You are on page 1of 37

BAB 1

PENDAHULUAN

Sebagian besar bayi baru lahir yang terlahir dari ibu yang menderita suatu
penyakit, tidak menunjukkan gejala pada saat dilahirkan atau beberapa waktu setelah lahir.
Bukan berarti bayi baru lahir tersebut aman dari gangguan akibat dari penyakit yang
diderita ibu. Hal tersebut dapat menimbulkan akibat yang merugikan bagi bayi baru lahir
(BBL), dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas bayi. Ibu bermasalah disini
diartikan sebagai ibu yang menderita sakit, sebelum, selama hamil, atau pada saat
menghadapi proses persalinan.1,2
Salah satu kelompok ibu yang bermasalah adalah ibu dengan HIV/AIDS.
Mengingat jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia meningkat sesuai dengan data
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, setiap tahun terdapat 9000 hamil HIV positif
yang melahirkan di Indonesia. Berarti jika tidak ada intervensi, diperkirakan akan lahir
sekitar 3000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya di Indonesia. 1,3
Strategi Penanggulangan AIDS Nasional 2010-2014 menegaskan bahwa
pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas, sehingga
penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah. Hal ini seiring dengan program Prevention of
Mother-to-Child Transmission of HIV (PMTCT) dari WHO yang turut bertujuan
menurunkan angka penularan HIV dari ibu ke bayi yang dilahirkannya. 4,5
Bayi dari ibu hamil dengan HIV positif merupakan kondisi khusus, dimana sebisa
mungkin dilakukan pencegahan dan perawatan sejak dalam kandungan, saat persalinan,
hingga saat tumbuh-kembang. Dalam laporan kasus ini, akan dibahas mengenai
manajemen bayi dengan HIV/AIDS yang lahir dari ibu HIV positif dengan menitik
beratkan pada pengendalian infeksi opurtunistik.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. GP Tn. D Ny. F
Umur 2 bulan 27 Tahun 29 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Laki laki Perempuan
Alamat Jl. Damai 2 NO:21 Jatisari, Jati Asih
Agama Islam Islam Islam
Suku bangsa Indonesia
Pendidikan - SMA SMA
Pekerjaan - Karyawan Swasta Ibu Rumah Tangga
Penghasilan - 3.500.000 -
Riwayat Pernikahan - Pertama Pertama

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis kepada ibu dan ayah kandung pada tanggal 03 Februari 2017 di
Ruang Laktasi poli anak RSUD Bekasi

Keluhan Utama
Kontrol HIV

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli anak RSUD bekasi untuk kontrol HIV. Ibu pasien menyangkal adanya batuk
(-) pilek(-) mual (-) muntah (-) BAB cair (-). Ibu pasien mengaku bahwa pasien sering kontrol ke
poliklinik anak untuk kontrol HIV sejak 15 hari setelah lahir.

2
Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur

Alergi - Candidiasis - Jantung -

Cacingan - Diare - Ginjal -

DBD - Kejang - Darah -

Thypoid - Gastritis - Radang paru -

Otitis - Herpes - Tuberkulosis -


Zooster paru

Parotis - Operasi - Morbili -

Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu pasien di diagnosa HIV pada saat berumur 24 tahun, ibu pasien sebelumnya bekerja di tempat
spa di Jakarta. Ibu pasien rutin konsumsi ARV sejak 5 tahun yang lalu. Ayah pasien tidak
menderita HIV.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Morbiditas kehamilan Tidak ditemukan kelainan

Perawatan antenatal Melakukan pemeriksaan ke


dokter spesialis kandungan
KEHAMILAN
Saat hamil, ibu pasien sudah
mengetahui dirinya mengidap
HIV

Tempat kelahiran Rumah Sakit Umum Daerah

KELAHIRAN Bekasi

Penolong persalinan Bidan

3
Cara persalinan Per vaginam

Masa gestasi 37 Minggu

Berat lahir 2900 g

Panjang badan 49 cm

Keadaan bayi Lingkar kepala tidak ingat

Nilai apgar tidak diketahui

Menangis Spontan

Ketuban Jernih

Tidak ada kelainan bawaan

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :


Pertumbuhan gigi pertama : - bulan
Tengkurap dan berbalik sendiri : - bulan
Duduk : - bulan
Merangkak : - bulan
Berdiri : - bulan
Berjalan : - bulan
Berbicara : - bulan
Gangguan perkembangan :-

Riwayat Makanan
Umur (bulan) ASI/PASI Buah/biskuit Bubur susu Nasi tim

0-2 Susu Formula - - -

2-4 Susu Formula - - -

4-6 - - - -

4
6-8 - - - -

8-10 - - - -

10-12 - - - -

Kesan: Pasien sejak lahir mendapatkan susu formula dan tidak minum ASI.

Riwayat Imunisasi :
Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)
BCG -
DPT/DT - - - - -
POLIO - - - - - -
CAMPAK - - -
HEPATITIS B Lahir - -
Kesan: Riwayat imunisasi tidak lengkap

Riwayat Perumahan dan Sanitasi :


Pasien tinggal di rumah pribadi, dinding terbuat dari tembok, atap terbuat dari genteng, dan
ventilasi cukup. Menurut pengakuan keluarga pasien, keadaan lingkungan rumah padat, ventilasi,
dan pencahayaan baik. Sumber air bersih berasal dari PAM.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

a. Keadaan umum : Tampak sakit ringan


b. Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis
Frekuensi nadi : 122 x/m
Frekuensi pernapasan : 20 x/m
Suhu tubuh : 36,80C
c. Data antropometri

5
Berat badan : 5.8 kg
Tinggi badan : 59 cm

- BB/U : 5,8/5,2 x 100% = 111 %


- TB/U : 59/58 x 100% = 101 %
- BB/TB : 5,8/5,4 x 100% = 107 % (Gizi Normal)
d. Kepala
Bentuk : Normocephali, simetris, UUB belum menutup
Rambut : Rambut hitam, distribusi kurang merata.
Mata : Konjungtiva anemis -/-, air mata +, sklera ikterik -/-, pupil bulat
isokor, RCL +/+, RCTL +/+,
Telinga : Normotia, serumen -/-.
Hidung : Bentuk normal, NCH -/-, sekret -/-, konka oedem-, hiperemis -,
terdapat hematom
Mulut : Deformitas (-), bibir kering (-), sianosis perioral (-) candidiasis (-)
Leher : Bentuk simetris, trakea di tengah, faring hiperemis -, tonsil T1-
T1, hiperemis -, kripta -, pembesaran kelenjar getah bening

6
e. Thorax
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi -
Palpasi : Gerak napas simetris
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi
Pulmo : Suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Cor : BJ I dan II reguler, murmur -, gallop

f. Abdomen
Inspeksi : Perut datar.
Auskultasi : Bising usus 3x/menit
Palpasi : supel, turgor kulit baik <1 detik
Perkusi : Shifting dullness -, nyeri ketuk -.

g. Kulit : sawo matang, ruam (-)


h. Extremitas : Akral hangat, sianosis (-), oedem (-), ikterik (-), CRT < 2 detik

7
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada hasil pemeriksaan penunjang terbaru.

