You are on page 1of 7

Emakku

bukan
Kartini
21 April 2009

Emakku bukan Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang petani
kelapa pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa membaca huruf Arab).
Dia tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak sekolah karena berbagai
kombinasi yang tak menguntungkannya.
Suatu hari di kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian kecil,
mempelajari sifat dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil, ingin ikut serta
belajar. Tapi ia dihardik ayahnya. Kau bukan anak perempuan yang patut untuk
menjadi cendekia. Emak hanya bisa menangis.

Tapi Emak tak pernah mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu
datangnya sesuatu: Kebebasan.
Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu adalah
seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang, mengumpukannya ke
suatu tempat hingga siap dijual. Ia sepertinya puas dengan upah yang dia terima.
Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak kehidupan buruh tani. Sampai tua mereka
tetap miskin. Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini adalah titik tolak
baru dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di kampung itu masih
tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk menebang pohon.
Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah gubuk, menumpang
di tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah batang bohon hidup.
Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu nibung. Dari gubuk itulah
nasibnya ia ubah.

*****

Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak berfikir bahwa ia
seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya lebih ringan. Bersama
Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk membuka lahan. Lahan itu
kemudian menjadi ladang padi. Hasil panen padi adalah bekal makan selama
setahun. Di lahan itu pula ia mulai menanam kelapa, membuat kebun.
Emak bekerja keras, lebih keras dari orang lain. Sore hari saat orang sudah rapih
reriungan dengan keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di gubuknya ia masih harus
masak untuk makan malam. Kerja keras itu berhasil. Bebeberapa tahun kemudian
kelapanya sudah mulai menghasilkan. Tak banyak memang. Tapi setidaknya
keluarga kami sudah punya masa depan. Seingatku ketika kemudian aku lahir
sebagai anak ke delapan, keluarga kami bukan keluarga miskin buruh tani, tapi
keluarga pemilik beberapa bidang kebun kelapa, meski bukan pula keluarga kaya.

*****

Emak ingin belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak menangisi
kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia tahu cara
mengubah nasibnya. Mereka bisa menghalangiku untuk belajar. Tapi tak
seorangpun bisa menghalangi anak-anakku. begitu tekadnya. Saat abangku yang
tertua memasuki usia sekolah, di kampung kami belum ada sekolah. Emak tak
menyerah. Ia bersama ayah mengayuh sampan selama tiga hari. Tiga hari. Ke
kampung pamannya, seorang lurah. Di situlah abangku dititipkan untuk bersekolah.
Itulah mulanya, lalu kami semua kakak beradik bisa bersekolah.
Sadar dengan tekad itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun sekolah.
Ia datangkan guru dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian mengubah nasib
banyak orang di kampung kami.

*****

Tak cukup bertani, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia
beli pakaian, obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia jajakan berkeliling
dari rumah ke rumah. Sambil belanja kebutuhan dagang ia bisa menengok anak-
anaknya yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak jadi perias pengantin. Berkeliling
ke berbagai kampung, sambil tetap menjajakan dagangannya. Hingga akhirnya
semua anaknya bisa sekolah tinggi.
Di hari tuanya Emak bisa beristirahat. Kami yang sudah bekerja bisa memberi dia
makan, mencukupi kebutuhannya. Saat aku lulus sarjana, Emak bilang, Kau
bekerjalah di sini, di dekat Emak. Aku menurut. Tapi aku juga masih ingin sekolah.
Saat kesempatan itu datang, Emak keberatan. Dia ingin aku tetap di sisinya. Sudah
cukuplah kau sekolah. Kau sudah jadi sarjana.
Aku bujuk Emak. Mak. Ingat kan, dulu Emak bekerja mati-matian agar kami bisa
sekolah. Sekarang ini saya dapat beasiswa. Artinya saya tidak perlu membayar
untuk sekolah. Malah saya dibayar. Saya mengkhianati cita-cita Emak kalau saya
tidak sekolah lagi. Akhirnya Emak mengalah, aku diijinkannya pergi.
Aku berangkat sekolah ke Malaysia. Tapi saat aku di Jakarta aku dengar Emak
pingsan di kamarku saat membersihkannya. Kepergianku begitu melukainya. Tapi
Emak tak meratapi itu. Setelah aku, saudara-saudaraku yang lebih tua juga dapat
kesempatan melanjutkan kuliah. Pernah suatu saat hanya ada abangku yang tertua
di sisi Emak. Anak laki-lakinya yang lain pergi jauh.

