You are on page 1of 51

Sejarah Ketatanegaraan Indonesia

Tugas UAS Mata Kuliah Sistem Hukum Indonesia

Oleh :
Ali Arrida 09220355
Ghofur Yuniar 09220365
Tegar Ambawa 09220345

Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Malang

2012

Sejarah Ketatanegaraan Indonesia

Tata Negara merupakan hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar
pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak
dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah, dan warga negara. Hukum tata negara mengatur
mengenai negara dalam keadaan diam artinya bukan mengenai suatu keadaan nyata dari suatu
negara tertentu (sistem pemerintahan, sistem pemilu, dll dari negara tertentu) tetapi lebih pada
negara dalam arti luas. Hukum ini membicarakan negara dalam arti abstrak.[1]
Berdasarkan analisis para pakar asing maupun pakar dalam negeri, hukum tata negara
bermuatan;
1. Hukum Tata Negara merupakan hukum publik, yang memberikan landasan yuridis bagi
pembentukan struktur negara dan mekanisme pemerintahan.
2. Hukum Tata Negara memuat norma hukum yang mengatur organisasi negara sebagai organisasi
kekuasaan.
3. Hukum Tata Negara sebagai regulasi hubungan antara pemegang kekuasaan dan individu
sebagai warga negara.
4. Hukum Tata Negara memandang negara sebagai suatu organisasi yang terdiri dari berbagai
lembaga yang mendukung organisasi tersebut.[2]
Memang kesimpulan dari analisis diatas banyak dipengaruhi oleh dunia akademik,
praktik, kondisi hukum-hukum positif di negara masing-masing. Lebih dari itu dipengaruhi pula
oleh dasar-dasar serta nilai dan aspek filosofis dalam negara tersebut. Karena Hukum Tata
Negara adalah pengkondisian.
Sejarah Tata Negara Indonesia
Jika membicarakan tentang sejarah pasti mengindikasikan tentang sumber-sumber hingga
lahirlah sejarah. Sehingga yang perlu kita ketahui terlebih dahulu adalah sumber hukum yang
menyebabkan kaidah hukum itu ada dan memiliki kekuatan, juga dijadikan bahan penyusun dan
mengesahkan dari pada hukum tersebut.
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang berasaskan Pancasila
sebagai landasan pembentukannya, secara langsung semua yang berkaitan dengan Negara pasti
berhubungan dengan Pancasila. Begitu juga Hukum Tata Negara merupakan perwujudan
konstitusional dari nilai-nilai Pancasila untuk diimplementasikan dalam kehidupan bernegara.
Dan kekuatan dari Hukum Tata Negara tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
Karena apapun yang bertentangan dengan Pancasila pastilah hukum itu cacat dan tidak
memiliki kekuatan lagi. Ini membuktikan bahwa sumber dari Hukum Tata Negara di Indonesia
ialah Pancasila.
Yang kedua sumber hukum di indonesia adalah UUD 1945, semua hukum yang ada
haruslah mengimplementasikan dan sifatnya harus memperkuat dan melengkapi UUD 1945.
Inilah yang dinamakan Konvensi, yang mana konvensi memainkan peran penting dalam
mengembangkan sistem ketatanegaraan akibat perkembangan atau tuntutan baru seperti paham
konstitusionalisme, paham kedaulatan rakyat, atau paham Negara berdasarkan atas hukum.
Konvensi yang lahir dari praktik ketatanegaraan adalah suatu bentuk hukum kongkrit
dibandingkan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang nampak sebagai
bayang-bayang hukum daripada sebagai hukum yang sebenarnya.[3]Sehingga kedudukan
konvensi memiliki fungsi dan peran dalam memperkuat fleksibilitas di UUD 1945.
Proklamasi Sumber Pembentukan Hukum Tata Negara Indonesia
Setiap masa yang di dalamnya terdapat massa wajib memiliki aturan untuk mengatur
mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan agar dalam menjalani kehidupan tidak terjadi
perselisihan dan penghancurkan berdasarkan atas pikiran diri sendiri.
Maka dari itu perlu adanya Hukum sebagai regulasi dari tindakan-tindakan manusianya.
Memang pada awalnya hukum tidak tertulis (hanya kebiasaan) hingga akhirnya perlu adanya
ketetapan hukum tertulis dan permanen.
Salah satu hukum yang ada di Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang
ketatanegaraan yaitu Hukum Tata negara. Adanya beberapa sumber hukum yang juga
mempengaruhi Tata Negara saat ini, kami ingin mengupas tentang sumber hukum tata negara
sebelum Proklamasi terlebih dahulu, baru setelah itu setelah proklamasi.
I. Masa Pemerintahan Belanda kurang lebih 350 tahun, secara otomatis ketika ada sebuah
negara yang menjajah negara lain, sudah pasti negara jajahan akan dipaksa mengikuti apa yang
diwajibkan oleh penjajah, baik berupa hukum yang mengatur kehidupan antar individu, individu
dengan pemerintah, maupun hukum yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan kenegaraan.
[4] Pada masa ini Indonesia ( yang selanjutnya disebut Hindia Belanda ) dikonsturksikan
merupakan bagian dari Kerajaan Belanda. Hal ini nampak jelas tertuang dalam Pasal 1 UUD
Kerajaan Belanda ( IS 1926 ). Dengan demikian kekuasaan tertinggi di Hindia Belanda ada di
tangan Raja. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya Raja / Ratu tidak melaksanakan kekuasaannya
sendiri di Hindia Belanda, melainkan dibantu oleh Gubernur Jenderal sebagai pelaksana. Ratu
Belanda sebagai pelaksana Pemerintahan kerajaan Belanda harus bertanggung jawab kepada
parlemen. Ini menunjukkan sistem pemerintahan yang dipergunakan di Negeri Belanda dalam
sistem Parlementer Kabinet.
Adapun peraturan perundang-undangan dan lembaga negara yang ada pada masa Hindia Belanda
adalah :
a. Undang Undang Dasar Kerajaan Belanda 1938 Pasal 1 : Indonesia merupakan bagian dari Kerajaan
Belanda. Pasal 62 : Ratu Belanda memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi atas pemerintah
Indonesia, dan Gubernur Jenderal atas nama Ratu Belanda menjalankan pemerintahan
Umum. Pasal 63 : Ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan undang-undang, soal-soal intern
Indonesia diserahkan pengaturannya kepada badan-badan di Indonesia, kecuali ditentukan lain
dengan Undang-Undang.
b. Indische Staatsregeling ( IS ) pada hakekatnya adalah Undang-undang, tetapi karena
substansinya mengatur tentang pokok-pokok dari Hukum Tata Negara yang berlaku di Hindia
Belanda ( Indonesia ), maka secara riil IS dapat dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Hindia
Belanda.[5]
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat ditarik
pemahaman bahwa sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Kerajaan Belanda adalah dengan menggunakan asas dekonsentrasi. Dengan demikian secara
umum, kedudukan dari Gubernur Jenderal dapat disetarakan sebagai Kepala wilayah atau alat
perlengkapan Pusat ( Pemerintah Kerajaan Belanda ). Adapun bentuk-bentuk peraturan
perundang-undangan yang dikenal pada masa berlakunya IS adalah :
WET Yang dimaksud dengan WET adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda dalam
hal ini adalah Ratu / Raja Kerajaan Belanda bersama-sama dengan Parlemen ( DPR di Belanda ).
Dengan kata lain WET di dalam pemerintah Indonesia disebut Undang-Undang.
AMVB ( Algemene Maatregedling Van Bestuur ) Yang dimaksud dengan Algemene
Maatregedling Van Bestuur adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda dalam hal ini
adalah Ratu / Raja Kerajaan Belanda saja, tanpa adanya campur tangan dari Parlemen. Dengan
kata lain Algemene Maatregedling Van Bestuur di Indonesia disebut Peraturan Pemerintah ( PP ).
Ordonantie Yang dimaksud dengan Ordonantie adalah semua peraturan yang dibuat oleh
Gubernur Hindia Belanda bersama-sama dengan Voolksraad ( dewan rakyat Hindia Belanda ).
Ordonantie sejajar dengan Peraturan daerah ( perda ) di dalam pemerintahan Indonesia saat ini.
4. RV ( Regering Verardening ) Regering Verardening adalah semua peraturan yang dibuat oleh
Gubernur Hindia Belanda tanpa adanya campur tangan Volksraad. Regering Verardening setara
dengan Keputusan Gubernur. Keempat peraturan perundang-undangan ini disebut Algemene
Verordeningen (peraturan umum). Disamping itu juga dikenal adanya Local Verordeningen
(peraturan lokal) yang dibentuk oleh pejabat berwenang di tingkat lokal seperti Gubernur,
Bupati, Wedana dan Camat.
Pada masa Hindia Belanda ini sistem pemerintahan yang dilaksanakan adalah Sentralistik. Akan
tetapi agar corak sentralistik tidak terlalu mencolok, maka asas yang dipergunakan adalah
dekonsentrasi yang dilaksanakan dengan seluas-luasnya. Hal ini menjadikan Hindia Belanda
( Indonesia ) tidak memiliki kewenangan otonom sama sekali, khususnya dalam mengatur dan
mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Sistem ketatanegaraan seperti ini nampak dari hal-hal
sebagai berikut :
a. Kekuasaan eksekutif di Hindia Belanda ada pada Gubernur Jenderal dengan kewenangan yang
sangat luas dengan dibantu oleh Raad Van Indie ( Badan penasehat).
b. Kekuasaan kehakiman ada pada Hoge Rechshof ( mahkamah agung )
c. Pengawas keuangan dilakukan oleh Algemene Reken Kamer.
Struktur ketatanegaraan seperti ini berlangsung sampai pada masa pendudukan Jepang dan
berakhir pada masa proklamasi kemerdekaan.Memperhatikan susunan ketatanegaraan tersebut di
atas, maka dari segi hukum tata negara, Hindia Belanda belum dapat disebut sebagai negara. Hal
ini mengingat tidak dipenuhinya unsur-unsur untuk disebut negara, seperti mempunyai wilayah,
mempunyai rakyat, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Memang realitasnya ketiga
unsur tersebut dapat dikatakan sudah terpenuhi. Wilayahnya ada, rakyatnya ada, bahkan
pemerintahan yang berdaulat terpenuhi. Akan tetapi hakekat keberadaan ketiga unsur tersebut
tidak muncul karena dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan didasarkan pada kondisi
kolonialisme yang berlangsung pada saat itu. Maksudnya wilayah dan rakyat yang ada di Hindia
Belanda sebenarnya sudah ada sejak Belanda belum masuk dan menduduki Indonesia. Dengan
kata ain wilayah Nusantara dan masyarakat yang mendiami nusantara itu sudah ada sejak jaman
dahulu. Ditinjau dari unsur pemerintahan yang berdaulat , sebenarnya Hindia Belanda tidak
dapat dikatakan sebagai sebuah permintaan yang berdaulat, karena kedaulatan Hindia Belanda
ada pada Kerajaan Belanda, sedangkan Gubernur Jenderal hanya berfungsi sebagai
penyelanggara pemerintahan umum di wilayah Hindia Belanda sebagai daerah jajahan Kerajaan
Belanda.
II. Masa Penjajahan Jepang selama 3,5 tahun menjajah Indonesia, walaupun terhitung sebentar jika
dibandingkan dengan masa Belanda menjajah, bukan berarti tidak ada aturan-aturan yang pernah
diterapkan oleh Jepang dahulu dibuang begitu saja. Karena pengaruhnya juga kuat, sampai saat
ini pun Indonesia banyak mengadopsi aturan-aturan Belanda ataupun Jepang.[6] Sejarah
menunjukkan bahwa dengan adanya Perang Asia Timur Raya atau terkenal denga sebutan Peran
Dunia Ke II muncullah kekuatan angkatan perang yang cukup dominan yaitu bala tentara Jepang.
Dengan kekuatan inilah hampir seluruh kawasan asia mampu diduduki oleh bala tentara Jepang,
tidak terkecuali Indonesia yang pada saat itu masih berada di bawah kolonialisme
Belanda. Dalam sejarah perang asia timur raya, dapat digambarkan bahwa kedudukan Jepang di
Indonesia adalah :
1. Sebagai penguasa pendudukan Sebagai penguasa pendudukan, maka Jepang tidak dibenarkan
untuk mengubah susunan ketatanegaraan / hukum di Hindia Belanda. Hal ini disebabkan wilayah
pendudukan Jepang adalah merupakan wilayah konflik yang menjadi medan perebutan antara
bala tentara Jepang dengan Belanda. Oleh karena itu, Jepang hanya meneruskan kekuasaan
Belanda atas Hindia Belanda. Namun dalam hal ini kekuasaan tertinggi tidak lagi ada di tangan
pemerintah Belanda, melainkan diganti oleh kekuasaan bala tentara Jepang.
2. Jepang berusaha mengambil simpati dari bangsa-bangsa yang ada di kawasan asia timur raya
termasuk Indonesia denga menybut dirinya sebagai Saudara tua. Dalam sejarah Indonesia,
sebutan seperti ini dilanjutkan dengan pemerian Janji kemerdekaan kepada Indonesia dikelak
kemudian hari. Janji tersebut direalisir dengan membentuk BPUPK (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan) yang kemudian melaksanakan persidangan sebanyak dua kali.
Sebelum PPKI berhasil melaksanakan sidang-sidang untuk melanjutkan upaya-upaya yang telah
dilakukan oleh BPUPKI, Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Pada saat
itu pula sekutu belum masuk ke wilayah Indonesia. Menurut hukum internasional, penguasa
pendudukan yang menyerah harus tetap menjaga agar wilayah pendudukan tetap dipertahankan
seperti sediakala atau dalam konsidi status quo. Perlu diketahui pula pada masa pendudukan
bala tentara Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah besar yaitu :
1. Daerah yang meliputi Pulau Sumatera dibawah kekuasaan Pembesar Angkatan darat Jepang
dengan pusat kedudukan di Bukittinggi.
2. Daerah yang meliptui pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Angkatan darat yang
berkedudukan di Jakarta.
3. Daerah-daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di
Makasar.

