You are on page 1of 13

Makalah Skizofrenia dan Skizofrenia Residual

Selengkapnya :
http://warungbidan.blogspot.com/2017/08/makalah-skizofrenia-dan-skizofrenia.html

1. Pengertian Skizofrenia dan Skizofrenia Residual


a. Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya tidak mampu memiliki
realitas (Reality Testing Ability/RTA) dengan baik dan pemahaman diri (Self
Insight) buruk (Hawari, 2007).
Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang
mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret dan kesulitan dalam
memproses informasi, hubungngan interpersonal serta memecahkan masalah
(Stuart & Sundeen, 2007).
Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai
area fungsi individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi, menerima dan
menginterprestasikan realitas, merasakan dan menunjukan emosi dan berprilaku
dengan sikap yang dapat diterima secara sosial (Keliat, 2006).
Dari beberapa pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa skizofrenia
adalah gangguan psikotik yang mempengaruhi fungsi berfikir, berkomunikasi,
menilai realitas dan persepsi seseorang.

b. Skizofrenia Residual
Skizofrenia Residual merupakan keadaan schizofenia yang ciri-ciri utamanya
adalah tidak ada gejala akut saat ini melainkan terjadi dimasa lalu dan dapat
terjadi gejala-gejala negatif seperti isolasi sosial yang nyata, menarik diri dan
gangguan fungsi peran (Nursalam, 2008).
Skizofrenia Residual adalah keadaan Schizophrenia dengan gejala-gejala
gangguan proses pikir, kemauan emosianal tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala
skunder, keadaan ini timbul sesudah beberap kali (Nursalam, 2008).
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa skizofrenia residual adalah
stadium kronik ditandai dengan gejala-gejala negatif seperti isolasi sosial, menarik
diri, dan gangguan fungsi peran. Sikap apatis, respon emosional yang menumpul
atau tidak wajar biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan
sosial.
2. Jenis-Jenis Skizofrenia
a. Skizofrenia Residual
Tipe ini merupakan sisa-sisa (residu) dari gejala skizofrenia yang tidak begitu
menonjol. Misalnya alam perasaan yang tumpul dan mendatar serta tidak serasi
(inappropriate), penarikan diri dari pergaulan sosial, tingkah laku yang eksentrik,
pikiran tidak logis dan tidak rasional atau pelonggaran asosiasi pikiran (Hawari,
2007)

b. Skizofrenia Katatonik
Ciri utamanya ditandai dengan gangguan psikomotor yang melibatkan
imobilisasi atau justru aktivitas yang berlebihan gejala yang timbul diantaranya
adalah stupor katatonik, mematung atau diam membisu, negativisme, perlawanan
tanpa motif terhadap semua perintah, katatonik excitement, melibatkan agitasi
yang ekstrim (Damaiyanti, 2012).
c. Skizofrenia Hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik adalah skizofrenia dengan ciri utamanya adalah
percakapan dan perilaku yang kacau, serta afek yang datar/tidak tepat, gangguan
asosiasi, mempunyai sikap yang aneh, menunjukkan perilaku menarik diri secara
sosial yang ekstrim, mengabaikan higiene dan penampilan diri. Awitan biasanya
terjadi sebelum usia 25 tahun dan dapat bersifat kronis. Perilaku regresif dengan
interaksi sosial dan kontak dengan realitas yang buruk (Damaiyanti, 2012).
d. Skizofrenia Paranoid
Skizofrenia paranoid adalah skizofrenia yang ciri utamanya adalah waham
yang sistematis atau halusinasi pendengaran, Individu dapat penuh curiga,
argumentative, kasar dan negatif, Perilaku kurang agresif, kerusakan sosial lebih
sedikit dan prognosisnya lebih baik dibanding jenis-jenis yang lain (Damaiyanti,
2012)

