You are on page 1of 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sesak napas adalah perasaan sulit bernapas yang terjadi ketika melakukan
aktivitas fisik. Sesak napas merupakan gejala dari beberapa penyakit dan dapat
bersifat akut atau kronis. Dispnea atau yang biasa disebut sesak napas merupakan
manifestasi penting untuk penyakit kardiopulmoner, selain itu dapat pula
ditemukan pada penyakit neurologic, metabolic, dan psikologik. Secara normal,
manusia dapat menderita dyspnea akibat aktivitas fisik yang berat, namun napas
akan kembali normal setelah istirahat selama beberapa menit. Dalam banyak
keadaan, dyspnea merupakan salah satu gejala dari kelainan-kelainan dalam
tubuh. Misalnya dyspnea pada penderita asma, COPD (Chronic Obstructive
Pulmonary Disease), pneumonia. Selain karena penyakit paru, dyspnea dapat juga
terjadi akibat kelainan di jantung, misal pada heart failure, congestive heart
disease.1
Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida
(PaCO2) dan pH yang adekuat yang menimbulkan masalah ventilasi difusi atau
perfusi. Kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran O2 dan
CO2 dalam jumlah yang dapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan.1,2

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. SESAK NAPAS
1. Definisi
Sesak napas adalah perasaan sulit bernapas yang terjadi ketika melakukan
aktivitas fisik. Sesak napas merupakan gejala dari beberapa penyakit dan dapat
bersifat akut atau kronis.

2. Mekanisme Sesak Napas


Sensasi respirasi adalah konsekuensi dari interaksi interaksi antara eferen,
atau pengeluaran, output motorik dari otak ke otot pernapasan(feed-forward) dan
aferen, atau pemasukan, input sensorik diseluruh tubuh(feedback), seperti proses
integrasi dari informasi ini yang diprediksi harus terjadi didalam otak.

Informasi aferen dari reseptor diseluruh sistem respirasi diproyeksikan


secara langsung ke korteks sensorik untuk mengkontribusika perasaan sensorik
kualitatif primer dan memberikan feedback pada aksi pompa ventilasi. Aferen
juga diproyeksikan ke area otak yang bertanggung jawab untuk mengontrol
ventilasi. Korteks motorik, berespon terhadap input dari pusat kontrol, mengirim
pesan neural ke otot pernapasan dan juga ke korteks sensorik. Jika pesan feed-

2
forward dan feedback tidak cocok, maka terjadi sinyal error dan intensitas
dyspnea meningkat.

3. Klasifikasi
a) Dispnea akut dengan awal yang tiba-tiba merupakan penyebab umum
kunjungan ke ruang gawat darurat. Penyebab dyspnea akut diantaranya
penyakit pernapasan (paru-paru dan pernapasan), penyakit jantung atau
trauma dada.
b) Dyspnea kronis (menahun) dapat disebabkan oleh asma, Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK), emfisema, inflamasi paru-paru,tumor, kelainan
pita suara.

4. Tingkatan/Derajat Sesak Napas

5. Pemeriksaan
a. Anamnesis
Dispnea merupakan sensasi sesak napas subjektif. Kepada semua
pasien dengan keluhan dispnea perlu ditanyakan:
sudah berapa lama menderita sesak napas?
apakah sesak napas terjadi secara tiba-tiba?
apakah sesak napas terjadi secara terus menerus?
apakah sesak napas terjadi pada waktu olahraga, waktu istirahat,
berbaring lurus, atau duduk?

3
apakah yang membuat sesak napas memburuk? Apa yang
meredakannya?
berapa banyak blok rumah dapat anda tempuh tanpa menglami
sesak napas? Berapa banyak yang dapat anda tempuh dalam 6
bulan yang lalu?
apakah disertai dengan wheezing, demam, batuk, batuk darah,
nyei dada, palpitasi, parau?
apakah anda merokok? jika ya, berapa banyak?sudah berapa
lama?
apakah anda terpapar asbes, semburan pasir, memelihara burung
merpati?
apakah anda pernah berhubungan dengan penderita
tuberkulosis?2

b. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi: Pasien yang tampak gelisah dengan napas yang cepat bisa
disebabkan oleh hipoksemia berat karena primer penyakit paru, jantung
atau anxiety attack. Otot bantu pernapasan di leher yang berkontraksi
menunjukkan obstruksi saluran napas yang cukup parah. Gerakan dada
yang asimetri juga harus diperiksa.
2) Palpasi: Pengembangan hemitoraks yang tidak simetris menunjukkan
adanya gangguan yang dapat disebabkan oleh obstruksi, pneumotoraks,
atau efusi pleura. Selain itu menurunnya fremitus taktil pada daerah
yang dipalpasi dapat menunujukkan bronkus yang tersumbat atau
adanya efusi pleura.
3) Perkusi: Jika terdengar suara redup/ dullness diatas batas paru hepar
dapat menunjukkan efusi pleura.
4) Auskultasi: Berkurangnya intensitas suara napas pada paru-paru
menunjukkan adanya obstruksi saluran napas. Bunyi tambahan seperti
ronkhi, wheezing, dan sebagainya juga harus diperhatikan karena
merupakan ciri khas dari penyakit tertentu.Selain itu keadaan jantung

4
dan hematologi juga harus diperiksa karena dapat menimbulkangejala
sesak napas juga.

