You are on page 1of 32

LAPORAN PENDAHULUAN

ABSES SEREBRI

A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Abses otak adalah suatu proses infeksi yang melibatkan parenkim
otak; terutama disebabkan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan
oleh penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan atau melaui sistem
vaskular. Berdasarkan lokasinya 80% abses terdapat pada cerebrum dan 50%
pada cerebelum dan 5-20% terjadi lebih dari satu tempat (Esther,)

2. Etiologi
a. Abses Piogenis disebabkan bakteri
Jaringan otak rentan terhadap infeksi dan tidak mempunyai
mekanisme pertahanan yang baik, pembentukan kapsul kolagen
merupakan respons yang terpenting dalam membatasi penyebaran
abses. Untuk terjadinya abses otak harus ada daerah yang nekrosis
terlebih dahulu dalam jaringan otak.
Pada penderita meningitis bakteri tidak selalu terjadi abses
otak, hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor :
1) Virulensi bakteri
Komponen permukaan subkapsular bakteri (dinding sel
dan lipopolisakarida) memegang peranan yang penting untuk
timbulnya radang di selaput otak dan memperluas daerah yang
nekrosis ke dalam jaringan otak.
Bakteri pneumokokus mempunyai dua polimer dinding
sel (peptidoglikan dan asam trikoik fosfat ribitol)
menyebabkan timbulnya keradangan. H. influenza mempunyai

1
kapsul lipopolisakarida, bila terjadi inokulasi ke dalam
iintrasisternal memnyebabkan radang dan merusak sawar darah
otak.
2) Rusaknya sawar darah otak
Hanya bakteri tertentu yang bias merusak sawar darah
otak. Kerusakan sawar darah otak menimbulkan eksudasi
albumin yang mempercepat timbulnya edema otak, dengan
kerusakan sel endotel dan mikrovaskuler otak.

3) Imunopatologis
Satu sampai 3 jam setelah inokulasi lipopolisakarida
terjadi pelepasan secara cepat dari TNF (Tumor Necrotic
Factor), Interleukin-1, dan Interleukin-2 ke dalam CSS,
menyebabkan neutrofil melekat pada epitel serta merangsang
sel-sel di susunan saraf pusat (astroglia, endotel, dan makrofag
selaput otak) untuk melepaskan sitokin. Sitokin diekskresikan
dan merusak sawar darah otak. Kondisi imunologis penderita
yang kurang baik akan mempercepat terjadinya proses
peradangan di jaringan otak.

Bakteri yang tersering adalah Staphylococcus aureus,


Streptococcus anaerob, Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus
alpha hemolyticus, E. coli dan Baeteroides. Abses oleh
Staphylococcus biasanya berkembang dari perjalanan otitis media atau
fraktur kranii. Bila infeksi berasal dari sinus paranasalis penyebabnya
adalah Streptococcus aerob dan anaerob, Staphylococcus dan
Haemophilus influenzae. Abses oleh Streptococcus dan
Pneumococcus sering merupakan komplikasi infeksi paru. Abses pada
penderita jantung bawaan sianotik umumnya oleh Streptococcus
anaerob.

2
b. Abses disebabkan jamur
Abses yang disebabkan jamur umumnya merupakan abses
metastatik. Awalnya akan tampak invasi vaskular oleh jamur, disusul
thrombosis sekunder dan infark otak. Hal ini menyerupai abses
piogenik, dimana di dalam bagian nekrotik terdapat sel radang,
makofag, fibroblast, dan sel besar berinti banyak terisi jamur yang
telah difagosit.
Jamur penyebab AO antara lain Nocardia asteroides,
Cladosporium trichoides dan spesies Candida dan Aspergillus.
Walaupun jarang, Entamuba histolitica, suatu parasit amuba usus
dapat menimbulkan AO secara hematogen.

c. Abses disebabkan parasit


Amoeba menyebabkan terjadinya pusat nekrotik yang berisi debris dan
terutama sel mononuclear, dikelilingi kongesti vaskular, nekrosis jaringan
saraf dan sel limfotik, sel plasma dan mononuklear lain, disini pembentukan
kapsul tidak ada atau hanya sedikit serta dapat ditemukannya kista dan
trofozoit. Toksoplasma dapat menyebabkan ensefalitis, abses, dan granuloma
dengan atau tanpa pusat nekrotik.
Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari
fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh,
atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses
yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi
paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang
perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada
lobus tertentu.
Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan
otak dengan infiltrasi lekosit disertai edema, perlunakan dan kongesti jaringan
otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai
beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga

3
membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag
mengelilingi jaringan yang nekrotik. Mula-mula abses tidak berbatas tegas
tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan
dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai
beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4
stadium yaitu :
1) Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)
Terjadi reaksi radang lokal dengan infiltrasi polymofonuklear
leukosit, limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi,
yang dimulai pada hari pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel
radang terdapat pada tunika adventisia dari pembuluh darah dan
mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskular ini
disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekita otak dan
peningkatan efek massa karena pembesaran abses.

2) Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)


Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti.
Daerah pusat nekrosis membesar oleh karena peningkatan acellular
debris dan pembentukan nanah karena pelepasan enzim-enzim dari sel
radang. Di tepi pusat nekrosis didapati daerah sel radang, makrofag-
makrofag besar dan gambaran fibroblas yang terpencar. Fibroblas
mulai menjadi retikulum yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada
fase ini edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat
besar.

3) Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)


Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular
debris dan fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan
fibroblast membentuk anyaman reticulum mengelilingi pusat nekrosis.
Di daerah ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh karena

4
kurangnya vaskularisasi di daerah substansi putih dibandingkan
substansi abu. Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan
tengah memungkinkan abses membesar ke dalam substansi putih. Bila
abses cukup besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada
pembentukan kapsul, terlihat daerah anyaman reticulum yang tersebar
membentuk kapsul kolagen, reaksi astrosit di sekitar otak mulai
meningkat.

4) Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)


Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan
gambaran histologis sebagai berikut:
a) Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel
radang.
b) Daerah tepi pusat nekrosis terdiri dari sel radang, makrofag,
dan fibroblast.
c) Kapsul kolagen yang tebal.
d) Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang
berlanjut.
e) Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.

Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar


dan meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat
menimbulkan meningitis.
Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis,
amputasi meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat
menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media,
mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis dan
serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara
hematogen.

5
Komplikasi dari infeksi telinga (otitis media, mastoiditis)
hampir setengah dari jumlah penyebab abses otak serta Komplikasi
infeksi lainnya seperti ; paru-paru (bronkiektaksis,abses
paru,empiema) jantung (endokarditis), organ pelvis, gigi dan kulit.

Berdasaran bakteri penyebab, maka etiologi dari abses otak dapat dibagi
menjadi :

1) Organisme aerobik:
a) Gram positif : Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus
b) Gram negatif : E. coli, Hemophilus influenza, Proteus,
Pseudomonas
2) Organisme anaerobik: B. fragilis, Bacteroides sp, Fusobacterium sp,
Prevotella sp, Actinomyces sp, dan Clostridium sp.
3) Fungi : Kandida, Aspergilus, Nokardia
4) Parasit : E. histolytica, Schistosomiasis, Amoeba

Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi


telinga tengah, sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries).
Abses otak dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari
infeksi paru sistemik (empyema, abses paru, bronkiektase, pneumonia),
endokarditis bakterial akut dan subakut dan pada penyakit jantung bawaan
Tetralogi Fallot (abses multiple, lokasi pada substansi putih dan abu dari
jaringan otak). Abses otak yang penyebarannya secara hematogen, letak
absesnya sesuai dengan peredaran darah yang didistribusi oleh arteri cerebri
media terutama lobus parietalis, atau cerebellum dan batang otak. Dapat juga
timbul akibat trauma tembus pada kepala atau trauma pasca operasi.
Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik
seperti AIDS, penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi/steroid
yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. 20-37% penyebab abses otak
tidak diketahui. Penyebab abses yang jarang dijumpai, osteomyelitis

6
tengkorak, sellulitis, erysipelas wajah, abses tonsil, pustule kulit, luka tembus
pada tengkorak kepala, infeksi gigi luka tembak di kepala, septikemia.
Berdasarkan sumber infeksi dapat ditentukan lokasi timbulnya abses di lobus
otak.
Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde
thrombophlebitis melalui klep vena diploika menuju lobus frontalis atau
temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal, terletak superficial di otak, dekat
dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat juga menyebabkan abses di
bagian anterior atau inferior lobus frontalis. Sinusitis sphenoidalis dapat
menyebakan abses pada lobus frontalis atau temporalis. Sinusitis maxillaris
dapat menyebabkan abses pada lobus temporalis. Sinusitis ethmoidalis dapat
menyebabkan abses pada lobus frontalis. Infeksi pada telinga tengah dapat
pula menyebar ke lobus temporalis. Infeksi pada mastoid dan kerusakan
tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti kerusakan tegmentum
timpani atau kerusakan tulang temporal oleh kolesteatoma dapat menyebar ke
dalam serebelum.

Faktor predisposisi dapat menyangkut host, kuman infeksi atau faktor


lingkungan :
1) Faktor tuan rumah (host)
Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi
mencakup kesehatan umum yang sempurna, struktur sawar darah otak
yang utuh dan efektif, aliran darah ke otak yang adekuat, sistem
imunologik humoral dan selular yang berfungsi sempurna.

2) Faktor kuman
Kuman tertentu cendeerung neurotropik seperti yang membangkitkan
meningitis bacterial akut, memiliki beberapa faktor virulensi yang
tidak bersangkut paut dengan faktor pertahanan host. Kuman yang
memiliki virulensi yang rendah dapat menyebabkan infeksi di susunan

7
saraf pusat jika terdapat ganggguan pada sistem limfoid atau
retikuloendotelial.