Sedihkah Emak? Sepi, katanya. tapi sepi itu bisa Emak obati dengan rasa
bangga.

*****

Emakku bukan Kartini. Ia tak menulis surat, yang membuat orang lain bergerak. Ia
bahkan tak bisa menulis. Tapi dengan tangannya, dia mengubah nasibnya. Nasib
kami.

Dikirim oleh
Hasanudin Abdurakhman
Quo Vadis
Konsep
Pendidikan
Indonesia?
Sebuah tanggapan
terhadap artikel: What
I've learned from
Australia

Artikel berjudul What I've learned from Australia tulisan Sdri. Zubeth sangat
menarik untuk dibaca. Saya dapat menggambarkan artikel tersebut (dengan
kata-kata saya sendiri) sebagai motivated-critical. Kenapa dikatakan
motivated, karena tujuan utama dari artikel ini secara global (mudah2an saya
gak salah mengerti) adalah mengajak dan mengajukan suatu alternatif untuk
perubahan terhadap pola pendidikan Indonesia melalui pemaparan sebuah
konsep pendidikan dan pengajaran ala barat yang penulis pelajari di negeri
nun jauh disana yang bernama Australia. Jadi dengan demikian sangat
positif dan motivated.

Selanjutnya kenapa artikel itu saya kategorikan critical, karena alasannya


menurut saya sebagai berikut:

Sistem pendidikan dalam sebuah negara itu merupakan satu subsistem yang
eksistensi dan keberlangsungannya sangat ditopang atau tergantung dari
sub sistem lain di masyarakat yang tidak kalah pentingnya, yaitu subsistem
politik dan subsistem ekonomi (Fend, 1999). Ketiga subsistem tersebut
membentuk sebuah sistem segitiga yang setiap sudutnya menentukan
eksistensi sudut yang lain.

Jadi kalau kita bicara masalah kualitas pendidikan suatu negara, sebaiknya
kita menerapkan pola analisa yang multidimensional dengan memperhatikan
berbagai faktor yang terdapat dalam ketiga subsistem tersebut. Dengan
demikian apabila penulis hanya menjadikan filosofis pendidikan barat
misalnya, sebagai hal yang mendasari keberhasilan konsep pendidikan barat
sehingga output pendidikannya superior maka menurut saya itu patut
dikritisi. Kenapa demikian? mari kita lihat fakta berikut:

Apabila dikotomi filosofi pendidikan Barat-Timur yang menjadi faktor


penentu superioritas pendidikan barat dalam mencetak manusia cerdas dan
pintar, justru hasil dari Programme for International Student
Assessment (PISA-Study) 2003 dan 2006 menunjukan hal yang kurang
sesuai. Berdasarkan studi tersebut, lulusan sekolah terbaik di dunia itu
justru berada di benua timur, yaitu Korea Selatan. Dengan skor rata-rata
550, anak sekolah di Korea ini berhasil mengungguli Finlandia (dengan skor
rata-rata 548) yang merupakan negara terunggul sistem pendidikannya
diantara negara-negara Eropa atau barat. Demikian pula dengan Jepang;
berdasarkan hasil studi ini, negri sakura ini yang juga di wilayah bagian timur
juga berhasil mengungguli Australia sekali pun dalam masalah mencetak
manusia berkualitas.