V. RESUME
Seorang anak laki-laki berusia 2 bulan 13 hari dating ke poliklinik anak RSUD bekasi untuk
kontol HIV. Ibu pasien menyangkal adanya batuk (-) pilek(-) mual (-) muntah (-) BAB cair (-). Ibu
pasien mengaku bahwa pasien sering kontrol ke poliklinik anak untuk kontrol HIV sejak 15 hari
setelah lahir.
Ibu pasien di diagnosa HIV pada saat berumur 24 tahun, ibu pasien sebelumnya bekerja di
tempat spa di Jakarta. Ibu pasien rutin konsumsi ARV sejak 5 tahun yang lalu. Ayah pasien tidak
menderita HIV.

Pasien lahir pervaginam di rumah sakit Umum Daerah Bekasi dibantu oleh Bidan, 37 minggu,
BBL 2900 gr dan panjang 49 cm, apgar score tidak diketahui dan tidak ada kelainan bawaan saat
lahir. Pasien minum susu formula sampe sekarang. Riwayat imunisasi tidak lengkap.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan. Tanda vital dalam
batas normal, status gizi didapatkan gizi normal. Status generalis tidak didapatkan kelainan
bermakna. Tidak ada hasil pemeriksaan penunjang terbaru.

VI. DIAGNOSIS KERJA


HIV Stadium 1

VII. DIAGNOSIS BANDING


-

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN


1. Uji Virologis HIV

8
IX. PENATALAKSANAAN
1. Zidovudin 1 x 12,5 mg
2. Sangobion drop 1 x 0,3 ml

X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad fungsionam : dubia
Ad sanationam : dubia

9
BAB III
ANALISIS KASUS

Infeksi HIV merupakan masalah kesehatan serius di berbagai Negara didunia. Angka
kejadian HIV semakin meningkat tiap tahunnya. Bisa dialami berbagai usia dalam kehidupan.
Transmisi HIV secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur tersering infeksi pada
masa kanak-kanak, Infeksi HIV pada anak menunjukkan gambaran klinis yang sangat bervariasi.
Mulai dari yang ringan sampai yang berat.

Pada kasus, anak laki-laki usia 2 bulan 13 hari dengan berat badan 5,8 kg datang untuk
kontrol HIV namun tanpa disertai keluhan tambahan. Saat dilakukan pemeriksaan fisik pada anak
tampak normal tidak ada kelainan. HIV merupakan virus penyebab AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome). Virus ini melemahkan kemampuan seseorang untuk melawan berbagai
infeksi. Karena HIV melemahkan sistem pertahanan tubuh, penderita AIDS akan lebih mudah
mengalami berbagai gangguan kesehatan.

Dari anamnesis mengenai perjalanan penyakit, menurut orangtua pasien tidak mengelukan
ada gejala. Untuk memastikan apakah benar pasien terinfeksi HIV dan mengalami
imunokompromais perlu dilakukan pemeriksaan serologi/viral load.

Menurut WHO, stadium klinis dari HIV dibagi menjadi 4 yaitu :

Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)

10
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang


Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

Pada pasien tidak ditemukan adanya keluhan dan gejalan-gejala, maka dari itu dapat
disimpulkan bahwa pasien dikategorikan ke dalam HIV stadium I (Asimptomatik)

Anamnesis mengenai riwayat keluarga didapatkan adanya riwayat seks bebas pada ibu (+).
Ibu dan ayah pasien pernah diperiksa tes HIV, hanya ibu yang hasilnya (+). Ibu pasien sebelum
menikah bekerja di tempat spa yang melakukan seks bebas, namun ibu pasien konsumsi ARV
sejak 5 tahun yang lalu. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasien memiliki risiko
11
tertular infeksi HIV dari ibu pasien. Selain itu, risiko tertular infeksi HIV karena pasien lahir secara
pervaginam, walaupun ibu mengakui kalo selama kehamilan rutin konsumsi ARV dan sejak lahir
pasien mendapat susu formula. Pada literature disebutkan bahwa risiko transmisi vertikal meliputi:
risiko saat kehamilan, persalinan, dan menyusui.

Risiko saat persalinan per vaginam 10-20%. Hal ini terjadi karena saat kontraksi, maka
akan terjadi penekanan plasenta, sehingga kemungkinan akan terjadi pencampuran darah ibu dan
bayi sehingga resiko meningkat jika ada infeksi (malaria, sifilis, chorioamnitis, dll), selain itu bayi
mudah terpapar dengan darah dan cairan servikovaginal. Paparan jalan lahir tergantung : kadar
HIV cairan vagina ibu& kadar CD4 pada ibu, lesi pada serviks atau vagina, perlukaan dinding
vagina, infeksi cairan ketuban, ketuban pecah dini (risiko meningkat 2 % tiap 1 jam setelah
membran rupture, persalinan premature, prosedur obstetric (amniotomy, episiotomy, forceps)
yang dapat meningkatkan pajanan terhadap darah & sekret ibu. Persalinan pervaginam dapat
dilakukan jika memenuhi persyaratan yaitu ibu minum ARV teratur, atau Muatan Virus/ Viral
Load tidak terdeteksi, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan muatan virus/ viral load pada usia
kehamilan 36 minggu ke atas. Selain itu ibu hamil dengan HIV (+) dianjurkan SC elektif (Sectio
Caesaria terjadwal dan sebelum terjadi tanda-tanda persalinan) karena menurunkan infeksi HIV
sampai 50% tanpa ARV dan sampai 80% dengan ARV (ZDV). Sectio Caesar dapat menurunkan
hingga 50-80% risiko transmisi. Pada kasus ini didapatkan bahwa pasien lahir secara pervaginam,
namun status kesehatan ibu saat hamil sudah didiagnosa HIV sejak 5 tahun yang lalu walaupun
mengakui rutin konsumsi ARV dan riwayat rinci persalinan ibu.