6. Diagnosis Banding
Dispnea adalah konsekuensi penyimpangan dari fungsi normal sistem
kardiopulmoner. Perubahan pada sistem respirasi dapat terjadi pada
pengontrol(stimulasi pernapasan), pompa ventilasi(tulang dan otot yang
membentuk dinding dada, jalan napas, dan pleura), dan penukar udara(alveolus,
pembuluh darah vaskuler, dan parenkim paru). Perubahan pasa sistem
kardiovaskuler dapat digolongkan menjadi 3 kategori yaitu kondisi yg
berhubungan dengan cardiac output tinggi, normal, dan rengah.1

a) Gagal Jantung Kongestif :


Penderita datang dengan keadaan sesak napas berat, dan ekstremitas
bawah edema, biasanya perlu dibopong dengan keluarganya.
1) Anamnesa:
Dyspnoe d effort, orthopnoe, PND, batuk malam.

2) PemeriksaanFisik:
Kardiomegali, hepatomegali, edema paruakut, takikardia,
hipertensi, gallop bunyi jantung ketiga, peningkatan vena jugularis,
ronkipada basal paru, pitting edema.
3) PemeriksaanPenunjang:
Foto thorax PA (pembesaran jantung, distensi vena pulmonaris
dan redistribusinya ke apeks paru)

5
EKG (dapat ditemukan low voltage, T inversi, QS, depresi ST,
dan lain-lain.

b) Anemia berat:
Penderita datang dengan keadaan pucat.
1) Anamnesa:
Lemas, pucat, pusing, pandangan berkunang-kunang, demam,
takikardi, dan kemungkinan disertai dengan perdarahan.
2) PemeriksaanFisik:
Konjungtiva anemis, wajahpucat, hepato spleenomegali,
kardiomegali.
3) Pemeriksaan Penunjang:
Darah Lengkap (Hb turun)

c) Pneumonia:
Penyakit bersifat akut
1) Anamnesa:
Demam, batuk dengan sputum, sesak napas.
2) PemeriksaanFisik:
Ronki pada paru secara auskultasi, takikardia, takipnea, suhu<
30C atau> 40C
3) PemeriksaanPenunjang:
Thorax PA (gambaran infiltrat akut), leukositosis pada usia
lanjut
Pewarnaan gram sputum, kultur sputum, kultur darah,
pemeriksaan CPR, pemeriksaan serologi.

6
d) Pneumothorax:
Keadaan dimana paru kolaps karena adanya udara yang menekan.
1) Anamnesa:
Nyeri dada, bersifat akut, terlokalisir, dyspnoe, batuk, hemoptisis.
2) PemeriksaanFisik:
Gerakan dada pada saat bernapas berkurang, fremitus menghilang,
perkusi hipersonor, auskultasi melemah, deviasi trakea ke sisi
kontralateral.
3) PemeriksaanPenunjang:
Thorax PA (tepi luar pleura viseral terpisah dari pleura parietal
oleh ruangan lusen)
CT Scan thorax

e) Efusi Pleura:
Adanya cairan pada rongga pleura > 15 mL. Terbagi menjadi
Cylothorax dan Hematothorax.
1) Anamnesa:
Nyeri, sesak, demam, batuk.
2) PemeriksaanFisik:
Gerakan dada tertinggal, redup pada perkusi, Fremitus Taktil
menghilang, costo frenikus tumpul, auskultasi melemah, trakea
terdorong.
3) PemeriksaanPenunjang:
Thorax PA (sudut kosto frenikus tumpul bila> 500 mL cairan)
USG (untuk menentukan adanya dan lokasi cairan di rongga
pleura).

7
8
9
7. Sesak Napas pada Anak
a. Anamnesis
- Riwayat demam
- Terjadinya gejala: timbul secara perlahan/bertahap atau tiba-tiba
- Merupakan episode yang pernah terjadi sebelumnya
- Infeksi saluran pernapasan bagian atas
- Batuk: lamanya dalam hitungan hari
- Pernah mengalami tersedak sebelumnya
- Sudah ada sejak lahir atau didapat/tertular
- Riwayat Imunisasi: DPT, Campak
- Infeksi HIV yang diketahui
- Riwayat keluarga menderita asma.

b. Pemeriksaan Fisik
- Batuk: kualitas batuk
- Sianosis
- Distres pernapasan (respiratory distress)
- Merintih (grunting)
- Stridor, suara napas yang tidak normal
- Pernapasan cuping hidung (nasal flaring)
- Pembengkakan pada leher
- Ronki (crackles)
- Mengi (wheezing): menyeluruh atau fokal
- Suara napas menurun: menyeluruh (generalized) atau setempat (focal).

10
c. Diagnosis Banding

d. Takipnea berdasarkan WHO

11
e. Deteksi gangguan napas pada neonatus

12
8. Alogaritma Evaluasi Pasien dengan Dispnea

9. Tatalaksana Sesak Napas


Tujuan utama adalah untuk mengoreksi masalah yang mendasari dari
gejala tersebut. Pemberian O2 sebaiknya diberikan jika saturasi O2 saat istirahat
adalah 90% atau saturasi pesien jatuh ke level ini dengan aktivitas. Pasien dengan
PPOK, program rehabilitasi pulmoner memberika efek yang positif pada dyspnea,
kapasitas olahraga, dan rata-rata dari perawatan di rumah sakit.