3) Faktor lingkungan
Faktor tersebut bersangkutan dengan transisi kuman. Yang dapat
masuk ke dalam tubuh melalui kontak antar individu, vektor, melaui
air, atau udara.

8
3. Pathway

9
4. Patofisiologi
Fase awal abses otak ditandai dengan edema lokal, hiperemia infiltrasi
leukosit atau melunaknya parenkim. Trombisis sepsis dan edema. Beberapa
hari atau minggu dari fase awal terjadi proses liquefaction atau dinding kista
berisi pus. Kemudian terjadi ruptur, bila terjadi ruptur maka infeksi akan
meluas keseluruh otak dan bisa timbul meningitis.
AO dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus
infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau
secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang
terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi
paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang
perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada
lobus tertentu.
AO bersifat soliter atau multipel. Yang multipel biasanya ditemukan
pada penyakit jantung bawaan sianotik; adanya shunt kanan ke kiri akan
menyebabkan darah sistemik selalu tidak jenuh sehingga sekunder terjadi
polisitemia. Polisitemia ini memudahkan terjadinya trombo-emboli.
Umumnya lokasi abses pada tempat yang sebelumnya telah mengalami infark
akibat trombosis; tempat ini menjadi rentan terhadap bakteremi atau radang
ringan. Karena adanya shunt kanan ke kin maka bakteremi yang biasanya
dibersihkan oleh paru-paru sekarang masuk langsung ke dalam sirkulasi
sistemik yang kemudian ke daerah infark. Biasanya terjadi pada umur lebih
dari 2 tahun. Dua pertiga AO adalah soliter, hanya sepertiga AO adalah
multipel. Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan
otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan
otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai
beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga
membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag
mengelilingi jaringan yang nekrotik. Mula-mula abses tidak berbatas tegas
tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan

10
dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai
beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4
stadium yaitu :
a. Stadium serebritis dini
b. Stadium serebritis lanjut
c. Stadium pembentukan kapsul dini
d. Stadium pembentukan kapsul lanjut.
Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan
meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan
meningitis. Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis,
amputasi meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat
menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media,
mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis dan serebelum,
sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara hematogen.

Mikroorganisme penyebab abses masuk ke otak dengan cara :


a. Implanmentasi langsung akibat trauma,tindakan obrasi ,pungsi
lumbal,penyebab infeksi kronik pada telinga,sinus mastoid,di mana
bakteri masuk ke otak dengan melalui tulang atau pembuluh darah.
b. Penyebab infeksi dari focus primer pada paru-paru seperti abses
paru,bronchiactasis,empyema,pada endokarditis dan perikarditis.
c. Komplikasi pada meninghitis purulenta.
Mikroorganisme yang umum menyebabkan abses otak adalah
streptococci, bacteriodes fragilis, Esterichia coli. Setelah terjadi implamentasi
bakteri kemudian terjadi reaksi peradangan inkal dengan karakteristik edema
local,hyperaemia ,adanya infiltrasi dan jaringan menjadi lunak.pada tingkat ini
lokasi pembentukan abses Nampak kongestik .lunak ,mengandung minyak
perdarahan petechikal dan sebukan neoutrofil.beberapa hari sampai beberapa
bulan jaringan otak tejadi nekrosis dan mengeluarkan m.issa pus.di luar
jaringan nekrotik tampak jaringan granulasi yang mengandung

11
kapiler,fibroslat,limposit dan sel plasmajika tanpa pengobatan yang memadai
pus akan membesar,menyebar dan meluas subarachnoid dan ventrikel.

5. Manifestasi klinik
Gejala dan tanda klinis dari abses otak tergantung kepada banyak
faktor, antara lain lokasi, ukuran, stadium dan jumlah lesi, keganasan kuman,
derajat edema otak, respons pasien terhadap infeksi, dan juga umur pasien.
Bagian otak yang terkena dipengaruhi oleh infeksi primernya.
Pada stadium awal gambaran klinik AO tidak khas, terdapat gejala-
gejala infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejala-gejala peninggian
tekanan intrakranial berupa muntah, sakit kepala dan kejang. Dengan semakin
besarnya abses otak gejala menjadi khas berupa trias abses otak yang terdiri
dari gejala infeksi, peninggian tekanan intrakranial dan gejala neurologik
fokal.

Manifestasi abses otak sebenarnya didasarkan dengan adanya :


a. Manifestasi peningkatan tekanan intrakranial, berupa sakit kepala,
muntah, dan papiledema.
b. Manifestasi supurasi intrakranial berupa iritabel, drowsiness, atau
stupor, dan tanda rangsang meningeal.
c. Tanda infeksi berupa demam, menggigil, leukositosis.
d. Tanda local jaringan otak yang terkena berupa kejang, gangguan saraf
kranial, afasia, ataksia, paresis.

Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala
neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim disertai
kesadaran yang menurun menunjukkan prognosis yang kurang baik karena
biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke dalam kavum ventrikel.
Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran
dan mengecap didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas

12
kontralateral dan hemianopsi komplit. Gangguan motorik terutama wajah dan
anggota gerak atas dapat terjadi bila perluasan abses ke dalam lobus frontalis
relatif asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala
fokal adalah gejala sensorimotorik. Abses serebelum biasanya berlokasi pada
satu hemisfer dan menyebabkan gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor,
dismetri dan nistagmus. Abses batang otak jarang sekali terjadi, biasanya
berasal hematogen dan berakibat fatal.

Gejala lokal yang terlihat pada abses otak


Lobus Gejala
a. Frontalis mengantuk, tidak ada perhatian, hambatan dalam mengambil
keputusan,Gangguan intelegensi, kadang-kadang kejang
b. Temporalis tidak mampu meyebut objek; tidak mampu membaca,
menulis atau,mengerti kata-kata; hemianopia.
c. Parietalis gangguan sensasi posisi dan persepsi stereognostik, kejang
fokal, hemianopia homonim, disfasia, akalkulia, agrafia.
d. Serebelum sakit kepala suboksipital, leher kaku, gangguan koordinasi,
nistagmus, tremor intensional.

6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik,
pemeriksaan laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu
penting juga untuk melibatkan evaluasi neurologis secara menyeluruh,
mengingat keterlibatan infeksinya. Perlu ditanyakan mengenai riwayat
perjalanan penyakit, onset, faktor resiko yang mungkin ada, riwayat kelahiran,
imunisasi, penyakit yang pernah diderita, sehingga dapat dipastikan
diagnosisnya.
Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi
status mental, derajat kesadaran, fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis,

13
refleks patologis, dan juga tanda rangsang meningeal untuk memastikan
keterlibatan meningen.
Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas
sistem musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari
anggota gerak, ataupun kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau tunggal.
Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer
yaitu pemeriksaan lekosit dan laju endap darah; didapatkan peninggian lekosit
dan laju endap darah. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada umumnya
memperlihatkan gambaran yang normal. Bisa didapatkan kadar protein yang
sedikit meninggi dan sedikit pleositosis, glukosa dalam batas normal atau
sedikit berkurang. kecuali bila terjadi perforasi dalam ruangan ventrikel.
Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan
intrakranial, dapat pula menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral;
tetapi dengan pemeriksaan ini tidak dapat diidentifikasi adanya abses.
Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui lokalisasi abses dalam
hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat
delta dengan frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses. Pnemoensefalografi
penting terutama untuk diagnostik abses serebelum. Dengan arteriografi dapat
diketahui lokasi abses di hemisfer. Saat ini, pemeriksaan angiografi mulai
ditinggalkan setelah digunakan pemeriksaan yang relatif noninvasif seperti
CT scan. Dan scanning otak menggunakan radioisotop tehnetium dapat
diketahui lokasi abses; daerah abses memperlihatkan bayangan yang hipodens
daripada daerah otak yang normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan
hiperderns. CT scan selain mengetahui lokasi abses juga dapat membedakan
suatu serebritis dengan abses. Magnetic Resonance Imaging saat ini banyak
digunakan, selain memberikan diagnosis yang lebih cepat juga lebih akurat.

14
Gambar 2.2. Early cerebritis pada CT-Scan

(Sumber: http://emedicine.medscape.com)

Gambaran CT-scan pada abses :

a. Early cerebritis (hari 1-3): fokal, daerah inflamasi dan edema.


b. Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat
nekrosis dari zona central inflamasi.
c. Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis,
hipervaskularisasi pada batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada
stadium ini dapat terlihat gambaran ring enhancement.
d. Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang hipodens
(sentral abses) yang dikelilingi dengan kontras - ring enhancement
(kapsul abses)

15
Gambar 2. Gambaran CT-Scan Abses Serebri

Sumber: Kepustakaan 13

Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan prosedur


diagnostik, dikarenakan sensitifitasnya dapat mencapai 90% untuk
mendiagnosis abses serebri. Yang perlu dipertimbangkan adalah walaupun
gambaran CT tipikal untuk suatu abses, tetapi tidak menutup kemungkinan
untuk didiagnosis banding dengan tumor (glioblastoma), infark, metastasis,
hematom yang diserap dan granuloma.

Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor (glioblastoma,


metastasis) dari CT scan, ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk
membedakan keduanya antara lain : umur penderita, ketebalan ring (cicin tipis
hanya 3-6 mm) dan biasanya uniform, diameter ring, rasio lesi dan ring. Pada
kasus, kapsul bagian medial lebih tipis dari kapsul subkortikal. Hal ini
menunjukkan sedikitnya vaskularisasi dari massa putih dan menjelaskan
mengapa abses biasanya berkembang di medial.

