengaktifkan activated protein C
(APC) dan antitrombin. Protein C sebenarnya bersirkulasi sebagai zimogen yang inaktif tetapi
karena adanya thrombin dan trombomodulin, dia berubah menjadi enzyme-activated protein C.
Sedangkan APC dan kofaktor protein S mematikan produksi trombin dengan menghancurkan
kaskade faktor Va dan VIIIa sehingga tidak terjadi suatu koagulasi. APC juga menghambat kerja
plasminogen activator inhibitor-1 yang menghambat pembentukkan plasminogen menjadi
plasmin yang sangat penting dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Semua proses ini
menyebabkan kelainan faktor koagulasi yang bermanisfestasi perdarahan yang dikenal dengan
koagulasi intravaskular diseminata yang merupakan salah satu kegawatan dari sepsis yang
mengancam jiwa.8 Pada kasus ini biasanya penurunan sel darah merah tanpa adanya perdarahan

Hal 16
dan penurunan trombosit <100.000/mm3 sering ditemukan. Dalam sepsis berat, pemberian rhAPC
dapat membantu memperbaiki gangguan koagulasi

Gambar 7. Sepsis menyebabkan gangguan koagulasi

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


Kerusakan endotel pada sirkulasi paru menyebabkan gangguan pada aliran darah kapiler
dan perubahan permebilitas kapiler, yang dapat mengakibatkan edema interstitial dan alveolar.
Neutrofil yang terperangkap dalam mirosirkulasi paru menyebabkan kerusakan pada membran
kapiler alveoli. Edema pulmonal akan mengakibatkan suatu hipoksia arteri sehingga akhirnya
akan menyebabkan Acute Respiratory Disease Syndrome (ARDS).
Acute lung injury tampak pada 60%-70% pasien dengan sepsis berat. Kelainan ini ditandai
dengan adanya infiltrat paru pada rontgen tanpa adanya gagal jantung kiri (PaWP<18 mmHg).
Adanya kegagalan dalam pertukaran gas paru yang ditandai rasio PaO2/FiO2 < 300 untuk ALI
atau < 200 untuk ARDS. Tingkat keparahan ALI/ARDS menentukan ventilasi mekanik.
Ventilasi mekanik akan memulihkan pertukaran gas paru dan mengurangi kebutuhan
metabolic.9,10

Gambar 8. Patofisiologi sepsis menyebabkan ARDS

Hal 17
Acute Renal Failure (ARF)
Pada hipoksia/iskemi di ginjal terjadi kerusakan epitel tubulus ginjal, vaskular dan sel
endotel ginjal sehingga memicu terjadinya proses inflamasi yang menyebabkan gangguan
fungsi organ ginjal. Gangguan fungsi ginjal dapat terjadi dengan produksi urin yang normal
maupun berkurang. Peningkatan kreatinin > 0,3mg/dl dari nilai sebelumnya atau peningkatan
> 50% atau oliguri < 0,5 cc/kgbb/jam lebih dari 6 jam menandakan gangguan ginjal akut dan
dapat mempengaruhi keluaran yang buruk.9,10

Gambar 9. Patogenesis sepsis menyebabkan gagal ginjal akut

GastroIntestinal bleeding
Pada pasien sepsis di mana pasien dalam keadaan tidak sadar dan terpasang intubasi dan
tidak dapat makan, maka bakteri akan berkembang dalam saluran pencernaan dan mungkin
juga dapat menyebabkan suatu pneumonia nosokomial akibat aspirasi. Abnormalitas sirkulasi
pada sepsis dapat menyebabkan penekanan pada barier normal dari usus, yang akan
menyebabkan bakteri dalam usus translokasi ke dalam sirukulasi (mungkin lewat saluran
limfe).
Iskemia splanknik dan asidosis intramukosa terjadi selama sepsis. Tanda klinis mencakup
perubahan fungsi otot halus usus dan terjadi diare. Perdarahan traktus gastrointestinal
disebabkan stress ulcer gastritis akut yang juga manifestasi sepsis. Monitoring pH intramukosa
lambung digunakan untuk mengenali dan petunjuk terapi resusitasi. Peningkatan pCO2
intraluminal dikaitkan dengan adanya iskemia jaringan dan asidosis mukosa.9,10

