Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh:
dr. Larissa Amanda
Topik:
Pencegahan Faktor Risiko Sindrom Metabolik Melalui Posyandu Lansia
Diajukan dan dipresentasikan dalam rangka praktik klinis dokter internsip sekaligus sebagai
bagian dari persyaratan menyelesaikan program internsip dokter Indonesia
di Puskesmas Sidorejo Kidul
Mengetahui,
Dokter Internship Dokter Pendamping
I. Latar Belakang
Sindrom metabolik adalah kondisi seseorang yang memiliki tekanan darah
tinggi, obesitas sentral, dan dislipidemia dengan atau tanpa hiperglikemia.1
Framingham Heart Study menunjukkan bahwa sindroma metabolik merupakan suatu
kombinasi antara penyakit tekanan darah tinggi (hipertensi), kencing manis
(diabetes mellitus), dan kegemukan (obesitas) yang merupakan faktor risiko utama
terjadinya penyakit jantung dan ada kaitannya dengan peningkatan penyakit
kardiovaskuler seperti penyakit jantung koroner.2
Prevalensi sindroma metabolik bervariasi di tiap negara. Penelitan yang
dilakukan oleh Cameron et al. menunjukkan prevalensi sindroma metabolik di
seluruh dunia sebesar 15-30%, di mana sebagian penderita lebih banyak terdapat
pada negara berkembang.3 WHO memperkirakan sindroma metabolik banyak
ditemukan pada kelompok etnis tertentu termasuk beberapa etnis di Asia-Pasifik,
seperti India, Cina, Aborigin, Polinesia, dan Milenesia. Penelitian WHO di Perancis
menemukan bahwa prevalensi lebih besar pada populasi pria (23%) dibandingkan
dengan populasi wanita (12%), sedangkan menurut kelompok usia, prevalensi
terbanyak ditemukan pada kelompok usia antara 55-64 tahun yaitu pria (34%) dan
wanita (21%). Hasil penelitian Framingham Offspring Study menemukan bahwa pada
responden berusia 26-82 tahun terdapat 29,4% pria dan 23,1% wanita menderita
sindroma metabolik.4 Prevalensi sindrom metabolik dikhawatirkan akan mengalami
kenaikan seiring dengan meningkatnya kemakmuran dan usia penduduk.5
Banyak studi epidemiologi di berbagai populasi yang menunjukkan terjadinya
peningkatan resiko terhadap diabetes mellitus tipe-2, penyakit kardiovaskular dan
permasalahan medis lain seperti polycystic ovary syndrome, obstructive sleep apnea
dan gout pada penderita sindrom metabolik.6
Resiko relatif dari onset baru penyakit kardiovaskular pada pasien dengan
sindrom metabolik tanpa diabetes berkisar antara 1,5 kali dan 3 kali. Sementara resiko
pasien sindrom metabolik untuk terkena diabetes mellitus tipe-2 meningkat 3-5 kali.
Pasien sindrom metabolik juga mengalami peningkatan resiko untuk terkena penyakit
vaskular perifer.7 Posyandu lansia merupakan pusat kegiatan masyarakat dalam upaya
pelayanan kesehatan dan keluarga berencana. Posyandu lansia bertujuan untuk
meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, meningkatkan
peran serta masyarakat/swasta dalam pelayanan kesehatan dan membina komunikasi
masyarakat usia lanjut.8
II. Permasalahan
Dewasa ini sindrom metabolik telah menjadi masalah kesehatan masyarakat
dan tantangan klinis di seluruh dunia. Timbulnya sindroma metabolik terkait dengan
urbanisasi, asupan energi yang berlebihan, peningkatan kejadian obesitas, serta gaya
hidup sedenter. Selain itu, dampak yang dihasilkan oleh sindroma ini juga perlu
mendapatkan perhatian. Diperkirakan pada lima hingga sepuluh tahun mendatang
akan terjadi peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2 sebanyak lima kali lipat dan
penyakit kardiovaskular sebanyak dua kali lipat akibat dari penyakit ini. Pasien
dengan sindrom metabolik memiliki risiko stroke sebesar dua sampai dengan empat
kali dan risiko infark miokard hingga tiga sampai empat kali. Gangguan metabolik
dan klinik yang ditemukan pada SM memberikan risiko yang lebih besar terhadap
penyakit kardiovaskular dibandingkan risiko penyakit jantung koroner lainnya bila
