You are on page 1of 18

Blog EfkaUnair78

Media Informasi dan Edukasi Kesehatan

Feeds:
Pos
Komentar

Cidera otak dan penatalaksanaannya

16 Oktober 2009 oleh efka78

Penulis: DR. dr. Agus Turchan, Sp.BS (K)

PENDAHULUAN

(http://www.psy.uq.edu.au/activity/index.html?eid=254) Dengan
kemajuan industrialisasi serta peningkatan sarana transportasi dan
mobilisasi manusia, barang dan jasa dari satu tempat ketempat lain
tetapi tidak diimbangi pembangunan sarana dan prasarana
transportasi yang cukup memadai serta kepatuhan terhadap
peraturan berkendara dari pengguna jalan, berakibat tingginya angka
cidera kepala, yang setiap tahun cenderung meningkat. Hal ini masih
diperparah dengan kurangnya ketrampilan dan pemahaman
mengenai penanganan cidera kepala dari tenaga medis/paramedis yang akan
berakibat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas, sehingga salah satu cara
untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas adalah dengan meningkatkan
pengetahuan tenaga medis/paramedis dalam penanganan pertama terhadap cidera
kepala.

Dalam 3 dekade terakhir ini telah ditemukan alat bantu diagnostik cidera otak dan
komplikasinya yang modern dan tidak invasive mulai dari CT Scan ( Computerized
Tomography Scanning ), MRI ( Magnetig Resonance Imaging ) dengan segala program
variant , sampai PET ( Positron Emission Tomography ) , obat-obatan yang lebih
toleran terhadap cidera otak serta peralatan perawatan neuro-intensive yang lebih
canggih. , menjadikan penanganan cidera otak lebih komplek dan spesialistik.
Walaupun demikian penanganan awal yang baik dapat mengurangi resiko terjadinya
cidera otak sekunder.

Mekanisme cidera kepala


Berdasarkan besarnya gaya dan lamanya gaya yang bekerja pada kepala maka
mekanisme terjadinya cidera kepala tumpul dapat dibagi menjadi 2:

1. Static loading
2. Dynamic loading: (a) Lesi impact dan (b) Lesi akselerasi-deselerasi

Static loading

Gaya langsung bekerja pada kepala, lamanya gaya yang bekerja lambat, lebih dari 200
milidetik, mekanisme static loading ini jarang terjadi, tetapi kerusakan yang
dihasilkan sangat berat mulai dari cidera pada kulit kepala sampai kerusakan tulang
kepala, jaringan otak dan pembuluh darah otak.

Dynamic loading

Gaya mengenai kepala terjadi secara cepat (kurang dari 50 milidetik), gaya yang
bekerja pada kepala dapat secara langsung (Impact injury) ataupun gaya tersebut
bekerja tidak langsung (Accelerated-decelerated injury), mekanisme cidera kepala
dynamic loading ini paling sering terjadi.

Impact injury

Gaya langsung bekerja pada kepala, gaya yang terjadi akan diteruskan kesegala arah,
jika mengenai jaringan lunak akan diserap sebagian dan sebagian yang lain akan
diteruskan sedangkan jika mengenai jaringan yang keras akan dipantulkan kembali.
Gaya impact ini dapat juga menyebabkan lesi akselerasi-deselerasi. Akibat dari impact
injury akan menimbulkan lesi:

Cidera pada kulit kepala (SCALP): Vulnus apertum, Excoriasi, Hematom


Cidera pada tulang atap kepala: Fraktur linier, Fraktur diastase, Fraktur steallete,
Fraktur depresi
Fraktur basis kranii.
Hematom intrakranial: Hematom epidural, Hematom subdural, Hematom
intraserebral, Hematom intraventrikular
Kontusio serebri: Contra coup kontusio, Coup kontusio
Laserasi serebri
Lesi diffuse: Komosio serebri, Diffuse axonal injury.(DAI)

Lesi akselerasi deselerasi

Gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh yang lain
tetapi kepala tetap ikut terkena gaya. Oleh karena adanya perbedaan densitas antara
tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otak dengan densitas yang
lebih rendah, maka jika terjadi gaya tidak langsung maka tulang kepala akan
bergerak lebih dahulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap berhenti, sehingga
pada saat tulang kepala berhenti bergerak maka jaringan otak mulai bergerak dan
oleh karena pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan maka akan terjadi
gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut akibatnya terjadi
lesi intrakranial berupa:

Hematom subdural
Hematom intraserebral
Hematom intraventrikel
Contra coup kontusio

Selain itu gaya akselerasi dan deselerasi akan menyebabkan gaya tarikan ataupun
robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa:

Komosio serebri
Diffuse axonal injury

CIDERA OTAK PRIMER

Cidera otak primer adalah cidera otak yang terjadi segera cidera kepala baik akibat
impact injury maupun akibat gaya akselerasi-deselerasi, cidera otak primer ini dapat
berlanjut menjadi cidera otak sekunder, jika cidera primer tidak mendapat
penanganan yang baik, maka cidera primer dapat menjadi cidera sekunder.

