You are on page 1of 40

Sari Pustaka

Maret 2016

DISGENESIS SEGMEN ANTERIOR


Oleh:

Olly Congga

Pembimbing:

dr. Marliyanti N. Akib, Sp.M(K), M.Kes

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016
Disgenesis Segmen Anterior

I. Pendahuluan

Segmen anterior bola mata terdiri dari semua struktur yang berada di depan
permukaan vitreus meliputi korpus siliaris, lensa, iris, dan kornea. Disgenesis segmen
anterior merupakan abnormalitas perkembangkan jaringan di segmen anterior,
terutama di sudut bilik mata depan.1,2 Anomali perkembangan segmen anterior
meliputi gangguan perkembangan kornea, iris, sudut bilik mata depan, dan lensa.
Abnormalitas ini sebelumnta dikenal dengan the anterior chamber cleavage
syndrome atau mesodermal dysgenesis of the iris and cornea. Namun konsep
embriologi berdasarkan istilah tersebut tidak lagi diterima. Anterior segment
dysgenesis atau disgenesis segmen anterior merupakan istilah umum yang saat ini
digunakan untuk menggambarkan spektrum perkembangan gangguan segmen
anterior.3,4 Shields et al. mengatakan bahwa disgenesis segmen anterior merupakan
abnormalitas perkembangan sudut bilik mata depan.1 Disgenesis segmen anterior
merupakan istilah genetik untuk menjelaskan gambaran luas dari fenotip disgenesis
anterior. Kelainan perkembangan ini terjadi pada saar lahir dan pada akhirnya
berkembang menjadi glaukoma sekunder.2 Humor akuous yang mengisi ruang di
belakang kornea dan di depan lensa dipisahkan menjadi dua bilik oleh iris. Dua
lapisan epitel yang menutupi korpus siliaris dengan bentuk berliku-liku seperti jari di
bilik mata belakang memproduksi humor akuous dengan aliran melewati pupil masuk
ke bilik mata depan. Sudut yang dibentuk oleh kornea dan iris, struktur sistem aliran
humor akuous, trabecular meshwork, dan kanalis Schlemm berperan penting dalam
sistem drainase humor akuous. Regulasi produksi humor akuous dan drainasenya
dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan intraokular yang optimal. Umumnya,
disgenesis segmen anterior meliputi kombinasi dari kelainan kongenital yang
berdampak pada iris dan kornea, seperti hipoplasia iris atau ruptur iris atau pupil
ektopik (korektopia), kekeruhan kornea (lekoma), perlekatan atau penampakan

1
jaringan antara iris dan kornea (sinekia anterior perifer), malformasi struktur drainase
sudut iridokornea, atau adhesi antara kornea dan lensa (anomali Peters). Sebagai
tambahan efek psikologi atau perubahan kosmetik segmen anterior, visus dapat
menurun akibat penurunan transparansi kornea atau glaukoma. 5 Faktor risiko utama
terjadinya glaukoma adalah peningkatan tekanan intraokular. Pasien dengan
disgenesis segmen anterior mengalami malformasi jaringan yang mengatur regulasi
tekanan intraokular dan drainase humor akuous. Secara bertahap hal ini akan
cenderung meningkatkan tekanan intraokular, sehingga meningkatkan resiko
terjadinya glaukoma.4,5,6 Namun demikian, glaukoma pada anak-anak jarang terjadi,
sekitar 1 kejadian dalam 10.000 kelahiran. Ahli mata umum mungkin hanya melihat
satu kasus glaukoma pada anak setiap 5 tahun. Namun, konsekuensi akibat glaukoma
menyebabkan penglihatan menurun bahkan kebutaan. Kerusakan nervus optik,
sikatriks kornea dan ambliopia merupakan penyebab paling umum kebutaan.
Diagnosis dini dan terapi yang tepat dapat membuat perbedaan besar bagi visus
pasien.6 Dalam sari pustaka ini akan dijelaskan mengenai struktur embriologi
disgenesis segmen anterior, klasifikasi dan manajemen disgenesis segmen anterior.

II. Embriologi Segmen Anterior

Untuk memahami etiologi dari serangkaian anomali pembentukan segmen


anterior, perlu diketauhui kompleksitas embriologi yang terjadi pada masa intrauteri.
Pada usia 6 minggu perkembangan fetus, pergerakan morfogenetik membentuk 2
lapis embrionik optic-cup dari neuroektoderm, dan vesikel lensa membentuk
invaginasi dan terpisah dari ektoderm permukaan. Pada stadium ini, bagian mata yang
masih rudimenter atau belum lengkap terbentuk dikelilingi oleh sel-sel progenitor,
terutama berasal dari krista neuralis bersama-sama dengan sel-sel dari bagian perifer
anterior optic cup dan ektoderm permukaan akan membentuk kornea, iris, dan
struktur drainase sudut iridokonea.2

Telah diketahui bahwa krista neuralis berasal dari komponen mesenkim sekunder,

2
bukan dari komponen mesoderm yang berkembang menjadi stroma kornea, endotel
kornea, sudut bilik mata depan, dan stroma iris. Sebagai tambahan krista neuralis juga
berkontribusi pada perkembangan mesenkim otak bagian depan dan glandula
hipofisis, tulang dan kartilago wajah bagian atas, dan papilla gigi. Hal ini dapat
menjelaskan hubungan antara disgenesis segmen anterior dan malformasi non-
okular.3

Gambar 1. Perkembangan prenatal kornea, lensa, dan iris. (A-C) Kornea. (A) pada E12.5, epitel kornea
(CE) memiliki ketebalan 1-2 sel. Sel mesnkim (M) mulai bermigrasi antara epitel kornea dan vesikel
lensa (LV). (B) E14.5, epitel kornea menjadi dua lapisan sel yang terletak di lamina basalis. Mula
terbentuk stroma kornea dari migrasi mesenkim. Mesenkim posterior mulai berkondensasi (*)
membentuk endotel kornea. Bilik mata depan (AC) mulai nampak sebagai ruang kecil di atas epitel
lensa (LE). (C) E17.5, diferensiasi keratosis menjadi rata (tanda panah), terutama dekat endotel (CN).
Maktriks ekstraselular dan keratosit memberi tampilan lamelar pada stroma. Bilik mata depan akhirnya

3
terbentuk. (D-F) Lensa. (D) E12.5, kavitas vesikel lensa (LV) sebagian terisi dengan perpanjangan
serat lensa primer (LF). (E) E14.5, serat lensa primer mengisi vesikel lensa. Nukleus serat lensa
terletak dekat bagian sentral lensa dan menjadi translusen (panah). (F) E17.5, nukleus serat lensa
sekunder (panah) terlihat dekat zona ekuator (EZ). (G-I) Iris. (G) E12.5, mesenkim periokular
bermigrasi ke mata pada rima optic cup (OC). Sulit membedakan sel mesenkim untuk bagian iris dan
kornea. (H) E14.5, rima anterior optic cup meluar ke anterior dan mesenkim (M) mulai berkondensasi
ke optic cup. (I) E17.5, stroma iris diidentifikasi dan mesenkim mensintesis pigmen (panah).
Perkembangan stroma iris dibatasi pada bagian anterior oleh endotel kornea (CN) dan pada bagian
posterior oleh optic cup yang akan menjadi epitel pigmen iris. Garis skala mewakili 50 mikron.6

Diferensiasi dan spesifikasi sel progenitor mesenkim pada fase awal


embriogenesis sangat penting dalam perkembangan normal segmen anterior. Pertama,
endotelium primitif membentuk kornea dan trabecular meshwork, terletak di
posterior ektoderm permukaan (cikal bakal epitel kornea). Sel-sel mesenkim
kemudian bermigrasi ke anterior lensa dan berdiferensiasi membentuk fibroblas dan
melanosit dari stroma iris anterior; dua lapis sel di bagian perifer optic cup
berproliferasi dan meluas ke dalam antara lensa dan stroma iris membentuk epitel iris.
Di antara bagian epitel dan endotel kornea, sel-sel yang bermigrasi kemudian
membentuk stroma kornea, dan mensintesis kolagen dengan pola lamelar. Pada usia
gestasi 5 bulan, perkembangan iris dan kornea semakin luas dan bilik mata depan
mulai nampak sempurna.