Infeksi HIV-1 pada anak memiliki variasi, yang menyebabkan gejala dini pada hampir 20%
(progresi cepat). Kebanyakan anak menunjukkan progresi moderat penyakit, dan sekelompok kecil
menunjukkan asimptomatik selama beberapa tahun. Beberapa faktor yang berpengaruh adalah
karakteristik virus dan pejamu. Untuk itu, prognosis pada pasien ini adalah dubia.

Anak dengan infeksi HIV mungkin memberi respon lambat atau tidak lengkap terhadap
pengobatan yang biasa. Anak mungkin menderita demam yang persisten, atau batuk kronik.
Apabila keadaan umumnya baik, anak tidak perlu tetap tinggal di rumah sakit, tetapi dapat
diperiksa secara teratur sebagai pasien rawat jalan.

12
Baku pengobatan pada pasien dengan HIV adalah Triple Therapy. WHO
merekomendasikan bahwa regimen lini pertama adalah 2 NRTI dan 1 NNRTI. Sedangkan
penggunaan 3 NRTI merupakan lini kedua. Dan pada pasien yang sudah terkonfirmasi terkena
HIV maka indikasi pengobatannya adalah :

Rekomendasi Pemberian ART menurut Umur


Stadium Klinis Pemeriksaan CD4 <12 bulan >12 bulan

4 +/- Semua Diobati


Semua diobati Semua diobati kecuali apabila
terdapat TB, LIP, OHL dan
+
3 trombositopenia, tergantung
dari CD4
- Semua diobati
1&2 + Bergantung CD4
1&2 - Tergantung TLC

Pasien stadium klinis 1 dengan disimpulkan untuk dilakukan pemberian ART. ART yang
digunakan pada pasien usia 2 bulan dan berat 5,8 kg maka diberikan Zidovudine dengan dosis 2 x
20 mg. Kemudian perlu juga ditambahkan sangobion, karena efek samping dari zidovudine adalah
anemia. Pada pasien ini terapi yang diberikan sudah sesuai.

13
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh
virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.(6)
2. Epidemiologi
HIV/AIDS di Indonesia semakin menjadi salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari epidemi rendah menjadi
epidemi terkonsentrasi. Dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, yang melaporkan
kasus AIDS terdapat 32 provinsi, dan kabupaten/kota yang melaporkan kasus AIDS 178
kabupaten/kota. Berdasarkan hasil estimasi oleh Depkes pada tahun 2006 diperkirakan
terdapat 169.000 216.000 ODHA di Indonesia dengan rate kumulatif kasus AIDS
Nasional sampai dengan 30 Juni 2007 adalah 4,27 per 100.000 penduduk (revisi
berdasarkan data BPS 2005, jumlah penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa).(7)
Cara penularan yang dilaporkan terutama adalah melalui hubungan seksual (77,1
persen) di mana 61,4 persen di antaranya melalui hubungan seks heteroseksual dan 15,7
persen melalui hubungan seks homoseksual. Sejak tahun 1999 penularan melalui
penyalahgunaan napza suntik meningkat secara drastis dan menempati urutan kedua (20,7
persen) sesudah transmisi secara heteroseks.(8)
Penularan infeksi HIV dari Ibu ke Anak merupakan penyebab utama infeksi HIV
pada anak usia di bawah 15 tahun. Sejak HIV menjadi pandemic di dunia, diperkirakan 5,1
juta anak di dunia terinfeksi HIV. Hampir sebagian besar penderita tersebut tertular melalui
penularan dari ibu ke anak. Setiap tahun diperkirakan lebih dari 800.000 bayi menjadi
terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke anak. Dan diikuti adanya sekitar 610.000
kematian anak karena virus tersebut.(9)
3. Etiologi
Virus penyebab defisiensi imun yang dengan nama Human Immunodeficiency
Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae.
Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut

14
lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai pada
kasus AIDS atau orang sehat di Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum
banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering,
dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III),
lymphadenipathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus.(10)
Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada
tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di
Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan
internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.(11)
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya
yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia
masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai
reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat
berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan
keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap
infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita
tersebut.(11)
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA
(Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian
selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 akan berikatan
dengan reseptor CD4, yaitu suatu reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper,
makrofag, monosit, sel-sel langerhans pada kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama
sel-sel kripta dan sel-sel enterokromafin). Sedangkan gp 41 atau disebut juga protein
transmembran, dapat bekerja sebagai protein fusi yaitu protein yang dapat berikatan
dengan reseptor sel lain yang berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan tersebut bersatu
membentuk sinsitium. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia,
maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar
matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol,
jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar
utraviolet.(11)

15
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh.
HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrofag dan sel glia jaringan otak. (11)

Gambar 1. Struktur anatomi HIV


4. Patogenesis
Infeksi HIV memerlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu molekul CD4. Molekul
CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul
glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Di antara sel tubuh yang memiliki molekul CD4, sel
limfosit-T memiliki molekul CD4 paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimulai dengan
penempelan virus pada limfosit-T. Setelah penempelan, terjadi diskontinuitas dari membran sel
limfosit-T sehingga seluruh komponen virus harus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T,
kecuali selubungnya. Selanjutnya, RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi seuntai DNA
dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNA-ase H, RNA yang asli
dihancurkan sedang seuntai DNA yang terbentuk mengalami polimerisasi menjadi dua untai DNA
dengan bantuan enzim polimerase. DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari sitoplasma ke
dalam inti sel limfosit-T dan menyisip ke dalam DNA sel pejamu dengan bantuan enzim integrase,
disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal dalam keadaan laten atau dalam
keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung pada aktivitas dan deferensiasi sel pejamu (T-
CD4) yang diinfeksinya, sampai kelak terjadi suatu stimulasi yang dapat memicu dan mamacu
terjadinya replikasi dengan kecepatan tinggi.(6)

