You are on page 1of 27

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Tinjauan Pustaka


1. Persalinan Normal
Persalinan atau partus adalah proses fisiologik dimana uterus
mengeluarkan atau berupaya mengeluarkan janin dan plasenta setelah masa
kehamilan 20 minggu atau lebih, dapat hidup diluar kandungan melalui jalan
lahir atau jalan lain dengan batuan atau tanpa bantuan. Pembagian usia kehamilan
menurut WHO (1992) adalah sebagai berikut:
a. Preterm : usia kehamilan kurang dari 37 minggu (259 hari)
b. Aterm : usia kehamilan 37-42 minggu (259-293 hari)
c. Postterm : usia kehamilan lebih dari 42 minggu (294 hari)

Persalinan biasa atau normal (eutosia) adalah proses kelahiran janin pada
kehamilan cukup bulan (aterm), pada janin terletak memanjang dan presentasi
belakang kepala, yang disusul dengan pengeluaran plasenta, dan seluruh proses
kelahiran itu berakhir dalam waktu kurang dari 24 jam, tanpa tindakan/
pertolongan buatan, dan tanpa komplikasi (Suradji, 2005).

Menurut Suradji (2005) Persalinan dibagi dalam 4 kala:

a. Kala I : kala pembukaan serviks


b. Kala II : kala pengeluaran janin
c. Kala III : kala pengeluaran plasenta
d. Kala IV : kala ini ditetapkan selama 1 jam sejak plasenta lahir,
yaitu kala untuk mengamati ibu dan untuk menjalin kasih-sayang
antara orangtua dan bayinya (menyusui).

5
6

2. Persalinan preterm

Menurut WHO, persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan yang


terjadi pada umur kehamilan kurang dari 259 hari berdasarkan hari pertama haid
terakhir. Masalah utama pada persalinan preterm salah satunya yaitu perawatan
bayinya, semakin muda usia kehamilannya maka akan semakin besar morbiditas
dan mortalitasnya. Ancaman persalinan preterm sering menimbulkan masalah
bagi ibu hamil, karena ibu hamil dengan umur kehamilan kurang dari 259 hari
sering datang mengeluh timbulnya kontraksi yang memberikan ancaman bagi
persalinan. Pada ancaman persalinan preterm terjadi kontraksi uterus yang
regular diikuti dengan dilatasi serviks yang progresif dan atau penipisan serviks.
Persalinan preterm di berbagai negara dan di Indonesia masih tinggi dengan
angka kejadian yang bervariasi. Di RSUD dr. Soebandi Jember pada tahun 2003-
2005 proporsi bayi preterm sebesar 18% dari seluruh persalinan. Di RSU Dr.
Saiful Anwar Malang pada tahun 2008 proporsi bayi preterm 23,35 % dari
seluruh persalinan.

3. Etiologi dan Faktor Resiko

a. Etiologi
1) KPD

Menurut Wiknjosastro (2008) ketuban pecah dini ditandai dengan


keluarnya cairan berupa air-air dari vagina setelah kehamilan berusia 22
minggu dan dapat dinyatakan pecah dini jika terjadi sebelum proses
persalinan berlangsung. Dari sudut medis secara garis besar 50%
persalinan preterm terjadi spontan, 30% akibat ketuban pecah dini (KPD),
dan sisanya 20% dilahirkan atas indikasi ibu/ janin. Pecahnya kulit
ketuban secara spontan sebelum kehamilan cukup bulan banyak
dihubungkan dengan amnionitis yang menyebabkan terjadinya lokus
minoris pada kulit ketuban. Amnionitis ini diduga sebagai dampak
asendens infeksi saluran kemih. Ketuban pecah dini dapat disebabkan
oleh berbagai hal seperti; serviks inkompeten, peningkatan tekanan
intrauterin misalnya overdistensi uterus pd keadaan hidramnion, trauma,
7

kelainan letak misalnya letak lintang sehingga tidak ada bagian terendah
yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan
terhadap membran bagian bawah (Kamisah: 2009).

2) Infeksi
Infeksi intrauterin meliputi korioamnionitis, infeksi intraamnion,
amnionitis, merupakan infeksi akut pada cairan ketuban, janin dan selaput
korion yang disebabkan oleh bakteri. Ada sekitar 25 % infeksi intrauterin
disebabkan oleh ketuban pecah dini. Makin lama jarak antara ketuban
pecah dengan persalinan, makin tinggi pula resiko morbiditas dan
mortalitas ibu dan janin. Hal ini ditambah lagi dengan perubahan suasana
vagina selama kehamilan yang menyebabkan turunnya pertahanan
alamiah terhadap infeksi. Pada umumnya infeksi intrauterin merupakan
infeksi yang menjalar keatas setelah ketuban pecah. Bakteri yang
potensial patogen (aerob, anaerob) masuk kedalam air ketuban,
diantaranya adalah (1) streptococcus golongan B, (2) Escherichia coli, (3)
streptococcus anaerob, dan (4) spesies bacteroides. Korioamnionitis dapat
terjadi jauh sebelum persalinan memasuki fase aktif atau malahan
sebelum trimester ketiga. Antara infeksi dan persalinan preterm terdapat
interaksi: korioamnionitis-pembebasan prostaglandin-partus prematurus-
pembukaan serviks uteri-korioamnionitis. Setelah terjadi invasi
mikroorganisme ke dalam cairan ketuban, janin akan terinfeksi karena
janin menelan atau teraspirasi air ketuban, ditandai dengan terjadinya
takikardi yaitu denyut jantung bayi > 160 kali permenit ( Cunningham et
al, 2005).
3) Kelainan Uterus

