You are on page 1of 68

Studi Kasus: Siak dan Pelalawan 2014

Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

iii
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSESI DI RIAU


Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

Tim Penyusun
Raflis
Winahyu Dwi Utami
Widya Astuti
Melki Rumania
Fitri Ismah

Reviewer
Dr. Mexsasai Indra, S.H., M.H.
Andiko, S.H., M.H.
Ir. Rahmad Hidayat

Pengumpulan Data dan Analisis


Raflis
Widya Astuti
Melki Rumania

Editor
Ilham Muhammad Yasir
Winahyu Dwi Utami

Diterbitkan oleh
Yayasan Hutanriau

bekerja sama dengan

PUSTAKA PELAJAR
Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167
Telp. [0274] 381542 Faks. [0274] 383083
E-mail: pustakapelajar@yahoo.com
Website: pustakapelajar.co.id

ISBN: 978-602-229-496-2

iv
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan 2014

Kata Pengantar
Ir. Rahmad Hidayat
Dewan Pengawas Yayasan Hutan Riau

MEMBACA dan menyelami lebih dalam draft buku Analisis Pemberian


Izin Konsesi di Riau Studi Kasus: Siak dan Pelalawan 2014, langsung
terasa bagaimana bandul keseimbangan antara negara-masyarakat-
pengusaha di dalam pengelolaan sumber daya hutan menjadi sangat
timpang luar biasa. Provinsi Riau (dalam hal ini tergambarkan dari hasil
kajian komprehensif di Kabupaten Siak dan Pelalawan) sebagai bagian
dari republik ini telah mempertunjukkan dengan sangat jelas bagaimana
keberpihakan negara yang sangat berlebihan terhadap pengusaha
dalam membagi kue sumber daya hutan yang telah menjadi gantungan
hidup dan penghidupan masyarakat.

Sangat ironis, ada satu atau kelompok orang yang entah datang
dari ujung bumi mana, menguasai ratusan ribu hektar dengan dukungan
negara atas sumber daya hutan yang telah dimiliki turun-temurun oleh
satu atau lebih kelompok masyarakat adat. Ratusan bahkan jutaan
orang tidak memiliki dengan aman satu petak tanah untuk tapak rumah.
Kondisi seperti ini muncul dan terus berulang akibat perselingkungan
norma antara penguasa dan pengusaha serta didewakannya per-

v
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

tumbuhan ekonomi, bukan pemerataan pertumbuhannya.

Kondisi ini lahir akibat dari sesat pikir dalam menterjemahkan


mandat hak menguasai negara yang termaktub pada Pasal 33 Ayat 3
UUD 1945, untuk mengelola bumi, air dan kekayaan alam yang ter-
kandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat telah menimbulkan ketimpangan
kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam hutan. Bagi masya-
rakat di sekitar dan dalam hutan di Riau, sumber daya hutan bukan
semata alat produksi namun sebagai tempat hidup, tumbuh dan ber-
kembang, media ekspresi bagi teknologi dan kearifan lokal. Hal yang
terpenting, hutan memiliki makna sosial, politik, budaya dan religius.
Ketimpangan keberpihakan dan kepemilikan berakibat pada hilangnya
akses dan kontrol masyarakat terhadap sumber dayanya. Pergantian
rezim ternyata masih belum berdampak pada perbaikan sistem penge-
lolaan sumber daya hutan, termasuk regulasi yang dihasilkannya.

Realitas sekarang yang muncul adalah meningkatnya laju keru-


sakan dan fenomena kemiskinan masyarakat di sekitar hutan. Kondisi
ini bisa diterjemahkan sebagai bukti kegagalan kebijakan dan regulasi
di sektor kehutanan untuk membuktikan perannya sebagai pemegang
mandat dalam mengupayakan terwujudnya cita-cita filosofis dari pasal
33 ayat (3) UUD 1945. Padahal idealnya berbagai produk kebijakan
yang ditelurkan semestinya bisa menjadi landasan operasional yang
memberikan jaminan bahwa cita-cita ideologis dan filosofis konstitusi
tersebut bisa diwujudkan. Kegagalan ini disebabkan karena politik kebi-
jakan pengelolaan sumber daya hutan masih: (1) menonjolkan hak
menguasai negara yang dalam tataran praktiknya menjelma menjadi
hak memiliki negara (dalam hal ini pemerintah) atas sumber daya hutan,

vi
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

(2) sentralistik yang menutup peluang bagi penyusunan kebijakan yang


transparan, partisipatif, plural dan akuntabel, (3) sektoral yang menye-
babkan terjadinya tumpang tindih aturan terhadap objek yang sama,
sehingga tidak ada kepastian hukum, (4) eksploitatif dan masif (ber-
skala besar, luas dan padat modal) sehingga bersifat destruktif dan
antikerakyatan yang dengan sendirinya tidak memberi peluang bagi
pengakuan dan perlindungan hak-hak rakyat.

Ruang Ekspresi, Keharusan yang Tidak Bisa Ditawar

Kami senang akhirnya hutan desa sudah keluar izin. Itu perjuangan dari
2009, kata Eddy Saritonga, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (HD)
Segamai, di Jakarta, Kamis(7/3/13). Pria ini sehari-hari bekerja sebagai guru
sekolah dasar (SD), sekaligus ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
di Desa Segamai, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau.
(Mongabay, 10 Maret 2013/ http://www.mongabay.co.id/2013/03/10/lebih-
4-tahun-menanti-akhirnya-hutan-desa-segamai-serapung-terwujud/)

Menghubungkan dan menyandingkan antara cuplikan berita di


Mongabay dengan Tabel 1. Jumlah Luasan Izin HTI dan Perkebunan
yang Berada di Lahan Gambut dengan Kedalaman Lebih dari 3 Meter
di Kabupaten Siak dan Pelalawan seolah menjadi bukti yang tidak
terbantahkan, bagaimana tidak imbangnya alokasi ruang antara rakyat
dan pengusaha. Menteri Kehutanan telah menerbitkan Penetapan Areal
Kerja (PAK) Hutan Desa melalui SK Menhut Nomor 154 dan 155/
Menhut-II/2013 tentang PAK Hutan Desa bagi Desa Segamai dan Sera-
pung seluas 4000 hektare (ha), di mana masing-masing desa mem-
peroleh luas 2000 ha. Untuk Kabupaten Pelalawan kita bisa sanding-
kan perbandingan ruangnya, di mana pemerintah (pusat dan daerah)
telah memberikan izin kepada perusahaan HTI dan perkebunan sawit
di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter seluas 217.823

vii
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

ha dari total izin yang diberikan seluas 441.414 ha, sedangkan untuk
rakyat baru 4000 ha. Kalau diterjemahkan secara matematis, alokasi
untuk rakyat hanya 0,9 persen. Sedangkan untuk Kabupaten Siak per-
bandingannya adalah 184.850 ha untuk izin kepada perusahaan HTI
dan perkebunan sawit di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3
meter dan 0 ha untuk masyarakat, apalagi kalau dibandingkan dengan
izin total seluas 1.442.215 ha, kalau disandingkan alokasi untuk rakyat
0 persen. Hanya satu kata.... teramat sangat menyedihkan.

Untuk proses perizinan PAK Hutan Desa untuk kedua desa di Kabu-
paten Pelalawan tersebut telah menempuh perjalanan waktu hampir 4
tahun, dengan melalui labirin gelap birokrasi dari daerah sampai ke
pusat. PAK bukan izin final, namun masih harus diikuti oleh izin Hak
Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) yang ditandatangani oleh gubernur.
Dan sampai hari ini HPHD-nya pun belum ada. Padahal di dalam
peraturan menteri, apabila setelah 2 tahun PAK diterbitkan dan tidak
diikuti oleh HPHD, maka PAK tersebut akan batal demi hukum. Rumit
dan berbelit. Lalu apakah kita masih bisa berkomentar lagi terkait hal
ini? Ini sangat berbeda dengan proses perizinan untuk HTI dan perke-
bunan sawit, di mana pemerintah pusat dan daerah telah seia sekata
agar proses perizinan untuk kalangan dunia usaha tidak boleh lebih
dari 90 hari, bandingkan dengan proses izin untuk hutan desa yang
hampir 4 tahun.

Bagi masyarakat Siak dan Pelalawan secara khusus dan Riau


secara umum, masyarakat adat/lokal secara tradisional telah meman-
faatkan berbagai jenis tumbuhan dan hewan untuk keperluan akan
pemenuhan kebutuhan pangan, perumahan, obat-obatan, upacara
adat dan keagamaan. Secara khusus mereka melihat potensi hutan

viii
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

desa bukan hanya kayu, namun lebih dari itu justru hasil hutan non
kayu yang menjadi aspek pemanfaatan utama. Bagi masyarakat, hutan
merupakan bagian dari kehidupan, bagaikan ibu yang menghidupi
mereka. Sehingga ketersediaan ruang ekspresi menjadi harga mati.

Pemerintahan Kabinet Kerja di bawah kendali Presiden Jokowi telah


menetapkan Nawacita sebagai rujukan pembangunan ke depan, di
mana berdasarkan RPJMN (2015-2019) ditetapkan target minimal
kawasan hutan seluas 40 juta ha untuk alokasi bagi perhutanan sosial,
yaitu untuk HKm, HD, HTR, Kemitraan, HR dan Hutan Adat. Sementara
itu di dalam rencana lima tahun Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ditetapkan
target minimal yang harus dicapai seluas 12,7 juta ha (2015-2019).
Kebijakan ini bisa menjadi media bagi masyarakat dan para pendu-
kungnya untuk mulai membahas berapa targetan untuk Provinsi Riau,
Kabupaten Pelalawan dan Siak. Sehingga para pihak bisa memantau
realisasi dari target tersebut.