16
Stimulasi yang dapat memicu dan memacu terjadinya replikasi (atau ekspresi virus, yaitu
pembentukan protein atau mRNA virus yang utuh) yang cepat ini masih belum jelas, walaupun
umumnya diduga dapat terjadi oleh karena bahan mitogen atau antigen yang mungkin bekerja
melalui sitokin, baik yang terdapat sebelum maupun sesudah terjadinya infeksi HIV. Tidak semua
sitokin dapat memacu replikasi virus oleh karena sebagian sitokin malah dapat menghambat
replikasi. Sitokin yang dapat memacu adalah sitokin yang umumnya ikut serta mengatur respons
imun, seperti misalnya interleukin (IL) 1,3,6, tumor necrosis factor dan , interferon gamma,
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor dan macrophage colony-stimulating factor.
Yang bersifat menghambat adalah interleukin-4, transforming growth factor , interferon dan .
(6)

Hal lain yang dapat memicu replikasi HIV adalah adanya ko-faktor yang terdiri dari infeksi
oleh virus DNA seperti virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, virus hepatitis B, virus herpes
simplex, human herpesvirus 6, dan human T-cell lymphotrophic virus tipe 1 atau oleh kuman
seperti mikoplasma. Oleh karena sitokin dapat dibentuk dan bekerja lokal di dalam jaringan tanpa
masuk ke dalam sirkulasi, maka konsentrasinya di dalam serum tidak harus meningkat untuk dapat
menimbulkan pengaruh pada replikasi atau ekspresi HIV di dalam jaringan. Oleh karena itu, pada
keadaan adanya gangguan imunologik, di dalam jaringan (terutama di dalam kelenjar limfe) tetap
dapat terjadi replikasi atau ekspresi virus. (6)
Hipotesis yang berkembang hingga saat ini sehubungan dengan organ limfoid dapat
dipaparkan sebagai berikut: setelah HIV masuk ke dalam tubuh baik melalui sirkulasi atau melalui
mukosa, HIV pertama-tama dibawa ke dalam kelenjar limfe regional. Di sini terjadi replikasi virus
yang kemudian menimbulkan viremia dan infeksi jaringan limfoid yang lain (multipel) yang dapat
menimbulkan limfadenopati subklinis. (6)
Sementara itu, sel limfosit-B yang terdapat di dalam sentrum germinativum jaringan
limfoid juga memberikan respon imun yang spesifik terhadap HIV. Hal ini yang mengakibatkan
limfadenopati yang nyata akibat hiperplasia atau proliferasi folikular yang ditandai oleh
meningkatnya sel dendrit folikular di dalam sentrum germinativum dan sel limfosit T-CD4.
Akumulasi sel limfosit T-CD4 yang meningkat di dalam jaringan limfoid ini selain akibat
proliferasi in situ tersebut, juga berasal dari migrasi limfosit dari luar. Migrasi sel T-CD4 dari luar
inilah yang mengakibatkan penurunan sel T-CD4 di dalam sirkulasi secara tiba-tiba yang
merupakan gejala yang khas dari sindrom infeksi HIV akut. Di samping itu, sel limfosit-B
menghasilkan berbagai sitokin yang dapat mengaktifkan dan sekaligus memudahkan infeksi sel T-
CD4. (6)

17
Pada fase awal dan tengah penyakit, ikatan partikel HIV, antibodi dan komplemen
terkumpul di dalam jaring-jaring sel dendritik folikular. Sel dendritik folikular ini, pada respons
imun yang normal berfungsi menjerat antigen yang terdapat di lingkungan sentrum germinativum
dan menyajikannya kepada sel imun yang kompeten yaitu sel T-CD4 yang akhirnya mengalami
aktivasi dan infeksi. Seperti telah dikemukakan, HIV di dalam sel T-CD4 dapat tinggal laten untuk
waktu yang panjang sebelum kemudian mengalami replikasi kembali akibat berbagai stimulasi.
Pada fase yang lebih lanjut, dengan demikian, tidak lagi ditemukan partikel HIV yang bebas oleh
karena semuanya terdapat di dalam sel. Hal lain yang dapat diamati adalah dengan progresivitas
penyakit terjadilah degenerasi sel dendrit folikular sehingga hilanglah kemampuan organ limfoid
untuk menjerat partikel HIV yang berakibat meningkatnya HIV di dalam sirkulasi. Hal ini sudah
tentu meningkatkan penyebaran HIV ke dalam berbagai organ tubuh.

Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

18
5. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis HIV pada anak sangat bervariasi. Beberapa anak dengan HIV
positif menunjukkan keluhan dan gejala terkait HIV yang berat pada tahun pertama
kehidupannya. Anak dengan HIV positif lainnya mungkin tetap tanpa gejala atau dengan
gejala ringan selama lebih dari setahun dan bertahan hidup sampai beberapa tahun.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, perlu dicari:
Ibu atau ayah memiliki risiko untuk terinfeksi HIV (riwayat narkoba suntik, promiskuitas,
pasangan dari penderita HIV, pernah mengalami operasi atau transfuse darah)
Memiliki morbiditas yang khas maupun sering ditemukan pada penderita HIV, yaitu: diare
kronik, gagal tumbuh, pneumonia berat, pneumonia P.carinii, demam berkepanjangan, TB
paru, kandidosis orofaring.(9)
Gejala yang menunjukkan kemungkinan infeksi HIV:
Infeksi berulang: 3 atau lebih episode infeksi bakteri yang lebih berat (seperti pneumonia,
meningitis, sepsis, selulitis) pada 12 bulan terakhir
Thrush: eritema pseudomembran putih di langit-langit mulut, gusi, dan mukosa pipi. Pasca
masa neonatal, ditemukannya thrush tanpa pengobatan antibiotic, atau berlangsung lebih
dari 30 hari walaupun telah diobati, atau kambuh, atau meluas melebihi bagian lidah-
kemungkinan besar merupakan infeksi HIV. Juga khas apabila meluas hingga ke belakang
kerongkongan (kandidiasis esophagus)
Parotitid kronik: pembengkakan parotid uni-atau bi-lateral selama 14 hari, dengan atau
tanpa diikuti rasa nyeri atau demam
Limfadenopati generalisata: terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada dua atau lebih
daerah ekstrainguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya
Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya infeksi virus yang bersamaan
seperti CMV
Demam yang menetap dan/atau berulang : demam (>380C) berlangsung lebih dari 7 hari,
atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari
Dermatitis HIV:ruam yang eritematus dan papuler. Ruam kulit yang khas meliputi infeksi
jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala, dan moluscum contagiosum yang
ekstensif
Herpers zoster

