You are on page 1of 22

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang ditandai

dengan hiperglikemia dan intoleransi glukosa yang terjadi karena kelenjar

pankreas tidak dapat memproduksi insulin secara adekuat atau karena

tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif atau

kedua-duanya.[22]
Ada beberapa jenis Diabetes Mellitus yaitu Diabetes Mellitus Tipe

I, Diabetes Mellitus Tipe II, Diabetes Mellitus Tipe Gestasional, dan

Diabetes Mellitus Tipe Lainnya. Jenis Diabetes Mellitus yang paling

banyak diderita adalah Diabetes Mellitus Tipe 2.Diabetes Mellitus Tipe 2

adalah penyakit gangguan metabolic yang di tandai oleh kenaikan gulah

darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau

ganguan fungsi insulin (resistensi insulin).[5]


Diabetes Mellitus Tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat

insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun

atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh

sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non

insulin dependent diabetes mellitus.[7]


International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa

prevalensi Diabetes Melitus di dunia adalah 1,9% dan telah menjadikan

Diabetes Melitus sebagai penyebab kematian urutan ke tujuh di dunia

sedangkan tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus didunia adalah


2

sebanyak 371 juta jiwa dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2

adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes mellitus. Hasil

Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukan prevalensi Diabetes

melitus di Indonesia membesar sampai 57%.[7]


Penatalaksanaan pasien Diabetes Melitus dilakukan dengan

menormalkan kadar gula darah dan mencegah komplikasi. Lebih khusus

lagi dengan menghilangkan gejala, optimalisasi parameter metabolik, dan

mengontrol berat badan. Bagi pasien DM tipe 1 penggunaan insulin adalah

terapi utama. Indikasi antidiabetik oral terutama ditujukan untuk

penangananpasien DM tipe 2 ringan sampai sedang yang gagal

dikendalikan dengan pengaturan asupan energi dan karbohidrat serta

olahraga. Pemilihan obat antidiabetik oral yang tepat sangat menentukan

keberhasilan terapi diabetes. Pemilihan terapi menggunakan antidiabetik

oral dapat dilakukan dengan satu jenis obat atau kombinasi.[7]


Salah satu obat antidiabetik oral adalah glibenklamid.

Glibenklamid merupakan obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea

yang hanya digunakan untuk mengobati individu dengan diabetes melitus

tipe II. Obat golongan ini menstimulasi sel beta pankreas untuk

melepaskan insulin yang tersimpan. Mekanisme kerja obat golongan

sulfonilurea dengan cara menstimulasi penglepasan insulin yang

tersimpan (stored insulin) dan meningkatkan sekresi insulin akibat

rangsangan glukosa. Efek samping obat hipoglikemik oral golongan

sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya rendah, antara lain

gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat. [14]


3

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui tentang

keefektifan penggunaan glibenklamid pada pasien diabetes mellitus tipe II.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana keefektifan penggunaan glibenklamid pada pasien

diabetes mellitus tipe II ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui keefektifan penggunaan glibenklamid pada

pasien diabetes mellitus tipe II.


2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tentang obat glibenklamid.
b. Mengidentifikasi penyelidikan yang telah dilakukan terhadap

keefektifan penggunaan glibenklamid pada pasien diabetes mellitus

tipe II.
c. Menganalisis keefektifan penggunaan glibenklamid pada pasien

diabetes mellitus tipe II.

BAB II

ISI

A. Farmasi-Farmakologi
1. Sifat Fisiko-Kimia dan Rumus Kimia Glibenklamid
Glibenklamid adalah serbuk hablur putih atau hampir putih, tidak

berbau atau tidak hampir berbau. Nama ilmiah glibenklamid adalah N-

p-[2- (5-Kloro-2-metoksibenzamide) etil] benzenasulfonil-N-

sikloheksillurea. Mempunyai berat molekul sebesar 494,00. Titik


4

lelehnya 169,50C.[16] Glibenklamid tidak larut dalam air, agak sukar

larut dalam metal klorida, sukar larut dalam etanol dan methanol. [3]

Glibenklamid memiliki kelarutan dalam air sebesar 0,00206 mg/ml. [8]

Glibenklamid memiliki nilai pKa sebesar 5,3. Glibenklamid bersifat

basa karena pengujian disolusi dalam buffer Ph 8,5.[16]