Target, hanya akan menjadi target di atas kertas tanpa bukti yang
jelas tanpa dibarengi oleh advokasi untuk mempengaruhi para peng-
ambil kebijakan di provinsi dan kabupaten agar mulai mempersiapkan
peta arahan untuk skema perhutanan sosial, dan mereview izin-izin
yang mangkrak. Sehingga dari situ bisa terlihat di wilayah mana alokasi
ruang ekspresi masyarakat bisa diberikan.

Pengakuan ruang ekspresi masyarakat dalam bentuk hutan desa


yang telah diberikan, serta hutan adat yang masih sangat sulit diperoleh
karena berbelitnya birokrasi, tarik-menarik kepentingan sumber daya
serta tidak tersedia aspek kebijakan yang memadai, harus selalu di-
gelorakan dan dimasukkan dalam rekomendasi penting dari buku ini.

ix
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

Karena dengan rekognisi ruang ekspresi bisa mempunyai nilai penting,


karena bisa: (1) sebagai wujud nyata/konkret peneriman atas parti-
sipasi rakyat dalam pengelolaan hutan atau dalam konteks yang lebih
luas dalam pengelolaan sumber daya alam, (2) wujud nyata penghor-
matan dan penghargaan dan terima kasih penyelenggara negara
kepada masyarakat (sebagai pemilik negara-bangsa), yang sudah
terbukti menjadi pengawal hutan, lingkungan dan sumber daya alam
yang paling setia. Selain itu, pengakuan bermanfaat juga bagi pe-
merintah, sebab dengan adanya pemberian wewenang otomatis akan
berisi pendelegasian dan penyerahan serangkaian hak dan kewajiban
akan sejumlah tugas yang harus dipikul masyarakat. Sehingga dengan
adanya pengakuan terhadap inisiatif masyarakat dapat: (1) meringan-
kan tugas-tugas dan kewajiban pemerintah, karena legalisasi ini pasti
akan berkonsekuensi pada pembagian tugas antara masyarakat dengan
pemerintah, (2) meringankan beban pembiayaan pemerintah, karena
legalisasi ini menuntut keswadayaan masyarakat, khususnya dalam
menjaga dan melindungi sumber daya hutannya, (3) mengharmoniskan
hubungan rakyat dengan pemerintah dan unsur penyelenggara negara
lainnya, yang terganggu akibat praduga, prasangka dan kecurigaan
lainnya.

Bagi masyarakat, pengakuan bermanfaat bagi: (1) adanya kepas-


tian, bahwa inisiatif dan upaya-upaya yang telah mereka kembangkan
tidak sia-sia dan akan terus bisa berlanjut, (2) adanya hak dan kewe-
nangan hukum yang pasti, dalam upaya mereka mengamankan,
melindungi dan melestarikan lingkungan hutan dan sumber daya alam
mereka lainnya, (3) melahirkan perasaan dihargai, sehingga menimbul-
kan kepercayaan dan keyakinan diri serta kebanggaan untuk mengem-
bangkan kreativitas-kreativitas yang positif terutama di bidang penge-

x
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

lolaan dan pemanfaatan sumber daya lingkungan yang lestari.

Kebenaran yang Terabaikan

Berdasarkan hasil kajian, di Provinsi Riau telah teridentifikasi sebesar


77 persen izin HTI tidak sesuai dengan kriteria kawasan yang dapat
diberikan izin berdasarkan peraturan bidang kehutanan1. Di samping
itu terdapat 1,5 juta ha kawasan hutan yang dikelola secara ilegal untuk
perkebunan kelapa sawit dan pertambangan tanpa melalui proses
pelepasan kawasan hutan2. Data, analisis dan fakta yang telah disam-
paikan dalam buku ini sudah sangat jelas bagaimana pelanggaran
yang terjadi dalam implementasi proses pemberian izin. Proses keter-
bukaan, prinsip kehati-hatian, kebertanggunggugatan hampir tidak di-
terapkan. Sehingga kalau kita kumpulkan informasi dari media cetak
dan elektronik, provinsi yang berjuluk Lancang Kuning ini mempunyai
sejarah kelam dalam pemberian izin kehutanan. Gubernur Riau ter-
libat korupsi pemberian izin dan juga diikuti oleh beberapa bupatinya.

Belajar dari pengalaman, harusnya hasil kajian ini bisa menjadi


media refleksi bagi pemerintah (minimal di provinsi dan kabupaten)
agar mulai memperbaiki mekanisme pemberian izin. Buku ini diharapkan
bisa menjadi referensi bagi pemerintah yang akan mengubah haluan
menuju lautan perizinan yang bertanggung jawab dan transparan.

Jakarta, 5 Mei 2015


Rahmad Hidayat

1
Susanto Kurniawan, Raflis, 2014, Korupsi Perizinan Kehutanan (Kasus
Riau) halaman 49.
2
http://m.wartaeko nomi.co.id/berita21654/15-juta-hektare-hutan-riau-di-
kelola-ilegal.html

xi
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

xii
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan 2014

Kata Pengantar
Dr. Tjokorda Nirarta Samadhi
Direktur World Resources Institute Indonesia

MASIH terbayang jelas di benak saya, bagaimana krisis asap kabut dari
kebakaran hutan dan lahan gambut di Riau pada bulan Juni 2013 serta
awal triwulan 2014 yang lalu telah mengakibatkan banyak korban di
sana: jalanan yang penuh dengan wajah bermasker, anak-anak kita
yang tidak bisa belajar di sekolah dengan tenang, sampai dengan
mereka yang harus masuk rumah sakit karena kesulitan bernapas.
Tragedi ini dialami bukan saja oleh saudara-saudara kita di tanah air
sendiri, tetapi juga para tetangga di negara-negara seberang selat.
Bandar udara di Pekanbaru harus ditutup selama beberapa waktu,
kualitas udara di Singapura terdeteksi sebagai yang terburuk sepanjang
sejarah, dan Malaysia terpaksa meliburkan sekolah-sekolah. Jika ditotal,
kerugian yang diakibatkan kejadian di awal triwulan 2014 sendiri men-
capai setidaknya 50 triliun rupiah1; ini belum termasuk episode-episode
kebakaran sebelum dan setelahnya. Sementara itu, penelitian lain juga
menemukan bahwa pada 2012, kebakaran hutan di provinsi Riau me-

1
Menurut BNPB yang dikutip Tribunnews.com, 17 September 2014, seperti
yang dapat dilihat di http://www.tribunnews.com/nasional/2014/09/17/bnpb-
kerugian-negara-rp-50-t-akibat-kebakaran-hutan-di-riau.

xiii
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

lepaskan emisi karbon sebanyak 1,5-2 miliar ton hanya dalam satu
pekansetara dengan 10% total emisi tahunan Indonesia.2

Secara naluriah, masyarakat mencari pihak yang dapat diminta


pertanggungjawabannya. Baik perusahaan-perusahaan kelapa sawit,
kayu, tanaman industri berbasis hutan lainnya, sampai pada petani
kecil dengan perkebunan pribadisemua mendapat jatah disalahkan.
Media maupun para pemangku kepentingan lain, termasuk pemerintah
Indonesia, mengalami kesulitan yang cukup besar dalam mengkon-
firmasi kenyataan di balik tuduhan-tuduhan ini, karena tidak ada peta
yang definitif dan akurat untuk melakukan analisis spasial mendalam
terkait kejadian ini. Meskipun saat itu, salah satu asosiasi industri ber-
hasil meminta perusahaan-perusahaan afiliasinya untuk menyerahkan
peta digital mereka, ini masih jauh dari cukup, terutama dari aspek
kerangka waktu dan kelengkapan. Pada akhirnya, berbagai spekulasi
publik terkait penyebab dan pelakunya menjamur.

Proses kunci yang mendasar di balik keseluruhan bencana ini,


menurut kami, terletak pada pemberian izin konsesi oleh pemerintah.
Beberapa hukum dan peraturan yang ada, termasuk pembagian ka-
wasan hutan dan non-hutan, perlindungan wilayah gambut, serta ke-
bijakan moratorium izin pada hutan primer dan lahan gambut, sudah
diarahkan untuk dapat meminimalisasi bencana maupun kerugian eko-
sistem lain yang diakibatkan oleh kegiatan ekonomi manusia yang ber-
basis lahan. Pintu masuk dari ini semua adalah izin konsesi (IUP-B,

2
Catriona Moss, Hilangnya lahan gambut mengemisi karbon senilai 2.800
tahun dalam sekejap mata: Riset pada Blog CIFOR, 23 Januari 2015, seperti
yang dapat dilihat di: http://blog.cifor.org/26501/hilangnya-lahan-gambut-
mengemisi-karbon-senilai-2-800-tahun-dalam-sekejap-mata-riset#.VVwJW5O
qpBc.

xiv
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

IUP-P, IUPHHK-HA, IUPHHK-HTI) yang merupakan instrumen pemerintah


dalam pengendalian pemanfaatan hutan, di mana pemerintah dapat
secara hati-hati melakukan penilaian terkait kepantasan dan akunta-
bilitas perusahaan sebelum mereka melakukan kegiatan usaha apa pun.

Melalui proses pemberian izin konsesi yang ideal, bukan saja


pemerintah dapat memastikan bahwa keuntungan dari kegiatan usaha
dapat didistribusikan dengan baik kepada masyarakat yang berhak,
tetapi juga membantu proses pengawasan kepatuhan selama kegiatan
usaha berlangsung. Proses pemberian izin konsesi yang transparan
memungkinkan publik untuk melihat risiko yang mungkin ditimbulkan
kegiatan usaha, sekaligus memberi kontribusi masukan dan kritik terkait
dengan rencana yang diajukan perusahaan. Selain itu, peta konsesi
maupun data spasial lain yang dapat diakses umum juga akan mem-
bantu proses penegakan hukum ketika terjadi bencana kebakaran hutan
dan lahan seperti yang disebutkan di atas.