Hal 18
Hepar Failure
Gangguan hati ditandai dengan adanya hepatomegali dan total bilirubin > 2mg/dl. Adanya
peningkatan bilirubin terkonjugasi dan peningkatan GGT sering terjadi.9,10

Disfungsi system saraf pusat (Ensefalopati septik)


Jika sumber infeksi di luar sistem saraf pusat, gangguan neurologik dapat dianggap sebagai
ensefalopati septik. Beberapa kondisi lainnya dapat menambah efek sekunder, seperti
hipoksemia, gangguan metabolik dan elektrolit, dan hipoperfusi serebral selama keadaan syok.
Gejala dapat bervariasi mulai dari agitasi, confusion, delirium, dan koma. Walaupun tidak
terlihat defisit neurologis, mioklonus dan kejang dapat terjadi. Gangguan sistem saraf pusat
berat memerlukan proteksi jalan napas dan support ventilasi.9,10

Tatalaksana
Manajemen sepsis berat harus dilakukan sesegera mungkin dalam periode emas (golden
hours) 6 jam pertama. Secara ringkas, strategi terapi sepsis berat mencakup tiga hal berikut:
resusitasi awal dan kontrol infeksi, terapi dukungan hemodinamik dan terapi adjuvan, serta terapi
suportif lainnya.11

1. Resusitasi awal
Resusitasi kuantitatif pasien dengan hipoperfusi jaringan yang disebabkan oleh
sepsis (didefinisikan sebagai hipotensi yang bertahan setelah diberikan terapi cairan atau
konsentrasi laktat darah 4 mmol / L).
Target selama 6 jam pertama resusitasi :11
- Central venous pressure (CVP) 8-12 mmHg
- Mean arterial pressure (MAP) 65 mmHg
- Produksi urin 0,5 mL/KgBB/jam
- Saturasi oksigen vena cava superior (ScvO2) atau vena campuran /mixed
vein (ScO2) 65% atau 70%
Resusitasi awal juga ditujukan untuk mengembalikan nilai laktat ke batas normal
sebagai indikator keberhasilan perfusi pada jaringan.

Hal 19
2. Skrining sepsis

Dilakukan untuk mengevaluasi pasien dalam kondisi sepsis setelah pemberian


resusitasi awal berhasil hingga tidak pasien tidak menjurus ke keadaan sepsis berat.11

3. Diagnosis
Kultur diambil sebelum pemberian antibiotik atau kurang dari 45 menit setelah
pemberian antibiotik. Setidaknya 2 sampel darah (aerobik dan anaerobik) didapatkan
secara perkutaneus dan 1 sampel dari akses vaskular.11
Bila dicurigai terdapat infeksi kandidiasis maka dapat dilakukan pemerikasaan 1,3
beta-D-glucan, antibodi mannan dan antimannan. Dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
imaging untuk memastikan sumber infeksi.11

4. Terapi antimikroba
Tujuan terapi: antimikroba intravena secara efektif diberikan dalam satu jam
pertama pada pasien dengan tanda-tanda syok sepsis atau sepsis berat tanpa syok sepsis.11
Terapi empiris awal anti mikroba dari satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas
terhadap semua patogen (bakteri dan / atau jamur atau virus) dan yang dapat menembus
dalam konsentrasi yang memadai ke jaringan yang diduga menjadi sumber sepsis. Regimen
antimikroba harus ditinjau kembali setiap hari untuk potensial deeskalasi.
Terapi empiris yang biasa digunakan sekarang ialah yang dapat mengkover rata-
rata kuman pathogen akibat healthcare associated infection (HAI) yaitu golongan
carbapenem (meropenem, imipenem/cilastatin, doripenem) atau perpanjangan dari
kombinasi penghambat b-lactamase/penicillin (piperacillin/tazobactam atau
ticarcilin/clavulanate). Meskipun begitu, golongan ke-3 dari sefalosporin juga dapat
digunakan terutama pada keadaan multidrug regimen
Jika ada resiko terjadinya MRSA maka pemberian antibiotic seperti vancomycin,
teicoplanin dan obat anti MRSA lainnya dapat digunakan.
Penggunaan prokalsitonin level rendah atau biomarker yang sama untuk membantu
dokter dalam penghentian antibiotik empiris pada pasien yang awalnya muncul septik,
tetapi tidak memiliki bukti berikutnya infeksi.
Kombinasi terapi empiris untuk pasien neutropenia dengan sepsis berat dan untuk
pasien dengan sulit diobati, bakteri patogen resisten seperti Acinetobacter dan