19
Kelainan neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefal, perkembangan
terlambat, hipertonia, atau bingung.(14)
Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan pada
anak yang sakit bukan infeksi HIV:
Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dari telinga dan berlangsung 14 hari
Diare persisten: berlangsung 14 hari
Gizi kurang atau gizi buruk.(14)
Gejala yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV positif :
Pneumocystitis pneumonia (PCP)
Kandidiasis esophagus
Lymphoid intersititial pneumonia (LIP)
Sarcoma kapossi.(14)

Stadium HIV pada Anak


Ada 2 klasifikasi klinik: WHO, dan CDC
Stadium klinis anak yang tidak diterapi ART dapat menjadi prediksi mortalitasnya.
Stadium klinis dapat digunakan untuk memulai pemberian kotrimoksazol dan memulai ART
khususnya bila pemeriksaan CD4+ tidak tersedia

Stadium Klinis WHO untuk bayi dan anak dengan infeksi HIV/AIDS yang sudah terbukti,
Stadium Klinis 1
Tanpa gejala (asimtomatis)
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium Klinis 2
Hepatosplenomegaly persisten tanpa alasani
Erupsi papular pruritis
Infeksi virus kutil yang luas
Moluskum kontagiosum yang luas
Infeksi jamur di kuku
Ulkus mulut yang berulang

20
Pembesaran parotid persisten tanpa alasan
Eritema lineal gingival (LGE)
Herpes zoster
Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (ototis media, otore, sinusitis,
atau tonsilitis)
Stadium Klinis 3
Malanutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan terapi baku
Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari atau lebih)
Demam terus-menerus tanpa alasan (di atas 37,5C, sementara atau terus-menerus, lebih
dari 1 bulan)
Kandidiasis oral terus-menerus (setelah usia 6-8 minggu)
Oral hairy leukoplakia (OHL)
Gingivitis atau periodonitis nekrotising berulkus yang akut
Tuberkulosis pada kelenjar getah bening
Tuberkulosis paru
Pneumonia bakteri yang parah dan berulang
Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala
Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk brokiektasis
Anemia (<8g/dl),>
Stadium Klinis 4ii
Wasting yang parah, tidak bertumbuh atau malanutrisi yang parah tanpa alasan dan tidak
menanggapi terapi yang baku
Pneumonia Pneumosistis (PCP)
Infeksi bakteri yang parah dan berulang (mis. empiema, piomisotis, infeksi tulang atau
sendi, atau meningitis, tetapi tidak termasuk pneumonia)
Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial atau kutaneous lebih dari 1 bulan atau viskeral
pada tempat apa pun)
Tuberkulosis di luar paru
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru)

21
Toksoplasmosis sistem saraf pusat (setelah usia 1 bulan)
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus: retinitis atau infeksi CMV yang mempengaruhi organ lain, yang
mulai pada usia lebih dari 1 bulan)
Kriptokokosis di luar paru (termasuk meningitis)
Mikosis diseminata endemis (histoplasmosis luar paru, kokidiomikosis)
Kriptosporidiosis kronis
Isosporiasis kronis
Infeksi mikobakteri non-TB diseminata
Limfoma serebral atau non-Hodgkin sel-B
Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)
Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV.(15)

Catatan:
i Tanpa alasan berarti keadaan tidak dapat diakibatkan oleh alasan lain.
ii Beberapa penyakit khusus yang juga dapat dimasukkan pada klasifikasi wilayah (misalnya
penisiliosis di Asia)

Sistem klasifikasi infeksi HIV pada anak: kategori klinis CDC (revisi 1994) 9
Kategori N (tanpa gejala) Tidak terdapat tanda dan gejala klinis akibat infeksi
HIV, atau hanya terdapat satu gejala kategori A
Kategori A (gejala klinis ringan) Terdapat 2 atau lebih berikut tanpa gejala kategori B
dan C:
a. Limfadenopati ( 0,5 cm lebih dari 1 tempat,
bilateral dianggap 1 tempat)
b. Hepatomegali
c. Splenomegali
d. Dermatitis
e. Parotitis
f. Infeksi saluran nafas atas, sinusitis, atau otitis
media berulang atau menetap
Kategori B (gejala klinis sedang) Terdapat gejala klinis lain selain gejala kategori A
atau C:
a. Anemia (< 8g/dL), neutropenia (<1000/mm3),
atau trombositopenia (< 100.000/mm3) menetap
30 hari

22
b. Meningitis bakterialis, pneumonia, atau sepsis
(episode tunggal)
c. Kandidiasis orofaring menetap 2 bulan pada
anak usia > 6 bulan
d. Kardiomiopati
e. Infeksi CMV dengan onset usia < 1 bulan
f. Diare berulang atau kronik
g. Hepatitis
h. Stomatitis herpes simpleks (HSV) berulang (> 2
episode dalam setahun)
i. Bronchitis, pneumonia, atau esofagitis HSV
dengan onset usia < 1 tahun
j. Herpes zoster pada paling sedikit 2 episode
berbeda atau > 1 dermatom
k. Leimiosarkoma
l. Pneumonitis interstitial limfoid atau kompleks
hyperplasia limfoid paru
m. Nefropati
n. Nokardiosis
o. Demam > 1 bulan
p. Toksoplasmosis dengan onset usia < 1 bulan
q. Varisela diseminata (cacar air dengan
komplikasi)
Kategori C (gejala klinis berat) Semua anak yang memeuuhi criteria AIDS, kecuali
untuk pneumonitis interstitial limfoid yang masuk
dalam kategori B.(13)
Tabel 1. Klasifikasi kategori klinis HIV menurut CDC
Kriteria imunologis

Tabel 2 Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4+


CD4+ adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefsiensi. Digunakan
bersamaan dengan penilaian klinis. CD4+ dapat menjadi petunjuk dini progresivitas penyakit
karena nilai CD4+ menurun lebih dahulu dibandingkan kondisi klinis. Pemantauan CD4+
dapat digunakan untuk memulai pemberian ARV atau penggantian obat. Makin muda

23
umur, makin tinggi nilai CD4+. Untuk anak < 5 tahun digunakan persentase CD4+. Bila
5 tahun, persentase CD4+ dan nilai CD4+ absolut dapat digunakan. Ambang batas kadar
CD4+ untuk imunodefsiensi berat pada anak 1 tahun sesuai dengan risiko mortalitas
dalam 12 bulan (5%). Pada anak < 1 tahun atau bahkan < 6 bulan, nilai CD4+ tidak dapat
memprediksi mortalitas, karena risiko kematian dapat terjadi bahkan pada nilai CD4+ yang
tinggi.