Gambar 2.1 Struktur Kimia Glibenklamid

2. Farmasi Umum
a. Dosis
Obat Glibenklamid adalah obat antidiabetes oral dengan

dosis awal 2,5mg/hari dan dosis selanjutnya 5mg/x satu kali

sehari.[9]
b. Preparat-preparat Glibenklamid
Obat glibenklamid tersedia dalam bentuk tablet dengan

dosis 2,5 mg dan 5 mg. Nama dagang obat glibenklamid yaitu :

daonil, renabetic dan condiabet.[12]


c. Cara penggunaan Glibenklamid
Obat glibenklamid diberikan secara oral kepada penderita

dengan aturan pemberian 15-30 menit sebelum makan yang

bertujuan agar obat dapat merangsang keluarnya insulin sehingga

dapat mengatasi peningkatan gula darah setelah makan, sedangkan

pemberian sesudah makan untuk mencegah terjadinya resiko

hipoglikemia terutama pada pasien lansia.[2]


5

3. Farmakologi Umum
a. Kegunaan Terapi atau Indikasi Glibenklamid
Glibenklamid merupakan senyawa obat golongan

sulfonilurea yang digunakan sebagai antidiabetik oral dan

merupakan pilihan pengobatan awal untuk diabetes melitus tipe 2

pada pasien dengan hiperglikemia.[13]


b. Kontra Indikasi Glibenklamid
Penggunaan obat glibenklamid harus hati-hati pada pasien

usia lanjut, wanita hamil, pasien gangguan fungsi liver dan

gangguan fungsi ginjal, karena penggunaan obat ini dapat

menyebabkan hipoglikemi.[17]

B. Farmakodinamik
1. Mekanisme Kerja Glibenklamid
Glibenclamide (gol.sulfonilurea generasi ke II) kerjanya

merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel beta pulau langerhans

pancreas. Rangsangannya melalui interaksi dengan ATP-sensitive K-

channel pada membrane sel-sel beta , merangsang granula yang berisi

insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang ekuivalen

dengan peptida-C. Pada penggunaan jangka panjang atau dosis yang

besar dapat menyebabkan hipoglikemia.[20]

C. Farmakokinetik
1. Pola ADME
a. Absorpsi
Absorpsi glibenklamid melalui saluran percernaan cukup

efektif. Namun, makanan dan keadaan hiperglikemia dapat

mengurangi absorpsi. Untuk mencapai kadar optimal di plasma,

glibenklamid diabsorpsi dengan baik setelah administrasi oral dan

kadar gula dalam darah tertinggi tercapai dalam kurang lebih 2-4
6

jam. Glibenklamid dengan masa paruh pendek akan lebih efektif

bila diminum 30 menit sebelum makan.[20]


b. Distribusi
Glibenklamid telah dilaporkan bahwa jumlah glibenklamid

dalam plasma sekitar 90-99% terikat protein plasma terutama

albumin.[20]
c. Metabolisme
Metabolisme glibenklamid terjadi di hepar, pada pemberian

dosis tunggal hanya 25% metabolismenya dieksresi melalui urin,

sisanya melalui empedu dan ke tinja.[20]


d. Eleminasi
Glibenklamid sebagian besar ekskresikan melalui urin dan

hepar. Merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas, oleh sebab

itu hanya efektif apabila sel-sel beta Langerhans pancreas masih

dapat berproduksi. maka sebaiknya sediaan ini tidak boleh

diberikan pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal yang

berat.[20]
2. Waktu Paruh
Waktu paruh dari glibenklamid sekitar 4 jam. Meskipun waktu

paruhnya cukup pendek namun efek hipoglikemiknya berlangsung

selama 12-24 jam sehingga cukup diberikan satu kali sehari.[20]


D. Toksisitas
Glibenklamid memiliki efek samping berupa ganggguan saluran

cerna dan sakit kepala. Gejala hematologik termasuk trombositopenia,

agranulositosis, dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali.

Glibenklamid dapat meningkatkan sekresi ADH (Anti Diuretik Hormone),

menyebabkan hiponatremia dan fotosensitivitas yang jarang terjadi.

