Professional Documents
Culture Documents
Skenario C Blok 25
Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya
I. SKENARIO
Tn. Apriyanto, umur 59 tahun dibawa ke poliklinik rumah sakit Moh. Hoesin dengan
keluhan gangguan keseimbangan saat berjalan yang dialami secara perlahan-lahan
selama 1 tahun terakhir. Awalnya penderita mengalami kesulitan berbalik arah saat
berjalan dan kesulitan saat menaiki anak tangga tapi perlahan-lahan penderita mulai
sulit bangkit dari tempat duduk dan memerlukan alat bantu jalan berupa tongkat, tapi
kekuatan masih baik. Penderita sempat didiagnosa penyakit Parkinson namun obat-
obatan Parkinson tidak banyak membantu. Setelah itu, penderita mulai mengalami
gangguan memori yang ringan berupa kesulitan mengingat nama orang-orang yang
dikenal. Beberapa hari terakhir penderita mulai merasakan keinginan berkemih yang
berlebih dan tidak mampu mengendalikan keluarnya urin (ngompol). Penderita pernah
mengalami Stroke Iskemik sekitar 5 tahun yang lalu.
Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum: GCS 15
Tanda vital: TD 130/80 mmHg, nadi 82x/menit, RR 20x/menit, Temp 37,2 C
Kepala: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher: tidak ada pembesaran KGB
Thoraks: simetris, retraksi tidak ada
- Jantung: batas jantung normal, iktus kordis tidak tampak, bunyi jantung normal,
bising jantung tidak ada
- Paru: Stem fremitus normal, suara nafas vesikuler normal
Abdomen: datar, lemas, nyeri tekan (-) dan defans muskuler (-), bising usus normal
Ekstremitas: Edema -/-
Pemeriksaan Neurologis:
Pada pemeriksaan nervi kraniales:
- Nervus kraniales tidak ada kelainan
Pada pemeriksaan fungsi motorik:
- Kekuatan otot ekstremitas atas 5/5, ekstremitas bawah 5/5
- Refleks fisiologi ekstremitas positif meningkat
- Refleks patologis negatif
2. Awalnya penderita mengalami kesulitan berbalik arah saat berjalan dan kesulitan
saat menaiki anak tangga tapi perlahan-lahan penderita mulai sulit bangkit dari
tempat duduk dan memerlukan alat bantu jalan berupa tongkat, tapi kekuatan
masih baik. Penderita sempat didiagnosa penyakit Parkinson namun obat-obatan
Parkinson tidak banyak membantu.
a. Bagaimana progresivitas penurunan fungsi motorik pada kasus?
b. Apa makna klinis dari obat-obatan Parkinson tidak banyak membantu pada
kasus ini?
Hal ini dikarenakan Tn. Apriyanto tidak mengalami penyakit Parkinson. Pada kasus,
Tn. Apriyanto mengalami gangguan gaya berjalan yang disebabkan oleh Normal
Pressure Hydrocephalus. Gejala ini sama dengan gangguan neurologis seperti
Alzheimer's disease, Parkinson's disease, and Creutzfeldt-Jakob disease yang sering
menimbulkan terjadinya salah diagnosis seperti yang dialami oleh Tn. Apriyanto.
1. Didah
ului dari gangguan gait
5. Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum: GCS 15
Tanda vital: TD 130/80 mmHg, nadi 82x/menit, RR 20x/menit, Temp 37,2 C
Kepala: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher: tidak ada pembesaran KGB
Thoraks: simetris, retraksi tidak ada
- Jantung: batas jantung normal, iktus kordis tidak tampak, bunyi jantung
normal, bising jantung tidak ada
- Paru: Stem fremitus normal, suara nafas vesikuler normal
Abdomen: datar, lemas, nyeri tekan (-) dan defans muskuler (-), bising usus normal
Ekstremitas: Edema -/-
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan fisik?