Tabel 3. Klasifikasi imunodefisiensi WHO menggunakan TLC


Hitung limfosit total (TLC) digunakan bila pemeriksaan CD4+ tidak tersedia untuk
kriteria memulai ART (imunodefsiensi berat) pada anak dengan stadium 2. Hitung TLC tidak
dapat digunakan untuk pemantauan terapi ARV.
Perhitungan TLC = % limfosit X hitung total leukosit.

Perjalanan HIV pada Anak


Cara dan waktu penularan infeksi HIV-1 pada anak mungkin selanjutnya berkontribusi
dengan laju progresi penyakit HIV. Autologous neutralizing antibody (aNab) maternal terlibat
sebagai faktor protektif melawan penularan HIV selama intra uteri. Studi Bryson and
colleagues from the University of California at Los Angeles menilai adanya antibody netralisir
diantara 21 transmisi dan 17 non-transmisi ibu yang tidak menerima sidovudine untuk
mencegah transmisi ibu ke anak. Adanya aNab (autologous neutralizing antibody) juga
berhubungan dengan ketiadaan progresi pada anak yang terinfeksi. Bayi yang mengalami
progresi cepat selama 2 tahun pertama kehidupan memiliki kadar aNab yang sangat rendah
bahkan nol untuk melawan virus yang ada atau yang telah berlalu. Sedangkan penyakit dengan
progresi intermediet awalnya menunjukkan tidak adanya kemampuan aNab, namun setelah 12
bulan menjadi mampu menetralisir virus. Anak dengan progresi lambat menunjukkan
peningkatan kemampuan menetralisir virus pada titer tinggi.(16)

24
Infeksi HIV-1 pada anak memiliki variasi, yang menyebabkan gejala dini pada hampir
20% (progresi cepat). Kebanyakan anak menunjukkan progresi moderat penyakit, dan
sekelompok kecil menunjukkan asimptomatik selama beberapa tahun. Beberapa faktor yang
berpengaruh adalah karakteristik virus dan pejamu. Mengenai faktor pejamu, literature
menekankan pada peran gen CCR5 yang mengkode permukaan sel, molekul reseptor kemokin
yang berperan sebagai ko-reseptor bagi makrofag-tropik strain HIV. Anak digolongkan ke
dalam progressor cepat, moderat, dan lambat berdasarkan gejala klinis yang timbul dalam 2
tahun pertama kehidupan, umur 2-8 tahun, dan setelah umur 8 tahun. Multipel faktor dapat
mempengaruhi progresi penyakit HIV-1 pada anak selama infeksi perinatal, seperti faktor
infeksi utero versus intrapartum, status penyakit ibu saat kelahiran, pengobatan dan profilaksis
ibu dan bayi, dan HLA genotip 11 .(17)
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis HIV
Tentukan status gizi
Tentukan status imunosupresi dengan pemeriksaan CD4+
Lakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, SGOT/SGPT, dan pemeriksaan lain sesuai
indikasi
Pemeriksaan lain (pencitraan, dan lain-lain ).(13)
Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi
HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya
antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya
virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen, dan
deteksi materi genetik dalam darah pasien.
Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap antibodi HIV.
Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay),
aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay. Metode yang biasanya digunakan di Indonesia
adalah dengan ELISA.
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV ini yaitu adanya
masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya
antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk 4-8 minggu setelah
infeksi. Jadi jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi

25
HIV dapat memberikan hasil negatif. Untuk itu, jika kecurigaan akan adanya resiko terinfeksi yang
cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan bulan kemudian.
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan
konseling pra tes. Hali ini harus dilakukan agar ia mendapat informasi yang sejelas-jelasnya
mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya
serta lebih siap menerima apapun hasilnya nanti. Untuk membritahu hasil tes juga diperlukan
konseling pasca tes. Jika hasil positif akan diberi informasi mengenai pengobatan untuk
memperpanjang masa tanpa gejala dan mencegah penularan. Jika hasil negatif, akan diberikan
informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko.(13)
6. Diagnosis
Seperti penyakit lain, diagnosis HIV lain juga ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.(10)
Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV ialah :
1) Lahir dari ibu resiko tinggi atau terinfeksi HIV
Bayi-bayi yang terlahir dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV akan tetap mempertahankan status
seropositif hingga usia 18 bulan oleh karena adanya respon antibodi ibu yang ditransfer secara
transplacental. Selama priode ini, hanya anak-anak yang terinfeksi HIV saja yang akan
mengalami respon serokonversi positif pada pemeriksaan dengan enzyme immunoassays
(EIA), immunofluorescent assays (IFA) atau HIV-1 antibody western blots (WB).
2) Lahir dari ibu pasangan resiko tinggi atau terinfeksi HIV
3) Penerima transfusi darah atau komponennya dan tanpa uji tapis HIV
4) Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu narkotika)
5) Kebiasaan seksual yang keliru, homoseksual atau biseksual.(10)
Menyingkirkan Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak
Diagnosis definitif infeksi HIV pada bayi dan anak membutuhkan uji diagnostik yang
memastikan adanya virus HIV.
Uji antibodi HIV mendeteksi adanya antibodi HIV yang diproduksi sebagai bagian respons
imun terhadap infeksi HIV. Pada anak usia 18 bulan, uji antibodi HIV dilakukan dengan
cara yang sama seperti dewasa.

