Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Ali Arrida 09220355
Ghofur Yuniar 09220365
Tegar Ambawa 09220345
2012
Tata Negara merupakan hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar
pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak
dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah, dan warga negara. Hukum tata negara mengatur
mengenai negara dalam keadaan diam artinya bukan mengenai suatu keadaan nyata dari suatu
negara tertentu (sistem pemerintahan, sistem pemilu, dll dari negara tertentu) tetapi lebih pada
negara dalam arti luas. Hukum ini membicarakan negara dalam arti abstrak.[1]
Berdasarkan analisis para pakar asing maupun pakar dalam negeri, hukum tata negara
bermuatan;
1. Hukum Tata Negara merupakan hukum publik, yang memberikan landasan yuridis bagi
pembentukan struktur negara dan mekanisme pemerintahan.
2. Hukum Tata Negara memuat norma hukum yang mengatur organisasi negara sebagai organisasi
kekuasaan.
3. Hukum Tata Negara sebagai regulasi hubungan antara pemegang kekuasaan dan individu
sebagai warga negara.
4. Hukum Tata Negara memandang negara sebagai suatu organisasi yang terdiri dari berbagai
lembaga yang mendukung organisasi tersebut.[2]
Memang kesimpulan dari analisis diatas banyak dipengaruhi oleh dunia akademik,
praktik, kondisi hukum-hukum positif di negara masing-masing. Lebih dari itu dipengaruhi pula
oleh dasar-dasar serta nilai dan aspek filosofis dalam negara tersebut. Karena Hukum Tata
Negara adalah pengkondisian.
Sejarah Tata Negara Indonesia
Jika membicarakan tentang sejarah pasti mengindikasikan tentang sumber-sumber hingga
lahirlah sejarah. Sehingga yang perlu kita ketahui terlebih dahulu adalah sumber hukum yang
menyebabkan kaidah hukum itu ada dan memiliki kekuatan, juga dijadikan bahan penyusun dan
mengesahkan dari pada hukum tersebut.
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang berasaskan Pancasila
sebagai landasan pembentukannya, secara langsung semua yang berkaitan dengan Negara pasti
berhubungan dengan Pancasila. Begitu juga Hukum Tata Negara merupakan perwujudan
konstitusional dari nilai-nilai Pancasila untuk diimplementasikan dalam kehidupan bernegara.
Dan kekuatan dari Hukum Tata Negara tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
Karena apapun yang bertentangan dengan Pancasila pastilah hukum itu cacat dan tidak
memiliki kekuatan lagi. Ini membuktikan bahwa sumber dari Hukum Tata Negara di Indonesia
ialah Pancasila.
Yang kedua sumber hukum di indonesia adalah UUD 1945, semua hukum yang ada
haruslah mengimplementasikan dan sifatnya harus memperkuat dan melengkapi UUD 1945.
Inilah yang dinamakan Konvensi, yang mana konvensi memainkan peran penting dalam
mengembangkan sistem ketatanegaraan akibat perkembangan atau tuntutan baru seperti paham
konstitusionalisme, paham kedaulatan rakyat, atau paham Negara berdasarkan atas hukum.
Konvensi yang lahir dari praktik ketatanegaraan adalah suatu bentuk hukum kongkrit
dibandingkan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang nampak sebagai
bayang-bayang hukum daripada sebagai hukum yang sebenarnya.[3]Sehingga kedudukan
konvensi memiliki fungsi dan peran dalam memperkuat fleksibilitas di UUD 1945.
Proklamasi Sumber Pembentukan Hukum Tata Negara Indonesia
Setiap masa yang di dalamnya terdapat massa wajib memiliki aturan untuk mengatur
mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan agar dalam menjalani kehidupan tidak terjadi
perselisihan dan penghancurkan berdasarkan atas pikiran diri sendiri.
Maka dari itu perlu adanya Hukum sebagai regulasi dari tindakan-tindakan manusianya.
Memang pada awalnya hukum tidak tertulis (hanya kebiasaan) hingga akhirnya perlu adanya
ketetapan hukum tertulis dan permanen.
Salah satu hukum yang ada di Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang
ketatanegaraan yaitu Hukum Tata negara. Adanya beberapa sumber hukum yang juga
mempengaruhi Tata Negara saat ini, kami ingin mengupas tentang sumber hukum tata negara
sebelum Proklamasi terlebih dahulu, baru setelah itu setelah proklamasi.
I. Masa Pemerintahan Belanda kurang lebih 350 tahun, secara otomatis ketika ada sebuah
negara yang menjajah negara lain, sudah pasti negara jajahan akan dipaksa mengikuti apa yang
diwajibkan oleh penjajah, baik berupa hukum yang mengatur kehidupan antar individu, individu
dengan pemerintah, maupun hukum yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan kenegaraan.
[4] Pada masa ini Indonesia ( yang selanjutnya disebut Hindia Belanda ) dikonsturksikan
merupakan bagian dari Kerajaan Belanda. Hal ini nampak jelas tertuang dalam Pasal 1 UUD
Kerajaan Belanda ( IS 1926 ). Dengan demikian kekuasaan tertinggi di Hindia Belanda ada di
tangan Raja. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya Raja / Ratu tidak melaksanakan kekuasaannya
sendiri di Hindia Belanda, melainkan dibantu oleh Gubernur Jenderal sebagai pelaksana. Ratu
Belanda sebagai pelaksana Pemerintahan kerajaan Belanda harus bertanggung jawab kepada
parlemen. Ini menunjukkan sistem pemerintahan yang dipergunakan di Negeri Belanda dalam
sistem Parlementer Kabinet.
Adapun peraturan perundang-undangan dan lembaga negara yang ada pada masa Hindia Belanda
adalah :
a. Undang Undang Dasar Kerajaan Belanda 1938 Pasal 1 : Indonesia merupakan bagian dari Kerajaan
Belanda. Pasal 62 : Ratu Belanda memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi atas pemerintah
Indonesia, dan Gubernur Jenderal atas nama Ratu Belanda menjalankan pemerintahan
Umum. Pasal 63 : Ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan undang-undang, soal-soal intern
Indonesia diserahkan pengaturannya kepada badan-badan di Indonesia, kecuali ditentukan lain
dengan Undang-Undang.
b. Indische Staatsregeling ( IS ) pada hakekatnya adalah Undang-undang, tetapi karena
substansinya mengatur tentang pokok-pokok dari Hukum Tata Negara yang berlaku di Hindia
Belanda ( Indonesia ), maka secara riil IS dapat dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Hindia
Belanda.[5]
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat ditarik
pemahaman bahwa sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Kerajaan Belanda adalah dengan menggunakan asas dekonsentrasi. Dengan demikian secara
umum, kedudukan dari Gubernur Jenderal dapat disetarakan sebagai Kepala wilayah atau alat
perlengkapan Pusat ( Pemerintah Kerajaan Belanda ). Adapun bentuk-bentuk peraturan
perundang-undangan yang dikenal pada masa berlakunya IS adalah :
WET Yang dimaksud dengan WET adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda dalam
hal ini adalah Ratu / Raja Kerajaan Belanda bersama-sama dengan Parlemen ( DPR di Belanda ).
Dengan kata lain WET di dalam pemerintah Indonesia disebut Undang-Undang.
AMVB ( Algemene Maatregedling Van Bestuur ) Yang dimaksud dengan Algemene
Maatregedling Van Bestuur adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda dalam hal ini
adalah Ratu / Raja Kerajaan Belanda saja, tanpa adanya campur tangan dari Parlemen. Dengan
kata lain Algemene Maatregedling Van Bestuur di Indonesia disebut Peraturan Pemerintah ( PP ).
Ordonantie Yang dimaksud dengan Ordonantie adalah semua peraturan yang dibuat oleh
Gubernur Hindia Belanda bersama-sama dengan Voolksraad ( dewan rakyat Hindia Belanda ).
Ordonantie sejajar dengan Peraturan daerah ( perda ) di dalam pemerintahan Indonesia saat ini.