Dari pembagian wilayah ini membuktikan bahwa pada masa pendudukan Jepang paham
militeristik menjadi model bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Paham
militeristik seperti ini dipandang lebih efektif karena mampu lebih mengedepankan jalur
komando dan mampu menghimpun kekuatan yang cukup siknifikan guna menghadap serangan
musuh. Dengan menggunakan model seperti ini tidak pelak lagi kalau sistem ketatanegaraan
yang diberlakukan adalah bersifat Talistik. Salah satu peraturan yang menjadi salah satu sumber
hukum tata negara Republik Indonesia sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
adalah Undang-Undang No.40 Osamu Seirei tahun 1942. Osamu Seirei adalah peraturan atau
Undang-Undang yang cenderung berbau otoriter / pemaksaan. Pengundangan atau pengumuman
mengenai undang-undang Osamu Seirei ini dilakukan dengan cara ditempelkan pada papan-
papan pengumuman di Kantor-kantor pemerintahan Jepang setempat.[7]
Sehingga banyak aturan-aturan dalam Hukum Tata Negara Indonesia yang bercampur
aduk karena Hukum lama masih digunakan sampai saat ini. Bahkan setelah proklamasi-pun
kebijakan-kebijakan bersifat atau terkesan menambahi yang kurang, dan membuang yang tidak
tepat bagi masyarakat Indonesia (itu pun masih penuh kontroversi).
SUMBER HUKUM SETELAH PROKLAMASI
Mengingat Proklamasi adalah semangat persatuan, kesatuan yang bulat mutlak dengan
tiada mengecualikan setiap golongan dan lapisan masyarakat Republik Indonesia. Hal ini
menjadi sejarah penting bagi bumi Nusantara Indonesia dalam kehidupan setelah Proklamasi.
Substansi yang terkandung dalam Proklamasi adalah semangat dengan rela berjuang, berjuang
dengan hakiki, tulus dan penuh idealisme dan dengan mengesampingkan segala kepentingan diri
sendiri hingga lahirlah Kemerdekaan.
Dalam UUD 1945 dikatakan, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Maka dapat diartikan sebagai keinginan luhur
sebagai bangsa yang merdeka dan mandiri berkaitan dengan keadilan yang menjadi objek
utama untuk penegakan hukum di Indonesia banyak mendapat tantangan seperti dari sistem
poltik, kebijakan, bahkan kepentingan.
Pembukaan UUD 1945 di dalamnya memuat semangat Proklamasi dan Pancasila. Namun
dalam praktek ketatanegaraan RI, keberadaan dan kedudukan hukum naskah Proklamasi belum
mendapat tempat dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proklamasi
adalah sumber Hukum Tata Negara Indonesia yang mengandung makna sebagai salah satu
objek penyelidikan Hukum Tata Negara.[8]

Ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik jika dikaitkan dengan kepentingan studi
Negara, antara lain :
1. Proklamasi merupakan bagian yang terintegrasi dengan pembukaan UUD 1945, sebagai
keputusan politik bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan. Memiliki kedudukan secara
yuridis sebagai sumber hukum Tata Negara.
2. Rumusan Pancasila sebagai dasar negara terdapat dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea
keempat, merupakan sumber dari sumber Hukum Tata Negara, memiliki kedudukan kokoh dan
tidak ada suatu badan yang berhak dan berwenang mengubahnya.
3. Pancasila sebagai falsafah dan dasar Negara terdapat dalam pembukaan UUD 1945 ditulis
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
4. Pembukaan UUD 1945, merupakan sumber nilai dan moral untuk membentuk Hukum Tata
Negara bagi kepentingan mendirikan dan membangun negara Indonesia. Memberikan arah bagi
isi Hukum Tata Negara Indonesia.
5. Arah dan isi, antara lain terwujud dalam konsep-konsep dasar yang mencakup tentang konsep
dasar negara, falsafah bangsa, tujuan negara, bentuk dan susunan organisasi negara, fungsi
negara, lembaga dan sistem perwakilan, lembaga dan sistem permusyawaratan, sistem Undang-
Undang Dasar dalam membangun Indonesia Merdeka, konsep Negara Hukum, Konsep Negara
Berketuhanan Yang Maha Esa, konsep negara kesejahteraan, konsep negara kekeluargaan
(integralistik), konsep Demokrasi Pancasila.
6. Konsep-konsep tersebut digunakan pada saat pembentukan Hukum Tata Negara.
Konsekuensinya untuk memahami dan mendapatkan makna yang benar perlu menggunakan
konsep-konsep tersebut pada saat melakukan studi tersebut.[9]

Melihat betapa pentingnya kedudukan kebebasan dan keadilan yang dilecutkan dalam
pembukaan UUD 1945, perlu adanya kontrol tentang nilai-nilai yang terkandung dalam
pembukaan UUD 1945 harus jadi landasan nilai moral ketika memaknai kerangka penafsiran
Hukum.
Proklamasi bukan hanya sejarah yang hanya dikenang pada setiap tanggal 17 Agustus
setiap Tahunnya. Seharusnya lebih pada esensi bagaimana para pendahulu memperjuangkan
segalanya demi kemaslahatan bangsa dan negara Indonesia. Maka pembentukan Hukum Tata
Negara Indonesia tidak lah semena-mena secara yuridis merugikan pihak sesuai kepentingan
yang merugikan banyak orang. Adil merupakan hal yang harus diperhatikan dan diutamakan
sesuai dengan Proklamasi, Pancasila, Pembukaan UUD 1945 sebagai Sumber Hukum.
Maka dari itu Hukum Tata Negara yang berasaskan pada pembukaan UUD 1945 dan
Proklamasi harus dijunjung tinggi sebagai produk keputusan politik tertinggi bangsa Indonesia.
Karena negara hukum adalah kebalikan negara kekuasaan yang mana sistem konsitusional
merupakan ciri utama dari konsepsi negara hukum. Sistem pemerintahan menurut UUD 1945
meskipun tidak menganut sepenuhnya pada Trias politika secara konsekuen. Bukan pemisahan
tetapi pembagian kekuasaan, karena pembagian kekuasaan sesuai dan cocok dengan ide dari
negara kesatuan yang berintikan paham integralistik yang berdasarkan Pancasila.
Pasal-pasal konstitusi pun merupakan penjabaran pancasila, kalimat di dalamnya adalah
aturan pokok. UUD yang supel dan elastik dipercaya oleh pendiri negara ini akan tahan lama dan
tidak akan ketinggalan jaman.
Sistem Pemerintahan Negara RI berdasarkan UUD 1945
Menurut UUD 1945 sistem Pemerintahan Negara adalah Presidensial ( Sistem Kabinet
Presidensial), di mana Presiden sebagai penanggung jawab atas jalannya sebuah Pemerintahan.
Menteri-menteri sebagai Pembantu Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Presiden
adalah Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dan bertanggung jawab kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Pada saat berlakunya UUD 1945 pernah terjadi perubahan praktik ketatanegaraan RI
tanpa mengubah ketentuan UUD 1945. Perubahan tersebut ialah keluarnya maklumat Wakil
Presiden tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 (telah
terjadi perubahan dari sistem Pemerintahan Presidensial menjadi sistem pemerintahan
Parlementer. Pada waktu berlakunya Konstitusi RIS dan UUDS penyelenggaraan pemerintah
negara menganut sistem pemerintahan Kabinet Parlementer (Sistem Pertanggungjawaban
Menteri). Pada saat berlakunya konstitusi RIS sistem tidak berjalan dengan baik, sebab belum
ada DPR hasil pemilihan umum. Namun, pada saat berlakunya UUDS, sistem baru berjalan
sebagaimana mestinya, setelah DPR terbentuk berdasarkan Pemilihan Umum tahun 1955.
Kembalinya sistem pemerintahan negara menganut UUD 1945 di mulai sejak Dekrit
Presiden 1959, yakni pada sistem presidensial yang di jabarkan menjadi 3 masa, yaitu;
1. Masa Orde lama/Demokrasi Terpimpin (5 Juli 1959 11 Maret 1966). Kekuasaan penuh
presiden sehingga terjadi penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang dilakukan
pemimpin/presiden.
2. Masa Orde Baru/Demokrasi Pancasila (11 Maret 1966 21 Mei 1998), mengingat pada
masa Orde Lama terdapat banyak penyelewengan-penyelewengan terhadap UUD dengan
prioritas presidensialnya. Maka pada Orde Baru dilakukan banyak perbaikan-perbaikan sehingga
sistem pemerintahan Presidensial sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Akan
tetapi terdapat penyelewengan kembali yang lagi-lagi dilakukan oleh Presiden Soeharto selama
memimpin kurang lebih 32 tahun melakukan KKN. Sehingga memaksa Presiden Soeharto untuk
turun dari jabatannya pada 21 Mei 1998, demo yang dilakukan aktivis dan Mahasiswa berhasil
membuat Soeharto mengundurkan diri dan menyatakan berhenti, dan melimpahkan tampuk
kekuasaan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie sebagai Presiden Baru. Dan setelah itu babak
dimulai lagi dengan hadirnya Reformasi dengan penuh Demokrasi.
3. Masa Orde Reformasi (21 Mei 1998 sampai sekarang), penyelenggaraan pemerintah
masih tetap berlandas pada UUD 1945, yakni menganut sistem pemerintahan Presidensial.
Namun, dalam pelaksanaannya dilakukan secara kritis reformis artinya penuh kontrol dalam
pelaksanaan pemerintahan. Jika ada peraturaan yang menyimpang dari UUD pasti akan diganti
dan diubah. Cabang-cabang kekuasaan negara yang utama ialah mengutamakan checks and
balances.[10]
Berdasarkan sejarah yang telah dilalui Negara Indonesia berkaitan dengan sistem
pemerintahannya yang sejak lama selalu terjadi perubahan-perubahan dan penyelewengan serta
tidak tetapnya hukum-hukum merupakan pertentangan terhadap nilai moral pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga terlihat ada ketimpangan karena ketika sebuah sistem
tidak sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945 maka bisa dikatakan bahwa itu adalah cacat.
Bahkan ini sudah mendarah daging bagi bangsa Indonesia yang selalu mendapatkan kejutan-
kujutan baru dalam dunia pemerintahan, perpolitikan, dan hukum yang utama. Siapakah yang
patut bertanggung jawab membenahi tata negara saat ini?. Mengapaadalah pertanyaan yang
pertama kali harus dijawab terlebih dahulu. Mengapa ketatanegaraan Indonesia tidak memiliki
ideal? Atau mengapa ketatanegaraan indonesia banyak mengalami hambatan-hambatan sehingga
mungkin idealisme nya telah dilunturkan oleh penguasa yang memegang kekuasaan mengatur
jalannya sistem.
Adalah yang pertama, setiap sistem pada mulanya haruslah bermuatan pada subsistem
yang jelas. Dan orang yang menjalankan sistem tersebut haruslah menjalankan sub dan
sistemnya sehingga mencapai sebuah tujuan yang diharapkan semua pihak. Bukanlah kemauan
sendiri mengatur jalannya sebuah sistem demi kepentingan pribadi dan kelompok. Itulah yang
terjadi pada mula rusaknya sebuah sistem pada awal-awal runtuhnya kekuatan falsafah
Proklamasi dan Pancasila yang dilecutkan sebagian orang-orang yang tidak bertanggungjawab
dan ingin menghancurkan bangsa ini sejak lama.
Setelah Bung Hatta mengundurkan diri menjadi wakil presiden RI ini sudah
menunjukkan adanya konflik yang mengindikasikan bahwa ada sebuah keretakan kekuatan yang
telah lama dibangun. Dan terbukti, bahwa ada pihak terselubung yang mengompori Presiden
Soekarno untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang sebelumnya tidak tertera dalam UUD 45
dan Pancasila.
Sejarah Ketatanegaraan Indonesia saat ini masih belum selesai mengukir sejarahnya
karena berbagai hal baru masih harus diperbaiki walaupun kejadian yang usang belum
mendapatkan jalan keluarnya dan bersembunyi di setiap kepala bangsa Indonesia. Perlu adanya
penekanan tentang pentingnya pelajaran tentang nasionalisme semacam pendidikan
kewarganegaraan, sejarah para pendahulu namun bukan hanya sekedar cerita, akan tetapi lebih
pada esensi mengapa mereka memperjuangkan kemerdekaan.