26
Antibodi HIV maternal yang ditransfer secara pasif selama kehamilan, dapat terdeteksi
sampai umur anak 18 bulan oleh karena itu interpretasi hasil positif uji antibodi HIV menjadi
lebih sulit pada usia < 18 bulan.
Bayi yang terpajan HIV dan mempunyai hasil positif uji antibodi HIV pada usia 9-18 bulan
dianggap berisiko tinggi mendapat infeksi HIV, namun diagnosis definitif menggunakan uji
antibodi HIV hanya dapat dilakukan saat usia 18 bulan.
Untuk memastikan diagnosis HIV pada anak dengan usia < 18 bulan, dibutuhkan uji virologi
HIV yang dapat memeriksa virus atau komponennya.
Anak dengan hasil positif pada uji virologi HIV pada usia berapapun dikatakan terkena
infeksi HIV.
Anak yang mendapat ASI akan terus berisiko terinfeksi HIV, sehingga infeksi HIV baru
dapat disingkirkan bila pemeriksaan dilakukan setelah ASI dihentikan > 6 minggu.(10)
Gejala klinis yang sesuai dengan penjelasan sebelumnya, pada bagian manifestasi klinis.
Sedangkan untuk diagnostik pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium.(10)
Tes untuk mendiagnosis virus harus dilakukan dalam 48 jam kehidupan pertama. Hampir
40% bayi dapat didiagnosis pada masa ini. Disebabkan karena banyak bayi yang terinfeksi HIV
mempunyai perkembangan penyakit yang cepat sehingga memerlukan terapi yang progresif pula.
Pada anak yang terpapar HIV dengan tes virologis yang negatif pada 2 hari pertama, beberapa
pendapat mengusulkan perlu untuk dilakukan pemeriksaan kembali pada hari ke-14 untuk
memaksimalkan deteksi dari virus ini.
Terdapat beberapa tes HIV yang cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik.
Kebanyakan dari tes-tes ini hanya membutuhkan satu step pengambilan sampel dan hasilnya
didapat lebih cepat (< style=""> pada 2 hari pertama kehidupan, dan > 90% pada usia > 2 minggu
kehidupan. Uji RNA HIV plasma, yang mendeteksi replikasi virus lebih sensitif daripada PCR
DNA untuk diagnosis awal, namun data yang menyatakan seperti itu masih terbatas. Kultur HIV
mempunyai sensitivitas yang hampir sama dengan PCR HIV DNA, namun tekniknya lebih sulit
dan mahal, dan hasilnya sulit didapat pada beberapa minggu, dibandingkan dengan PCR yang
membutuhkan hanya 2-3 hari. Uji antigen p24 bersifat lebih spesifik dan mudah untuk dilakukan
namun kurang sensitif dibandingkan dengan uji virologis lainnya, dan tidak direkomendasikan
untuk usia.

27
Seorang bayi yang terpapar oleh virus HIV dapat dinyatakan positif terinfeksi HIV jika
pada pemeriksaan serologis dari 2 (dua) sampel darah yang berbeda pada bayi (tidak termasuk
darah yang berasal dari pusat, karena adanya risiko terkontaminasi oleh darah ibu); baik dua kali
hasil positif pada pemeriksaan kultur HIV darah perifer untuk sel-sel mononuklear (peripheral
blood mononuclear cell (PMBC)), dan/atau satu hasil positif untuk DNA atau RNA polymerase
chain reaction (PCR) assay dan satu hasil postif pada kultur PMBC HIV. Pemeriksaan-
pemeriksaan terebut harus dilakukan pada dua waktu yang berlainan pada bayi-bayi yang belum
pernah diberi ASI sebelumnya.
Seorang bayi yang terlahir dari seorang ibu pengidap infeksi HIV dapat dinyatakan tidak
terinfeksi HIV jika tes-tes di atas tetap memberikan hasil negatif sampai usia bayi lebih dari empat
bulan dan bayi tidak mendapat ASI. (18)

Bagan 1. Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak < 18 bulan Dengan status HIV Ibu tidak diketahui

28
Bagan 2. Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak < 18 Bulan dan Mendapatkan Asi

29
Bagan 3. Diagnosis Bayi dan Anak < 18 Bulan, Status Ibu HIV Positif Dengan Hasil Uji Virus
Awal Negatif dan Terdapat Tanda atau Gejala HIV Pada Kunjungan Berikutnya

Tabel 4. Penegakkan Diagnosis Presumptif Hiv Pada Bayi dan Anak < 18 Bulan dan Terdapat
Tanda/Gejala Hiv Yang Berat

Bagan 4. Diagnosis HIV Pada Bayi dan Anak > 18 Bulan

30
7. Penatalaksanaan
Terapi Anti Retroviral (ARV)
Terapi saat ini tidak dapat mengeradikasi virus namun hanya untuk mensupres virus
untuk memperpanjang waktu dan perubahan perjalanan penyakit ke arah yang kronis.
Pengobatan infeksi virus HIV pada anak dimulai setelah menunjukkan adanya gejala
klinis. Gejala klinis menurut klasifikasi CDC. Pengobatan ARV diberikan dengan
pertimbangan :
1. Adanya bukti supresi imun yang ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 atau
persentasenya.
2. Usia
3. Bagi anak berusia > 1 tahun asimtomatis dengan status imunologi normal, terdapat 2
pilihan :
a. Awali pengobatan tidak bergantung kepada gejala klinis.
b. Tunda pengobatan pada keadaan resiko progresifitas perjalanan penyakit rendah
atau adanya faktor lain misalnya pertimbangan lamanya respon pengobatan,
keamanan dan kepatuhan.
Pada kasus seperti ini faktor lain yang harus dipertimbangkan ialah :
Peningkatan viral load
Penurunan dengan cepat CD4 baik jumlah atau presentasi supresi imun (Kategori Imun 2
pada tabel )
Timbulnya gejala klinis
Keputusan untuk memberikan terapi antiretrovirus harus memenuhi kriteria sebagai
berikut:
1) Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau untuk mendiagnosis
HIV secara dini.
2) Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi (ART) selama
sedikitnya 1 tahun
3) Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian tentang ART,
pentingnya kepatuhan pada terapi, efek samping yang mungkin terjadi, dll.

31
4) Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong kepatuhan serta
untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul akibat ART
5) Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi hati, dll.
6) Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi oportunistik
akibat HIV
7) Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat untuk infeksi
oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV.
8) Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja sosial, dukungan
sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan kelompok dukungan Orang Dengan
HIV/AIDS (ODHA) dan pendampinya.
9) Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik tentang
penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem untuk menyebarluaskan
informasi dan pedoman baru.
10) Obat ARV digunakan secara rasional sesuai pedoman yang berlaku.(19)
Perjalanan penyakit infeksi HIV dan penggunaan ART pada anak adalah serupa
dengan orang dewasa tetapi ada beberapa pertimbangan khusus yang dibutuhkan untuk bayi,
balita, dan anak yang terinfeksi HIV.
Efek obat berbeda selama transisi dari bayi ke anak. Oleh karena itu dibutuhkan
perhatian khusus tentang dosis dan toksisitas pada bayi dan anak. Kepatuhan berobat pada
anak menjadi tantangan tersendiri.
Terapi ARV memberi manfaat klinis yang bermakna pada anak yang terinfeksi HIV
yang menunjukkan gejala. Uji klinis terhadap anak sudah menunjukkan bahwa ART memberi
manfaat serupa dengan pemberian ART pada orang dewasa.
Saat ini ada 3 (tiga) golongan ART yang tersedia di Indonesia:
1) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs): Obat ini dikenal sebagai analog
nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini
diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk Zidovudine
(AZT), Lamivudine (3TC), Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Zalcitabin (ddC), Abacavir
(ABC).