Pemeriksaan Pada Kasus Normal Intepretasi
Keadaan umum 15 15 Normal
GCS
Tekanan Darah 130/80 (120/80) 10 Normal
Nadi 60-100 88 Normal
RR 20 16-20 Normal
Temprature 37,2 36,5 - 37,5 Normal
Konjungtiva Tidak anemis Tidak anemis Normal
Sklera Tidak ikterik Tidak ikterik Normal
Leher Tidak ada Tidak ada pembesaran Normal
pembesaran KGB KGB
Thoraks Simetris, retraksi Simetris, retraksi tidak ada Normal
tidak ada
Jantung Batas jantung normal, Batas jantung normal, Normal
iktus kordis tak iktus kordis tak tampak,
tampak, bunyi bunyi jantung normal,
jantung normal, bising jantung tidak ada
bising jantung tidak
ada
Paru Stem fremitus Stem fremitus normal, Normal
normal, suara suara vesikuler normal
vesikuler normal
Abdomen Datar, lemas, nyeri Datar, lemas, nyeri tekan Normal
tekan (-), dan defans (-), dan defans muskuler (-
muskuler (-) Bising ) Bising usus normal
usus normal
Ekstremitas Edema -/- Edema -/- Normal
c. Komplikasi
Tergantung pada progresifitas hidrosefalus
Gangguan visual
Gangguan kognitif
Inkontinensia
Perubahan gaya berjalan
Terkait dengan pengobatan medis
Ketidakseimbangan elektrolit
Asidosis metabolik
Terkait dengan pembedahan
Death
Infection
Seizures
Shunt malfunction
Intracranial or cerebral hemorrhage
IV. HIPOTESIS
Tn. Apriyanto, usia 59 tahun dengan keluhan gangguan motorik, gangguan miksi dan
memori mengalami NPH.
V. LEARNING ISSUE
1. Anatomi dan Fisiologi dari LCS
Cairan Serebro Spinal (CSS) ditemukan di ventrikel otak dan sisterna dan ruang subarachnoid yang
mengelilingi otak dan medula spinalis. Seluruh ruangan berhubungan satu sama lain, dan tekanan
cairan diatur pada suatu tingkat yang konstan.
Sebagian besar CSS (dua pertiga atau lebih) diproduksi di pleksus choroideus ventrikel
serebri (utamanya ventrikel lateralis). Sejumlah kecil dibentuk oleh sel ependim yang membatasi
ventrikel dan membran arakhnoid dan sejumlah kecil terbentuk dari cairan yang bocor ke ruangan
perivaskuler disekitar pembuluh darah otak (kebocoran sawar darah otak).
Pada orang dewasa, produksi total CSS yang normal adalah sekitar 21 mL/jam (500 mL/
hari), volume CSS total hanya sekitar 150 mL. CSS mengalir dari ventrikel lateralis melalui foramen
intraventrikular (foramen Monroe) ke venrikel ketiga, lalu melewati cerebral aquaductus
(aquaductus sylvii) ke venrikel keempat, dan melalui apertura medialis (foramen Magendi) dan
apertura lateral (foramen Luschka) menuju ke sisterna cerebelomedular (sisterna magna). Dari
sisterna cerebelomedular, CSS memasuki ruang subarakhnoid, bersirkulasi disekitar otak dan
medula spinalis sebelum diabsorpsi pada granulasi arachnoid yang terdapat pada hemisfer
serebral.
Pleksus koroideus adalah pertumbuhan pembuluh darah seperti kembang kol yang dilapisi
oleh selapis tipis sel. Pleksus ini menjorok ke dalam kornu temporal dari setiap ventrikel lateral,
bagian posteror ventrikel ketiga dan atap ventrikel keempat.
