Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesak napas adalah perasaan sulit bernapas yang terjadi ketika melakukan
aktivitas fisik. Sesak napas merupakan gejala dari beberapa penyakit dan dapat
bersifat akut atau kronis. Dispnea atau yang biasa disebut sesak napas merupakan
manifestasi penting untuk penyakit kardiopulmoner, selain itu dapat pula
ditemukan pada penyakit neurologic, metabolic, dan psikologik. Secara normal,
manusia dapat menderita dyspnea akibat aktivitas fisik yang berat, namun napas
akan kembali normal setelah istirahat selama beberapa menit. Dalam banyak
keadaan, dyspnea merupakan salah satu gejala dari kelainan-kelainan dalam
tubuh. Misalnya dyspnea pada penderita asma, COPD (Chronic Obstructive
Pulmonary Disease), pneumonia. Selain karena penyakit paru, dyspnea dapat juga
terjadi akibat kelainan di jantung, misal pada heart failure, congestive heart
disease.1
Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida
(PaCO2) dan pH yang adekuat yang menimbulkan masalah ventilasi difusi atau
perfusi. Kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran O2 dan
CO2 dalam jumlah yang dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan.1,2
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. SESAK NAPAS
1. Definisi
Sesak napas adalah perasaan sulit bernapas yang terjadi ketika melakukan
aktivitas fisik. Sesak napas merupakan gejala dari beberapa penyakit dan dapat
bersifat akut atau kronis.
2
forward dan feedback tidak cocok, maka terjadi sinyal error dan intensitas
dyspnea meningkat.
3. Klasifikasi
a) Dispnea akut dengan awal yang tiba-tiba merupakan penyebab umum
kunjungan ke ruang gawat darurat. Penyebab dyspnea akut diantaranya
penyakit pernapasan (paru-paru dan pernapasan), penyakit jantung atau
trauma dada.
b) Dyspnea kronis (menahun) dapat disebabkan oleh asma, Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK), emfisema, inflamasi paru-paru,tumor, kelainan
pita suara.
5. Pemeriksaan
a. Anamnesis
Dispnea merupakan sensasi sesak napas subjektif. Kepada semua
pasien dengan keluhan dispnea perlu ditanyakan:
sudah berapa lama menderita sesak napas?
apakah sesak napas terjadi secara tiba-tiba?
apakah sesak napas terjadi secara terus menerus?
apakah sesak napas terjadi pada waktu olahraga, waktu istirahat,
berbaring lurus, atau duduk?
3
apakah yang membuat sesak napas memburuk? Apa yang
meredakannya?
berapa banyak blok rumah dapat anda tempuh tanpa menglami
sesak napas? Berapa banyak yang dapat anda tempuh dalam 6
bulan yang lalu?
apakah disertai dengan wheezing, demam, batuk, batuk darah,
nyei dada, palpitasi, parau?
apakah anda merokok? jika ya, berapa banyak?sudah berapa
lama?
apakah anda terpapar asbes, semburan pasir, memelihara burung
merpati?
apakah anda pernah berhubungan dengan penderita
tuberkulosis?2
b. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi: Pasien yang tampak gelisah dengan napas yang cepat bisa
disebabkan oleh hipoksemia berat karena primer penyakit paru, jantung
atau anxiety attack. Otot bantu pernapasan di leher yang berkontraksi
menunjukkan obstruksi saluran napas yang cukup parah. Gerakan dada
yang asimetri juga harus diperiksa.
2) Palpasi: Pengembangan hemitoraks yang tidak simetris menunjukkan
adanya gangguan yang dapat disebabkan oleh obstruksi, pneumotoraks,
atau efusi pleura. Selain itu menurunnya fremitus taktil pada daerah
yang dipalpasi dapat menunujukkan bronkus yang tersumbat atau
adanya efusi pleura.
3) Perkusi: Jika terdengar suara redup/ dullness diatas batas paru hepar
dapat menunjukkan efusi pleura.