berdiri sendiri.9
Insiden sindrom metabolik diduga berhubungan dengan pergeseran gaya
hidup akibat pengaruh globalisasi. Gaya hidup masyarakat berubah menuju
masyarakat modern dengan pola konsumsi makanan tradisional beralih ke makanan
instan dan kebarat-baratan. Penelitian kohort yang dilakukan Lutsey et al. selama
sembilan tahun dengan melibatkan 9.514 subjek mendapatkan bahwa terdapat sekitar
40% kasus baru sindrom metabolik. Pada penelitian ini, disimpulkan bahwa makanan
barat, konsumsi daging, dan makanan gorengan meningkatkan sindrom metabolik.10
Temuan lain yang dilaporkan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2013 adalah kecenderungan proporsi penduduk usia > 10 tahun yang kurang
mengonsumsi sayur dan buah sebanyak 93,5%. Konsumsi makanan atau minuman
manis 1 kali dalam sehari secara nasional adalah 53,1%, sedangkan konsumsi
makanan berlemak, berkolesterol dan makanan gorengan 1 kali per hari sebesar
40,7% dan penduduk Indonesia mengonsumsi penyedap 1 kali dalam sehari sebesar
77,3%. Berbagai penelitian mendapatkan bahwa pola konsumsi tersebut yang
cenderung rendah serat namun tinggi lemak, kolesterol, gula dan natrium serta gaya
hidup kurang gerak dan tidak aktif ini merupakan faktor risiko yang berkaitan dengan
obesitas dan sindrom metabolik serta penyakit degeneratif lainnya.11,12
Usia tua merupakan faktor penting yang mempengaruhi terjadinya
abnormalitas metabolik sehingga prevalensi sindrom metabolik meningkat pada
populasi lanjut usia.13 Prevalensi terjadinya sindrom metabolik pada usia setelah 60
tahun yaitu sekitar 40%. Hasil penelitian di 4 Panti Wredha Daerah Khusus Ibukota
(DKI) dan Bekasi ditemukan prevalensi sindrom metabolik pada perempuan lanjut
usia yaitu 57,6%, komponen sindrom metabolik terbanyak adalah hipertensi (79,3%),
rendahnya kadar HDL (55,4%) dan obesitas sentral (53%).14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sindrom Metabolik
1. Definisi
Sindrom resistensi insulin/ sindrom metabolik adalah kumpulan gejala yang
menunjukkan risiko kejadian kardiovaskular lebih tinggi pada individu dengan
resistensi insulin. Resistensi insulin merupakan kondisi dimana terjadi penurunan
sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi
insulin sebagai kompensasi sel beta pankreas. Resistensi insulin juga berhubungan
dengan beberapa keadaan seperti hiperurisemia, sindrom ovarium polikistik dan
perlemakan hati alkoholik.15
Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang
berkaitan langsung terhadap terjadinya penyakit kardiovaskuler artherosklerotik.
Faktor risiko tersebut antara lain terdiri dari dislipidemia aterogenik, peningkatan
tekanan darah, peningkatan kadar glukosa plasma, keadaan prototrombik, dan
proinflamasi.16
Berbagai organisasi telah memberikan definisi yang berbeda, namun seluruh
kelompok studi setuju bahwa obesitas, resistensi insulin, dislipidemia, dan hipertensi
merupakan komponen utama SM. Jadi, meskipun SM memiliki definisi yang
berbeda, namun memiliki tujuan yang sama, yaitu mengenali sedini mungkin gejala
gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke dalam beberapa komplikasi.16
2. Kriteria Diagnosis
WHO merupakan organisasi pertama yang mengusulkan kriteria sindrom
metabolik pada tahun 1998. Menurut WHO istilah sindrom metabolik dapat dipakai
pada populasi DM karena dapat memenuhi kriteria tersebut dan menunjukkan
besarnya risiko terhadap kejadian kardiovaskular.
Pada tahun 1999, the European Group for Study of Insulin Resistance (EGIR)
melakukan modifikasi pada kriteria WHO, EGIR lebih memilih obesitas sentral
dibandingkan IMT dan istilah sindrom resistensi insulin tidak dapat dipakai pada
penyandang DM karena resistensi insulin merupakan faktor risiko DM.