sejarah ketatanegaraan indonesia


SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
intisari dari buku karangan:
(Nimatul Huda, S.H, M.Hum.)
A. Perubahan Sistem Pemerintahan Negara
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945,
Indonesia mengesahkan Konstitusi pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sebuah naskah yang
dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negra Indonesia dikenal naskah yang singkat dan
supel yangmemuat hal-hal yang pokok saja sedangkan didalam
melaksanakan aturan yang pokok tersebut diserahkan kepada Undang-
Undang yang lebih rendah. Sejak pertama kali kita menyatakan bernegara
republik Indonesia, kita sudah memulai dengan tidak melaksanakan pasal-
pasal dari UUD. Pasal-pasal yang kita gunakan ialah pasal peralihan. Menurut
UUD 1945, Pemerintahan Republik Indonesia di pimpin oleh presiden dan di
Bantu oleh seorang Wakil Presiden (pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)). Residen
kecuali sebagai kepala Negara ia juga sebagai kepala Pemerintahan.
Sistem pemerintahan kita ialah Presidensil, dalam arti kepala
Pemerintahan ialah Presiden, dan di pihak lain ia tidak bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat, artinya kedudukan Presiden tidak
bergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Alinea Kedua Angka V,
Penjelasan tentang UUD 1945).
Presiden dibantu oleh Wakil Presiden dan juga menteti-menteri yang
diangkat dan di berhentikan oleh Presiden (pasal 17 ayat (1), (2), dan (3).
Menteri-menteri tidak bertanggung jawab dan tergantung kepada Dewan
Perwakilan Rakyat, akan tetapi tergantung kepada Prsiden (angka V
Penjelasan UUD 1945).
Meskipun Wakil Presiden dan Menteri-menteri sama-sama berkedudukan
sebaga presiden, akan tetapi sifatnya berbeda, yaitu; Pertama, Wakil
Presiden diangkat oleh MPR, sedangkan Menteri diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden. Kedua, Wakil Presiden bukan pembantu Kepala Pemerintahan,
tetapi merupakan pembantu Kepala Negara. Menteri-menteri adalah
pembantu Kepala Pemerintahan (pasal 17 (3). Ketiga, apabila Presiden
berhalangan Wakil Presiden dapat menggantikan Presiden, Menteri tidak
biasa menggantikan presiden kecuali apabila dalam waktu yang sama Wakil
Presiden juga berhalangan (pasal 8 UUD 1945).
Meskipun tidak bertanggung jawab terhadap DPR akan tetapi kekuasaan
Presiden tidaklah tidak terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh
suara Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukan Dewan Perweakilan Rakyat ialah
kuat tidak bisa dibubarkan oleh Presiden. Menteri-menteri hanya
menjalankan pouvoir executf(kekuasaan pemerintahan) dalam praktiknya.
Sebagai pemimpim departemen menteri mengetahui seluk beluk hal
mengenai lingkungan pekerjaanya. Menteri mempunyai pengaruh yang
besar dalam menentukan politik Negara melalui departemennya.
Pada masa awal pemerintahan, kekeuasaan Presiden dalam menjalankan
kekuasaanya bukan hanya sekadar berdasrkan pasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14,
dan 15 UUD 1945, tetapi juga berdasrkan pasal IV aturan peralihan yang
berbunyi sebelum Majelis PermusyawaratanRakyat, Dewan
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Pertimbangan agung dibentuk menurut
Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh presiden di
Bantu oleh KOmite Nasional. Presiden juga mempunya tugas-tugas sebagai
berikut.
1. Majelis Perusyawaratan Rakyat
a. Menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3)
b. Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (Pasal 3)
c. Mengubah Undang-Undang Dasar (Pasal 37)
d. Memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 ayat (2))mengangkat
sumpah Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 9)
e. Pelaksana kedaulatan Rakyat (Pasal 1 ayat (2))
2. Dewan Perwakilan Rakyat
a. Memajukan Rancangan Undang-Undang (Pasal 1 ayat (2))
b. Mengesahkan Anggaran Keuangan Pemerintah (Pasal 23 ayat (1))
3. Dewan Pertimbanag Agung
a. Memeberi jawab atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan
usul kepada Pemerintah (Pasal 6 ayat (1) dan (2)).
Berdasarkan ketentuan ayat IV Aturan Peralihan tersebut, Presiden
memilki kekuasaaan yang besar, Presiden memegang kekuasaan Pemerintah
dalam arti yang luas. Dalam melaksanakan tugasnya Presiden hanya dibantu
oleh sebuah Komite Nasional. Akibatnya Presiden dengan sah dapat bertidak
dictator karena bantuan Komite Nasional sama sekali tidak bisa dianggap
merupakan pengekangan terhadap kekuasaanya.
Kekuasaan luar biasa Presiden menurut UUD 1945 akan berlangsung
sampai terbentuknya MPR, DPR, dan DPA. Selam lembaga tersebut
terbentuk, kekuasaan Presiden adalah mutlak.
Pada 29 Agustus 1945 PPKI telah dibubarkan oleh pesiden dan sebagai
gantinya dibentuk Komisi Nasional Pusat (KNIP). Badan ini walupun
keberadaannya mutlak menurut Aturan Peralihan pasal IV akan , tugasnya
hanya sekedar pembantu Presiden dalm bidang yang dikehendaki.
Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa semenjak di ciptakan
perkembangan UUD 1945 telah mengalami perkembangan yang amat
pesat.dua bulan dalam masa perjalanan UUD 1945, terjadi perubahan
praktik ketatanegaraan, khususnya perubahan tehadap Aturan Peralihan
Pasal IV, dengandikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, yang
menetapkan sebagai berikut:
Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan
Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan Legislatif dan
ikut sertamenentukan garis-garis besar daripada haluan Negara
bahwa pekerjaan Komitr Nasional Pusat sehari-hari berhubungan dengan
gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang
dipilihantara mereka serta bertanggung jawb kepada Komite Nasional
Pusat.
Apabila kita lihat dari ketentuan-ketentuan diatas, terdapat tiga hal yang
penting, yaitu:
1. Komite Nasional Pusat menjadi lembaga legislative.
2. Komite Nasional Pusat ikut menetapkan garis-garis besar
haluan Negara.
3. Ia membetuk Badan Pekerja yang akan bertanggung
jawab kepada Komit Nasional Pusat.
Tugas legislatif yang diserahkan kepada Komite Nasional yang dimaksud,
hanyalah dalam bidang pembuatan undang-undang, baik pasif maupun aktif.
Tidak termasuk didalamnya hak mengontrol dan mengawasi pemerintah.
Tugas itu langsung ada pada Presiden sendiri, sesuai dengan Pasal IV Aturan
Peralihan.
Berdasarkan semua itu, menurut Tolchah Mansoer, sebenarnya dengan
Maklumat No.X belumlah terjadi sesuatu yang fundamental dalam hubungan
ketatanegaraan sebab langkah-langkah itu diambil masih dalam batas-batas
Pasal IV Aturan Peralihan. Tentang bidang legislative, kalau tadinya Presiden
mengerjakan nya dengan bantuan Komite Nasional, sekarang tugas itu oleh
Presiden hendak diserahkan kepada Komite Nasional, artinya peranan
bantuan itu didalam bidang legislative hendak diperbesar.
Kekuasaan Presiden, menuut A.K. Pringgodigdo, dikatakan dictatorial.
Dengan adanya maklumat tersebut Presiden yang tadinya memiliki
kekuasaan mutlak maka harus dibagi dengan komite nasional pada tnggal 16
oktober 1945.
Untuk menghindari kesalah pahaman terhadap status dan fungsi Badan
Pekerja KNIP tersebut, pada 20 Oktober 1945 dikeluarkanlah penjelasan dri
Badan Pekerja, yang menyatakan sebagai berikut.
1. Turut menetapkan garis-garis besar haluan Negara
Ini be arti bahwa Badan Pekerja bersama-sama dengan Presiden menetapkan
garis-garis besar haluan negara. Badan Pekerja tidak berhak campur dalam
kebijaksanaan (dagelijks beleid) pemerintah sehari-hari. Ini tetap ditangan
Presiden semata-mata.
2. Menetapkan bersama-sama dengan Presiden undang-undang yang boleh
mengenai segala macam urusan pemerintah
Perubahan kedua yang terjadi dalam penyelenggaraan Negara ialah dengan
dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1946. Maklumat
Pemeritah ini, sebenarnya adalah suatu tindakan yang maksudnya akan
mengadakan pembaruan terhadap susunan cabinet yang ada. Dengan
Maklumat ini, diumumkanlah nama-nama dari mentri-mentri dalam susunan
kabinet yang baru.
Semula cabinet ialah dibawah pimpinan Presiden akan tetapi stelah terbitnya
maklumat tersebut kemudian menjadi dewan yang diketuai oleh
perdanamentri yang dipimpin oleh Sutan Syahrir.
Dalam hal yang terpenting menurut Joeniarto, di Indonesia telah terjadi
konstelasi ketatanegaraan. Jika semula UUD menganut sisim presidensil
dengan maklumat tersebut prinsip pertanggung jawaban mentri dengan
resmi diakui. Terjadi pergeseran kekuasaan eksekutif yang semula mentri
bertanggungjawab kepada presiden sekarang terhadap perdana mentri.
Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah tersebut bergeserlah
kekuasaan presiden dan mengubah sistim ketatanegaraan yang tadinya
presidensil menjadi parlementer. Perlu dikaji apa dasar hokum kedua
maklumat tersebut.
Mengenai perkembangan konstitusi tersebut menurut K.C. Wheare: Many
important changes in the working of a constitution occur without any
alteration in the rules of custom and convention. Dalam hubungan dengan
UUD 1945 prnyataan ini adalah benar. Perubahan yang radikal telah terjadi
tanpa suatu amandemen pada teks dari UUD sendiri.
Terhadap perkembangan ketatanegaraan Indonsia setelah lahirnya Maklumat
Wakil Presiden No. X, sebenarnya belumlah terjadi perubahan yang
fundamental karena maklumat itu hanya penegasan terhadap pasal IV
Aturan Peralihan UUD 1945. Hal ini sebenarnya tidak diatur didalam UUD
1945. Jadi, sebenarnya pertanggungjawaban Menti Negara kepada perdana
mentri merupakan penyimpangan terhadap UUD 1945 (Pasal 17 ). Hal ini
seharisnya tidak dapat terjadi tanpa melakukan perubahan terlebih dahulu
terhadap Pasal 17 UUD 1945.
Sampai saat ini terjadi perdebatan dikalangan akademisi entang dasar
hokum maklumat tersebut. Diantaranya, Ismail Suny berpendapat bahwa
dasar hukumMaklumat tersebut adalah kebiasaan atau convention.
Dengan cara kebiasaan politik itu maka pengaturan tanggungjawab mentri
dapat pula ditimbulkan dinegri kita. Lebih lanjut suny mengatakan sebagai
berikut.
Apabila convention itu terjadi, tentulah bentuk dan cara kerja
tanggungjawab mentri itu akan bersifat sementara. Jadi, sebenarnya
segala sifat sementara itu baru dapat hilang kalau DPR dan MPR telah
dibentuk oleh seluruh rakyat Indonesia dengan pemilihan umum.Maka
dari itu, segala perubahan pada masa sekarang yang bermaksud
menyempurnbakan susunan Negara Republik Indonesia walaupun
kelihatannya bertentnggan dengan UUD pantas kita sambut dengan
tenang hati.
Sementara Assat mempertahankan bahwa, perbuatan Badn Pekerja itu
dibenarkan Oleh Komite Nasional Pusat pada sidang III dengan persetujuan
Presiden maka kekeuatannya sama dengan Undang-Undang.
Tetapi pertanyaan tersebut mnimbulkan keganjilan karena pada saat itu kita
telah memilik UUD, mengapa persetujuan tersebut tidak di atur dalaam
perundangan sebgaiman telah diamanatkan oleh UUD 1945. Istilah
maklumat selain tidak dikkenal dalam UUD 1945 serta kedudukannya tidak
jelas apakah lebih tinggi dari UUd atau lebih rendah. Jika lebih rendah ia
tidak bias menagtur muatan materi yang terdapat dalam UUD dan
mengubahnya dan jika lebih tinggi, tidak mungkin karena perundang-
undangan terttinggi pada waktu itu ialah UUD 1945.
M. Yamin berpendapat bahwa kementerian yang bertanggunga jawab tidak
sesuai dengan UUD 1945 bahkan berlawanan dengan pasal 17 UUD 1945.
A.K Pringgidigdo mengomentari Assat bahwa ketentuan tersebut tidak benar
dengan mendasar pada convention sebagai aturan abru yang sengaja
diadakan. Sementara UUD telah mengatur cara-cara penbuatan Undang-
Undang melalui ketentuyan pasal 37. jika memang hal tersebut tidak diatur
maka convention dapat dibenarkan, tetapi kalau ada dalam UUD maka hal
itu menyalahi aturan. Jika hal ini dibiarkan maka UUD hanya dianggap
sekadar pelengkap, bias di kesampingkan dengan aturan lain.. perubahan
sesungguhnya harus dilakukan oleh MPR sebagaiman telah digariskan UUD.
Sesungguhnya dengan lahirnya Maklumat tesebut telah terjadi perubahan
terhadap pasal 17 UUD 1945, tanpa melalui prosedur perubahan menurut
pasal 37 UUD 1945.perubahan tersebut tidak diatur dalam UUD akan tetapi
dengan jalan istimewa seperti revolusi, coup detat, convention dan
sebagainya. Hal ini dalikukan karena pada saat itu keadaan dalam kondisi
darurat. Artinya, lembaa yang seharusnya dibentuk belun ada.
B. Perkembangan Konstitusi di Indonesia
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ada empat macam Undang-Undang
yang pernah berlaku, yaitu: (1).UUD 1945, yang berlaku antar 17 Agustus
1945-27 Desember 1939; (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat; (3) UUDS
1950, yang berlaku pada 17 Agustus 1950-5 Juli 1959; (4) UUD 1945, yang
berlaku setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli.
Dalam keempat periode tersebut, UUD 1945 berlaku selama dua kali.
Pertama diundangkan dalan Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. kedua,
melalui dekrit Presiden 5 Juli 1945. Perkembangan ketatanegaraan Indonesia
sejak Proklamasi dengan UUD dan Pancasila sebagai Falsafah Negara tidak
berjalan dengan mulus karena Beland selalu ingin menancapkan kembali
kekuasaannya.
Berbagai pengalaman pahit telah dialami bagngsa Indonesia, Belanda terus
mencecar dengan memaksakan agar mengatakan kepada dunia bahwa
Indonesia telah runtuh, kedaulatan telah hancur. Mereka juga secara terus
menerus membuat Negara di tubur RI yang diakui secara defacto dngan
persetujuan Linggarjati.
Pada tanggal 2 November 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar kemudian
dilakukan pengesahan pda tanggal 27 Desember 1949 tentang penyerahan
kedaulatan terhadap Indonesia. Dalam KMB terdapat tiga kesepakatan yaitu:
1. Mendirikan Republik Indonesia Serikat
2. Penyerahan Kedaulatan kepada RIS yang berisi tiga hal, yaitu; (a)piagam
penyerahan kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada pemerintah RIS; (b)
Status uni; (c) persetujuan perpindahan;
3. mendirikan uni antar Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.
Naskah Konstitusi RIS disusun bersama oleh delegasi REepublik Indonesia
dan delegasi bijeenkomst voor federal overleg (BFO) ke KMB. Delegasi
Indonesia dipimpin oleh Muhammad Roem dan Prof. Dr. Soepomo yang
terlibat dalam perumusan UUD. Kemudian naskah tersebut disepakati kedua
belah pihak untuk diberlakukan dan di Indoenesia dikenal dengan Konstitusi
RIS. Disampaikan kepada KNIP dan mendapat persetujuan pada tanggal 14
Desember 1949 kemudian dinyatakan berlaku pada 27 Desember 1949.
Negara RIS terdiri dari 16 negara bagian, tujuh Negara bagian dengan
wilayah menurutstatus quo yang tercantum dalam Perjanjian Renvile tanggal
17 Jnuari 1948, yaitu Indonesia Timur, Pasundan, Jawa Timur, Madura,
Sumatra Timur, dan Sumatra Selatan. Sembilan stuan kenegaraan yang
berdiri sendiri yaitu, Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat,
Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur.
Negara yang terpenting dan terluas ialah Negara Sumatra Timur, Negara
Sumatra Selatan, Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur,
Sat itu presiden pertama RIS ialah Ir. Soekarno dan Drs. Mh. Htta sebagai PM
pertama. Tokoh yang duduk dalam cabinet ini antara lain; dari pihak Republik
Sri Sultan HB IX, Ir. Djuanda, Mr. Wilopo, Prof. Dr. Soepomo, dr. Leimena,
Arnold Manunutu, Ir. Herling Loah, dan dari BFO yaitu Ide Anak Agung Gde
Agung dan Sultan Hamid II. Anggota cabinet sebagian besr mendukung
unitarisme hanya dri BFO ynag menginginkan Federal. Hal ini menyebabkan
gerakan pembubarab Negara Federal lebih kuat terutama karena hal
tersebut tidak berdasarkan landasan konsepsional.
Hasil dari KMB merupakan bukan cita-cita dari Rakyat Indonesia, hal ini tidak
sesuai dengan Proklamasi 17 Agustus 1945. menurut para Founding
Father KMB merupakan taktik untuk mencapai cita-cita rakyat dengan
