You are on page 1of 11

BAB II

ABSES ABDOMINAL

Anatomi Rongga Peritoneal


Pengenalan lebih lanjut dalam anatomi diperlukan dalam memahami kekhasan dari
pembentukan abses. Region-region seperti didalam omentum mayor, rongga subhepatik kanan,
rongga subfrenikus kanan dan kiri, parakolik gutter, dan pelvis merupakan tempat yang
memungkinkan untuk terjadinya akumulasi cairan, dan sebagai hasilnya, terjadi pembentukan
dari abses. Rongga subfrenikus berjalan antara hemidiafragma kanan dan lobus kanan dari
hepar. Pada posterior terdapat triangular kanan dan ligamen koronaria dari hepar, dan pada
medial terdapat ligamen falciformis. Pada rongga subfrenikus kiri berjalan diantara lobus
hepatika sinistra dan hemidiafragma sinistra. Pada lateral, rongga meluas antara lien dan liver
dan diikat pada bagian medial oleh ligamentum falciformis. Parakolik gutter berjalan diantara
dinding tubuh dan juga pada sisi kiri kolon desenden dan pada sisi kanan dari kolon desenden.
Hubungan antara parakolik gutter sinistra dengan pelvis terbatas oleh karena adanya kolon
sigmoid dan terbatas dengan rongga subfrenikus kiri karena adanya ligamentum frenikokolika.
Pada sisi lain, terdapat hubungan antara parakolik gutter kanan dengan rongga subfrenikus
kanan, rongga subhepatika kanan, dan pelvis. Hubungan anatomi ini penting dalam situasi
klinik dimana etiologi dari abses tidak jelas.5

Alfred H. L. Toruan, 2014


Rongga subhepatik kanan berjalan diantara permukaan inferior dari hepar dan fleksura
hepatika dan kolon transversum. Pada medial, berjalan pada bagian kedua dari duodenum dan
ligamen hepatoduodenal, dan pada lateral berjalan pada dinding tubuh. Rongga ini terbuka ke
Mourisons pouch pada bagian posteriornya, bagian yang paling tergantung dalam kavitas
abdominal pada saat posisi berbaring. Kavitas pelvis merupakan area yang paling banyak
berpengaruh pada kavitas peritoneal pada saat posisi berdiri. Rongga ini dibatasi oleh kandung
kemih pada bagian anteriornya, dan rektum, dinding tulang pelvik, dan retroperitoneum pada
bagian posteriornya. Hal ini menciptakan area anatomis yang dapat menjadi susah untuk di
akses. Pada akhirnya, omentum minor adalah rongga yang berjalan secara posterior dari
lambung dan ligamen gastrohepatika. Secara superior, berjalan pada lobus kaudatus dari hepar,
dan inferior pada mesokolon transversum. Omentum minor berhubungan dengan omentum
mayor melalui foramen Winslow.5

Patofisiologi
Abses abdominal terbentuk pada area peritonitis lokal dimana infeksi ditutup oleh
penghalang seperti omentum dan peritoneum visceral atau parietal. Organisme infeksius yang
memungkikan untuk menyerang respon peritonitis lokal termasuk bakteri enterik gram negatif
yang beragam, Enterococcus, Bacteriodes, dan jamur. Sewaktu peritoneum diaktivasi secara
sekunder oleh kedua respon lokal dan sistemik, terdapat perubahan pada aliran darah,
meningkatkan fagositosis dari bakteri, dan deposit fibrin pada bakteri yang terperangkap.
Sequestrasi bakteri oleh fibrin memperlambat penyebaran sistemik dari bakteri dan
mengurangi resiko dari penyebaran bakteri secara menyeluruh. Bagaimanapun, deposit dari
fibrin juga dapat melindungi bakteri dari mekanisme pertahanan host, sehingga membuat
infeksi persisten yang berujung pada pembentukan abses.5
Abses abdominal dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu intraperitoneal,
retroperitonea, dan visceral. Abses intraperitoneal secara umum berkembang melalui satu atau
dua cara. Pertama, merupakan hasil dari peritonitis difus dimana lokulasi dari material purulen
membentuk pada area yang paling banyak terkena. Cara kedua dari pembentukan adalah karena
proses penyakit yang terjadi berdekatan atau trauma dimana pertahanan host secara adekuat
mencegah peritonitis difus dan proses walling off. Abses retroperitoneal terbentuk pada rongga
potensial antara peritoneum dan fascia transversalis yang membatasi aspek posterior dari
kavitas abdominal.5 Abses ini dapat terjadi sebagai hasil dari perforasi dari organ berongga ke
dalam retroperitoneum sebagaimana penyebaran dari hematogen atau limfogen.1 Abses viscera
berkembang dibatas dari satu organ abdominal viscera, seperti liver, pankreas, atau kandung