Hal 20
Pseudomonas spp. Untuk pasien dengan infeksi berat terkait dengan kegagalan pernapasan
dan syok septik, terapi kombinasi dengan beta-laktam dan baik aminoglikosida atau
fluorokuinolon adalah untuk P. aeruginosa. Kombinasi beta-laktam dan makrolida untuk
pasien dengan syok septik dari bakteremik infeksi Streptococcus pneumoniae.11
Terapi kombinasi empiris tidak boleh diberikan selama lebih dari 3-5 hari. De-
eskalasi untuk terapi yang paling tepat harus dilakukan segera setelah profil kerentanan
diketahui dan biasanya dianjurkan setiap hari selama pengobatan.
Terapi empiris diberikan dalam durasi terbatas 7-10 hari, atau lebih lama bila ada
fokus infeksi yang sulit dicapai oleh obat atau kondisi imunodefisiensi.

Tabel 4. Pemilihan terapi antibiotik untuk sepsis dari sumber infeksi.11

Suspek sumber infeksi Antibiotik yang dianjurkan


Tidak diketahui Vancomycin dan piperacillin 3,375 g IV infus
selama 4 jam
Atau
Meropenem 500 mg IV per 6 jam
Intraabdominal Ampisilin/ Sulbaktam 3 gr IV per 6 jam
Atau
Vancomycin dan piperacillin 3,375 g IV infus
selama 4 jam
Atau
Meropenem 500 mg IV per 6 jam
Atau
Metronidazole 500 mg IV per 8 jam ditambah
Siprofloksasin 400 mg IV setiap 12 jam
Traktus urinarius Siprofloksasin 400 mg IV setiap 12 jam
Atau
Vancomycin dan piperacillin 3,375 g IV infus
selama 4 jam
Atau

Hal 21
Meropenem 500 mg IV per 6 jam
Atau
Ampisilin 2 gr IV per 6 jam ditambah
Gentamisin
Kulit atau jaringan : Staphylococcus sp Vancomisin
Atau
Linezolid 600 mg IV per 12 jam
Atau
Daptomisin 4mg/kgBB per 24 jam
Atau
Oxacillin 2 gr IV per 4 jam
Kulit atau jaringan : Clostridium perfringers Penisilin G 6 juta unit IV per 4 jam
Ditambah
Klindamisin 900 mg IV per 8 jam
Direkomendasikan untuk segera melakukan
debridement
Kulit atau jaringan : nekrotik polimikroba Meropenem 500 mg IV per 6 jam
Direkomendasikan untuk segera melakukan
debridement
Community Acquired Pneumonia tanpa Seftriakson 1 gr ( 2 gr jika BB > 80 kg) IV per
faktor resiko pseudomonas 24 jam
Kombinasi dengan
Moksifloksasin 400 mg IV per 24 jam
Atau
Azitromisin 500 mg IV per 24 jam
Community Acquired Pneumonia dengan Cefepime 1 g IV per 6 jam atau
faktor resiko pseudomonas piperacillin 3,375 g IV infus selama 4 jam
atau
meropenem 500 mg IV per 6 jam
ditambah
siprofloksasin 400 mg IV per 8 jam

Hal 22
atau
Aminoglikosida gentamisin 5-7 mg/kgBB per
24 jam
Dengan
Azitromisin 500 mg PO/IV per 24 jam