3. Etiologi Skizofrenia
Penyebab pasti dari skizofrenia masih belum jelas. Konsensus umum saat ini
adalah bahwa gangguan ini disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara
berbagai faktor. Faktor yang telah dipelajari dan diimplementasikan meliputi:
a. Predisposisi genetika
Meskipun genetika merupakan faktor resiko yang signifikan, belum ada
penanda genetika tunggal yang diidentifikasi, kemungkinan melibatkan berbagai
gen penelitian telah berfokus pada kromosom 6, 13, 18 dan 22. resiko terjangkit
skizofrenia bila gangguan ini berada dalam keluarga adalah sebagi berikut :
1) Satu orang tua terkena risiko 12% sampai 15%.
2) Kedua orang tua terkena penyakit ini risiko 35% sampai 39%.
3) Saudara sekandung yang terkena risiko 8% sampai 10%.
4) Kembar dizigotik yang terkena risiko 15%.
5) Kembar monozigotik yang terkena risiko 50%.
b. Abnormalitas perkembangan saraf
Penelitian menunjukan bahwa malformasi janin minor yang terjadi pada awal
gestasi berperan dalam manifestasi akhir dari skizofrenia. Faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi perkembangan saraf dengan diidentifikasi sebagai risiko
yang terus bertambah meliputi:
1) Individu yang ibunya terserang influenza pada trimester kedua.
2) Individu yang mengalami trauma atau cedera pada waktu dilahirkan.
3) Penganiayaan atau trauma dimasa bayi atau masa kanak-kanak awal.
c. Abnormalitas struktur otak
Pada beberapa sub kelompok penderita skizofrenia, teknik pencitraan otak
(CT, MRI dan PET) telah menunjukan adanya abnormalitas pada struktur otak
meliputi:
1) Pembesaran ventrikel.
2) Penurunan aliran darah kortikal, terutama dikorteks prefrontal.
3) Penurunan aktifitas metabolik dibagian-bagian otak tertentu.
4) Atrofi serebri.
d. Ketidakseimbangan neurokimia (neurotransmiter)
Dulu penelitian berfokus pada hipotesis dopamin, yang menyatakan bahwa
aktivitas dopamin yang erlebihan dibagian kortikal otak, berkaitan dengan gejala
positif dari skizofrenia, pentingnya neurotransmiter lain termasuk serotin,
norepinefrin, glutamat. Obat psikotropik dapat mempengaruhi tempat reseptor
neurotransmiter dan juga neurotransmiter itu sendiri.
e. Proses psikososial dan lingkungan
1) Teori perkembangan
Ahli teori seperti Freud, Sullifan dan Erikson mengemukakan bahwa
kurangnya perhatian yang hangat dan penuh kasih sayang di tahun-tahun awal
kehidupan berperan dalam menyebabkan kurangnya identitas diri, salah
interprestasi terhadap realitas dan menarik diri dari hubungan pada penderita
skizofrenia.
2) Teori keluarga
Teori yang berkaitan dengan peran keluarga dalam munculnya skizofrenia di
validasi dengan penelitian. Bagian fungsi keluarga yang telah diimplikasikan
dalam peningkatan angka kekambuhan individu yang skizofrenia adalah sangat
mengekspresikan emosi (high expressed emotion (HEE)). Keluarga dengan ciri
ini dianggap terlalu ikut campur secara emosional, kasar dan krisis.
3) Status sosial ekonomi
Hasil penelitian yang konsisten adalah hubungan yang kuat antara skizofrenia
dan status sosial ekonomi yang rendah.
4) Model kerentanan stres
Model interaksional yang menyatakan bahwa penderita skizofrenia
mempunyai kerentanga genetik dan biologik terhadap skizofrenia. Kerentanan ini,
bila disertai dengan pejanan stresor kehidupan, dapat menimbulkan gejala-gejala
pada individu tersebut.
(Nursalam, 2009).
4. Tanda dan Gejala Skizofrenia
Adapun gejala positif skizofrenia adalah sebagai berikut :
a. Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk
akal) meskipun telah dibuktikan secara obhjektif bahwa keyakinannya itu tidak
rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya.
b. Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus)
mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan di telinga padahal tidak ada sumber
dari bisikan itu.
c. Kekacauan alam fikir yang dapat dilihat dari isi pembicaraan, misalnya bicara
kacau sehingga tidak dapat diikuti alur fikirnya.
d. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar mandir, agresif, bicara dengan
semangat, dan gembira berlebihan.
e. Merasa dirinya orang besar, merasa serba mampu dan serba hebat.
f. Fikiran yang penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap
dirinya.
g. Menyimpan rasa permusuhan.
Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada skizofrenia adalah :
a. Alam perasaan (afek) tumpul dan datar ini dapat terlihat dari wajah yang tidak
menunjukkan ekspresi.
b. Menarik diri atau mengasingkan, tidak mau bergaul atau kontak dengan orang
lain, suka melamun.
c. Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam.
d. Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
e. Sulit dalam berfikit abstrak.
f. Pola fikir stereotif.
g. Tidak ada atau kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif, tidak ada
upaya dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton serta tidak ingin apa-apa, dan
serba malas atau kehilangan nafsu, (Hawari, 2007).
5. Mekanisme Terjadinya Skizofrenia
Untuk mengetahui dan memahami perjalanan penyakit skizofrenia diperlukan
pendekatan yang bersifat holistik, yaitu dari sudut organobiologik, psikodinamik,
psikoreligius dan psikososial.
a. Organobiologik
Pada penderita skizofrenia ditemukan perubahan-perubahan atau gangguan
pada sistem transmisi sinyal penghantar safat (Neurotransmiter) dan reseptor di
sel-sel saraf otak (Neuron) dan interaksi zat neurokimia seperti dopamin dan
serotonin yang ternyata mempengaruhi fungsi kognitif (alam pikir), afektif (alam
perasaan) dan psikomotor (perilaku) yang tampak dalam bentuk gejala-gejala
skizofrenia.
Selain perubahan-perubahan yang sifatnya neurokimiawi, ternyata ditemukan
juga perubahan pada anatomi otak penderita skizofrenia terutama pada penderita
yang kronis. Perubahan-perubahan anatomi otak tersebut antara lain pelebaran
lateral ventrikel, atrofi korteks bagian depan dan atrofi otak kecil (Hawari, 2007).
b. Psikodinamik
Mengapa seseorang jatuh sakit (menderita skizofrenia) sementara orang lain
tidak ? Secara umum dan sederhana kejadian tersebut dapat diterangkan dengan
menggunakan rumus :
I : Individu, yaitu seseorang yang sudah mempunyai bakat-bakat tertentu,
kepribadian yang rentan (Vulnerable personality) atau pun faktor genetik, yang
kesemuanya itu merupakan faktor predisposisi yaitu kecenderungan untuk
menjadi sakit.
S : Situasi, yaitu suatu kondisi yang menjadi tekanan mental bagi individu yang
bersangkutan misalnya stresor psikososial.
R : Reaksi, yaitu respons dari individu yang bersangkutan setelah mengalami situasi
yang tidak mengenakan (tekanan mental) sehingga ia mengalami frustasi yang
pada gilirannya menjadi jatuh sakit.
Mekanisme terjadinya skizofrenia pada diri seseorang dari sudut psikoinamik
dapat diterangkan dengan dua buah teori yaitu teori homeostatik-deskriptif
(descriptive-homeostatic) dan fasilitatif-etiologik (etiological-facilitative).
Pada teori homeostatik-deskriptif diuraikan gambaran gejala-gejala
(deskripsi) dari suatu gangguan jiwa yang menjelaskan terjadinya homeostatik
pada diri seseorang, sebelum dan sesudah terjadinya ganguan jiwa. Sedangkan
pada teori fasilitatif-etiologik, diuraikan faktor-faktor yang memudahkan
(fasilitasi) penyebab (etiologi) dari suatu penyakit, bagaimanan perjalanan
penyakitnya dan penjelasan mekanisme psikologis dari penyakit yang
bersangkutan (Hawari, 2007).