1. Cidera pada SCALP

Fungsi utama dari lapisan kulit kepala dengan rambutnya adalah melindugi jaringan
otak dengan cara menyerap sebagian gaya yang akan diteruskan melewati jaringan
otak. SCALP merupakan singkatan dari Skin, subCutan, Aponeurosis galea, Loose
arerolar, Periosteum. Cidera pada scalp dapat berupa:

Eskoriasi.
Vulnus apertum.
Hematom subcutan
Hematom subgaleal
Hematom subperiosteal.

Pada eskoriasi dapat dilakukan wound toilet, yakni mencuci luka serta
menghilangkan jaringan yang sudah tidak berfungsi maupun benda asing, sedangkan
pada vulnus apertum harus dilihat jika vulnus tersebut sampai mengenai galea
aponeurotika maka galea harus dijahit (untuk menghindari dead space antara
periosteum dan subcutis sedangkan didaerah subcutan banyak mengandung
pembuluh darah, demikian juga rambut banyak mengandung kuman sehingga
adanya hematom dan kuman menyebabkan terjadinya infeksi sampai terbentuknya
abses).

Penjahitan pada galea memakai benang yang dapat diabsorbsi dalam jangka waktu
lama (tetapi kalau tidak ada dapat dijahit dengan benang nonabsorbsable tetapi
dengan simpul yang terbalik, untuk menghindari terjadinya "druck necrosis/nekrosis
akibat penekanan , pada kasus terjadinya excoriasi yang luas dan kotor hendaknya
diberikan injeksi anti tetanus.

Pada kasus dengan hematom subcutan sampai hematom subperiosteum dapat


dilakukan bebat tekan kemudian diberikan analgesia, jika selama 2 minggu hematom
tidak diabsorbsi dapat dilakukan punksi steril, Pada bayi dan anak anak dimana
hematom yang lebih dari 2minggu tidak dapat diserap, harus dipikirkan terjadinya
fraktur kalvaria.
Hati-hati cidera scalp pada anak-anak/bayi karena perdarahan begitu banyak dapat
terjadinya shok hipovolumik

2. Fraktur linier kalvaria

Fraktur linier pada kalvaria dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang
kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan terjadi
fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial, tidak ada terapi khusus
pada fraktur linier ini tetapi karena gaya yang menyebabkan terjadinya fraktur
tersebut cukup besar maka kemungkinan terjadinya hematom intrakranial cukup
besar, dari penelitian di RS. Dr. Sotomo Surabaya didapatkan 88% epidural hematom
disertai dengan fraaaktur linier kalvaria.Jika gambaran fraktur tersebut kesegala
arah disebut "Steallete fracture", jika fraktur mengenai sutura disebut diastase fraktur

3. Fraktur depresi

Secara definisi yang disebut fraktur depresi apabila fragmen dari fraktur masuk
rongga intrakranial minimal setebal tulang fragmen tersebut, berdasarkan pernah
tidaknya fragmen fraktur berhubungan dengan udara luar maka fraktur depresi
dibagi 2 yaitu : fraktur depresi tertutup dan fraktur depresi terbuka.

Fraktur depresi tertutup. Pada fraktur depresi tertutup biasanya tidak dilakukan
tindakan operatip kecuali bila fraktur tersebut menyebabkan: (1). Gangguan
neurologis, misal kejang-kejang, hemiparese/plegi, penurunan kesadaran, (2)
Secara kosmetik jelek misal : fraktur depresi didaerah frontal yang berhubungan
dengan pekerjaannya. Tindakan yang dilakukan adalah mengangkat fragmen
tulang yang menyebabkan penekanan pada jaringan otak.setelahnya
mengembalikan dengan fiksasi pada tulang disebelahnya, sedangkan fraktur
depresi didaerah temporal tanpa disertai adanya gangguan neurologis tidak perlu
dilakukan operasi.
Fraktur depresi terbuka. Semua fraktur epresi terbuka harus dilakukan
tindakan operatif debridemant untuk mencegah terjadinya proses infeksi
(meningoencephalitis) Yaitu mengangkat fragmen yang masuk, membuang
jaringan yang devitalized seperti jaringan nekrosis benda-benda asing, evakuasi
hematom, kemudian menjahit duramater secara "water tight"/kedap air kemudian
fragmen tulang dapat dikembalikan atau pun dibuang, fragmen tulang
dikembalikan jika : (a) Tidak melebihi golden periode (24 jam), (b) Duramater tidak
tegang. Jika fragmen tulang berupa potongan-potongan kecil maka pengembalian
tulang dapat secara mozaik