Berangkat dari perspektif ini, sejak Agustus 2014, World Resources


Institute melakukan kerja sama berupa hibah penelitian dengan Ya-
yasan Hutanriau dan beberapa organisasi lokal yang bergerak di bidang
penggunaan lahan dan konflik untuk melakukan serangkaian kegiatan
penelitian dan analisis terkait dengan proses pemberian izin konsesi
kelapa sawit dan HTI di Riau, khususnya di Kabupaten Siak dan Pela-
lawan.

Merupakan suatu kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi


kami bahwa hari ini, temuan-temuan berharga dari kegiatan penelitian
tersebut dapat diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul Analisis
Pemberian Izin Konsesi di Riau: Studi Kasus Siak dan Pelalawan 2014.
Dengan ini, kami berharap bahwa masyarakat umum dapat sedikit-

xv
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

banyak mengambil hikmah ajar dari proses yang telah dilalui oleh teman-
teman Hutanriau.

Akhir kata, selamat membaca.

Jakarta, 20 Mei 2015

xvi
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan 2014

Daftar Isi

KATA PENGANTAR v
Rahmad Hidayat
Dewan Pengawas Yayasan Hutan Riau
KATA PENGANTAR xiii
Dr. Tjokorda Nirarta Samadhi
Direktur World Resources Institute Indonesia
DAFTAR ISI xvii
DAFTAR GAMBAR xix
DAFTAR TABEL xx
DAFTAR LAMPIRAN xxi

BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan Penelitian 4
BAB 2. ANALISIS PERIZINAN 7
2.1. Proses Pemberian Izin di Indonesia. 7
2.2. Izin Pemanfaatan Lahan di Kabupaten Siak dan
Pelalawan 15
2.3. Review Perizinan di Kabupaten Siak dan Pelalawan
Provinsi Riau 16

xvii
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

BAB 3. PENGUMPULAN DATA 29


3.1 Teknik Pengumpulan data 29
3.2 Teknik Analisis 30
BAB 4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 31
Kesimpulan 31
Rekomendasi:
Terhadap Pemerintah 32
Terhadap Masyarakat 34

DAFTAR PUSTAKA 35

LAMPIRAN 39

xviii
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan 2014

Daftar Gambar

Gambar 1. Peta dan Diagram Izin HTI dan Perkebunan di Kabupaten


Siak 16
Gambar 2. Peta dan Diagram Izin HTI dan Perkebuanan di Kabupaten
Pelalawan 16
Gambar 3. Peta Perizinan di Kawasan Gambut di Kabupaten Siak dan
Kabupaten Pelalawan 17
Gambar 4. Peta Ketidaksesuaian Izin terhadap RTRWK di Kabupaten
Siak dan Kabupaten Pelalawan 20
Gambar 5. Peta Ketidaksesuaian Izin terhadap RTRWP Riau di Kabu-
paten Siak dan Kabupaten Pelalawan 21
Gambar 6. Peta Ketidaksesuaian Izin terhadap SK. 173/Menhut-II/
1986 di Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan 22
Gambar 7. Peta Pelanggaran Perizinan di Kabupaten Siak dan
Kabupaten Pelalawan 23
Gambar 8. Peta Penertiban izin di Kabupaten Siak dan Kabupaten
Pelalawan 26
Gambar 9. Peta Pemutihan Pelanggaran di Kabupaten Siak dan
Kabupaten Pelalawan 27

xix
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

Daftar Tabel

Tabel 1. Jumlah Luasan Izin HTI dan Perkebunan yang Berada


di Lahan Gambut dengan Kedalaman Lebih dari
3 Meter 17
Tabel 2. Perizinan yang Tidak Sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten 19
Tabel 3. Perizinan yang Tidak Sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi 21
Tabel 4. Perizinan yang Tidak Sesuai dengan SK 173/1986 22
Tabel 5. Pelanggaran Perizinan di Kabupaten Siak dan Kabupaten
Pelalawan 23
Tabel 6. Perizinan yang Semestinya Dibatalkan Sesuai dengan PP
No. 26/2008 25
Tabel 7. Overlay Analisis Pelanggaran Perizinan dan Temuan
Adanya Pemutihan Pelanggaran Izin dalam SK 7651/2011
dan SK 878/2014 27

xx
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan 2014

Daftar Lampiran

Lampiran I: Data yang Digunakan 39


Lampiran II: Analisis Ketidaksesuaian antara Izin HTI dan
Perkebunan dengan Ketentuan yang Berlaku 43

xxi
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

xxii
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

Bab 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil


sekitar 5-7% dalam beberapa tahun terakhir. Kestabilan itu juga di-
dukung oleh komitmen presiden melakukan percepatan pembangun-
an ekonomi melalui program Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Ditambah lagi dukungan
komitmen menurunkan emisi sebesar 26-41% pada tahun 2025. Penu-
runan emisi sebesar 26% itu dilakukan tanpa mengorbankan pem-
bangunan dan dengan biaya sendiri dengan target penurunan sebesar
41% akan dicapai apabila mendapat bantuan internasional1.

Komitmen percepatan pembangunan ekonomi melalui MP3EI dan


komitmen pengurangan emisi sepertinya sulit dicapai dalam waktu ber-
samaan. Sampai saat ini pengembangan ekonomi masih bertumpu pada
sektor pemanfaatan lahan dan ruang. Karena fokus dari pengembangan
MP3EI ini masih diletakkan pada 8 program utama, yaitu pertanian;

1
Strategi Nasional REDD+ http://www.reddplus.go.id/program/strategi-
nasional-redd.

1
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

pertambangan; energi; industri; kelautan; pariwisata dan telematika; serta


pengembangan kawasan strategis2. Sementara pemanfaatan lahan
untuk pengembangan ekonomi di Provinsi Riau sebagian besar masih
terdapat di lahan gambut yang didominasi oleh perkebunan kelapa
sawit dan hutan tanaman industri (HTI).

Konsep hutan tanaman industri pada dasarnya sejalan dengan


konsep pengelolaan hutan secara berkelanjutan, karena hutan tanaman
industri dikelola di atas lahan yang tidak produktif. Apalagi ada indikasi
bahwa hutan tanaman industri di Riau dilaksanakan di kawasan hutan
produksi3.

Sesuai dengan peraturan pemerintah, kawasan yang diperbolehkan


dijadikan perkebunan adalah kawasan hutan produksi konversi atau
area penggunaan lain. Sementara HTI diberikan di kawasan hutan pro-
duksi tetap (hutan produksi). Ketika terdapat perkebunan dan HTI di
luar kriteria tersebut, maka dikategorikan sebagai pelanggaran.

Selain itu, separuh dari wilayah daratan Provinsi Riau, merupakan


lahan gambut. Kawasan gambut merupakan ekosistem basah yang
unik dan rentan terjadi kerusakan, terutama apabila terjadi pengeringan.
Untuk itu pemerintah sudah menetapkan kawasan gambut sebagai
kawasan yang harus dilindungi (Keppres No. 32 Tahun 1990). Dalam
Keppres tersebut dinyatakan, gambut dengan kedalaman lebih dari 3
meter dan yang berada di hulu sungai harus dilindungi. Pengaturan
itu diperkuat lagi dengan PP No.71 Tahun 2014 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

2
Masterplan MP3EI 2011-2025, Cetakan Pertama (Jakarta: Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian, 2011), Hlm 22.
3
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press,
2014), Hlm. 173.

2
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

Salah satu strategi nasional REDD+ terkait hal itu adalah melakukan
penegakan hukum terhadap izin yang sudah diberikan dan melanggar
ketentuan perundang-undangan sesuai dengan sanksi yang diatur dalam
UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No.31 Tahun 1999
tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No.32 Tahun 2009 tentang Per-
lindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta peraturan lain
yang terkait4.

Di Provinsi Riau telah teridentifikasi kurang lebih sebanyak 77%


izin HTI tidak sesuai dengan kriteria kawasan yang dapat diberikan izin
berdasarkan peraturan di bidang kehutanan5. Di samping itu, terdapat
1,5 juta ha kawasan hutan yang dikelola secara ilegal untuk perkebunan
kelapa sawit dan pertambangan tanpa melalui proses pelepasan
kawasan hutan.

Terkait kasus tindak pidana di bidang kehutanan, Riau adalah


provinsi yang selalu menjadi sorotan di tingkat nasional. Karena dua
kepala daerahnya secara berturut-turut dipidana atas kasus korupsi
kehutanan. Mereka adalah Rusli Zainal yang terbukti menyalahguna-
kan wewenang dan Annas Maamun yang tertangkap tangan menerima
uang suap sebesar 156.000 dolar Singapura dan Rp500 juta. Suap ter-
sebut diberikan oleh pengusaha sekaligus Ketua Dewan Pimpinan
Wilayah Apkasindo Provinsi Riau Gulat Medali Emas Manurung kepada
Gubernur Riau nonaktif Annas Maamun, berkaitan dengan perubahan
wilayah Hutan Tanaman Industri (HTI) ke Area Peruntukan Lainnya
(APL).

4
Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan 2012; Strategi Nasional REDD+
Indonesia Hlm. 20.
5
Susanto Kurniawan, Raflis, 2014, Korupsi Perizinan Kehutanan (Kasus
Riau). Hlm. 49.

3
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

Di wilayah HTI tersebut diduga sudah ditanami sawit oleh peru-


sahaan Gulat. Gulat yang mengetahui ada rencana perubahan tata
ruang yang ingin dilakukan Provinsi Riau, langsung bergerak cepat untuk
meloloskan perubahan fungsi hutan untuk lahan 140 ha.