4. RV ( Regering Verardening ) Regering Verardening adalah semua peraturan yang dibuat oleh
Gubernur Hindia Belanda tanpa adanya campur tangan Volksraad. Regering Verardening setara
dengan Keputusan Gubernur. Keempat peraturan perundang-undangan ini disebut Algemene
Verordeningen (peraturan umum). Disamping itu juga dikenal adanya Local Verordeningen
(peraturan lokal) yang dibentuk oleh pejabat berwenang di tingkat lokal seperti Gubernur,
Bupati, Wedana dan Camat.
Pada masa Hindia Belanda ini sistem pemerintahan yang dilaksanakan adalah Sentralistik. Akan
tetapi agar corak sentralistik tidak terlalu mencolok, maka asas yang dipergunakan adalah
dekonsentrasi yang dilaksanakan dengan seluas-luasnya. Hal ini menjadikan Hindia Belanda
( Indonesia ) tidak memiliki kewenangan otonom sama sekali, khususnya dalam mengatur dan
mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Sistem ketatanegaraan seperti ini nampak dari hal-hal
sebagai berikut :
a. Kekuasaan eksekutif di Hindia Belanda ada pada Gubernur Jenderal dengan kewenangan yang
sangat luas dengan dibantu oleh Raad Van Indie ( Badan penasehat).
b. Kekuasaan kehakiman ada pada Hoge Rechshof ( mahkamah agung )
c. Pengawas keuangan dilakukan oleh Algemene Reken Kamer.
Struktur ketatanegaraan seperti ini berlangsung sampai pada masa pendudukan Jepang dan
berakhir pada masa proklamasi kemerdekaan.Memperhatikan susunan ketatanegaraan tersebut di
atas, maka dari segi hukum tata negara, Hindia Belanda belum dapat disebut sebagai negara. Hal
ini mengingat tidak dipenuhinya unsur-unsur untuk disebut negara, seperti mempunyai wilayah,
mempunyai rakyat, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Memang realitasnya ketiga
unsur tersebut dapat dikatakan sudah terpenuhi. Wilayahnya ada, rakyatnya ada, bahkan
pemerintahan yang berdaulat terpenuhi. Akan tetapi hakekat keberadaan ketiga unsur tersebut
tidak muncul karena dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan didasarkan pada kondisi
kolonialisme yang berlangsung pada saat itu. Maksudnya wilayah dan rakyat yang ada di Hindia
Belanda sebenarnya sudah ada sejak Belanda belum masuk dan menduduki Indonesia. Dengan
kata ain wilayah Nusantara dan masyarakat yang mendiami nusantara itu sudah ada sejak jaman
dahulu. Ditinjau dari unsur pemerintahan yang berdaulat , sebenarnya Hindia Belanda tidak
dapat dikatakan sebagai sebuah permintaan yang berdaulat, karena kedaulatan Hindia Belanda
ada pada Kerajaan Belanda, sedangkan Gubernur Jenderal hanya berfungsi sebagai
penyelanggara pemerintahan umum di wilayah Hindia Belanda sebagai daerah jajahan Kerajaan
Belanda.
II. Masa Penjajahan Jepang selama 3,5 tahun menjajah Indonesia, walaupun terhitung sebentar jika
dibandingkan dengan masa Belanda menjajah, bukan berarti tidak ada aturan-aturan yang pernah
diterapkan oleh Jepang dahulu dibuang begitu saja. Karena pengaruhnya juga kuat, sampai saat
ini pun Indonesia banyak mengadopsi aturan-aturan Belanda ataupun Jepang.[6] Sejarah
menunjukkan bahwa dengan adanya Perang Asia Timur Raya atau terkenal denga sebutan Peran
Dunia Ke II muncullah kekuatan angkatan perang yang cukup dominan yaitu bala tentara Jepang.
Dengan kekuatan inilah hampir seluruh kawasan asia mampu diduduki oleh bala tentara Jepang,
tidak terkecuali Indonesia yang pada saat itu masih berada di bawah kolonialisme
Belanda. Dalam sejarah perang asia timur raya, dapat digambarkan bahwa kedudukan Jepang di
Indonesia adalah :
1. Sebagai penguasa pendudukan Sebagai penguasa pendudukan, maka Jepang tidak dibenarkan
untuk mengubah susunan ketatanegaraan / hukum di Hindia Belanda. Hal ini disebabkan wilayah
pendudukan Jepang adalah merupakan wilayah konflik yang menjadi medan perebutan antara
bala tentara Jepang dengan Belanda. Oleh karena itu, Jepang hanya meneruskan kekuasaan
Belanda atas Hindia Belanda. Namun dalam hal ini kekuasaan tertinggi tidak lagi ada di tangan
pemerintah Belanda, melainkan diganti oleh kekuasaan bala tentara Jepang.
2. Jepang berusaha mengambil simpati dari bangsa-bangsa yang ada di kawasan asia timur raya
termasuk Indonesia denga menybut dirinya sebagai Saudara tua. Dalam sejarah Indonesia,
sebutan seperti ini dilanjutkan dengan pemerian Janji kemerdekaan kepada Indonesia dikelak
kemudian hari. Janji tersebut direalisir dengan membentuk BPUPK (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan) yang kemudian melaksanakan persidangan sebanyak dua kali.
Sebelum PPKI berhasil melaksanakan sidang-sidang untuk melanjutkan upaya-upaya yang telah
dilakukan oleh BPUPKI, Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Pada saat
itu pula sekutu belum masuk ke wilayah Indonesia. Menurut hukum internasional, penguasa
pendudukan yang menyerah harus tetap menjaga agar wilayah pendudukan tetap dipertahankan
seperti sediakala atau dalam konsidi status quo. Perlu diketahui pula pada masa pendudukan
bala tentara Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah besar yaitu :
1. Daerah yang meliputi Pulau Sumatera dibawah kekuasaan Pembesar Angkatan darat Jepang
dengan pusat kedudukan di Bukittinggi.
2. Daerah yang meliptui pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Angkatan darat yang
berkedudukan di Jakarta.
3. Daerah-daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di
Makasar.
Dari pembagian wilayah ini membuktikan bahwa pada masa pendudukan Jepang paham
militeristik menjadi model bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Paham
militeristik seperti ini dipandang lebih efektif karena mampu lebih mengedepankan jalur
komando dan mampu menghimpun kekuatan yang cukup siknifikan guna menghadap serangan
musuh. Dengan menggunakan model seperti ini tidak pelak lagi kalau sistem ketatanegaraan
yang diberlakukan adalah bersifat Talistik. Salah satu peraturan yang menjadi salah satu sumber
hukum tata negara Republik Indonesia sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
adalah Undang-Undang No.40 Osamu Seirei tahun 1942. Osamu Seirei adalah peraturan atau
Undang-Undang yang cenderung berbau otoriter / pemaksaan. Pengundangan atau pengumuman
mengenai undang-undang Osamu Seirei ini dilakukan dengan cara ditempelkan pada papan-
papan pengumuman di Kantor-kantor pemerintahan Jepang setempat.[7]
Sehingga banyak aturan-aturan dalam Hukum Tata Negara Indonesia yang bercampur
aduk karena Hukum lama masih digunakan sampai saat ini. Bahkan setelah proklamasi-pun
kebijakan-kebijakan bersifat atau terkesan menambahi yang kurang, dan membuang yang tidak
tepat bagi masyarakat Indonesia (itu pun masih penuh kontroversi).
SUMBER HUKUM SETELAH PROKLAMASI
Mengingat Proklamasi adalah semangat persatuan, kesatuan yang bulat mutlak dengan
tiada mengecualikan setiap golongan dan lapisan masyarakat Republik Indonesia. Hal ini
menjadi sejarah penting bagi bumi Nusantara Indonesia dalam kehidupan setelah Proklamasi.
Substansi yang terkandung dalam Proklamasi adalah semangat dengan rela berjuang, berjuang
dengan hakiki, tulus dan penuh idealisme dan dengan mengesampingkan segala kepentingan diri
sendiri hingga lahirlah Kemerdekaan.
Dalam UUD 1945 dikatakan, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Maka dapat diartikan sebagai keinginan luhur
sebagai bangsa yang merdeka dan mandiri berkaitan dengan keadilan yang menjadi objek
utama untuk penegakan hukum di Indonesia banyak mendapat tantangan seperti dari sistem
poltik, kebijakan, bahkan kepentingan.