menerima hasil tersebut lambat laun Indonesia akan mendapatkan
kedaulatan secara utuh, tanpa ikatan apapun.
Program utama cabinet Abdul Halim dari Negara bagian RI yaitu membentuk
Negara Kesatuan dengan mengadakan sentiment anti-KMB dan RIS, yang
sngat besar di Ygyakarta. Sehingga tidak sampai satu tahun tiga belas
Negara bergabung dengan RI (Yogyakarta). Usaha tersebut berhasil setelah
Negra Bagian Sumatra Timur dan Negara Bagian Indonesia Timur bergabung.
Dengan demikin tinggak stu Negara RI;RIS mengadakan persetujuan dengan
Negara RI untuk mewujudkan Negara Kesatuan dengan mengubah Konstitusi
Sementar RIS menjadi UUDS kemudian disusul dengan proklamasi
pemebentukan Negara Kesatuan RI oleh Presiden Soekarno dihadapan
sidang senat dan DPRS tanggal 15 Agustus 1950 di Jakarta. Hal tersebut
berdasarkan pasal 43 Konstitusi RIS yang berbunyi:
Dalam penyelesaian susuna federasi RIS maka berlakulah asa pedoman,
bahwa kehendak rakyatlah di daerah-daerahbersangkutan yang dinyatakan
dengan merdeka menurut jalan demokrasi, memutuskan status yang
kesudahannya akan diduduki oleh daerah-daerah tersebut dalm
federasi. Maka kembalilah Indonesia menjadi Negara Kesatuan atas
kehendak rakyat.
Dalam rangka terbentuknya kembali negara kesatuan maka perlu
menyaiapkan naskan UUD dn dibentuklah panitia yang akan menyusun
rancangannya. Setelah selesai UUD tersebut disahkan oleh KNIP tanggal 12
Agustus 1950 dan oleh DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat tanggal 14
Agustus 1950 dan mulai diberlakukan pada tanggal 17 Agustus 1950, yaitu
dengan ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1950. UUDS bersifat sementara
sehingga isinya tidak mencerminkan perubahan terhadap Konstitusi RIS
1949. tetapi menggantikan naskah Konstitusi RIS dengan nama Undang-
Undang Dasar Sementar 1950.
C. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
seperti halnya Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 ini juga bersifat sementara.
Hal ini terlihat jelas dalam rumusan Pasal 134, yang meharuskan
Konstituante bersama-sama dengan pemerintah segera menyusun Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikanb UUDS 1950 itu.
Akan tetapi, berbeda dari konstitusi RIS yang tidak sempat membentuk
Konstituante sebagai mana diamanatkan didalamnya,amanat UUDS 1950
telah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga pemilihan umum berhasil
diselenggarakan pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota
Konstituante. Pemilihan Umum ini diadakan berdasarkan ketentuan UU No.7
tahun 1953. Undang-undang ini berisi dua pasal. Pertama, berisi ketentuan
perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950; Kedua, berisi ketentuan
mengenai tanggal mulai berlakunya UUDS Tahun 1950 itu menggantikan
Konstitusi RIS, yaitu tanggal 17 Agustus 1950. atas dasar UU inilah diadakan
pemilu tahun 1955, yang menghasilkan terbentuknya Konstituante yang
diresmikan diBandung pada 10 November 1956.
Majlis Konstituante ini tidak atau beum berhasil, Presiden Soekarno
berkesimpulan Konstituante telah gagal. Ia mengeluarkan Dekrit tanggal 5
juli 1959 sebagai UUD Negara Republik Indonesia selanjutnya. Tindak
mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 menjadi kontroversi keputusan Presiden No.
150 Tahun 1959, dan isi dekrit yang memberlakukan membubarkan
konstituante; Sejak dikeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang,UUD
1945 Tterus berlaku dan diberlakukan sebagai hokum dasar.
Dekrit tersebut dikeluarkan dengan alasan:
1. bahwa anjuran Presiden dan pemerintah untuk kembali kepada UUD
1945, yang disampaikan kepada segenap Rakyat Indonesia dengan
Amanat Presiden pada 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan
dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam UUD Sementara;
2. bahwa berhubung dengan pernyataan sebagai terbesar Anggota-
anggota Sidang Pembuat UUD untuk tidak menghadiri lagi sidang,
Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang
dipercayakan oleh rakyat Indonesia;
3. bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan
yang menbahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan
Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai
masyarakat yang adil dan makmur;
4. bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakyat Indonesia dan
didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh
satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi;
5. bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni
1945 menjadi UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian
kesatuan dengan Konstitusi tersebut.
Dari perdebatan di Konstituante mengenai peraturan prosedur, disepakati
bahwa hanya Konstituante yang berwenang dalam membentuk UUD baru.
Sementara itu, peran pemerintah terbatas pada meresmikan dan
mengumumkan UUD yang dirancang dan ditetapkan oleh Konstituante.
Selain alas an procedural yang tidak konstitusional, alas an fundamental
yang menyebabkan para anggota Konstituante menolak diberlakukannya
kembali UUD 1945 karena adanya kekurangan dan kelemahan yang terdapat
dalam UUD 1945 itu sendiri, yakni: pertama, memberi porsi kekuasaan
terlampau besar kepada eksekutif, yang memungkinkan terwujudnya
pemerintahan dictator; kedua, kurang memberikan perlindungan terhadap
HAM dan hak-hak warga negara; ketiga, begitu banyak loop holes yang
terdapat dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945.
Mayoritas anggota Konstituante berpendirian bahwa andaikata UUD 1945
tetap akan diberlakukan kembali, mereka mengajukan persyaratan, yaitu
harus dilakukan serangkaian amandemen terhdap UUD 1945 ini. Mereka
mengantisipasi akan adanya bahaya diktatur apabila UUD 1945 diberlakukan
kembali secara begitu saja.
Ketika Kontituante memasuki reses pada Juni 1959, AH Nasution dengan
Angkatan Daratnya memperkeras tekanan terhadap partai-partai politik. AH
Nasution berhasil memperoleh jaminan dari PNI, PKI, dan NU bahwa mereka
tidak akan menentang Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945.
Tindakan partai-partai tersebut dengan berbagai alasan pragmatis bias
dimengerti, hanya saja sikap mereka itu kurang melihat jauh kedepan.
Sostem otoriter UUD 1945 bertentangan dengan partai-partai politik,
sebagaimana terbukti dalam perkembangan kemudian.
Menurut Daniel S. Lev, dibalik usul Nasution untuk kembali ke UUD 1945
terdapat beberapa pertimbangan, yakni: pertama, beberapa pasal didalam
UUD 1945 dapat ditafsirkan sedemikian rupa hingga memberi tempat bagi
prwakilan golongan-golongan fungsional; kedua, diberlakukannya UUD 1945
akan menghapus konstituate yang dianggap sebagai forum pertentangan
ideologis; ketiga, Pmbukaan UUD 1945 mengandung pemikiran
pancasila; keempat, banyak diantar perwira termasuk yang bergabung
dengan pemberontak, mendukung UUD dan diharapkan akan meyakinkan
perwira pemberontak bahwa wawasan Anggota Angkatan Darat yang
berbeda itu, akan mengakhiri pemberontakan.selain itu juga Nasution
mempertimbangkan dengan wewenag eksekutif Soekarno yang kuat dan
kepercayaan rakyat akan terpadu dalam diri satu orang.
Selanjutnya, Buyung mengungkapkan secara hokum pembubaran
Konstituante tidak abasah karena pemilihannya tidak langsung oleh rakyat
dan tidak dalam pemilu yang demokratis, dan mengenai tugas yang tidak
selesai juga tidak bias dijadikan alas an pembubaran.
Kembali kepada UUD 1945 merupakan awal runtuhnya Demokrasi, kemudian
Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin untuk memenuhi kepentingan
politik Soekarno dan tentara yang berwatak Otoriter. Tindakan Soekrno
disebut sebagai kudeta konstitusional. Suatu kesalahan besar yang
mennauhkan bangsa dari cita-cita Negara konstitusional.
D. Reformasi dan Peruybahan UUD 1945
Salah satu berkah Reformasi ialah perubahan UUD 1945. dari Orde Lama
dengan Demokrasi Terpimpin dan pengangkatan sebagai Presiden seumur
hidup dengan ketetapan MPR merupakan salah satu penyelewengan UUD
1945 dan Orde Baru hanya melahirkan system dictator dalam kepemimpinan
nagara.
Ketika Soerharto naik tahta, penyelewengan UUD 1945 kembali terulang.
UUD 1945 disakralkan hanya Pemerintah Orde Baru yang boleh menafsirkan
UUD, sementara MPR tinggal mengesahkan saja.dengan adanya berbagai
penyelewengan kemudian seluruh celah kekurangan UUD 1945 ditutupi
dengan bingkai yuridis berupa ketetapan MPR No.I/MPR/1978 tentang
Peraturan Tata Tertib MPR, yang berisi tekad anggota MPR yang tidak akan
merubah dan akan melaksanakan secara murnu dan konsekuen.
Hal ini sangat ironis, padahal Pasal 37 UUD 1945 memberikan aakan adanya
perubahan serta penyempurnaan. Tetapi dalam praktiknya di belokkan
melalui Ketetapan MPR No. I/MPR/1983 jo Tap MPR No. VII/MPR/1988 jo UU
No. 5 Tahun 1985 Tentang Referendum. Sejak terjadi Reformasi UUD
menjadi desakralisasi
Alasan perubahan UUD 1945 secara filosofis; pertama, karenaUUD 1945
adalahmoment opname dari brbagai kekuatan politik dan ekonomi yang
dominant pada saat dirumuskannya konstitusi itu. Setelah 54 tahun, tentu
terdapat berbagai perubahan, baik ditingkat nasional maupun global. Hal ini
tentu saja belum tercakup didalam UUD 1945 karena saat itu belum tampak
perubahan tersebut. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia yang sesuai
kodratnya tidak akan pernah sampai kepada tingkat kesempurnaan.
Pekerjaan yang dilakukan manusia tetapi memiliki berbagai kemungkinan
kelemahan mupun kekurangan.
Dari aspek histories, dari mulai pembuatannya UUD 1945 bersifat
sementara, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ir. Soekarno (Ketua PPKI),
dalam rapat pertama 18 Agustus 1945, yang mengatakan sebagai berikut.
tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar
yang kita buat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara.
Kalau boleh saya memakai perkataan ini adalah Undang-Undang Dasar
kilat, nanti kalau kita telah bernegara dalam susunan yang lebih
tentram, kia tentu akan mengumpulkan kembali MPR yang dapat
membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna
.
Seara yuridis, para perumus UUD 1945 sudah menunjukan kearifan bahwa
yang mereka lakukan ketika UUD 1945 disusun tentu akan berbeda
kondisinya dimasa yang akan datang dan mungkin suatu saat akan
mengalami perubahan. Baik dilihat dari sejarah penyusunan maupun sebagai
produk hokum yang mencerminkan pikiran dan kepentingan yang ada pada
saat itu, UUD akan aus dimakan masa apadila tidak diadakan pembaruan
sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat, bangsa, dan bernegara
dibidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.
Tidak ada ketentuan lain menyangkut perubahan UUD 1945 sebabtambahan
muncul kemudian, yaitu melalui interpretasi histories dan filosofis oleh
ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966, bahwa Pembukaan UUD 1945 dinyatakan
tidak dapat dirubah.
Dorongan memperbarui atau mengubah UUD 1945 didasarkan pula pada
kenyataan bahwa UUD 1945 sebagai subsistem tatanan konstitusi dalam
pelaksanaannya tidak berjalan sesuai dengan staatsidee mewujudkan
Negara berdasarkan konstitusi.
Secara substansip, UUD 1945 banyak sekali kelemahan.hal itu dapat
diketahui antara lain; pertama kekuasaan eksekuif terlalu besar tanpa
disertai oleh prinsip checks and balances yang memadai, sehingga UUD
1945 biasa disebut executive heavy, dan itu menguntungkan bagi siapa saja
yang menduduki jabatan Presiden. Menurut istilah Soepomo: concentration
of power and responsibility upon the president; kedua, rumusan ketentuan
UUD 1945 sebagian besar bersifat sangat sederhana, umum, bahkan tidak
jelas (vague) sehingga banyak pasal yang menimbulkan multi tafsir; ketiga,
unsure-unsur konstitusionalisme tidak dielaborasi secara memadai dalam
UUD 1945; keempat, UUd 1945 terlalu menekan kepada semangat
penyelenggara negara; kelima, UUD 1945 memberikan atribusi kewenangan
yang terlalu besar kepada Presiden unuk mengatur berbagai hal penting
dalam UU. Akibatnya, banyak UU yang substansinya hanya menguntungkan
si pembuatnya (Presiden dan DPR) ataupun saling bertentangan satu sama
lain. Keenam, banyak materi muatan yang penting justru diatur didalam
Penjelasan UUD, tetapi tidak tercantum didalam pasal-pasal UUD 1945.
Ketujuh, status dan materi Penjelasan UUD 1945. persoalan ini sering
menjadi objek perdebatan tentang status penjelasan karena banyak materi
Penjelasan yang tidak diatur didalam pasal-pasal UUD 1945.
Fraksi-fraksi di MPR menyepakati bahwa perubahan UUD 1945 tidak
menyangkut dan mengganggu eksistensi negara, tetapi dimaksudkan untuk
memperbaiki dan menyempurnakan penyelenggaraan Negara agar lebih
demokratis, seperti disempurnakannya sistem checks and balances dan
disempurnakannya pasal-pasal mengenai hak asasi manusia.
Ditengah proses pembahasan perubahan UUD 1945, PAH I menyusun
kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945. kesepakatan
dasar itu terdiri dari lima butir, yaitu:
1. tidak mengubah Pembukaan UUD1945;
2. tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. mempertegas system pemerintahan presidensial;
4. penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normative dalam
Penjelasan dimasukan kedalam pasal-pasal;
5. perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Pembukaan UUD 1945 memuat dasar filosofisdan dasar normative yang
mendasari seluruh pasal dalam UUD1945. Pembukaan UUD 1945
mengandung staatsideeberdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), tujuan (haluan) Negara, serta dasar negarayang harus tetap
diperhatikan.
Kesepakatan untuk tetapmempertahakan bentuk negara Indonesia, yakni
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesepakatan dasar untuk
mempertegas system pemerintahan presidensial bertujuan untuk
memperkukuh system pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut
oleh negara Republik Indonesia dan telah dipilih oleh pendiri negara pada
tahun 1945. dalam system ini terdapat lima prinsip penting, yaitu: (1)
Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggaraan
kekuasaan eksekutif negara yang teringgi dibawah Undang-Undang Dasar.
(2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsungan karena
itu secara politik tidak bertanggungjawab kepada Majlis Permusyawaratan
Rakyat atau lembaga parlemen, melainkan bertanggung jawab langsung
kepada rakyat yang memilihnya. (3) Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum apabila Presiden
dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi. (4)
Para mentri adalah pembantu Presiden. Mentri diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden dan karena itu bertanggungjawab kepada Presiden, bukan dan
tidak bertanggungjawab kepada parlemen. (5) Untuk membatasi kekuasaan
Presiden yang kedudukannya dalam sistem presidensial sangat kuat sesuai
kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintahan, ditentukan pula bahwa
masa jabatan presiden lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang
sama lebih dari dua masa jabatan.
Penjelasan UUD 1945 menjadi tidak relevan lagi setelah UUD 1945 diubah
sampai keempat kalinya. Dalam Aturan Tambahan Pasal II Perubahan
Keempat UUD 1945, yang menegaskan:
Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas
Pembukaan dan pasal-pasal.Peniadaan Penjelasan UUD 1945 dilakukan
untuk menghindari kesulitan dalam menentukan status Penjelasan dari sisi
sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangan.
Kesepakatan perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara adendum, yakni
perubahan UUD 1945 dilakukan dengan tetap mempertahankan naskah asli
UUD 1945 sebagaimana terdapat dalam Lembaran Negara No. 75 Tahun
1959 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan naskah perubahan-perubahan UUD
1945 diletakan melekat pada naskah asli.
Sejarah Ketatanegaraan Indonesia