Hipoglikemia dapat terjadi bila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat,
7

juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal, atau pada pasien usia lanjut

dengan fungsi ginjal dan hati yang tidak lagi sempurna.[21]


Pemakaian glibenklamid jangka panjang pada pasien DM tipe 2

dapat menurunkan kadar serum glukagon yang dapat meningkatkan risiko

terjadinya hipoglikemia. Mekanisme inhibisi glukagon ini terjadi karena

stimulasi pelepasan insulin dan somatostatin menghambat sekresi sel alfa

pankreas.[21]
Manajemen penatalaksanaan hipoglikemia bergantung pada derajat

hipoglikemia pasien.
1. Hipoglikemia ringan
a) Setelah diagnosis hipoglikemia ditegakkan dengan

pemeriksaanglukosa darah kapiler, maka pasien segera diberikan

glukosa oral.
b) Glukosa oral sebanyak 10-20 g, idealnya dalam bentuk

tablet, jelly atau 150-200 ml minuman yang mengandung glukosa

(seperti teh atau jus buah segar). Pemberian makanan tinggi lemak

seperti coklat sebaiknya tidak diberikan karena dapatmenghambat

absorpsi glukosa.
c) Bila gejala tidak berkurang dalam 15 menit, ulangi pemberian.

2. Hipoglikemia berat

a) Terapi berdasarkan derajat kesadaran pasien.

b) Jika pasien tidak sadar, maka pastikan airway, breathing,

circulation pasien aman dan stabil.

c) Berikan glukosa intravena sebagai tindakan darurat,

sebelumdipastikan penyebab penurunan kesadaran. Berikut terapi

untukhipoglikemia berat berdasarkan kadar glukosa.


8

Tabel 2.1 Pedoman Terapi Glukosa Pada Hipoglikemia


Kadar Glukosa Terapi Hipoglikemia
(mg/dl)

< 30 Injeksi IV Dex 40 % (25cc) bolus 3 flacon

30-60 Injeksi IV Dex 40 % (25cc) bolus 2 flacon

60-100 Injeksi IV Dex 40 % (25cc) bolus 1 flacon

d) Setelah pemberian terapi di atas dilakukan follow up berikut:[19]


1) Periksa kadar glukosa darah lagi, 30 menit sesudah pemberian
terapi.
2) 30 menit sesudah pemberian terapi di atas, ulangi pemberian
glukosa 1 flaccon lagi sebanyak 2-3 kali untuk mencapai kadar
glukosa darah 120 mg/dl.
3) Jika GDS > 100 mg/dl selama 3 kali berturut-turut maka GDS
dipantau setiap 2 jam, dan bila GDS >200 maka diganti dengan
Infus dex 5% atau NaCl 0,9%
e) Hentikan pemakaian obat untuk sementara
f) Jika Hipoglikemi tidak teratasi maka berikan antagonsi insulin,
seperti adrenalin, kortison dosis tinggi atau glukagon 1 gr secara
IM.

E. Diabetes Melitus

1. Diabetes Mellitus Secara Umum

Diabetese mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit

metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.[1]

2. Klasifikasi Diabetes mellitus (PERKENI,2011) :

a. Diabetes Mellitus Type 1


Disebabkan oleh adanya proses autoimun sehingga memicu

terjadinya destruksi sel beta pancreas. Umumnya pada diabetes


9

mellitus type 1 ini terjadi penurunan insulin absolut sehingga

mutlak membutuhkan terapi insulin.


b. Diabetes Mellitus Type 2
Disebabkan oleh adanya resistensi insulin disertai defisiensi

insulin relatif.
c. Diabetes Mellitus Gestational
d. Diabetes Mellitus Type lain
3. Etiologi Diabetes Mellitus Type 2
a. Hereditas
b. Lingkungan (infeksi,makanan,toksin,stress)
c. Perubahan gaya hidup
d. Kehamilan
4. Patofisiologi Diabetes Mellitus Type 2
Diabetes mellitus type 2 (DMT2) ini merupakan kondisi

multifactorial . Bisa karena kerusakan sekresi insulin, produksi glukosa

yang tidak tepat di dalam hati, atau penurunan sensitivitas insulin

perifer. Sebagian besar pasien DMT2 adalah orang obesitas atau

dengan komponen minyak visceral yang menonjol.


Secara fisiologis, tubuh dapat mengatasi resistensi insulin yang

terjadi dengan meningkatkan jumlah sekresi insulin sehingga

hiperglikemia tidak terjadi. Namun, pada suatu saat bisa terjadi

gabungan defek sekresi insulin dan resistensi insulin yang

menyebabkan terjadinya hiperglikemia.