16
Abses serebri yang hematogen ditandai dengan adanya fokus infeksi
(yang tersering dari paru), lokasi pada daerah yang diperdarahi oleh arteri
serebri media di daerah perbatasan massa putih dan abu-abu dengan tingkat
mortalitas yang tinggi.

Sedangkan gambaran glioblastoma pada CT scan adalah adanya mixed


density tumor, ring enhancement yang berlekuk-lekuk disertai perifokal
edema yang luas.

7. Komplikasi
Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun komplikasinya
adalah :
a. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
b. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus
c. Edema otak
d. Herniasi oleh massa Abses otak

Komplikasi meliputi :
a. Retardasi mental
b. Epilepsi
c. Kelainan neurologik fokal yang lebih berat.
Komplikasi ini terjadi bila AO tidak sembuh sempurna.

8. Test Diagnostik
Tindakan diagnostik yaitu :
a. CT Scan
Mengidentifikasi dan melokalisasi abses besar dan abses kecil
disekitarnya
b. Arteriografi
Menunjukkan lokasi abses di lobus temporal atau abses cerebellum

17
9. Penatalaksanaan
Dasar pengobatan abses otak adalah mengurangi efek massa dan
menghilangkan kuman penyebab. Terapi definitif untuk abses melibatkan :
a. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat
mengancam jiwa
b. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses
c. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)
d. Pengobatan terhadap infeksi primer
e. Pencegahan kejang
f. Neurorehabilitasi

Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat


dan pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang
memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat
digunakan kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga dan metronidazole.
Jika terdapat riwayat cedera kepala dan komplikasi pembedahan
kepala, maka dapat digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine
dengan sephalosforin generasi ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik
terpilih dapat digunakan ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah tersedia.

Tabel 1.1 Prinsip Pemilihan Antibiotik pada Abses Otak


Etiologi Antibiotik

Infeksi bakteri gram negatif, bakteri Meropenem


anaerob, stafilokokkus dan streptokokkus

Penyakit jantung sianotik Penissilin dan metronidazole.

Post VP-Shunt Vancomycin dan ceptazidine

Otitis media, sinusitis, atau mastoiditis Vancomycin

18
Infeksi meningitis citrobacter Sefalosporin generasi ketiga, yang secara
umum dikombinasikan dengan terapi
aminoglikosida

Pada abses yang terjadi akibat trauma penetrasi, cedera kepala, atau
sinusitis dapat diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau vancomycin,
cefotaxime atau cetriaxone dan juga metronidazole. Monoterapi dengan
meropenem terbukti baik melawan bakteri gram negatif, bakteri anaerob,
stafilokokkus dan streptokokkus dan menjadi pilihana alternative.

Pada abses yang terjadi akibat penyakit jantung sianotik dapat diterapi
dengan penissilin dan metronidazole. Abses yang terjadi akibat
ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi dengan vancomycin dan ceptazidine.
Jika otitis media, sinusitis, atau mastoidits yang menjadi penyebab dapat
digunakan vancomycin karena strepkokkus pneumonia telah resisten terhadap
penissilin. Jika meningitis citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada
abses local, dapat digunakan sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum
dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida. Pada pasien dengan
immunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas dan
dipertimbangkan pula terapi amphoterids.

Tabel 1.2 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Otak

Drug Dose Frekwensi dan rute

Cefotaxime (Claforan) 2-3 kali per hari,


50-100 mg/KgBBt/Hari
IV

Ceftriaxone (Rocephin) 2-3 kali per hari,

50-100 mg/KgBBt/Hari IV

19
Metronidazole (Flagyl) 3 kali per hari,

35-50 mg/KgBB/Hari IV

Nafcillin (Unipen, Nafcil) setiap 4 jam,

2 grams IV

Vancomycin setiap 12 jam,

15 mg/KgBB/Hari IV

Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid


dapat mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi
pembentukan kapsul abses. Tetapi penggunaannya dapat dipertimbangkan
pada kasus-kasus dimana terdapat risiko potensial dalam peningkatan tekanan
intrakranial. Dosis yang dipakai 10 mg dexamethasone setiap 6 jam
intravenous, dan ditapering dalam 3-7 hari.

Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan


adanya tekanan intrakranial yang meningkat, papil edema dan gambaran
edema yang luas serta midline shift pada CT scan. Kortikosteroid diberikan
dalam 2 minggu setelah itu di tap-off, dan terlihat bahwa berangsur-angsur
sakit kepala berkurang dan pada pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak
didapatkan papil edema. Penatalaksanaan secara bedah pada abses otak
dipertimbangkan dengan menggunakan CT-Scan, yang diperiksa secara dini,
untuk mengetahui tingkatan peradangan, seperti cerebritis atau dengan abses
yang multiple.

Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi antara


antimikrobial dan tindakan bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi dan
drainase abses melalui kraniotomi merupakan prosedur pilihan. Tetapi pada

20
center-center tertentu lebih dipilih penggunaan stereotaktik aspirasi atau MR-
guided aspiration and biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan pada abses
multipel, abses batang otak dan pada lesi yang lebih luas digunakan eksisi.

Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak menguntungkan,


seperti: small deep abscess, multiple abscess dan early cerebritic stage.

Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna


diantara penderita yang mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan terapi
eksisi dalam mengurangi risiko kejang.

Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi


mengingat proses desak ruang yang cukup besar guna mengurangi efek massa
baik oleh edema maupun abses itu sendiri, disamping itu pertimbangan
ukuran abses yang cukup besar, tebalnya kapsul dan lokasinya di temporal.

Antibiotik mungkin dapat digunakan tersendiri, seperti pada keadaan


abses berkapsul dan secara umum jika luas lesi yang menyebabkan sebuah
massa yang berefek terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Namun,
harus ditatalaksanakan dengan kombinasi antibiotik dan aspirasi abses.

Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan, karena


prosedur ini dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika
dibandingkan dengan teknik aspirasi. Indikasi pembedahan adalah ketika
abses berdiameter lebih dari 2,5 cm, adanya gas di dalam abses, lesi yang
multiokuler, dan lesi yng terletak di fosa posterior, atau jamur yang
berhubungan dengan proses infeksi, seperti mastoiditis, sinusitis, dan abses
periorbita, dapat pula dilakukan pembedahan drainase. Terapi kombinasi
antibiotik bergantung pada organisme dan respon terhadap penatalaksanaan
awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6 minggu.

Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan


posisinya terhadap korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan

21
tergantung dari kasus per kasus (ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang,
ada tidaknya abnormalitas pemeriksaan neurologis, EEG dan neuroimaging).

Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita sudah


mengalami kejang dengan frekuensi yang cukup sering. Penghentian
antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan perkembangan klinis penderita
selanjutnya.

a. Terapi antibiotik. Kombinasi antibiotik dengan antibiotik spektrum


luas. Antibiotik yang dipakai ; Penicilin, chlorampenicol
(chloramyetin) dan nafacillen (unipen). Bila telah diketahui bakteri
anaerob, metrodiazelo (flagyl) juga dipakai.
b. Surgery ; aspirasi atau eksisi lengkap untuk evaluasi abses.

10. Pengobatan
Dasar pengobatan penyakit abses otak adalah mengurangi efek masa
dan menghilangkan kuman penyebab. Penatalaksanaan abses otak dapat
dibagi menjadi pengobatan bedah dan konservatif. Untuk menghilangkan
penyebab dapat dilakukan operasi baik aspirasi maupun eksisi dan pemberian
antibiotik.
a. Antibiotik
Dengan ditemukannya ct-scan, banyak laporan tentang
keberhasilan pengobatan dengan antibiotik saja atau dengan kombinasi
steroid untuk mengurangi edema. Dikatakan banyak kesulitan dalam
pemberian antibiotik, karen selain harus mampu menembus sawar
darah otak, harus juga mampu juga menembus kapsul bial abses telah
berkapsul, mempunyai spektrum yang luas karena adanya berbagai
macam mikroorganisme penyebab abses. Penyuntikan antibiotik
langsung ke dalam abses tidak dianjurkan karena ini dapat
menyebabkan timbulnya fokus epileptikus. Black melaporkan bahwa
cloramfenical, penicilin dan meticilin dapat masuk ke dalam abses.

22
Ukuran abses penting dalam pengobatan ringan rantibiotik.
Rosenblun melaporkan kesembuhan abses dengan diameter kecil (
rata-rata 1-7 cm), sedangkan abses yang lebih besar intervensi bedah.
Namun demikian abses yang kesil tidak selalu sembuh bahkan dapat
membesar. Bila klinis makin jelek, ct-scan harus diulang dan bila
menunjukkan pembesaran abses harus dilakukan operasi.

Kriteria pasien yang hanya dapat doterapi dengan antibiotik adalah


sebagai berikut:
1) Diperkirakan operasi akan memperburuk keadaan
2) Abses multiple terutama yang jaraknya berjauhan satu sama lain
3) Abses disertai meningitis
4) Abses lokasinya sulit dicapai dengan operasi atau operasi
diperkirakan akan merusak fungsi vital
5) Abses yang disertai hydrosepalus yang mungkin akan terinfeksi
bila dilakukan operasi

b. Kortikosteroid
Hanya digunakan bila terdapat efek masa yang menyebabkan
manifestasi neurologis lokal dan penurunan kesadaran. Sebaiknya bila
terjadi perbaikan kesadaran status neurologi memungkinkan, maka
pemberian steroid harus segera dihentikan secara berangsur-angsur.

c. Pembedahan
Bisa berupa eksisi atau fungsi aspirasi.