4. Fraktur Basis kranii

Secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis kranii dan kalvaria yaitu:

Pada basis kranii tulangnya lebih tipis dibandingkan tulang daerah kalvaria.
Duramater daerah basis kranii lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria
Duramater daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah
kalvaria

Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan duramater


Klinis ditandai dengan:

Bloody otorrhea.
Bloody rhinorrhea
Liquorrhea
Brill Hematom
Batles sign
Lesi nervus cranialis yang paling sering N I, NVII, dan N VIII

Diagnose fraktur basis kranii secara klinis lebih bermakna dibandingkan dengan
diagnose secara radiologis oleh karena:

Foto basis cranii posisinya hanging Foto , dimana posisi ini sangat berbahaya
tertutama pada cidera kepala disertai dengan cidera vertebra cervikal ataupun
pada cidera kepala dengan gangguan kesadaran yang dapat menyebabkan
gangguan pernafasan
Adanya gambaran fraktur pada foto basis kranii tidak akan merubah
penatalaksanaan dari fraktur basis kranii.
Pemborosan biaya perawatan karena penambahan biaya foto basis kranii.

Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi:

Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk,


mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan
tampon steril (Consul ahli THT) pada tanda bloody otorrhea/ otoliquorrhea,
Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea /otoliquorrhea penderita tidur
dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat.
Pemberian antibiotika profilaksis untuk mencegah terjadinya meningoensefalitis
masih kontroversial, di SMF Bedah Saraf RSU Dr. Soetomo kami tetap memberikan
antibiotika profilaksis dengan alasan penderita fraktur basis kranii dirawat bukan
diruangan steril / ICU tetapi di ruang bangsal perawatan biasa dengan catatan
pemberian kami batasi sampai bloody rhinorrhea/otorrhea berhenti.

Komplikasi yang paling sering terjadi dari fraktur basis kranii meliputi:

Mengingoensefalitis
abses serebri.
Lesi nervii cranialis permanen
Liquorrhea.
CCF (Carotis cavernous fistula).

5. Komosio serebri

Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi otak tanpa adanya kerusakan
anatomi jaringan otak akibat adanya cidera kepala. Sedangkan secara klinis
didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama kurang dari 15 menit,
disertai sakit kepala, pusing, mual-muntah adanya amnesi retrogrde ataupun
antegrade. Pada pemeriksaan radiologis CT Scan : tidak didapatkan adanya kelainan.

6. Kontusio serebri
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak akibat
adanya kerusakan jaringan otak, secara klinis didapatkan penderita pernah atau
sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelaianan
neurologis akibat kerusakan jaringan otak seperti hemiparese/plegi, aphasia disertai
gejala mual-muntah, pusing sakit kepala, amnesia retrograde/antegrade, pada
pemeriksaan CT Scan didapatkan daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan
istilah laserasi serebri menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid
pada daerah yang mengalami contusio serebri.yang gambaran pada CT Scan disebut
"Pulp brain "

7. Epidural hematom (EDH = Epidural hematom)

Epidural hematom adalah hematom yang terletak antara duramater dan tulang,
biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya :

Arteri meningica media (paling sering)


Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria)
Vena emmisaria.
Sinus venosus duralis

Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi
(ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang
dapat berupa :

hemiparese/plegi
pupil anisokor
reflek patologis satu sisi

Adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil
anisokor /dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi/ipsilateral dengan lokasi
EDH sedangkan Hemiparese/plegi letaknya kontralateral dengan lokasi EDH,
sedangkan gejala adanya lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH
karena dapat terjadi pada perdarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval
dapat dipakai sebagai patokan dari prognosenya makin panjang lucid interval makin
baik prognose penderita EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk melakukan
kompensasi)

Pada pemeriksaan radiologis CT Scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan


bentuk bikonvek diantara 2 sutura,

Sedangkan indikasi operasi jika:


Terjadinya penurunan kesadaran
Adanya lateralisasi
Nyeri kepala yang hebat dan menetap yang tidak hilang dengan pemberian
anlgesia.
Pada CT Scan jika perdarahan volumenya lebih dari 20 CC atau tebal lebih dari 1
CM atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi
yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan sumberperdarahan
sedangkan tulang kepala dapat dikembalikan jika saat operasi tidak didapatkan
adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembalikan jika saat operasi
didapatkan duramater yang tegang dan dapat disimpan subgalea.