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA


Makalah Pendidikan Kewarganegaraan

( Softskill )

Disusun Oleh :

Nama : Khoiriah

NPM : 13210889

Kelas : 2ea21
PENDAHULUAN

Perkembangan ketatanegaraan dapat di bagi menjadi beberapa periode,sejak masa Proklamasi

Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang. Walaupun sebenarnya tonggak ketatanegaraan

Indonesia telah ada jauh sebelum proklamasi. Secara formal, periode perkembangan ketatanegaraan

itu dapat dirinci sebagai berikut.

1. Periode berlakunya UUD 1945 ( Agustus 1945-27 Desember 1949 )

2. Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949-17 Agustus 1950 )

3. Periode berlakunya UUD 1950 (17 Agustus 1950-5 juli 1959 )

4. Periode berlakunya kembali UUD 1945 (5 juli 1959-Sekarang ).Pada periode ini pun terbagi menjadi

beberapa periode,yaitu :

a. Periode Order Lama ( 5 juli 1959-11 Maret 1966 )

b. periode Order Baru ( 11 Maret 1966-21 Mei 1998 )

5. Periode Reformasi (21 Mei 1998-Sekarang )

Untuk lebih jelasnya setiap periode akan diuraikan pada bab pembahasan

PEMBAHASAN
1. Periode Undang-Undang Dasar 1945

Bentuk negara Republik Indonesia pada kurun waktu 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember

1945 adalah Negara Kesatuan. Landasan yuridis negara kesatuan Indonesia antara lain sebagai

berikut .

a. Pembukaan UUD 1945 alinea 4, yang berbunyi:

... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ... Hal tersebut

menunjukan satu kesatuan bangsa Indonesia dan satu kesatuan wilayah Indonesia .

b . Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi :

Negara Republik Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Kata Kesatuan dalam

pasal tersebut menunjukkan bentuk negara, sedangkan Republik menunjukkan bentuk

pemerintahan.UUD 1945 tidak menganut teori pemisahan kekuasaan secara murni

Seperti yang diajarkan Montesquieu dalam ajaran Trias Politika.UUD 1945 lebih cenderung menganut

prinsip Pembagian Kekuasaan ( Distribution of Power ). Dalam prinsip Pembagian Kekuasaan antara

lembaga yang satu dengan yang lainnya masih dimungkingkan adanya kerja sama menjalankan tugas-

tugasnya.

Menurut UUD 1945, seperti yang telah di sebutkan di atas bahwa kekuasaan-kekuasaan

dalam negara di kelola oleh lima lembaga, yaitu .

a. Legislatif, yang dilakukan oleh DPR.

b. Eksekutif, yang di jalankan oleh presiden.

c. Konsultatif, yang dijalankan oleh DPA.

d. Eksaminatif (mengevaluasi ), kekuasaan inspektif ( mengontrol ), dan kekuasaan auditatif

(memeriksa ), yang di jalankan oleh BPK.


e. Yudikatif, yang dijalankan oleh Mahkamah Agung.

Namun, pembagian kekuasaan pada masa UUD 1945 kurun waktu 18 Agustus 1949 sampai dengan 27

Desember 1945 belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan belum trebentuknya

lembaga-lembaga negara seperti yang di kehendaki UUD 1945.

Seperti kita ketahui, pada kurun waktu itu Indonesia hanya ada presiden, wakil presiden, dan

menteri-menteri, serta KNIP. Oleh karena itu, sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai 16 oktober 1945

segala kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif ) dijalankan oleh satu badan atau lembaga, yaitu

presiden dibantu oleh KNIP. Jadi dapat dikatakan belum ada pembagian kekuasaan. Kekuasaan

presiden yang demikian luas itu berdasarkan Pasal IV aturan peralihan UUD 1945

Namun, setelah munculnya Maklumat Wakil Presiden No. X (baca: teks ) tanggal 16 oktober

1945, terjadi pembagian kekuasaan dalam dua badan, yaitu kekuasaan legislatif dijalankan oleh KNIP

dan kekuasaan-kekuasaan lainnya masih tetap di pegang oleh presiden sampai tanggal 14 November.

Dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, kekuasaan eksekutif

yang semula dijalankan oleh presiden beralih ke tangan perdana menteri sebagai konsekuensi dari

dibentuknya sistem pemerintahan parlementer.

Mengingat keadaan pada masa awal kemerdekaan negara kita masih berada masa peralihan

hukum pemerintahan, pelaksanaan ketatanegaraan seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 belum

dapat sepenuhnya dilasanakan. Namun, penjelasan UUD 1945 telah mengantisipasi keadaan itu.

Menurut Pasal IV Aturan peralihan, bahwa sebelum MPR, DPR , dan DPA di bentuk menurut UUD

1945, segala kekuasaan negara dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.

Namun dalam perkembangannya KNIP yang dibentuk itu menuntut kekuasaan legislatif

kepada pemerintah / presiden sehingga keluarlah Maklumat Wakil Presiden No. X, yang memberikan

kewenangan kepada KNIP untuk menjalankan

Kekuasaan legislatif ( DPR / MPR ).


Penyimpangan kekuasaan KNIP menjadi lembaga legislatif ( parlemen ) waktu itu

dimungkinkan setelah keluarnya Maklumat Pemerintah pada 14 November 1945, yang menyatakan

bahwa prinsip pertanggungjawaban menteri-menteri kepada KNIP secara resmi diakui. Akibatnya, di

bentuklah kabinet baru yang dipimpin oleh Sutan Syahrir ( sebagai Perdana Menterinya ).

2. Periode Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( RIS ) 1949

Menurut ketentuan pasal-pasal yang tercantum dalam Konstitusi RIS, sistem pemerintahan yang

dianut adalah sistem pemerintahan parlementer. Pada sistem ini, Kabinet bertanggung jawab

kepada parlemen ( Dewan Perwakilan Rakyat ), dan apabila pertanggungjawaban itu tidak diterima

oleh Dewan Perwakilam Rakyat maka dapat menyababkan bubarnya kabinet. Jadi, kedudukan

kabinet bergantung kepada DPR.

Sistem pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri pokok berikut ini.

a. Perdana menteri bersama para menteri baik secara bersama ataupun sendiri-sendiri bertangggung

jawab kepada parlemen.

b. Pembentukan kabinet didasarkan pada kekuatan-kekuatan yang ada dalam parlemen.

c. Para anggota kabinet mungkin seluruhnya atau sebagian mencerminkan kekuatan yang ada dalam

parlemen.

d. Kabinet dapat dijatuhkan setiap saat oleh parlemen dan sebaliknya kepala negara dengan saran

perdana menteri dapat memubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum.

e. Lamanya masa jabatan kabinet tidak dapat di tentukan dengan pasti.

f. Kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat atau di minta pertanggungjawaban atas

jalannya pemerintahan.
Dengan demikian, yang membedakan sistem pemerintahan presidensial dengan parlementer adalah

sebagai berikut.

a. Sistem pemerintahan presindensial yang menjadi kepala negara pasti seorang presiden, sedangkan

dalam pemerintahan parlementer yang menjadi kepada negara bisa presiden, raja, atau kaisar.

b. Sistem pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung jawab dan berada di bawah

pengawasan parlemen,sedangkan dalam sistem pemerintahan presindensial pemerintah tidak

bertnggung jawab kepada parlemen / DPR.

Sejarah sistem pemerintahan parlementer di Indonesia telah dimulai sejak periode berlakunya

Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama. Tepatnya sejak dikeluarkan Maklumat Pemerintah

tanggal 14 November 1945. Akibatnya, kekuasaan pemerintahan bergeser dari tangan presiden

kepada menteri atau menteri-menteri . setiap undang-undang yang dikeluarkan harus terdapat tanda

tangan menteri (contra seign ministry ). Dengan demikian, presiden tidak dapat di ganggu- gugat.

Oleh karena itu, yang bertanggung jawab dalam penetapan suatu undang-undang adalah para

menteri, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan Konstitusi RIS 1949, dapat di simpulkan bahwa Konstitusi

RIS 1949, dipengaruhi oleh Montesquieu, namun tidak menganut teori tersebut secara murni.

Konstitusi RIS 1949 menganut Pembagian Kekuasaan, sedangkan Montesquieu menganjurkan

Pemisahan kekuasaan. Selain itu, kekuasaan negara bukan hanya terbagi dalam tiga

kekuasaan/lembaga, tetapi terbagi dalam 6 lembaga negara.

Berikut ini keenam lembaga negara sebagai alat-alat perlengkapan federal RIS, yaitu sebagai

berikut.

a. Presiden.

b. Menteri-menteri.

c. Senat.
d. Dewan Perwakilan Rakyat.

e. Mahkamah Agung Indonesia

f. Dewan Pengawas keuangan.

Diantara badan-badan ( kekuasaan ) tersebut, terdapat hubungan yang bersifat kerja sama dan

pengawasan. Pembagian kekuasaan yang dimaksudkan itu adalah sebagai berikut.

a. Kekuasaan pembentukan perundang-undangan ( legislatif ) yang di jalankan oleh pemerintah

bersama-sama dengan DPR dan senat .

b. Kekuasaan melasanakan perundang-undangan atau pemerintahan negara (eksekutif ) yang

dilakukan oleh pemerintah.

c. Kekuasaan mengadili pelanggaran perundang-undangan (yudikatif oleh Mahkamah Agung ).