Hospital Acquired Pneumonia (HAP) Vancomisin 15 mg/kg BB per 12 jam


Ventilator Acquired Pneumonia (CAP) ditambah Cefepime 1 g
IV per 6 jam
Meropenem 500 mg IV per 6 jam
Ditambah
Gentamisin 5-7 mg/kg IV perhari atau
Tobramisin 5-7 mg/kgBB perhari atau
Sifrofloksasin 400 mg IV per 8 jam

5. Pengontrolan sumber infeksi


Lokasi anatomis infeksi harus ditentukan dan diintervensi dalam 12 jam setelah
diagnosis ditegakkan. Bila perangkat akses vaskular yang dicurigai sebagai sumber ineksi,
lakukan penggantian segera setelah akses baru dipasang.11

6. Pencegahan infeksi
Dekontaminasi oral dan digestif untuk menurunkan angka insidensi pneumonia
karena ventilator. Klorheksidin glukonat oral dapat digunakan untuk dekontaminasi oral
pada pasien sepsis berat di ICU.11

7. Terapi cairan untuk sepsis berat


Kristaloid sebagai pilihan terapi awal cairan dalam resusitasi sepsis berat dan syok
septik. Tidak dianjurkan menggunakan HES untuk resusitasi cairan terhadap sepsis berat
dan syok septik. Albumin boleh diberikan setelah pasien mendapatkan cairan kristaloid
dalam jumlah yang adekuat. Berikan cairan kristaloid minimal 30 mL/KgBB bolus cepat

Hal 23
selama 30 menit dengan prinsip fluid challenge techniques dalam 3 jam pertama. Volume
yang lebih besar dan cepat dapat diberikan bila terjadi hipoperusi jaringan. Kecepatan
pemberian harus dikurangi apabila tekanan pengisian jantung meningkat tanpa adanya
perbaikan hemodinamik. Catatan khusus diberikan pada pasien yang berisiko acute lung
injury/acuterespiratory distress syndrome (ALI/ARDS): cairan harus dibatasi, serta
dilakukan peninggian posisi tungkai secara pasi sewaktu melakukan fluid challenge test.11

8. Vasopresor
Vassopresor diberikan untuk menjaga MAP 65 mmHg dan inotropik diberikan
pada pasien dengan disfungsi miokardium (peninggian tekanan pengisian jantung dan
curah jantung yang rendah).
Vassopresor pilihan pertama ialah norepinefrin. Pemberian epinefrin (ditambahkan
setelah norepinefrin) dapat dipertimbangkan untuk menjaga tekanan darah tetap adekuat.
Vasopresin dosin 0,03 U/menit dapat ditambahkan pada norepinerin untuk meningkatkan
MAP atau menurunkan dosis norepinerin.11
Penggunaan dopamin sebagai vasopressor alternatif norepinefrin hanya diberikan
pada pasien tertentu, seperti resiko rendah mengalami takiaritmia, bradikardia absolut atau
relatif dan dopamin tidak direkomendasikan untuk digunakan sebagai renal protektor.11
Setelah pemberian vasopressor maka pemasangan arterial kateter harus segera
dipasang tujuannya agar kita bisa mengukur secara akurat tekanan arteri per denyutnya.

9. Inotropik
Dobutamin 20 mcg/kgBB/menit diberikan pada pasien dengan disfungsi
miokardium, terdapat tanda hipoperfusi, meskipun volume intravaskularnya adekuat dan
tercapainya MAP yang adekuat.11

10. Kortikosteroid
Pemberian hidrokortison intravena (dosis 50 mg setiap 6 jam dengan maksimal
dosisnya 200 mg per hari selama 7 hari) hanya direkomendasikan bagi pasien dewasa
dengan syok sepsis yang tidak mengalami perbaikan tekanan darah setelah resusitasi cairan
dan terapi vasopresor. Kortikosteroid tidak boleh digunakan untuk mengobati sepsis tanpa

Hal 24
adanya kejadian syok, kecuali adanya riwayat penyakit endokrin atau pemakaian steroid
sebelumnya.11