Bukti lain adalah kemajuan negara lain di asia seperti Cina, dan negara
tetanggga kita Malaysia. Konsep pendidikan di negara2 tersebut dalam
waktu singkat berhasil meningkat secara melejit. Dengan SDM dan SDA
yang ada Cina dalam tempo yang super cepat mampu merajai
perekonomian dunia. Untuk mencapai hal tersebut tentu saja sistem
pendidikan Cina dengan konsep pendidikan mereka yang berfilosofiskan
ketimuran banyak berperan.
Bukti lain lagi, kalau kita mau romantisme historis, pendidikan di negara kita
pada dekade 60 -80an. Pada masa tersebut pendidikan kita pernah
sedemikian baiknya dalam mencetak manusia-manusia pintar, sehingga
pada waktu tersebut banyak negara tetangga yang mengirimkan
mahasiswanya untuk menimba ilmu di negara kita tercinta ini. Contoh
lainnya lagi adalah Rusia; dengan segala konsep pendidikanya yang serba
sentralistik dan serba diatur oleh sistem pemerintahan komunis yang
tentunya anti dari nilai2 pendidikan demokratis ala barat, ternyata negara
tersebut berhasil menjadikan negaranya sebagai negara adidaya tandingan
USA sampai sekarang. Kepala-kepala jenius pun telah banyak dilahirkan di
negara tersebut.
So, berdasarkan fakta2 tersebut, dikotomi Barat-Timur dalam hal konsep dan
filosofi pendidikan perlu dianalisa ulang.

Poin berikutnya yang perlu dikritisi adalah masalah penjabaran dari filosofi
didaktik dalam proses pendidikan. Dalam artikelnya penulis mengatakan
bahwa filosofi guru-murid yang berimplikasi pada proses pembelajaran
frontal (menurut pengertian saya) adalah merupakan filosofi pendidikan
timur. Sejauh yang saya pelajari, filosofi didaktik semacam ini bukan hasil
cetakan suatu mazhab, barat atau timur, tetapi kita disini lebih bicara dalam
tataran konservatif vs. modern. Jadi di negara-negara barat pun konsep
frontal guru-murid ini pernah dan/atau sampai sekarang masih diterapkan
oleh sebagian pendidik (berdasarkan pengamatan empiris saya di beberapa
sekolah di Jerman). Sementara konsep yang digambarkan penulis sebagai
konsep I message di Ausi itu merupakan konsep hasil reformasi dari konsep
konservatif sebelumnya. Jadi sekali lagi dalam hal ini tidak ada dikotomi
Barat-Timur.
Kemudian dalam memahami konsep I message, memang sudah merupakan
karakternya bahwa murid memiliki otonomi atau sebagai subjek dalam
proses pembelajaran. Akan tetapi otonomi itupun menurut saya terbatas.
Kurang benar kiranya apabila murid berdasarkan konsep ini memiliki
otonomi full dalam menentukan sendiri apa-apa yang mau dipelajari atau
dengan kata lain menentukan semua bahan ajar, karena dengan demikian,
tujuan dari dan isi dari kurikulum yang oleh si guru dijadikan sebagai
pedoman penyelengaraan proses belajar-mengajar tidaklah berarti lagi.
Sejauh yang saya pelajari, dalam konsep ini memang murid dilibatkan dalam
proses perencanaan belajar-mengajar, dimana sang murid diminta
pendapatnya dalam menentukan tema yang akan dijadikan bahan ajar. Tapi
hal itu terjadi setelah sang guru menetapkan kerangka dasarnya yang tidak
boleh dilabrak oleh siswa. Tujuan dari hal tersebut tiada lain untuk
mengakomodasi minat kebanyakan murid terhadap sebuah tema misalnya,
sehingga pembelajaran tidak boring.