4) Auskultasi: Berkurangnya intensitas suara napas pada paru-paru
menunjukkan adanya obstruksi saluran napas. Bunyi tambahan seperti
ronkhi, wheezing, dan sebagainya juga harus diperhatikan karena
merupakan ciri khas dari penyakit tertentu.Selain itu keadaan jantung
4
dan hematologi juga harus diperiksa karena dapat menimbulkangejala
sesak napas juga.
6. Diagnosis Banding
Dispnea adalah konsekuensi penyimpangan dari fungsi normal sistem
kardiopulmoner. Perubahan pada sistem respirasi dapat terjadi pada
pengontrol(stimulasi pernapasan), pompa ventilasi(tulang dan otot yang
membentuk dinding dada, jalan napas, dan pleura), dan penukar udara(alveolus,
pembuluh darah vaskuler, dan parenkim paru). Perubahan pasa sistem
kardiovaskuler dapat digolongkan menjadi 3 kategori yaitu kondisi yg
berhubungan dengan cardiac output tinggi, normal, dan rengah.1
2) PemeriksaanFisik:
Kardiomegali, hepatomegali, edema paruakut, takikardia,
hipertensi, gallop bunyi jantung ketiga, peningkatan vena jugularis,
ronkipada basal paru, pitting edema.
3) PemeriksaanPenunjang:
Foto thorax PA (pembesaran jantung, distensi vena pulmonaris
dan redistribusinya ke apeks paru)
5
EKG (dapat ditemukan low voltage, T inversi, QS, depresi ST,
dan lain-lain.
b) Anemia berat:
Penderita datang dengan keadaan pucat.
1) Anamnesa:
Lemas, pucat, pusing, pandangan berkunang-kunang, demam,
takikardi, dan kemungkinan disertai dengan perdarahan.
2) PemeriksaanFisik:
Konjungtiva anemis, wajahpucat, hepato spleenomegali,
kardiomegali.
3) Pemeriksaan Penunjang:
Darah Lengkap (Hb turun)
c) Pneumonia:
Penyakit bersifat akut
1) Anamnesa:
Demam, batuk dengan sputum, sesak napas.
2) PemeriksaanFisik:
Ronki pada paru secara auskultasi, takikardia, takipnea, suhu<
30C atau> 40C
3) PemeriksaanPenunjang:
Thorax PA (gambaran infiltrat akut), leukositosis pada usia
lanjut
Pewarnaan gram sputum, kultur sputum, kultur darah,
pemeriksaan CPR, pemeriksaan serologi.
6
d) Pneumothorax:
Keadaan dimana paru kolaps karena adanya udara yang menekan.
1) Anamnesa:
Nyeri dada, bersifat akut, terlokalisir, dyspnoe, batuk, hemoptisis.
2) PemeriksaanFisik:
Gerakan dada pada saat bernapas berkurang, fremitus menghilang,
perkusi hipersonor, auskultasi melemah, deviasi trakea ke sisi
kontralateral.
3) PemeriksaanPenunjang:
Thorax PA (tepi luar pleura viseral terpisah dari pleura parietal
oleh ruangan lusen)
CT Scan thorax
e) Efusi Pleura:
Adanya cairan pada rongga pleura > 15 mL. Terbagi menjadi
Cylothorax dan Hematothorax.
1) Anamnesa:
Nyeri, sesak, demam, batuk.
2) PemeriksaanFisik:
Gerakan dada tertinggal, redup pada perkusi, Fremitus Taktil
menghilang, costo frenikus tumpul, auskultasi melemah, trakea
terdorong.
3) PemeriksaanPenunjang:
Thorax PA (sudut kosto frenikus tumpul bila> 500 mL cairan)
USG (untuk menentukan adanya dan lokasi cairan di rongga
pleura).