11. Penggunaan Produk Darah


Setelah hipoperfusi tertangani dan tidak ada kondisi penyulit seperti hipoksemia
berat, perdarahan akut, atau penyakit jantung iskemik, tranfusi sel darah merah diberikan
hanya jika konsentrasi hemoglobin turun hingga <7,0g/dL dengan nilai target 7,0-9,0g/dL.
Penggunaan eritropoietin tidak dianjurkan dalam mengatasi anemia terkait sepsis
berat. Fresh frozen plasma tidak dianjurkan untuk memperbaiki abnormalitas nilai uji
hemostasis laboratorium jika tidak ada perdarahan atau rencana tindakan invasif. Pada
pasien sepsis berat, pemberian transfusi trombosit profilaktit dilakukan pada kadar
<10.000/mm3 tanpa perdarahan; pada <20.000/mm3 bila terdapat risiko perdarahan
signifikan; pada >=50.000/mm3 bila terdapat perdarahan aktif, pembedahan, atau tindakan
invasif.11
Anti-trombin tidak dianjurkan untuk digunakan karena dapat menurunkan kerja
dari plasma sehingga sesuai dengan korelasi terjadinya DIC.

12. Immunoglobulin
Penggunaan immunoglobulin intravena pada pasien dewasa dengan sepsis berat
atau syok sepsis tidak dianjurkan.11

13. Selenium
Penggunaan selenium dalam penatalaksaan sepsis berat tidak dianjurkan.

14. Ventilasi mekanik pada Acute Respiratory Distress Syndrome terinduksi Sepsis

Target volume tidal 6mL/kgBB


Tekanan puncak pada paru pasien ARDS yang terinflasi secara pasif ditargetkan
=<30cmH20
Untuk mencegah alveolus kolaps pada akhir ekspirasi, bisa digunakan pemberikan
positive end-expiratory pressure (PEEP).

Hal 25
Penggunaan PEEP dengan nilai yang lebih tinggi digunakan pada pasien yang
mengalami ARDS sedang atau berat akibat sepsis.
Kepala pasien sepsis yang terpasang ventilator diposisikan terangkat 30-45 derajat
untuk mengurangi risiko aspirasi dan pneumonia terkait ventilator.
Ventilasi masker noninvasif digunakan hanya jika diyakini manfaatnya lebih banyak
daripada risikonya.
Protokol penyapihan ventilator dilakukan pada pasien sepsis berat untuk mengevaluasi
kemampuan bernapas spontan, dimulai ketika a) merespons terhadap rangsangan, b)
hemodinamik stabil tanpa vasopressor, b) tidak ada kondisi yang berpotensial
mebahayakan, c) tidak membutuhkan tekanan ventilasi dan akhir ekspirasi yang tinggi,
dan e) kebutuhan FIO2 yang rendah dan dapat dicapai menggunakan sungkup wajah
atau kanul hidung. Bila napas spontan berhasil dicapai, pertimbangkan untuk ekstubasi.
Kateter arteri pulmoner sebaiknya tidak digunakan secara rutin pada pasien yang
mengalami ARDS akibat sepsis.
Terapi cairan konservatif dan terencana diutamakan daripada pemberian cairan secara
bebas pada pasien ARDS akibat sepsis yang tidak mengalami hipoperfusi jaringan.
Bila tidak terdapat indikasi spesifik, seperti bronkospasme, pemberian beta 2-agonis
dalam penanganan ARDS akibat sepsis tidak dianjurkan.