13
10. Terapi Oksigen

Tujuan terapi oksiogen adalah mengoptimalkan oksigenasi jaringan dan


meminimalkan asidosis respiratorik. Oksigen harus diatur dalam jumlah yang
tepat, dan harus dievaluasi agar medapat manfaat terapi dan menghindari
toksisitas.

Indikasi Terapi Oksigen jangka Pendek

Indikasi yang sudah direkomendasi :

- Hipoksemia akut (PaO2< 60 mmHg; SaO2< 90%)


- Henti jantung dan henti napas
- Hipotensi ( tekanan darah sistolik <100mmHg)
- Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik ( bikarbonat <18mmol/L)
- Respiratory distress ( frekuensi pernapasan >24/min)

Indikasi yang masih dipertanyakan:


- Infark miokard tanpa komplikasi
- Sesak napas tanpa hipoksemia
- Krisis sel sabit
- Angina

Indikasi terapi Oksigen jangka Panjang


Pemberian oksigen secara kontinyu
- PaO2 istirahat <55 mmHg atau saturasi oksigen <88%
- PaO2 istirahat 56-59mmHg atau saturasi oksigen 89%pada salahsatu
keadaan:
1) Edema yang disebebkana karena CHF
2) P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P>3 mm pada lead II, III,
aVF)
- Eritrositemia (hematokrit >56%)
- Pa O2>59 mmHg atau saturasi oksigen >89%

14
Pemberian oksigen tidak kontinyu
- Selama latihan PaO2< 55 mmHg atau saturasi oksigen <88%
- Selama tidur: PaO2<55 mmHg atau saturassi oksigen <88% dengan
komplikasi seperti hipertensi pulmoner, somnolen, dan aritmia
Cara pemberian oksigen dibagi 2 jenis yaitu sistem arus rendah dan sistem
arus tinggi, keduanya masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Alat
oksigen arus rendah diantaranya kanul nasal, topeng oksigen, reservoir mask,
kateter transtracheal, dan simpel mask. Alat reservoir arus tinggi diantaranya
venturi mask dan reservoir nebulizer blenders.

Alat Pemberian Oksigen dengan Arus Rendah


Biasanya diogunakan kateter nasal dan kanul nasal. Kanul nasal arus
rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6/m, dengan FiO2
antara 0,24-0,44 (24-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan FiO2
secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkann mukosa membran
menjadi kering. Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah didesai
beberapa alat, diantaranya electronic demand devices, reservoir nasal canulas, dan
transtracheal cathethers, dan dibandinkan dengan kanul nasal konvensional, alat
tersebut lebih efektif dan efisien.

Alat pemberian Oksigen dengan Arus Tinggi


Alat oksigen dengan arus tinggi ddi antaranya Venturi mask dan Reservoir
Nebulizzer Blenders. Alat ventury mask menggunakan prinsip jet mixing. Jet
mixing masks, masks dengan arus tinggi, bermanfaat untuk mengirimkan secara
akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35%). Pada pasien dengan PPOK dan gagal
napas tipe II, bernapas dengan masks ini mengurangi risiko retensi CO2, dan
memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah
rebreathing diatasi melalui pendorongan dengan aurs tinggi tersebut. Sistem arus
tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40L/menit oksigen melalui mask, yang
umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi. Dengan penggunaan mask ini
tidak mempengaruhi FiO2. `Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen

15
dengan arus tinggi adalahb pasien dengan hipoksia yang memerlukan
pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal.

B. GAGAL NAPAS
2. Definisi

Gagal napas ialah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk


mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-
sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan tubuh normal. Secara sederhana,
peranan sistem pernapasan adalah mempertahankan PO2, PCO2, dan pH darah
arteri tetap normal. Gagal napas dapat diakibatkan kelaianan pada paru,
jantung, dinding dada, otot pernapasan, mekanisme pengendalian sentral
ventilasi medula oblongata.

Gagal napas terjadi bila : 1). PO2 arterial (PaO2) <60 mmHg, atau 2).
PCO2 arterial (PaCO2) >45 mmHg, kecuali jika peningkatan PCO2 merupakan
kompensasi dari alkalosis metabolik. PaO2 <60 mmHg, yang berarti adanya gagal
napas hipoksemia, berlaku bila bernapas pada udara ruangan biasa (fraksi O2
inspirasi [F1O2] = 0,21), maupun saat mendapat oksigen. PaC02 > 45 mmHg
yang berarti suatu gagal napas hiperkapnia. Pengecualian terhadap angka di
atas terjadi pada keadaan asidosis metabolik. Tubuh pasien yang asidosis
metabolik secara fisiologis akan menurunkan PaCO2 sebagai kompensasi
terhadap pH darahyang rendah. Tetapi jika ditemukan PaCO2 meningkat
secara tidak norma, meskipun masih dibawah 45 mmHg pada keadaan asidosis
metabolik, hal ini dapat dianggap sebagai gagal napas tipe hiperkapnia.

PO2 arteri 100 mmHg menunjukkan oksigenasi darah arteri yang


efisien. Fungsi pengeluaran/eliminasi CO2 yang efektif diperlihatkan dengan
kadar PCO2 arterial dibawah 40 mmHg, kadar ini harus pada status asam basa
normal.