Berdasarkan naskah dari American College of Obstetrician and


Gynecologist (2001) inkompetensia serviks adalah peristiwa klinis
berulang yang ditandai dengan dilatasi serviks yang berulang, persalinan
spontan pada trimester II yang tidak didahului dengan KPD, perdarahan
atau infeksi. Uterus yang tidak normal mengganggu resiko terjadinya
abortus spontan dan persalinan preterm. Pada serviks inkompeten dimana
8

serviks tidak dapat menahan kehamilan terjadi dilatasi serviks yang


mengakibatkan kulit ketuban menonjol keluar pada trimester 2 dan awal
trimester 3 dan kemudian pecah, yang biasanya diikuti oleh persalinan.
Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa risiko terjadinya persalinan
preterm akan makin meningkat bila serviks < 30 mm, hal ini dikaitkan
dengan makin mudahnya terjadi infeksi amnion bila serviks makin pendek
(Jenny, 2008).

4) Vaginosis Bakterialis
Vaginosis bakterialis adalah sebuah kondisi ketika flora normal
vagina predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida
digantikan oleh bakteri anaerob Gardnerella vaginalis, spesies
Mobiluncus, dan Mycoplasma hominis. Vaginosis bakterialis telah lama
dikaitkan dengan kelahiran preterm spontan, ketuban pecah preterm,
infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan amnion ( Cunningham et al,
2005).
5) Komplikasi medis dan obstetris
Beberapa komplikasi langsung dari kehamilan yaitu
preeklampsia/eklamsia, ketuban pecah dini, perdarahan antepartum dan
lain-lain. Keadaan tersebut dapat mengganggu kesehatan ibu dan
pertumbuhan janin dalam kandungan sehingga meningkatkan resiko
kelahiran bayi prematur. Preeklamsia/eklampsia pada ibu hamil
mempunyai pengaruh langsung terhadap kualitas janin karena terjadi
penurunan darah ke plasenta yang mengakibatkan janin kekurangan nutrisi
sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin. Sedangkan, perdarahan
antepartum yaitu keadaan perdarahan yang keluar dari vagina ibu hamil
pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu, dapat diakibatkan oleh dua hal
yaitu plasenta previa (plasenta menutupi sebagian atau seluruh mulut
rahim) dan solusio plasenta (plasenta terlepas dari tempat melekatnya)
yang diakibatkan oleh suatu sebab seperti trauma/ kecelakaan dan tekanan
darah tinggi, dapat mengancam nyawa ibu maupun janin sehingga
9

meningkatkan indikasi untuk mengakhiri persalinan yang berdampak


terjadinya persalinan preterm (Intan, 2010; Cunningham et al, 2005).
Sekitar 28% kelahiran preterm diindikasikan disebabkan oleh
preeklampsia (43%), gawat janin (27%), pertumbuhan janin terhambat
(10%), ablasio plasenta (7%), dan kematian janin (7%). Sekitar 72%
disebabkan oleh persalinan preterm spontan dengan atau tanpa pecah
ketuban. Sedangkan kehamilan ganda atau hidroamnion juga merupakan
kausa dari kelahiran preterm akibat dari distensi uterus yang berlebihan.
Usia kehamilan makin pendek pada kehamilan ganda, 25% bayi kembar 2,
50% bayi triplet, dan 75% bayi kuadriplet lahir 4 minggu sebelum
kehamilan cukup bulan ( Cunningham et al, 2005).
6) Penyakit sistemik kronis pada ibu: diabetes mellitus, penyakit jantung,
hipertensi, penyakit ginjal dan paru kronis (Jenny, 2008).

b. Faktor Resiko
1) Umur ibu

Usia reproduksi yang optimal bagi seorang ibu adalah 20-35


tahun. Pada umur kurang dari 20 tahun, organ-organ reproduksi belum
berfungsi dengan sempurna, rahim dan panggul ibu belum tumbuh
mencapai ukuran dewasa sehingga bila terjadi kehamilan dan persalinan
akan lebih mudah mengalami komplikasi dan pada usia lebih dari 35
tahun organ kandungan sudah tua sehingga jalan lahir telah kaku dan
mudah terjadi komplikasi (Jenny, 2008). Berdasarkan hasil penelitian
Intan Simamora di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada tahun 2004-
2008 didapatkan bahwa presentase tertinggi usia ibu-ibu yang melahirkan
bayi prematur sebesar 81% pada usia 20-35 tahun.