Pembukaan UUD 1945 di dalamnya memuat semangat Proklamasi dan Pancasila. Namun
dalam praktek ketatanegaraan RI, keberadaan dan kedudukan hukum naskah Proklamasi belum
mendapat tempat dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proklamasi
adalah sumber Hukum Tata Negara Indonesia yang mengandung makna sebagai salah satu
objek penyelidikan Hukum Tata Negara.[8]
Ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik jika dikaitkan dengan kepentingan studi
Negara, antara lain :
1. Proklamasi merupakan bagian yang terintegrasi dengan pembukaan UUD 1945, sebagai
keputusan politik bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan. Memiliki kedudukan secara
yuridis sebagai sumber hukum Tata Negara.
2. Rumusan Pancasila sebagai dasar negara terdapat dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea
keempat, merupakan sumber dari sumber Hukum Tata Negara, memiliki kedudukan kokoh dan
tidak ada suatu badan yang berhak dan berwenang mengubahnya.
3. Pancasila sebagai falsafah dan dasar Negara terdapat dalam pembukaan UUD 1945 ditulis
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
4. Pembukaan UUD 1945, merupakan sumber nilai dan moral untuk membentuk Hukum Tata
Negara bagi kepentingan mendirikan dan membangun negara Indonesia. Memberikan arah bagi
isi Hukum Tata Negara Indonesia.
5. Arah dan isi, antara lain terwujud dalam konsep-konsep dasar yang mencakup tentang konsep
dasar negara, falsafah bangsa, tujuan negara, bentuk dan susunan organisasi negara, fungsi
negara, lembaga dan sistem perwakilan, lembaga dan sistem permusyawaratan, sistem Undang-
Undang Dasar dalam membangun Indonesia Merdeka, konsep Negara Hukum, Konsep Negara
Berketuhanan Yang Maha Esa, konsep negara kesejahteraan, konsep negara kekeluargaan
(integralistik), konsep Demokrasi Pancasila.
6. Konsep-konsep tersebut digunakan pada saat pembentukan Hukum Tata Negara.
Konsekuensinya untuk memahami dan mendapatkan makna yang benar perlu menggunakan
konsep-konsep tersebut pada saat melakukan studi tersebut.[9]
Melihat betapa pentingnya kedudukan kebebasan dan keadilan yang dilecutkan dalam
pembukaan UUD 1945, perlu adanya kontrol tentang nilai-nilai yang terkandung dalam
pembukaan UUD 1945 harus jadi landasan nilai moral ketika memaknai kerangka penafsiran
Hukum.
Proklamasi bukan hanya sejarah yang hanya dikenang pada setiap tanggal 17 Agustus
setiap Tahunnya. Seharusnya lebih pada esensi bagaimana para pendahulu memperjuangkan
segalanya demi kemaslahatan bangsa dan negara Indonesia. Maka pembentukan Hukum Tata
Negara Indonesia tidak lah semena-mena secara yuridis merugikan pihak sesuai kepentingan
yang merugikan banyak orang. Adil merupakan hal yang harus diperhatikan dan diutamakan
sesuai dengan Proklamasi, Pancasila, Pembukaan UUD 1945 sebagai Sumber Hukum.
Maka dari itu Hukum Tata Negara yang berasaskan pada pembukaan UUD 1945 dan
Proklamasi harus dijunjung tinggi sebagai produk keputusan politik tertinggi bangsa Indonesia.
Karena negara hukum adalah kebalikan negara kekuasaan yang mana sistem konsitusional
merupakan ciri utama dari konsepsi negara hukum. Sistem pemerintahan menurut UUD 1945
meskipun tidak menganut sepenuhnya pada Trias politika secara konsekuen. Bukan pemisahan
tetapi pembagian kekuasaan, karena pembagian kekuasaan sesuai dan cocok dengan ide dari
negara kesatuan yang berintikan paham integralistik yang berdasarkan Pancasila.
Pasal-pasal konstitusi pun merupakan penjabaran pancasila, kalimat di dalamnya adalah
aturan pokok. UUD yang supel dan elastik dipercaya oleh pendiri negara ini akan tahan lama dan
tidak akan ketinggalan jaman.
Sistem Pemerintahan Negara RI berdasarkan UUD 1945
Menurut UUD 1945 sistem Pemerintahan Negara adalah Presidensial ( Sistem Kabinet
Presidensial), di mana Presiden sebagai penanggung jawab atas jalannya sebuah Pemerintahan.
Menteri-menteri sebagai Pembantu Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Presiden
adalah Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dan bertanggung jawab kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Pada saat berlakunya UUD 1945 pernah terjadi perubahan praktik ketatanegaraan RI
tanpa mengubah ketentuan UUD 1945. Perubahan tersebut ialah keluarnya maklumat Wakil
Presiden tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 (telah
terjadi perubahan dari sistem Pemerintahan Presidensial menjadi sistem pemerintahan
Parlementer. Pada waktu berlakunya Konstitusi RIS dan UUDS penyelenggaraan pemerintah
negara menganut sistem pemerintahan Kabinet Parlementer (Sistem Pertanggungjawaban
Menteri). Pada saat berlakunya konstitusi RIS sistem tidak berjalan dengan baik, sebab belum
ada DPR hasil pemilihan umum. Namun, pada saat berlakunya UUDS, sistem baru berjalan
sebagaimana mestinya, setelah DPR terbentuk berdasarkan Pemilihan Umum tahun 1955.
Kembalinya sistem pemerintahan negara menganut UUD 1945 di mulai sejak Dekrit
Presiden 1959, yakni pada sistem presidensial yang di jabarkan menjadi 3 masa, yaitu;
1. Masa Orde lama/Demokrasi Terpimpin (5 Juli 1959 11 Maret 1966). Kekuasaan penuh
presiden sehingga terjadi penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang dilakukan
pemimpin/presiden.
2. Masa Orde Baru/Demokrasi Pancasila (11 Maret 1966 21 Mei 1998), mengingat pada
masa Orde Lama terdapat banyak penyelewengan-penyelewengan terhadap UUD dengan
prioritas presidensialnya. Maka pada Orde Baru dilakukan banyak perbaikan-perbaikan sehingga
sistem pemerintahan Presidensial sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Akan
tetapi terdapat penyelewengan kembali yang lagi-lagi dilakukan oleh Presiden Soeharto selama
memimpin kurang lebih 32 tahun melakukan KKN. Sehingga memaksa Presiden Soeharto untuk
turun dari jabatannya pada 21 Mei 1998, demo yang dilakukan aktivis dan Mahasiswa berhasil
membuat Soeharto mengundurkan diri dan menyatakan berhenti, dan melimpahkan tampuk
kekuasaan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai Presiden Baru. Dan setelah itu babak
dimulai lagi dengan hadirnya Reformasi dengan penuh Demokrasi.
3. Masa Orde Reformasi (21 Mei 1998 sampai sekarang), penyelenggaraan pemerintah
masih tetap berlandas pada UUD 1945, yakni menganut sistem pemerintahan Presidensial.
Namun, dalam pelaksanaannya dilakukan secara kritis reformis artinya penuh kontrol dalam
pelaksanaan pemerintahan. Jika ada peraturaan yang menyimpang dari UUD pasti akan diganti
dan diubah. Cabang-cabang kekuasaan negara yang utama ialah mengutamakan checks and
balances.[10]
Berdasarkan sejarah yang telah dilalui Negara Indonesia berkaitan dengan sistem
pemerintahannya yang sejak lama selalu terjadi perubahan-perubahan dan penyelewengan serta
tidak tetapnya hukum-hukum merupakan pertentangan terhadap nilai moral pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga terlihat ada ketimpangan karena ketika sebuah sistem
tidak sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945 maka bisa dikatakan bahwa itu adalah cacat.
Bahkan ini sudah mendarah daging bagi bangsa Indonesia yang selalu mendapatkan kejutan-
kujutan baru dalam dunia pemerintahan, perpolitikan, dan hukum yang utama. Siapakah yang
patut bertanggung jawab membenahi tata negara saat ini?. Mengapaadalah pertanyaan yang
pertama kali harus dijawab terlebih dahulu. Mengapa ketatanegaraan Indonesia tidak memiliki
ideal? Atau mengapa ketatanegaraan indonesia banyak mengalami hambatan-hambatan sehingga
mungkin idealisme nya telah dilunturkan oleh penguasa yang memegang kekuasaan mengatur
jalannya sistem.