Alfred H. L. Toruan, 2014


empedu. Abses ini secara khusus terbentuk sebagai hasil dari penyebaran hematogen atau
limfogen dari berbagai macam tempat, atau pada kasus di kandung empedu, berasal dari
kolesistitis infeksius.5
Abses intraabdominal lebih baik diterapi secara cepat dan efektif, dimana mortalitas
pasien dengan abses intraabdominal berkisar dari 10% - 20%. Faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil yaitu kegagalan organ, abses pada lesser sac, kultur darah positif, abses
yang persisten atau rekuren, abses multipel, usia lebih dari 50 tahun, dan abses subhepatika.
Data menunjukkan bahwa kematian dari abses abdominal adalah sebagian besar merupakan
konsekuensi dari drainase yang tidak efektif atau tidak tepat waktu.5
Secara umum, apabila berbicara mengenai abses abdominal, berhubungan dengan
polimikrobial. Abses yang berkembang pada setelah serangan dari peritonitis sekunder (seperti
abses divertikular atau apendiks) memiliki flora anaerobik aerobik campuran dari peritonitis
sekunder. Hal tersebut menunjukkan sewaktu anaerob fakultatif yang mengaktifkan
endotoksin, seperti E. coli, bertanggung jawab pada fase akut peritonitis, anaerob obligat,
seperti Bacteriodes fragilis bertanggung jawab pada pembentukan abses lebih lanjut. Bakteri-
bakteri ini bekerja secara sinergi, keduanya berperan dalam menghasilkan abses, dan anaerob
obligat dapat meningkatkan kematian dari inokulum non-letal yang lain dari mikroorganisme
fakultatif. Mayoritas luas dari abses visceral (seperti hepar dan splenik) merupakan aerob
polimikrobial, anaerob, gram negatif dan positif. Hal ini juga berlaku pada abses
retroperitoneal. Abses primer, seperti salah satunya pada psoas, sering disebabkan
monobakteri, dengan jenis Staphylococci yang mendominasi. Abses postoperasi biasanya
dikarakterisasi oleh flora khusus dari peritonitis tersier, menunjukkan superinfeksi dengan
jamur dan oportunis lainnya. Virulensi rendah dari organisme-organisme ini, dimana
memungkinkan kehadiran sebuah marker daripada sebab dari peritonitis tersier, merefleksikan
imunodepresi global dari pasien yang terkena.1

Klasifikasi Abses Abdominal


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, klasifikasi dari abses abdominal terdiri dari
intraperitoneal, retroperitoneal, visceral, dan non visceral. Abses nonvisceral berkembang
mengikuti resolusi dari peritonitis difus dimana area lokulasi infeksi dan supurasi mengalami
walling off dan bertahan, atau dapat berasal dari perforasi sebuah organ, dimana secara efektif
dilokalisir oleh pertahanan peritoneal.1