2) Paritas

Paritas menunjukkan jumlah anak yang pernah dilahirkan oleh


seorang wanita. Paritas merupakan faktor penting dalam menentukan
nasib ibu dan janin baik selama kehamilan maupun selama persalinan.
10

Pada ibu dengan primipara yaitu wanita yang melahirkan bayi hidup
untuk pertama kalinya, maka kemungkinan terjadinya kelainan dan
komplikasi cukup besar baik pada kekuatan his (power), jalan lahir
(passage) dan kondisi janin (passager). Menurut sebuah penelitian Dewi
Ana Sari dan Wewengkang Margaretha di Rumah Sakit WS Makassar
tahun 2004-2005, persentase tertinggi karakteristik ibu dengan persalinan
preterm adalah dengan paritas 0 atau primipara yaitu sebanyak 44,93%.

3) Keadaan sosial ekonomi

Sosial ekonomi masyarakat sering dinyatakan dengan pendapatan


keluarga, mencerminkan kemampuan masyarakat dari segi ekonomi
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan dan kesehatan
dan pemenuhan zat gizi. Selain itu juga sosial ekonomi seseorang
mempengaruhi kemampuan ibu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang memadai misalnya, kemampuan untuk melakukan kunjungan
prenatal untuk memeriksakan keadaan janin, mengetahui ada atau
tidaknya komplikasi kehamilan. Wanita pada tingkat sosial ekonomi
(pekerjaan dan pendidikan) lebih rendah mempunyai kemungkinan 50%
lebih tinggi mengalami persalinan kurang bulan dibandingkan dengan
tingkat sosial ekonomi lebih tinggi. Frekuensi persalinan kurang bulan
hampir 2 kali lipat pada buruh kasar dibandingkan dengan yang terpelajar
(Jenny, 2008).

4) Riwayat persalinan preterm sebelumnya

Riwayat persalinan preterm dan abortus merupakan faktor yang


sangat erat dengan persalinan preterm berikutnya. Risiko persalinan
preterm berulang bagi mereka yang persalinan pertamanya preterm
meningkat tiga kali lipat dibanding dengan wanita yang bayi pertamanya
mencapai aterm dengan persentase kemungkinan persalinan preterm
berulang pada ibu hamil yang pernah mengalami 1 kali persalinan
preterm sebesar 37%, sedangkan pada ibu yang pernah mengalami
11

persalinan preterm 2 kali atau lebih mempunyai resiko 70% untuk


mengalami persalinan preterm ( Cunningham et al, 2005).

Tabel 1. Hubungan Antara Riwayat Persalinan Preterm dengan Kejadian Persalinan


Preterm Berikutnya

Birth outcome Second birth 34 weeks


(%)

First birth 35 weeks 5

First birth 34 weeks 16

First and second birth 34 weeks 41

Tabel 1 Reccurent Spontaneous Preterm Births According to Prior Outcome in 15.863 Women
Delivering Their First and Subsequent Pregnancies at Parkaland Hospital. Adapted from Bloom and
associates 2001

Meskipun pasien hamil dengan riwayat persalian preterm jelas memiliki


resiko tinggi mengalami persalinan preterm ulangan, peristiwa ini hanya
10% dari keseluruhan persalinan preterm. Dengan kata lain 90% kejadian
persalinan preterm tak dapat diramalkan berdasarkan riwayat persalinan
preterm (Jenny, 2008).
5) Faktor gaya hidup
Perilaku seperti merokok, gizi buruk dan penambahan berat badan
yang kurang baik selama kehamilan serta penggunaan obat seperti kokain
atau alkohol telah dilaporkan memainkan peranan penting pada kejadian
dan hasil akhir bayi dengan berat lahir rendah. Resiko kelahiran preterm
meningkat, yaitu rata-rata dua kali lipat dari wanita bukan perokok,
sedangkan resiko keguguran pada usia kehamilan antara minggu ke 28
sampai 1 minggu sebelum persalinan empat kali lebih tinggi dari yang
bukan perokok ( Cunningham et al, 2005).
12

Dapat pula digunakan sistem skoring terhadap faktor resiko ibu hamil
sebagai berikut:
a. Skor pelvik menurut Bishop
Tabel 2. Skor pelvik menurut bishop

Nilai 0 1 2 3
Dilatasi Serviks 0 1-2 cm 3-4 cm >4 cm
Penipisan serviks 0-30% 40-50% 60-70% >70%
Station -3 -2 -1 0
Konsistensi Kenyal Medium Lunak
serviks
Posisi serviks Posterior Medial Anterior

Skor pelvik yang dinilai disini adalah skor pelvik modifikasi


Bishop yang meliputi penilaian dilatasi serviks, penipisan serviks, station,
konsistensi serviks dan posisi serviks. Skor Bishop merupakan parameter
yang baik untuk memprediksi terjadinya persalinan preterm. Semakin
besar nilai skor Bishop menunjukkan ancaman persalinan preterm yang
terjadi makin progresif sehingga makin sulit untuk dihambat. Pada
beberapa penelitian didapatkan angka kejadian persalinan preterm berkisar
76% pada skor Bishop (Jenny, 2008).

b. Skor tokolitik menurut Baumgarten

Tabel 3. Skor tokolitik menurut Baumgarten

Nilai 1 2 3 4
Kontraksi Tidak teratur Teratur - -
Ketuban Utuh Pecah diatas /tidak - Pecah
jelas dibawah
Perdarahan Spotting Banyak
Dilatasi 1 cm 2 cm 3 cm 4 cm
Serviks
13