Pada penderita yang dicurigai adanya EDH yang tidak memungkinkan dilakukan
diagnose radiologis CT Scan maka dapat dilakukan diagnostik eksplorasi yaitu " Burr
hole explorations " yaitu membuat lubang burr untuk mencari EDH biasanya
dilakukan pada titik-titik tertentu yaitu (berurutan)

pada tempat jejas/hematom


pada garis fratur
pada daerah temporal
pada daerah frontal (2 CM didepan sutura coronaria)
pada daerah parietal
pada daerah occipital.

Prognose dari EDH biasanya baik, kecuali dengan GCS datang kurang dari 8, datang
lebih dari 6 jam umur lebih dari 60 tahun

8. Subdural hematom (SDH)

Secara definisi hematom subdural adalah hematom yang terletak dibawah lapisan
duramater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari :

Bridging vein (paling sering)


A/V cortical
Sinus venosus duralis

Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematom dibagi 3 :

Subdural hematom akut : terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian


Subdural hematom subakut: terjadi antara 3 hari 3 minggu
Subdural hematom kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu.

Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai
adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi.

Sedangkan pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran hiperdens


yang berupa bulan sabit (cresent)..

Indikasi operasi menurut EBIC (Europe brain injury commition) pada perdarahan
subdural adalah :

Jika perdarahan tebalnya lebih dari 1 CM.


Jika terdapat pergeseran garis tengah lebih dari 5mm.

Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan sumer perdarahan


oleh karena biasanya disertai dengan edema serebri biasanya tulang tidak
dikembalikan (dekompresi) dan disimpan subgalea.

Prognose dari penderita SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya
penderita datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta dijaringan otak serta usia
penderita, pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin
rendah GCS, makin jelek prognosenya makin tua penderita makin jelek prognosenya
adanya lesi lain akan memperjelek prognosenya.

9. Intracerebral hematom (ICH)

Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak


biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis
ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai
lateralisasi, pada pemeriksaan CT scan didapatkan adanya daerah hiperdens yng
disertai dengan edema disekitarnya (perifokal edema)

Indikasi dilakukan operasi jika:

Single
Diameter lebih dari 3 CM
Perifer.
Adanya pergeseran garis tengah
Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis
/lateralisasi

Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai dekompresi dari
tulang kepala.

Faktor-faktor yang menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang


menentukan prognose perdarahan subdural

10. Diffuse axonal injury (DAI)

Secara definisi yang disebut diffuse axonal injury adalah koma lebih dari 6 jam yang
pada pemeriksaan CT Scan tidak didapatkan kelainan (gambaran hiperdens), jadi
yang dipakai sebagai golden standart diagnostic adalah CT Scan. Secara klinis DAI
dibagi menjadi 3 gradasi:

1. DAI ringan : jika koma terjadi antara 6 24 jam.


2. DAI sedang: jika koma lebih dari 24 jam tanpa disertai tanda-tanda deserebrated
decorticated.
3. DAI. Berat: Jika koma lebih dari 24 jam yang disertai tanda-tanda deserebrated /
decorticated.

Sedangkan menurut WHO yang disebut koma jika GCS kurang dari 8.(Unopen eyes,
unuterred words and unobey commands)

Pada kasus dengan DAI berat, biasanya prognosenya jelek.

CIDERA OTAK SEKUNDER

Cidera otak yang terjadi akibat dari cidera otak primer yang tidak mendapat
penanganan yang baik (sehingga terjadi hipoksia) serta adanya proses metabolisme
dan neurotransmiter serta respon inflamasi pada jaringan otak maka cidera otak
primer berubah menjadi cidera otak sekunder yang meliputi :
Edema serebri
Infark serebri
Peningkatan tekanan intra kranial

Edema serebri

Adalah penambhan air pada jaringan otak/ sel-sel otak, pada kasus cidera kepala
terdapat 2 macam edema serebri :

Edema serebri vasogenik


Edema serebri sitostatik

Edema serebri vasogenik

Edema serebri vasogenik terjadi jika terdapat robekan dari "blood brain barrier"
(sawar darah otak) sehingga solut intravaskuler (plasma darah) ikut masuk dalam
jaringan otak (ekstraseluler) dimana tekanan osmotik dari plasma darah ini lebih
besar dari pada tekanan osmotik cairan intra selluler akibatnya terjadi reaksi osmotik
dimana cairan intraselluler yang tekanan osmotiknya lebih rendah akan ditarik oleh
cairan ekstra seluler keluar dari sel melewati membran sel sehingga terjadi edema
ekstra seluler sedangkan sel-sel otak mengalami pengkosongan ("shringkage")