Alfred H. L. Toruan, 2014


Gambaran Klinis
Secara umum, gambaran klinis dari abses abdominal merupakan heterogen dan
bermacam pandangan sesuai dengan abses itu sendiri. Spektrum yang diciptakan luas,
reperkusi sistemik dari infeksi bervariasi dari syok septik yang terlihat sampai tidak terlihat
sama sekali sewaktu disupresi oleh imunoparesis dan antibiotik.1
Pada pembedahan, pembentukan dari abses ektravisceral mengikuti dari tindakan
kegagalan saat anastomosis, infeksi dari kumpulan cairan intraperitoneal yang mengikuti
tindakan pembedahan abdomen, kebocoran dari perforasi visceral spontan, atau sisa lokulasi
yang mengikuti peritonitis difus. Demam tinggi, menggigil, nyeri abdomen, anoreksia, dan

Alfred H. L. Toruan, 2014


keterlambatan dari pengembalian fungsi usus pada pasien postoperasi secara khas
menunjukkan gejala dan tanda dari abses intraperitoneal.5
Abses subfrenikus dapat menunjukkan gejala nyeri samar pada kuadran atas abdomen,
nyeri menjalar pada bahu, dan cegukan. Secara khas, abses parakolika dan interloop
menunjukkan nyeri tekan lokal dan dapat bermanifestasi sebagai massa yang teraba pada saat
pemeriksaan abdomen. Abses juga dapat menyebabkan iritasi lokal dari kandung kemih yang
dapat menyebabkan frekuensi, atau pada rektum yang dapat menyebabkan diare atau
tenesmus.5

Diagnosis
Foto abdominal biasa dapat membantu dalam mengidentifikasi air-fluid level pada
posisi tegak atau dekubitus. Radriograf dada dapat membantu membedakan koleksi cairan pada
subfrenikus dari koleksi cairan di pleura. Radiografi biasa dapat menunjukkan keberadaan dari
abses, tetapi modalitas imajing lainnya memiliki kepentingan juga dalam menggantikan foto
rontgen biasa pada evaluasi abses intraabdominal.5
Penggunaan awal dari ultrasound pada diagnosis dari koleksi cairan intraabdominal
ditemukan memiliki beberapa keuntungan dan kerugian. Akurasi dari ultrasonografi dala
diagnosis dari abses intraabdominal ditemukan pada 97% dengan sensitivitas 93% dan
spesifitas 99%. Ultrasonografi menyediakan pemeriksaan cepat dan lengkap dari abdomen,
walaupun pada pasien dengan sakit berat. Apabila ditinjau dari segi harga, ultrasonografi
(USG) merupakan alat yang penting. Sebagai tambahan, USG tidak memerlukan transportasi
dari pasien yang sakit kritis, dan dapat dilakukan pada tempat tidur pasien langsung.5
Kegunaan dari ultrasound, bagaimanapun, tergantung dari kemampuan dan
pengalaman operatornya. Hal ini memberikan beberapa batasan dari kegunaan ultrasound.
Pertama, pada daerah diluar dari pelvis, kuadran kanan atas, dan kuadran kiri atas dimana
terdapat lien, gambaran yang optimal sulit untuk didapatkan. Kedua, pada pasien dengan ileus,
sebuah situasi yang tidak jarang terjadi pada abses intraabdominal, gambaran terdistorsi oleh
udara usus. Isu lainnya yang sering pada pasien bedah adalah hal-hal yang merintangi
ultrasound termasuk kawat, wound dressing, dan stoma. Berikutnya, ditemukan bahwa
karakteristik ultrasonik dari abses dan hematoma memiliki kesamaan. Lebih jauh, sifat cairan
yang ditentukan oleh ultrasound hanya khusus membantu menentukkan komposisi dari koleksi
cairan.5
Pemeriksaan Computed tomography (CT) berkembang dengan cepat sebagai modalitas
yang akurat dan sering digunakan pada proses penyakit ini. Deteksi pada 97% kasus abses