Skor tokolisis menurut Baumgarten merupakan parameter yang


baik untuk memprediksi persalinan preterm dengan atau tanpa gejala
ketuban pecah dini. Skor tokolisis ini mengevaluasi kemungkinan
terjadinya persalinan preterm dengan mengkombinasikan 4 faktor klinis
yaitu adanya kontraksi uterus, utuh/tidak utuhnya kulit ketuban, keluarnya
lendir darah dan dilatasi serviks. Pada beberapa penelitian didapatkan
angka kejadian persalinan preterm sebesar 10% pada skor tokolisis
Baumgarten 3. Bila skor tokolisis Baumgarten 4 maka angka kejadian
persalinan prematur meningkat sebesar 85% (Jenny, 2008).

4. Patogenesis dan Patofisiologi


Drife dan Magowan menyatakan bahwa 35% persalinan preterm terjadi
tanpa diketahui penyebab yang jelas, 30% akibat persalinan elektif, 10% terjadi
pada kehamilan ganda, dan sebagian lain sebagai akibat kondisi ibu atau
janinnya.

a. Patogenesis Infeksi

Menurut Cunningham et al (2005) proses patogenesis persalinan


diawali dengan Invasi bakteri yang akan mengawali aktivasi fosfolipase A2
yang memecah asam arakidonat dari selaput amnion janin, sehingga asam
arakidonat bebas meningkat untuk sintesis prostaglandin. Endotoksin didalam
air ketuban kemudian merangsang sel desidua untuk menghasilkan sitokin
dan prostaglandin yang dapat menginisiasi proses persalinan. Proses
persalinan preterm yang dikaitkan dengan infeksi diperkirakan diawali
dengan pengeluaran produk sebagai hasil dari aktivasi monosit. Berbagai
sitokin, termasuk interleukin-1, tumor necrosing factor (TNF-), dan
interleukin-6 adalah produk sekretorik yang dikaitkan dengan persalinan
preterm. Sementara itu, platelet activating factor (PAF) yang ditemukan
dalam air ketuban terlibat secara sinergik pada aktivasi sitokin tadi. PAF juga
diduga dihasilkan dari paru dan ginjal janin. Dengan demikian janin
memainkan peran yang sinergik dalam mengawali proses persalinan preterm
14

yang disebabkan oleh infeksi. Bakteri sendiri mungkin menyebabkan


kerusakan membran lewat pengaruh langsung dari protease.

b. Vaginosis Bakterial

Vaginosis bakterial adalah bukan keadaan infeksi namun adalah suatu


keadaan dimana flora vagina normal (laktobasilus penghasil hidrogen
peroksida) diganti dengan kuman-kuman anaerobik meliputi Gardnerella
vaginalis, spesies Mobiluncus dan Mycoplasma hominis ( Cunningham et al
2005; Wiknjosastro 2008).
Menurut Cunningham et al (2005) data dari penelitian hewan, in vitro
dan manusia seluruhnya memberikan gambaran yang konsisten bagaimana
infeksi bakteri menyebabkan persalinan prematur spontan. Invasi bakteri
rongga koriodesidua, yang bekerja melepaskan endotoksin dan eksotoksin,
mengaktivasi desidua dan membran janin untuk menghasilkan sejumlah
sitokin, termasuk tumor necrosing factor (TNF-), interleukin-1, interleukin-
1, interleukin-6, interleukin-8, dan granulocyte colony-stimulating factor.
Selanjutnya, sitokin, endotoksin, dan eksotoksin merangsang sintesis
prostaglandin dan pelepasan dan juga mengawali neutrophil chemotaxis,
infiltrasi, dan aktivasi, yang memuncak dalam sistesis dan pelepasan
metalloprotease dan zat bioaktif lainnya. Prostaglandin merangsang kontraksi
uterus sedangkan metalloprotease menyerang membran korioamnion yang
menyebabkan pecah ketuban. Metalloprotease juga meremodeling kolagen
dalam serviks dan melembutkannya.
Jalur yang lain mungkin memiliki peranan yang sama baik. Sebagai
contoh, prostaglandin dehydrogenase dalam jaringan korionik menginaktivasi
prostaglandin yang dihasilkan dalam amnion yang mencegahnya mencapai
miometrium dan menyebabkan kontraksi. Infeksi korionik menurunkan
aktivitas dehidrogenase ini yang memungkinkan peningkatan kuantitas
prostaglandin untuk mencapai miometrium. Jalur lain dimana infeksi
menyebabkan persalinan prematur melibatkan janin itu sendiri. Pada janin
dengan infeksi, peningkatan hipotalamus fetus dan produksi corticotropin-
releasing hormone (CRH) menyebabkan meningkatnya sekresi kortikotropin
15

janin, yang kembali meningkatkan produksi kortisol adrenal fetus.


