You are on page 1of 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPEERAWATAN ASFIKSIA NEONATERUM DI RUANG TULIP

RSUD Dr.ADHYATAMA MPH TUGUREJO SEMARANG

Disusun Oleh :

SHINTA NURAINI

P1337420916028

PROGRAM STUDI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

TAHUN AJARAN 2017


A. KONSEP DASAR
1. DEFINISI
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak menangis setelah lahir yang tidak dapat
bernafas spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin
meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut.
Tujuan tindakan perawatan terhadap bayi asfiksia adalah melancarkan kelangsungan
pernafasan bayi yang sebagian besar terjadi pada waktu persalinan (Manuaba, I. B. G,
2010 cetakan ke II, hal 421).
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera
atau beberapa saat setelah lahir. Secara klinik ditandai dengan sianosis, bradikardi,
hipotonia, dan tidak ada respon terhadap rangsangan, yang secara objektif dapat
dinilai dengan skor APGAR. Keadaan ini disertai hipoksia, hiperkapnia, dan berakhir
dengan asidosis. Konsekuensi fisiologis yang terutama terjadi pada bayi dengan
asfiksia adalah depresi susunan saraf pusat dengan kriteria menurut WHO tahun 2008
didapatkan adanya gangguan neurologis berupa Hypoxic Ischaemic Enchepalopaty
(HIE), akan tetapi kelainan ini tidak dapat diketahui dengan segera. (Kosim, 1998;
Hasan, 1985; dan Depkes RI, 2005)
Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan atau persalinan. Asfixia dalam kehamilan
dapat disebabkan oleh penyakit infeksi akut atau kronis, keracunan obat bius, uremia,
toksemia gravidarum, anemia berat, cacat bawaan, atau trauma. Sementara itu,
asfiksia dalam persalinan disebabkan oleh partus yang lama, ruptura uteri, tekanan
terlalu kuat kepala anak pada plasenta, prolapsus, pemberian obat bius yang terlalu
banyak dan pada saat yang tidak tepat, plasenta previa, solusia plasenta, serta plasenta
tua (serotinus) (Nurarif, 2013). Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas
secara spontan dan teratur segera atau beberapa saat setelah lahir. Secara klinik
ditandai dengan sianosis, bradikardi, hipotonia, dan tidak ada respon terhadap
rangsangan, yang secara objektif dapat dinilai dengan skor APGAR. Keadaan ini
disertai hipoksia, hiperkapnia, dan berakhir dengan asidosis. Konsekuensi fisiologis
yang terutama terjadi pada bayi dengan asfiksia adalah depresi susunan saraf pusat
dengan kriteria menurut WHO tahun 2008 didapatkan adanya gangguan neurologis
berupa Hypoxic Ischaemic Enchepalopaty (HIE), akan tetapi kelainan ini tidak dapat
diketahui dengan segera. (Kosim, 1998; Hasan, 1985; dan Depkes RI, 2005)
Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan atau persalinan. Asfixia dalam kehamilan
dapat disebabkan oleh penyakit infeksi akut atau kronis, keracunan obat bius, uremia,
toksemia gravidarum, anemia berat, cacat bawaan, atau trauma. Sementara itu,
asfiksia dalam persalinan disebabkan oleh partus yang lama, ruptura uteri, tekanan
terlalu kuat kepala anak pada plasenta, prolapsus, pemberian obat bius yang terlalu
banyak dan pada saat yang tidak tepat, plasenta previa, solusia plasenta, serta plasenta
tua (serotinus) (Nurarif, 2013).

2. ETIOLOGI
Asfiksia dapat terjadi karena beberapa faktor (Nurarif, 2013).
a. Faktor ibu
Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui plasenta
berkurang. Akibatnya, aliran oksigen ke janin juga berkurang dan dapat
menyebabkan gawat janin dan akhirnya terjadilah asfiksia. Berikut merupakan
keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia pada bayi baru lahir (Depkes
RI, 2005 dan Nurarif, 2013):
1) Preeklamsia dan eklamsia
2) Demam selama persalinan
3) Kehamilan postmatur
4) Hipoksia ibu
5) Gangguan aliran darah fetus, meliputi : gangguan kontraksi uterus pada
hipertoni, hipotoni, tetani uteri, hipotensi mendadak pada ibu karena
perdarahan, hipertensi pada penyakit toksemia
6) Primi tua, DM, anemia, riwayat lahir mati, dan ketuban pecah dini
b. Faktor plasenta
Keadaan berikut ini berakibat pada penurunan aliran darah dan oksigen melalui
tali pusat ke bayi, sehingga bayi mungkin mengalami asfiksia (Depkes RI, 2005
dan Nurarif, 2013):
1) Abruptio plasenta
2) Solutio plasenta
3) Plasenta previa
c. Faktor fetus
Pada keadaan berikut bayi mungkin mengalami asfiksia walaupun tanpa didahului
tanda gawat janin (Depkes RI, 2005 dan Nurarif, 2013):
1) Air ketuban bercampur dengan mekonium
2) Lilitan tali pusat
3) Tali pusat pendek atau layu
4) Prolapsus tali pusat
d. Faktor persalinan
Keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia yaitu (Nurarif, 2013):
1) Persalinan kala II lama
2) Pemberian analgetik dan anastesi pada operasi caesar yang berlebihan sehingga
menyebabkan depresi pernapasan pada bayi
e. Faktor neonatus
Berikut merupakan kondisi bayi yang mungkin mengalami asfiksia (Nurarif,
2013):
1) Bayi preterm (belum genap 37 minggu kehamilan) dan bayi posterm
2) Persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum,
forsep)
3) Kelainan konginetal seperti hernia diafragmatika, atresia/stenosis saluran
pernapasan, hipoplasi paru, dll.
4) Trauma lahir sehingga mengakibatkan perdarahan intracranial