Adalah yang pertama, setiap sistem pada mulanya haruslah bermuatan pada subsistem
yang jelas. Dan orang yang menjalankan sistem tersebut haruslah menjalankan sub dan
sistemnya sehingga mencapai sebuah tujuan yang diharapkan semua pihak. Bukanlah kemauan
sendiri mengatur jalannya sebuah sistem demi kepentingan pribadi dan kelompok. Itulah yang
terjadi pada mula rusaknya sebuah sistem pada awal-awal runtuhnya kekuatan falsafah
Proklamasi dan Pancasila yang dilecutkan sebagian orang-orang yang tidak bertanggungjawab
dan ingin menghancurkan bangsa ini sejak lama.
Setelah Bung Hatta mengundurkan diri menjadi wakil presiden RI ini sudah
menunjukkan adanya konflik yang mengindikasikan bahwa ada sebuah keretakan kekuatan yang
telah lama dibangun. Dan terbukti, bahwa ada pihak terselubung yang mengompori Presiden
Soekarno untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang sebelumnya tidak tertera dalam UUD 45
dan Pancasila.
Sejarah Ketatanegaraan Indonesia saat ini masih belum selesai mengukir sejarahnya
karena berbagai hal baru masih harus diperbaiki walaupun kejadian yang usang belum
mendapatkan jalan keluarnya dan bersembunyi di setiap kepala bangsa Indonesia. Perlu adanya
penekanan tentang pentingnya pelajaran tentang nasionalisme semacam pendidikan
kewarganegaraan, sejarah para pendahulu namun bukan hanya sekedar cerita, akan tetapi lebih
pada esensi mengapa mereka memperjuangkan kemerdekaan.
( Softskill )
Disusun Oleh :
Nama : Khoiriah
NPM : 13210889
Kelas : 2ea21
PENDAHULUAN
Indonesia telah ada jauh sebelum proklamasi. Secara formal, periode perkembangan ketatanegaraan
2. Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949-17 Agustus 1950 )
4. Periode berlakunya kembali UUD 1945 (5 juli 1959-Sekarang ).Pada periode ini pun terbagi menjadi
beberapa periode,yaitu :
Untuk lebih jelasnya setiap periode akan diuraikan pada bab pembahasan
PEMBAHASAN
1. Periode Undang-Undang Dasar 1945
Bentuk negara Republik Indonesia pada kurun waktu 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember
1945 adalah Negara Kesatuan. Landasan yuridis negara kesatuan Indonesia antara lain sebagai
berikut .
... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ... Hal tersebut
menunjukan satu kesatuan bangsa Indonesia dan satu kesatuan wilayah Indonesia .
Negara Republik Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Kata Kesatuan dalam
Seperti yang diajarkan Montesquieu dalam ajaran Trias Politika.UUD 1945 lebih cenderung menganut
prinsip Pembagian Kekuasaan ( Distribution of Power ). Dalam prinsip Pembagian Kekuasaan antara
lembaga yang satu dengan yang lainnya masih dimungkingkan adanya kerja sama menjalankan tugas-
tugasnya.
Menurut UUD 1945, seperti yang telah di sebutkan di atas bahwa kekuasaan-kekuasaan
Namun, pembagian kekuasaan pada masa UUD 1945 kurun waktu 18 Agustus 1949 sampai dengan 27
Desember 1945 belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan belum trebentuknya
Seperti kita ketahui, pada kurun waktu itu Indonesia hanya ada presiden, wakil presiden, dan
menteri-menteri, serta KNIP. Oleh karena itu, sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai 16 oktober 1945
segala kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif ) dijalankan oleh satu badan atau lembaga, yaitu
presiden dibantu oleh KNIP. Jadi dapat dikatakan belum ada pembagian kekuasaan. Kekuasaan
presiden yang demikian luas itu berdasarkan Pasal IV aturan peralihan UUD 1945
Namun, setelah munculnya Maklumat Wakil Presiden No. X (baca: teks ) tanggal 16 oktober
1945, terjadi pembagian kekuasaan dalam dua badan, yaitu kekuasaan legislatif dijalankan oleh KNIP
dan kekuasaan-kekuasaan lainnya masih tetap di pegang oleh presiden sampai tanggal 14 November.
yang semula dijalankan oleh presiden beralih ke tangan perdana menteri sebagai konsekuensi dari
Mengingat keadaan pada masa awal kemerdekaan negara kita masih berada masa peralihan
hukum pemerintahan, pelaksanaan ketatanegaraan seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 belum
dapat sepenuhnya dilasanakan. Namun, penjelasan UUD 1945 telah mengantisipasi keadaan itu.
Menurut Pasal IV Aturan peralihan, bahwa sebelum MPR, DPR , dan DPA di bentuk menurut UUD
1945, segala kekuasaan negara dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.
Namun dalam perkembangannya KNIP yang dibentuk itu menuntut kekuasaan legislatif
kepada pemerintah / presiden sehingga keluarlah Maklumat Wakil Presiden No. X, yang memberikan
dimungkinkan setelah keluarnya Maklumat Pemerintah pada 14 November 1945, yang menyatakan
bahwa prinsip pertanggungjawaban menteri-menteri kepada KNIP secara resmi diakui. Akibatnya, di
bentuklah kabinet baru yang dipimpin oleh Sutan Syahrir ( sebagai Perdana Menterinya ).
Menurut ketentuan pasal-pasal yang tercantum dalam Konstitusi RIS, sistem pemerintahan yang
dianut adalah sistem pemerintahan parlementer. Pada sistem ini, Kabinet bertanggung jawab
kepada parlemen ( Dewan Perwakilan Rakyat ), dan apabila pertanggungjawaban itu tidak diterima
oleh Dewan Perwakilam Rakyat maka dapat menyababkan bubarnya kabinet. Jadi, kedudukan
a. Perdana menteri bersama para menteri baik secara bersama ataupun sendiri-sendiri bertangggung
c. Para anggota kabinet mungkin seluruhnya atau sebagian mencerminkan kekuatan yang ada dalam
parlemen.
d. Kabinet dapat dijatuhkan setiap saat oleh parlemen dan sebaliknya kepala negara dengan saran
perdana menteri dapat memubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum.
f. Kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat atau di minta pertanggungjawaban atas
jalannya pemerintahan.
Dengan demikian, yang membedakan sistem pemerintahan presidensial dengan parlementer adalah
sebagai berikut.
a. Sistem pemerintahan presindensial yang menjadi kepala negara pasti seorang presiden, sedangkan
dalam pemerintahan parlementer yang menjadi kepada negara bisa presiden, raja, atau kaisar.
Sejarah sistem pemerintahan parlementer di Indonesia telah dimulai sejak periode berlakunya
Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama. Tepatnya sejak dikeluarkan Maklumat Pemerintah
tanggal 14 November 1945. Akibatnya, kekuasaan pemerintahan bergeser dari tangan presiden
kepada menteri atau menteri-menteri . setiap undang-undang yang dikeluarkan harus terdapat tanda
tangan menteri (contra seign ministry ). Dengan demikian, presiden tidak dapat di ganggu- gugat.
Oleh karena itu, yang bertanggung jawab dalam penetapan suatu undang-undang adalah para
RIS 1949, dipengaruhi oleh Montesquieu, namun tidak menganut teori tersebut secara murni.
Pemisahan kekuasaan. Selain itu, kekuasaan negara bukan hanya terbagi dalam tiga
Berikut ini keenam lembaga negara sebagai alat-alat perlengkapan federal RIS, yaitu sebagai
berikut.
a. Presiden.
b. Menteri-menteri.
c. Senat.
d. Dewan Perwakilan Rakyat.