16
3. Etiologi
Beberapa penyebab kelaianan gagal napas hiperkapnea antara lain:
a. Kerusakan pengaturan sentral
1) Struktural: stroke, perdarahan intrakranial, infiltrasi tumr
2) Keracunan obat: narkotika, benzodiazepine, barbiturat, alkohol
3) Gangguan napas saat tidur: obstructive sleep apnea, central sleep
apnea, pernapasan cheynes-stokes
b. Kelemahan neuromuskular
c. Trauma servikal, infiltrasi tumor
d. Keracuanan obat: obat-obat paralitik, aminoglikosida, racun organofosfat
e. Infeksi: butulisme, tetanus, poliomyelitis
f. Penyakit neuromuskuler: sindrome gullian-barre, miestenia gravis,
sclerotic aminotropic lateral, distrofi muskular
g. Kelelahan otot respirasi
h. Kelumpuhan saraf frenikus: bedah toraks, infiltrasi tumor mediastinum
i. Gangguan metabolisme: malnutrisi, hipofosfatemia, hipomagnesia,
hipokalsemia

17
j. Deformitas dinding dada: kifoskoliosis, pectus excavatum, flail chest,
sindrom hipoventilasi. Kegemukan
k. Distensi abdomen masif: asites, obesitas
l. Obstruksi jalan napas: tumor endobronkial, paralisis pita suara, obstructive
sleep apnea.
Beberapa penyebab gagal napas tipe hipoksemia antara lain:
a. Keterlibatan parenkim difus
b. Edema paru kardiogenik: gagal napas kongestif, stenosis mitral, overload
cairan
c. Edema paru non kardiogenik: ARDS, sindrom emboli lemak, edema paru
neurogenik, tenggelam(near drowning)
d. Pneumonia bilateral yang disebabkan oleh:
1) Bakteri: S. aureus, P. aeroginosa, legionella, H. influenzae,
mycoplasma
2) Virus: influenzae, CMV, varicella, adenovirus, RSV, parainfluenza
3) Parasit: pneumocystis carinii
e. Infiltratif: fibrosis paru, infiltratif tumor, reaksi sitotoksik obat
f. Lain-lain: reaksi tranfusi, apirasi isi lambung, trauma inhalasi dan salisilat
g. Keterlibatan parenkim: efusi pleura, atelektasis, pneumonia, trauma paru
h. Tanpa keterlibatan parenkim: pneumotoraks, emboli paru, pirau
intrakardial, asma, penyakit paru obstruksi kronis(PPOK)
i. Peningkatan kebutuhan metabolisme: sepsis, syok, excessive feeding.3
4. Klasifikasi Gagal Napas
a. Gagal Napas Hiperkapnea
Pasien dengan gagal napas hiperkapnia mempunyai kadar PCO2 arterial
(PaCO2) yang abnormal tinggi. Karena CO2 meningkat dalam ruang
alveolus, O2 tersisih di alveolus dan PaO2 arterial menurun. Maka pada
pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan hipoksemia bersama-sama,
kecuali bila udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Paru mungkin
normal atau tidak pada pasien dengan gagal napas hiperkapnia, terutama
jika penyakit utama mengenai bagian non parenkim paru seperti dinding

18
dada, otot pernapasan atau batang otak. Penyakit paru obstruktif kronik
yang parah tidak jarang menyebabkan gagal napas hiperkapnia. Pasien
dengan asma berat, fibrosis paru stadium akhir dan ARDS berat dapat
menunjukkan gagal napas hiperkapnia
1) Patofisiologi gagal napas hiperkapnia
Hipoventilasi alveolar
Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO2
dari proses metabolic setiap menit dan harus mengeliminasi sejumlah
CO2 tersebut dari kedua paru setiap menit. Jika keluaran semenit CO2
(VCO2) menukarkan CO2 ke ruang pertukaran gas di kedua paru,
sedangkan VA adalah volume udara yang dipertukarkan di alveolus
selama semenit (ventilasi alveolar), didapatkan rumus:

VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VA (L/men) x 1__


863
Untuk output CO2 yang konstan, hubungan antara PaCO2 dan
VA menggambarkan hiperbola ventilasi, dimana PaCO2 danVA
berhubungan terbalik. Jadi hiperkapnia selalu ekuivalen dengan
hipoventilasi alveolar, dan hipokapnia sinonim dengan hiperventilasi
alveolar. Karena ventilasi alveolar tidak dapat diukur, perkiraan
ventilasi alveolar hanya dapat dibuat dengan menggunakan PaCO2
rumus diatas.

Ventilasi Semenit
Pada pasien dengan hipoventilasi alveolar, VA berkurang (dan
PaCO2 meningkat). Meskipun VA tidak dapat diukur secara langung,
jumlah total udara yang bergerak masuk dan keluar kedua paru setiap
menit dapat diukur dengan mudah. Ini didefinisikan sebagai minute
ventilation (ventilasi semenit, VE, L/men). Konsep fisiologis
menganggap bahwa VE merupakan penjumlahan dari VA (bagian dari

19
VE yang berpartisipasi dalam pertukaran gas) dan ventilasi ruang rugi
(dead spce ventilation, VD) :

VE = VA + VD VA = VE - VD
VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VE (L/men) x (1-VD/VT)
863
VD/VTmenunjukkan derajad insufisiensi ventilasi kedua paru.
Pada orang normal yang sedang istirahat sekitar 30% dari ventilasi
semenit tidak ikut berpartisipasi dalam pertukaran udara. Pada
kebanyakan penyakit paru proporsi VE yang tidak ikut pertukaran
udara meningkat, maka VD/VT meningkat juga.