Meningkatnya sekresi kortisol menyebabkan meningkatnya produksi
prostaglandin. Juga, ketika fetus itu sendiri terinfeksi, produksi sitokin fetus
meningkat dan waktu untuk persalinan jelas berkurang. Namun, kontribusi
relatif kompartemen maternal dan fetal terhadap respon peradangan
keseluruhan tidak diketahui.
Dibawah ini merupakan tabel perbandingan angka kejadian persalinan
preterm dengan kejadian bakterial vaginosis yang diobati dan tidak diobati
hasil penelitian di Brazil, menunjukkan hasil yang signifikan (Rodrigo,
2005).

Sumber: Rodrigo, et.al : 2005


16

Bagan 1. Patogenesis dan Patofisiologi Terjadinya Persalinan Preterm

Adopted from: Lockwood CJ, Kuczynski E. Risk stratification and pathological mechanisms in
preterm delivery. Paediatr Perinat Epidemiol. 2001;15 Suppl 2:78-89.

5. Gejala Klinis

Selain kontraksi uterus yang nyeri atau tidak terasa nyeri, gejala-gejala
seperti tekanan pada panggul, kram seperti saat menstruasi, duh vagina cair atau
berdarah, dan nyeri punggung bawah secara empiris berkaitan dengan kelahiran
preterm yang membakat (Cunningham et al, 2005).
17

Bagan 2. Tanda dan Gejala serta Diagnosis Persalinan Preterm

Adopted from: Herman L. Hedriana, M.D., Sutter Medical Center Sacramento

6. Diagnosis

a. Anamnesa
Untuk menentukan apakah seorang ibu hamil terancam persalinan
preterm atau tidak, dapat ditegakkan melalui beberapa kriteria meliputi:
a) Usia kehamilan antara 20-37 minggu lengkap atau antara 140-259 hari.
b) Kontraksi uterus (His) teratur, pastikan dengan pemeriksaan inspekulo
adanya pembukaan dan servisitis. Kontraksi uterus sendiri dapat
18

menyesatkan karena ada kontraksi Braxton Hicks yaitu kontraksi


yang digambarkan sebagai tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu
sakit atau tidak sakit sama sekali, dapat menimbulkan keraguan yang
amat besar dalam penegakan diagnosis persalinan preterm
(Cunningham et al, 2005). Sedangkan menurut Cunningham et al
(2005), untuk kriteria persalinan preterm digambarkan kontraksi uterus
sebagai kontraksi yang teratur dengan jarak 7-8 menit atau kurang dan
adanya pengeluaran lendir kemerahan atau cairan pervaginam dan
diikuti salah satu berikut ini:
- Pada pemeriksaan dalam:
Pendataran 50-80 % atau lebih,
Pembukaan 2 cm atau lebih.
- Mengukur panjang serviks dengan vaginal probe USG:
Panjang serviks kurang dari 2 cm pasti akan terjadi
persalinan prematur,
Tujuan utama adalah bagaimana mengetahui dan mencegah
terjadinya persalinan preterm.
c) Selaput ketuban sering kali telah pecah.
d) Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku
menstruasi, rasa tekanan intrapelvik dan nyeri bagian belakang.

American Academy of Pediatrics dan American Collefe of Obstetricians and


Gynecologist (1997) mengusulkan kriteria berikut:
a) Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit
atau delapan kali dalam 60 menit ditambah perubahan progresif pada
serviks.
b) Dilatasi serviks lebih dari 1 cm.
c) Pendataran serviks sebesar 80 persen atau lebih.
19

b. Pemeriksaan penunjang
Menurut Jefferson (2004) adapun pemeriksaan penunjang yang sering
dilakukan antara lain:
a) Laboratorium
- Pemeriksaan kultur urine
- Pemeriksaan gas dan PH darah janin
- Pemeriksaan darah tepi ibu:
1) Jumlah leukosit
2) C-reactive protein. CRP terdapat pada serum penderita yang
menderita infeksi akut dan dideteksi berdasarkan
kemampuannya untuk mempresipitasi fraksi polisakarida
somatik nonspesifik kuman pneumococcus yang disebut fraksi
C. CRP dibentuk di hepatosit sebagai reaksi terhadap IL-1, IL-
6, TNF.
b) Amniocentesis
- Hitung leukosit
- Pewarnaan Gram bakteri (+) pasti amnionitis
- Kultur
- Kadar IL-1, IL-6
- Kadar glukosa cairan amnion
c) Fetal Fibronectin
Fetal fibronectin adalah glikoprotein yang dihasilkan dalam 20
bentuk molekul dari berbagai jenis sel antara lain hepatosit, fibroblas,
sel endothel serta amnion janin. Kadar yang tinggi dalam darah
maternal serta dalam cairan amnion diperkirakan berperan dalam
adhesi interseluler selama implantasi dan dalam mempertahankan
adhesi plasenta pada desidua. Deteksi fibronectin dalam cairan
sevikovaginal sebelum adanya ketuban pecah adalah marker adanya
partus pretermus iminen. Pemeriksan fetal fibronektin dilakukan
dengan metode enzyme linked immunosorbent assay dan nilai diatas 50
ng/ml dianggap sebagai hasil positif. Pemeriksaan fibronectin bahkan
pada kehamilan 8-22 minggu merupakan prediktor kuat untuk
20