15. Sedasi, Analgesi, dan Blokade Neuromuskular pada Sepsis


Sedasi kontinu atau intermiten dapat dikurangi pada pasien sepsis yang
menggunakan ventilator, dengan target akhir titrasi spesifik. Obat-obat neuromuscular
blocking agents (NMBA) sebaiknya dihindari pada pasien sepsis tanpa ARDS karena risiko
blokade neuromuskular diperpanjang dapat terjadi setelah pemberhentian pemberian obat.
Pemberian NMBA tidak lebih dari 48 jam pada pasien dengan ARDS akibat sepsis dengan
Pao2/FIO2 < 150 mmHg.11

16. Kontrol Glukosa


Protokol manajemen glukosa pada pasien ICU dengan sepsis berat menggunakan
insulin diberikan ketika ditemukan kadar gula darah >180mg/dL dalam 2 kali pemeriksaan
konsekutif. Target protokol ini adalah kadar gula darah <180 mg/dL. Kadar glukosa darah
diawasi setiap 1-2 jam sampai kadar glukosa dan laju infus insulin mencapai stabil,

Hal 26
kemudian dilanjutkan setiap 4 jam sekali. Kadar glukosa yang didapat dari darah kapiler
sebaiknya diinterpretasi dengan hati-hati karena kemungkinan tidak merepresentasikan
kadar glukosa darah arteri atau plasma secara akurat.11

17. Terapi Pengganti Fungsi Ginjal


Terapi pengganti fungsi ginjal kontinu dan hemodialisis intermiten memiliki
efektivitas yang setara bagi pasien sepsis berat dan gagal ginjal akut. Penggunaan terapi
untuk memfasilitasi manajemen keseimbangan cairan dianjurkan pada pasien sepsis
dengan hemodinamik yang tidak stabil.

18. Bikarbonat
Penggunaan natrium bikarbonat tidak dianjurkan untuk memperbaiki
hemodinamikk atau mengurangi kebutuhan vasopressor pada pasien dengan asidosis laktat
(pH>7,15) akibat hipoperfusi jaringan.11

19. Profilaksis Trombosis Vena Dalam (DVT)


Pasien dengan sepsis berat menerima farmakofilaksis harian untuk mencegah
tromboembolisme vena. Hal ini dicapai menggunakan pemberian LMWH subkutan harian.
Bila pembersihan kreatinin <30 mL/menit, gunakan dalteparin atau LMWH jenis lain yang
memiliki metabolisme ginjal yang lebih rendah. Pasien dengan sepsis berat ditangani
dengan kombinasi terapi farmakologis dan alat kompresi pneumatik intermiten bila
memungkinkan. Pasien sepsis yang memiliki kontraindikasi penggunaan heparin tidak
diberikan farmakofilaksis namun diberikan tatalaksana profilaktik mekanik, seperti
stocking kompresi atau alat kompresi intermiten, kecuali terdapat kontraindikasi. Ketika
risiko berukurang, gunakan farmakofilaksis.11

20. Profilaksis Stress Ulcer


Profilaksis stress ulcer menggunakan H2 blocker atau proton pump inhibitor
diberikan pada pasien dengan sepsis berat/syok septik yang memiliki faktor risiko
perdarahan. Penggunaan proton pump inhibitor sebagai profilaksis stress ulcer lebih
diutamakan daripada H2RA. Pasien tanpa faktor risiko tidak perlu diberikan profilaksis.11

Hal 27
21. Nutrisi
Nutrisi diberikan secara oral atau enteral sebisa mungkin daripada membiarkan
puasa total atau pemberian glukosa intravena dalam 38 jam pertama setelah penegakan
diagnosis sepsis berat atau syok septik.11
Dalam pekan pertama perawatan, asupan kalori harian diberikan dalam kadar
rendah, ditingkatkan hanya ketika dapat ditoleransi.
Pemberian glukosa intravena disertai nutrisi enteral atau nutrisi parenteral disertai
enteral pada 7 hari pertama setelah penegakan diagnosis sepsis berat/syok septik lebih
diutamakan dari pada pemberian nutrisi parenteral total.11
Berikan nutrisi tanpa suplementasi immunomodulasi spesifik daripada nutrisi yang
memiliki efek immunomodulasi spesifik pada pasien sepsis berat.