Hiperkapnia (hipoventilasi Alveolar) terjadi saat:


1. nilai VE dibawah normal.
2. nilai VE normal atau tinggi, tetapi rasio VD/VT meningkat.
3. nilai VE di bawah normal, dan rasio VD/VT meningkat.
Trakea dan saluran pernapasan menjadi penghantar
pergerakan udara dari dan ke dalam paru selama siklus pernapasan,
tetapi tidak ikut berpartisipasi pada pertukaran udara dengan darah
kapiler paru (difusi). Komponen ini merupakan ruang rugi anatomis.
Jalan napas buatan dan bagian dari sirkuit ventilator mekanik yang
dilalui udara inspirasi dan ekspirasi juga merupakan ruang rugi
anatomis. Pada pasien dengan penyakit paru, sebagian besar
peningkatan ruang rugi total terdiri dari ruang rugi fisiologis. Ruang
rugi fisiologis terjadi karena ventilasi regional melebihi jumlah aliran
darah regional (ventilation-perfusion [V/Q] mismatching). Walaupun
V/Q mismatching umumnya dianggap sebagai mekanisme
hipoksemia dan bukan hiperkapnia, secara teori V/Q mismatching
juga akan menyebabkan peningkatan PaCO2. Kenyataannnya dalam
hampir semua kasus, kecuali dengan V/Q mismatching yang berat,
hiperkapnia merangsang peningkatan ventilasi, mengembalikan
PaCO2 ke tingkat normal. Jadi V/Q mismatching umumnya tidak

20
menyebabkan hiperkapnia, tetapi normokapnia dengan peningkatan
VE.
2) Gambaran Klinis
Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf
pusat. Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat,
mekanismenya terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal
yang terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi
secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun
secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut.
Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama
sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat
sebagai kompensasi terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH
yang rendah lebih berkorelasi dengan perubahan status mental dan
perubahan klinis lain daripada nilai PaCO2 mutlak.
Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala
hipoksemia. Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal,
pasien dengan hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang
meningkat atau menurun, tergantung pada penyakit dasar yang
menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea,
bradipnea, dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas
hiperkapnea.
Pasien dengan gagal napas hiperkapnea akut harus diperiksa
untuk menentukan mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal
napas hiperkapnea karena penyakit paru versus penyakit nonparu.
Pasien dengan penyakit paru seringkali menunjukkan hipoksemia
yang tidak sesuai dengan derajad hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai
menggunakan perbedaan PO2 alveolar-arterial. Tetapi pasien dengan
masalah nonparu dapat pula mempunyai hipoksemia sekunder
sebagai efek kelemahan neuromuscular (sebagai contoh) yang
mengakibatkan atelektasis atau pneumonia aspirasi. Kelainan pada
paru berhubungan dengan peningkatan VD/VT dan karenanya sering

21
menunjukkan peningkatan VE dan frekuensi pernapasan. Tetapi
pasien yang mengalami kelumpuhan otot pernapasan sering ditemui
takipneu. Efek dari hiperkapnea dan hipoksemia dapat menyamarkan
gangguan neurologis, pengobatan berlebih dengan sedative,
mixedema, atau trauma kepala.

b. Gagal Napas Hipoksemia


Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal
napas hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO2 yang rendah
tetapi PaCO2 normal atau rendah. PaCO2 tersebut membedakannya dari
gagal napas hiperkapnia, yang masalah utamanya adalah hipoventilasi
alveolar. Selain pada lingkungan yang tidak biasa, dimana atmosfer
memiliki kadar oksigen yang sangat rendah, seperti pada ketinggian,
atau saat oksigen digantikan oleh udara lain, gagal napas hipoksemia
menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau
sirkulasi paru. Contoh klinis yang umum menunjukkan hipoksemia
tanpa peningkatan PaCO2 ialah pneumonia, aspirasi isi lambung, emboli
paru, asma, dan ARDS.

1) Patofisiologi gagal napas hipoksemia


Hipoksemia dan hipoksia
Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam
darah arteri (PaO2) dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2
pada kapiler, vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai
untuk menekankan rendahnya kadar O2 darah atau berkurangnya
saturasi oksigen di dalam hemoglobin.

Hipoksia berarti penurunan penyampaian (delivery) O2 ke


jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2 ke jaringan.
Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula

22
terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya
curah jantung, anemia, syok septic atau keracunan karbon
monoksida, dimana PaO2 dapat meningkat atau normal.

Mekanisme hipoksemia

Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan


utama, yaitu 1) berkurangnya PO2 alveolar dan 2) meningkatnya
pengaruh campuran darah vena (venous admixture). Jika darah vena
yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan
oksigen selama perjalanan di pembuluh darah paru, maka darah yang
keluar di arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan
parsial oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. PO2 darah
vena sistemik (PVO2) menentukan batas bawah PaO2. Bila semua
darah vena yang bersaturasi rendah melalui sirkulasi paru dan
mencapai keseimbangan dengan gas di rongga alveolar, maka PO2 =
PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan batas atas PO2 arteri.
Semua nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2.

Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO2


alveolar, atau peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah
yang bercampur dengan darah kapiler pulmonal (campuran vena).