7
8
9
7. Sesak Napas pada Anak
a. Anamnesis
- Riwayat demam
- Terjadinya gejala: timbul secara perlahan/bertahap atau tiba-tiba
- Merupakan episode yang pernah terjadi sebelumnya
- Infeksi saluran pernapasan bagian atas
- Batuk: lamanya dalam hitungan hari
- Pernah mengalami tersedak sebelumnya
- Sudah ada sejak lahir atau didapat/tertular
- Riwayat Imunisasi: DPT, Campak
- Infeksi HIV yang diketahui
- Riwayat keluarga menderita asma.
b. Pemeriksaan Fisik
- Batuk: kualitas batuk
- Sianosis
- Distres pernapasan (respiratory distress)
- Merintih (grunting)
- Stridor, suara napas yang tidak normal
- Pernapasan cuping hidung (nasal flaring)
- Pembengkakan pada leher
- Ronki (crackles)
- Mengi (wheezing): menyeluruh atau fokal
- Suara napas menurun: menyeluruh (generalized) atau setempat (focal).
10
c. Diagnosis Banding
11
e. Deteksi gangguan napas pada neonatus
12
8. Alogaritma Evaluasi Pasien dengan Dispnea
13
10. Terapi Oksigen
14
Pemberian oksigen tidak kontinyu
- Selama latihan PaO2< 55 mmHg atau saturasi oksigen <88%
- Selama tidur: PaO2<55 mmHg atau saturassi oksigen <88% dengan
komplikasi seperti hipertensi pulmoner, somnolen, dan aritmia
Cara pemberian oksigen dibagi 2 jenis yaitu sistem arus rendah dan sistem
arus tinggi, keduanya masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Alat
oksigen arus rendah diantaranya kanul nasal, topeng oksigen, reservoir mask,
kateter transtracheal, dan simpel mask. Alat reservoir arus tinggi diantaranya
venturi mask dan reservoir nebulizer blenders.
15
dengan arus tinggi adalahb pasien dengan hipoksia yang memerlukan
pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal.
B. GAGAL NAPAS
2. Definisi
Gagal napas terjadi bila : 1). PO2 arterial (PaO2) <60 mmHg, atau 2).
PCO2 arterial (PaCO2) >45 mmHg, kecuali jika peningkatan PCO2 merupakan
kompensasi dari alkalosis metabolik. PaO2 <60 mmHg, yang berarti adanya gagal
napas hipoksemia, berlaku bila bernapas pada udara ruangan biasa (fraksi O2
inspirasi [F1O2] = 0,21), maupun saat mendapat oksigen. PaC02 > 45 mmHg
yang berarti suatu gagal napas hiperkapnia. Pengecualian terhadap angka di
atas terjadi pada keadaan asidosis metabolik. Tubuh pasien yang asidosis
metabolik secara fisiologis akan menurunkan PaCO2 sebagai kompensasi
terhadap pH darahyang rendah. Tetapi jika ditemukan PaCO2 meningkat
secara tidak norma, meskipun masih dibawah 45 mmHg pada keadaan asidosis
metabolik, hal ini dapat dianggap sebagai gagal napas tipe hiperkapnia.
16
3. Etiologi
Beberapa penyebab kelaianan gagal napas hiperkapnea antara lain:
a. Kerusakan pengaturan sentral
1) Struktural: stroke, perdarahan intrakranial, infiltrasi tumr
2) Keracunan obat: narkotika, benzodiazepine, barbiturat, alkohol
3) Gangguan napas saat tidur: obstructive sleep apnea, central sleep
apnea, pernapasan cheynes-stokes
b. Kelemahan neuromuskular
c. Trauma servikal, infiltrasi tumor
d. Keracuanan obat: obat-obat paralitik, aminoglikosida, racun organofosfat
e. Infeksi: butulisme, tetanus, poliomyelitis
f. Penyakit neuromuskuler: sindrome gullian-barre, miestenia gravis,
sclerotic aminotropic lateral, distrofi muskular
g. Kelelahan otot respirasi
h. Kelumpuhan saraf frenikus: bedah toraks, infiltrasi tumor mediastinum
i. Gangguan metabolisme: malnutrisi, hipofosfatemia, hipomagnesia,
hipokalsemia
17
j. Deformitas dinding dada: kifoskoliosis, pectus excavatum, flail chest,
sindrom hipoventilasi. Kegemukan
k. Distensi abdomen masif: asites, obesitas
l. Obstruksi jalan napas: tumor endobronkial, paralisis pita suara, obstructive
sleep apnea.