Alfred H. L. Toruan, 2014


abdominal telah dilaporkan. Kriteria dari identifikasi dari abses telah jelas digambarkan dan
termasuk dari identifikasi dari area pada pengurangan densitas CT rendah pada sebuah lokasi
ekstraluminal atau didalam parenkim dari organ solid abdomen. Densitas dari abses biasanya
turun diantara air dan jaringan solid. Tanda radiologis lain dari abses adalah efek massa yang
menggantikan atau memindahkan struktur anatomis normal, pusat lusen yang tidak tidak
tampak peningkatan densitas setelah pemberian kontras secara intravena, peningkatan
lingkaran disekitar pusat gambaran lusen setelah pemberian kontras, dan udara pada kumpulan
cairan. Salah satu keuntungan utama dari CT dibandingkan ultrasound adalah kemampuan
untuk mendeteksi abses pada retroperitoneum dan area pankreas.5

Terdapat beberapa kerugian dari CT, biasanya, terdapat kumpulan benda solid ang
menunjukkan kemiripan abses dengan leukosit tinggi dan mengandung protein. Termasuk di
dalamnya nekrosis tumor dan jaringan dapat mendemonstrasikan udara intrakavitas dan tidak
terinfeksi. Terakhir, pengelompokan dan tanda lainnya dari abses yang terlokulasi dapat
dengan mudah dilihat dengan ultrasound daripada CT. Pada akhirnya, pemeriksaan CT
kadang-kadang tidak dapt membedakan antara cairan subfrenikus dan pulmo, situasi yang
relatif biasa terjadi pada pembedahan abdomen.5

Alfred H. L. Toruan, 2014


Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan abses intraabdominal termasuk persiapan
dari operasi yang potensial atau terapi perkutaneus sebagaimana diikuti dengan terapi antibiotik
awal. Pada awalan, pemberian antibiotik menggunakan tipe spektrum luas dengan juga dapat
mengatasi bakteri aerob dan anaerob. Lanjutan dari drainase yang berhasil pada abses,
bagaimanapun, dilakukan tindakan yang cepat untuk pemberian antibiotik sesuai hasil kultur.
Bergantung pada status klinis dari pasien, pemberhentian awal dari terapi antibiotik
dipertimbangkan apabila drainase yang adekuat tercapai. Resusitasi cairan yang agresif
berguna pada sebagian besar pasien, dan koreksi dari asam basa dan abnormalitas elektrolit
dilakukan dengan baik. Bila hitung leukosit meningkat, evaluasi standar dilakukan termasuk
kultur darah, urinalisis dan kultur urin, penilaian dari status kateter vena sentral, dan gambaran
thorak serial. Selain itu, perlu diantisipasi dari kemungkinan ileus dan keperluan dari sumber
alternatif nutrisi sepertin nutrisi parenteral. Pemasangan dari selang nasogastrik diperlukan
apabila nausea dan muntah ditemukan.5

Antibiotik
Kenyataan yang dihadapi adalah bahwa tidak adanya bukti keberadaan yang kuat yang
menyatakan bahwa agen antimikrobial, yang melakukan penetrasi buruk pada abses yang telah
terbentuk, merupakan terapi sama pentingnya bila dibandingkan dengan evakuasi penuh dari
pus. Bila dilihat pada masa lampau, sewaktu abses pelvis diobservasi sampai mencapai
maturitas dan dilakukan drainase ke rektum atau vagina, tidak ada antibiotik yang digunakan
dan pemulihan terjadi dengan cepat dan menyeluruh. Penatalaksanaan secara umum,
bagaimanapun, walaupun dengan bukti yang sedikit, menunjukkan bahwa sewaktu abses
diduga kuat atau didiagnosis keberadaannya, maka terapi antibiotik dilakukan secara dini. Pada