Sekresi cairan oleh pleksus koroideus terutama bergantung pada transpor aktif dari ion
natrium melewati sel epitel yang membatasi bagian luar pleksus. Ion- ion natrium pada waktu
kembali akan menarik sejumlah besar ion-ion klorida, karena ion natrium yang bermuatan positif
akan menarik ion klorida yang bermuatan negatif. Keduanya bersama sama meningkatkan
kuantitas osmotis substansi aktif dalam cairan serebrospinal, yang kemudian segera menyebabkan
osmosis air melalui membran, jadi menyertai sekresi cairan tersebut. Transpor yang kurang begitu
penting memindahkan sejumlah kecil glukosa ke dalam cairan serebrospinal dan ion kalium dan
bikarbonat keluar dari cairan serebrospinal ke dalam kapiler. Oleh karena itu, sifat khas dari cairan
serebrospinal adalah sebagai berikut: tekanan osmotik kira-kira sama dengan plasma; konsentrasi
ion natrium kira-kira sama dengan plasma; klorida kurang lebih 15% lebih besar dari plasma;
kalium kira-kira 40% lebih kecil; dan glukosa kira-kira 30% lebih sedikit. Inhibitor carbonic
anhidrase (acetazolamide), kortikosteroid, spironolactone, furosemide, isoflurane dan agen
vasokonstriksi untuk mengurangi produksi CSS.
Absorpsi Cairan Serebrospinal Melalui Vili Arakhnoidalis
Absorpsi CSS melibatkan translokasi cairan dari granulasi arachnoid ke dalam sinus venosus
otak. Vili arakhnoidalis, secara mikroskopis adalah penonjolan seperti jari dari membran arakhnoid
ke dalam dinding sinus venosus. Kumpulan besar vili-vili ini biasanya ditemukan bersama-sama,
dan membentuk suatu struktur makroskopis yang disebut granulasi arakhnoid yang terlihat
menonjol ke dalam sinus. Dengan menggunakan mikroskop elektron, terlihat bahwa vili ditutupi
oleh sel endotel yang memiliki lubang-lubang vesikular besar yang langsung menembus badan sel.
Telah dikemukakan bahwa lubang ini cukup besar untuk menyebabkan aliran yang relatif bebas
dari cairan serebrospinal, molekul protein, dan bahkan partikelpartikel sebesar eritrosit dan
leukosit ke dalam darah vena. Sebagian kecil diabsorpsi di nerve root sleeves dan limfatik
meningen. Walaupun mekanismenya belum jelas diketahui, absorpsi CSS ini tampaknya
berbanding lurus terhadap tekanan intra kranial (TIK) dan berbanding terbalik dengan tekanan
vena serebral (Cerebral Venous Pressure = CVP). Karena otak dan medula spinalis sedikit disuplai
oleh sistem limfatik, absorpsi melalui CSS merupakan mekanisme utama untuk mengembalikan
protein perivaskuler dan interstitiil ke dalam aliran darah.
Sama halnya dengan di tempat lain dalam tubuh, sejumlah kecil protein keluar dari
parenkim kapiler ke dalam ruang interstitiil otak, karena tidak ada pembuluh limfe dalam jaringan
otak, protein ini meninggalkan jaringan terutama dengan mengalir bersama cairan yang melalui
ruang perivaskuler ke dalam ruang subarakhnoid. Untuk mencapai ruang subarakhnoid, protein
akan mengalir bersama cairan serebrospinal untuk diabsorpsi melalui vili arakhnoidalis ke dlam
vena-vena serebral. Ruang perivaskuler, sebenarnya, merupakan sistem limfatik yang khusus
untuk otak.
Selain menyalurkan cairan dan protein, ruang perivaskuler juga menyalurkan partikel asing dari
otak ke dalam ruang subarakhnoid. Misalnya, ketika terjadi infeksi di otak, sel darah putih dan
jaringan mati infeksius lainnya dibawa keluar melalui ruang perivaskuler.
Tekanan Cairan Serebrospinal
Tekanan normal dari sistem cairan serebrospinal ketika seseorang berbaring pada posisi
horizontal, rata-rata 130 mm air (10 mmHg), meskipun dapat juga serendah 65 mm air atau
setinggai 195 mm air pada orang normal.