Diantara badan-badan ( kekuasaan ) tersebut, terdapat hubungan yang bersifat kerja sama dan
dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat terhadap undang-undang yang
isinya melibatkan beberapa negara/daerah bagian atau antara pemerintah federal dengan
negara/daerah bagian. Untuk undang-undang yang isinya di luar itu, cukup dilakukan oleh
Oleh karena itu, agar suatu undang-undang mempunyai kekuatan mengikat maka harus disetujui
oleh DPR dan senat serta disahkan oleh pemerintah. Dalam hal pengesahan ini suatu undang-undang
selain ditandatangani oleh presiden juga ditandatangani oleh menteri yang bertanggung jawab
Dengan demikian, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan senat dalam melaksanakan kekuasaan
legislatif harus bekerja sama, Demikian pula pemerintah, dalam melaksanakan kekuasaan
pemerintahan harus benar-benar memperhatikan suara Dewan Perwakilan Rakyat . jadi, dalam hal ini
antara pemerintahan dan DPR dan senat terdapat hubungan yang bersifat kerja sama.
Mahkamah Agung berfungsi sebagai penilai masalah penerapan atau pelanggaran hukum dan
peradilan tingkat kasasi. Kedudukan Mahkamah Agung sebagai pengadilan federasi tinggi yang
maupun pengadilan negara/daerah bagian. Di samping itu, Mahkamah Agung berhak memberi
nasihat kepada presiden yang berkenaan dengan pemberian grasi atau hukuman yang telah
Konstitusi RIS yang bersifat liberal federalistik tidak sesuai dengan semangat Proklamasi
Kemerdekaan 17 agustus 1945, Pancasila, dan kepribadian bangsa Indonesia. Oleh karena
itu,muncullah berbagai reaksi dan unjuk rasa dari negara-negara bagian menuntut pembubaran
negara RIS dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas desakan itu maka tanggal 8
Maret 1950, Pemerintah Federal mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1950, yang
isinya mengatur tata cara perubahan susunan kenegaraan RIS. Dengan adanya undang-undang
tersebut hampir semua negara bagian RIS menggabungkan diri dengan negara Republik Indonesia
yang berpusat di Yogyakarta. Akhirnya, Negara RIS hanya memiliki tiga negara bagian, yaitu Negara
Keadaan itu mendorong negara RIS berunding dengan RI untuk membentuk negara kesatuan. Pada
19 Mei 1950, dicapai kesepakatan membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
dituangkan dalam sebuah piagam persetujuan. Disebutkan pula bahwa Negara Kesatuan itu akan
berdasarkan undang-undang dasar baru yang merupakan gabungan unsur-unsur UUD 1945 dengan
Konstitusi RIS yang menghasilkan UUDS 1950. Negara Kesatuan RI secara resmi berdiri pada tanggal
17 Agustus 1950 dan Ir. Soekarno terpilih sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil
Presiden. Sejak saat itu pula pemerintah menjalankan pemerintahan dengan menggunakan UUDS
1950.
negara kesatuan. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 1 ayat 1 UUDS 1950 yang berbunyi, Republik
Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah negara hukum yang demokratis dan berbentuk
kesatuan.
Bentuk negara kesatuan merupakan kehendak rakyat Indonesia. Hal ini dikemukakan dalam UU No. 7
Tahun 1950. Selain itu, pada bagian Mukaddimah UUDS 1950 alinea 4 disebutkan : Maka demi ini
kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam Negara yang berbentuk Republik
Kesatuan...
Sistem pemerintahan yang dianut oleh UUDS 1950 adalah sistem pemerintahan parlementer. Dengan
demikian, sistem pemerintahan yang digunakan pada masa Konstitusi RIS 1949 masih dipertahankan
oleh UUDS 1950. Sebagai dasar hukum UUDS 1950 mengatur sistem pemerintahan parlementer,
Dalam pasal 45 disebutkan Presiden ialah Kepala Negara. Karena presiden sebagai kepala negara,
ia tidak dapat diminta pertanggung jawaban atas pelaksanaan pemerintahan. Pernyataan pasal 45
(2) Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama
Berdasarkan pasal tersebut, jelaslah bahwa yang bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan
Ketentuan lain yang menunjukkan bahwa UUDS 1950 menganut sistem pemerintahan parlementer
adalah pasal 84, yang berbunyi : Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Keputusan presiden yang menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan
a. Adanya sistem pemerintahan parlementer yang disertai sistem multipartai (banyak partai).
Oleh karena itu, baik UUD RIS maupun UUD 1950 menggunakan Pancasila sebagai dasar negara
hanya dalam ketentuan formal, sedangkan jiwa kekeluargaannya belum mampu dilaksanakan secara
operasional.
Pada masa berlakunya UUDS 1950, kekuasaan-kekuasaan negara dipegang oleh beberapa alat
perlengkapan negara. Hal ini berarti kekuasaan dalam negara tidak dipegang atau dipusatkan pada
Berdasarkan Pasal 44 UUDS 1950, alat-alat perlengkapan negara adalah sebagai berikut :
b. Menteri-menteri;
d. Mahkamah Agung;
Sebagaimana undang-undang dasar sebelumnya, dalam UUDS 1950 pun menganut ajaran pembagian
kekuasaan. Hal ini terbukti dengan ditentukannya badan-badan yang memegang ketiga kekuasaan
tersebut.
dengan DPR.
Sesuai dengan sistem parlementer yang dianut oleh UUDS 1950, kekuasaan pemerintah negara
dipertanggung jawabkan oleh dewan menteri kepada DPR. Namun, mereka juga harus
memperhatikan kebijaksanaan presiden/kepala negara. Begitu pula mengenai hal-hal yang penting
atau menyangkut kepentingan nasional, dewan menteri baik secara kolektif maupun sendiri-sendiri
Rakyat, kecuali dalam perubahan undang-undang dasar. Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
Sementara 1950, hak tersebut pernah digunakan oleh DPR sebanyak delapan kali. Dengan demikian,
pemerintah (presiden dan menteri-menteri) dan DPR harus bekerja sama dibidang legislatif karena
Pengesahan pemerintah dilakukan dengan cara menandatangani undang-undang oleh presiden dan
menteri yang bersangkutan dengan menteri undang-undang. Jadi dapat dikatakan bahwa antara
Bidang yudikatif sepenuhnya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Menurut pasal 105 ayat 1 dan 2
UUDS 1950. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi yang bertugas melakukan
ditetapkan dengan undang-undang. Di samping itu, Mahkamah Agung dapat memberi nasihat
kepada presiden berkenaan dengan pemberian grasi atas hukuman yang telah dijatuhkan oleh
pengadilan.
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, berlakulah kembali UUD 1945 sebagai
landasan konstitusional pemerintahan Republik Indonesia. Pada masa itu demokrasi liberal yang di
praktikkan pada masa berlakunya UUDS 1950 tidak dipergunakan sistem Demokrasi Terpimpin.
UUDS 1950 pun menganut sistem pemerintahan kabinet parlementer. Hal ini tampak jelas dari pasal
Kemudian pasal 84 UUDS 1950, menyatakan bahwa : Presiden berhak membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat, dengan ketentuan harus mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat baru
dalam 30 hari.
UUDS 1950 inipun bersifat sementara yang ditegaskan dalam pasal 134 bahwa, Konstituante
Badan Konstituate yang diserahi tugas membuat undang-undang dasar baru tetap tidak dapat
menjalankan tugasnya dengan baik. Keadaan ini memancing berkembangnya persaingan politik yang
membawa akibat luas dalam berbagai tata kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Situasi
gawat itu mendorong presiden mengajukan konsepsinya mengenai sistem Demokrasi Terpimpin
dalam rangka kembali ke UUD 1945. Konsepsi itu disampaikan didepan sidang pleno DPR hasil Pemilu
tahun 1955.
Perdebatan terus berlarut-larut tanpa menghasilkan suatu keputusan penting, sementara keadaan
negara semakin gawat dan tidak terkendali yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa negara
Indonesia. Keadaan itu mendorong Presiden Soekarno menggunakan wewenangnya, yakni dengan
Para pembentuk UUDS 1950 sejak semula menyebutkan bahwa UUD tersebut masih bersifat
sementara. Hal ini ditegaskan dalam pasal 134 yang berbunyi : Konstituante (Sidang Pembuat
Mengingat UUDS 1950 masih bersifat sementara, maka harus ada UUD yang tetap yang akan
pemilihan umum. Pemilihan umum untuk anggota Konstituante tersebut, baru dapat
diselenggarakan pada bulan Desember 1955. Pada 10 November 1956, sidang pertama konstituante
dibuka di Bandung oleh Presiden Soekarno. Pada saat itu Presiden Soekarno untuk kali pertama
Rakyat dan pemerintah sangat berharap Konstituante dapat membentuk UUD baru dengan segera.