Menurut Konstitusi RIS 1949 bahwa kekuasaan pembentukan perundang-undangan federal

dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat terhadap undang-undang yang

isinya melibatkan beberapa negara/daerah bagian atau antara pemerintah federal dengan

negara/daerah bagian. Untuk undang-undang yang isinya di luar itu, cukup dilakukan oleh

pemerintah bersama-sama dengan DPR.

Oleh karena itu, agar suatu undang-undang mempunyai kekuatan mengikat maka harus disetujui

oleh DPR dan senat serta disahkan oleh pemerintah. Dalam hal pengesahan ini suatu undang-undang

selain ditandatangani oleh presiden juga ditandatangani oleh menteri yang bertanggung jawab

terhadap materi undang-undang tersebut.

Dengan demikian, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan senat dalam melaksanakan kekuasaan

legislatif harus bekerja sama, Demikian pula pemerintah, dalam melaksanakan kekuasaan

pemerintahan harus benar-benar memperhatikan suara Dewan Perwakilan Rakyat . jadi, dalam hal ini

antara pemerintahan dan DPR dan senat terdapat hubungan yang bersifat kerja sama.
Mahkamah Agung berfungsi sebagai penilai masalah penerapan atau pelanggaran hukum dan

peradilan tingkat kasasi. Kedudukan Mahkamah Agung sebagai pengadilan federasi tinggi yang

berwenang melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan, baik pengadilan federal

maupun pengadilan negara/daerah bagian. Di samping itu, Mahkamah Agung berhak memberi

nasihat kepada presiden yang berkenaan dengan pemberian grasi atau hukuman yang telah

dijatuhkan oleh pengadilan.

Konstitusi RIS yang bersifat liberal federalistik tidak sesuai dengan semangat Proklamasi

Kemerdekaan 17 agustus 1945, Pancasila, dan kepribadian bangsa Indonesia. Oleh karena

itu,muncullah berbagai reaksi dan unjuk rasa dari negara-negara bagian menuntut pembubaran

negara RIS dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas desakan itu maka tanggal 8

Maret 1950, Pemerintah Federal mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1950, yang

isinya mengatur tata cara perubahan susunan kenegaraan RIS. Dengan adanya undang-undang

tersebut hampir semua negara bagian RIS menggabungkan diri dengan negara Republik Indonesia

yang berpusat di Yogyakarta. Akhirnya, Negara RIS hanya memiliki tiga negara bagian, yaitu Negara

Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur.

Keadaan itu mendorong negara RIS berunding dengan RI untuk membentuk negara kesatuan. Pada

19 Mei 1950, dicapai kesepakatan membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

dituangkan dalam sebuah piagam persetujuan. Disebutkan pula bahwa Negara Kesatuan itu akan

berdasarkan undang-undang dasar baru yang merupakan gabungan unsur-unsur UUD 1945 dengan

Konstitusi RIS yang menghasilkan UUDS 1950. Negara Kesatuan RI secara resmi berdiri pada tanggal

17 Agustus 1950 dan Ir. Soekarno terpilih sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil

Presiden. Sejak saat itu pula pemerintah menjalankan pemerintahan dengan menggunakan UUDS

1950.

3. Periode UUDS 1950


Bentuk negara yang dianut Negara Indonesia pada masa berlakunya bentuk UUDS 1950 adalah

negara kesatuan. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 1 ayat 1 UUDS 1950 yang berbunyi, Republik

Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah negara hukum yang demokratis dan berbentuk

kesatuan.

Bentuk negara kesatuan merupakan kehendak rakyat Indonesia. Hal ini dikemukakan dalam UU No. 7

Tahun 1950. Selain itu, pada bagian Mukaddimah UUDS 1950 alinea 4 disebutkan : Maka demi ini

kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam Negara yang berbentuk Republik

Kesatuan...

Sistem pemerintahan yang dianut oleh UUDS 1950 adalah sistem pemerintahan parlementer. Dengan

demikian, sistem pemerintahan yang digunakan pada masa Konstitusi RIS 1949 masih dipertahankan

oleh UUDS 1950. Sebagai dasar hukum UUDS 1950 mengatur sistem pemerintahan parlementer,

dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan berikut ini.

Dalam pasal 45 disebutkan Presiden ialah Kepala Negara. Karena presiden sebagai kepala negara,

ia tidak dapat diminta pertanggung jawaban atas pelaksanaan pemerintahan. Pernyataan pasal 45

tersebut kemudian dipertegas oleh pasal 83 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :

(1) Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat;

(2) Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama

untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.

Berdasarkan pasal tersebut, jelaslah bahwa yang bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan

pemerintah adalah menteri-menteri. Menteri-menteri tersebut harus bertanggung jawab atas

kebijakannya kepada parlementer DPR.

Ketentuan lain yang menunjukkan bahwa UUDS 1950 menganut sistem pemerintahan parlementer

adalah pasal 84, yang berbunyi : Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.

Keputusan presiden yang menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan

pemilihan DPR baru dalam 30 hari.


Masa berlakunya UUDS 1950 diisi dengan jatuh bangunnya kabinet sehingga pemerintahan tidak

stabil. Hal tersebut disebabkan oleh hal-hal berikut.

a. Adanya sistem pemerintahan parlementer yang disertai sistem multipartai (banyak partai).

b. Perjuangan partai-partai politik hanya untuk berkepentingan golongan atau partainya.

c. Pelaksanaan sistem demokrasi yang tidak sehat.

Oleh karena itu, baik UUD RIS maupun UUD 1950 menggunakan Pancasila sebagai dasar negara

hanya dalam ketentuan formal, sedangkan jiwa kekeluargaannya belum mampu dilaksanakan secara

operasional.

Pada masa berlakunya UUDS 1950, kekuasaan-kekuasaan negara dipegang oleh beberapa alat

perlengkapan negara. Hal ini berarti kekuasaan dalam negara tidak dipegang atau dipusatkan pada

satu badan atau lembaga.

Berdasarkan Pasal 44 UUDS 1950, alat-alat perlengkapan negara adalah sebagai berikut :

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Menteri-menteri;

c. Dewan Perwakilan Rakyat;

d. Mahkamah Agung;

e. Dewan Pengawas Keuangan.

Sebagaimana undang-undang dasar sebelumnya, dalam UUDS 1950 pun menganut ajaran pembagian

kekuasaan. Hal ini terbukti dengan ditentukannya badan-badan yang memegang ketiga kekuasaan

tersebut.

a. Kekuasaan pemerintah negara (eksecutive power) dilakukan oleh dewan menteri.


b. Kekuasaan perundang-undangan (legislative power) dilakukan oleh pemerintah bersama-sama

dengan DPR.

c. Kekuasaan kehakiman (yudicative power) dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Sesuai dengan sistem parlementer yang dianut oleh UUDS 1950, kekuasaan pemerintah negara

(eksekutif) dilakukan sepenuhnya oleh dewan menteri sehingga kebijaksanaan pemerintah

dipertanggung jawabkan oleh dewan menteri kepada DPR. Namun, mereka juga harus

memperhatikan kebijaksanaan presiden/kepala negara. Begitu pula mengenai hal-hal yang penting

atau menyangkut kepentingan nasional, dewan menteri baik secara kolektif maupun sendiri-sendiri

berkewajiban memberitahukan kepada presiden.

Kekuasaan perundang-undangan (legislatif) dilakukan oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan

Rakyat, kecuali dalam perubahan undang-undang dasar. Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak

untuk mengajukan rancangan undang-undang. Selama masa berlakunya Undang-Undang Dasar

Sementara 1950, hak tersebut pernah digunakan oleh DPR sebanyak delapan kali. Dengan demikian,

pemerintah (presiden dan menteri-menteri) dan DPR harus bekerja sama dibidang legislatif karena

setiap undang-undang harus memperoleh persetujuan DPR dan pengesahan pemerintah.

Pengesahan pemerintah dilakukan dengan cara menandatangani undang-undang oleh presiden dan

menteri yang bersangkutan dengan menteri undang-undang. Jadi dapat dikatakan bahwa antara

pemerintah dan DPR terdapat hubungan yang bersifat kerja sama.

Bidang yudikatif sepenuhnya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Menurut pasal 105 ayat 1 dan 2

UUDS 1950. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi yang bertugas melakukan

pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan-pengadilan lain, berdasarkan aturan-aturan yang

ditetapkan dengan undang-undang. Di samping itu, Mahkamah Agung dapat memberi nasihat

kepada presiden berkenaan dengan pemberian grasi atas hukuman yang telah dijatuhkan oleh

pengadilan.
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, berlakulah kembali UUD 1945 sebagai

landasan konstitusional pemerintahan Republik Indonesia. Pada masa itu demokrasi liberal yang di

praktikkan pada masa berlakunya UUDS 1950 tidak dipergunakan sistem Demokrasi Terpimpin.

UUDS 1950 pun menganut sistem pemerintahan kabinet parlementer. Hal ini tampak jelas dari pasal

83 UUDS 1950 yang menyebutkan ketentuan sebagai berikut.

Ayat 1. Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.

Ayat 2. Menteri-menteri bertanggung jawab atas keseluruhan kebijaksanaan pemerintah, baik

bersama-sama untuk keseluruhan maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.

Kemudian pasal 84 UUDS 1950, menyatakan bahwa : Presiden berhak membubarkan Dewan

Perwakilan Rakyat, dengan ketentuan harus mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat baru

dalam 30 hari.

UUDS 1950 inipun bersifat sementara yang ditegaskan dalam pasal 134 bahwa, Konstituante

bersama-sama pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Sementara ini.

Badan Konstituate yang diserahi tugas membuat undang-undang dasar baru tetap tidak dapat

menjalankan tugasnya dengan baik. Keadaan ini memancing berkembangnya persaingan politik yang

membawa akibat luas dalam berbagai tata kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Situasi

gawat itu mendorong presiden mengajukan konsepsinya mengenai sistem Demokrasi Terpimpin

dalam rangka kembali ke UUD 1945. Konsepsi itu disampaikan didepan sidang pleno DPR hasil Pemilu

tahun 1955.

Perdebatan terus berlarut-larut tanpa menghasilkan suatu keputusan penting, sementara keadaan

negara semakin gawat dan tidak terkendali yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa negara

Indonesia. Keadaan itu mendorong Presiden Soekarno menggunakan wewenangnya, yakni dengan

mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang berisi :

a. Pembubaran Badan Konstituante;


b. Memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950;

c. Pembentukan MPR dan DPA sementara.

4. Periode Berlakunya Kembali UUD 1945

a. Periode Orde Lama (5 Juli 1959 11 Maret 1966)

Para pembentuk UUDS 1950 sejak semula menyebutkan bahwa UUD tersebut masih bersifat

sementara. Hal ini ditegaskan dalam pasal 134 yang berbunyi : Konstituante (Sidang Pembuat

Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD

Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini.

Mengingat UUDS 1950 masih bersifat sementara, maka harus ada UUD yang tetap yang akan

ditetapkan oleh Konstituate bersama-sama dengan pemerintah.

Berdasarkan UUDS 1950, pembentukan anggota-anggota Konstituate harus diperoleh melalui

pemilihan umum. Pemilihan umum untuk anggota Konstituante tersebut, baru dapat

diselenggarakan pada bulan Desember 1955. Pada 10 November 1956, sidang pertama konstituante

dibuka di Bandung oleh Presiden Soekarno. Pada saat itu Presiden Soekarno untuk kali pertama

memperkenalkan istilah Demokrasi Terpimpin.

Rakyat dan pemerintah sangat berharap Konstituante dapat membentuk UUD baru dengan segera.

Dengan munculnya UUD baru diharapkan dapat mengubah tatanan kehidupan politik yang dinilai

kurang baik.

Lebih dari dua tahun bersidang, Konstituante belum berhasil merumuskan rancangan UUD baru.

Ketika, itu perbedaan pendapat yang telah menjadi perdebatan didalam gedung Konstituante

mengenai dasar negara telah menjalar keluar gedung Konstituante, sehingga diperkirakan akan

menimbulkan ketegangan politik dan fisik di kalangan masyarakat.


Perdebatan-perdebatan dikalangan anggota Konstituate tentang dasar negara sulit untuk

diselesaikan. Sehubungan dengan itu, pada bulan Maret 1959 pemerintah memberikan keterangan

dalam sidang pleno DPR mengenai Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali kepada UUD 1945.

Perdana Menteri Djuanda menegaskan bahwa usaha untuk kembali kepada UUD 1945 itu harus

dilakukan secara konstituante untuk menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik

Indonesia.

Mengingat suhu politik yang semakin memanas, pada 22 April 1959 Presiden Soekarno

menyampaikan amanat kepada Konstituante. Amanat tersebut memuat anjuran kepala negara dan

pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Disamping itu, menegaskan pula pokok-pokok Demokrasi

Terpimpin, yaitu sebagai berikut.

1) Demokrasi Terpimpin bukanlah diktator, berlainan dengan Demokrasi Sentralisme dan berbeda pula

dengan Demokrasi Liberal yang dipraktikkan selama ini.

2) Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa

Indonesia.

3) Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang meliputi

bidang-bidang politik dan sosial.

4) Inti dari pimpinan dalam Demokrasi Terpimpin adalah pemusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan, bukan oleh penyiasatan dan perdebatan yang diakhiri dengan pengaduan kekuatan

dan perhitungan suara pro dan kontra.

5) Oposisi dalam arti melahirkan pendapat yang sehat dan yang membangun diharuskan dalam alam

Demokrasi Terpimpin.

6) Demokrasi Terpimpin merupakan alat, bukan tujuan.

7) Tujuan melaksanakan Demokrasi Terpimpin ialah mencapai sesuatu masyarakat yang adil dan

makmur, yang penuh dengan kebahagiaan materil dan spiritual, sesuai dengan cita-cita proklamasi 17

Agustus 1945.
8) Sebagai alat, Demokrasi Terpimpin mengenal juga kebebasan berpikir dan berbicara, tetapi dalam

batas-batas tertentu.