4
Gambar 2. Perkembangan embrio dan fetus pada segmen anterior mata. (a) Stadium optic
cup, embriogenesis hari 10.5 pada mencit ekuivalen dengan usia 5 minggu perkembangan
manusia. (b) Pembentukan bilik mata epan, embriogenesis hari 15.5 pada mencit ekuivalen
dengan usia gestasi 5 bulan. (c) Segmen anterior matur dengan gambaran lensa, iris, sudut
iridokornea, dan kornea. Key menunjukkan pengkodean warna yang mewakili embriogenesis
pada jaringan segmen anterior dan pola ekspresi gene FOXC1 dan PITX2. 2
Maturasi selanjutnya dari jaringan yang membentuk sudut bilik mata depan
meliputi pergerakan dan diferensiasi jaringan; scleral spur ketika terbentuk akan
korpus siliaris dan akar iris dari trabecular meshwork. Pada masa aterm, trabecular
meshwork berada di anterior akar iris dan terpapar dengan humor akuous. Gambar 1
menunjukkan perkembangan embrionik segmen anterior dan kode warna yang

5
menunjukkan kontribusi empat tipe jaringan embrional, neuroektoderm, ektoderm
permukaan, sel krista neuralis, dan sel mesoderm terhadap maturasi struktur segmen
anterior.2,5-8

Tabel 1. Perkembangan sudut bilik mata depan19

Pembentukan bilik mata depan dimulai dengan migrasi sel-sel krista neuralis di
antara ektoderm permukaan dan optic cup. Proses pembentukan ini melalui tiga
gelombang hingga terbentuk bilik mata yang sempurna. Pemisahan dari tiap lapisan
gelombang mesenkim inilah yang membentuk bilik mata depan. Gelombang pertama
dari sel-sel mesenkim membentuk endotel kornea dan trabecular meshwork.
Gelombang kedua membentuk keratosit stroma di kornea. Gelombang ketiga
membentuk stroma iris anterior. Perubahan pada gelombang pertama akan
memberikan anomali pada endotel kornea dan sudut bilik mata depan. Perubahan di
gelombang kedua memberikan gangguan struktur stroma kornea. Dan gangguan pada
gelombang ketiga mengganggu perkembangan iris.2,5-8

III. Klasifikasi Disgenesis Segmen Anterior

6
Disgenesis segmen anterior merupakan bagian yang kompleks dan merusak
beberapa struktur sehingga membuat klasifikasi dan deskripsi klinis menjadi rumit.
Tabel 2 menunjukkan gambaran klinis yang saling tumpang tindih dari gambaran
khas disgenesis segmen anterior. Beberapa gambaran klinis ditemukan dalam satu
kondisi tunggal. Misalnya, abnormalitas sudut bilik mata depan dapat ditemukan pada
pasien dengan sindrom Axenfeld-Rieger, anomali Peters, dan hipoplasia iris. Kondisi
tersebut berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokular dan insiden kasus
glaukoma dengan jumlah sekitar 50% pasien berkembang menjadi glaukoma.2,9-13

Tabel 2. Gambaran klinis disgenesis segmen anterior dan mutasi gen yang terjadi .

ASD: anterior segment dysgenesis. Catatan bahwa gen yang sama dapat menyebabkan lebih
dari satu kondisi dan satu kondisi tidak selalu disebabkan oleh gen yang sama. 10-13

Glaukoma yang terjadi pada saat lahir atau sebagai akibat dari perkembangan
okular yang tidak tepat diberikan beragam istilah berdasarkan dari perubahan -
perubahan struktural, faktor etiologi, pola herediter, prognosis dan terapi. Glaukoma

7
developmental merujuk pada glaukoma yang berhubungan dengan anomali
perkembangan mata pada saat lahir. Ini merupakan istilah yang luas digunakan baik
pada kasus bayi atau anak-anak. Glaukoma developmental primer merupakan
glaukoma yang terjadi akibat gangguan perkembangan sistem aliran humor akuous.
Glaukoma developmental sekunder mengindikasikan glaukoma yang terjadi akibat
kerusakan sistem aliran humor akuous akibat gangguan perkembangan bagian mata
yang lain. Glaukoma developmental sekunder sebagai contoh, terjadi akibat blok
pupil sehingga sudut bilik mata depan tertutup, mikrosferofakia, dislokasi lensa, atau
karena pergeseran ke depan diafragma lensa-iris seperti yang terjadi pada kasus
persistent hyperplastic primary vitreous atau prematuritas retinopati.10-13

Adapun istilah yang muncul terkait gangguan perkembangan struktur segmen


anterior seperti goniodisgensis yang berarti gangguan perkembangan fetus pada sudut
iridokornea, trabekulodisgenesis yaitu gangguan perkembangan trabecular
meshwork, iridodisgenesis yaitu gangguan perkembangan iris, dan korneodisgenesis
yaitu gangguan perkembangan kornea.12-15

Gambar 3. Beberapa kerusakan di segmen anterior yang dapat mengarah pada peningkatan

8
tekanan intraokular atau kematian sel ganglion retina. 11

A. Sindrom Axenfeld-Rieger

Sindrom Axenfeld-Rieger dianggap sebagai bagian dari spektrum disgenesis


segmen anterior. Nama sindrom ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1925 oleh
ahli mata dari Jerman, Karl Axenfeld yang menjelaskan anomali kongenital sudut
bilik mata depan dengan helaian iris (iris strands), dan pada tahun 1935 ahli mata dari
Austria, Herwigh Rieger membuat suatu karakteristik sindrom Rieger sebagai kondisi
dominan herediter meliputi anomali Axenfeld disertai atrofi iris, korektopia, dan
polikoria bersamaan dengan anomali pada gigi. 3,8 Anomali Rieger itu sendri
merupakan kelainan perkembangan struktur iris dan sudut bilik mata depan meliputi
adhesi midperifer iris ke kornea, hipoplasia stroma iris anterior, sama halnya dengan
abnormalitas pupil seperti polikoria dan korektopia. Sindrom Rieger merupakan
gabungan antara abnormalitas okular dan sistemik. Kelainan gigi dan wajah paling
sering terjadi meliputi hipodontia, mikrodontia, hipoplasia molar, dan hipertelorisme.
Kelainan sistemik lainnya termasuk perawakan pendek, defek pada jantung, kelainan
neurologis, tuli, dan defisiensi mental.7-8,13-15 Istilah anomali merujuk pada perubahan
lokal anatomis yang terlihat, sedangkan istilah sindrom merujuk pada temuan okular
dan sistemik yang lebih luas.2-4,12-13,16

b
a

Gambar 4. (a) Embriotokson posterior dengan perlekatan iris pada anomali Axenfeld -
Rieger4 (b) Segmen anterior pasien dengan sindrom Rieger. Pupil terletak di bagian inferior.

9
Bagian superior iris menipis. Tampak gambaran Schwalbes line bergeser ke anterior di
bagian inferior kornea dengan adhesi iris di beberapa lokasi. 20

Genetik Molekular

Sindrom Axenfeld-Rieger terkait dengan 4 lokus genetik yang berbeda 6p25,


13q14, 16q24, 4q25. Gen yang ditemukan hanya pada kromosom 6p25 dan 4q25.
Sindrom Axenfeld-Rieger tipe II (RIEG2) ditemukan memiliki lokus genetik pada
kromosom 13q14. Perbedaan paling jelas antara tipe 1 dan tipe 2 adalah, pada tipe 2
tidak ditemukan adanya kelebihan kulit periumbilikus.2-5 Spektrum malformasi
Axenfeld-Rieger didapat dari pola autosomal dominal pada lokus heterogen dengan 2
gen utama yaitu PITX2 pada kromosom 4q25 dan FOXC1 pada kromosom 6p25.
Prevalensi mutasi gen FOXC1 atau PITX2 berkisar dari 40% - 70%. Lokus yang juga
berdampak pada sindrom ini terletak pada gen PAX6 di kromosom 11p. Individu
yang membawa alel PITX2 dan FOXC1 berkaitan dengan sindrom Axenfeld-Rieger
akan mengalami gangguan okular.

