You are on page 1of 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pasal 22 menyebutkan


bahwa kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas
lingkungan yang sehat, yang dapat dilakukan dengan melalui peningkatan sanitasi
lingkungan. Pengertian Sanitasi secara umum mengacu pada penyediaan fasilitas
dan layanan untuk pembuangan urine dan tinja yang aman. Sanitasi juga
bermakna kemampuan menjaga kondisi higienis, melalui layanan pengumpulan
sampah dan pembuangan air limbah. Sanitasi yang baik akan mendukung
terciptanya kondisi kesehatan yang baik, begitu pula sebaliknya. Idealnya kedua
hal tersebut berjalan seiring dan seimbang, akan tetapi ada banyak faktor yang
menyebabkan kesulitan untuk mencapai kondisi yang ideal tersebut.x

Sebagai organisasi kesehatan dunia, WHO telah mencanangkan program


jangka panjang yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs)
yang akan digunakan hingga tahun 2030 dengan salah satu indikator mengenai
pengolahan air limbah sesuai standar nasional menurut sumber rumah tangga dan
industri. Kurangnya pengolaan limbah domestik dan industri menimbulkan
bahaya kesehatan dan lingkungan yang serius, khususnya di negara sedang
berkembang dimana 80-90% limbah tidak ditangani dengan tepat. Bahkan di
negara maju, limbah belum ditangani secara keseluruhan. Tingkat limbah secara
global terus meningkat secara eksponensial sebagai akibat dari cepatnya
pertumbuhan penduduk dan urbanisasi. Besarnya volume limbah yang tidak
ditangani langsung saja dibuang ke berbagai sumber air, dan mengancam
kesehatan manusia, ekosistem, keanekaragaman hayati, ketahanan pangan, dan
keberlanjutan sumber air.

1
Indonesia sendiri tercatat sebagai negara pada kedudukan ketiga dengan
sistem sanitasi terburuk di Asia Tenggara setelah Laos dan Myanmar. 3
Departemen Kesehatan Republik Indonesia melaporkan profil
kesehatan Indonesia tahun 2015, secara nasional presentase rumah tangga yang
memiliki akses terhadap sanitasi layak sebesar 62,14% . Data tersebut
menunjukkan bahwa penerapan sistem pengelolaan air limbah domestik atau
sanitasi yang baik di Indonesia masih minimal. Berdasarkan laporan yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan
Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di tahun
2015 hampir 68 persen atau mayoritas mutu air sungai di 33 provinsi di Indonesia
dalam status tercemar berat dan penyebabnya adalah limbah domestik. Dari
semua pulau di Indonesia pulau Jawa merupakan salah satu pulau terbanyak
dengan pengelolaan air limbah yang buruk yaitu 61,5% dari jumlah tersebut.3

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menyatakan, presentase Rumah


yang mempunyai SPAL di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2006 adalah 52%
dengan rentang antara yang terendah 21,44 % (Kabupaten Wonogiri ) dan yang
tertinggi 100 % (Kabupaten Sragen). Sebanyak 21 Kabupaten/Kota (60 %) telah
mencapai target 2005 (50%). Kabupaten Banyumas, Kebumen, Wonosobo,
Boyolali, Wonogiri, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Jepara, Demak, Kendal,
Batang dan Kabupaten Tegal belum mencapai target 2005. Secara rata-rata
Prosentase Rumah yang mempunyai SPAL di Provinsi Jawa Tengah mengalami
fluktuasi dari tahun 2004 sebesar 46,36 % menjadi 54,51 % pada tahun 2005 dan
52 % di tahun 2006.3
Data yang didapatkan di Puskesmas Salaman I, rumah yang memiliki
SPAL merupakan salah satu program kesehatan lingkungan yang bermasalah
karena tidak mencapai target yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten
Magelang tahun 2016. Berdasarkan hasil SPM Puskesmas Salaman I periode
januari april 2017 didapatkan hasil cakupan rumah yang memiliki SPAL sebesar
57% dari target yang ditetapkan dinkes sebesar 65%. Sementara itu, survei mawas

2
diri yang telah dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 2017 di Dusun Nusupan, Desa
salaman I menunjukan bahwa angka cakupan sarana pembuangan air limbah
rumah tangga yang memenuhi syarat hanya 45% dari target 65%.3 Maka dapat
disimpulkan secara keseluruhan pencapaian jumlah rumah dengan SPAL yang
memenuhi syarat sanitasi masih menjadi masalah, untuk itu penulis mengangkat
masalah tersebut menjadi judul laporan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, disimpulkan perumusan masalah


adalah Cakupan Rumah dengan SPAL Memenuhi Syarat di Dusun Nusupan,
Desa Salaman yang masih rendah, apakah faktor-faktor penyebab yang
menimbulkan masalah tersebut? serta bagaimanakah upaya pemecahannya?

C. Tujuan Masalah
1. Tujuan Umum

Untuk menganalisis faktor faktor yang menyebabkan rendahnya


Cakupan rumah dengan SPAL yang memenuhi syarat di Dusun Nusupan,
Desa Salaman dan menemukan upaya pemecahannya.

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui faktor-faktor penyebab rendahnya cakupan SPAL yang
memenuhi syarat di Dusun Nusupan dari faktor Input, Proses, dan
Lingkungan.
b. Mengetahui tingkat pengetahuan penduduk di Dusun Nusupan
mengenai SPAL yang memenuhi syarat.
c. Mengetahui perilaku penduduk Dusun Nusupan mengenai penggunaan
SPAL.
d. Membuat alternatif pemecahan masalah terhadap rendahnya cakupan
SPAL yang memenuhi syarat di Dusun Nusupan.
e. Membuat rencana kegiatan untuk meningkatkan cakupan SPAL yang
memenuhi syarat di Dusun Nusupan.

3
D. Manfaat Kegiatan
1. Hasil survei dapat dijadikan data awal untuk merencanakan
penanggulangan masalah SPAL di Dusun Nusupan, Desa Salaman serta
dapat dijadikan masukan untuk menyusun program dalam rangka
mewujudkan lingkungan yang sehat.
2. Hasil penelitian juga diharapkan dapat meningkatkan Cakupan Rumah
dengan SPAL yang memenuhi syarat di Dusun Nusupan.
3. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan serta
dapat memunculkan kesadaran masyarakat di Dusun Nusupan tentang
kelestarian lingkungan, terutama yang berhubungan dengan SPAL

You might also like