Beberapa penyebab gagal napas tipe hipoksemia antara lain:
a. Keterlibatan parenkim difus
b. Edema paru kardiogenik: gagal napas kongestif, stenosis mitral, overload
cairan
c. Edema paru non kardiogenik: ARDS, sindrom emboli lemak, edema paru
neurogenik, tenggelam(near drowning)
d. Pneumonia bilateral yang disebabkan oleh:
1) Bakteri: S. aureus, P. aeroginosa, legionella, H. influenzae,
mycoplasma
2) Virus: influenzae, CMV, varicella, adenovirus, RSV, parainfluenza
3) Parasit: pneumocystis carinii
e. Infiltratif: fibrosis paru, infiltratif tumor, reaksi sitotoksik obat
f. Lain-lain: reaksi tranfusi, apirasi isi lambung, trauma inhalasi dan salisilat
g. Keterlibatan parenkim: efusi pleura, atelektasis, pneumonia, trauma paru
h. Tanpa keterlibatan parenkim: pneumotoraks, emboli paru, pirau
intrakardial, asma, penyakit paru obstruksi kronis(PPOK)
i. Peningkatan kebutuhan metabolisme: sepsis, syok, excessive feeding.3
4. Klasifikasi Gagal Napas
a. Gagal Napas Hiperkapnea
Pasien dengan gagal napas hiperkapnia mempunyai kadar PCO2 arterial
(PaCO2) yang abnormal tinggi. Karena CO2 meningkat dalam ruang
alveolus, O2 tersisih di alveolus dan PaO2 arterial menurun. Maka pada
pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan hipoksemia bersama-sama,
kecuali bila udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Paru mungkin
normal atau tidak pada pasien dengan gagal napas hiperkapnia, terutama
jika penyakit utama mengenai bagian non parenkim paru seperti dinding
18
dada, otot pernapasan atau batang otak. Penyakit paru obstruktif kronik
yang parah tidak jarang menyebabkan gagal napas hiperkapnia. Pasien
dengan asma berat, fibrosis paru stadium akhir dan ARDS berat dapat
menunjukkan gagal napas hiperkapnia
1) Patofisiologi gagal napas hiperkapnia
Hipoventilasi alveolar
Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO2
dari proses metabolic setiap menit dan harus mengeliminasi sejumlah
CO2 tersebut dari kedua paru setiap menit. Jika keluaran semenit CO2
(VCO2) menukarkan CO2 ke ruang pertukaran gas di kedua paru,
sedangkan VA adalah volume udara yang dipertukarkan di alveolus
selama semenit (ventilasi alveolar), didapatkan rumus:
Ventilasi Semenit
Pada pasien dengan hipoventilasi alveolar, VA berkurang (dan
PaCO2 meningkat). Meskipun VA tidak dapat diukur secara langung,
jumlah total udara yang bergerak masuk dan keluar kedua paru setiap
menit dapat diukur dengan mudah. Ini didefinisikan sebagai minute
ventilation (ventilasi semenit, VE, L/men). Konsep fisiologis
menganggap bahwa VE merupakan penjumlahan dari VA (bagian dari
19
VE yang berpartisipasi dalam pertukaran gas) dan ventilasi ruang rugi
(dead spce ventilation, VD) :
VE = VA + VD VA = VE - VD
VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VE (L/men) x (1-VD/VT)
863
VD/VTmenunjukkan derajad insufisiensi ventilasi kedua paru.
Pada orang normal yang sedang istirahat sekitar 30% dari ventilasi
semenit tidak ikut berpartisipasi dalam pertukaran udara. Pada
kebanyakan penyakit paru proporsi VE yang tidak ikut pertukaran
udara meningkat, maka VD/VT meningkat juga.
20
menyebabkan hiperkapnia, tetapi normokapnia dengan peningkatan
VE.
2) Gambaran Klinis
Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf
pusat. Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat,
mekanismenya terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal
yang terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi
secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun
secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut.
Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama
sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat
sebagai kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH
yang rendah lebih berkorelasi dengan perubahan status mental dan
perubahan klinis lain daripada nilai PaCO2 mutlak.
Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala
hipoksemia. Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal,
pasien dengan hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang
meningkat atau menurun, tergantung pada penyakit dasar yang
menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea,
bradipnea, dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas
hiperkapnea.
Pasien dengan gagal napas hiperkapnea akut harus diperiksa
untuk menentukan mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal
napas hiperkapnea karena penyakit paru versus penyakit nonparu.
Pasien dengan penyakit paru seringkali menunjukkan hipoksemia
yang tidak sesuai dengan derajad hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai
menggunakan perbedaan PO2 alveolar-arterial. Tetapi pasien dengan
masalah nonparu dapat pula mempunyai hipoksemia sekunder
sebagai efek kelemahan neuromuscular (sebagai contoh) yang
mengakibatkan atelektasis atau pneumonia aspirasi. Kelainan pada
paru berhubungan dengan peningkatan VD/VT dan karenanya sering
21
menunjukkan peningkatan VE dan frekuensi pernapasan. Tetapi
pasien yang mengalami kelumpuhan otot pernapasan sering ditemui
takipneu. Efek dari hiperkapnea dan hipoksemia dapat menyamarkan
gangguan neurologis, pengobatan berlebih dengan sedative,
mixedema, atau trauma kepala.
22
terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya
curah jantung, anemia, syok septic atau keracunan karbon
monoksida, dimana PaO2 dapat meningkat atau normal.
Mekanisme hipoksemia
Penurunan PO2Alveolar
Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2,
PH2O, dan PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap
peningkatan pada PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2.
Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan PAO2, yang
menimbulkan penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan
dengan gas di ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila
disederhanakan menunjukkan hubungan antara PO2 dan PCO2
alveolar:
23
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2
R
FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah
tekanan barometric, dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan,
menunjukkan rasio steady-state CO2 memasuki dan O2 meninggalkan
ruang alveolar. Dalam praktek, PCO2 arteri digunakan sebagai nilai
perkiraan PCO2 alveolar (PaCO2). PAO2 berkurang bila PACO2
meningkat. Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia
(berkurangnya PaO2).
Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa
hipoksemia akan terjadi jika tekanan barometric total berkurang,
seperti pada ketinggian, atau bila FiO2 rendah (seperti saat seseorang
menghisap campuran gas dimana sebagian oksigen digantikan gas
lain). Hal ini juga akibat penurunan PO2. Pada hipoksemia, yang
terjadi hanya karena penurunan PaO2. Perbedaan PO2 alveolar -
arteri adalah normal pada hipoksemia karena hipoventilasi.
Pencampuran Vena (Venous Admixture)
24
terjadi karena: 1). Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru
atau lobus sedangkan aliran darah dipertahankan. 2). Penyakit
jantung congenital dengan defek septum. 3). ARDS, dimana dapat
terjadi edema paru yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar
sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat.
25
variasi pada resistensi jalan napas cenderung mendistribusikan
ventilasi secara tidak rata. Penyakit vascular paru seperti
tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi berubah. Petunjuk
akan adanya ketidaksesuaian V/Q adalah PaO2 dapat dinaikkan ke
nilai yang dapat ditoleransi secara mudah dengan pemberian oksigen
tambahan.
2) Gambaran Klinis
Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi
dari gambaran hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan.
Hipoksemia arterial meningkatkan ventilasi melalui stimulus
kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea,
dan biasanya hiperventilasi. Derajat respon ventilasi tergantung
kemampuan mendeteksi hipoksemia dan kemampuan sistem
pernapasan untuk merespon. Pada pasien yang fungsi glomus
26
karotikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi terhadap
hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas
distal, tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar
membrane mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung pada
konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi pasien.