5. Tanda dan Gejala
a. Poliuria dan polydipsia yang disebabkan oleh osmolaritas serum

yang tinggi.
b. Anoreksia atau polifagia.
c. Penurunan berat badan (10-30%).
d. Sakit kepala, rasa cepat lelah, mengantuk, tenaga yang berkurang,

karena kadar glukosa intrasel yang rendah.


e. Kram otot, iritabilitas, dan emosi yang labil akibat

ketidakseimbangan elektrolit.
f. Gangguan penglihatan.
10

g. Patirasa (baal) atau kesemutan.


h. Mual, diare, konstipasi akibat dehidrasi dan ketidakseimbangan

elektrolit ataupun neuropati otonom.


i. Rasa gatal pada kulit.
j. Infeksi atau luka pada kulit yang lambat sembuhnya.
k. Infeksi candida yang rekuren pada vagina atau anus.
6. Komplikasi
a. Penyakit mikrovaskular, retinopati, nefropati, neuropati.
b. Dislipidemia.
c. Penyakit makrovaskuler, termasuk penyakit arteri coroner, arteri

perifer dan arteri cerebri.


d. Ketoasidosis diabetic.
e. Syndrome hiperosmoler hiperglikemik nonketorik.
f. Kenaikan berat badan yang berlebihan.
g. Ulserasi kulit.
h. Gagal ginjal kronis.
7. Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus
a. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL

(gula plasma sewaktu adalah hasil pemeriksaan sesaat pada satu

waktu tanpa memperhatikan waktu makan terakhir).


b. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa > 126 mg/dL

(puasa berarti tidak ada asupan kalori setidaknya 8 jam).


c. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO . 200 mg/dL (TTGO

dilakukan sesuai standar WHO ,dg 75 gram glukosa anhidrat yang

dilarutkan dalam air).


d. HbA1c > 6.5%.
8. Penatalaksanaan
a. Minum obat antidiabetik oral untuk menstimulasi produksi insulin

endogen, meningkatkan sensitivitas terhadap insulin pada tingkat

seluler, menekan gluconeogenesis hepar, dan memperlambat

absorpsi karbohidrat dalam GIT.


b. Pemantauan kadar gula darah secara berkala dan cermat.
c. Perencanaan makan yang dirancang secara perorangan untuk

memenuhi kebutuhan gizi, mengendalikan kadar glukosa serta lipid


11

darah, dan mencapai berat badan yang tepat serta

mempertahankannya (rencana makan harus diikuti secara konsisten

dan hidangan harus di konsumsi secara teratur).


d. Penurunan berat badan pada pasien obesitas.

BAB III

PENYELIDIKAN YANG TELAH DILAKUKAN

A. Clinical Trial

Penelitian tentang Perbandingan Monoterapi dan Kombinasi

Terapi Sulfonilurea-Metformin terhadap Pasien Diabetes Melitus Tipe 2

yang dilakukan oleh Rasmi Zakiah Oktarlina dan M. Panji Bintang

Gumantara mengatakan bahwa penangan diabetes melitus, khususnya DM

Tipe 2, kini tersedia di masyarakat seperti penggunaan obat hipoglikemia

oral. Sulfonilurea dalam hal ini glibenklamid beraksi pada reseptor

sulfonilurea, berupa ATP-dependent potassium channel yang menstimulasi

depolarisasi dari sel B pankreas dan merangsang sekresi insulin via

exositosis. Glibenklamid juga mengaktivasi glikogen fosoforilase alfa dan


12

meningkatkan fruktosa selular 2,6-bifosfat liver, yang menghasilkan

penurunan glukoneogenesis dan meningkatkan glikolisis hati. Hal inilah

yang mengakibatkan efek hipoglikemia setelah mengonsumsi

glibenklamid. Metformin adalah antihiperglikemia oral golongan biguanid.