Pengobatan
a. Antibiotic : Penicillin G, Chaloromphenicol, Nafcillin, Matronidazole
b. Glococorticosteroid : Dexamethasone
c. Anticonvulsants

23
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesis
1) Identitas klien; usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tgl MRS, askes dst.
2) Keluhan utama ; nyeri kepala disertai dengan penurunan
kesadaran.
3) Riwayat penyakit sekarang ; demam, anoreksi dan malaise,
peninggian tekanan intrakranial serta gejala nerologik fokal.
4) Riwayat penyakit dahulu ; pernah atau tidak menderita infeksi
telinga (otitis media, mastoiditis ) atau infeksi paru-paru
(bronkiektaksis,abses paru,empiema )jantung ( endokarditis ),
organ pelvis, gigi dan kulit.

b. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan Umum
2) Pola fungsi kesehatan :
a) Aktivitas/istirahat :
Gejala : Malaise
Tanda : Ataksia, masalah berjalan,kelumpuhan,gerakan
involunter.
b) Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi, seperti
endokarditis
Tanda : TD meningkat, nadi menurun (berhubungan
peningkatan TIK dan pengaruh pada vasomotor).
c) Eliminasi
Tanda : Adanya inkontensia dan/atau retensi.
d) Nutrisi

24
Gejala : Kehilangan nafsu makan, disfagia (pada
periode akut)
Tanda : Anoreksia,muntah, turgor kulit jelek, membran
mukosa kering.
e) Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan
perawatan diri (pada periode akut).
f) Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, parestesia, timbul kejang,
gangguan penglihatan.
Tanda : Penurunan status mental dan kesadaran,
kehilangan memori, sulit dalam mengambil keputusan,
afasia, mata : pupil unisokor (peningkatan TIK),
nistagmus, kejang umum lokal.
g) Nyeri/keamanan
Gejala : Sakit kepala mungkin akan diperburuk oleh
ketegangan; leher/punggung kaku.
Tanda : Tampak terus terjaga. Menangis/mengeluh.
h) Pernapasan
Gejala : Adanya riwayat infeksi sinus atau paru
Tanda : Peningkatan kerja pernapasan (episode awal).
Perubahan mental (letargi sampai koma) dan gelisah.
i) Keamanan
Gejala : Adanya riwayat ISPA/infeksi lain meliputi ;
mastoiditis, telinga tengah, sinus, abses gigi; infeksi
pelvis, abdomen atau kulit; fungsi lumbal, pembedahan,
fraktur pada tengkorak/cedera kepala.
Tanda : Suhu meningkat, diaforesis, menggigil.
Kelemahan secara umum; tonus otot flaksid atau
spastik; paralisis atau parese. Gangguan sensasi.

25
2. Diagnosa keperawatam
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan abses otak, yaitu:
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi
sekret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan tingkat
kesadaran.
b. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan peradangan
dan edema otak dan selaput otak
c. Nyeri kepala berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan otak
d. Resiko cedera berhubungan dengan kejang, perubahan status mental,
dan penurunan tingkat kesadaran
e. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan, hipermetabolik.
f. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan prognosisi
penyakit, perubahan psikosis, perubahan persepsi kognitif, perubahan
aktual dalam struktur dan fungsi ketidakberdayaan dan merasa tidak
ada harapan dan tidak ada teman bermain.

3. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan
tingkat kesadaran.
Tujuan : Jalan nafas kembali efektif
Kriteria hasil : Sesak nafas berkurang, frekuensi nafas normal, tidak
menggunakan otot bantu nafas, tidak terdengar ronchi, tidak terdengar
bunyi wheezing.
Intervensi :
1) Kaji fungsi paru, adanya bunyi nafas tambahan, perubahan
irama dan kedalaman, penggunaan otot-otot bantu pernafasan,
warna dan kekentalan sputum
2) Atur posisi fowler dan semifowler

26
3) Ajarkan cara batuk efektif
4) Lakukan fisioterapi dada; vibrasi dada
5) Penuhi hidrasi cairan via oral, seperti minum air putih dan
pertahankan asupan cairan 2500 ml/hari
6) Lakukan pengisapan lendir di jalan nafas

b. Perubahan perfusi jaringan otak berhubungan dengan peradangan


dan edema otak dan selaput otak
Tujuan : Perfusi jaringan otak meningkat
Kriteria hasil : Tingkat kesadaran meningkat menjadi sadar,
disorientasi negatif, konsentrasi baik, perfusi jaringan dan oksigenasi
baik, tanda-tanda vital dalam batas normal, dan syok dapat dihindari.
Intervensi :
1) Monitor klien dengan ketat terutama setelah lumbal fungsi.
Anjurkan klien berbaring minimal 4-6 jam setelah lumbal
fungsi.
2) Monitor tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial selama
perjalanan penyakit (nadi lambat, tekanan darah meningkat,
kesadaran menurun, nafas irreguler, refleks pupil menurun,
kelemahan)
3) Monitor tanda-tanda vital dan neurologis tiap 5-30 menit. Catat
dan laporkan perubahan-perubahan tekanan intrakranial.
4) Hindari posisi tungkai ditekuk atau gerakan-gerakan klien,
anjurkan untuk tirah baring.
5) Tinggikan kepala klien dengan hati-hati, cegah gerakan yang
tiba-tiba dan tidak perlu dari fleksi leher, hindari fleksi leher.
6) Bantu seluruh aktivitas dan gerakan-gerakan klien.
7) Beri penjelasan kepada klien tentang keadaan lingkungan
8) Evaluasi selama masa penyembuhan terhadap gangguan
motorik, sensorik, dan intelektual