PITX2 merupakan bagian dari faktor transkripsi homeodomain. Banyak struktur


okular, termasuk endotel kornea, stroma, iris, korpus siliaris, dan sklera berasal dari
krista neuralis dan mengekspresikan PITX2, yang memiliki efek intrinsik dan
ekstrinsik pada perkembangan mesenkim periokular. Mutasi gen PITX2 umumnya
terkait dengan kelainan sistemik ekstraokular pada sindrom Axenfeld-Rieger.

Gambar 5. Anomali Axenfeld - Rieger. Tampak hipoplasia iris, embriotokson posterior, (a)

10
pseudopolikoria, dan (b) korektopia dimana pupil tertarik ke perifer. 4

FOXC1 merupakan bagian dari kelas heliks bersayap dari faktor transkripsi.
Mutasi pada gen FOXC1 pada umumnya berkaitan hanya dengan kelainan okular,
meskipun beberapa temuan menunjukkan kelainan sistemik. Mutasi gen FOXC1
lainnya juga berkaitan dengan hipoplasia vermis hipoplasia, dengan delesi atau
duplikasi daerah FOXC1 berkaitan dengan mega cisterna magna dan malformasi
Dandy-Walker. Pasien dengan duplikasi FOXC1 lebih cenderung mengalami
glaukoma berat dibandingkan dengan mereka dengan mutasi FOXC1 betuk lain.
Sekitar 75% pasien dengan perubahan gen FOXC1 atau PITX2 akan berkembang
menjadi glaukoma saat beranjak dewasa atau pada onset awal.2,3-4,7-8,13

Manifetasi Okular

Onset usia diagnosis sindrom Axenfeld-Rieger bervariasi dari usia saat kelahiran
hingga dewasa. Meskipun tidak memiliki riwayat keluarga dengan keluhan yang
sama, diagnosis dapat ditegakkan sejak dini setelah lahir jika keluarga merasakan
adnaya pupil yang abnormal dan mencari evaluasi lebih lanjut di ahli mata. 17
Mekanisme defek meliputi keterlambatan perkembangan sel-sel mesenkim pada masa
embriogenesis pada struktur segmen anterior yang berasal dari krista neuralis.
Pertama terjadi retensi abnormal dari lapisan endotel primordial permukaan iris dan
sudut bilik mata depan, diikuti dengan kontraksi yang dipercaya berperan pad
aperubahan iris dan perlekatan jaringan di sudut bilik mata depan. Lebih jauh lagi,
deposisi membrana basement oleh sel-sel ini dianggap sebagai penonjolan
Schwalbes line. Kedua, keterlambatan perkembangan di resesus posterior akar iris
selama trimester ketiga menghasilkan insersi ke aspek posterior trabecular
meshwork. Terakhir, perkembangan inkomplit trabecular meshwork dan kanalis
Schlemm menunjukkan bukti terjadinya keterlambatan perkembangan mebriogenesis
selama trimester ketiga; gambaran ini cenderung menunjukkan mekanisme glaukoma

11
pada sindrom Axenfeld-Rieger yang mneyebbakan obstruksi dari humor akuous.3
Gejala lain dapat muncul ketika tanda-tanda glaukoma telah terjadi sepert buftalmos,
fotosensitif, kekeruhan kornea. Sindrom Axenfeld-Rieger berasal dari pola autosomal
dominan, meskipun beberapa kasus bersifat sporadik dan autosomal resesif. Jaringan
primordial yang berasal dari krista neuralis tidak bermigrasi secara normal,
menyebabkan persiten lapisan endotelpadadi sudut bilik mata depan dan insersi akar
iris anterior, sehingga terjadi gangguan aliran humor akuous. Sama halnya dengan
patogenesis glaukoma infantil, perkembangan glaukoma berkaitan dengan
keterlambatan perkembangan struktur segmen anterior, sehingga ruang
intertrabekular berkurang dan jaringan trabecular meshwork terkompresi. Di pihak
lain, kanalis Schlemm dapat tidak berkembang atau berhenti sama sekali.7-9

a b

Gambar 6. Gambaran gonioskopi anomali Axenfeld. (a) Perlekatan jaringan iris berbentuk T
di Schwalbes line. (b) Embriotokson tampak seperti tali yang berjalan dengan banyaknya
jaringan iris yang melekat.15

Embriotokson posterior merupakan tanda klinis yang paling sering muncul pada
sindrom ini, ditandai dengan perpindahan anterior penebalan cincin Schwalbes line di
bagian temporal limbus posterior kornea melalui pemeriksaan biomikroskopi slit
lamp. Istilah tokson berasal dari bahasa Yunani yang berarti busur, yang
menggambarkan gambaran crescent dari Schwalbes line. Sindrom Axenfeld-Rieger

12
memiliki manifestasi okular dan non okular. Anomali Axenfeld menjelaskan suatu
embriotokson posterior dengan helaian iris yang melekat di Schwalbes line.3,4,7
Embriotokson posterior sendiri tidak menyebabkan gangguan visus.16 Bila ditemukan
embriotokson posterior disertai adanya defek pada iris maka dinamakan anomali
Rieger. Anomali Axenfeld-Rieger meliputi keduanya. Gambaran iris yang ditemukan
berkisar dari hipoplasia stroma, pseudopolikoria, korektopia (pupil bergeser ke
bagian iris perifer yang tebal).3,4 Pemeriksaan gonioskopi menunjukan gambaran
perluasan embriotokson posterior hingga 360o dengan ketebalan cincin Schwalbes
line yang bervariasi. Perluasan iris perifer ke Schwalbes line dapat bersifat tebal atau
tipis bahkan dapat meluas sampai ke trabecular meshwork, sehingga mengaburkan
scleral spur. Ketika Schwalbes line berpindah ke anterior, perlekatan dari iris dapat
terlihat di slit lamp namun besarnya derajat sinekia hanya dapat dievaluasi melalui
pemeriksaan gonioskopi. Dengan gonisokopi, perlekatan ini menyerupai suati sinekia
anterior perifer dengan sudut 10o hingga 20o. Besarnya tarikan iris berkaitan dengan
korektopia dimana pupil akan tertarik ke tarikan yang lebih tebal.2,4,11,13,20

Insiden terjadinya embriotokson posterior berkisar dari 8% hingga 15% pada


populasi normal. Tingginya prevalensi kondisi tersebut mengindikaskan bahwa,
meskipun tersembunyi tapi merpakan suatu variasi anatomi. Transmisi autosomal
dominan embriotokson posterior berhubungan dengan sindrom Alagille (displasia
arteriohepatik). Sindrom ini ditandai dengan kolestasis intrahepatik, stenosis arteri
pulmonal perifer, defek arkus vertebra, dan fasies yang unik.3,4,20

13
Gambar 7. Anomali Axenfeld-Rieger. (a) Tonjolan anterior Schwalbes line. (b) Prosesus iris
yang melekat ke Schwalbes line. (c) Embriotokson posterior temporal yang terisolasi pada
mata yang tampak normal. (d) Anomali Rieger pada pasien dengan glaukoma. Tampak
korektopia dan antrofi iris di kuadran yang berlawanan membentuk lubang yang besar. 18

Gambaran korektopia atau pseudopolikoria tidak mengancam penglihatan,


namun dapat menjadi tanda awal bagi keluarga pasien untuk mencari konsulatasi
pada ahli mata melalui evaluasi lebih lanjut. Kelainan ini dapat muncul akibat
gangguan perkembangan pada jaringan krista neuralis di permukaan anterior iris.
Kontraktur dari lapisan ini akan memberi gambaran korektopia dimana lubang yang
terbentuk akan berlawanan dengan hipoplasia iris. Karena perubahan struktur inilah
maka individu dengan sindrom Axenfeld-Rieger berpotensi 50% berkembang
menjadi glaukoma sepanjang hidupnya. Sudut bilik mata depan terbuka pada
pemeriksaan gonioskopi dengan insersi anterior iris perifer ke trabecular meshwork.
Perkembangan glaukoma sekunder pada sindrom ini lebih cenderung terjadi akibat
perubahan iris (dan insersi anterior akar iris ke trabecular meshwork) dibandingkan
akibat dari adhesi iris perifer ke Schwalbes line. Abnormalitas sudut bilik mata depan
tidak berlangsung sesaat setelah lahir, kecuali terjadi penenbalan karingan iris.