Pada tahun 2001, National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult
Treatment Panel III (ATP III) mengajukan kriteria baru yang tidak mengharuskan
adanya komponen resistensi insulin. Meskipun tidak pula mewajibkan adanya
komponen obesitas sentral, kriteria ini menganggap bahwa obesitas sentral
merupakan faktor utama yang mendasari sindrom metabolik. Nilai cut-off lingkar
perut diambil dari National Institute of Health Obesity Clinical Guidelines; 102 cm
untuk pria dan 88 cm untuk wanita. Etnik tertentu seperti Asia dengan cut-off lebih
rendah dari ATP III, sudah berisiko terkena sindrom metabolik.
Pada tahun 2003, American Association of Clinical Endocrinologists (AACE)
memodifikasi definisi dari ATP III dengan mengeksklusikan penderita Diabetes
Mellitus. International Diabetes Federation (IDF) menggunakan obesitas sentral
sebagai alat ukur utama dengan nilai cut off lingkar perut 90 cm untuk pria dan 80
cm untuk wanita.15
3. Epidemiologi
Prevalensi SM sangat bervariasi, disebabkan karena ketidakseragaman
kriteria yang digunakan, perbedaan etnis atau ras, umur, dan jenis kelamin.
Secara global, insiden SM meningkat dengan cepat. Data epidemiologi
menyebutkan prevalensi SM dunia adalah 20-25%. Hasil penelitian
Framingham Offspring Study menemukan bahwa pada responden berusia 26-82
tahun terdapat 29,4% pria dan 23,1% wanita menderita SM. Sedangkan
penelitian di Perancis menemukan prevalensi SM sebesar 23% pada pria dan
21% pada wanita. Selama ini faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab SM
terkait dengan obesitas, antara lain pola makan, kurang olahraga, kelainan
metabolisme, mekanisme neuroendokrin, psikologi, obat-obatan, faktor sosial
ekonomi dan gaya hidup serta factor genetika. Data Susenas 2004 menunjukkan
penduduk umur 15 tahun ke atas 85% kurang beraktivitas fisik dan hanya 6%
penduduk yang cukup beraktivitas fisik. Hasil Riskesdas tahun 2007
menunjukkan prevalensi kurang aktivitas fisik sebesar 48,2% dan terdapat
kecenderungan prevalensi kurang aktivitas fisik semakin tinggi dengan
meningkatnya status ekonomi.17 Survey Departemen Kesehatan RI tahun 2007
menunjukkan bahwa prevalensi terkait dengan kriteria sindroma metabolik
seperti obesitas abdominal sebesar 18,8%, hipertensi 29,8%, dan penderita
diabetes mellitus pada penduduk perkotaan sebesar 5,7%. Selain itu, prevalensi
sindroma metabolik di Jakarta sebesar 18,2% pada kelompok lanjut usia
perempuan, dan 6,6% pada kelompok lanjut usia laki-laki. Dalam hal ini
menunjukkan bahwa sindroma metabolik banyak terjadi pada kelompok lanjut
usia khususnya perempuan.18
4. Etiologi
Etiologi SM belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis menyatakan
bahwa penyebab primer dari SM adalah resistensi insulin. Menurut Tenebaum
penyebab sindrom metabolik adalah:
a. Gangguan fungsi sel dan hipersekresi insulin untuk mengkompensasi
resistensi insulin. Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler
(komplikasi jantung).
b. Kerusakan berat sel menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin,
sehingga menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi
mikrovaskuler (nefropati diabetika).19
5. Patofisiologi
Komponen sindrom metabolik berdasarkan ATP III terdiri dari:
a. obesitas abdominal adalah bentuk dari obesitas yang paling kuat
berhubungan dengan sindroma metabolik. Hal ini dapat terlihat secara klinis
dengan meningkatnya lingkar perut/ pinggang.
b. dislipidemia atherogenik bermanifestasi dengan penurunan kadar HDL-C,
peningkatan kadar trigliserid, dan small dense LDL.
c. peningkatan tekanan darah berhubungan dengan obesitas dan biasanya
terjadi pada resistensi insulin.
d. resistensi insulin/intoleransi glukosa terjadi pada sebagian populasi dengan
sindroma metabolik. Hal ini berhubungan erat dengan komponen sindroma
metabolik lainnya, dan berbanding lurus dengan risiko penyakit
kardiovaskular.
e. keadaan proinflamasi meningkatkan kadar hsCRP sebagai akibat
dilepaskannya sitokin proinflamasi merupakan pertanda risiko terjadinya
infark myocard.
f. keadaan prototombik memiliki karakteristik peningkatan plasminogen
activator inhibitor (PAI-1), fibrinogen, dan faktor VII.
Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan
tingginya akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak
visceral. Salah satu karakteristik obesitas abdominal/lemak visceral adalah
terjadinya pembesaran sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak tersebut akan
mensekresi produk-produk metabolik, diantaranya sitokin proinflamasi,
prokoagulan, peptida inflamasi, dan angiotensinogen.
Produk-produk dari sel lemak dan peningkatan asam lemak bebas dalam
plasma bertanggung jawab terhadap berbagai penyakit metabolik seperti
diabetes, penyakit jantung, hiperlipidemia, gout, dan hipertensi.22
6. Komplikasi
a. Kardiovaskular
Obesitas merupakan komponen utama kejadian sindrom metabolik,
namun mekanisme yang jelas belum diketahui secara pasti. Obesitas yang
diikuti dengan meningkatnya metabolisme lemak akan menyebabkan
produksi Reactive Oxygen Species (ROS) meningkat baik di sirkulasi
maupun di sel adiposa. Meningkatnya ROS di dalam sel adipose dapat
menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi (redoks) terganggu,
sehingga enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi.
Keadaan ini disebut dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres
oksidatif menyebabkan disregulasi jaringan adiposa dan merupakan awal
patofisiologi terjadinya sindrom metabolik, hipertensi dan aterosklerosis.
Stres oksidatif sering dikaitkan dengan berbagai patofisiologi
penyakit antara lain diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Pada pasien diabetes
melitus tipe 2, biasanya terjadi peningkatan stress oksidatif, terutama akibat
hiperglikemia. Stress oksidatif dianggap sebagai salah satu penyebab
terjadinya disfungsi endotelangiopati diabetik, dan pusat dari semua
angiopati diabetik adalah hiperglikemia yang menginduksi stress oksidatif
melalui 3 jalur, yaitu; peningkatan jalur poliol, peningkatan autooksidasi
glukosa dan peningkatan protein glikosilat.
Pada keadaan diabetes, stres oksidatif menghambat pengambilan
glukosa di sel otot dan sel lemak serta menurunkan sekresi insulin oleh sel
pankreas. Stres oksidatif secara langsung mempengaruhi dinding vaskular
sehingga berperan penting pada patofisiologi terjadinya diabetes tipe 2 dan
aterosklerosis.15 Dari beberapa penelitian diketahui bahwa akumulasi lemak
pada obesitas dapat menginduksi keadaan stress oksidatif yang disertai
dengan peningkatan ekspresi Nicotinamide Adenine Dinucleotide
Phosphatase (NADPH) oksidase dan penurunan ekspresi enzim antioksidan.
Resistensi Insulin dan hipertensi sistolik merupakan faktor yang
menentukan terjadinya disfungsi endotel. Resistensi Insulin menyebabkan
menurunnya produksi Nitric Oxide (NO) yang dihasilkan oleh selsel
endotel, sedangkan hipertensi menyebabkan disfungsi endotel melalui
beberapa cara seperti; secara kerusakan mekanis, peningkatan selsel
endotel dalam bentuk radikal bebas, pengurangan bioavailabilitas NO atau
melalui efek proinflamasi pada selsel otot polos vaskuler. Disfungsi
endotel ini berhubungan dengan stres oksidatif dan menyebabkan penyakit
kardiovaskuler.20
b. Stroke
Obesitas abdominal, kadar trigliserida dan kadar kolesterol HDL yang tidak
normal memiliki keterkaitan hubungan yang kuat sebagai pemicu timbulnya
penyakit kardiovaskuler, salah satunya adalah stroke.