32
2) Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI): obat ini berbeda dengan
NRTI walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA. Obat dalam
golongan ini termasuk nevirapine (NVP), Efavirenz (EFV), dan Delavirdine (DLV).
3) Protease Inhibitor (PI): Obat ini bekerja menghambat enzim protease yang memotong
rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat dalam golongan ini
termasuk Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Saquinavir (SQV), Ritonavir (RTV),
Amprenavir (APV), dan Lopinavir/ritonavir (LPV/r).

Regimen obat yang diusulkan di Indonesia ialah :


Salah satu dari Kolom A dan salah satu kombinasi dari
Kolom B
Kolom A Kolom B
Nevirapine (NVP) AZT + ddl
Nelfinavir (NVF) ddl+3TC
d4T + ddl
AZT + 3TC
d4T + 3TC
Tabel 5. Regimen ART yang diusulkan di Indonesia
Untuk neonatus, regimen obat yang diberikan berupa 2 nucleoside reverse
transcriptase inhibitors (NRTIs) atau nevirapine dengan 2NRTIs atau protease
inhibitor dengan 2NRTIs. Selain itu, juga direkomendasikan pemberian zidovudine
dengan didanosine atau zidovudine dengan lamivudine dikombinasi dengan nelfinavir atau
ritonavir. Untuk bayi-bayi yang lebih tua dan anak-anak, direkomendasikan beberapa
regimen antiretroviral. Protease inhibitor sebagai pilihan utama dengan
2NRTIs. Nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor yang paling direkomendasikan
untuk anak-anak berusia lebih dari tiga tahun adalah 2NRTIs dengan efavirenz (dapat
disertai dengan atau tanpa protease inhibitor). Untuk anak-anak berusia kurang dari tiga
tahun yang belum dapat mendapat tablet, regimennonnucleoside terpiliih adalah 2NRTIs
dengan nevirapine. Alternatif pemberian regimen terapi nucleoside analogue adalah
zidovudine dengan lamivudine dan abacavir.

33
8. Pencegahan
Pencegahan Infeksi Oportunistik
Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua kelompok
besar yakni:
1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi terjadi. Misalnya
pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 < 200/mm3 untuk mencegah
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Pencegahan ini dapat mengurangi risiko PCP.
2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi. Contohnya
setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat pencegahan (dalam dosis yang
lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan PCP yang telah sembuh.
Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena
infeksi oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik dapat
dihentikan. Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi oportunistik harus
diberikan lagi. Tabel berikut menampilkan secara ringkas pencegahan terhadap beberapa
bentuk infeksi oportunistik. Beberapa upaya profilaksis hanya dianjurkan bila penderita
mampu seperti vaksinasi pneumokok, hepatitis B dan hepatitis A.(20)

34
BAB V
KESIMPULAN

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan


gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh
virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Penularan infeksi HIV dari Ibu ke Anak
merupakan penyebab utama infeksi HIV pada anak usia di bawah 15 tahun. Sejak HIV
menjadi pandemik di dunia, diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV. Hampir
sebagian besar penderita tersebut tertular melalui penularan dari ibu ke anak.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. 2006. Situasi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 1986-2006. Jakarta : Pusat Data dan
Informasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2. Yani F.F, Arwin A.P, Supriyatno B, Setyanto D.B, Kurniati N, Kaswandani N. 2006. Penyakit
Respiratorik pada Anak dengan HIV. Sari Pediatri. 8(3) : 188-194.
3. Meyer, F., Akib, A., Boediman. 2009. Characteristics of HIV-infected children born to HIV-
positive mothers in Cipto Mangunkusumo Hospital between 2002 and 2007. Paediatr Ind.
49(2) : 112-118.
4. Depkes RI. 2008. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Anti Retroviral pada Anak di
Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
5. WHO. 2009. New Recommendations : Prevention of mother-to-child transmission. World
Health Organization. Available at www.who.int/hiv diakses tanggal 30 Desember 2012.
6. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. Editor Sudoyo AW, dkk. Edisi 4. Jakarta: FKUI; 2006. Hal 1825-1830.
7. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Anak Di Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan 2008
8. Program nasional bagi anak indonesia kelompok penanggulangan
HIV/AIDS. http://www.bappenas.go.id/index.php?module=filemanager&func=download&p
athext=contentexpress/kpp/pnba/buku%20iii/&view=iv.%20buku%20iii%20penanggulangan
%20hiv%20aids%20-%20final.rtf.
9. Widodo J. HIV Mengancam Anak Indonesia. Available at:
http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=946&tbl=artikel. Accessed on June 22th,
2015
10. Komite medik RSUP DR SARDJITO. Standar Pelayanan Medis. Ed.2, Medika FK UGM,
Yogyakarta, 2000.
11. Fernandez AD, McNeeley DF. Management of the infant born to a mother infected with human
immunodeficiency virus type 1(HIV-1): Current concepts. Am J of Perinatology 200;17:429-
435

36
12. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
13. Draft panduan pelayanan medis. Departemen ilmu kesehatan anak RSCM. 2007
14. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
15. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang
Dewasa dan Remaja edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007
16. Karin A Nielsen. The HIV Cycle and the early life cycle: disease progression in children.
Available at: http://cme.medscape.com/viewarticle/450737. Accessed on June 22th,2015
17. Daniela Souza Arajo de Angelis. CCR5 Genotypes and Progression to HIV Disease in
Perinatally Infected Children. Institute of Tropical Medicine of So Paulo, LIM52-HCFMUSP;
Federal University of So Paulo, UNIFESP; So Paulo, SP, Brazil. www.bjid.com.br
18. Prober, Charles G, Ilmu Kesehatan Anak Nelson Jilid 2, edisi bahasa Indonesia edisi 15,
Jakarta 1999.
th
19. Avroy A F, Richard JM. Neonatal-perinatal medicine disesases of the fetus and infant. 6 ed.
St.Louis Baltimore:Mosby,1996:779-782
20. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI 2002.

37

You might also like