c. Psikoreligius
Manusia adalah makhluk fitrah, sejak manusia lahir sudah dibekali dengan
dorongan-dorongan atau nafsu. Tanpa adanya dorongan nafsu, maka manusia
tidak akan dapat mempertahankan diri keberadaannya. Fitrah ke-Tuhan-an ini
dalam istilah Freud disebut sebagai Super-Ego, dalam agama Islam dapat
dianalogikan dengan Iman yang berfungsi sebagai pengendalian diri (Self
Control).
Manusia melaksanakan kebutuhan-kebutuhan atau dorongan-dorongan dalam
bentuk perbuatan, perilaku atau amal yang kesemuanya itu disebut sebagai akhlak.
Dalam konsep Freud akhlak ini disebut Ego. Akhlak seseorang akan menjadi baik
atau buruk tergantung dari hasil tarik menarik antara Nafsu dan Iman atau dengan
kata lain antara Id dan Super-Ego. Hasil tarik menarik antara nafsu dan iman pada
sebagian orang dapat menimbulkan konflik bathin dan apabila konflik ini tidak
terselesaikan maka yang bersangkutan dapat jatuh sakit (Hawari, 2007)
d. Psikososial
Situasi dan kondisi yang tidak kondusif dapat merupakan stresor psikososial,
yang mana jika seseorang tidak mampu beradaftasi atau menganggulanginya akan
timbullah keluhan-keluhan kejiwaan. Secara umum stressor psikososial dapat
digolongkan sebagai berikut :