Penurunan PO2Alveolar
Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2,
PH2O, dan PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap
peningkatan pada PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2.
Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan PAO2, yang
menimbulkan penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan
dengan gas di ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila
disederhanakan menunjukkan hubungan antara PO2 dan PCO2
alveolar:

23
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2
R
FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah
tekanan barometric, dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan,
menunjukkan rasio steady-state CO2 memasuki dan O2 meninggalkan
ruang alveolar. Dalam praktek, PCO2 arteri digunakan sebagai nilai
perkiraan PCO2 alveolar (PaCO2). PAO2 berkurang bila PACO2
meningkat. Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia
(berkurangnya PaO2).
Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa
hipoksemia akan terjadi jika tekanan barometric total berkurang,
seperti pada ketinggian, atau bila FiO2 rendah (seperti saat seseorang
menghisap campuran gas dimana sebagian oksigen digantikan gas
lain). Hal ini juga akibat penurunan PO2. Pada hipoksemia, yang
terjadi hanya karena penurunan PaO2. Perbedaan PO2 alveolar -
arteri adalah normal pada hipoksemia karena hipoventilasi.
Pencampuran Vena (Venous Admixture)

Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami


deoksigenasi, yang mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh
paparan gas alveolar. Perbedaan PO2 alveolar arterial meningkat
dalam keadaan hipoksemia karena peningkatan pencampuran darah
vena. Dalam pernapasan udara ruangan, perbedaan PO2 alveolar
arterial normalnya sekitar 10 dan 20 mmHg, meningkat dengan usia
dan saat subyek berada pada posisi tegak.

Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya


pencampuran vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-
to-left-shunt). Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus,
bercampur dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah
percampuran arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru
dengan PO2 diantara PAO2 dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat

24
terjadi karena: 1). Kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru
atau lobus sedangkan aliran darah dipertahankan. 2). Penyakit
jantung congenital dengan defek septum. 3). ARDS, dimana dapat
terjadi edema paru yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar
sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat.

Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri ialah: 1). Hipoksemia


berat dalam pernapasan udara ruangan. 2). Hanya sedikit
peningkatan PaO2 jika diberikan tambahan oksigen. 3). Dibutuhkan
FiO2 > 0,6 untuk mencapai PaO2 yang diinginkan. 4). PaO2 < 550
mmHg saat mendapat O2 100%. Jika PaO2 < 550 mmHg saat
bernapas dengan O2 100% maka dikatakan terjadi pirau kanan ke
kiri.

Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi (ventilation-perfusion


mismatching = V/Q mismatching)

Merupakan penyebab hipoksemia tersering, terjadi


ketidaksesuaian ventilasi-perfusi. Ketidaksesuaian ini bukan
disebabkan karena darah vena tidak melintasi daerah paru yang
mendapat ventilasi seperti yang terjadi pada pirau kanan ke kiri.
Sebaliknya beberapa area di paru mendapat ventilasi yang kurang
dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke area-area
tersebut. Disisi lain, beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi
berlebih dibandingkan aliran darah regional yang relative sedikit.

Darah yang melalui kapiler paru di area yang hipoventilasi


relatif, akan kurang mendapat oksigen dibandingkan keadaan
normal. Hal tersebut menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek
ketidaksesuaian V/Q terhadap pertukaran gas antara kapiler-alveolus
seringkali kompleks. Contoh dari penyakit paru yang merubah
distribusi ventilasi atau aliran darah sehingga terjadi ketidaksesuaian
V/Q adalah: Asma dan penyakit paru obstruktif kronik lain, dimana

25
variasi pada resistensi jalan napas cenderung mendistribusikan
ventilasi secara tidak rata. Penyakit vascular paru seperti
tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi berubah. Petunjuk
akan adanya ketidaksesuaian V/Q adalah PaO2 dapat dinaikkan ke
nilai yang dapat ditoleransi secara mudah dengan pemberian oksigen
tambahan.

Keterbatasan Difusi (diffusion limitation)

Keterbatasan difusi O2 merupakan penyebab hipoksemia


yang jarang. Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam
keadaan normal, terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah
vena yang melintasi kedua paru untuk mendapatkan keseimbangan
gas dengan alveolus. Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler
paru mengalir terlalu cepat sehingga tidak cukup waktu bagi PO2
kapiler paru untuk mengalami kesetimbangan dengan PO2 alveolus.
Keterbatasan difusi akan menyebabkan hipoksemia bila PAO2 sangat
rendah sehingga difusi oksigen melalui membrane alveolar-kapiler
melambat atau jika waktu transit darah kapiler paru sangat pendek.
Beberapa keadaan dimana keterbatasan difusi untuk transfer oksigen
dianggap sebagai penyebab utama hipoksemia ialah: penyakit
vaskuler paru; pulmonary alveolar proteinosis, keadaan dimana
ruang alveolar diisi cairan mengandung protein dan lipid.

2) Gambaran Klinis
Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi
dari gambaran hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan.
Hipoksemia arterial meningkatkan ventilasi melalui stimulus
kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea,
dan biasanya hiperventilasi. Derajat respon ventilasi tergantung
kemampuan mendeteksi hipoksemia dan kemampuan sistem
pernapasan untuk merespon. Pada pasien yang fungsi glomus

26
karotikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi terhadap
hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas
distal, tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar
membrane mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung pada
konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi pasien.

Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan


oksigen ke jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia
menyebabkan pergeseran metabolisme ke arah anaerobik disertai
pembentukan asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah
selanjutnya akan merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan
dapat menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan
kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat
menyebabkan perubahan status mental yang lebih lanjut, seperti
somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen.
Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan
terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti
hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan
bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia
miokard, infark, aritmia dan gagal jantung.

Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika


ada gangguan hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery).
Pasien dengan curah jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan
sirkulasi dapat diramalkan akan mengalami hipoksia jaringan global
dan regional pada hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien
syok hipovolemik yang menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat
pada hipoksemia arterial ringan.

27
5. Pemeriksaan
Pemeriksan yang diperlukan pada gagal napas antara lain:
a. Analisis gas darah dan kadar elektrolit
b. Rontgen toraks
c. Pemeriksaan darah lengkap: anemia bisa menyebabkan hipoksia jaringan,
polisitemia bisa menyebabkan gagal napas hipoksemia kronik
d. Fungsi ginjal dan hati: untuk mencari etiologi atau identifikasi komplikasi
yang berhubunbungan dengan gagal napas
e. Serum kreatinin dan troponin I: untuk menyingkirkan infark miokard akut
f. EKG dan ekokardiografi: jika gagal napas akut disebabkan oleh kardiak
g. Uji faal paru: sangat berguna untuk evaluasi gagal napas kronik.

6. Tatalaksana Gagal Napas Akut


Prinsip managenem gagal napas adalah:
1) Hipoksemia dapat menyebabkan kematian pada gagal napas
2) Tujuan objektif primer untuk kembali normal dan mencegah hipoksemia

28
3) Tujuan objektif sekunder untuk mengontrol PaCO2 dan asidosis
respiratorik
4) Obati penyakit yang mendasari
5) Penderia dengan kelainan meuromuskuler dimonitor dan diobati.
a. Dasar-dasar fisiologis terapi
Gagal napas hiperkapnea
Pada hiperkapnea berarti ada hipoventilasi alveolar, tatalaksana
suportif bertujuan memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga
diketahui dan diterapi penyakit yang mendasari. Kadang-kadang ventilasi
alveolar dapat ditingkatkan dengan mengusahakan tetap terbukanya jalan
napas yang efektif, bisa dengan penyedotan sekret, stimulasi batuk, drainase
postural. Atau dengan membuat jalan napas artifisial dengan selang
endotrakeal atau trakeostomi. Alat bantu napas mungkin diperlukan untuk
mencapai dan mempertahankan ventilasi alveolar yang normal sampai
masalah primer diperbaiki. Meskipun secara teoritis ventilator mekanik
dapat memperbaiki ventilasi sesuai yang diinginkan, namun pada pasien
dengan hiperkapnea kronik harus hati-hati dalam menurunkan hiperkapnia,
karena koreksi PaCO2 hingga batas normal pada kasus tersebut dapat
menyebabkan alkalosis yang berat dan mengancam nyawa karena sudah
terjadi kompensasi berupa peningkatan kadar bikarbonat serum.
Hipoksemia sering ditemukan pada gagal napas hiperkapnia,
terutama yang didasari oleh penyakit paru, dan pemberian oksigen tambahan
seringkali dibutuhkan. Tetapi pada beberapa pasien dengan hiperkapnia,
oksigen tambahan dapat berbahaya bila tidak dimonitor dan disesuaikan
secara hati-hati.
Pasien dengan gagal napas hiperkapnik karena overdosis obat sedatif
atau botulisme, dan kebanyakan pasien dengan trauma dada akan membaik
seiring dengan berjalannya waktu, dan penatalaksanaan bersifat suportif.
Penyakit primer yang membutuhkan terapi khusus ialah miastenia gravis,
kelainan elektrolit, penyakit paru obstruktif, obstructive sleep apnea, dan
miksedema.

29
Gagal Napas Hipoksemia

Suplementasi oksigen ialah terapi terpenting untuk gagal napas


hipoksemik. Pada penyakit berat seperti ARDS, mungkin diperlukan
ventilasi mekanik, positive end-expiratory pressure (PEEP) dan terapi
respirasi tipe lain. Walaupun umumnya tidak didapatkan hiperkapnea, tetapi
dapat terjadi karena beban kerja pernapasan menyebabkan kelelahan otot
pernapasan. Transportasi oksigen penting untuk diperhatikan, jika ada
anemia berat harus dikoreksi serta curah jantung yang adekuat harus
dipertahankan. Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas hipoksemik
harus diatasi.

Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada semua
bagian paru (tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada posisi
dimana area paru yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat berada lebih
bawah dapat meningkatkan oksigenasi, hal ini karena adanya gaya
gravitasi. Pasien dengan hemoptisis berat atau sekretnya banyak tidak
boleh diposisikan seperti ini karena dapat terjadi aspirasi darah atau sekret
ke area yang belum terlibat. Pada pasien ARDS dengan edema paru
nonkardiogenik difus, dianjurkan dalam posisi pronasi (tengkurap), paru
akan jarang mengalami kolaps pada bagian yang tergantung. Selain itu
lebih sedikit area paru yang mendapat penekanan oleh jantung atau isi
abdomen.
b. Jalan napas

Pada semua pasien dengan gangguan pernapasan, harus dipikirkan


dan diperiksa adanya obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi
jalan napas artifisial, seperti endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat
dan risikonya. Risiko jalan napas artifisial ialah trauma insersi, trauma