Mekanisme kerjanya adalah menurunkan kadar glukosa guna

menimbulkan penurunan glukoneogenesesis hati. Efek samping tersering

dalam penggunaan metformin adalah gangguan saluran cerna. Pada studi

ini ditemukan bahwa, 1 tablet metformin-gliburid/glibenklamid kombinasi

lebih efektif dalam mengontrol hiperglikemia dibandingkan dengan

monoterapi pada pasien dengan glukosa darah tidak terkontrol. Terapi

kombinasi dengan dosis 2.5 mg/500 mg menghasilkan penurunan lebih

besar HbA1c dibandingkan monoterapi (-1.77%, p<0.001 dan -1.30%, p=

0.005) dan terapi kombinasi dengan dosisi 5 mg/500 mg menghasilkan

penurunan HbA1C secara signifikan (-1.73%, p<0.001 dan -1.30%, p=

0.005). Terapi kombinasi metformin-sulfonilurea memang memiliki efikasi

baik dalam pengontrolan kadar glukosa darah puasa, namun dalam

pemberian obat jangka panjang tanpa memerhatikan asupan makanan

pasien, pemberian terapi kombinasi ini pun dapat menyebabkan keadaan

hipoglikemia dan keluhan terkait saluran pencernaan. Pemberian

sulfonilurea saja dapat menyebabkan keadaan hipoglikemia pada pasien,

hal ini disebabkan mekanisme kerja obat yang meningkatkan sekresi

insulin itu sendiri sehingga pasien dapat jatuh dalam keadaan

hipoglikemia. Sedangkan pemberian metformin dalam dosis besar dapat


13

menimbulkan efek samping berupa gangguan gastrointestinal, namun tidak

ada laporan kematian pasien akibat kombinasi terapi metformin-

sulfonilurea ini. Disimpulkan bahwa kombinasi terapi pada pasien DM

tipe 2 lebih bermanfaat dalam mengontrol gula darah pasien daripada

monoterapi. Efek Penurunan kadar gula darah dicapai lebih maksimal

dengan kombinasi terapi sulfonylurea-metformin, yang mana keduanya

menurunkan kadar gula darah dan HbA1c pasien. Efek samping obat yang

ditimbulkan pada monoterapi lebih nyata dan lebih berdampak pada pasien

sehingga meningkatkan morbiditas pasien daripada terapi kombinasi,

walaupun pada penelitian dilaporkan tetap terjadi efek samping dalam

penggunaan terapi kombinasi dan tidak ada data yang menyatakan

kematian pasien akibat terapi kombinasi dari metformin-sulfonilurea.

B. Case History
Penelitian Faturahman pada tahun 2015 mengenai mekanisme

kerja kombinasi obat glibenklamid dan metformin yaitu kedua obat ini

memiliki efek yang sinergis karena kedua golongan obat ini memiliki efek

sinergis terhadap sensitivitas reseptor insulin. Solfonilurea (glibenklamid)

akan mengawali dengan merangsang sekresi pangkreas yang memberi

kesempatan senyawa biguanida (metformin) untuk bekerja efektif.

Sehingga kedua obat ini akan bekerja dengan baik, agar insulin yang

dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan. Kombinasi glibenklamid dan

metformin lebih disukai karena dapat memperkecil efek samping dari

masing-masing obat sehingga meminimalisir efek samping obat bila dibuat

obat dengan bahan aktif yang tunggal.


14

C. Eksperimen Lain
Penelitian yang dilakukan oleh Dody, Hidayat dan Setyawati (2012).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Dody dkk, dengan judul

Comparasion Of Antidiabetic Effects Of Honey, Glibenclmide,

Metformin And Their Combination In The Streptozotocin Induced

Diabetic Rat didapatkan kesimpulan bahwa perlakuan tunggal dengan

madu, glibenklamid atau metformin tidak memiliki pengaruh yang

signifikan dalam menurunkan kadar glukosa darah puasa, ekspresi insulin

maupun ekspresi Glut-4. Perbaikan kadar glukosa darah, ekspresi insulin

dan ekspresi Glut-4 tampak pada kelompok yang diberikan kombinasi

madu dengan glibenklamid, madu dengan metformin atau glibenklamid

dan metformin. Apabila dikombinasikan dengan madu dapat

meningkatkan aktivitas katalase (CAT) dan menurunkan aktivitas

glutathione peroxidase (GPx). Pada penelitian ini membuktikan efektifitas

madu sebagai antioksidan yang dikombinasikan dengan obat hipoglikemik

oral. Madu telah dikenal mengandung antioksidan yang signifikan seperti

katalase, asam askorbat, flavonoid, asam fenolat, derivat karotenoid, asam

organik, produk reaksi Maillard, asam amino dan protein. Potensi madu

bersama metformin dan glibenklamid dalam meningkatkan aktivitas

katalase. Penelitian ini membuktikan pengaruh madu dalam meningkatkan

potensi glibenklamid dan metformin yang diduga melalui penghambatan

progesivitas stres oksidatif akibat induksi STZ.