27
5. Pemeriksaan
Pemeriksan yang diperlukan pada gagal napas antara lain:
a. Analisis gas darah dan kadar elektrolit
b. Rontgen toraks
c. Pemeriksaan darah lengkap: anemia bisa menyebabkan hipoksia jaringan,
polisitemia bisa menyebabkan gagal napas hipoksemia kronik
d. Fungsi ginjal dan hati: untuk mencari etiologi atau identifikasi komplikasi
yang berhubunbungan dengan gagal napas
e. Serum kreatinin dan troponin I: untuk menyingkirkan infark miokard akut
f. EKG dan ekokardiografi: jika gagal napas akut disebabkan oleh kardiak
g. Uji faal paru: sangat berguna untuk evaluasi gagal napas kronik.
28
3) Tujuan objektif sekunder untuk mengontrol PaCO2 dan asidosis
respiratorik
4) Obati penyakit yang mendasari
5) Penderia dengan kelainan meuromuskuler dimonitor dan diobati.
a. Dasar-dasar fisiologis terapi
Gagal napas hiperkapnea
Pada hiperkapnea berarti ada hipoventilasi alveolar, tatalaksana
suportif bertujuan memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga
diketahui dan diterapi penyakit yang mendasari. Kadang-kadang ventilasi
alveolar dapat ditingkatkan dengan mengusahakan tetap terbukanya jalan
napas yang efektif, bisa dengan penyedotan sekret, stimulasi batuk, drainase
postural. Atau dengan membuat jalan napas artifisial dengan selang
endotrakeal atau trakeostomi. Alat bantu napas mungkin diperlukan untuk
mencapai dan mempertahankan ventilasi alveolar yang normal sampai
masalah primer diperbaiki. Meskipun secara teoritis ventilator mekanik
dapat memperbaiki ventilasi sesuai yang diinginkan, namun pada pasien
dengan hiperkapnea kronik harus hati-hati dalam menurunkan hiperkapnia,
karena koreksi PaCO2 hingga batas normal pada kasus tersebut dapat
menyebabkan alkalosis yang berat dan mengancam nyawa karena sudah
terjadi kompensasi berupa peningkatan kadar bikarbonat serum.
Hipoksemia sering ditemukan pada gagal napas hiperkapnia,
terutama yang didasari oleh penyakit paru, dan pemberian oksigen tambahan
seringkali dibutuhkan. Tetapi pada beberapa pasien dengan hiperkapnia,
oksigen tambahan dapat berbahaya bila tidak dimonitor dan disesuaikan
secara hati-hati.
Pasien dengan gagal napas hiperkapnik karena overdosis obat sedatif
atau botulisme, dan kebanyakan pasien dengan trauma dada akan membaik
seiring dengan berjalannya waktu, dan penatalaksanaan bersifat suportif.
Penyakit primer yang membutuhkan terapi khusus ialah miastenia gravis,
kelainan elektrolit, penyakit paru obstruktif, obstructive sleep apnea, dan
miksedema.
29
Gagal Napas Hipoksemia
Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada semua
bagian paru (tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada posisi
dimana area paru yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat berada lebih
bawah dapat meningkatkan oksigenasi, hal ini karena adanya gaya
gravitasi. Pasien dengan hemoptisis berat atau sekretnya banyak tidak
boleh diposisikan seperti ini karena dapat terjadi aspirasi darah atau sekret
ke area yang belum terlibat. Pada pasien ARDS dengan edema paru
nonkardiogenik difus, dianjurkan dalam posisi pronasi (tengkurap), paru
akan jarang mengalami kolaps pada bagian yang tergantung. Selain itu
lebih sedikit area paru yang mendapat penekanan oleh jantung atau isi
abdomen.
b. Jalan napas
30
orofaring atau nasofaring karena penekanan kronik, kerusakan trakea (erosi,
trakeomalasia), gangguan respon batuk, risiko aspirasi meningkat, gangguan
fungsi mukosiliar, risiko infeksi meningkat, tak dapat berbicara,
meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan.
Keuntungan jalan napas artifisial ialah dapat melintasi obstruksi
jalan napas atas, menjadi jalur pemberian oksigen dan obat-obatan,
memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan
sekret, dan jalur untuk bronkoskopi fiberoptik.
Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah:
1) Secara fisiologis: hipoksemi menetap setelah pemberian oksigen, PCO2 >
55 mmHg dengan pH < 7,25, kapasitas vital < 15 mL/kg dengan penyakit
neuromuskular.
2) Secara klinis: perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan
napas, gangguan repirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik, obstruksi
jalan napas atas, sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan oleh
pasien dan membutuhkan penyedotan.
c. Oksigen
Besarnya oksigen tambahan yang diperlukan tergantung pada
mekanisme hipoksemi, tipe alat pemberi oksigen tergantung pada jumlah
oksigen yang diperlukan, potensi efek samping oksigen pada konsentrasi
yang berbeda-beda, dan ventilasi semenit pasien. Karena oksigen
konsentrasi tinggi merusak paru, harus diupayakan untuk meminimalkan
jumlah dan lama terapi oksigen.
d. Bronkodilator
Bronkodilator mempengaruhi langsung terhadap kontraksi otot
polos, tetapi beberapa mempunyai efek tidak langsung terhadap edema dan
inflamasi.
31
e. Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik
Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi
dibandingkan parenteral atau oral. Untuk efek bronkodilatasi yang sama,
efek sampingnya sangat berkurang, sehingga dosis yang lebih besar dan
lebih lama dapat diberikan. Peningkatan dosis dan frekuensi pemberian
sering kali dibutuhkan.
Pemilihan jenis obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan
pemberian dan efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol,
metaproterenol, terbutalin. Epinefrin tidak digunakan karena tidak spesifik
terhadap reseptor 2, juga tidak menunjukan kelebihan dalam mengatasi
bronkospasme. Agonis beta-adrenergik kerja lama (LABA), berguna untuk
penggunaan kronik seperti mencegah bronkospasme, tetapi tidak
direkomendasikan untuk serangan bronkospasme akut.
f. Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik (parasimpatolitik)
tergantung pada derajat tonus parasimpatis instrinsik. Antikolinergik
direkomendasikan terutama untuk bronkodilatasi pasien dengan bronkitis
kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu dikombinasikan
dengan agonis beta-adrenergik. Ipatropium bromide tersedia dalam bentuk
MDI (metered-dose-inhaler) atau larutan untuk nebulisasi. Efek samping
seperti takikardi, palpitasi dan retensi urin jarang terjadi.
g. Teofilin
Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis
beta-adrenergik. Mekanisme kerjanya melalui inhibisi kerja fosfodiesterase
pada siklik AMP (cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin,
stimulasi reseptor beta-adrenergik dan aktivitas anti-inflamasi. Efek
sampingnya antara lain takikardi, mual, muntah, aritmi, hipokalemi,
perubahan status mental dan kejang.
32
h. Kortikosteroid
Kortikosteroid berfungsi untuk menurunkan inflamasi jalan napas.
Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan
hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Kortikosteroid
inhalasi sangat jarang menimbulkan efek samping sistemik kecuali batuk
karena provokasi bronkospasme. Kortikosteroid yang lebih kuat mempunyai
efek samping jangka panjang pada pertumbuhan, osteoporosis dan
perkembangan katarak. Penggunaan kortikosteroid bersama-sama dengan
obat penghambat neuromuskular non-depolarisasi telah dihubungkan
dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan kesulitan
weaning.
Efek samping kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemi,
hipokalemi, retensi natrium dan air, miopati steroid akut, gangguan sistem
imun, kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal.
33
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pernapasan adekuat ditandai dada dan perut naik turun sirama dengan
pernapasan, penderita tampak nyaman, frekuensi cukup ( 12-20x/menit ). Sesak
napas adalah perasaan sulit bernapas yang terjadi ketika melakukan aktivitas fisik.
Sesak napas merupakan gejala dari beberapa penyakit dan dapat bersifat akut atau
kronis. Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida
(PaCO2) dan pH yang adekuat yang menimbulkan masalah ventilasi difusi atau
perfusi
34
DAFTAR PUSTAKA
35