30
orofaring atau nasofaring karena penekanan kronik, kerusakan trakea (erosi,
trakeomalasia), gangguan respon batuk, risiko aspirasi meningkat, gangguan
fungsi mukosiliar, risiko infeksi meningkat, tak dapat berbicara,
meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan.
Keuntungan jalan napas artifisial ialah dapat melintasi obstruksi
jalan napas atas, menjadi jalur pemberian oksigen dan obat-obatan,
memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan
sekret, dan jalur untuk bronkoskopi fiberoptik.
Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah:
1) Secara fisiologis: hipoksemi menetap setelah pemberian oksigen, PCO2 >
55 mmHg dengan pH < 7,25, kapasitas vital < 15 mL/kg dengan penyakit
neuromuskular.
2) Secara klinis: perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan
napas, gangguan repirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik, obstruksi
jalan napas atas, sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan oleh
pasien dan membutuhkan penyedotan.

c. Oksigen
Besarnya oksigen tambahan yang diperlukan tergantung pada
mekanisme hipoksemi, tipe alat pemberi oksigen tergantung pada jumlah
oksigen yang diperlukan, potensi efek samping oksigen pada konsentrasi
yang berbeda-beda, dan ventilasi semenit pasien. Karena oksigen
konsentrasi tinggi merusak paru, harus diupayakan untuk meminimalkan
jumlah dan lama terapi oksigen.

d. Bronkodilator
Bronkodilator mempengaruhi langsung terhadap kontraksi otot
polos, tetapi beberapa mempunyai efek tidak langsung terhadap edema dan
inflamasi.

31
e. Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik
Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi
dibandingkan parenteral atau oral. Untuk efek bronkodilatasi yang sama,
efek sampingnya sangat berkurang, sehingga dosis yang lebih besar dan
lebih lama dapat diberikan. Peningkatan dosis dan frekuensi pemberian
sering kali dibutuhkan.
Pemilihan jenis obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan
pemberian dan efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol,
metaproterenol, terbutalin. Epinefrin tidak digunakan karena tidak spesifik
terhadap reseptor 2, juga tidak menunjukan kelebihan dalam mengatasi
bronkospasme. Agonis beta-adrenergik kerja lama (LABA), berguna untuk
penggunaan kronik seperti mencegah bronkospasme, tetapi tidak
direkomendasikan untuk serangan bronkospasme akut.

f. Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik (parasimpatolitik)
tergantung pada derajat tonus parasimpatis instrinsik. Antikolinergik
direkomendasikan terutama untuk bronkodilatasi pasien dengan bronkitis
kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu dikombinasikan
dengan agonis beta-adrenergik. Ipatropium bromide tersedia dalam bentuk
MDI (metered-dose-inhaler) atau larutan untuk nebulisasi. Efek samping
seperti takikardi, palpitasi dan retensi urin jarang terjadi.

g. Teofilin
Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis
beta-adrenergik. Mekanisme kerjanya melalui inhibisi kerja fosfodiesterase
pada siklik AMP (cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin,
stimulasi reseptor beta-adrenergik dan aktivitas anti-inflamasi. Efek
sampingnya antara lain takikardi, mual, muntah, aritmi, hipokalemi,
perubahan status mental dan kejang.

32
h. Kortikosteroid
Kortikosteroid berfungsi untuk menurunkan inflamasi jalan napas.
Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan
hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Kortikosteroid
inhalasi sangat jarang menimbulkan efek samping sistemik kecuali batuk
karena provokasi bronkospasme. Kortikosteroid yang lebih kuat mempunyai
efek samping jangka panjang pada pertumbuhan, osteoporosis dan
perkembangan katarak. Penggunaan kortikosteroid bersama-sama dengan
obat penghambat neuromuskular non-depolarisasi telah dihubungkan
dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan kesulitan
weaning.
Efek samping kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemi,
hipokalemi, retensi natrium dan air, miopati steroid akut, gangguan sistem
imun, kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal.

i. Ekspektoran dan nukleonik


Obat mukolitik dapat diberikan langsung pada sekret jalan napas,
terutama pada pasien dengan ETT. Kalium yodida oral mungkin berguna
untuk meningkatkan volume dan menipiskan sputum yang kental. Larutan
NaCl 0,9% 3-5ml, larutan salin hipertonik, dan natrium bikarbonat
hipertonik dapat diteteskan sebelum penyedotan (suctioning).4

33
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pernapasan adekuat ditandai dada dan perut naik turun sirama dengan
pernapasan, penderita tampak nyaman, frekuensi cukup ( 12-20x/menit ). Sesak
napas adalah perasaan sulit bernapas yang terjadi ketika melakukan aktivitas fisik.
Sesak napas merupakan gejala dari beberapa penyakit dan dapat bersifat akut atau
kronis. Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida
(PaCO2) dan pH yang adekuat yang menimbulkan masalah ventilasi difusi atau
perfusi

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, at all. Harrisons Principle of Internal Medicine 7th Edision. United


States of America. 2008.
2. Swartz, Mak H. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC. 1995.
3. Garna H, Nataprawira. Pedoman Diagnososis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. FK Universitas Padjajaran. Bandung. 2014.
4. Kosasih, Alvin, Dkk. Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan Paru
Dalam Praktek Sehari-hari. Banten: Sagung Seto. 2008.
5. Amin Z, Purwoto J. Gagal Napas Akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
ke-IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006

35

You might also like