Tidak hanya kepala daerah Provinsi Riau, hukum juga menjerat


sejumlah kepala daerah di tingkat kabupaten dan kepala Dinas Kehu-
tanan Provinsi Riau. Mereka didakwa atas tindak pidana korupsi sektor
kehutanan yang menyebabkan kerugian negara dan ekologi hingga
miliaran rupiah.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka


dapat dirumuskan permasalahan utama yang menjadi fokus dalam
penelitian ini, yaitu:

a. Bagaimana proses pemberian Izin Hutan Tanaman Industri


(HTI) dan Perkebunan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku?
b. Bagaimana proses pemberian izin di Kabupaten Siak dan
Pelalawan terhadap kawasan hutan, dan rencana tata ruang
dan kawasan bergambut?
c. Bagaimana konsep untuk perbaikan proses tata kelola hutan
pada tingkat teknis dan kebijakan?

1.2.Tujuan Penelitian

Menjelaskan proses pemberian izin hutan tanaman industri


dan perkebunan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Melakukan analisis pemberian izin di Kabupaten Siak dan
Pelalawan terhadap kawasan hutan, rencana tata ruang dan

4
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

kawasan bergambut.
Mengidentifikasi gap, efektivitas, efisiensi untuk perbaikan
proses tata kelola hutan pada tingkat teknis dan kebijakan.

5
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

6
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

Bab 2
ANALISIS PERIZINAN

2.1 Proses Pemberian Izin di Indonesia

Sesuai Pasal 4 Undang Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan, dinyatakan bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik
Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di-
kuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi ke-
makmuran rakyat.6 Penguasaan hutan oleh negara memberi wewenang
kepada pemerintah antara lain untuk:

a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan


dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan
atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan;
c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum an-
tara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuat-
an hukum mengenai kehutanan.

6
Ahmad Redi, Hukum Sumber Daya Alam dalam Sektor Kehutanan, Cetakan
Pertama (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), Hlm 13.

7
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

Dalam hal pemberian Izin HTI dan Perkebunan, selain diatur dalam
UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga diatur dalam UU No.39
Tahun 2014 tentang Perkebunan. Sesuai dengan UU Perkebunan, izin
perkebunan diberikan oleh kepala daerah (Bupati/Gubernur) sedang-
kan Izin HTI dikeluarkan oleh menteri sebagaimana diatur dalam PP
No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan.

2.1.1 Izin Perkebunan

Berdasarkan Undang Undang Perkebunan terdapat 3 jenis peri-


zinan perkebunan yaitu: Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-
B), Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan (IUP-P) dan Izin Usaha
Perkebunan (IUP). IUP-B merupakan izin usaha perkebunan untuk usaha
budi daya tanaman perkebunan yang wajib dimiliki oleh pemilik perke-
bunan dengan luas minimal 25 ha. Sedangkan untuk pengolahan hasil
perkebunan diterbitkan IUP-P. Untuk budi daya perkebunan yang ter-
integrasi dengan pengolahan hasil diterbitkan IUP.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No.26/Permentan/OT.


140/2/2007 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Perkebunan
diungkapkan, pemberian izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk budi daya
merupakan kewenangan Bupati atau Gubernur. Izin diberikan oleh bu-
pati jika berada dalam satu kabupaten dan oleh gubernur jika lintas
kabupaten. Sedangkan kriteria kawasan yang dapat diberikan izin ada-
lah sebagai berikut:

Sesuai dengan perencanaan pembangunan perkebunan kabu-


paten/kota maupun provinsi
Belum terdapat izin lain pada kawasan tersebut

8
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

Berada di luar kawasan hutan, jika pada kawasan tersebut


merupakan kawasan hutan dibutuhkan pertimbangan teknis
Dinas Kehutanan.
Dalam hal tanah yang digunakan berasal dari tanah hak ulayat
masyarakat hukum adat (MHA), maka pemohon wajib terlebih
dahulu melakukan musyawarah dengan MHA pemegang ulayat
dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan yang
dituangkan dalam bentuk kesepakatan penyerahan tanah dan
imbalannya dengan diketahui oleh gubernur atau bupati/wali-
kota sesuai kewenangan.7

Semua kegiatan budi daya perkebunan dengan luasnya lebih dari


luas 25 (dua puluh lima) ha atau lebih, wajib memiliki IUP-B. Sedangkan
Untuk IUP hanya dapat diberikan seluas 100.000 ha untuk satu peru-
sahaan atau grup perusahaan. Untuk lahan usaha perkebunan luas mak-
simumnya adalah 20.000 ha dalam satu provinsi atau 100.000 ha untuk
seluruh Indonesia.8 Tetapi ketentuan ini tidak berlaku bagi perusahaan
dengan pemilik saham mayoritasnya koperasi, usaha perkebunan dan
perusahaan yang ada saham milik negara, provinsi, kabupaten/kota.

Proses perizinan dapat dikategorikan ke dalam 3 tahapan; yaitu


pra perizinan; perizinan; dan pasca perizinan. Pada tahap pra perizinan,
pemohon melengkapi syarat-syarat administratif yang harus dilampir-
kan dalam pengajuan Izin Usaha Perkebunan. Pada tahap perizinan
merupakan proses pengajuan izin sampai mendapat izin dari peme-

7
Pasal 12 UU No. 39 Tahun 2014.
8
Pasal 7 Ayat 1 Poin a Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357/Kpts/HK.350/
5/2002 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.

9
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

rintah. Tahap pasca perizinan berisi kewajiban yang harus dilaksanakan


oleh penerima izin termasuk di antaranya pengurusan hak atas tanah.

Praperizinan, merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh pemilik


perkebunan sebagai syarat administratif dalam pengajuan izin usaha
perkebunan (IUP dan IUP-B) kepada bupati/gubernur. Di antaranya
adalah:

Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangun-


an Perkebunan Kabupaten/Kota dari bupati/walikota untuk IUP
yang diterbitkan oleh gubernur;
Rekomendasi Kesesuaian dengan Perencanaan Pembangun-
an Perkebunan Provinsi dari gubernur untuk IUP yang diterbit-
kan oleh bupati/walikota;
Izin Lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta
digital calon lokasi dengan skala 1:100.000 atau 1:50.000 (cetak
peta dan file elektronik) sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan tidak terdapat izin yang diberikan pada pihak
lain;
Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari dinas yang mem-
bidangi kehutanan, apabila areal yang diminta berasal dari
kawasan hutan;
Izin Lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai
kewenangan;

Perizinan merupakan proses pengajuan izin oleh pemilik izin sampai


izin dikeluarkan oleh yang berwenang, dengan proses sebagai berikut:

Melengkapi persyaratan administratif yang diajukan kepada


bupati/walikota jika areal yang dimohon berada dalam satu

10
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

kabupaten/kota dan kepada gubernur jika areal yang diajukan


berada pada lintas kabupaten/kota.
Jika persyaratan yang diajukan lengkap, maka gubernur dalam
waktu paling lambat 10 hari menyetujui permohonan tersebut.
Dalam waktu paling lambat 7 hari dikeluarkan pengumuman
di website pemerintah provinsi/kabupaten dan diumumkan di
kantor kecamatan pada wilayah yang dimohon terkait perse-
tujuan perizinan ini. Tujuannya untuk mendapat masukan dari
masyarakat. Pengumuman ini berisi informasi tentang identitas
pemohon, lokasi kebun beserta petanya, luas dan asal lahan
dan kapasitas produksi industri hasil perkebunan untuk IUP.
Pengumuman dilaksanakan dalam rentang waktu 30 hari, jika
tidak ada keberatan dari masyarakat, maka paling lambat 10
hari berikutnya bupati mengeluarkan IUP dan dokumen terse-
but dapat diakses oleh masyarakat.

Pasca perizinan merupakan kewajiban atau perizinan yang harus


didapatkan setelah izin usaha perkebunan didapatkan. Setelah men-
dapatkan IUP selanjutnya diharuskan mengurus hak atas tanah sesuai
dengan peraturan tentang pertanahan.

2.1.2 Izin Kehutanan

Pemberian izin HTI masih merupakan kewenangan dari Menteri


Kehutanan. Kriteria kawasan yang dapat diberikan izin di antaranya
berada dalam kawasan hutan produksi, tidak dibebani izin/hak, dica-
dangkan sebagai Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).

Pemohon yang dapat mengajukan permohonan IUPHHK dalam

11
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

hutan alam, IUPHHK pada hutan tanaman industri dalam hutan tanaman
pada hutan produksi (IUPHHK-HTI) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) terdiri atas perorangan,
koperasi, Badan Usaha Milik Swasta Indonesia (BUMSI), Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah9.

Permohonan IUPHHK-HTI, untuk permohonan perorangan tidak


diperbolehkan. Sementara itu, permohonan IUPHHK-HTI, BUMS Indo-
nesia dapat berupa perorangan terbatas yang berbadan hukum Indo-
nesia dan modalnya dapat berasal dari investor atau modal asing.

Persyaratan permohonan terdiri atas:

a. Untuk perorangan harus berbentuk CV atau Firma dan dileng-


kapi akta pendirian.
b. Akta pendirian koperasi, dan badan usaha milik swasta Indo-
nesia beserta perubahan-perubahannya yang disahkan oleh
instansi yang berwenang.
c. Surat izin usaha dari instansi yang berwenang.
d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
e. Pernyataan yang dibuat di hadapan Notaris, yang menyatakan
kesediaan untuk membuka kantor cabang di provinsi, kabu-
paten atau kota.
f. Rencana lokasi yang dimohon dengan lampiran peta skala
minimal 1:100.000 untuk luasan di atas 100.000 ha atau skala
1:50.000 untuk luasan di bawah 100.000 ha.
g. Rekomendasi gubernur yang dilampiri peta lokasi sekurang-
kurangnya skala 1:100.000 dengan didasarkan pada :

9
Ibid, Hlm. 162-164.

12
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

Pertimbangan bupati atau walikota yang didasarkan pada


pertimbangan teknis kepala dinas kehutanan kabupaten
atau kota, bahwa areal dimaksud tidak dibebani hak-hak
lain;
Analisis fungsi kawasan hutan dari kepala dinas kehutanan
provinsi dan kepala balai pemantapan kawasan hutan,
yang berisi fungsi kawasan hutan sesuai.