terjadinya persalinan preterm. Pemeriksaan fibronectin pada kasus


partus pretermus iminen dapat menurunkan lama waktu tinggal di
Rumah Sakit (Cunningham et al, 2005).
d) USG
a. Pemeriksaan USG untuk mengukur panjang serviks
Pemeriksaan TVS dapat dilakukan untuk mengukur panjang
serviks. Panjang serviks pada kehamilan 24 minggu = 3.5 cm.
Owen dkk (2001) menyebutkan bahwa terdapat hubungan
antara panjang serviks pada kehamilan 16-24 minggu dengan
kejadian persalinan preterm pada kehamilan < 35 minggu.
Selanjutnya Owen dkk (2003) menyebutkan bahwa nilai
panjang serviks untuk meramalkan terjadinya persalinan
preterm sebelum kehamilan 35 minggu hanya sesuai untuk
kehamilan dengan resiko tinggi persalinan preterm.
Pemeriksaan ultrasonografi secara rutin pada kasus kehamilan
resiko rendah tidak perlu dikerjakan.
b. Oligohidroamnion: Goulk dkk. (1985) mendapati hubungan
antara oligohidiroamnion dengan korioamnionitis klinis
antepartum. Vintzileos dkk. (1986) mendapati hubungan antara
oligohidroamnion dengan koloni bakteri pada amnion.
c. Penipisan serviks: Iams dkk. (1994) mendapati bila ketebalan
serviks < 3cm (USG), dapat dipastikan akan terjadi persalinan
preterm. Sonografi serviks trans perinal lebih disukai karena
dapat menghindari manipulasi intravagina terutama pada kasus-
kasus KPD dan plasenta previa.
d. Kardiotokografi: kesejahteraan janin, frekuensi dan kekuatan
kontraksi.

7. Diagnosis Differensial

a) Kontraksi pada kehamilan preterm


b) Persalinan pada pertumbuhan janin terhambat.
21

8. Penatalaksanaan

Wanita yang kehamilannya diidentifikasi berisiko mengalami kelahiran


preterm, dan juga mereka yang menunjukkan tanda dan gejala ancaman
persalinan preterm diberikan berbagai intervensi yang ditujukan guna
memperbaiki hasil akhir bayinya. Bila tidak ada indikasi ibu atau bayi yang
mengharuskan persalinan secara sengaja, maka sebagian besar intervensi
diharapkan mencegah kelahiran preterm atau meningkatkan kemampuan bayi
untuk mengatasi lingkungan ekstrauteri. Menurut Wiknjosastro, 2008) pada ibu-
ibu yang berisiko mengalami persalinan preterm sebaiknya perlu dilakukan
penilaian tentang:

a. Umur kehamilan, karena lebih bisa dipercaya untuk penentuan


prognosis daripada berat janin.
b. Demam atau tidak
c. Kondisi janin (jumlahnya, letak/presentasi, taksiran berat janin,
hidup/gawat janin/mati, kelainan kongenital, dan sebagainya) dengan
USG.
d. Letak plasenta perlu diketahui untuk antisipasi seksio sesarea.
e. Fasilitas dan petugas yang mampu menangani calon bayi terutama
adanya seorang neonatologis, bila perlu dirujuk.

Adapun berbagai obat-obat yang digunakan dalam tatalaksana persalinan


preterm antara lain:

a. Tokolitik
Agen tokolitik yang sering digunakan dan bermanfaat dalam
memperlama kehamilan meliputi; agonis, ritodrine, kalsium kanal bloker
contohnya, nifedipine, antagonis oksitosin (atosiban), obat anti-inflamasi
non-steroid (NSAID), contoh indometasin atau inhibitor kerja otot uterus
(progesteron). Pada keadaan dimana terjadi dilatasi serviks < 4cm, sebaiknya
persalinan dimulai setelah 24-48 jam memberikan waktu untuk pemberian
steroid pada ibu atau ibu dibawa ke ruang intensif neonatus (Michael, 2010).
22

Adapun kontraindikasi tokolitik (Lawrence, Stephen & Maxime,


2002; Diana-Fairley 2009):
1) Absolut
- Penyakit tiroid
- Penyakit jantung
- Hipertensi berat (>160/110 mmHg)
- Penyakit sel sabit
- Korioamnionitis
- Kematian intrauterin
2) Relatif
- Persalinan berlanjut, bila dilatasi serviks > 4 cm
- Perdarahan Antepartum
- Diabetes Mellitus Maternal
3) Efek samping
Takikardi: pengobatan harus dihentikan jika HR ibu melebihi 120/min
Hiperglikemia: agonist bersifat diabetogenic seperti steroid. Karena
steroid selalu diberikan pada waktu yang bersamaan dengan tokolitik,
Glukosa darah ibu harus diperiksa setiap 2 jam dan pemberian insulin
dimulai jika gula darah ibu melebihi 9 mmol/l.
Edema Pulmoner: hal ini disebabkan oleh cairan yang berlebihan dan
takikardi. Dapat dihindari dengan pemberian tokolitik melalui syringe
pump untuk menurunkan volume koloid yang diberikan.