14
Kelainan di iris sentral biasanya stabil kecuali jika diamati pada usia satu tahun
pertama kehidupan. Perubahan ini meliputi distrosi dan pergeseran pupil dan
penipisan serta pembentukan lubang pada iris.17-20

Gambar 8. Sindrom Axenfeld - Rieger. (a) Gigi yang berbentuk kerucut dan memiliki jarak
satu sama lain; sebagian anodontia dan karies. (b) Gambaran radiologi dental pasien dengan
sindrom Axenfeld - Rieger.4

Individu dengan sindrom Axenfeld-Rieger dapat mengalami strabismus akibat


anomali insersi dari otot-otot ekstraokular, hipertelorisme (predisposisi eksotropia)
atau ambliopia sekunder akibat perkembangan glaukoma. Penelitian pada mencit
menunjukkan perubahan morfologi otot-otot ekstraokular diregulasi oleh gen PITX2.
Penelitian ini menunjukkan hilangnya otot oblik superior atau abnormalitas insersi
otot tersebut sehingga membentuk pattern strabismus.

Manifestasi Sistemik

Salah satu kondisi yang menyita perhatian pada sindrom Axenfeld-Rieger adalah
abnormalitas pada traktur kardiovaskular. Hal ini meliputi penyakit katup mitral
dengan ruptur korda timpani, penyakit katup trikuspid, stenosis katup pulmonal,
stenosis katup aorta, tetralogi Fallot atau defek septum arteri, semua yang berkaitan
dengan aneurisma interatrial.2,12 Kelainan kraniofasial yang berasal dari jaringan
krista neuralis telah lama diketahui menyertai keadaan sindrom Axenfeld-Rieger.
Hipoplasia midface, hidung melebar dan rata, hipoplasia maksila dan kadang-kadang

15
mandibula. Hipoplasia maksila dan gangguan perkembangan ggi memberikan profil
prognatik. Inspeksi di kavum oral menunjukkan gambaran hipodontia (gigi yang
berukuran kecil dan memiliki jarak), oligodontia atau anodontia (kehilangan gigi
bersifat fokal), mikrodontia (berkurangnya ukuran korona gigi), gigi berbentuk
kerucut, dan penebalan frenulum. Seringkali, gigi desidua di maksila, insisor, dan
premolar kedua secara permanen hilang. Mahkota gigi anterior berbentuk kerucut
atau pasak. Akar gigi memendek, perlekatan gusi berkurang, dan hipoplasia enamel
gigi, semua mengarah ke kesehatan gigi yang buruk.2-4,12

Gambar 9.
Kelebihan kulit
periumbilikus
pada sindrom
Axenfeld -
Rieger.4

Manajemen

Penanganan glaukoma sulit dikontrol dan menyebbabkan penurunan visus yang


signifikan pada sebagaian besar pasien. Terapi medis sebaiknya diberikan sebelum
intervensi bedah, dengan pengecualian kasus infantil dimana diperlukan tindakan
goniotomi. Pilokarpin dan miotik lainnya sebaiknya diberikan dengan hati-hati karena
dapat menyebabkan kolaps trabecular meshwork dengan reduksi paradoksal aliran
humor akuous. Obat-obat yang menurunkan produksi humor akuous, seperti beta-
blockers dan carbonic anhydrase inhibitor dapat efektif. Trabekuloplasti laser argon
tidak ditemukan efektif dalam menangani glakoma pada sindrom Axenfeld - Rieger.
Trabekuloplasti menjadi sulit dilakukan karena adanya perlekatan iridokornea dan
juga meningkatkan risiko terjadinya sinekia anterior perifer (PAS) yang lebih jauh
dapat menyumbat aliran humor akuous.3-4,7-8,13

16
B. Anomali Peters

Pada tahun 1897, Von Hippel melaporkan sebuah kasus buftalmos dengan
kekeruhan kornea sentral bilateral dan adhesi dari defek ini ke iris. Peters pada awal
tahun 1906 menemukan beberapa pasien dengan kondisi yang sama dan kemudian
dikenal secara umum sebagai anomali Peters.13

Anomali Peters ditandai dengan kekeruhan kornea sentral dengan adhesi iris
sentral ke permukaan posterior kornea. Perlekatan iris ini dimulai dari kolaret ke area
kornea yang tidak memiliki membrana Descemet dan penipisan stroma kornea
posterior.3,4,14 Pada kasus ekstrim lensa melekat ke endotel kornea menjadi katarak.
Istilah lain untuk anomali Peters adalah anterior chamber cleavage syndrome.14
Glaukoma terjadi pada 50% kasus dengan rentang umur dari masa bayi hingga
remaja. Prevalensi kejadian ini mencapai 3 kasus dalam setiap 100.000 angka
kelahiran. Bukti klinis, histopatologis, dan embriologi menunjukkan ada empat defek
perkembangan yang berbeda pada kejadian anomali Peters:

1. Keratitis intrauteri. Pada kasus anomali Peters yang sangat jarang terjadi akibat
inflamasi intrauteri, pertama kali dihipotesiskan oleh Von Hippel, umumnya
dikenal dengan ulkus kornea internal Von Hippel.

2. Defek pemisahan vesikel lensa dari ektoderm permukaan, yang berakhir pada
defek kornea posterior akibat adhesi persisten keratolentikular yang menutup
pertumbuhan mesenkim sekunder

3. Migrasi sentral dan diferensiasi jaringan mesenkim yang inkomplit yang


membentuk endotel kornea dan membran Descemet

4. Pergeseran anterior sekunder diafragma lensa-iris akibat massa retrolental


[persistent hyperplastic primary vitreous (PHPV)], iris bombans yang berasal
dari membran pupil persisten atau dislokasi akibat edema lensa.

Tidak ada satupun dari keempat teori di atas yang menjelaskan seluruh temuan
klinis dan histopatologi dari bentuk anomali Peters. Wright et al. Menyimpulkan

17
bahwa defek kornea posterior terjadi akibat efek pasif tekanan akibat lensa yang
bergeser ke depan menuju kornea ketika perkembangan membran Descemet tidak
terjadi atau masih berupa struktur yang tipis.3,4,13

Gambar 10. Anomali Peters. Tampak area sentral kornea keruh disertai perlekatan jaringan
iris (panah) di batas posterior anomali.15-16

Genetik Molekular

Setidaknya ada tiga gen (PAX6, PITX2, dan PITX3) yang terlibat dalam
perkembangan segmen anterior mata, dan mutasi dari salah satunya menunjukkan
anomali Peters yang berbeda. PAX6 merupakan gen homeobox yang
bertanggungjawab pada kontrol embriogenesis okular, diekspresikan dalam struktur
okular menjadi kornea dan epitel kornea. Mutasi gen PAX6 menyebabkan aniridia
pada lokus kromosom 11p13. Tidak ada lokus lain yang ditemukan menyebabkan
aniridia selain lokus tersebut. PITX2 merupakan gen faktor transkripsi, mutasi pada
gen ini diketahui menyebabkan sindrom Axenfeld-Rieger tipe I, hipoplasia iris
dengan manifestasi glaukoma, dan sindrom iridogoniodisgenesis. PITX3 merupakan
gen faktor transkripsi yang berada di kromosom 10q25 dan berperan pada kasus
anterior segment mesenchymal dysgenesis (ASMD). ASMD merupakan kondisi
herediter autosomal dominan dengan gambaran klinis berkisar dari Schwalbes line
dengan katarak ringan hingga kekeruhan kornea berat dengan katarak moderat. Visus

18
bervariasi dari 20/20 hingga 1/300.2-6,13,18

Manifestasi Okular

Anomali Peters meliputi beragam temuan yang mungkin. Kebanyakan kasus


bersifat sporadik. Patogenesis yang terjadi meliputi perubahan migrasi dari sel-sel
krista neuralis. Anomali Peters diklasifikasikan dalam 3 bentuk:

1) Defek kornea posterior dengan lekoma.