Normalnya, tekanan cairan serebrospinal hampir seluruhnya diatur oleh absorpsi cairan
melalui vili arakhnoidalis. Alasannya adalah bahwa kecepatan normal pembentukan cairan
serebrospinal bersifat konstan, sehingga dalam pengaturan tekanan jarang terjadi faktor
perubahan dalam pembentukan cairan. Sebaliknya, vili berfungsi seperti katup yang
memungkinkan cairan dan isinya mengalir ke dalam darah dalam sinus venosus dan tidak
memungkinkan aliran sebaliknya. Secara normal, kerja katup vili tersebut memungkinkan cairan
serebrospinal mulai mengalir ke dalam darah ketika tekanan sekitar 1,5 mmHg lebih besar dari
tekanan darah dalam sinus venosus. Kemudian, jika tekanan cairan serebrospinal masih meningkat
terus, katup akan terbuka lebar, sehingga dalam keadaan normal, tekanan tersebut tidak pernah
meningkat lebih dari beberapa mmHg dibanding dengan tekanan dalam sinus.
Sebaliknya, dalam keadaan sakit vili tersebut kadang-kadang menjadi tersumbat oleh
partikel-partikel besar, oleh fibrosis, atau bahkan oleh molekul protein plasma yang berlebihan
yang bocor ke dalam cairan serebrospinal pada penyakit otak. Penghambatan seperti ini dapat
menyebabkan tekanan cairan serebrospinal menjadi sangat tinggi.
Prosedur yang biasa digunakan untuk mengukur tekanan cairan serebrospinal adalah
sebagai berikut : Pertama, orang tersebut berbaring horizontal pada sisi tubuhnya, sehingga
tekanan cairan spinal sama dengan tekanan dalam ruang tengkorak. Sebuah jarum spinal
kemudian dimasukkan ke dalam kanalis spinalis lumbalis di bawah ujung terendah medula
spinalisdan dihubungkan dengan sebiuah pipa kaca. Cairan spinal tersebut dibiarkan naik pada
pipa kaca sampai setinggi-tingginya. Jika nilainya naik sampai setinggi 136 mm di atas tingkat
jarum tersebut, tekanannya dikatakan 136 mm air atau, dibagi dengan 13,6 yang merupakan berat
jenis air raksa, kira-kira 10 mmHg.
Daftar Pustaka
1. Lisenmayer TA, Stone JM, Steins SA. Neurogenic Bladder and Bowel Dysfunction. In: DeLisa
JA, et al (editor). Physical Medicine and Rehabilitation, Principles and Practice. Fourth
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2005. p.1620-1641
2. 10. Purnomo BB. Dasar-dasar Urologi. Edisi kedua. Cetakan kelima. Jakarta: Sagung Seto;
2009.
3. 11. Cabelin MA, Te AE, Kaplan SA. Urogenital Physiology. In: Gonzales EG, Myers SJ,
Edelstein JE, Lieberman JS, Downey JA (editors). Downey and Darlings Physiological Basis
of Rehabilitation Medicine. 3rd edition. Boston: Butterworth-Heinemann; 2001.p.191-200.
4. 14. Wheeler J. Normal and Abnormal Micturition. In: Lin VW, Cardenas DD, Cutter NC,
Frost FS, Hammond MC, Lindblom LB, et al (editors). Spinal Cord Medicine, Principles and
Practice. New York: Demos Medical Publishing, Inc; 2003. p.259-62.
5. 15. Kong KH. Kandung Kemih Neurogenik. Dalam: Chin CM (Yuwana R, penterjemah). Buku
Panduan Klinis Menangani Inkontinensi. Edisi kedua. Singapura: Masyarakat Kontinensi;
2006.p.13-16
7. Morgan, Edward et al, 2006, Clinical Anesthesiology, Edisi 4, McGraw-Hill: New York