1) Perkawinan
Berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stres yang di alami
seseorang, misalnya pertengakaran, perpisahan, perceraian, kematian salah satu
pasangan, ketidaksetiaan dan lain-lain.
2) Problem Orang Tua
Permasalahan yang dihadapi orang tua, misalnya tidak punya anak, kebanyakan
anak, kenakalan anak, anak sakit dan hubungan tidak baik antara mertua, ipar,
besan dan sebagainya.
3) Hubungan Interpersonal
Gangguan ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat yang mengalami
konflik, konflik dengan kekasih, konflik dengan rekan kerja dan sebagainya.
4) Pekerjaan
Kehilangan pekerjaan, pensiun (Post Power Syndrome), pekerjaan terlalu banyak,
dan sebagainya.
5) Lingkungan Hidup
Faktor lingkungan tidak hanya dilihat dari lingkungan itu bebas polusi, sampah
dan lainnya tetapi terutama kondisi lingkungan sosial dimana seseorang itu hidup,
misalnya perumahan, pindah tempat tinggal, penggusuran, hidup dalam
lingkungan yang rawan, dan sebagainya. Rasa tidak aman dan tidak terlindung
membuat jiwa seseorang tercekam sehingga mengganggu ketenangan dan
ketentraman hidup.

6) Keuangan
Masalah keuangan (kondisi sosial ekonomi) yang tidak sehat, misalnya
pendapatan lebih rendah dari pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan usaha
dan lain sebagainya.
7) Hukum
Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan sumber stres,
misalnya tuntutan hukum, pengadilan, dan lain sebagainya.
8) Perkembangan
Yang dimaksud dengan perkembangan disini adalah perkembangan baik fisik dan
mental seseorang.
9) Penyakit Fisik atau Cedera
Sumber stres yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang antara lain
penyakit (terutama penyakit yang kronis), jantung, kanker, kecelakaan, operasi,
aborsi dan sebagainya.
10) Faktor Keluarga
Biasanya terjadi pada anak dan remaja yang disebabkan karena kondisi keluarga
yang tidak baik, misalnya hubungan orang tua yang dingin atau acuh tak acuh,
kedua orang tua jarang dirumah, perceraian, dan orang tua yang mendidik
anaknya kurang sabar, pemarah, keras dan otoriter.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat mengalami
konflik kejiwaan yang bersumber dari konflik internal (dunia dalam) dan konflik
eksternal (dunia luar). Tidak semua orang mampu menyelesaikan konflik yang
dialaminya sehingga orang tersebut jatuh dalam keadaan frustasi yang mendalam,
sebagai akibatnya yang bersangkutan mengalami gangguan jiwa (Hawari, 2007).
6. Penatalaksanaan Skizofrenia Residual
Gangguan jiwa skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung
berlanjut (kronis). Oleh karena itu terapi pada schizophrenia memerlukan waktu
relatif lama berbulan bahkan bertahun, hal ini dimaksudkan untuk menekan
sekecil mungkin kekambuhan (Relapse). Terapi yang dilakukan pada pasien
dengan skizofrenia diantaranya terapi dengan obat-obatan anti skizofrenia
(psikofarmaka), psikoterapi, terapi psikososial dan terapi psikoreligius.
a. Psikofarmaka
Idealnya obat psikofarmaka dari berbagai jenis obat harus memenuhi syarat-
syarat antara lain sebagai berikut (Hawari, 2007) :
1) Dosis rendah dengan efektivitas terapi relatif singkat.
2) Tidak ada efek samping, kalaupun ada relatif kecil.
3) Dapat menghilangkan dalam waktu relatif singkat baik gejala positif maupun
gejala negatif skizofrenia.
4) Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat).
5) Tidak menyebabkan kantuk.
6) Memperbaiki pola tidur.
7) Tidak menyebabkan habituasi, adiksi dan dependensi.
8) Tidak menyebabkan lemas otot.
9) Jika mungkin pemakaiannya dosis tunggal.
Berbagai jenis obat psikofarmaka yang sering diberikan pada klien dengan
ganggun jiwa menurut Damaiyanti antara lain :
1) Clorpromazine (CPZ)
a) Indikasi
Untuk sindrom psikosis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai realitas,
kesadaran diri terganggu, daya nilai norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya
berat dalam fungsi-fungsi mental : waham, halusinasi, gangguan perasaan dan
perilaku yang aneh atau tidak berkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan
sehari-hari tidak mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
b) Mekanisme kerja
Memblokade dopamine pada reseptor pasca snapdiotik khususnya sistem
eksttrapiramidal.
c) Efek samping
Sedasi, gangguan otonomik (hypotensi, antikolinergik/ parasimpatik, mulut
kering, kesulitan dalam miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur,
tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung). Gangguan
esttrapiramidal (distonia akut, akatshia sindroma parkinson tremor, bradikinesia
rigiditas).
d) Kontra indikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris, ketergantungan
obat, penyakit SSP, gangguan kesadaran.
2) Haloperidol (HP)
a) Indikasi
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi netral serta dalam
fungsi kehidupan sehari-hari.
b) Mekanisme kerja
Obat anti psikosis dalam memblokade dopamin pada reseptor paska sinaptik
neuron diotak khususnya sistem limbik dan sistem ekstra piramidal.
c) Efek ssamping
Sedasi dan inhibisi psikomotor, gangguan otomotik (antikolinergik, mulut kering
dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi,
gangguan irama jantung).
d) Kontra indikasi
Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris, ketergantungan
obat, penyakit SSP, gangguan kesadaran.