2) Defek kornea posterior dengan lekoma dan perlekatan jaringan iris.

3) Defek kornea posterior dengan lekoma, perlekatan jaringan iris, dan kontak
keratolentikular atau katarak

Defek kornea posterior dengan lekoma merupakan bentuk paling sederhana dari
anomali Peters. Iris dan lensa dalam batas normal, namun defek pada posterior kornea
memberikan gambaran keruh. Kekeruhan tersebut dapat bersifat sentral, oval, dan
berbatas tegas, namun dapat juga berbentuk sektoral atau batas tidak tegas.
Kekeruhan beragam dari kekeruhan kornea yang minimal hingga lesi vaskularisasi.
Bagian kornea yang terkena jarang mengalami vaskularisasi, dan bagian perifer
kornea biasanya jelas, meskipun sering terjadi skleralisasi ke limbus. 3,4 Awalnya, ada
defek di endotel kornea dan membrana Descemet, yang ditandai dengan edema
kornea yang mungkin meluas hingga ke belakang defek. Sepanjang waktu endotel
akan tertutup oleh defek dan memproduksi membran basal yang baru, dan edema
berkurang menyisakan hanya kekeruhan kornea. Selain dari fibrosis residu di bagian
posterior stroma, bagian lain dari kornea tetap normal.17

Defek kornea posterior dengan lekoma dan perlekatan jaringan iris merupakan
bentuk kedua dari anomali Peters. Jaringan iris yang biasanya berasal dari kolaret
melekat di pinggir posterior kornea yang mengalami defek. Konfigurasi perlekatan
jaringan bervariasi dari berbentuk filamen hingga meluas seperti jala. Ukuran, bentuk,
dan densitas lekoma juga dapat bervariasi.3

19
a b

Gambar 11. Anomali Peters dengan katarak. Jaringan iris tampak jelas melekat pada pinggir
kornea yang keruh (panah). (a) tampak depan, (b) tampak samping. 20

Defek kornea posterior dengan lekoma, perlekatan jaringan iris, dan kontak
keratolentikular atau katarak merupakan bentuk ketiga dari anomali Peters. Anomali
Peters ini memiliki gambaran adhesi lensa ke bagian posterior kornea yang
merupakan bagian dari kegagalan lensa memisahkan diri dari kornea, dan atau tanpa
disertai katarak.3,17 Spektrum abnormalitas lensa dapat dibagi sebagai berikut:

1. Lensa melekat ke stroma kornea dengan hilangnya membrana Descemet dan


kapsul lensa

2. Lensa hanya tertarik ke depan namun tidak melekat ke bagian kornea

3. Lensa tetap berada di tempatnya, namun sebagian kapsul anterior dan korteks
lensa melekat pada permukaan posterior kornea.

4. Lensa tetap berada di tempatnya namun terjadi katarak dengan bentuk piramida
kerucut di aksis visual yang sejalan dengan defek kornea posterior.

5. Lensa tetap berada di tempatnya namun terjadi katarak polaris posterior atau
katarak nuklear.3

20
Manifestasi sistemik

Manifestasi sistemik individu dengan anomali Peters meliputi perawakan pendek,


fasies dismorfik, gangguan tumbuh kembang, dan gangguan maturasi otot skelet yang
membentuk sindrom Krause-Kivlin (pola autosomal resesif). Sindrom Peters-plus
terdiri dari anomali Peters disertai sindaktili, gangguan genitourinaria, brachycephaly,
gangguan sistem saraf pusat, sindrom alkohol fetus, penyakit jantung, dan ketulian.
Sindrom Peters-plus merupakan bentuk autosomal resesif yang jarang terjadi terdiri
dari perawakan seperti kurcaci, filtrum yang tebal dengan bibir atas yang tipis,
ketulian, labiochisis atau palatochisis, brachimorfism dengan tnagan pendek dan
brakidaktili, retardasi mental, dan anomali Peters bilateral. Gen PAX6 memainkan
peranan regulasi dalam embriogenensis dan juga ditemukan dalam kasus aniridia dan
autosomal dominan keratitis. Penelitian molekular menunjukkan adanya mutasi gen
CYP1B1 sebagai faktor penyebab anomali Peters.3,4,17

Manajemen

Manajemen pada bayi dengan lekoma kongenital cukup sulit, meskipun dengan
diagnosis dini dan terapi medis yang tepat ataupun pembedahan, kebanyakan kasus
memiliki hasil yang buruk. Keratoplasti penetrasi dini, dalam usia 3 bulan pertama
memberi kesempatan untuk memperoleh visus akhir yang lebih baik, namun
penolakan graft sering terjadi. Anomali Peters di aksis visual memiliki prognosis
yang sangat buruk dan banyak penulis tidak menyarankan dilakukan keratoplasti.
Namun, penting untuk menyadari bahwa perkembangan visus sangat penting bagi
bayi. Bahkan bila terjadi penolakan graft, namun bila visus sentral tetap jernih maka
hal tersebut akan sangat bermanfaat untuk navigasi dan tumbuh kembang. Jahitan
dilepas setelah 4-6 minggu, diikuti pemasangan lensa kontak dan terapi bila ada
ambliopia.3,4

21
Gambar 12. Anomali Peters. (a) Anomali Peters berat dengan glaukoma pada mata kanan. (b)
Mata kiri memiliki adhesi keratolentikular dan hipoplasia iris. Bola mata sedikit mengecil. (c)
Mata kiri dalam pemeriksaan retroiluminasi. 4

C. Hipoplasia Iris

Iris merupakan komponen terluar dari traktus uvea. Iris membentuk diafragma
pupil yang mengontrol jumlah cahaya yang masuk ke mata dan memisahkan bilik
mata depan dan belakang. Stroma pada iris terdiri dari zona pupil sentral dan zona
siliaris perifer melalui kolaret iris yang terletak sekitar 1.5 mm dari batas pupil.
Struktur ini mewakili situs insersi embrionik untuk pembuluh darah iris yang
membentuk membran pupil. Stroma anterior mengandung jaringan konektif
bercampur pembuluh darah dan melanosit. Pembuluh darah mayor iris berjalan radier
dalam stroma. Perbedaan warna iris dihasilkan oleh pigmentasi dari krista neuralis-
melanosit stroma yang tidak mencapai produksi melanin hingga post partum.
Berberda dengan melanosit pada epitel pigmen posterior yang berasal dari ektoderm
neural yang menjadi berpigmen di awal masa gestasi. Permukaan posterior iris
berpigmen padat. Epitel berpigmen posterior dan anterior saling berkontinu dengan

22
epitel tidak berpigmen prosesus siliaris dan neurosensori retina. Hal ini mewakili
perluasan dari optic cup selama fase embriogenesis. Pada perbatasan pupil, lapisan
pigmen posterior meluas hingga sedikit mencapai bagian stroma iris anterior
membentuk gambaran ektropion fisiologis.3,4

Gambar 13. Stroma bagian superfisial tipis, terutama di bagian inferior perifer. 15

Hipoplasia iris merujuk pada hipoplasia stroma yang berasal dari sel krista
neuralis. Hipoplasia iris terlihat pada kondisi seperti bentuk autosomal dominan
hipoplasia iris, iridogoniodisplasia, sindrom dan anomali iridogoniodisplasia, sindrom
dan anomali Axenfeld-Rieger. Karena gambaran genotip dan fenotip diatas saling
tumpang tindih, maka kelainan tersebut disatukan dalam sebuah istilah sindrom
Axenfeld-Rieger, dengan atau tanpa disertai gambaran non-okular.

Mutasi pada gen faktor transkripsi (FKHL7) pada kromosom 6p25 telah
dijelaskan pada kasus anomali Rieger, anomali Axenfeld, iridogoniodisplasia
glaukoma familial (FGI) dan anomali iridogoniodisgenesis (IGDA). Kondisi tersebut
terkait pada alel, karena secara fenotipik, gambaran yang ditunjukkan saling tumpang
tindih.