Seseorang yang memiliki obesitas abdominal memiliki hubungan
lebih kuat untuk mengalami sindroma metabolik. Hal ini disebabkan karena
lemak pada abdominal memiliki sifat lebih lipolitik daripada lemak pada
subkutan ataupun lemak tubuh total, sehingga seseorang dengan obesitas
abdominal memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena penyakit
kardiovaskuler. Pada kondisi sindroma metabolik kadar trigliserida
mengalami peningkatan, hal ini dapat terjadi karena adanya peningkatan
dari diet aterogenik, kurangnya aktivitas fisik, dan juga konsumsi alkohol.
Diet tinggi kalori akan berdampak pada timbulnya rangsangan VLDL di hati
untuk meningkatkan kadar triggliserida dalam darah, dan penurunan kadar
kolesterol HDL. Tingginya kadar trigliserida, seringkali dihubungkan
dengan penurunan kadar kolesterol HDL pada obesitas. Tingginya kadar
trigliserida pada obesitas dipengaruhi oleh protein plasma, cholesteryl ester
transfer protein (CETP), yang memfasilitasi pemindahan trigliserida dari
lipoprotein tinggi trigliserida menuju ke partikel HDL secara berlebihan.15
Hipertensi merupakan keadaan peningkatan tekanan darah yang
memberi gejala yang akan berlanjut ke suatu target organ seperti stroke,
penyakit jantung koroner dan hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi adalah
faktor penyebab utama terjadinya stroke, karena tekanan darah yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan pembuluh darah yang sudah lemah menjadi
pecah. Bila hal ini terjadi pada pembuluh darah di otak, maka terjadi
perdarahan otak yang dapat berakibat kematian. Stroke juga dapat terjadi
akibat sumbatan dari gumpalan darah yang tersumbat di pembuluh yang
sudah menyempit. High Density Lipoprotein (HDL) mengangkut kolesterol
lebih sedikit. Jika kadar HDL dalam darah rendah, dapat meningkatkan
risiko terkena stroke, karena HDL bertugas untuk membawa kolesterol pergi
dari pembuluh darah arteri dan mengembalikannya ke hati kemudian
dibuang dari tubuh (Stroke Association, 2010). Sedangkan kadar glukosa
darah puasa, sewaktu ataupun 2 jam yang tidak normal, terutama
disebabkan karena resistensi insulin, hal ini merupakan faktor penghubung
antara sindroma metabolik dengan aterosklerosis, sehingga meningkatkan
risiko terjadinya stroke.21
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sindrom metabolik bertujuan untuk menurunkan risiko
kardiovaskular aterosklerosis dan risiko diabetes mellitus tipe 2 pada pasien yang
belum menderita diabetes. Penatalaksanaan sindrom metabolik terdiri atas 2 pilar
yaitu:
a. Tatalaksana penyebab
1) Obesitas dan obesitas sentral
Penderita obesitas sentral disarankan untuk menurunkan berat badan
sebanyak 7-10% selama satu tahun pertama terapi, setelah itu diteruskan
hingga mencapai IMT<25 kg/m3, lingkar pinggang < 40 inci pada pria dan
<35 inci pada wanita. Hal ini dilakukan dengan mengurangi asupan kalori
sebesar 500-1000 kalori per hari, ditunjang dengan aktivitas fisik yang
sesuai. Obat yang dapat digunakan untuk menurunkan berat badan adalah
sibutramin dan orlistat. Sibutramin bekerja sentral di otak mengurangi
asupan energy melalui efek mempercepat rasa kenyang dan
mempertahankan ensergi. Sibutramin memiliki efek metabolik, yaitu
memperbaiki konsentrasi trigliserida dan kolesterol HDL sebagai efek
penurunan berat badan setelah 24 minggu dan disertai diet serta aktivitas
fisik.
2) Inaktivitas fisik
Pasien dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik aerobik intensitas sedang
selama 30-60 menit, seperti berjalan cepat. Selain itu juga ditambah dengan
peningkatan aktivitas dalam gaya hidup sehari-hari (menaiki tangga,
berjalan, berkebun, mengerjakan pekerjaan rumah tangga). Pasien dengan
risiko tinggi (pasien sindrom koroner akut, revaskularisasi, gagal jantung
akut) melakukan latihan yang diawasi secara medis.