3) Tryhexyphenidyl (THD)
a) Indikasi
Segala jenis penyakit parkinson, termasuk paska ensepalitis dan idiopatik,
sindrom parkinson akibat obat misalnya resepina dan fenotiazine.
b) Mekanisme kerja
Sinergis dengan kinidine, obat anti deprresan trisiklik dan anti kolinergik lainnya.
c) Efek samping
Mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi,
konstipasi, tachkikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine.
d) Kontra indikasi
Hypersensitif terhadap trihexyperidyl, glaukoma sudut sempit, psikosis berat,
spikoneurosis, hypertropi prostat, dan obstruksi saluran cerna.
b. Psikoterapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada penderita schizophrenia, baru dapat
diberikan apabila penderita dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan
dimana kemampuan menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) sudah kembali
pulih dan pemahaman diri (Insight) sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan
catatan bahwa penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka.
Pengobatan dengan psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan dan latar
belakang penderita sebelum sakit (Pramorbid). Ada beberapa macam pengobatan
dengan psikoterapi ini, diantaranya :
1) Psikoterapi Suportif
Psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan motivasi
agar penderita tidak merasa putus asa dan semangat juangnya dalam menghadapai
hidup ini tidak kendur dan menurun.
2) Psikoterapi Re-Edukatif
Psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang yang
maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu yang lalu dan juga
dengan pendidikan ini dimaksudkan mengubah pola pendidikan lama dengan
yang baru sehingga penderita lebih adaptif terhadap dunia luar.
3) Psikoterapi Re-Konstruktif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memperbaiki kembali kepribadian yang
telah mengalami keretakan menjadi kepribadian utuh seperti semula sebelum
sakit.
4) Psikoterapi Kognitif
Psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif (daya
pikir dan daya ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai
moral etika, mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak dan
sebagainya (Discrimiative judgment).
5) Psikoterapi Psiko-Dinamik
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk menganalisa dan menguraikan proses
dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya untuk
mencari jalan keluarnya. Dengan psikoterapi ini diharapkan penderita dapat
memahami kelebihan dan kelemahan dirinya dan mampu menggunakan
mekanisme pertahanan diri (Defense Mechanism) dengan baik.
6) Psikoterapi Perilaku
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang
terganggu (maladaptif) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan
diri). Kemampuan adaptasi penderita perlu dipulihkan agar penderita mampu
berfungsi kembali secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari.
7) Psikoterapi Keluarga
Psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan hubungan penderita dengan
keluarganya. Dengan psikoterapi ini diharapkan keluarga dapat memahami
mengenai gangguan jiwa schizophrenia dan dapat membantu mempercepat proses
penyembuhan penderita.
Dari beberapa jenis psikoterapi diatas, dapat disimpulkan bahwa secara
umum tujuan dari psikoterapi adalah untuk memperkuat struktur kepribadian,
mematangkan kepribadian (Maturing Personality), memperkuat ego (Ego
Strengh), meningkatkan citra diri (Self Esteem), memulihkan kepercayaan diri
(Self Confidence), yang semuanya itu untuk mencapai kehidupan yang berarti dan
bermanfaat (Meaningfulness of Life).
c. Terapi Psikososial
Terapi psikososial dimaksudkan agar penderita mampu kembali beradaptasi
dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri
tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan
masyarakat. Penderita selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih
tetap mengkonsumi obat psikofarmaka. Kepada penderita diupayakan untuk tidak
menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan serta banyak bergaul.
d. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan yang dimaksudkan adalah berupa kegiatan ritual
keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan,
ceramah keagamaan dan kajian Kitab Suci dan lain sebagainya. (Hawari, 2007)

Selengkapnya : http://warungbidan.blogspot.com/2017/08/makalah-skizofrenia-
dan-skizofrenia.html

You might also like