Dengan munculnya UUD baru diharapkan dapat mengubah tatanan kehidupan politik yang dinilai
kurang baik.
Lebih dari dua tahun bersidang, Konstituante belum berhasil merumuskan rancangan UUD baru.
Ketika, itu perbedaan pendapat yang telah menjadi perdebatan didalam gedung Konstituante
mengenai dasar negara telah menjalar keluar gedung Konstituante, sehingga diperkirakan akan
diselesaikan. Sehubungan dengan itu, pada bulan Maret 1959 pemerintah memberikan keterangan
dalam sidang pleno DPR mengenai Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali kepada UUD 1945.
Perdana Menteri Djuanda menegaskan bahwa usaha untuk kembali kepada UUD 1945 itu harus
dilakukan secara konstituante untuk menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik
Indonesia.
Mengingat suhu politik yang semakin memanas, pada 22 April 1959 Presiden Soekarno
menyampaikan amanat kepada Konstituante. Amanat tersebut memuat anjuran kepala negara dan
pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Disamping itu, menegaskan pula pokok-pokok Demokrasi
1) Demokrasi Terpimpin bukanlah diktator, berlainan dengan Demokrasi Sentralisme dan berbeda pula
2) Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa
Indonesia.
3) Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang meliputi
4) Inti dari pimpinan dalam Demokrasi Terpimpin adalah pemusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan, bukan oleh penyiasatan dan perdebatan yang diakhiri dengan pengaduan kekuatan
5) Oposisi dalam arti melahirkan pendapat yang sehat dan yang membangun diharuskan dalam alam
Demokrasi Terpimpin.
7) Tujuan melaksanakan Demokrasi Terpimpin ialah mencapai sesuatu masyarakat yang adil dan
makmur, yang penuh dengan kebahagiaan materil dan spiritual, sesuai dengan cita-cita proklamasi 17
Agustus 1945.
8) Sebagai alat, Demokrasi Terpimpin mengenal juga kebebasan berpikir dan berbicara, tetapi dalam
batas-batas tertentu.
Pada dasarnya, saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat diterima oleh para anggota
Konstituate, namun dengan pandangan yang berbeda. Pertama, menerima saran untuk kembali
kepada UUD 1945 secara utuh. Kedua, menerima untuk kembali kepada UUD 1945 tetapi dengan
amandemen, yaitu sila ke satu Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 harus
diubah dengan sila ke satu Pancasila seperti tercantum dalam Piagam Jakarta. Adapun prosedur
untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana diputuskan oleh Kabinet Karya
1) Setelah terdapat kata sepakatantara Presdiden dan Dewan Menteri maka pemerintah minta supaya
2) Atas nama pemerintah, disampaikan oleh presiden amanat berdasarkan pasal 134 Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 kepada Konstituante yang berisi anjuran supaya Undang-Undang Dasar
3) Jika anjuran itu diterima oleh Konstutuante, pemerintah atas ketentuan pasal 137 Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 mengumumkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 itu dengan
keluhuran. Pengumuman dengan keluhuran itu dilakukan dengan suatu piagam yang ditanda tangani
dalam suatu sidang pleno Konstituante di Bandung oleh presiden, para menteri, dan para anggota
Konstituante, yang antara lain memuat Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945.
Setelah melalui berbagai macam usaha, Konstituante tidak dapat mengambil keputusan untuk
menerima anjuran tersebut. Hal ini sah-sah saja mengingat kewenangan untuk mempersiapkan dan
dalam membentuk UUD. Berdasarkan kondisi itulah maka presiden mengeluarkan dekrit pada 5 Juli
1959 yang pada intinya menegaskan untuk kembali kepada UUD 1945 dan membubarkan
Konstituante.
Dengan Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan mengingat lembaga-lembaga negara belum lengkap
1) Pembaruan susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960.
2) Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan Penetapan Presiden No. 4
Tahun 1960. Dalam Pasal ditentukan bahwa anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat
diberhentikan dengan Hormat dari jabatannya terhitung mulai tanggal pelantikan Dewan Perwakilan
3) Untuk melaksanakan Dekrit Presiden, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959
4) Penyusunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Penetapan Presiden No. 12 Tahun
1960.
5) Dikeluarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara.
Ditinjau dari aspek konstitusional, langkah-langkah penyusunan DPRGR dan MPRS yang dilakukan
dengan Penetapan Presiden jelas menyimpang dari UUD 1945 yang berlaku berdasarkan Dekrit
Presiden. Apalagi langkah seperti ini terlebih dahulu diawali dengan pembubaran Dewan Perwakilan
Rakyat hasil Pemilihan umum berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1953. Lain daripada itu,
dalam sistematika UUD 1945 produk hukum (perundang-undangan) yang berbentuk Penetapan
Presiden sama sekali tidak dikenal. Oleh sebab itu langkah-langkah yang diambil oleh presiden dalam
rangka melaksanakan Demokrasi Terpimpin dan kembali ke UUD 1945 justru merupakan langkah-
langkah yang menyalahi konstitusi. Bahkan dalam melakukan langkah-langkah ini presiden
melandaskan pada pasal IV aturan Peralihan UUUD 1945, juga masih belum dapat dikategorikan
bersifat konstitusional, sebab Dewan Perwakilan Rakyat sudah terbentuk melalui Pemilu tahun 1955.
Dengan demikian sejak berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945 belum dapat dilaksanakan secara murni dan
konsekuen.
1) Lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA belum dibentuk berdasarkan undang-undang.
2) Pengangkatan presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup melalui ketetapan MPRS No.
III/MPRS/1963. Ketetapan ini melanggar ketentuan pasal 7 UUD 1945 yang tegas-tegasnya
menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa 5 tahun, dan
puncaknya dibidang politik dan peristiwa gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini masih menjadi
perdebatan sampai saat ini. Sejarah mengenai peristiwa gerajan 30 September 1965 masih
menyimpan berbagai misteri. Banyak ahli sejarah dan bahkan pelaku sejarah yang mencoba
melakukan penelusuran kembali, akan tetapi sayang banyak dokumen yang hilang.
Terlepas dari kebenaran dari masing-masing versi tersebut, yang jelas peristiwa 30 September
1965 telah menimbulkan kekacauan sosial budaya dan instabilitas pemerintahan serta meninggalkan
sejarah hitam dalam peta politik dan hukum ketatanegaraan Indonesia. Puncak dari peristiwa
seperti ini adalah jatuhnya legitimasi presiden Soekarno dalam memegang tampuk kekuasaan
negara. Letimasi itu semakin terpuruk dengan dikeluarkannya surat perintah 11 maret 1966
(Supesemar) yang pada hakikatnya merupakan perintah dan presiden kepada Letnan Jendral
Soeharto untuk mengambil segala tindakan dalam menjamin keamanan dan ketentraman serta
stabilitas jalannya pemerintahan. Keberadaan supersemar itu sendiri sampai sekarang masih
misterius. Bahkan, penerbitan surat perintah seperti ini juga masih memunculkan berbagai
kontroversi. Kemudian dengan ketetapan MPRS No. IX MPRS 1966, Surat Perintah 11 Maret 1966
dikukuhkan dengan masa berlaku sampai terbentuknya MPR RI hasil pemilihan umum yang akan
datang.
Oleh karena pemilihan umum yang sedianya akan diselenggarakan pada 5 Juli 1968 tertunda
sampai 5 Juli 1971 dan mengingat telah dikeluarkannya ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967
tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Tangan Presiden Soekarno. Demi
terciptanya kepimpinan nasional yang kuat dan terselenggaranya kestabilan politik, ekonomi dan
ketetapan majelis permusyawaratan rakyat sementara No. IX/MPRS/1966 sebagai presiden republik
Indonesia, yang antara lain menyatakan : Mengangkat jenderal Soeharto sebagai presiden republik
Setelah turunnya Presiden Soekarno dari tampuk kepresidenan, maka berakhirlah orde lama.