Edema serebri Sitostatik

Edema serebri sitostatik terjadi jika suplai oksigen kedalam jaringan otak berkurang
(hipoksia) akibatnya terjadi reaksi anaerob dari jaringan otak (pada keadaan aerob
maka metabolisme 1 mol glukose akan di ubah menjadi 38 ATP dan H2O) sedangkan
dalam keadaan anaerob maka 1 molekul glukose akan diubah menjadi 2 ATP dan
H2O karean kekurangan ATP maka tidak ada tenaga yang dapat digunakan untuk
menjalankan proses pumpa Natrium Kalium untuk pertukaran kation dan anion
antara intra selluler dan ekstraseluler dimana pada proses tersebut memerlukan ATP
akibatnya Natrium (Na) yang seharusnya dipumpa keluar dari sel menjadi masuk
kedalam sel bersamaan masuknya natrium, maka air (H2O) ikut masuk kedalam sel
sehingga terjadi edema intra seluler

Gambaran CT Scan dari edema serebri :

Ventrikel menyempit
Cysterna basalis menghilang
Sulcus menyempit sedangkan girus melebar

Terapi dari edema serebri.

Secara prinsip terapi dari edema serebri adalah menghilangkan air yang ada dalam
sel (intraseluler) ataupun air diluar sel (ekstraseluler) dengan cara:

Cairan hiperosmotik (manitol) dengan dosis 0,5 g 1 g/Kg BB/kali diberikan secara
bolus dalam waktu 15 20 menit., disamping sebagai cairan hiperosmolar maka
manitol dengan dosis rendah berfungsi sebagai penangkap bahan radikal bebas
dan dapat meningkatkan mikrosirkulasi dari sel-sel darah merah (rheologi),
pemberian manitol selama 4 hari kemudian dilakukan tapering agar tidak terjadi
"rebound phenomena".
Kortikosteroid, obat ini dapat memperbaiki sawar darah otak sehingga secara
tidak langsung memperbaiki edema serebri, tetapi obat ini tidak digunakan pada
kasus cidera kepala karena manfaatnya lebih sedikit dibandingkan dengan
kerugiannya.Kortikiosteroid sangat bermanfaat untuk edema serebri yang
disebabkan oleh tumor otak baik primer maupun metastase.
Deuritika., biasanya yang digunakan furosemide

Tekanan intra kranial

Compartment rongga kepala orang dewasa rigid tidak dapat berkembang yang terisi 3
komponen yaitu :

jaringan otak seberat 1200 gram


cairan liquor serebrospinalis seberat 150 gram
darah dan pembuluh darah seberat 150 gram

Menurut doktrin Monroe-Kellie, jumlah massa yang ada dalam rongga kepala adalah
konstan jika terdapat penambahan massa (misal hematom, edema, tumor, abses)
maka sebagian dari komponen tersebut mengalami kompensasi/bergeser, yang mula-
mula mengalami kompensasi adalah cairan serebrospinalis yaitu pindah kedalam
sisterna ataupun canalis centralis yang ada di medullaspinalis yang tampak pada
klinis penderita mengalami kaku kuduk serta pinggang terasa sakit dan berat, jika
kompensasi dari cairan serebrospinalis sudah terlampaui sedangkan penambahan
massa masih terus berlangsung maka terkjadi kompensasi kedua yaitu kompensasi
dari pembuluh darah dan isinya yang bertujuan untuk mengurangi isi rongga
intrakranial dengan cara :

Vaso konstriksi yang berakibat tekanan darah meningkat


Denyut nadi menurun (bradikardia), yang merupakan tanda awal dari
peningkatan tekanan intrakranial, kedua tanda ini jika disertai dengan gangguan
pola nafas disebut "trias Cushing"

Jika kompensasi kedua komponen isi rongga intrakranial sudah terlampaui


sedangkan penambahan massa masih terus berlangsung maka jaringan otak akan
melakukan komponsasi yaitu berpindah ketempat yang kosong ("locus minoris")
perpindahan jaringan otak tersebut disebut herniasi cerebri, ada beberapa macam:

herniasi serebri subfalxine


herniasi serebri "upward"
herniasi serebri tentorial (lateral/uncus)
herniasi serebri tentorial (central)
herniasi tonsilar

Tanda-tanda klinis herniasi cerebri tergantung dari macamnya,. Pada umumya klinis
dari peningkatan tekanan intrakranial adalah :

Nyeri kepala.
Mual, muntah
Pupil bendung

"Sekunder insult"