27
9) Kolaborasi pemberian steroid osmotic.

c. Nyeri kepala berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan otak


Tujuan : keluhan nyeri berkurang/rasa sakit terkendali
Kriteria hasil : klien dapat tidur dengan tenang, wajah rileks.
Intervensi :
1) Berikan lingkungan yang aman dan tenang
2) Kompres dingin (es) pada kepala
3) Lakukan penatalaksaan nyeri dengan metode distraksi dan
relaksasi nafas dalam
4) Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan
lembut dan hati-hati
5) Kolaborasi pemberian analgetik

d. Resiko cidera berhubungan dengan kejang, perubahan status mental,


dan penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : Klien bebas dari cidera yang disebabkan oleh kejang dan
penurunan kesadaran
Kriteria Hasil : Klien tidak mengalami cidera apabila ada kejang
berulang.
Intervensi :
1) Monitor kejang pada tangan, kaki, mulut, dan otot-otot muka
lainnya
2) Persiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang,
papan pengaman, dan alat suction selalu berada dekat klien.
3) Pertahankan bedrest total selama fase akut
4) Kolaborasi pemberian terapi; diazepam, fenobarbital

e. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan


dengan ketidakmampuan menelan, hipermetabolik

28
Tujuan : Kebutuhan klien terpenuhi
Kriteria hasil : Turgor baik, asupan dapat masuk sesuai kebutuhan,
terdapat kemampuan menelan, sonde dilepas, berat badan meningkat,
Hb dan albumin dalam batas normal.
Intervensi :
1) Observasi tekstur dan turgor kulit
2) Lakukan oral hygiene
3) Observasi asupan dan keluaran
4) Observasi posisi dan keberhasilan sonde
5) Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan
refleks batuk
6) Kaji kemampuan klien dalam menelan, batuk dan adanya
secret
7) Auskultasi bising usus, amati penuruanan atau hiperaktivitas
bising usus
8) Timbang berat badan sesuai indikasi
9) Berikan makanan denagn cara meninggikan kepala
10) Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan
sesudah makan
11) Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara
manual dengan menekan ringan diatas bibir/ dibawah dagu jika
dibutuhkan
12) Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak terganggu
13) Mulailah untuk memberikan makanan per oral setengah cair
dan makanan lunak ketika klien dapat menelan air
14) Anjurkan klien menggunakan sedotan untuk minum
15) Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan cairan
melalui IV atau makanan melalui selang.

29
f. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan prognosisi
penyakit, perubahan psikosis, perubahan persepsi kognitif, perubahan
aktual dalam struktur dan fungsi ketidakberdayaan dan merasa tidak
ada harapan dan teman bermain.
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi harga diri anak meningkat, anak
menjadi nyaman dan terhibur
Kriteria hasil : Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan
orangtua tentang situasi dan perubahn yang sedang terjadi, anak dapat
bermain dan lebih tenang.
Intervensi :
1) Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan
derajat ketidakmampuan
2) Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi pada anak
3) Orangtua untuk selalu menemani anak
4) Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki
kebiasaan
5) Anjurkan orangtua yang terdekat untuk menginjikan anak
melakukan sebanyak-banyaknya hal untuk dirinya
6) Dukung perilaku atau usaha seperti peningkatan minat atau
partisipasi dalam aktivitas rehabilitasi
7) Berikan koping individu dengan mengajak anak untuk belajar
mewarnai dan menggambar.
8) Monitor gangguan tidur, peningkatan kesulitan konsentrasi,
letargi dan menarik diri
9) Kolaborasi : rujuk pada ahli neuropsikologi dan konseling bila
ada indikasi

4. Implementasi
Implementasi yang akan dilakukan disesuaikan dengan masalah yang ada
berdasarkan perencanaan yang telah disusun atau dibuat (Doenges M.E,2001).

30
5. Evaluasi
Evaluasi berdasarkan tujuan dan outcome.

a. Jalan nafas efektif dan tidak ada batuk.


b. Peradangan dan edema teratasi
c. Nyeri kepala teratasi
d. Tidak ada cidera
e. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
f. Anak menjadi lebih tenang dan mampu bersosialisasi dengan baik.

31
DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia A.2005.Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit Ed.6


vol.2. Jakarta : EGC.

Long, Barbara C. 1996 Perawatan Medikal Bedah, Suatu pendekatan proses


keperawatan. Bandung :Yayasan IAPK.

Doenges, Moorhouse. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan; Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien . Jakarta : EGC.

32

You might also like