Kepimpinan disahkan kepada jenderal Soeharto mulai memegang kendali pemerintahan dan
menanamkan era kepemimpinan sebagai orde baru. Diera ini konsentrasi penyelenggaraan sistem
pemerintahan dan kehisupan demokrasi menitikberatkan kepada aspek kestabilan politik dalam
rangka menunjang pembangunan nasional. Untuk mencapai titik tolak tersebut, dilakukanlah upaya-
upaya pembenahan sistem ketatatnegaraan dan format politik yang pada prinsipnya mempunyai
(floating mass);
Konsep Dwi fungsi ABRI pada masa itu secara implisit sebenarnya sudah dikemukakan oleh kepala
staff angkatan darat, Mayjen A.H. Nasution, tahun 1958 yaitu dengan konsep jalan tengah.
Prinsipnya menegaskan bahwa peran tentara, tidak terbatas pada tugas profesional militer belaka,
melainkan juga mempunyai tugas-tugas dibidang sosial politik. Dengan konsep seperti inilah
dimungkinkan dan bahkan menjadi semacam kewajiban jikalau militrer berpartisipasi dibidang politik.
Penerapan konsepsi ini, menurut penafsiran militer dan penguasaan orde baru memperoleh landasan
urigis konstitusional didalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan Majelis Permusyawaratan
rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari
politik (DPR dan MPR) melalui proses penunjukkan dan pengangkatan. Artinya, militer secara
otomatis akan memperoleh jatah keanggotaan dilembaga-lembaga tersebut tanpa melalui proses
pemilihan umum. Kondisi seperti ini menunjukkan adanya paradigma ketatanegaraan yang tidak
Dibidang kepartaian, pada 27 Februari 1970, presiden Soeharto mengadakan konsultasi dan
parpol-parpol guna membahas gagasan untuk mengelompokkan partai-partai politi yang ada.
Gagasan tersebut akhirnya diarealisasikan dalam pemilihan umum 1977. Pada pemilu tersebut
terdapat 3 kakuatan sosial politik, yaitu 2 partai politik (PDI dan PPP) dan satu Golkar. Keberadaan
ketiga kekuatan sosial politik ini kemudian diperkuat dengan keluarnya undang-undang no. 3 tahun
1975 tentang partai politik dan golongan karya. Dengan UU inilah dalam kurun waktu lebih kurang 32
tahun konstelasi politik Indonesia hanya membatasi adanya 2 partai politik dan Golkar sebagai
kekuatan sosial politik yang sah berhak hidup dinegara kesatuan republik Indonesia.
Sejarah menunjukkan bahwa dalam setiap pemilihan umum, yang diselenggarakan orde baru,
Golkar selalu berhasil menjadi single majority, dan setiap pemilihan presiden RI, Soeharto selalu
dapat terpilih kembali secara aklamasi kondisi semacam ini mengakibatkan adanya dua fenomena
ketatanegaraan indonesia. Pertama sistem ketatanegaraan yang di jalankan pada waktu itu lebih
menekankan pada kestabilan politik dan memang berhasil. Kedua, terjadi pemasungan hak-hak
politik bagi warga negara, khususnya dalam hal berserikat dan berkumpul untuk mengeluarkan
Tidak dapat dipungkiri bahwa orde baru memang berhasil dalam mewujudkan stabilitas
politik. Pembangunan dapat berjalan secara bertahap berkelanjutan. Tingkat pertumbuhan ekonomi
rata-rata 7%. Indonesia telah mampu berswasembada pangan. Indikator-indikator inilah yang
dipergunakan untuk menilai keberhasilan orde baru. Akan tetapi, sebaliknya dilingkungan
infrastruktur politik, telah terjadi pembelengguan hak politik bagi warga negara. Puncak dari
kesadaran semacam ini adalah terjadinya garakan reformasi sebagai akibat adanya krisis multi
dimensional pada akhir 1997 dan awal 1998. Kemudian karena krisis multi dimensional tersebut tidak
dapat terselesaikan dengan segera diawali dengan terjadinya kerusuhan tanggal 13-14 Mei 1998
presiden soeharto meletakkan jabatannya pada 20 Mei 1998 dan digantikan oleh wakil presiden B.J
Habibie.
konstitusional,sebab pasal 8 UUD 1945 telah menagaskan bahwa jika presiden mangkar, berganti,
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya,ia digantikan oleh wakil presiden
sampai habis waktunya. Namun dipihak yang lain, proses penggantian tersebut dianggap
inkonstitusional. Bagi pihak yang menganggap pergantian tersebut adalah inkonstitusional, dilandasi
oleh adanya anggapan bahwa proses pegantian tersebut tidak ditandai dengan penyerahan kembali
Dalam teori perundang-undangan dikenal adanya dua jenis Ketetapan MPR jika ditinjau dari
sifatnya, yaitu Ketetapan MPR yang bersifat perundang-undangan dan Ketetapan MPR yang bersifat
bukan perundang-undangan. Ketetapan MPR yang memberikan mandat presiden, pada hakikatnya
tidak dapat dikatagorikan bersifat perundang-undangan. Hal ini mengingat suatu produk hukum
disebut perundang-undangan, kalau bersifat dan mengikat umum. Ketetapan tersebut sifatnya
kongkrit, individual, dan final. Oleh sebab itu, ketetapan MPR yang mengangkat Soeharto sebagai
Presiden bisa dikatakan mirip dengan Ketetapan Tata Usaha Negara. Berdasarkan sifat seperti itulah,
peralihan Jabatan Presiden dari Soeharto kepada Wakil Presiden (B. J. Habibie) harus diawalin
dengan penyerahan mandat ( Ketetapan MPR ) terlebih dahulu. Pendek kata mandat sebagaimana
digariskan oleh Ketetapan MPR tidak dapat dialihkan begitu saja. Walaupun demikian, pemerintahan
5. Periode Reformasi
Setelah tumbangnya Orde Baru maka dimulailah pentahapan konsolidasi sistem demokrasi di
Indonesia. Konsolidasi tersebut antara lain adalah melakukan perubahan dan penggantian berbagai
peraturan perundang-undangan yang dirasa tidak memberikan ruang bagi kehidupan demokrasi dan
perubahan atau penggantian bahkan dihilangkan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia adalah
sebagai berikut.
politik dan Golongan Karya ). Undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-undang No. 4
Tahun 1999 tentang Susduk MPR/DPR/DPRD, UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, dan UU
d. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan di Daerah, diganti dengan Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang sering disebut sebagai Undang-
mundurnya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan nasional pada 20 Mei 1998. Selama
Presiden Soeharto memegang tampuk kekuasaan pemerintahan negara dengan akulumasi tenggang
waktu lebih kurang 30 tahun, sistem pemerintahan Indonesia mengarah kepada supremasi eksekutif.
Artinya, kekuasaan Presiden RI telah merambah ke tiga cabang kekuasaan lain dan bahkan secara
politis cabang-cabang utama kekuasaan, seperti DPR dan MPR telah terkooptasi oleh kepentingan
dan kehendak presiden. Model supremasi eksekutif ini mengakibatkan langgam politik
menjadi lemah, sehingga kontrol terhadap pelaksanaan pemerintah menjadi tidak berjalan. Akibat
dari kesemuanya itu adalah krisis multidimensional yang dialami oleh Indonesia dipertengahan tahun
1997 tidak dapat tertanggulangi. Bahkan, keterpurukan moralitas penyelenggaraan negara melalui
apa yang disebut Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme ( KKN ) menjadi faktor pendukung utama
Gerakan reformasi yang dikumandakan oleh mahasiswa Indonesia tersebut, sejatinya bukanlah
merupakan gerakan yamg berdiri sendiri. Gerakan ini pada hakikatnya merupakan imbas dari
gerakan-gerakan demokrasi yang berkembang di belahan dunia lain yang oleh samuel P. Huntington
dikatakan sebagai efek bola salju. Berkaitan dengan hal inilah. Samuel P.