Adalah kondisi penderita yang bertambah buruk akibat terjadinya cidera otak
sekunder karena terjadinya kesalahan penanganan oleh tenaga medis/paramedis
misal : Saat transportasi tidak dipasang infus sehingga terjadi shock, ataupun tidak
dilakukan penanganan airway sehingga terjadi hipoksia, sekunder insult dapat
terjadi di dalam rumah sakit (paling sering) maupun saat diluar rumah sakit

Penanganan pertama kasus cidera kepala di UGD

Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart yang
telah ditetapkan dalam ATLS (Advanced trauma life support) yang meliputi,
anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik
meliputi:

Airway
Breathing
Circulasi
Disability

Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara :

Kepla miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda asing
Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi
atauipun rotasi.
Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera
vertebrae cervikal sampai terbukti sebaliknya, maka perlu dipasang collar brace.

Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen minimal saturasinya diatas 90 %, jika tidak
usahakan untuk dilakukan intubasi dan suport pernafasan.

Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan


frekwensinya normal antara 16 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak
ada nafas lakukan nafas buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah
dan pertahankan PCO 2 antara 28 35 mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan
terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema serebri sedangkan jika kurang
dari 20 mm Hg akan menyebabkan vaso konstriksi yang berakibat terjadinya
iskemia., periksa tekanan oksigen (PO2) 100 mmHg jika kurang beri Oksigen masker 8
liter/ menit.

Pada pemeriksaan sistem sirkulasi :

Periksa denyut nadi/jantung, jika (-) lakukan resusitasi jantung.


Bila shock (tensi < 90 dan nadi > 100 atasi dengan infus cairan RL, cari sumber
perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir
tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala
meningkatkan angka kematian 2 X
Hentikan perdarahan dari luka terbuka
Pada pemeriksaan disability / kelainan kesadaran:

Periksa kesadaran : memakai Glasgow Coma Scale


Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya
langsung maupun konsensual./tidak langsung
Periksa adanya hemiparese/plegi
Periksa adanya reflek patologis kanan kiri
Jika penderita sadar baik tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi
luhur misal adanya aphasia

Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara
melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti Skull foto, foto thorax,
foto pelvis, CT Scan dan pemeriksaan tambahan yang lain seperti pemeriksaan darah
(pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama).

Glasgow Coma Scale (GCS)

Untuk mendapatkan keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara


kwantitatif (yang sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis,
somnolen dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak seragam antara
satu pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan dengan
skala kesadaran secara Glasgow, ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu:

1. Reaksi membuka mata


2. Reaksi verbal
3. Reaksi motorik

Ad 1. Reaksi membuka mata

Reaksi membuka mata Nilai

Membuka mata spontan 4

Buka mata dengan rangsangan suara 3

Buka mata dengan rangsangan nyeri 2

Tidak membuka mata dengan rangsangan 1


nyeri

Ad 2. Reaksi verbal

Reaksi verbal Nilai

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5

Bingung, disorientasi waktu, tempat dan 4


ruang
Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3

Keluar suara tapi tak berbentuk kata-kata 2

Tidak keluar suara dengan rangsangan 1


apapun

Ad 3. Reaksi motorik

Reaksi motorik Nilai

Mengikuti perintah 6

Melokakisir rangsangan nyeri 5

Menarik tubuhnya bila ada rangsangan 4


nyeri

Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan 3


nyeri

Reaksi ekstensi abnormal dengan 2


rangsangan nyeri

Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1

Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu :

Cidera kepala derajad ringan, bila GCS : 13 15.


Cidera kepal derajad sedang, bila GCS: 9 12.
Cidera kepala derajad berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8

Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia,
maka reaksi verbal diberi tanda "X", atau oleh karena kedua mata edema berat
sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata
diberi nilai "X", sedangkan jika penderita dilakukan tracheostomy ataupun dilakukan
intubasi maka reaksi verbal diberi nilai " T "

Indikasi foto polos kepala

Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan


kepala karena masalah biaya dan kegunaannya yang sekarang makin ditinggalkan.
Jadi indikasinya meliputi :

Jejas lebih dari 5 Cm.


Luka tembus (tembak/ tajam)
Adanya corpus alineum
Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi)
Nyeri kepala yang menetap
Gejala fokal neurologis
Gangguan kesadaran (GCS < 15)

Catatan :

Jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto kepala tersebut tidak memenuhi
syarat.
Pada curiga adanya fraktur depresi maka dilakukan foto polos posisi AP/ Lateral
dan oblique.