Pada penelitian ini juga didapatkan output yang baik pada

kombinasi metformin dan glibenklamid, hal ini sejalan dengan algoritma


15

penanganan diabetes tipe 2 sesuai konsensus American Diabetes

Association (ADA) and the European Association for the Study of

Diabetes (EASD). Penanganan diabetes tipe 2 dilakukan secara bertahap

dimulai dengan intervensi pola hidup dan monoterapi metformin, bila

dalam waktu 2-3 bulan gagal mencapai target glikemik maka masuk

langkah kedua yaitu penambahan obat kedua berupa insulin atau

sulfonylurea. Bila langkah kedua gagal maka dilanjutkan langkah ketiga

yaitu mengintensifkan terapi insulin berupa suntikan short acting atau

rapid acting yang diberikan sebelum makan.


16

BAB IV

DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Penggunaan perlakuan monoterapi dengan madu, glibenklamid

atau metformin tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam

menurunkan kadar glukosa darah puasa. Sedangkan jika diberi terapi

kombinasi antara madu dengan glibenklamid atau glibenklamid dengan

methformin memiliki keefektifan yang lebih tinggi. Kombinasi

glibenklamid dengan madu dapat meningkatkan potensi kerja dari

glibenklamid.
Kombinasi glibenclamide dengan methformin dapat membuat kerja

kedua obat ini menjadi lebih efektif dan sinergis hal ini disebabkan karena

glibenclamide dapat merangsang sekresi insulin di pancreas dan

metformin mampu meningkatkan sensitivas insulin. Sehingga kombinasi

kedua obat ini dikatakan mampu mengatasi hyperglikemia pada penderita

diabetes mellitus type 2.


Penggunaan kombinasi glibenclamide dengan methformin dalam

jangka panjang dapat menimbulkan efek samping, jika penderita tidak

memperhatikan asupan gizinya. Glibenclamide dapat membuat pasien


17

menjadi hypoglikemia sehingga pasien bisa saja lemas sampai pingsan

maka dari itu sebaiknya glibenclamide digunakan setelah makan.

Sedangkan methformin jika di berikan dalam dosis yang besar memiliki

efek samping terhadap saluran pencernaan. Namun kombinasi antara

glibenclamide dengan methformin masih relative aman dibandingan

dengan monotherapi dari masing-masing obat, karena tidak ada data

morbiditas yang dilaporkan akibat penggunaan kombinasi antara

glibenclamide dengan methformin.


18

BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Glibenklamid efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah

sehingga glibenklamid dapat digunakan dalam pengobatan diabetes

mellitus tipe 2 untuk menurunkan kadar glukosa darah penderita. Hal ini

dibuktikan dalam beberapa penelitian dari jurnal diatas yang menyebutkan

bahwa glibenklamid mampu merangsang sekresi hormon insulin dari

granul sel-sel Langerhans pancreas sehingga menyebabkan kadar

glukosa turun. Mekanisme kerja dari glibenklamid adalah dengan cara

menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan (stored insulin) dan

meningkatkan sekresi insulin akibat rangsangan glukosa. Pada penggunaan

glibenklamid dalam jangka panjang atau dosis yang besar dapat

menyebabkan hipoglikemia.

B. Conclusion
Glibenklamid effective in lowering glucose blood levels, so

glibenklamid can be used in the treatment of diabetes mellitus type 2 to

lower patients blood glucose levels. This is proven in some research from
19

the journal above which states that glibenklamid able to attract insulin

hormone secretion from granule cells of langerhans pancreas so as to cause

glucose levels down. Mechanism action of glibenklamid is stimulate

stored insulin release and increase the secretion of insulin due to glucose

stimuli. In theuse of glibenklamid in the long use or more dose can cause

hypoglycemia.
20

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association, 2010.Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus. Diabetes Care Vol.33: 562-569.

Athiyah, Navrial., Sulistyo, Hidayat,. Setiawati. 2014. Comparison Of


Antidiabetic Effect Of Honey, Glibenclamide, Metformin And Their
Combination In The Streptozotocin Induced Diabetic Rat. Jurnal
Kesehatan. Laboraturium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Jendral Soedirman Purwokerto.