Huntington mengemukakan bahwa proses demokratisasi pada umumnya melalui tiga periode, yakni
periode pengakhiran rezim non demokrasi, pengukuhan rezim demokrasi, dan pengkonsolidasian
Bertitik tolak dari gambaran tersebut, Reformasi Indonesia yang utama adalah menuju tatanan
kehidupan ketatanegaraan yang demokratis dapat dilihat dari ketiga periode sebagaimana
dikemukakan oleh Huntington. Ketiga periode yang dimaksud adalah pertama, pengakhiran rezim
nondemokratis, yakni ditandai dengan tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto sebagai akibat
Kedua, pengukuhan rezim demokratis yang ditandai dengan dilaksanakannya Pemilu tahun 1999
dengan sistem multipartai. Dalam pemilu ini telah dihasilkan DPR dan MPR dengan komposisi yang
relatif heterogen dan tidak ada satupun partai politik yang menduduki kursi mayoritas di kedua
lembaga tersebut. Dalam periode ini pula telah terpilih presiden dan wakil presiden yang memang
sejak semula dianggap demokratis dan populis, yakni Abdurrahman Gus Dur Wahid, sebagai
Presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden. Ketiga periode konsolidasi sistem
dengan dibentuknya Paket UU dibidang Politik, UU No. 22 Tahun 1999 diganti dengan UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan yang paling penting adalah dilakukannya amandemen
terhadap UUD 1945 oleh MPR melalui Panitia Ad Hoc I MPR-RI. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa proses amandemen UUD 1945 merupakan sarana untuk melaksanakan konsolidasi sistem
demokrasi.
Didalam amandemen UUD 1945 tersebut, antara lain ditegaskan bahwa sistem Pemerintahan
Presidensial akan tetap dipertahankan dan bahkan diperkuat melalui mekanisme pemilihan presiden
dan wakil presiden secara Langsung. Terkait dengan penegasan sistem pemerintahan negara
Indonesia, pasal-pasal dari UUD 1945 yang terkait dengan hal tersebut dan telah diamandemen untuk
a. Pasal 5 ayat 1 menegaskan Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Pasal ini dulunya berbunyi Presiden memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat". Pasal ini dulunya berbunyi
Perwakilan Rakyat.
b. Pasal 7 menegaskan : Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan yang selama lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pasal ini merupakan bentuk perubahan yang sangat signifikan dari ketentuan yang sebelum
diamandemen yang menegaskan: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa
perubahan, pasal tersebut menjadi dasar konstitutional bagi Presiden Soeharto untuk dipilih
berulang kali sehingga total waktu yang dipergunakan oleh Presiden Soeharto untuk memangku
jabatan Presiden menjadi kurang lebih 30 tahun. Suatu akumulasi masa jabatan yang luar biasa
panjang.
d. Pasal 20 ayat 1 menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-
Undang.
Kendati Pasal-pasal UUD 1945 yang suda diamandemen tersebut memberikan indikasi
sistem presidensial ini masih belum dilaksanakan secara murni. Hal ini tampak jelas tertuang di dalam
Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Tata Cara Pencalonan dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
b. Calon presiden dapat juga dianjukan oleh sekurang-kurangnya tujuh puluh orang anggota Majelis
c. Setiap anggota Majelis hanya boleh menggunakan salah satu cara pengajuan Calon Presiden
Dengan memperhatikan ketentuan seperti ini, tampak jelas bahwa pemilihan presiden tidak
dilakukan secara langsung, melainkan masih merupakan wewenang dari MPR melalui pengusulan
oleh anggota MPR maupun fraksi (sebagai perpanjang dari parpol peserta pemilu ). Ini berarti dalam
hal rekruitmen kepala pemerintahan masih tetap mempergunakan pola sistem parlementer.
Abdurahaman gus Dur Wahid memperoleh memorandum I, II, dan III oleh DPR karena dianggap
terlibat dalam kasus penyelewengan dana Bulog dan bantuan dari sultan Brunei. Kasus ini disebut
Akhir dari konflik eksekutif dan legislatif ini mengakibatkan Presiden Gus Dur dilengserkan
oleh MPR melalui keputusan pada sidang Istimewa MPR tahun 2001. Perlu diketahui dalam sidang
tersebut Presiden Gus Dur tidak bersedia untuk hadir. Bahkan , Beliau berniat mengeluarkan suatu
Dekrit Presiden untuk memubarkan MPR dan DPR, dengan alasan menghadiri Sidang Istimewa
tersebut berarti bisa dianggap melanggar UUD 1945 mempergunakan sistem presidensial, bukan
parlementer.
Istimewa MPRS pada tahun 1966 yang berakibat jatuhnya kekuasaan Presiden Soekarno dari tampuk
kepemimpinan nasional. Presiden gus Dur selanjutnya digantikan oleh Wakil Presiden, Megawati
Soekarnoputri. Kemudian, dalam sidang Tahunan MPR tahun 2001, Megawati Soekarnoputri diangkat
menjadi Presiden dan didampingin olehHamzah Haz sebagai Wakil presiden. Peristiwa-peristiwa
ketatanegaraan Indonesia semacam ini masih mengindikasikan bahwa sistem pemerintahan yang
Berdasarkan Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, didalam amandemen keempat UUD 1945
ditegaskan bahwa presiden dan wakil presiden, akan dipilih secara langsung oleh rakyat. Dia tidak
bertanggungjawab kepada Majelis ynag terdiri atas dua kamar, yakni Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah. Konstruksi semacam ini telah menghentikan konflik ketatanegaraan yang
selama ini mewarnai sistem pemerintahan di Indonesia. Di dalam Pasal 6A UUD 1945, antar lain
(1) Presiden dan wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
(3) Pasangan Colon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh persen dari
jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi
yang tesebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil
Presiden.
(4) Dalam hal tidak pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang
memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara
langsung dan pasangan yang mempeoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai pasangan presiden
(5) Tata Cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dengan undang-
undang.
Berdasarkan ketentuan tersebut, presiden dan wakil presiden tidak lagi bertanggungjawab
rakyat. Berkaitan dengan hal ini, pasal 3 Ayat 3 amandemen UUD 1945 menegaskan bahwa Majelis
Permusyawaratan rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya menurut Undang-undang Dasar. Menurut Pasal 7 A UUD 1945, pemberhentian
presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat ini atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti melakukan
pelanggaran hukum yang berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Perwakilan Rakyat terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah konstitusi untuk
memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tentang adanya
indikasi perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh presiden dan/ atau wakil presiden.
Sehubungan dengan hal ini, Pasal 7B UUD 1945 secara lengkap menyatakan sebagai berikut.
(1) Usul Pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan
permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan mengutus pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela dan/ atau pendapat bahwa Presiden dan/ atau Wakil presiden tidak lagi
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa presiden dan/ atau Wakil presiden telah melakukan
pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau
Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan Permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat
dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat
yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat sembilan puluh hari setelah pemintaan
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pindana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/ atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan
Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat
(7) Keputusab Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden harus diambil dalam rapat paripurna. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya dari jumlah
anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan
perubahan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia yang cukup fundamental. Perubahan
b. Presiden dan/atau wakil presiden serta parlemen yang terdiri atas dua kamar dipilih langsung oleh
c. Di bidang politik, kedudukan presiden dan/atau wakil presiden serta parlemen sama-sama kuat.
d. Dikenal adanya lembaga peradilan konstitusi, yakni Mahkamah Konstitusi yang mempunyai
wewenang untuk melakukan impeachment kepada presiden dan/atau wakil presiden jikalau
ditengarai telah melakukan pelanggaran hukum berat. Hal ini berarti presiden dan/atau wakil
presiden hanya dapat dijatuhkan, jika melakukan perbuatan yang berkaitan dengan hal-hal yang
bersifat yuridis.
e. Pertanggungjawaban yang dibebankan kepada presiden dan/atau wakil presiden kepada parlemen
pertanggungjawaban politis merupakan konsekuensi logis, jika presiden dan/atau wakil presiden
telah melaksanakan pertanggungjawaban hukum tersebut. Hal ini berarti telah mengubah paradigma
yang selama ini mewarnai sistem pertanggungjawaban presiden dan/atau wakil presiden kepada
Kurun waktu berlakunya UUD 1945 pertama (18 Agustus 1945 27 Desember 1949), yaitu
Kurun waktu berlakunya Konstitusi RIS (27 Desember 1949 17 Agustus 1950), yaitu
Kurun Waktu Berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950 5 Juli 1959), yaitu
Kurun waktu berlakunya UUD 1945 kedua (5 Juli 1959 Sekarang), yaitu