Indikasi CT Scan

Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang setelah


pemberian obat-obatan analgesia/ anti muntah
Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapatnya lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general
Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor-faktor ekstracranial telah disingkirkan
(karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll)
Adanya lateralisasi
Adanya Fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur
depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS
Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X/menit)

Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS)

Adanya gangguan kesadaran (GCS < 15)


Pernah tidak sadar lebih dari 15 menit (contusio serebri)
Adanya gangguan fokal neurologis (Hemiparese/plegi, kejang-kejang, pupil
anisokor)
Nyeri kepala, mual-mual yang menetap yang telah dilakukan observasi di UGD dan
telah diberikan obat anlgesia dan anti muntah selama 2 jam tidak ada perbaikan
Adanya tanda fraktur tulang kavaria pada pemeriksaan foto kepala
Klinis adanya tanda-tanda patah tulang dasar tengkorak.
Luka tusuk atau luka tembak
Adanya benda asing (corpus alienum)
Penderita disertai mabuk
Cidera kepala disertai penyakit lain misal hipertensi, diabetes melitus, gangguan
faal pembekuan.
Indikasi sosial: (a) Tidak ada yang mengawasi di rumah jika dipulangkan, (b)
Tempat tinggal jauh dengan rumah sakit oleh karena jika terjadi masalah akan
menyulitkan penderita.

Pada saat penderita dipulangkan harus diberi advice (lembar penjelasan) apabila
terdapat gejala seperti ini harus segera dipulangkan :

Mual-muntah serta sakit kepala yang menetap


Terjadinya penurunan kesadaran
Penderita mengalami kejang-kejang
Gelisah

Pengawasan dirumah harus dilakukan terus menerus selam kurang lebih 2 X 24 jam
dengan cara membangunkan tiap 2 jam

Perawatan di rumah sakit

1. GCS 13 15

Infus dengan cairan normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena dextrose cepat
dimetabolisme menjadi H2O + CO2 sehingga dapat menimbulkan edema serebri)
Di RS Dr Soetomo Surabaya digunakan D5% 1/2 salin kira-kira 1500 2000 cc/24
jam untuk orang dewasa
Diberikan analgesia/antimuntah secara intravena, jika penderita tetap muntah
harus dipuasakan selama 6 jam, jika tidak muntah dicoba minum sedikit-sedikit
(Pada penderita yang tetap sadar)
Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberikan bantal selama
6 jam kemudian setengah duduk pada 12 jam kemudian kemudian duduk penuh
dan dilatih berdiri (dapat dilakukan pada penderita dengan GCS 15)
Jika memungkinkan dapat diberikan obat neurotropik,seperti : Citicholine, dengan
dosis 3 X 250 mg/hari sampai minimal 5 hari
Minimal penderita MRS selam 2 X 24 jam karena komplikasi dini dari cidera
kepala paling sering terjadi 6 jam setelah cidera dan berangsur-angsur berkurang
sampai 48 jam pertama

2. GCS < 13

Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head up 15 300) hal
ini untuk memperbaiki venous return sehingga tekanan intra kranial turun.

Beri masker Oksigen 6 8 liter/menit

Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100mmHg, jika tidak ada perbaikan
dapat diberikan vasopressor.

Pasang infus D5% 1/2 saline 1500 2000 cc/24 jam atau 25 30 CC/KgBB /24 jam

Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan perawatan yang
lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang ukuran kecil (12 Fr) untuk
memberikan makanan, yang dimulai pada hari I dihubungkan dengan 500 CC
Dextrose 5% gunanya pemberian sedini mungkin adalah untuk menghindari atrophi
villi usus, menetralisasikan asam lambung yang biasanya sangat tinggi pH nya (stress
ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan sehingga tidak terjadi metabolisme
yang negatip, pemberian makanan melalui pipa lambung ini akan ditingkatkan
secara perlahan-lahan samai didapatkan volume 2000 CC/ 24 jam dengan kalori 2000
Kkal., keuntungan lain dari pemberian makanan peroral lebih cepat pada penderita
tidak sadar antara laian : (a) Mengurangi translokasi kuman di dinding usus halus
dan usus besar, (b) Mencegah normal flora usus masuk kedalam system portal
Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari terjadinya statik
pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan miring kekiri kan kanan setiap 2
jam

Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh langsung
diberikan obat penenang seperti diazepam karena dapat menyebabkan masking efek
terhadap kesadarannya dan terjadinya depresi pernafasan. Pada penderita gelisah
dapat terjadi karena: (a) Nyeri OK : ( fraktur, kandung seni yang penuh, tempat tidur
yang kotor ), (b) Penderita mulai sadar, (c) Penurunan kesadaran, (d) Shock, (e) Febris

Obat penenang hanya diberikan bila tidak didapatkan adanya hematom intrakranial
yang diketahui dari pemeriksaaan CT Scan.