Menanggapi tentang perilaku siswa-siswa di barat yang lebih berani dalam


adu argumen atau lebih spontan dalam mengajukan pertanyaan kepada
sang pengajar, menurut saya memang ini adalah hal yang positif, tapi tidak
sepenuhnya. Hal tersebut harus kita lihat secara kontekstual. Misalnya
dalam konteks budaya pola hubungan interpersonal dalam masyarakat.
Sebagai contoh saya suka memperhatikan orang-orang dari negara-negara
non barat pada saat seminar, seperti Jepang, China, Korea dan juga
Indonesia. Kebanyakan dari mereka memang tidak begitu vokal dalam hal
berdebat, tapi banyak dari mereka yang sangat berkualitas pemikirannya
ketika ditanya pendapatnya. Lain halnya dengan sebagian orang dari barat,
atau kebanyakan orang dari negara-negara Afrika, atau Rusia misalnya
(maaf bukan rasis, ini hanya hasil pengamatan pribadi saja) banyak dari
mereka yang bersitegang dan spontan mempertahankan pendapatnya demi
ego mereka, walaupun isinya seringkali ngawur. So hal seperti ini sekali lagi
sifanya sangat kontekstual. Kemampuan berfikir liberal yang
direpresentasikan dengan spontanitas bertanya di forum belum merupakan
indikator dari kualitas sebuah konsep pendidikan.
Hal lain, adalah merupakan sebuah ekses dari pola pemikiran liberal di barat
bahwa banyak sekali sekolah-sekolah di negara barat (contohnya yang saya
alami di Jerman) menghadapi suatu masalah kedisiplinan serius dengan
para siswanya. Dapat kita bayangkan apabila ada murid yang memukul-
mukul meja pada saat guru menerangkan, atau bahkan murid yang
mendorong guru perempuannya karena dia diperingatkan untuk tidak telat
masuk. Ini benar-benar terjadi di depan mata kepala saya.

Sikap-sikap lain yang lebih parah menurut kaca mata saya sebagai orang
timur adalah sikap mereka terahadap orang tua sebagai bentukan dari pola
pendidikan mereka. Kita yang pernah hidup di negara barat pasti tahu
bagaimana liberalnya para anak barat bersikap terhadap orang tuanya. Buat
mereka orang tua adalah beban hidup, sehingga panti jompolah tempat yang
paling tepat buat para orang tua mereka menghabiskan masa tuanya.
Pertanyaannya: sisi afeksi beginikah yang kita inginkan sebagai hasil dari
sebuah konsep dan filosofi pendidikan (di barat)??
Kondisi semacam ini menurut saya terjadi akibat terlalu disuntikannya atau
diagungkannya nilai-nilai liberal dan demokrasi ala barat kepada system
pendidikan dasar mereka. Sebagai akibatnya guru sebagai pengajar dan
pendidik jadi ditelanjangi otoritasnya dalam membentuk individu yang
punya rasa hormat terhadap guru dan orang tua. Alhamdulillah fenomena
sosial semacam ini masih merupakan hal yang sangat tabu di kultur kita.

Dengan pemaparan singkat diatas saya ingin menyampaikan bahwa tidak


ada satu pun konsep pendidikan di dunia ini yang benar-benar sempurna
dan berlaku general dalam mencetak manusia berkualitas, walaupun itu
konsep filosofi pendidikan barat sekali pun. Justru sebaliknya dalam kasus
Indonesia; dunia pendidikan kita menjadi amburadul sebagian akibat dari
kebijakan publik dalam bidang pendidikan yang kurang cerdas; yaitu
seringnya para politisi kita di Depdiknas dengan gampangnya mengadopsi
kurikulum dan konsep pendidikan dari barat tanpa adanya analisa yang
komprehensif terhadap semua potensi, situasi dan kondisi bangsa dan
budaya sendiri. Di bidang pendidikan saja, sejak era pelita satu, jaman Orba
sampai sekarang sudah terjadi lebih dari 10 kali konsep kurikulum kita
diganti. Yang terahir adalah KBK dan KTSP yang pengembangannya didanai
oleh bantuan utang Australia. Walhasil pendidikan tambah semrawut gak
puguh tujuan.

Sebagai penutup, kalau kita bertanya mau dibawa kemana konsep


pendidikan kita? Jawabannya menurut saya kita harus merujuk konsep atau
gerakan yang dalam bahasa sundanya Indigenization alias to transform
things to fit the local culture (Wikipedia). Jadi kita harus mengadopsi konsep
pendidikan modern yang meng-Indonesia.
Inilah trend yang sedang terjadi di negara2 yang menggeliat maju: Cina,
Korea, Malaysia, Jepang, Singapura, India dll. So istilah kebarat-baratan
dalam pengembangan pendidikan tidaklah harus dipertahankan..

Dikirim oleh
Dadang Kurnia
Institut fr Berufspdagogik
Fakultt Erziehungswissenschaften
TU Dresden - Germany

You might also like