Pada dasarnya, saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat diterima oleh para anggota

Konstituate, namun dengan pandangan yang berbeda. Pertama, menerima saran untuk kembali

kepada UUD 1945 secara utuh. Kedua, menerima untuk kembali kepada UUD 1945 tetapi dengan

amandemen, yaitu sila ke satu Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 harus

diubah dengan sila ke satu Pancasila seperti tercantum dalam Piagam Jakarta. Adapun prosedur

untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana diputuskan oleh Kabinet Karya

adalah sebagai berikut :

1) Setelah terdapat kata sepakatantara Presdiden dan Dewan Menteri maka pemerintah minta supaya

diadakan sidang pleno Konstituante.

2) Atas nama pemerintah, disampaikan oleh presiden amanat berdasarkan pasal 134 Undang-Undang

Dasar Sementara 1950 kepada Konstituante yang berisi anjuran supaya Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia 1945 ditetapkan.

3) Jika anjuran itu diterima oleh Konstutuante, pemerintah atas ketentuan pasal 137 Undang-Undang

Dasar Sementara 1950 mengumumkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 itu dengan

keluhuran. Pengumuman dengan keluhuran itu dilakukan dengan suatu piagam yang ditanda tangani

dalam suatu sidang pleno Konstituante di Bandung oleh presiden, para menteri, dan para anggota

Konstituante, yang antara lain memuat Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945.

Setelah melalui berbagai macam usaha, Konstituante tidak dapat mengambil keputusan untuk

menerima anjuran tersebut. Hal ini sah-sah saja mengingat kewenangan untuk mempersiapkan dan

membentuk undang-undang dasar ada di tangan Konstituante, sedangkan pemerintah yang

melandaskan pada pasal 137 hanya berwenang mengesahkan dan mengumumkan.


Langkah yang dilakukan oleh pemerintah bisa dianggap sebagai bentuk intervensi kewenangan

dalam membentuk UUD. Berdasarkan kondisi itulah maka presiden mengeluarkan dekrit pada 5 Juli

1959 yang pada intinya menegaskan untuk kembali kepada UUD 1945 dan membubarkan

Konstituante.

Dengan Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan mengingat lembaga-lembaga negara belum lengkap

maka dilakukan beberapa langkah sebagai berikut.

1) Pembaruan susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960.

2) Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan Penetapan Presiden No. 4

Tahun 1960. Dalam Pasal ditentukan bahwa anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat

diberhentikan dengan Hormat dari jabatannya terhitung mulai tanggal pelantikan Dewan Perwakilan

Rakyat Gotong Royong oleh presiden.

3) Untuk melaksanakan Dekrit Presiden, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959

tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.

4) Penyusunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Penetapan Presiden No. 12 Tahun

1960.

5) Dikeluarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara.

Ditinjau dari aspek konstitusional, langkah-langkah penyusunan DPRGR dan MPRS yang dilakukan

dengan Penetapan Presiden jelas menyimpang dari UUD 1945 yang berlaku berdasarkan Dekrit

Presiden. Apalagi langkah seperti ini terlebih dahulu diawali dengan pembubaran Dewan Perwakilan

Rakyat hasil Pemilihan umum berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1953. Lain daripada itu,

dalam sistematika UUD 1945 produk hukum (perundang-undangan) yang berbentuk Penetapan

Presiden sama sekali tidak dikenal. Oleh sebab itu langkah-langkah yang diambil oleh presiden dalam

rangka melaksanakan Demokrasi Terpimpin dan kembali ke UUD 1945 justru merupakan langkah-

langkah yang menyalahi konstitusi. Bahkan dalam melakukan langkah-langkah ini presiden
melandaskan pada pasal IV aturan Peralihan UUUD 1945, juga masih belum dapat dikategorikan

bersifat konstitusional, sebab Dewan Perwakilan Rakyat sudah terbentuk melalui Pemilu tahun 1955.

Dengan demikian sejak berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959,

ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945 belum dapat dilaksanakan secara murni dan

konsekuen.

Banyak penyimpangan yang telah terjadi antara lain sebagai berikut.

1) Lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA belum dibentuk berdasarkan undang-undang.

Lembaga-lembaga negara ini masih bersifat sementara

2) Pengangkatan presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup melalui ketetapan MPRS No.

III/MPRS/1963. Ketetapan ini melanggar ketentuan pasal 7 UUD 1945 yang tegas-tegasnya

menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa 5 tahun, dan

sesudahnya dapat dipilih kembali.

Sejarah Indonesia mencatat bahwa penyimpangan-penyimpangan konstitutional ini mencapai

puncaknya dibidang politik dan peristiwa gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini masih menjadi

perdebatan sampai saat ini. Sejarah mengenai peristiwa gerajan 30 September 1965 masih

menyimpan berbagai misteri. Banyak ahli sejarah dan bahkan pelaku sejarah yang mencoba

melakukan penelusuran kembali, akan tetapi sayang banyak dokumen yang hilang.

Terlepas dari kebenaran dari masing-masing versi tersebut, yang jelas peristiwa 30 September

1965 telah menimbulkan kekacauan sosial budaya dan instabilitas pemerintahan serta meninggalkan

sejarah hitam dalam peta politik dan hukum ketatanegaraan Indonesia. Puncak dari peristiwa

seperti ini adalah jatuhnya legitimasi presiden Soekarno dalam memegang tampuk kekuasaan

negara. Letimasi itu semakin terpuruk dengan dikeluarkannya surat perintah 11 maret 1966

(Supesemar) yang pada hakikatnya merupakan perintah dan presiden kepada Letnan Jendral

Soeharto untuk mengambil segala tindakan dalam menjamin keamanan dan ketentraman serta

stabilitas jalannya pemerintahan. Keberadaan supersemar itu sendiri sampai sekarang masih

misterius. Bahkan, penerbitan surat perintah seperti ini juga masih memunculkan berbagai
kontroversi. Kemudian dengan ketetapan MPRS No. IX MPRS 1966, Surat Perintah 11 Maret 1966

dikukuhkan dengan masa berlaku sampai terbentuknya MPR RI hasil pemilihan umum yang akan

datang.

Oleh karena pemilihan umum yang sedianya akan diselenggarakan pada 5 Juli 1968 tertunda

sampai 5 Juli 1971 dan mengingat telah dikeluarkannya ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967

tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Tangan Presiden Soekarno. Demi

terciptanya kepimpinan nasional yang kuat dan terselenggaranya kestabilan politik, ekonomi dan

hankam dikeluarkanlah Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang pengangkatan pengemban

ketetapan majelis permusyawaratan rakyat sementara No. IX/MPRS/1966 sebagai presiden republik

Indonesia, yang antara lain menyatakan : Mengangkat jenderal Soeharto sebagai presiden republik

Indonesia sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum

b. Periode Orde Baru (11 Maret 21 Mei 1998)

Setelah turunnya Presiden Soekarno dari tampuk kepresidenan, maka berakhirlah orde lama.

Kepimpinan disahkan kepada jenderal Soeharto mulai memegang kendali pemerintahan dan

menanamkan era kepemimpinan sebagai orde baru. Diera ini konsentrasi penyelenggaraan sistem

pemerintahan dan kehisupan demokrasi menitikberatkan kepada aspek kestabilan politik dalam

rangka menunjang pembangunan nasional. Untuk mencapai titik tolak tersebut, dilakukanlah upaya-

upaya pembenahan sistem ketatatnegaraan dan format politik yang pada prinsipnya mempunyai

sejumlah sisi yang menonjol yaitu :

1) Adanya konsep dwi fungsi ABRI;

2) Pengutamaan Golongan Karya;

3) Magnifikasi kekuasaan ditangan eksekutif;

4) Diteruskannya sistem pengangkatan dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat;


5) Kebijaksanaan depolitisasi khususnya masyarakat pedesaan melalui konsep massa mengambang

(floating mass);

6) Kontrol atas kehidupan pers.

Konsep Dwi fungsi ABRI pada masa itu secara implisit sebenarnya sudah dikemukakan oleh kepala

staff angkatan darat, Mayjen A.H. Nasution, tahun 1958 yaitu dengan konsep jalan tengah.

Prinsipnya menegaskan bahwa peran tentara, tidak terbatas pada tugas profesional militer belaka,

melainkan juga mempunyai tugas-tugas dibidang sosial politik. Dengan konsep seperti inilah

dimungkinkan dan bahkan menjadi semacam kewajiban jikalau militrer berpartisipasi dibidang politik.

Penerapan konsepsi ini, menurut penafsiran militer dan penguasaan orde baru memperoleh landasan

urigis konstitusional didalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan Majelis Permusyawaratan

rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari

daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut keaturan yang ditetapkan dengan undang-undang

Dengan demikian dibidang politik militer (TNI/POLRI), memperoleh jatah dilembaga-lembaga

politik (DPR dan MPR) melalui proses penunjukkan dan pengangkatan. Artinya, militer secara

otomatis akan memperoleh jatah keanggotaan dilembaga-lembaga tersebut tanpa melalui proses

pemilihan umum. Kondisi seperti ini menunjukkan adanya paradigma ketatanegaraan yang tidak

lazim dikenal didalam negara demokrasi.

Dibidang kepartaian, pada 27 Februari 1970, presiden Soeharto mengadakan konsultasi dan

parpol-parpol guna membahas gagasan untuk mengelompokkan partai-partai politi yang ada.

Gagasan tersebut akhirnya diarealisasikan dalam pemilihan umum 1977. Pada pemilu tersebut

terdapat 3 kakuatan sosial politik, yaitu 2 partai politik (PDI dan PPP) dan satu Golkar. Keberadaan

ketiga kekuatan sosial politik ini kemudian diperkuat dengan keluarnya undang-undang no. 3 tahun

1975 tentang partai politik dan golongan karya. Dengan UU inilah dalam kurun waktu lebih kurang 32

tahun konstelasi politik Indonesia hanya membatasi adanya 2 partai politik dan Golkar sebagai

kekuatan sosial politik yang sah berhak hidup dinegara kesatuan republik Indonesia.
Sejarah menunjukkan bahwa dalam setiap pemilihan umum, yang diselenggarakan orde baru,

Golkar selalu berhasil menjadi single majority, dan setiap pemilihan presiden RI, Soeharto selalu

dapat terpilih kembali secara aklamasi kondisi semacam ini mengakibatkan adanya dua fenomena

ketatanegaraan indonesia. Pertama sistem ketatanegaraan yang di jalankan pada waktu itu lebih

menekankan pada kestabilan politik dan memang berhasil. Kedua, terjadi pemasungan hak-hak

politik bagi warga negara, khususnya dalam hal berserikat dan berkumpul untuk mengeluarkan

pendapat baik tertulis maupun lisan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa orde baru memang berhasil dalam mewujudkan stabilitas

politik. Pembangunan dapat berjalan secara bertahap berkelanjutan. Tingkat pertumbuhan ekonomi

rata-rata 7%. Indonesia telah mampu berswasembada pangan. Indikator-indikator inilah yang

dipergunakan untuk menilai keberhasilan orde baru. Akan tetapi, sebaliknya dilingkungan

infrastruktur politik, telah terjadi pembelengguan hak politik bagi warga negara. Puncak dari

kesadaran semacam ini adalah terjadinya garakan reformasi sebagai akibat adanya krisis multi

dimensional pada akhir 1997 dan awal 1998. Kemudian karena krisis multi dimensional tersebut tidak

dapat terselesaikan dengan segera diawali dengan terjadinya kerusuhan tanggal 13-14 Mei 1998

presiden soeharto meletakkan jabatannya pada 20 Mei 1998 dan digantikan oleh wakil presiden B.J

Habibie.

Penggantian jabatan tersebut menurut sementara pihak merupakan langkah

konstitusional,sebab pasal 8 UUD 1945 telah menagaskan bahwa jika presiden mangkar, berganti,

atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya,ia digantikan oleh wakil presiden

sampai habis waktunya. Namun dipihak yang lain, proses penggantian tersebut dianggap

inkonstitusional. Bagi pihak yang menganggap pergantian tersebut adalah inkonstitusional, dilandasi

oleh adanya anggapan bahwa proses pegantian tersebut tidak ditandai dengan penyerahan kembali

mandat yang diterima oleh Soeharto kepada MPR.

Dalam teori perundang-undangan dikenal adanya dua jenis Ketetapan MPR jika ditinjau dari

sifatnya, yaitu Ketetapan MPR yang bersifat perundang-undangan dan Ketetapan MPR yang bersifat

bukan perundang-undangan. Ketetapan MPR yang memberikan mandat presiden, pada hakikatnya
tidak dapat dikatagorikan bersifat perundang-undangan. Hal ini mengingat suatu produk hukum

disebut perundang-undangan, kalau bersifat dan mengikat umum. Ketetapan tersebut sifatnya

kongkrit, individual, dan final. Oleh sebab itu, ketetapan MPR yang mengangkat Soeharto sebagai

Presiden bisa dikatakan mirip dengan Ketetapan Tata Usaha Negara. Berdasarkan sifat seperti itulah,

peralihan Jabatan Presiden dari Soeharto kepada Wakil Presiden (B. J. Habibie) harus diawalin

dengan penyerahan mandat ( Ketetapan MPR ) terlebih dahulu. Pendek kata mandat sebagaimana

digariskan oleh Ketetapan MPR tidak dapat dialihkan begitu saja. Walaupun demikian, pemerintahan

tetap jalan dengan mengangkat B.J. Habibie sebagai Presiden RI ketiga.