Pada penderita dengan gelisah yang tidak disertai adanya lesi fokal intrakranial oleh
penulis dapat diberikan obat Chlorpromazine 12,5 mg (1/4 ampul) diberikan IM
pemberian dapat diulang 4 jam kemudian, pemberian obat ini harus hati-hati karena
dapat menyebabkan terjadinya orthostatik hipotensi

Obat-obatan yang lain:

Antibiotika jika terdapat luka, atas indikasi yang lain biasanya golongan penisillin
misal ampicillin dengan dosis 50 mg/Kg BB/ hari dosis dibagi 4
Analgesik biasanya, metamizol (dewasa 3 X 1 ampul /IV)
Antimuntah, metocloperamide (dewasa 3X 1 ampul /IV)
Neurotropik seperti Citi cholin dengan dosis 3 X 250 mg/hari minimal 5 hari dan
jika masih terdapat gejala sisa diteruskan sampai 8 minggu

Pada penderita kejang :

Hentikan kejang dengan pemberian diazepam dosis 0,1 0,2 mg/kg sampai kejang
berhenti, tetapi jangan memberikan diazepam jika kejang sudah berhenti sedangkan
untuk mencegah kejang dapat diberikan diphenyl hidantoin dengan dosis 5 8 mg/Kg
BB/ hari dibagi 2 3, setelahnya harus dicari apa penyebab kejang tersebut apakah
faktor intrakranial atau faktor ekstrakranial

Pada penderita yang febris: febris dapat dibedakan oleh karena faktor intrakranial
akibat terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (central) atau akibat faktor
ekstrakranial misal hipotensi, infeksi sehingga sebelum diberikan antipiretika harus
dicari penyeabnya lebih dahulu karena obat anti piretika kadang dapat menyebabkan
hipotensi,

Observasi

Observasi pada kasus cidera kepala adalah kemauan dari paramedis/medis untuk
mencari komplikasi dini/lanjut dari cidera kepala tersebut seperti adanya
intrakranial hematom. Jadi hal-hal yang perlu di observasi meliputi faktor-faktor
ekstrakranial serta adanya tanda-tanda dari adanya lesi massa intrakranial.

Tanggal :

Jam Tensi Nadi RR Suhu GCS Lat Cairan


Masuk Keluar

Lain-lain yang perlu dicatat adalah kalau penderita mengalami muntah-muntah, sakit
kepala yang terus menerus, jadi perubahan yang ditemukan harus dicatat dan
dilaporkan untuk keperluan tindakan diagnostik ataupun terapeutik.

6 jam pasca cidera kepala penderita harus dilakukan observasi tiap 15 menit
sedangkan pada 6 jam berikutnya tiap 30 menit dan sisanya sampai 48 jam dilakukan
observasi tiap 1 jam.

Merujuk penderita

Tidak semua penderita dapat dilakukan perawatan di Rumah sakit didaerah oleh
karena keterbatasan dari sarana, prasaranaserta tenaga ahli Bedah / Bedah Saraf, jadi
indikasi untuk merujuk penderita adalah untuk alasan diagnostik :

Penderita yang memerlukan CT Scan:


Adanya lateralisasi Untuk diagnostik lebih lanjut dengan CT Scan
Penderita kontusio serebri selama perawatan 3 hari, tidak ada perubahan dari GCS
Curiga terjadinya lesi massa intrakranial yang memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut (CT Scan)
Penderita yang memerlukan terapeutik :
Fraktur depresi terbuka yang menyilang garis tengah
Lesi massa intra kranial dimana tidak terdapat tenga ahli maupun peralatannya.

Sebelum melakukan rujukan sebaiknya dilakukan komunikasi lebih dulu dengan


tempat yang akan dilakukan rujukan untuk:

Mendiskusikan indikasi rujukan.


Mencegah rujukan yang tidak perlu.
Menginformaskan kondisi penderita
Memastikan kesiapan tempat, tenaga serta peralatan yang sesuai dengan kasus
rujukan.
Mendiskusikan terapi dan advis lain pada saat transportasi.

Semoga bermanfaat.

Versi cetak (PDF) 319 KB, silahkan download : di sini


(http://www.box.net/shared/8pu9ahuo5g)

:: :: :: DR. dr. Agus Turchan, Sp.BS (K) :: :: ::

(https://wordpress.com/about-these-ads/)

Ditulis dalam Artikel, Health, Informasi, Kesehatan | Dengan kaitkata Bedah Saraf,
Cidera, CT Scan, MRI, Otak, Rujukan | Tinggalkan sebuah Komentar

Comments RSS

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

The MistyLook Theme.

Ikuti

Ikuti Blog EfkaUnair78

Buat situs dengan WordPress.com


%d blogger menyukai ini:

You might also like