22. Menentukan Target Pencapaian Perawatan


Diskusikan target perawatan dan prognosis dengan pasien dan keluarganya.
Gabungkan target pencapaian perawatan dalam penatalaksanaan dan perawatan menjelang
kematian, disertai prinsip-prinsip tatalaksana paliatif ketika memungkinkan. Tentukan
target pencapaian perawatan sesegera mungkin, tidak lebih dari 72 jam setelah masuk
ICU.11

Gambar 10. Penanganan cepat sepsis

Hal 28
Gambar 11. Algoritma tatalaksana awal sepsis

Hal 29
Prognosis
Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan sekarang rata-
rata 40% (kisaran 10 to 90%, tergantung pada karakteristik pasien). Hasil yang buruk sering
mengikuti kegagalan dalam terapi agresif awal (misalnya, dalam waktu 6 jam dari diagnosa
dicurigai). Setelah laktat asidosis berat dengan asidosis metabolik decompensated menjadi mapan,
terutama dalam hubungannya dengan kegagalan multiorgan, syok septik cenderung ireversibel dan
fatal.

Hal 30
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sepsis adalah penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan intensif. Sepsis dapat
mengenai siapa saja namun paling rentan pada orang-orang yang mengalami imunokompromis
dengan penyakit kronik. Sepsis adalah sindrom inflamasi sistemik yang sangat mengancam jiwa.
Permulaan dari infeksi yang berlanjut dengan SIRS lalu terjadilah sepsis yang apabila terlambat
ditangani dapat menjadi sepsis yang berat yang kemudian berakibat syok septic yang
menyebabkan komplikasi-komplikasi seperti disfungsi organ multipel yang berakhir dengan
kematian. Ketika seseorang mengalami infeksi, tubuh akan kompensasi dengan mengeluarkan
respon-respon infeksi seperti proinflamasi dan antiinflamasi.
Keseimbangan faktor-faktor ini dalam melawan infeksi akan menciptakan suatu proses
perbaikan tubuh namun apabila terjadi ketidakseimbangan proses-proses ini dimana proses-proses
ini akan saling mempengaruhi maka akan menimbulkan ketidakharmonisan imunologi yang
merusak tubuh sendiri. Etiologi sepsis disebabkan oleh berbagai macam agen infeksi seperti
bakteri, virus maupun parasit. Agen infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis berdasarkan
epidemiologi adalah bakteri gram negative dan positif dimana mereka menghasilkan toksin-toksin
yang menyebabkan kerusakan sel tubuh terutama pembuluh darah karena penyebaran mereka
terutama hematogen.
Untuk mendiagnosis sepsis diperlukan pemeriksaan fisik maupun laboratorium seperti
darah lengkap, faktor-faktor pembekuan darah, konsentrasi laktat dalam darah dan lain-lain.
Penatalaksanaan penting dari sepsis ini adalah perbaikan hemodinamik, pemberian antibiotic,
focus infeksi harus diobati dan terapi suportif seperti nutrisi, albumin dan lain-lain. Kegawatan
yang paling umum disebabkan sepsis adalah kerusakan multipel organ yang disebabkan karena
adanya kerusakan pembuluh darah akibat proses inflamasi-inflamasi sehingga perfusi pembuluh
darah terganggu yang berakibat organ-organ akan mengalami kelainan fungsinya karena saluran
nutrisi mereka terganggu oleh karena proses infeksi. Kelainan multipel organ akibat sepsis dapat
mengenai otak, paru, ginjal, hati, jantung maupun darah yang dapat menyebabkan kematian.