23
Gambar 14. (a) Hipoplasia iris menunjukkan hilangnya stroma dengan penampakan muskulus
spingter yang jelas. (b) Hipoplasia stroma menunjukkan epitel berpigmen posterior. (c)
Hipoplasia stroma menunjukkan pseudopolikoria pada anomali Axenfeld - Rieger. (d)
Gambaran retroiluminasi pseudopolikoria pada anomali Axenfeld - Rieger. 4

1. Iridogoniodisplasia glaukoma familial (FGI) merupakan kondisi yang jarang


terjadi dengan gambaran klinis hipoplasia iris, anomali sudut iridokornea, dan
glaukoma pada kebanyakan kasus.

2. Anomali iridogoniodisgenesis (IGDA) merupakan kondisi yang jarang terjadi


dengan ekpresi yang bervariasi; biasanya terjadi diferensiasi sudut iridokornea
yang abnormal, hipoplasia stroma iris, dan peningkatan tekanan intraokular atau
glaukoma pada setidaknya 50% kasus.

3. Anomali Rieger dan anomali Axenfeld, biasanya disebut dengan anomali

24
Axenfeld - Rieger telah dijelaskan sendiri.

Mutasi pada faktor transkripsi homeodomain PITX2 pada kromosom 4q25


diketahui menyebabkan hipoplasia iris dengan glaukoma, sindrom
iridogoniodisgenesis (IGDS), dan sindrom Axenfeld - Rieger. Ketiga kondisi tersebut
terkait pada alel, dan memiliki fenotipik yang saling tumpang tindih.

1. Hipoplasia iris dengan glaukoma merupakan kondisi jarang yang digambarkan oleh
Heon et al. Memiliki iris berwarna putih dengan bercak kecoklatan di muskulus
spingter pupil pada silsilah keturunannya. Glaukoma berkembang sebagian pada 60%
kasus di usia dekade kedua.

2. Sindrom iridogoniodisgenesis (IGDS) merupakan kondisi jarang dnegan gambaran


okular hipoplasia iris dan anomali sudut bilik mata depan disertai gambaran non-
okular seperti anomali gigi dan rahang.

3. Sindrom Axenfeld - Rieger telah dijelaskan di atas.

Mutasi pada kromoson 13q14 terjadi pada sindrom Axenfeld - Rieger tipe II
(RIEG 2). Perbedaan antara RIEG tipe II dan tipe I adalah tidak ada kasus kelebihan
kulit periumbilikal ditemukan pada tipe II.3

D. Glaukoma Kongenital Primer

Glaukoma kongenital primer merupakan penyakit yang relatif jarang terjadi


dengan frekuensi bervariasi dari 1 kasus dalam 1250 kelahiran hingga 1 kasus dalam
10.000 kelahiran. Glaukoma pada anak dapat diklasifikaskan menjadi tiga kelompok:
(1) glaukoma kongenital primer yang terjadi akibat abnormalitas kongenital
trabecular meshwork; (2) glaukoma developmental terkait dengan anomali kongenital
segmen anterior yang berhubungan dengan kelainan okular atau sistemik lainnya; dan
(3) acquired childhood glaucoma dimana terjadi obstruksi aliran humor akuous
terkait dengan etiologi dari luar seperti inflamasi atau pemakaian steroid. 10-11 Shaffer
dan Weiss menggambarkan glaukoma kongenital primer sebagai berikut: bentuk

25
glaukoma herediter yang paling sering terjadi pada anak-anak, diwariskan melalui
pola autosomal resesif, dengan anomali sudut bilik mata depan spesifik terhadap
hilangnya angle recess dengan insersi iris pada permukaan trabekular. Tidak ada
abnormalitas utama lainnya pada perkembangan bola mata. Pembesaran kornea,
kekeruhan dan robekan mebrana Descemet merupakan hasil dari peningkatan tekanan
intraokular.7-8,13

Gambar 15.
Bayi dengan
glaukoma
kongenital
dan
buftalmos10

Pada
tahun 1949,
Barkan
menjelaskan
adanya membrana fetus persisten yang menutupi trabecular meshwork. Hal ini
dikonfirmasikan oleh Worst (1966) yang menemukan istilah membrana Barkan.
Pengamatan awal Barkan mengemukakan bahwa pada glaukoma infantil primer,
suatu membrana yang tipis dan tidak mudah robek melapisi sudut bilik mata depan
sehingga menghambat aliran humor akuous dan meningkatkan tekanan intraokular.
Ketika dilakukan goniotomi, teori ini menjadi lemah. Jaringan permukaan dirusak,
iris jatuh ke posterior, dan aliran humor akuous menjadi lancar. Diperkirakan
membrana Barkan sebagai permukaan endotel yang normalnya berdiferensiasi,
namun menetap pada kasus glaukoma kongenital. Hansson dan Jerndal dengan
memakai pemindai mikrograf elektron menunjukkan adanya lapisan permukaan di
trabecular meshwork yang normalnya mengalami perforasi pada minggu terakhir
perkembangan fetus, kemungkinan terjadi imperforasi pada glaukoma kongenital
primer sehingga menggangu sistem aliran humor akuous. Penelitian patologi baru

26
oleh Anderson, Hansson, Maul, dan Maumenee tidak bisa menemukan bukti adanya
membran pada setiap spesimen yang diamati dengan mikroskop elektron atau
mikroskop cahaya. Penjelasan yang paling mungkin terhadap teori ini adalah bahwa
membran tersebut tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit peranan terhadap
glaukoma kongenital primer.13-15

Pada glaukoma kongenital, glaukoma terjadi pada saat lahir, dan biasanya
sebelum lahir. Glaukoma infantil terjadi dari lahir sampai usia 3 tahun kehidupan.
Glaukoma juvenil terjadi setelah usia 3 tahun hingga usia remaja. Istilah ini berkaitan
dengan onset tanda dan gejala glaukoma dan tidak termasuk dalam faktor etiologi dan
pola herediter glaukoma.13

Manifestasi okular

Buftalmos (Yunani: bous = kerbau + oftalmos = mata) berasal dari bahasa Yunani
untuk istilah mata kerbau, merujuk pada gambaran pembesaran kornea yang dapat
terjadi sebagai hasil dari setiap jenis glaukoma yang muncul pada bayi. Hidroftalmia
(Yunani: hydor = air + oftalmos = mata) merujuk pada kandungan air yang tinggi
dengan pembesaran pada mata yang dapat terjadi sebagai hasil dari setiap jenis
glaukoma yang muncul pada bayi. Buftalmos dan hidroftalmos merupakan istilah
deskriptif yang tidak termasuk dalam etiologi dan terapi yang tepat sehingga tidak
digunakan sebagai diagnosis.13

Glaukoma kongenital primer memiliki tiga trias, yaitu epifora, fotofobia, dan
blefarospasme. Gejala tersebut merupakan akibat sekunder dari iritasi kornea yang
terjadi ketika epitel kornea menjadi edema oleh peningkatan tekanan intraokular.
Epifora merupakan gejala pertama yang muncul akibat sistem drainase airmata yang
belum paten, yang merupakan kondisi yang umum terjadi pada bayi. Fotofobia dapat
terjadi kemudia secara gradual atau tiba-tiba. Orangtua mungkin pertama kali merasa
bayi terus menutup matanya ketika terpapar cahaya matahari yang dianggap
merupakan reaksi normal sang bayi untuk melindungi matanya dari sensitifitas

27
cahaya. Fotofobia moderat dapat dilihat ketika bayi berada dalam ruangan; bahkan
ketika makan bayi akan terus menutup matanya. Fotofobia berat menyebabkan bayi
terus b
a menutup matanya ketika terpapat cahaya lampu yang terang ataupun redup.
Pada periode ini dapat terlihat pula bayi sering mengusap-usap matanya.10-11,13,15

Gambar 16. Haabs striae pada kasus glaukoma kongenital. (a) Tampak pola linear dan
horisontal. (b) Lebih mudah terlihat ketika pupil dilebarkan dengan refleks fundus. 10

glaukoma infantil primer dapat pula muncul dengan mata merah yang
menyerupai konjungtivitis dan menghambat diagnosis glaukoma. Pembesaran okular
disebabkan oleh peningkatan tekanan okular dengan daerah mayoritas pada
corneoscleral junction. Pembesaran okular terjadi karena bola mata neonatus masih
elastis. Struktur kolagen pada sklera dan kornea masih terlalu lunak untuk mencegah
ekspansi dari peningkatan tekanan intraokular. Pembesaran okular ini akan
melebarkan semua bagian dari mata, termasuk kornea, sudut bilik mata depan, sklera,
nervus optik, dan lamina kribrosa.