Jangka waktu izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan
alam pada hutan produksi diberikan paling lama 55 tahun. Izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam dapat diperpanjang
berdasarkan evaluasi yang dilakukan setiap 5 tahun oleh Menteri Kehu-
tanan. Jangka waktu IUPHHK restorasi ekosistem dalam hutan alam
pada hutan produksi, diberikan paling lama 100 tahun. Izin usaha pe-
manfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam di-
evaluasi setiap 5 tahun oleh Menteri Kehutanan sebagai dasar kelang-
sungan izin.

Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam


hutan alam hanya diberikan sekali dan tidak dapat diperpanjang. Jangka
waktu izin pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman
pada hutan produksi diberi paling lama 100 tahun. Izin usaha peman-
faatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman dievaluasi setiap
5 tahun oleh Menteri sebagai dasar kelangsungan izin. Izin usaha pe-
manfaatan hasil hutan kayu pada HTI dalam hutan tanaman hanya
diberikan satu kali dan tidak dapat diperpanjang.

Jangka waktu IUPPHK pada HTR dalam hutan tanaman pada hutan
produksi diberikan paling lama 100 tahun. Izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman dievaluasi setiap 5 tahun

13
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

oleh menteri sebagai dasar kelangsungan izin. Izin usaha pemanfaatan


hasil hutan kayu hanya diberikan sekali dan tidak dapat diperpanjang.
Jangka waktu izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTHR dalam
hutan tanaman pada hutan produksi diberikan paling lama 1 tahun dan
dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi yang dilakukan setiap 6 bulan
oleh Menteri Kehutanan.

Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam diberikan
oleh Menteri Kehutanan berdasarkan rekomendasi gubernur yang telah
mendapatkan pertimbangan dari bupati atau walikota. Izin usaha pe-
manfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam di-
berikan oleh Menteri dengan tembusan kepada gubernur, bupati atau
walikota, dan kepala KPH. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
pada HTI dalam hutan tanaman diberikan oleh Menteri, berdasarkan
rekomendasi gubernur yang telah mendapatkan pertimbangan dari bu-
pati dan walikota. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR
dalam hutan tanaman diberikan oleh Menteri Kehutanan dan dapat
dilimpahkan kepada bupati atau walikota atau pejabat yang ditunjuk.
Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTHR dalam hutan ta-
naman diberikan oleh Menteri Kehutanan atau pejabat yang ditunjuk
berdasarkan rekomendasi gubernur yang mendapatkan pertimbangan
dari bupati atau walikota.

Praperizinan merupakan dokumen yang harus dilengkapi sebagai


syarat administratif pengajuan izin, dengan kriteria sebagai berikut:

Kawasan HP yang tidak dibebani izin atau hak


Diberikan pada areal yang telah dicadangkan atau ditetapkan
oleh menteri.
Pertimbangan teknis dari bupati atau walikota.

14
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

Rekomendasi dari gubernur.


Jika bupati tidak memberikan pertimbangan atau gubernur tidak
memberikan rekomendasi menteri tetap bisa menerbitkan izin.

Perizinan merupakan proses pengajuan izin oleh pemohon sampai


izin diberikan oleh pemberi izin, dengan proses sebagai berikut:

Pemohon mengajukan permohonan izin HTI kepada menteri ke-


hutanan selanjutnya dilakukan penilaian administratif oleh direktur
atas nama Dirjen BUK.
Jika secara teknis dinilai layak, menteri memerintahkan Direktur
Jenderal menerbitkan Surat Persetujuan Prinsip (RATTUSIP) ke-
pada calon pemegang izin untuk melakukan penyusunan Amdal
UKL, UPL serta memperoleh izin lingkungan. Setelah semua
dokumen lengkap, maka izin dapat diberikan.

Pasca Perizinan merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh


penerima izin setelah izin diberikan. Biasanya kewajiban yang harus
dilaksanakan di antaranya: melakukan tata batas konsesi dan menyele-
saikan persoalan hak atas tanah pada kawasan yang diberikan izin ter-
hadap masyarakat setempat.

2.2 Izin Pemanfaatan Lahan di Kabupaten Siak dan Pelalawan


2.2.1 Kabupaten Siak
Pemerintah telah memberikan izin pemanfaatan lahan di Kabu-
paten Siak seluas 565.987 ha dari 855.609 ha luas kabupaten. Izin
yang diberikan tersebut terdiri dari 254.253 ha Izin Perkebunan dan
311.734 ha izin HTI. Sebaran izin pemanfaatan lahan di Kabupaten
Siak dapat dilihat dari peta di bawah ini:

15
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

Gambar 1. Peta dan Diagram Izin HTI dan Perkebunan di Kabupaten Siak

2.2.2 Kabupaten Pelalawan

Pemerintah telah memberikan izin pemanfaatan lahan di Kabupaten


Pelalawan seluas 866.261 ha dari 1.392.494 ha luas kabupaten. Izin
yang diberikan tersebut terdiri dari 387.668 ha izin perkebunan dan
478.593 ha izin HTI. Sebaran perizinan tersebut dapat dilihat di peta di
bawah ini:

Gambar 2. Peta dan Diagram Izin HTI dan Perkebunan di Kabupaten Pelalawan

2.3 Review Perizinan di Kabupaten Siak dan Pelalawan


Provinsi Riau

Pemberian izin banyak tidak sesuai dengan kawasan lindung


gambut, RTRW-K, RTRW-P, RTRW-N, dan kawasan hutan. Hal ini akan

16
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

berdampak terhadap laju kerusakan hutan, konflik, bencana alam, dan


lain-lain.

2.3.1 Perizinan Pada Lahan Gambut

Lahan gambut merupakan kawasan yang rentan terjadi bencana


kebakaran apabila dikeringkan. Kawasan bergambut dilindungi dalam
Keputusan Presiden No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung, PP No.47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional dan PP No.71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelo-
laan Ekosistem Gambut. Tetapi dalam praktiknya, pemerintah menge-
luarkan izin budi daya di kawasan gambut dengan kriteria yang
seharusnya dilindungi.

Studi kasus di Siak dan Pelalawan menunjukkan Izin Perkebunan


dan HTI pada lahan gambut seluas 402.673 ha. (Lihat Tabel dan Peta)

Tabel 1. Jumlah Luasan Izin HTI dan Perkebunan yang Berada di Lahan Gambut
dengan Kedalaman Lebih dari 3 Meter

No Kabupaten HTI Perkebunan Jumlah


1 Siak 138.505 46.345 184.850
2 Pelalawan 171.235 46.588 217.823
Jumlah 309.740 92.933 402.673

Gambar 3. Peta Perizinan di Kawasan Gambut di Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan

17
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

2.3.2 Ketidaksesuaian dengan Rencana Tata Ruang


Kabupaten

Berdasarkan Peraturan Daerah Siak Nomor 06 Tahun 2002 tentang


Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Siak, rencana
pemanfaatan ruang terdiri dari kawasan lindung dan budidaya. Kawasan
Budi daya terdiri dari Arahan Perkebunan Rakyat (PBR), Arahan Per-
tanian Lahan Basah, Kawasan Hutan Produksi, Kawasan Hutan
Produksi Terbatas, Kawasan Perkebunan. Sedangkan Kawasan Lindung
terdiri dari Kawasan Pariwisata, Resapan Air, Hutan Lindung Wisata,
Hutan Lindung Gambut, Kawasan Suaka Margasatwa, Taman Hutan
Raya Sultan Syarif Hasim. Untuk kebutuhan analisis perizinan HTI dan
perkebunan, dilakukan klasifikasi ulang menjadi, Kawasan Perkebunan,
Hutan Produksi, Kawasan Lindung, dan lain-lain. Dari pola ruang ter-
sebut yang bisa diberikan izin HTI adalah Kawasan Hutan Produksi,
dan yang dapat diberikan izin perkebunan adalah Arahan Perkebunan
Rakyat (PBR) dan Kawasan Perkebunan.

Sementara itu, RTRWK Pelalawan ditetapkan dengan Perda No.23


Tahun 2001 yang membagi fungsi kawasan ke dalam kawasan lindung
dan budi daya. Kawasan Budi daya terdiri dari pemukiman, pengem-
bangan pemukiman, kawasan industri, jalur hijau industri, industri pengo-
lahan kelapa sawit, perkebunan eksisting dan perkebunan yang sudah
ada izin lokasi, pengembangan tanaman tahunan/perkebunan, HTI yang
sudah ada izin lokasi, pengembangan HTI/Hutan Produksi, pengem-
bangan lahan peternakan, pengembangan lahan perikanan, pengem-
bangan pariwisata, pelabuhan khusus, Hutan Produksi Tetap, Hutan
Produksi Terbatas, Tanaman Pangan Lahan Kering, pengembangan
tanaman pangan lahan kering, persawahan, pengembangan tanaman

18
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

pangan lahan basah. Sedangkan kawasan lindung terdiri dari Kawasan


Lindung Gambut/Konservasi, Lindung Bakau, Kawasan Lindung Setem-
pat, Lahan Kritis, Suaka Margasatwa. Dari pola ruang tersebut yang
bisa diberikan izin HTI adalah HTI yang sudah ada izin lokasi, pengem-
bangan HTI/Hutan Produksi, Hutan Produksi Tetap. Dan yang dapat
diberikan izin perkebunan adalah Perkebunan Eksisting dan perke-
bunan yang sudah ada izin lokasi, pengembangan tanaman tahunan/
perkebunan.