Alfred H. L. Toruan, 2014


akhirnya, pemberian antibiotik awal dilakukan berdasarkan empirik pada bakteri yang biasanya
ditemukan.1
Lama pemberian dari antibiotik tidak diketahui dengan pasti. Pemberian antibiotik yang
lebih lama setelah tindakan drainase yang adekuat tidak berguna. Secara teori, antibiotik
berperang dengan bakteremia selama drainasi dan mengurangi mikroorganisme lokal, tetapi
setelah pus dievakuasi, mengarah kepada respon klinis, antibiotik seharusnya dihentikan.
Keberadaan dari drain tidak merupakan indikasi untuk melanjutkan pemberian.1

Terapi konservatif
Secara tradisional, abses hepar multipel, sebagai konsekuensi dari piemia portal,
dimana tidak memungkinkan untuk dilakukan drainase, diterapi dengan antibiotik dengan
tingkat respon yang variabel. Hal ini juga berlaku pada terapi non operatif, dimana dengan
pemberian antibiotik berkepanjangan, pada anak dengan abses abdominal yang disebabkan
apendektomi untuk akut appendisitis.1

Drainase
Pada saat sekarang, paradigma yang ada, sewaktu dicurigai adanya abses pada CT atau
ultrasound (US), adalah terapi pasien dengan antibiotik dan dilanjutkan pada drainase. Pada
tindakan yang terburu-buru ini, pelajaran klinis yang dipelajari berabad-abad terlupakan. Pada
satu generasi yang lalu, dimana seorang pasien yang mengalami demam tinggi mendadak
setelah appendektomi secara sabar dan hati-hati diobservasi tanpa antibiotik, biasanya
temperatur menunjukkan tanda local inflammatory respon syndrome (LIRS) residual, akan
turun secara spontan. Pada minoritas pasien yang mengalami demam sepsis menunjukkan
supurasi lokal yang mengalami maturasi. Pada akhirnya, drainase dilakukan melalu rektum
sewaktu dinilai telah mengalami maturasi. Sekarang, pada sisi lain, teknik imajing diperlukan
secara instan untuk mendiagnosis red herring dimana dapat menybabkan prosedur invasif yang
tidak perlu. Perlu diingat, pada pasien demam yang stabi merupakan sebuah gejala pertahanan
host yang efektif, tidak merupakan sebuah indikasi untuk tindakan yang agresif.1

Drainase perkutaneus
Drainase perkutaneus dari abses menjadi teknik yang diterapkan dan alternatif yang
aman dibandingkan dengan pembedahan. Keuntungan teknik perkutaneus termasuk
penghindaran dari penggunaan anestesi umum, biaya yang lebih rendah, dan potensial dari
beberapa komplikasi. Prasyarat dari draiase kateter termasuk secara anatomis memiliki rute

Alfred H. L. Toruan, 2014


yang aman ke abses, kavitas abses yang unilokular dan batas tegas, persetujuan pembedahan
dan evaluasi radiologik, dan back-up senior untuk kegagalan pada teknik. Kontraindikasi pada
drainase kateeter termasuk ketiadaan dari rute akses yang baik, pengelompokkan / septa dan
lokulasi, dan keberadaan adanya koagulopati. Abses multipel, abses dengan hubungan enterik
dapa dilihat dengan adanya fistula enterokutaneus, dan kebutuhan untuk melintasi viscera solid
tidak merupakan kontraindikasi.5,6
Tindakan ini tidak jelas sampai drainase perkutaneus dilakukan dengan bantuan atau
arahan US atau CT. CT meyediakan lebih banyak presisi identifikasi untuk organ dan usus dan
lebih akurat dalam perencanaan dan rute drainase. Sewaktu abses diidentifikasi, diagnostik
awal dengan aspirasi perlu dikirim untuk kultur mikrobiologi dan pewarnaan Gram. Kateter
yang dipergunakan untuk drainase sekecil mungkin dan memungkinkan untuk keamanan dan
cukup besar untuk penyaluran yang tidak menyebabkan obstruksi dari selang / kateter. Ukuran
kateter yang biasa digunakan berkisar antara 8F 12F. Penempatan kateter yang baik, kavitas
abses dengan khas mengalami dekompresi dan kolaps. Irigasi dari kateter harus dilakukan
sekali sehari untuk memastikan patensi dari kateter tersebut. Saat drainase kateter berkurang,
pemeriksaan CT ulang dilakukan untuk mengevaluasi jumlah residu. Bila drainasi meningkat
dari waktu ke waktu atau berlanjut pada tingkat yang membahayakan, perkembangan dari
fistula enterik dapat dicurigai.5 Perbaikan klinis dapat dilihat dalam 24-72 jam setelah drainase.
Demam yang persisten dan leukositosis pada hari keempat setelah drainase berkorelasi dengan
kegagalan dalam penatalaksanaan. Non-responder sebaiknya dilakukan imajing ulang dengan
CT, kombinasi dengan injeksi kontras yang larut air melalui drain. Rongga abses yang tidak
kolaps biasanya akan mengarah kepada pembentukan yang berulang.1 Akhir dari penggunaan
kateter adalah perkembangan klinis dari pasien. Komplikasi potensial dari pemasangan kateter
termasuk bakterimia, sepsis, cedera vaskular, enteric puncture, fistula kutaneus, atau
pemasangan kateter melewati pleura.5