5. Periode Reformasi

Setelah tumbangnya Orde Baru maka dimulailah pentahapan konsolidasi sistem demokrasi di

Indonesia. Konsolidasi tersebut antara lain adalah melakukan perubahan dan penggantian berbagai

peraturan perundang-undangan yang dirasa tidak memberikan ruang bagi kehidupan demokrasi dan

prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengalami

perubahan atau penggantian bahkan dihilangkan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia adalah

sebagai berikut.

a. Ketetapan MPR No,IV/MPR/1983 tentang Referendum.

b. Undang-Undang No. 5 tahun 1985 tentang Referendum.

c. Undang-Undang di bidang politik (UU Susduk MPR/DPR/DPRD,UU Pemilihan Umum, UU Partai

politik dan Golongan Karya ). Undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-undang No. 4

Tahun 1999 tentang Susduk MPR/DPR/DPRD, UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, dan UU

No.3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.

d. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan di Daerah, diganti dengan Undang-Undang

No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang sering disebut sebagai Undang-

undang tentang Otonomi Daerah.


Gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa Indonesia mencapai puncak dengan

mundurnya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan nasional pada 20 Mei 1998. Selama

Presiden Soeharto memegang tampuk kekuasaan pemerintahan negara dengan akulumasi tenggang

waktu lebih kurang 30 tahun, sistem pemerintahan Indonesia mengarah kepada supremasi eksekutif.

Artinya, kekuasaan Presiden RI telah merambah ke tiga cabang kekuasaan lain dan bahkan secara

politis cabang-cabang utama kekuasaan, seperti DPR dan MPR telah terkooptasi oleh kepentingan

dan kehendak presiden. Model supremasi eksekutif ini mengakibatkan langgam politik

ketatanegaraan Indonesia justru mengarah pada pola otoriterisme.

Kondisi semacam inilah yang mengakibatkan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan

menjadi lemah, sehingga kontrol terhadap pelaksanaan pemerintah menjadi tidak berjalan. Akibat

dari kesemuanya itu adalah krisis multidimensional yang dialami oleh Indonesia dipertengahan tahun

1997 tidak dapat tertanggulangi. Bahkan, keterpurukan moralitas penyelenggaraan negara melalui

apa yang disebut Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme ( KKN ) menjadi faktor pendukung utama

keterpurukan Indonesia di bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya.

Gerakan reformasi yang dikumandakan oleh mahasiswa Indonesia tersebut, sejatinya bukanlah

merupakan gerakan yamg berdiri sendiri. Gerakan ini pada hakikatnya merupakan imbas dari

gerakan-gerakan demokrasi yang berkembang di belahan dunia lain yang oleh samuel P. Huntington

dikatakan sebagai efek bola salju. Berkaitan dengan hal inilah. Samuel P.

Huntington mengemukakan bahwa proses demokratisasi pada umumnya melalui tiga periode, yakni

periode pengakhiran rezim non demokrasi, pengukuhan rezim demokrasi, dan pengkonsolidasian

sistem yang demokrasi.

Bertitik tolak dari gambaran tersebut, Reformasi Indonesia yang utama adalah menuju tatanan

kehidupan ketatanegaraan yang demokratis dapat dilihat dari ketiga periode sebagaimana

dikemukakan oleh Huntington. Ketiga periode yang dimaksud adalah pertama, pengakhiran rezim

nondemokratis, yakni ditandai dengan tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto sebagai akibat

ketidakmampuannya dalam mempertahankan legitimasi di hadapan masa rakyat dan mahasiswa.

Kedua, pengukuhan rezim demokratis yang ditandai dengan dilaksanakannya Pemilu tahun 1999
dengan sistem multipartai. Dalam pemilu ini telah dihasilkan DPR dan MPR dengan komposisi yang

relatif heterogen dan tidak ada satupun partai politik yang menduduki kursi mayoritas di kedua

lembaga tersebut. Dalam periode ini pula telah terpilih presiden dan wakil presiden yang memang

sejak semula dianggap demokratis dan populis, yakni Abdurrahman Gus Dur Wahid, sebagai

Presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden. Ketiga periode konsolidasi sistem

demokratis ditandai dengan adanya pembenahan struktur ketatanegaraan Indonesia, misalnya

dengan dibentuknya Paket UU dibidang Politik, UU No. 22 Tahun 1999 diganti dengan UU No. 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan yang paling penting adalah dilakukannya amandemen

terhadap UUD 1945 oleh MPR melalui Panitia Ad Hoc I MPR-RI. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa proses amandemen UUD 1945 merupakan sarana untuk melaksanakan konsolidasi sistem

demokrasi.

Didalam amandemen UUD 1945 tersebut, antara lain ditegaskan bahwa sistem Pemerintahan

Presidensial akan tetap dipertahankan dan bahkan diperkuat melalui mekanisme pemilihan presiden

dan wakil presiden secara Langsung. Terkait dengan penegasan sistem pemerintahan negara

Indonesia, pasal-pasal dari UUD 1945 yang terkait dengan hal tersebut dan telah diamandemen untuk

pertama kali adalah sebagai berikut.

a. Pasal 5 ayat 1 menegaskan Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan

Perwakilan Rakyat. Pasal ini dulunya berbunyi Presiden memegang kekuasaan membentuk

Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat". Pasal ini dulunya berbunyi

Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat.

b. Pasal 7 menegaskan : Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan yang selama lima tahun dan

sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Pasal ini merupakan bentuk perubahan yang sangat signifikan dari ketentuan yang sebelum

diamandemen yang menegaskan: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa

lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.


Perubahan ini dikatakan cukup signifikan karena sebelum pasal tersebut dilakukan

perubahan, pasal tersebut menjadi dasar konstitutional bagi Presiden Soeharto untuk dipilih

berulang kali sehingga total waktu yang dipergunakan oleh Presiden Soeharto untuk memangku

jabatan Presiden menjadi kurang lebih 30 tahun. Suatu akumulasi masa jabatan yang luar biasa

panjang.

c. Pasal 17 ayat 2 menyatakan : Menteri-menteri diangkat dan di berhentikan oleh Presiden.

d. Pasal 20 ayat 1 menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-

Undang.

Kendati Pasal-pasal UUD 1945 yang suda diamandemen tersebut memberikan indikasi

pelaksanaan sistem presidensial, tetapi dalam praktik penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia,

sistem presidensial ini masih belum dilaksanakan secara murni. Hal ini tampak jelas tertuang di dalam

Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Tata Cara Pencalonan dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

Republik Indonesia. Di dalam pasal 8 menyatakan sebagai berikut.

a. Fraksi dapat mengajukan seorang Presiden.

b. Calon presiden dapat juga dianjukan oleh sekurang-kurangnya tujuh puluh orang anggota Majelis

yang terdiri atas satu fraksi atau lebih.

c. Setiap anggota Majelis hanya boleh menggunakan salah satu cara pengajuan Calon Presiden

sebagaimana disebutkan dalam ayat 1 dan 2 pasal ini.

Dengan memperhatikan ketentuan seperti ini, tampak jelas bahwa pemilihan presiden tidak

dilakukan secara langsung, melainkan masih merupakan wewenang dari MPR melalui pengusulan

oleh anggota MPR maupun fraksi (sebagai perpanjang dari parpol peserta pemilu ). Ini berarti dalam

hal rekruitmen kepala pemerintahan masih tetap mempergunakan pola sistem parlementer.

Sistem pemerintahan parlementer ini semakin menunjukkan eksitensinya ketika Presiden

Abdurahaman gus Dur Wahid memperoleh memorandum I, II, dan III oleh DPR karena dianggap
terlibat dalam kasus penyelewengan dana Bulog dan bantuan dari sultan Brunei. Kasus ini disebut

sebagai kasus Buloggate dan Brunaigate.

Akhir dari konflik eksekutif dan legislatif ini mengakibatkan Presiden Gus Dur dilengserkan

oleh MPR melalui keputusan pada sidang Istimewa MPR tahun 2001. Perlu diketahui dalam sidang

tersebut Presiden Gus Dur tidak bersedia untuk hadir. Bahkan , Beliau berniat mengeluarkan suatu

Dekrit Presiden untuk memubarkan MPR dan DPR, dengan alasan menghadiri Sidang Istimewa

tersebut berarti bisa dianggap melanggar UUD 1945 mempergunakan sistem presidensial, bukan

parlementer.

Peristiwa ketatanegaraan tersebut, merupakan peristiwa yang kedua setelah Sidang

Istimewa MPRS pada tahun 1966 yang berakibat jatuhnya kekuasaan Presiden Soekarno dari tampuk

kepemimpinan nasional. Presiden gus Dur selanjutnya digantikan oleh Wakil Presiden, Megawati

Soekarnoputri. Kemudian, dalam sidang Tahunan MPR tahun 2001, Megawati Soekarnoputri diangkat

menjadi Presiden dan didampingin olehHamzah Haz sebagai Wakil presiden. Peristiwa-peristiwa

ketatanegaraan Indonesia semacam ini masih mengindikasikan bahwa sistem pemerintahan yang

dilaksanakan dalam praktik penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia adalah sistem parlementer.

Berdasarkan Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, didalam amandemen keempat UUD 1945

ditegaskan bahwa presiden dan wakil presiden, akan dipilih secara langsung oleh rakyat. Dia tidak

bertanggungjawab kepada Majelis ynag terdiri atas dua kamar, yakni Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Daerah. Konstruksi semacam ini telah menghentikan konflik ketatanegaraan yang

selama ini mewarnai sistem pemerintahan di Indonesia. Di dalam Pasal 6A UUD 1945, antar lain

ditegaskan sebagai berikut.

(1) Presiden dan wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

(2) Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai

politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

(3) Pasangan Colon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh persen dari

jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi
yang tesebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil

Presiden.

(4) Dalam hal tidak pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang

memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara

langsung dan pasangan yang mempeoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai pasangan presiden

dan Wakil Presiden.

(5) Tata Cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dengan undang-

undang.

Berdasarkan ketentuan tersebut, presiden dan wakil presiden tidak lagi bertanggungjawab

kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, melainkan bertanggungjawab secara langsung kepada

rakyat. Berkaitan dengan hal ini, pasal 3 Ayat 3 amandemen UUD 1945 menegaskan bahwa Majelis

Permusyawaratan rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

masa jabatannya menurut Undang-undang Dasar. Menurut Pasal 7 A UUD 1945, pemberhentian

presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat ini atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti melakukan

pelanggaran hukum yang berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana

berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai

presiden dan/atau wakil presiden.

Untuk mengusulkan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden tersebut, Dewan

Perwakilan Rakyat terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah konstitusi untuk

memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tentang adanya

indikasi perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh presiden dan/ atau wakil presiden.

Sehubungan dengan hal ini, Pasal 7B UUD 1945 secara lengkap menyatakan sebagai berikut.

(1) Usul Pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan

Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan

permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan mengutus pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran

hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,

atau perbuatan tercela dan/ atau pendapat bahwa Presiden dan/ atau Wakil presiden tidak lagi

memenuhi syarat sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden.

(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa presiden dan/ atau Wakil presiden telah melakukan

pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau

Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Pengajuan Permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat

dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat

yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota

Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap

pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat sembilan puluh hari setelah pemintaan

Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah konstitusi.

(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden terbukti

melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak

pindana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/ atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil

Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan

Rakyat menuyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Pemusyawaratan Rakyat.

(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan

Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat

menerima usul tersebut.

(7) Keputusab Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden harus diambil dalam rapat paripurna. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh

sekurang-kurangnya dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya dari jumlah
anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan

penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Berdasarkan mekanisme pertanggungjawaban tersebut, setelah UUD 1945 diamandemen, terdapat

perubahan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia yang cukup fundamental. Perubahan

tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut.

a. Sistem pemerintahan negara mempergunakan sistem presidensial murni.

b. Presiden dan/atau wakil presiden serta parlemen yang terdiri atas dua kamar dipilih langsung oleh

rakyat melalui pemilihan umum.

c. Di bidang politik, kedudukan presiden dan/atau wakil presiden serta parlemen sama-sama kuat.

Artinya antara kedua lembaga ini tidak bisa saling menjatuhkan.

d. Dikenal adanya lembaga peradilan konstitusi, yakni Mahkamah Konstitusi yang mempunyai

wewenang untuk melakukan impeachment kepada presiden dan/atau wakil presiden jikalau

ditengarai telah melakukan pelanggaran hukum berat. Hal ini berarti presiden dan/atau wakil

presiden hanya dapat dijatuhkan, jika melakukan perbuatan yang berkaitan dengan hal-hal yang

bersifat yuridis.

e. Pertanggungjawaban yang dibebankan kepada presiden dan/atau wakil presiden kepada parlemen

harus diawali dengan adanya pertanggungjawabkan hukum (yuridis). Adapun untuk

pertanggungjawaban politis merupakan konsekuensi logis, jika presiden dan/atau wakil presiden

telah melaksanakan pertanggungjawaban hukum tersebut. Hal ini berarti telah mengubah paradigma

yang selama ini mewarnai sistem pertanggungjawaban presiden dan/atau wakil presiden kepada

Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam paradigma lama, pertanggungjawaban presiden dan/atau

wakil presiden lebih menekankan pada pertanggungjawaban politis.


KESIMPULAN

Kurun waktu berlakunya UUD 1945 pertama (18 Agustus 1945 27 Desember 1949), yaitu

a. Bentuk Negara Kesatuan

b. Bentuk Pemerintahan Republik

c. Sistem Pemerintahan Kabinet Presidensial

Kurun waktu berlakunya Konstitusi RIS (27 Desember 1949 17 Agustus 1950), yaitu

a. Bentuk Negara Federasi atau Serikat

b. Bentuk Pemerintah Republik

c. Sistem Pemerintahan Kabinet Parlementer

Kurun Waktu Berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950 5 Juli 1959), yaitu

a. Bentuk Negara Kesatuan

b. Bentuk Pemerintahan Republik

c. Sistem Pemerintahan Kabinet Parlementer

Kurun waktu berlakunya UUD 1945 kedua (5 Juli 1959 Sekarang), yaitu

a. Orde Lama (5 Juli 1959 11 Maret 1966)

b. Orde Baru (11 Maret 1966 21 Mei 1998)

c. Reformasi (21 Mei 1998 Sekarang/

You might also like