Dari 1.442.215 ha izin yang diberikan di Kabupaten Siak dan


Pelalawan, 624.674 ha di antaranya tidak sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten. Di Kabupaten Siak di antaranya terdapat
126.737 ha Izin HTI dan 57.866 ha Izin Perkebunan yang tidak sesuai
dengan Perda No.6 Tahun 2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Siak. Dan di Kabupaten Pelalawan 269.802 ha izin HTI dan
170.270 ha izin perkebunan tidak sesuai dengan Perda No.23
Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Pelalawan. Lihat tabel dan peta di bawah ini:

Tabel 2. Perizinan yang Tidak Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
No Kabupaten Izin HTI (ha) Izin Perkebunan (ha) Total
1 Siak 126.737 57.866 184.603
2 Pelalawan 269.802 170.270 440.071
Total 396.538 228.136 624.674
Sumber: Hasil Analisis

19
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

Peta Ketidaksesuaian Izin terhadap RTRWK

Gambar 4. Peta Ketidaksesuaian Izin terhadap RTRWK di Kabupaten Siak


dan Kabupaten Pelalawan

2.3.3 Ketidaksesuaian dengan Rencana Tata Ruang


Wilayah Provinsi

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau ditetapkan


melalui Perda No.10 Tahun 1994 yang membagi peruntukan lahan
menjadi, Kawasan Lindung, Arahan Pemanfaatan Kawasan Kehutanan,
Perkebunan, Pertambangan, Pertanian, Transmigrasi, Diprioritaskan,
lainnya. Untuk kebutuhan analisis dilakukan reklasifikasi menjadi
Peruntukan Perkebunan, Peruntukan HTI dan Peruntukan Lainnya.
Izin HTI dapat diberikan pada Arahan Pemanfaatan Kawasan Kehutanan
dan Izin Perkebunan dapat diberikan pada Arahan Pemanfaatan
Kawasan Perkebunan.

Dari 1.442.215 ha izin yang diberikan di Kabupaten Siak dan


Pelalawan 343.112 ha di antaranya tidak sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi. Di Kabupaten Siak di antaranya terdapat
84.185 ha Izin HTI dan 75.987 ha Izin Perkebunan, di Kabupaten
Pelalawan 128.419 ha Izin HTI dan 54.522 ha Izin Perkebunan tidak
sesuai dengan Perda No.10 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang

20
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

Wilayah Provinsi Riau. Lihat tabel dan peta berikut:

Tabel 3. Perizinan yang Tidak Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

No Kabupaten Izin HTI (ha) Izin Perkebunan (ha) Total


1 Siak 84.185 75.987 160.172
2 Pelalawan 128.419 54.522 182.941
Total 212.604 130.509 343.112
Sumber: Hasil Analisis

Gambar 5. Peta Ketidaksesuaian Izin terhadap RTRWP Riau di Kabupaten Siak


dan Kabupaten Pelalawan

2.3.4 Ketidaksesuaian dengan Kawasan Hutan

Kawasan Hutan Provinsi Riau ditunjuk oleh Menteri Kehutanan


dengan SK 173/Kpts-II/1986 yang membagi fungsi kawasan hutan
menjadi hutan PPA; Hutan Lindung/Pendidikan; Hutan Produksi Tetap;
Hutan Produksi Terbatas/Hutan Bakau; Hutan Konversi/Peruntukan
lainnya. Izin HTI dapat diberikan pada Hutan Produksi Tetap dan Izin
Perkebunan dapat diberikan pada Hutan Produksi Konversi.

Dari 1.442.215 ha izin yang diberikan di Kabupaten Siak dan Pela-


lawan 441.414 ha, di antaranya tidak sesuai dengan Fungsi Kawasan
Hutan. Di Kabupaten Siak di antaranya terdapat 68.953 ha izin HTI

21
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

dan 31.380 ha izin perkebunan, di Kabupaten Pelalawan 275.064 ha


izin HTI dan 66.016 ha izin perkebunan tidak sesuai dengan Fungsi
Kawasan Hutan dalam SK 173/1986. Lihat tabel dan peta di bawah ini:

Tabel 4. Perizinan yang Tidak Sesuai dengan SK 173/1986

No Kabupaten Izin HTI (ha) Izin Perkebunan (ha) Total


1 Siak 68.953 31.380 100.333
2 Pelalawan 275.064 66.016 341.080
Total 344.017 97.396 441.414
Sumber: Hasil Analisis

Gambar 6. Peta Ketidaksesuaian Izin terhadap SK. 173/Menhut-II/1986


di Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan

2.3.5 Pelanggaran Hukum

Ketidaksesuaian pemberian izin terhadap peraturan perundangan


yang berlaku merupakan bentuk pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Tidak sesuainya kriteria kawasan
yang dapat diberikan izin merupakan suatu bentuk mal administrasi
dan dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang dalam

22
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

proses penerbitan izin10. Penyalahgunaan wewenang ini masuk kategori


tindak pidana korupsi.

Dari 1.442.215 ha izin yang diberikan di Kabupaten Siak dan


Pelalawan 963.121 ha di antaranya melanggar salah satu dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Di Kabupaten Siak di antaranya
terdapat 175.461 ha Izin HTI dan 115.854 ha Izin Perkebunan, di
Kabupaten Pelalawan 434.129 ha Izin HTI dan 237.677 ha Izin Per-
kebunan. Lihat tabel dan peta di bawah ini:

Tabel 5. Pelanggaran Perizinan di Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan

HTI Perkebunan
No Kabupaten Pelanggaran Luas Izin Pelanggaran Luas Izin
(ha) % (ha) (ha) % (ha)
1 Siak 175.461 56% 315.778 115.854 45% 255.313
2 Pelalawan 434.129 91% 479.488 237.677 61% 391.540
Jumlah 609.590 77% 795.266 353.531 55% 646.853

Gambar 7. Peta Pelanggaran Perizinan di Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan

10
http://www.ombudsman.go.id/phocadownload/buku/bukusakumaladminis-
trasiombudsmanri.pdf.

23
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

Melihat banyaknya persoalan terkait pengelolaan sumber daya


alam di Riau khususnya dan di Indonesia pada umumnya, menunjukkan
kelemahan tata kelola kehutanan menjadi persoalan kehutanan yang
semakin kompleks. Kelembagaan kehutanan di Indonesia gagal menye-
diakan aturan main yang baik, di mana peraturan/perundang-undangan
di bidang kehutanan diindikasikan sebagai; (a) tidak memadai untuk
mengatasi permasalahan; (b) struktur atau isi yang tidak konsisten;
(c) konsisten namun berisiko dalam pelaksanaannya; (d) terlalu sering
berubah dan tidak tersosialisasikan dengan baik; serta (e) masih
berpotensi untuk menimbulkan biaya transaksi tinggi11.

2.3.6 Penertiban Izin dalam Rencana Tata Ruang

UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang memerintahkan


untuk menertibkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
dengan dua mekanisme. Mekanisme pertama, izin batal demi hukum
apabila tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan diduga diperoleh
melalui prosedur yang tidak benar. Mekanisme kedua, izin dibatalkan
dan diberikan kompensasi apabila izin yang diperoleh melalui prosedur
yang benar, tetapi diubah dalam rencana tata ruang yang baru12.

Selain itu, rencana tata ruang wilayah provinsi harus disusun dan
disesuaikan dengan waktu paling lambat 2 tahun dan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten harus disesuaikan paling lambat 3 tahun13.

11
Brasmanto Nugroho, Reformasi Kelembagaan dan Tata Kepemerintahan:
faktor Kemungkinan Menuju Tata Kelola Kehutanan yang Baik, dalam Hariadi Karto-
dihardjo, ed., Kembali ke Jalan Yang Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek
Kehutanan Indonesia, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Forct Development dan
Tanah Air Beta, 2013), Hlm. 179.
12
Pasal 37 ayat 3 dan 4 UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
13
Pasal 78 ayat 4 poin b dan c UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

24
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

Pada tahun 2008 dikeluarkan PP No.26 Tahun 2008 tentang


Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Seharusnya RTRWP
Riau yang baru sudah ditetapkan paling lambat pada tanggal 26 April
2009 dan RTRWK paling lambat tanggal 26 April 2010. Dan masa
transisi penertiban perizinan terhadap RTRWP seharusnya sudah
selesai pada tanggal 26 April 2012 dan terhadap RTRWK pada tanggal
26 April 2013.

Walaupun demikian sampai saat ini (Januari 2015), baik RTRWP


maupun RTRWK belum ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu,
sejak 26 April 2013 rencana tata ruang yang berlaku di Provinsi Riau
adalah RTRWN.

Dari 1.442.215 ha izin yang sudah diberikan di Kabupaten Siak


dan Pelalawan 578.280 ha di antaranya harus dibatalkan sesuai dengan
PP No.26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
dengan 2 mekanisme, yaitu batal demi hukum dan dibatalkan dengan
kompensasi. Lihat tabel dan peta di bawah ini:

Tabel 6. Perizinan yang Semestinya Dibatalkan Sesuai dengan PP No. 26/2008

Izin HTI Izin Perkebunan


No Kabupaten Batal Demi Dibatal- Batal Demi Dibatal- Total
Hukum kan Hukum kan
1 Siak 118.753 31.371 27.620 12.031 189.775
2 Pelalawan 278.523 33.300 65.765 10.916 388.504
Jumlah 397.277 64.671 93.385 22.947 578.280

25
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

Gambar 8. Peta Penertiban izin di Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan

Walaupun sudah ada peraturan yang mengatur tentang penertiban


izin ini, tetapi sampai saat ini belum ada tindakan hukum yang dilakukan.