Hal 31
Daftar Pustaka

1. Andrew L. Sepsis: Definition, Epidemiology and Diagnosis. BMJ. 2007; 335(7625): 879-
883.
2. Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. Pathophysiology of Sepsis and Multiple Organ
Dysfunction. Textbook of critical care. 15th Ed. London: Elsevier Saunders Co; 2005.
p.1249-57.
3. Dellinger, Phillip R et al. Surviving Sepsis campaign: international guidelines for
management of severe sepsis and septic shock. Critical Care Medicine Journal
2012.p.580-631.
4. A.Guntur.H. Sepsis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III . Edisi V. Jakarta :
Pusat Penerbit IPD FK UI. 2009;1840-43
5. Kasper DL, Fauci AS. Harrisons principle of internal medicine. 19th Ed. United State:
The Mc-Graw Hill Companies: 2015.p.1752-9.
6. Munford RS. Harrisons infectious disease. United State: The Mc-Graw Hill Companies:
2010.p.162-6
7. Bone RC, Grodzin CJ, Balk RA. Sepsis: a new hypothesis for pathogenesis of the disease
process. Diunduh dari http://journal.publications.chestnet.org/ pada tanggal 1 Juni 2017.
8. LaRosa SP. Sepsis. Diunduh dari http://www.clevelandclinicmeded.com/infectious-
disease/sepsis/ pada tanggal 2 Juni 2017
9. Napitupulu HH. Sepsis. Anestesia & Critical Care 2010; 3(28): 1-9.
10. Eissa D, Carton EG, Buggy DJ. Anaesthetic management of patients with severe sepsis. Br
J Anaesth. 2010; 105: 73443.
11. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W et al. Surviving sepsis campaign: international
guidelines for management sepsis and septic shock. Critical Care Medicine Journal:
2016.p.1-40.

Hal 32

You might also like

  • DHF Nelson
    DHF Nelson
    Document2 pages
    DHF Nelson
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • Feafsefs
    Feafsefs
    Document28 pages
    Feafsefs
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • Sdffwefwefwe
    Sdffwefwefwe
    Document1 page
    Sdffwefwefwe
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • DHF Nelson
    DHF Nelson
    Document2 pages
    DHF Nelson
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • AKI Penyebab dan Patogenesis
    AKI Penyebab dan Patogenesis
    Document31 pages
    AKI Penyebab dan Patogenesis
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • Sfgjghjgyj
    Sfgjghjgyj
    Document19 pages
    Sfgjghjgyj
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • AKI Penyebab dan Patogenesis
    AKI Penyebab dan Patogenesis
    Document31 pages
    AKI Penyebab dan Patogenesis
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • Dgfjygyjgyf
    Dgfjygyjgyf
    Document16 pages
    Dgfjygyjgyf
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • GDDRGRG
    GDDRGRG
    Document2 pages
    GDDRGRG
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • Dasaedfdsfsdfsfss
    Dasaedfdsfsdfsfss
    Document1 page
    Dasaedfdsfsdfsfss
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • GDDRGRG
    GDDRGRG
    Document2 pages
    GDDRGRG
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • Feafsefs
    Feafsefs
    Document28 pages
    Feafsefs
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • SFSD
    SFSD
    Document5 pages
    SFSD
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • Saddsadas 7
    Saddsadas 7
    Document22 pages
    Saddsadas 7
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • Afdsdfa
    Afdsdfa
    Document10 pages
    Afdsdfa
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • Wfwewe
    Wfwewe
    Document23 pages
    Wfwewe
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • NGHFHFH
    NGHFHFH
    Document1 page
    NGHFHFH
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • DFSFSF
    DFSFSF
    Document27 pages
    DFSFSF
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • DBFDFD
    DBFDFD
    Document6 pages
    DBFDFD
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • DFSFSF
    DFSFSF
    Document27 pages
    DFSFSF
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • GGDDFG
    GGDDFG
    Document29 pages
    GGDDFG
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • SFSD
    SFSD
    Document5 pages
    SFSD
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • Sdffdfrwfds
    Sdffdfrwfds
    Document19 pages
    Sdffdfrwfds
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • SFSD
    SFSD
    Document5 pages
    SFSD
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • Dasdsa
    Dasdsa
    Document29 pages
    Dasdsa
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • Dasda
    Dasda
    Document2 pages
    Dasda
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • BHKBKJB
    BHKBKJB
    Document32 pages
    BHKBKJB
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • Fsdfs
    Fsdfs
    Document5 pages
    Fsdfs
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • Cover Sepsis PDF
    Cover Sepsis PDF
    Document3 pages
    Cover Sepsis PDF
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet
  • Dasfsdf
    Dasfsdf
    Document32 pages
    Dasfsdf
    Jonathan wiradinata
    No ratings yet