A. Simpulan
1. Insiden sindrom metabolik mengalami peningkatan seiring dengan perubahan gaya
hidup dan pertambahan usia penduduk menuju usia lanjut
2. Sindrom metabolik meningkatan risiko terhadap diabetes mellitus tipe-2, penyakit
kardiovaskular dan permasalahan medis lain seperti polycystic ovary syndrome,
obstructive sleep apnea, dan gout.
3. Pemeriksaan awal dan modifikasi gaya hidup dapat mencegah kejadian sindrom
metabolik.
4. Posyandu lansia tidak hanya bermanfaat dalam hal kuratif, tetapi juga perlu
meningkatkan upaya promotif maupun preventif.
B. Saran
1. Kegiatan posyandu lansia dan penyuluhan sesuai dengan permasalahan kesehatan
yang sedang dihadapi lansia di wilayah tersebut dapat dilaksanakan rutin setiap
bulan.
2. Kader maupun petugas kesehatan berupaya meningkatkan partisipasi aktif seluruh
lansia untuk hadir dalam kegiatan Posyandu Lansia rutin setiap bulan meskipun
tidak ada pengobatan.
3. Kader dan petugas kesehatan dapat melakukan pemantauan secara khusus dan
berkala seperti home visit pada lansia yang memiliki penyakit kronik tertentu
(diabetes mellitus, gagal ginjal, dan stroke).
4. Diperlukan pelatihan bagi kader posyandu mengenai cara penggunaan alat cek gula
darah, kolesterol, asam urat disertai dengan interpretasi dan edukasi sederhana bagi
lansia.
5. KIE kesehatan lansia dapat melalui media leaflet yang bisa dibagikan pada lansia
setiap pelaksanaan posyandu
DAFTAR PUSTAKA
2. Kairupan J, Lefrand R. Hubungan Antara Indeks Massa Tubh dengan Profil Lipid pada
Infark Miokard Akut.Jurnal Kardiologi Vol. XXVI, No.2 April Juni 2002.
3. Cameron AJ, Shaw JE, Zimmet PZ. The Metabolic Syndrome: Prevalence in
Worldwide Population. Endocrinol Metab Cin N. Am. 2004;33:351-75.
5. Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR. et al. Diagnosis and management of
the metabolic syndrome an American Heart Association/National Heart, Lung,
and Blood Institute scientific statement. Circulation. 2008; 112: 2735-2752.
6. Huang PL, 2009, A comprehensive definition for metabolic syndrome. Dis Model Mech.
2009; 2: 231-237
7. Dan L Longo, Dennis L Kasper, J Larry Jameson, Anthony S Fauci, Stephen L Hauser,
Joseph Loscalzo. Harrisons Principles of internal medicine. USA: The McGraw-
Hill Companies; 2012.
8. Depkes RI. 2006. Pedoman pelatihan kader kelompok usia lanjut bagi petugas
kesehatan. Direktorat kesehatan keluarga.
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar (Basic Health
Research). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
14. Luppa, M, Sikorsky, C, Luck, T, 2012. Age and Gender Spesific Prevalence of
Depression in Latest-Life Systematic Review and Metaanalysis. Journal of Affective
Disorder, 136, 212-221.
16. Ford ES, Giles WH, Dietz WH,. 2002. Prevalence of the Metabolic Syndrome Among
US Adults. Finding from the Third National Health and Nutrition Examination
Survey. Journal American Medical Association. 287.(20):35659.
17. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
18. Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Pengendalian Penyakit Jnatung dan
Pembuluh Darah. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehahatan
Lingkungan Departemen Kesehatan RI.
19. IDF. 2005. The IDF Concencus Worldwide Definition of the Metabolic Syndrome.
Journal American Medical Association. 213(12): 134552
20. Sartika, Cyntia R. 2006. Penanda Inflamasi, Stress Oksidatif dan Disfungsi Endotel pada
Sindroma Metabolik.Jurnal Kedokteran Indonesia. 65(8): 1821.
21. Arenillas J.F, Moro M.A, and Davalos A. 2007. The metabolic syndrome and stroke.
Potential treatment approach Stroke. Pdf.
http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30882/2/.pdf.
22. Tjokroprawiro A. 2005. The Mets: One of The Major Threat to Human Health. Plennery
Lecture Surabaya Metabolic Syndrome Update-1 (SUMETSU-1). Surabaya. Pdf.
http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30882/2/.pdf
LAMPIRAN