Tokolitik baru, atosiban, baru diperkenalkan. Atosiban merupakan


antagonis oksitosin. Golongan lain seperti; NSAID (indometasin) dan gliseril
trinitrat (GTN). NSAID dapat menyebabkan oligihidroamnion dan penutupan
patent duktus arteriosus pada fetus bila digunakan lebih dari 48 jam.
23

Table 4. Tokolitik yang Sering Digunakan

TOKOLITIK MEKANISME KERJA EFEK SAMPING


Magnesium Berkompetisi dengan kalsium di Kelemahan, hipokalsemia
sulfat membran plasma dan retikulum
sarkoplasmik sel otot
Beta-mimetics Deplesi konsentrasi kalsium Cardiovaskular
(cth, terbutalin) intraselular (takikardia, palpitasi)
metabolik (hipokalemia,
hiperglikemia)
Calcium kanal Blokade kanal kalsium di Hipotensi
bloker (cth, membran plasma sel otot
nifedipine)
Nonsteroidal Menghambat sintesis Konstriksi duktus
anti-inflamatory prostaglandin arteriosus,
drugs (cth, oligohidramnion
indomethacine)
Current Medical Diagnosis and Treatment, 2002

b. Kortikosteroid
Menurut Wiknjosastro (2008) kortikosteroid diberikan untuk
percepatan pematangan paru.
1) Betamethasone 12 mg IM tiap 24 jam selama 48 jam
2) Dexamethasone 6 mg IM tiap 12 jam selama 48 jam

Efek optimal terjadi 24 jam setelah pemberian terakhir mencapai


puncak dalam waktu 48 jam dan bertahan sampai 7 hari.

c. Antibiotika
Terapi antibiotika pada kasus persalinan preterm diperkirakan oleh
sebagian besar ahli tidak memberikan manfaat dalam menghambat persalinan
preterm. Pemberian antibiotika bermanfaat untuk mencegah infeksi pada
kasus ketuban pecah dini. Terapi pilihan utama adalah penisilin dan
24

ampisilin. Kombinasi Ampisilin (2 g IV q 6 h selama 48 jam) diikuti dengan


amoksisilin (500 mg peroral 3 kali sehari selama 5 hari) atau Eritromisin (250
mg IV tiap 6 jam selama 48 jam) dilanjutkan dengan dengan eritromisin (333
mg oral 3 kali sehari selama 5 hari). Klindamisin dapat diberikan pada pasien
yang alergi terhadap penisilin (Lawrence, Stephen & Maxime, 2002).

Menurut Wiknjosastro (2008) Ada dua prinsip penatalaksanaan


persalinan preterm yaitu menghentikan kontraksi uterus/melakukan penundaan
persalinan atau persalinan berjalan terus dan siapkan penanganan selanjutnya.

a. Penundaan persalinan

Obat-obat tokolitik hanya dapat menunda persalinan sementara,


sembari dilakukan pemberikan kotikosteroid yang ditujukan untuk
menginduksi maturitas paru pada usia kehamilan kurang dari 34 minggu.
Intervensi ini bertujuan untuk menunda kelahiran sampai bayi cukup matang.

Penundaan persalinan dilakukan bila:

- Umur kehamilan < 35 minggu.


- Pembukaan serviks kurang dari 3 cm
- Tidak ada amnionitis, preeklampsia atau perdarahan yang aktif.
- Tidak ada gawat janin.

Ibu dirawat inap dan dilakukan evaluasi terhadap his dan pembukaan.
Kemudian untuk mempercepat kematangan paru janin diberikan
kortikosteroid dengan 2 dosis betamethason 12 mg IM selang 12 jam (atau
berikan 4 dosis deksamethason 5 mg IM selang 6 jam). Steroid tidak boleh
diberikan bila ada infeksi yang jelas (JNRPKKR, POGI, 2002).
25

b. Persalinan Berlanjut

Bila tokolisis tidak berhasil, lakukan persalinan dengan upaya


optimal. Jangan menyetop kontraksi uterus bila:

- Umur kehamilan lebih dari 35 minggu.


- Serviks membuka lebih dari 3 cm
- Perdarahan aktif
- Janin mati dan adanya kelainan kongenital yang kemungkinan hidup
kecil
- Adanya korioamnionitis
- Preeklamsia
- Gawat janin.

9. Penyulit

Adapun berbagai penyulit yang sering terjadi selama persalinan preterm


menurut Jefferson (2005) antara lain:
a) Sindrom gawat nafas (RDS)
b) Perdarahan intrakranial
c) Trauma persalinan dan sepsis.
d) Paten duktus arteriosus
e) Gangguan neurologis

10. Komplikasi

Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering


terjadi mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi
(Jefferson, 2005). Bayi-bayi preterm memiliki risiko infeksi neonatal lebih
tinggi; Morales (1987) menyatakan bahwa bayi yang lahir dari ibu yang
menderita amnionitis memiliki risiko mortalitas 4 kali lebih besar, dan risiko
distres pernafasan, sepsis neonatal, necrotizing enterocolitis dan perdarahan
intra ventrikuler 3 kali lebih besar.
26