Diameter horisontal kornea normal pada neonatus sekitar 10-10.5 mm dengan


penambahan 0.5-1 mm pada satu tahun pertama usia kehidupan. Pembesaran
diameter kornea lebih dari 12 mm pada usia satu tahun sangat dicurigai merupakan
kejadian glaukoma developmental. Peningkatan tekanan intraokular melebarkan
endotel kornea dan membrana Descemet sehingga terjadi robekan di lapisan tersebut,
yang pertama kali dijelaskan oleh Haab pada tahun 1863. Ketika terjadi ruptur
membrana Descemet, humor akuous akan berinfiltrasi menyebabkan edema kornea

28
lokal. Haabs striae merupakan sel endotel yang terperangkap pada membrana
Descemet sehingga terbentu hyaline ridges. Bentuk Haabs striae umumnya linear
dan horisontal ketika berada di kornea sentral, namun berbentuk paralel dan
kurvilinear ke limbus ketika terjadi di daerah perifer. Haabs striae tidak terjadi pada
diameter kornea kurang dari 12.5 mm. Rupturnya membrana Descemet akibat
peningkatan tekanan intraokular jarang terjadi setelah usia tiga tahun.

Gambar 17. (a) Fotofobia, blefarospasme, dan epifora yang menjadi trias. (b) Pembesaran
dan edema kornea akibat peningkatan tekanan intraokular. (c) Haabs striae akibat rupturnya
membrana Descemet. (d) Pemeriksaan gonioskopi menunjukkan iris perifer yang rata dengan
insersi yang meninggi di sebelah anterior dari scleral spur.18

Sklera dapat membesar akibat peningkatan tekanan intraokular. Penipisan sklera


memberi gambaran sklera biru akibat bayangan jaringan uvea di bawah sklera yang
menipis. Bila telah terjadi buftalmos, bola mata biasanya tidak kembali ke ukuran

29
normal meskipun tekanan intraokular kembali normal. Bila axial length bola mata
meningkat, maka terjadi miopia dan astigmat.13-14

Perubahan nervus optik pada glaukoma kongenital primer berbeda pada kasus
glaukoma pasien dewasa. Optic nerve cupping dapat terjadi dengan cepat dan segera
pada bayi. Dan juga, nervus optik dapat kembali normal ketika tekanan intraokular
kembali normal, dimana pada kasus pasien dewasa kerusakan pada nervus optik
bersifat menetap. Beberapa hipotesis muncul untuk menjelaskan kejadian optic nerve
cupping pada bayi. Pertama, hilangnya sel astroglial dapat memicu peningkatan
tekanan intraokular. Kedua, pergeseran cairan ekstraselular di optic nerve head dapat
membuar perubahan pada cup jika terjadi perubahan tekanan intraokular. Ketiga,
pergeseran posterior lamina kribrosa dan permebsana sklera dapat menyebbakan
terjadinya perubahan ukuran cup disertai fluktuasi tekanan intraokular. Hipotesis
ketiga tampaknya lebih masuk akal karena jaringan konektif lamina kribrosa belum
matur pada neonatus. Revesibilitas kondisi nervus optik pada bayi dikarena
perkembangan jaringan konektif lamina kribrosa yang belum lengkap sehingga ketika
terjadi peningkatan tekanan intraokular, jaringan diskus optik bergerak ke posterior,
dan secara elastis kembali normal ketika tekanan intraokular menurun.13

Jika tekanan intraokular tidak terkontrol, epifora, fotofobia, dan blefarospasme


semakin memburuk. Pembesaran kornea terus menerus dengan semakin
bertambahnya kerusakan membrana Descemet akan berujung ke sikatriks, erosi, dan
ulkus kornea. Pelebaran dan ruptur zonula menyebabkan subluksasi lensa.13

Manajemen

Penanganan glaukoma kongenital dengan intervensi bedah. Penangan medis


hanya digunakan untuk mengontrol tekanan intraokular pre operasi. Selain
melindungi nervus optik akibat pengaruh tekanan intraokular, penanganan medis juga
dapat mengurangi edema kornea. Dengan demikian akan memudahkan operator
untuk melakukan prosedur goniotomi. Tindakan bedah untuk glaukoma kongenital

30
primer terdiri dari pembukaan struktur trabekuar ke kanalis Schlemm, baik dengan
goniotomi atau trabekulotomi. Secara umum, goniotomi dan trabekulotomi memberi
angka keberhasilan yang sama dalam menangani glaukoma kongenital. Angka
kesuksesan bervariasi, tergantung pada beratnya glaukoma pada saat diagnosis
ditegakkan dan usia bayi. Prosedur bedah yang dilakukan antara usia 2 bulan hingga
2 tahun memberi angka kesuksesan yang lebih besat, yaitu 90% baik dengan
goniotomi dan trabekulotomi, dengan satu prosedur atau keduanya. Angka
kesuksesan pada anak yang berusia lebih dari 2 tahun secara signifikan menurun.7,8,18

E. Aniridia

Aniridia (Yunani: hilangnya iris) bersifat bilateral, gangguan panokular tidak


lazim yang menyerang tidak hanya iris, tapi juga kornea, sudut bilik mata depan,
lensa, retina, dan nervus optik.13 Aniridia merupakan gangguan kongenital bilateral
dengan karakteristik hipoplasia iris. Istilah aniridia adalah tidak tepat, karena
setidaknya ada iris rudimenter yang nampak. Derajat pembentukan iris bervariasi dari
tidak terbentuk hingga hanya berbentuk hipoplasia ringan, yang terakhir sering
dibingungkan dengan sindrom Axenfeld-Rieger.3,4,7,8,14

Genetik Molekular

Defek pada gen PAX6 di kromosom 11p13 merupakan penyebab aniridia, baik
sporadik atau familial. Pola familial merupakan autosomal dominan dengan penetrasi
lengkap namun ekspresivitas yang bervariasi. Gen PAX6 merupakan gen pengontrol
utama dalam morfogenesis mata. Gen in terlibat dalam interaksi kompleks antara
optic cup, ektoderm permukaan, dan krista neuralis selama pembentukan iris dan
struktur okular lainnya. Nampaknya mutasi ini menyebabkan aniridia dengan
mengurangi sejumlah fungsi protein PAX6.3,10

31
Gambar 18.

Ultrasonografi frekuensi tinggi pada pasien dewasa dengan aniridia. Tampak sejumput iris
(I), prosesus siliaris (CP), kornea (C), sklera (S), dan lensa (L). 4
Bentuk familial aniridia adalah autosomal dominan. Prevalensi aniridia untuk
kasus ini adalah 1 dari 50.000 pada populasi umum, dan sebanyak dua pertiga anak
dengan aniridia memiliki orang tua dengan gejala yang sama. Aniridia dengan fungsi
okular yang normal dikategorikan dalam aniridia tipe II. Visus normal dan tidak
ditemukan. Insiden katarak, glaukoma, dan kekeruhan kornea jarang terjadi.

Gambar 19.
Aniridia
parsial pada
pola
herediter
autosomal
dominan.4

Aniridia sporadik berkaitan dengan tumor Wilms dan kelainan genitourinaria dan
retardasi mental pada sepertiga kasus disertai delesi pada gen WT1. Aniridia tipe
familial tidak berisiko mengalami tumor Wilms. Traboulsi et al. Telah memodifikasi
klasifikasi yang dibuat oleh Elsas et al. Untuk menyertakan gambaran klinis terkait.

32
Gangguan malformasi okular, seperti anomali Peters, mikrokornea, dan ektopia lentis
juga dapat menyebabkan aniridia.3,13

Tabel 3. Klasifikasi Aniridia3

33
34
Manifestasi Okular

Kebanyakan individu dengan aniridia hanya memiliki sejumput iris rudimenter.