2.3.7 Pemutihan Pelanggaran Pada Perubahan Fungsi dan


Peruntukan Kawasan Hutan

Dalam praktiknya, izin yang melanggar peraturan perundang-


undangan ini bukannya ditertibkan, tetapi pelanggarannya diputihkan
dengan melakukan revisi peta kawasan hutan Provinsi Riau. Pemutihan
yang dimaksud dalam kajian ini, kawasan yang melanggar atau ilegal
dijadikan kawasan yang dilegalkan dengan revisi peruntukan baru. Hal
ini dilakukan dalam rangka persetujuan substansi dari Kementerian
Kehutanan sebelum Rencana Tata Ruang yang baru ditetapkan oleh
DPRD Provinsi Riau.

Proses penyusunan RTRWP baru, dimanfaatkan oleh pemilik kon-


sesi yang melanggar aturan untuk mengubah fungsi kawasan pada
konsesi mereka dengan jalan melakukan penyuapan terhadap
Gubernur Riau agar memasukkan konsesi yang dimiliki dalam usulan
revisi kawasan hutan. Praktik ini akhirnya diketahui oleh KPK dan

26
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

dilakukan penangkapan terhadap Gubernur Riau pada tanggal 25


September 201414.

Walaupun demikian, berdasarkan Overlay Analisis dari pelanggaran


perizinan terhadap konsesi HTI dan perkebunan ditemukan pemutihan
pelanggaran izin dalam SK 7651/2011 dan 878/ 2014 seluas 164.337
ha dan 151.987 ha.

Tabel 7. Overlay Analisis Pelanggaran Perizinan dan Temuan Adanya Pemutihan


Pelanggaran Izin dalam SK 7651/2011 dan SK 878/2014
Pelanggaran Pemutihan Pelanggaran
No Kabupaten SK 173/1986 SK 7651/2011 SK 878/2014
HTI Perkebunan HTI Perkebunan HTI Perkebunan
1 Siak 70.343 34.214 33.011 24.731 13.538 3.402
2 Pelalawan 279.275 107.720 75.098 31.497 127.331 7.716
Jumlah 349.618 141.934 108.109 56.228 140.869 11.118

Gambar 9. Peta Pemutihan Pelanggaran di Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan

14
http://nasional.inilah.com/read/detail/2139262/gubernur-riau-ditangkap-di-
cibubur#.VIrCDteSw9I.

27
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

28
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

Bab 3
PENGUMPULAN DATA

3.1 Teknik Pengumpulan data

3.1.1 Formal

Pengumpulan data lewat jalur formal menggunakan mekanisme


keterbukaan Informasi Publik (UU No.14 Tahun 2008). Keterbukaan
informasi publik merupakan salah satu unsur penting bagi suatu negara
demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam mewujud-
kan penyelenggaraan negara yang bersih. Keterbukaan informasi publik
dapat dijadikan sarana untuk mengoptimalkan pengawasan publik
terhadap penyelenggaraan negara, utamanya yang berakibat pada
kepentingan publik. Sebagai negara demokrasi maka haruslah dikede-
pankan transparansi kinerja pemerintah dalam melaksanakan fungsi
dan tugas pokok pemerintah, karena publik berhak mengetahui seluruh
aktivitas dan kegiatan pemerintah15.

Secara umum kendala yang dihadapi pada proses pengumpulan


data lewat jalur formal adalah hampir semua instansi pemerintah yang

15
SF. Marbun, Hukum Administrasi Negara II, Cetakan Pertama (Yogyakarta:
FH UII Press, 2013). Hlm 35-36.

29
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

dituju belum menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi


(PPID). Sebagian kecil sudah menunjuk PPID, namun masih belum
mengerti tugas dan fungsinya. Hal ini mengakibatkan prosesnya menjadi
lama dan berbelit-belit.

3.1.2 Non Formal


Selain jalur formal, pengumpulan data juga dilakukan secara non
formal melalui:

a. Berbagi data dengan jaringan Non Government Organisation


(NGO) lokal dan nasional.
b. Pendekatan personal kepada sumber-sumber yang mempunyai
akses data, baik di kabupaten, provinsi dan nasional.

Jalur non formal ini cukup efektif untuk mendapatkan data-data


yang tidak didapatkan melalui jalur formal.

3.2 Teknik Analisis


Teknik analisis yang digunakan adalah analisis spasial dengan
melakukan overlay peta perizinan terhadap peta kawasan hutan,
RTRWN, RTRWP, RTRWK dan peta kedalaman gambut pada saat izin
itu diterbitkan16. Ini dilakukan untuk mendapatkan kesesuaian izin
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Terhadap izin yang tidak
sesuai, didefinisikan sebagai pelanggaran.

Selain itu, hal lain yang juga dilakukan adalah analisis kesesuaian
terhadap perubahan fungsi kawasan hutan dan perubahan rencana
tata ruang wilayah nasional. Terhadap perubahan fungsi kawasan hutan
yang melegalkan perizinan yang terbit sebelumnya, didefinisikan se-
bagai pemutihan pelanggaran.
16
Lihat lampiran

30
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

Bab 4
KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI

Kesimpulan:

1. Proses pemberian izin HTI dan perkebunan di Kabupaten Siak dan


Pelalawan sebagian di antaranya tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
2. Izin yang diberikan sebagian besar tidak sesuai dengan peraturan
tentang kawasan hutan, rencana tata ruang dan kawasan ber-
gambut. Sementara itu, kebijakan perubahan fungsi kawasan hutan
dari Kementerian Kehutanan dimanfaatkan oleh penerima izin untuk
melegalkan izin yang tidak sesuai ketentuan.
3. Dalam praktiknya, pemberian izin mengabaikan kriteria kawasan
yang bisa diberikan izin sehingga peraturan perundangan yang
mengatur ketentuan perizinan tidak efektif dilaksanakan. Untuk itu
dibutuhkan audit perizinan terhadap izin yang diberikan tidak sesuai
dengan fungsi kawasan hutan, RTRWN, RTRWP, RTRWK dan ke-
tentuan tentang kawasan bergambut bagi izin yang sudah terlanjur
ada. Kontrol publik yang ketat terkait proses pemberian izin ke
depan perlu dilakukan.

31
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

Rekomendasi:
Terhadap Pemerintah

Menetapkan dokumen Rencana Tata Ruang Kabupaten, Provinsi dan


Nasional sebagai informasi publik yang tersedia setiap saat dengan
mempublikasikannya pada website masing-masing dengan lampiran
peta.
Menetapkan dokumen kawasan hutan yang terdiri dari penunjukan,
penatabatasan dan penetapan sebagai dokumen publik yang ter-
sedia setiap saat dengan mempublikasikannya pada website masing-
masing dengan lampiran peta.
Menetapkan seluruh dokumen perizinan sebagai informasi publik yang
tersedia setiap saat dengan mempublikasikannya pada website
masing-masing dengan lampiran peta.
Melakukan Audit Perizinan terhadap izin yang melanggar ketentuan
perundangan.
Mempublikasikan peta kawasan yang dapat diberikan izin sehingga
masyarakat dapat melakukan permohonan pemberian izin secara
kompetitif.
Perlunya membangun dan memperkuat Sistem Informasi Perizinan
(SIP). Sistem ini merupakan sistem pengelolaan data, permohonan,
evaluasi, verifikasi, pemberian dan pengawasan izin yang berbasis
dalam jaringan (online). Sistem ini mengintegrasikan proses biro-
krasi perizinan lintas instansi pemerintahan di tingkat pusat maupun
daerah, dengan fitur sebagai: (i) pangkalan data (database) do-
kumen persyaratan teknis dan persyaratan administrasi izin, (ii)
penghubung prosedur perizinan lintas instansi pemerintahan me-
lalui portal online, (iii) menjalankan fungsi verifikasi yang terhubung
langsung melalui interkoneksivitas (interface) dengan data atau

32
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

sistem informasi instansi terkait sebagai bagian pemeriksaan. SIP


juga dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi antar instansi untuk
berkomunikasi dalam proses perizinan, serta menjadi satu layanan
terintegrasi bagi pemohon izin untuk informasi terkait perizinan. SIP
juga menjadi jendela informasi bagi masyarakat umum untuk infor-
masi sektoral yang dapat diperoleh dari data izin sesuai dengan per-
aturan dan perundang-undangan terkait keterbukaan informasi
publik.
Mendorong penegakan hukum melalui pendekatan multidoor. Multi-
door merupakan pendekatan hukum atas rangkaian/gabungan tindak
pidana terkait Sumber Daya AlamLingkungan Hidup (SDA-LH) di
atas hutan dan lahan gambut yang mengandalkan berbagai pera-
turan perundangan antara lain Lingkungan Hidup, Kehutanan, Tata
Ruang, Perkebunan, Pertambangan, Perpajakan, Tindak Pidana
Korupsi dan Pencucian Uang. Dalam pendekatan multidoor, ber-
bagai penegak hukum secara sinergis menerapkan berbagai un-
dang-undang terkait. Pendekatan multidoor adalah pendekatan yang;
a) mengupayakan penggunaan berbagai UU yang paling mungkin
digunakan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum pidana yang ber-
laku dan perkembangan fakta yang ditemukan di lapangan; b)
sedapat mungkin menjadikan korporasi sebagai tersangka/ter-
dakwa selain pelaku fisik; c) menggunakan Tindak Pidana Pen-
cucian Uang (TPPU) selain tindak pidana asal (misalnya korupsi,
perpajakan, kehutanan, pertambangan, tata ruang, dan perkebun-
an) agar dapat mengembalikan kerugian negara (asset recovery)
dari aset-aset yang berada di dalam maupun di luar negeri; d) me-
manfaatkan ketentuan yang mengatur kerusakan lingkungan hidup
dan tindak pidana korporasi sesuai dengan UU No.32 Tahun 2009

33
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU


PPLH). Hal tersebut bertujuan agar pasal 119 UU PPLH yang
memungkinkan pidana tambahan, antara lain berupa perampasan
keuntungan, perbaikan akibat tindak pidana, dapat digunakan dan
e) dalam rangka mengoptimalkan mengembalikan kerugian negara
(asset recovery), mendorong pemanfaatan pasal-pasal yang
mengatur tentang pembuktian terbalik oleh penyidik dan penuntut
umum.