Alfred H. L. Toruan, 2014


Drainase dengan pembedahan
Drainase dengan pembedahan merupakan metode yang lebih dianjurkan pada
penatalaksaan abses yang tidak dapat ditentukan batasnya, abses fungal, hematom yang
terinfeksi, nekrosis tumor, dan abses interloop. Drainase pembedahan terbuka dapat digunakan
pada situasi dimana teknik perkutaneus tidak menunjukkan keberhasilan atau kegagalan pada
drainase dengan minimal invasif.5
Pendekatan secara transperitoneal memudahkan untuk pemeriksaan dari keseluruhan
kavitas abdoman dan memudahkan untuk drainase dari abses multipel. Abses subfrenikus dan
abses subhepatika kanan dapat ditempuh dengan insisi abdomen lateral. Setelah pasien dengan
adekuat dihidrasi dan antibiotik yang cocok diberikan, insisi dibuat dan perhatian pada
metikulus diberikan untuk melindungi luka dengan spons yang dilapisi antibiotik untuk
mencegah terjadinya luka infeksi post operasi. Sewaktu abses diidentifikasi, abses tersebut
ditembus dan dilakukan draiinase dengan cepat untuk meminimalisasi kontaminasi dari sisi ke
kavitas peritoneal. Kavitas abses dibuat terbuka dengan lebar. Spesimen dikirim untuk
pewarnaan Gram dan kultur. Pada kasus dengan abses resisten, biopsi dari kavitas abses dikirim
untuk patologi untuk evaluasi lebih lanjut. Irigasi antibiotik dilakukan pada akhir dari operasi
untuk memastikan kebersihan dari rongga abdomen. Drain suction tertutup diletakan pada
posisi yang tergantung untuk mengurangi resiko reakumulasi. Pada kasus kontaminasi ekstrim,

Alfred H. L. Toruan, 2014


insisi dapat dibiarkan terbuka dan dipacking untuk mencegah terjadinya infeksi luka. Drain
dipertahankan paling sedikit selama 10 hari, sebagaimana mana supurasi terjadi.5
Pada postoperasi, antibiotik diberikan sesuai hasil kultur dan nutrisi parenteral dimulai
bila diperlukan. Saat ileus terjadi dan merupakan hal yang tidak jarang terjadi pada pasien ini,
kebutuhan kalori susah untuk dicapai. Apabila memungkinkan, feeding tube dapat dilakukan
untuk mencegah atrofi vili intestinal. Hal penting lainnya adalah menjaga agar tube tidak
mengalami penyumbatan. Irigasi rutin dengan normal saline atau cairan antibiotik diperlukan.5

Alfred H. L. Toruan, 2014

You might also like