Aniridia sering disertai dengan kelainan okular yang lain, termasuk kornea yang
kecil, katarak baik kongenital maupun developmental, hipoplasia fovea dan nerus
optik dengan karakteristik nistagmus pendular dan penurunan visus. Sekitar 50%-
75% pasien dengan aniridia berkembang menjadi glaukoma. Meskipun kadang
disertai dengan glaukoma kongenital, glaukoma pada aniridia biasanya berkembang
setelah sejumput iris rudimenter berputar ke anterior dan secara progresif menutup
jaringan trabekula, menghasilkan sinekia sudut tertutup. Ini merupakan suatu
rangkaian proses bertahap dan glaukoma mungkin tidak terjadi sampai memasuki
dekade kedua usia kehidupan. Gangguan perkembangan primer sistem drainase di
sudut bilik mata depan berakibat peningkatan tekanan intraokular pada usia muda.9,10

Kelainan okular yang paling banyak dijumpai pada kasus aniridia meliputi
defisiensi stem sel limbus dan pannus kornea, katarak sering terjadi pada usia
kehidupan dekade ketiga, ektopia lentis, hipoplasia fovea dengan penurunan visus
dan nistagmus. Glaukoma terjadi pada 50%-75% pasien dnegan aniridia, biasanya
pada usia remaja dan disebabkan karena penutupan progresif sudut bilik mata depan
oleh sisa iris.5,8,9

Kebanyakan kasus aniridia ditransmisikan dengan pola autosomal dominan.


Sepertiga kasus berasal dari mutasi sporadik. Hanya sedikit kasus tumor Wilms
terlihat dalam pola familial. Aniridia secara sporadik berkaitan dengan tumor Wilms
(nefroblastoma) pada sepertiga kasus. Sekitar 20% kasus sporadik berhubungan
dengan delesi kromosom yang luas meliputi gen tumor Wilms I (WT1), yaitu gen
supresor tumor, sehingga meningkatkan risiko tumor Wilms. Jika disertai dengan
aniridia, tumor Wilms didiagnosis pada pasien sebelum berusia 5 tahun sebanyak
80% kasus. Kombinasi antara aniridia dan tumor Wilms menggambarkan suatu
sindrom gen yang saling bersebelahan dimana gen PAX6 dan tumor Wilms (WT1)

35
mengalami delesi.7,8,14

Gambar 20. Aniridia. (a) Glaukoma kongenital berat bilateral pada aniridia. (b) Pasien yang
sama setelah dilakukan prosedur berkali-kali menujukkan glaukoma yang tidak terkontrol
pada mata kanan dan glaukoma yang terkontrol pada mata kiri. (c) Funduskopi pada mata kiri
menunjukkan hipoplasia fovea ringan. Visus 6/184

Manifestasi Sistemik

Ada dua bentuk aniridia terkait dengan kelainan sistemik. Sindrom WAGR
(tumor Wilms, aniridia, kelainan genitourinaria, dan retardasi metal) merupakan
bentuk autosomal dominan yang terlihat pada 13% pasien dengan aniridia. Sindrom
Gillespie, yaitu bentuk autosomal resesif aniridia, berkaitan dengan ataksia cerebelum
dan disabilitas intelektual dan terjadi pada 2% kasus dengan aniridia.3,8

36
Manajemen

Semua anak dengan aniridia sporadik sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG


abdomen dan pemeriksaan klinis. Disarankan anak dikontrol setiap 3 bulan hingga
mencapai usia 5 tahun, kemudian dikontrol tiap 6 bulan hingga mencapai usia 10
tahun, dan dikontrl setiap tahun hingga mencapai usia 16 tahun. Pemeriksaan terbaik
sebaiknya dilakukan pemeriksaan imunohistokimia untuk mencari mutasi PAX6. Jika
ditemukan adanya delesi kromosom, dilakukan pemeriksaan radiologi 3 bulan
kemudian dan dirujuk ke nefrologis.7,8

Penanganan kondisi okular terdiri dari lensa filter untuk mengurangi silau,
pemantauan astigmat dan ambliopia serta tekanan intraokular. Pasien dengan aniridia
sering mengalami glaukoma sudut tertutup yang biasanya berkembang pada stadium
lanjut sehingga sulit diterapi. Untuk alasan ini, Chen dan Walton menyarankan
dilakukan tindak bedah profilaksis pada kasus aniridia meskipun memiliki risiko yang
berbahaya. Laser siklodiode, tube drainase, dan trabekulektomi dengan mitomisisn
sebaiknya dilakukan bila terapi topikal tidak memberi perbaikan.3,4

Penutup

Disgenesis segmen anterior merupakan kelompok heterogen genetik dari


gangguan perkembangan embriogenesis. Penelitian perkembangan okular
menunjukkan bagaimana kesalahan regulasi perkembangan selama periode
embriogenesis mengarah ke disgenesis segmen anterior. Sangat jelas bahwa
disgenesis segmen anterior merupakan spektrum gangguan yang bersifat kompleks
dan kontinu. Salah satunya adalah gangguan pada sistem regulasi dan drainase humor
akuous yang akan menyebabkan berkembangnya glaukoma sehingga menjadi faktor
risiko utama dan tujuan manajemen terapi pada kasus pediatrik.

Daftar Pustaka

37
1. Allingham, RR. Shields Textbook of Glaucoma. 6th ed. Philadephia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2011.
2. Sowden, JC. Molecular and Developmental Mechanism of Anterior Segment
Dysgenesis. Eye. 2007 Mar; 21:1310-1318.
3. Wright K, Strube YNJ. Pediatric Ophthalmology and Strabismus. 3 rd ed. New
York: Oxford University Press; 2012.
4. Taylor D, Hoyt CS. Pediatric Ophthalmology and Strabismus. 4th ed. St. Louis:
Saunders Elsevier; 2013.
5. Black GCM. Genetics for Ophthalmologists. The Molecular Genetic Basic of
Ophthalmis Disorders. London: Remedica; 2002.
6. Gould DB, Smith RS, John SWM. Anterior Segment Development Relevant to
Glaucoma. Int J Dev Biol. 2004; 48:1-15.
7. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course,
Section 6: Pediatric Ophthalmology and Strabismus. Oxford: The Eye M.D.
Association; 2014.
8. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course,
Section 10. Glaucoma. Oxford: The Eye M.D. Association; 2014.
9. Gould DB, Smith RS, John SWM. Anterior Segment Dysgenesis and the
Development Glaucomas are Complex Traits. Hum Mol Gen. 2002; 11(10):1185-
93.
10. Blanco AA, Costa VP, Wilson RP. Handbook of Glaucoma. United Kingdom:
Martin Dunitz; 2002.
11. Tombran-Tink J, Barnstale CJ, Shields MB. Mechanisms of the Glaucomas:
Disease Processes and Therapeutic Modalities. USA: Humana Press Springer;
2008.
12. Chang TC, Summers CG, Schimmenti LA, Grajewski AL. Axenfeld-Rieger
Syndrome: New Perspectives. Br J Ophthalmol [Internet]. 2012 [cited 2015 Apr
10];96:318-22. Available from: http://bjo.bmj.com/
13. Mandal AK, Netland PA. The Pediatric Glaucomas. Philadephia: Butterworth
Heinemann Elsevier; 2006.
14. Zimmerman TJ, Kooner KS. Clinical Pathways in Glaucoma. New York:
Thieme; 2001.
15. Choplin NT, Lundy DC. Atlas of Glaucoma, 2nd ed. London: Informa; 2007.
16. Lueder GT. Pediatric Practice Ophthalmology. St. Louis: McGraw-Hill; 2011.
17. Yanoff M, Duker JS. Ophthalmology, 4th ed. St. Louis: Saunders Elsevier; 2014.
18. Morrison JC, Pollack IP. Glaucoma Science and Practice. New York: Thieme;
2003.
19. Albert DM, Miller JW, Azar DT, Blodi BA. Albert & Jakobiecs Principles &
Practice of Ophthalmology, 3rd ed. St. Louis: Saunders Elsevier; 2008.
20. Wilson ME, Saunders RA, Trivedi RH. Pediatric Ophthalmology: Current
Thought and a Practical Guide. Berlin: VBH Springer; 2009.

38

You might also like