Terhadap Masyarakat

Melakukan monitoring terhadap setiap kebijakan pemberian izin


dan perubahan fungsi kawasan hutan yang diduga melanggar
ketentuan.
Melakukan gugatan terhadap izin yang melanggar ketentuan
perundangan .

34
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

DAFTAR PUSTAKA

Huda, Nimatul. 2010. Problematika Pembatalan Peraturan Daerah.


Yogyakarta: FH UII Press.
Khan, Azis, Bramasto Nugroho, Didik Suharjito.et.al. 2013. Kembali Ke
Jalan Lurus Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan
Indonesia. Yogyakarta: Forci Development.
Marbun. 2013. Hukum Administrasi Negara II. Yogyakarta: FH UII Press.
Muttaqien, Andi, Achmad Surambo dan Emerson Yuntho.et.al. 2013.
Uji Publik Terhadap Rancangan Revisi Permentan 26/2007 tentang
Pedoman Izin Usaha Perkebunan. Jakarta: Lembaga Studi & Advo-
kasi Masyarakat.
Rahmadi, Takdir. 2014. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Redi, Ahmad. 2014. Hukum Sumber Daya Alam Dalam Sektor Kehu-
tanan. Jakarta: Sinar Grafika.

Dokumentasi:

Kurniawan, Susanto dan Raflis. 2014. Korupsi Perizinan Kehutanan


(Kasus Riau).
BP Redd+ 2012. Strategi Nasional Redd+ Diambil dari: http://www.
reddplus.go.id/program/strategi-nasional-redd. Akses Maret 2015.
Ihsan, 2013. 1,5 Juta Hektar Hutan Riau Dikelola Ilegal. Diambil dari:
http://m.wartaekonomi.co.id/berita21654/15-juta-hektare-hutan-
riau-dikelola-ilegal.html. Diakses Februari 2015.

35
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

Hendriana, Indra. 2014. Gubernur Riau Ditangkap di Cibubur. Diambil


dari: http://nasional.inilah.com/read/detail/2139262/gubernur-riau-
ditangkap-di-cibubur#.VIcRDteSw9I. Diakses Maret 2015.
Nurtjahjo, Hendra, Yustus Maturbongs, Diani Indah. 2013. Memahami
Maladministrasi. Diambil dari: http://www.ombudsman.go.id/phoca
download/buku/bukusakumaladministrasiombudsmanri.pdf Diakses
April 2015.

Sumber Lainnya

Undang Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Kehutanan.


Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Undang Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 1997
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 98/Permentan/
Ot.140/9/2013 Tentang Pedoman Perizinan Perkebunan.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357/Kpts/Hk.350/5/2002 Tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Peren-
canaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangun-
an Nasional. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2011-2025. Cetakan Pertama, Jakarta: Kemen-

36
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

terian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011.


Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.31/Menhut-
II/2014 Tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam, Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem Atai
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri
Pada Hutan Produksi.
SK Menhut Nomor 173/Kpts-II/1986.
SK 7651/Menhut-VII/KUH/2011.
SK 878/Menhut-II/2014.
Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 1997 Tentang
Rencana Umum Tata Ruang Provinsi Daerah Tingkat I Riau.
Peraturan Daerah Kabupaten Pelalawan Nomor 23 Tahun 2001
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pelalawan.
Peraturan Daerah Kabupaten Siak Nomor 6 Tahun 2002 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Siak.

37
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

38
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

LAMPIRAN

Lampiran I: Data yang Digunakan

Data yang digunakan dalam riset ini terdiri dari: Izin HTI, Izin Perkebunan,
Peta kawasan Hutan Provinsi Riau SK 173/1986, SK 7651/2011, SK
878/2014, Perda No. 10 Tahun 1994 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Riau, Perda No. 01/2002 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Siak, Perda No. 6 Tahun 2001 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pelalawan, Peta Kedalaman
Gambut Provinsi Riau dan PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional.

1. Izin HTI

Gambar 1.a Peta Izin HTI di Gambar 1.b Peta Izin HTI di
Kabupaten Siak Kabupaten Pelalawan

39
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

2. Izin Perkebunan

Gambar 2.a Peta Izin Perkebunan Gambar 2.b Peta Izin Perkebunan
di Kabupaten Siak di Kabupaten Pelalawan

3. Kawasan Hutan (SK 173/1986)

Gambar 3.a Kawasan Hutan Gambar 3.b Kawasan Hutan


di Kabupaten Siak Tahun 1986 di Kabupaten Pelalawan Tahun 1986

40
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

4. Kawasan Hutan (SK 7651-2011)

Gambar 4.a Kawasan Hutan Gambar 4.b Kawasan Hutan


di Kabupaten Siak Tahun 2011 di Kabupaten Pelalawan Tahun 2011

5. Kawasan Hutan (SK 878/2014)

Gambar 5.a Kawasan Hutan Gambar 5.b Kawasan Hutan


di Kabupaten Siak Tahun 2014 di Kabupaten Pelalawan Tahun 2014

41
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

6. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau


(Perda No. 10/1994)

Gambar 6.a RTRWP di Gambar 6.b RTRWP di


Kabupaten Siak Tahun 1994 Kabupaten Pelalawan Tahun 1994

7. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

Gambar 7.a RTRWK di Gambar 7.b RTRWK di


Kabupaten Siak Tahun 2001 Kabupaten Pelalawan Tahun 2002

42
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

8. Kedalaman Gambut

Gambar 8.a Kedalaman Gambut di Gambar 8.b Kedalaman Gambut di


Kabupaten Siak Tahun 2014 Kabupaten Pelalawan Tahun 2014

9. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Gambar 9.a RTRWN di Gambar 9.b RTRWN di


Kabupaten Siak Tahun 2008 Kabupaten Pelalawan Tahun 2008

Lampiran II:
Analisis Ketidaksesuaian antara Izin HTI dan
Perkebunan dengan Ketentuan yang Berlaku

Peraturan yang berlaku pada Izin Perkebunan di antaranya adalah:


Fungsi Kawasan Hutan tahun 1986, Rencana Tata Ruang Wilayah

43
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

Provinsi Riau tahun 1994, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten


Siak tahun 2001, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tahun 2002
dan kedalaman gambut.

1. Kesesuaian Izin HTI dan Perkebunan terhadap


Fungsi Kawasan Hutan

Tahapan Analisis Perizinan

Fungsi Kawasan Hutan


Berdasarkan
SK.173/Menhut-II/1986

Arahan Perizinnan Berdasarkan Fungsi


Izin HTI Kawasan Hutan Izin Perkebunan
SK.173/Menhut-II/1986

Overlay

Fungsi Kawasan Hutan


SK.7651/Menhut-VII/2011
Kesesuaian Izin HTI dan Perkebunan
Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan
SK.173/Menhut-II/1986

Arahan Perizinan Berdasarkan


Fungsi Kawasan Hutan
SK.7651/Menhut-VII/2011
Sesuai Tidak Sesuai

Overlay

Fungsi Kawasan Hutan


SK.878/Menhut-II/2014
Pemutihan Izin Fungsi Kawasan Hutan
SK.7651/Menhut-VII/2011

Kawasan Peruntukan Berdasarkan


Fungsi Kawasan Hutan
SK.878/Menhut-II/2014
Tidak Sesuai Pemutihan 2011

Overlay

Pemutihan IzinDalam Fungsi


Kawasan Hutan
SK.878/Menhut-II/2014

Tidak Sesuai Pemutihan 2014

44
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

2. Kesesuaian Izin HTI dan Perkebunan terhadap


RTRWP Riau

RTRWP Riau
(Perda 10/1994 )

Arahan Perizinan Berdasarkan


RTRWPRiau
Izin HTI Izin Perkebunan
(Perda 10/1994 )

Overlay

Kesesuaian Izin HTI dan


Perkebunan terhadap RTRWP Riau
(Perda 10/1994 )

Sesuai Tidak Sesuai

Diagram Kesesuaian Perizinan terhadap RTRWP Riau

45
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

Kesesuaian Izin HTI terhadap RTRWK Siak dan Pelalawan

RTRWK Siak dan Pelalawan


(Perda 10/1994 )

Arahan Perizinan Berdasarkan


RTRWK Siak dan Pelalawan
Izin HTI Izin Perkebunan

Overlay

Kesesuaian Izin HTI dan


Perkebunan terhadap RTRWK
(perda 10/1994 )

Sesuai Tidak Sesuai

Diagram Kesesuaian terhadap RTRWK

46
Studi Kasus: Siak dan Pelalawan

Kesesuaian Izin HTI terhadap Kawasan Bergambut

Kedalaman Kawasan Bergambut


di Provinsi Riau

Izin yang Diberikan Pada Kawasan


Izin HTI Bergambut Dalam Izin Perkebunan

Overlay

Kesesuaian Izin HTI dan


Perkebunan Terhadap Kedalaman
Gambut
(Perda 10/1994 )

Kesesuaian Ketidaksesuaian

Diagram Kesesuaian terhadap Kawasan Bergambut

47
ANALISIS PEMBERIAN IZIN KONSENSI DI RIAU

Pelanggaran dan Penertiban Izin

Izin Konsesi HTI dan Perkebunan

Ketidaksesuaian dengan Ketidaksesuaian Ketidaksesuaian Ketidaksesuaian dengan


kedalaman gambut Kawasan Hutan
dengan RTRWP dengan RTRWK

Overlay

Tidak Melanggar
melanggar

Overlay Nasional Overlay

Dibatalkan dengan
kompensasi Batal demi hukum

Diagram Pelanggaran dan Penertiban Izin

48

You might also like