11. Prematuritas dan Dismaturitas

Menurut Nelson (2000) bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dibagi
menjadi dua golongan, yaitu:

a. Prematuritas murni, yaitu masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat
badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi itu atau biasa
disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan (NKB-SMK).
Bayi-bayi prematur ini merupakan bayi yang lahir secara preterm. Menurut
kurva pertumbuhan janin (lihat gambar 3) terdapat 3 golongan prematur
yaitu:
a) BKB SMK (sesuai dengan masa kehamilan)
b) BKB KMK (kecil untuk masa kehamilan)
c) BKB BMK (besar untuk masa kehamilan)
b. Dismaturitas/Imaturitas, yaitu bayi yang baru lahir dengan berat badan
lahirnya kurang dibandingkan dengan berat badan seharusnya untuk masa
gestasi bayi itu. Hal ini biasanya menandakan bahwa bayi tersebut
mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin dan merupakan bayi yang
kecil untuk masa kehamilannya (KMK). Dismaturitas dapat terjadi pada
preterm, term, post-term (postmatur). Penyebab dari dismaturitas adalah
keadaan yang mengganggu pertukaran zat antara ibu dan janin.

Untuk menaksir umur atau lamanya masa gestasi baya pada saat bayi
dilahirkan untuk mengukur indeks maturasi neonatus salah satunya adalah
dengan skor Dubowitz dan Ballard. Ada dua hal yang dinilai meliputi kriteria
neurologis dan maturitas fisik.

1. Kriteria Neurologis
Cara menilai aktivitas neuromuskular:
a. Posture: dinilai bila bayi terlentang dan tenang.
b. Square window: tangan bayi difleksikan diantara ibu jari dan
telunjuk pemeriksa lalu diukur sudut antara hypothenar emirence
dengan forearm.
27

c. Arm recoil: lakukan fleksi lengan bawah selama 5 detik,


kemudian lengan tersebut diekstensikan dan dilepas. Nilai derajat
kembalinya ke posisi fleksi.
d. Popliteal angle: bayi tidur terlentang, paha dipegang sedemikian
rupa sehingga terdapat posisi lutut-datar (knee-chest position).
Setelah itu dilakukan ekstensi tungkai bawah, dan ukur sudat
dibawah lutut tersebut.
e. Scarf sign: posisi terlentang, peganglah salah satu lengan bayi
dan usahakan tangan tersebut mencapai leher posterior dari bahu
sisi lainnya. Angkat dan geserlah siku diatas dadanya dan lihat
sampai dimana siku tersebut dapat digeser. Makin muda bayi
makin mudah menggeser sikunya melewati garis tengah ke sisi
lain.
f. Heel to hear: posisi terlentang, gerakkan kaki bayi ke telinga dari
sisi yang sama. Perhatikan jarak yang tidak mencapai telinga dan
ekstensi lutut.

Tabel 5. Skor Dubowits dan Ballard

Sumber. Nelson Ilmu Kesehatan Anak (2000)


28
29

Total Gestational
Score Age, Weeks
10 20
-5 22
0 24
5 26
10 28
15 30
20 32
25 34
30 36
35 38
40 40
45 42
50 44

Adapted from Sweet AY: Classification of the low-birth-weight


infant. In Care of the High-Risk Neonate, ed. 3, edited by MH
Klaus and AA Fanaroff. Philadelphia, WB Saunders Company,
1986

Setelah didapatkan jumlah skor dari pemeriksaan neuromuskuler dan


maturasi fisik, maka kedua skor itu dijumlahkan. Hasil penjumlahan tersebut
dicocokkan dengan tabel kematangan, sehingga didapatkan usia kehamilan
dalam minggu. Selain menggunakan Skor Dubowitz dan Ballard, dapat juga
digunakan berat badan lahir (BBL). Dan berat badan lahir yang didapatkan
disesuaikan dengan tabel berat lahir terhadap usia gestasi yang dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu: kecil untuk masa kehamilan (KMK), sesuai dengan masa
kehamilan, dan besar untuk masa kehamilan.
30

II.2. Kerangka Teori

Primipara

Usia ibu < 20 th dan > 35 th


Risiko persalinan
preterm meningkat
Sos.Ek <<

Riw.preterm sebelumnya

KPD Infeksi Fosfolipase A2

Inkompetensia serviks
Asam Arakidonat >>
HAP

Komplikasi Tidak mampu Prostaglandin >>


Gemeli
Obstetri menahan uterus

Preklampsia Kontraksi Uterus

Distosia
Persalinan Preterm

Induksi persalinan
akibat gawat janin
31

II.3. Kerangka Konsep

Usia Ibu Usia Gestasi

Paritas PERSALINAN BBL Bayi


PRETERM
Riwayat Preterm PBL Bayi
Sebelumnya

Komplikasi
Kehamilan

II.4. HIPOTESIS

Adapun hipotesis-hipotesis dari penelitian ini antara lain:

1. H1: Ada hubungan antara usia terhadap kejadian persalinan preterm


2. H2: Ada hubungan antara riwayat kelahiran preterm sebelumnya
terhadap kejadian persalinan preterm
3. H3: Ada hubungan antara paritas terhadap kejadian persalinan preterm
4. H4: Ada hubungan antara riwayat komplikasi langsung obstetris dalam
kehamilan terhadap kejadian persalinan preterm.

You might also like