Butar, Yudi., Djurnako, Hasan., Hilda, Aprilia,. 2012. Analisis Kualitatif Bahan
Kimia Obat (BKO) Glibenklamid Dalam Sediaan Jamu Diabetes Yang
Beredar Dipasaran. Jurnal Penelitian. Fakultas Farmasi. Universitas Islam
Bandung.

Chris tanto, et al., (2014), Kapita Selekta Kedokteran.Edisi IV jilid II.Jakarta :


Media Aeskulapius.

Departemen Kesehatan. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes


Melitus.

Dody,dkk.2012.Comparasion Of Antidiabetic Effects Of Honey, Glibenclmide,


Metformin And Their Combination In The Streptozotocin Induced Diabetic
Rat.

Fatimah, Restyana. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2 : J Majority. Vol. 4 No. 5.

Hasanah, Wijaya., Yudha, Martha., Aryanti Wido Agustina., 2016. Profil


Penggunaan Obat Pada Pasien Diabetes Mellitus Di Puskesmas Wilayah
Surabaya Timur. Jurnal Kesehatan. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
Surabaya.

Kartijo, Nugroho., Nurahman, Dwi., Wisudyaningsih., 2014. Optimasi Kombinasi


Polietilen Glikol Dan Polivinilpirolidon Sebagai Bahan Pembawa Pada
Dispersi Padar Glibenklamid Dengan Desain Faktorial. Jurnal Kesehatan.
Fakultas Farmasi Universitas Jember.

Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. 2011. Buku Ajar Patofisiologi.Alihbahasa oleh


Andry Hartono. Jakarta: EGC.

M. Panji Bintang Gumantaradan Rasmi Zakiah Oktarlina. 2017. Perbandingan


Monoterapi dan Kombinasi Terapi SulfonilureaMetformin terhadap Pasien
Diabetes Mellitus Tipe 2. Bagian Farmakologi dan Farmasi. Majority
21

Jurnal, Volume 6. Nomor 1 Februari 2017. Fakultas Kedokteran,


Universitas Lampung.

Nasif, Santika., Septhi, Nugrahani,. 2012. Analisi Perbandingan Efektifitas


Ekstrak Akar, Batang, Dan Daun Herbal Meniran Dalam Menurunkan
Kadar Glukosa Darah Mencit. Jurnal Kesehatan. Fakultas Farmasi
Universitas Islam Indonesia.

Nisa, Michrun., Umar, Halim., Fatmawati, Aisyah,. 2016. Formulasi


Glibenklamid Dengan Metode Self Emulsifying Drug Delivery System
(SEDDS) Dan Uji Invitro Disolusi. Jurnal Penelitian. Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin Makassar.

Norvial, Dody, Hidayat Sulistyo, Setiawati. 2012. Perbandingan Efek


Antidiabetik Madu, Glibenklamid, Metformin, dan Kombinasinya Pada
Tikus Yang Diinduksi Streptozotocin. FKIK UNSOED. Purwokerto.

PERKENI. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di


Indonesia 2011. Jakarta: PB Perkeni;2011.

Prabowo, Nugroho. 2016. Formulasi Sediaan Tablet Liquisolid Glibenklamid


Dengan Pelarut PEG400 Dan Laktosa Sebagai Carrier Material. Jurnal
Kesehatan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Rina, Srikayati., Suarsana, Nyoman,. 2016. The Water Extract Of Tapak Dara
Decreases Blood Glucose Concentration And Increases Insulin Production
By Pancreatic Beta-Cells On Hyperglycemic Rabbit. Jurnal Penelitian.
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Bali.

Rubenstein David, dkk. 2007. Kedokteran Klinis Edisi Keenam. Erlangga


Medical Series.

Soegondo S. 2004. Prinsip Pengobatan Diabetes, Insulin dan Obat Hipoglikemik


Oral. Dalam: Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Suherman, suharti K.2007.Insulin dan Antidiabetik Oral : Farmakologi dan


Terapi Edisi 5 ; hal.490.Departeman Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Sukandar, Elin Yulinah, Andrajati, Retnosari, Sigit, Joseph I., Adnyana, I Ketut,
Setiadi, A. Adji Prayitno, & Kusnandar. (2008). ISO Farmakoterapi (hal.
26- 28). Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.
22

Wicaksono, Radio. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan


KejadianDiabetes Melitus Tipe 2 (Studi Kasus di Poliklinik Penyakit
Dalam Rumah Sakit Dr. Kariadi). Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.

You might also like