Faktor Resiko
Faktor resiko yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu faktor maternal, plasenta-
tali pusat, dan fetus atau neonatus (Volpe, 2001; Aurora, 2004; dan Levene, 2005) :
a. Kelainan maternal, dapat meliputi hipertensi, peyakit vaskular, diabetes, drug abuse,
penyakit jantung, paru, gangguan susunan saraf pusat, hipotensi, ruptura uteri, tetani
uteri, panggul sempit.
b. Kelainan plasenta dan tali pusat, meliputi infark dan fibrosis plasenta, prolaps atau
kompresi tali pusat, kelainan pembuluh darah umbilikus.
c. Kelainan fetus atau neonatus meliputi anemia, hidrops, infeksi, pertumbuhan janin
terhambat, serotinus.
Selain itu, kurangnya kesadaran calon ibu untuk melakukan ANC, status nutrisi yang
rendah, perdarahan saat melahirkan, dan infeksi saat kehamilan juga merupakan faktor
resiko terjadinya asfiksia. Ditambah lagi dengan letak bayi sungsang dan kelahiran
dengan berat bayi kurang dari 2500 gram, maka akan memperburuk keadaan dan
meningkatkan resiko asfiksia (Majeed, 2007 dan Pitsawong, 2011). Namun sayangnya,
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ogunlesi dkk (2013) dinyatakan bahwa
dari 354 orang responden yang diteliti, hampir seluruhnya tidak mengetahui faktor
resiko terjadinya asfiksia (Ongunlesi, 2013).

3. PATOFISIOLOGI
Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin dan plasenta. Adanya hipoksia
dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia pada janin.
Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia.
Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan terhadap
nervus vagus sehingga DJJ (Denyut Jantung Janin) menjadi lambat. Jika kekurangan
O2 terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini
rangsangan dari nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya
ireguler dan menghilang.
Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa kemudian
terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi
atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang. Apabila asfiksia berlanjut,
gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantung mulai menurun sedangkan tonus
neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apneu
primer. Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut
jantung terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan
terluhat lemas (flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki
periode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan
kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap
rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian
akan terjadi jika resusitasi dengan pernafasan buatan dan pemberian tidak dimulai
segera. (Aziz, 2010)

4. PATHWAYS

Paralisis pusat pernapasan Persalinan lama, lilitan tali Faktor lain : obat-obatan
pusat, presentasi janin
abnormal

ASFIKSIA

Janin kekurangan O2 dan Paru-paru terisi cairan


kadar CO2 meningkat

Bersihan Jalan Napas Gangguan metabolisme dan


Tidak Efektif perubahan asam basa

Suplai O2 dalam darah Suplai O2 dalam paru Asidosis respiratorik

Resiko Kerusakan otak Gangguan perfusi-ventilasi


Ketidakseimbangan
Suhu Tubuh Napas cuping hidung,
sianosis, hipoksia

Napas cepat
Gangguan Pertukaran Gas

Apneu

DJJ dan TD Kematian bayi Resiko Cidera

Ketidakefektifan Pola Proses Keluarga


Napas Terhenti

Janin tidak bereaksi Resiko Sindrom


terhadap rangsangan Kematian Bayi
Mendadak

Gambar 1. Bagan Patofisiologi Asfiksia


5. MANIFESTASI
Asfiksia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu asfiksia pallida dan asfiksia livida
dengan masing-masing manifestasi klinis sebagai berikut (Nurarif, 2013):
Tabel 1. Karakteristik Asfiksia Pallida dan Asfiksia Livida
Perbedaan Asfiksia Pallida Asfiksia Livida
Warna Kulit Pucat Kebiru-
biruan
Tonus Otot Sudah kurang Masih baik
Reaksi Rangsangan Negatif Positif
Bunyi Jantung Tidak teratur Masih
teratur
Prognosis Jelek Lebih baik

Klasifikasi asfiksia dapat ditentukan berdasarkan nilai APGAR (Nurarif, 2013).


Tabel 2. APGAR score
Tanda Nilai
0 1 2
A : Appearance Biru/pucat Tubuh kemerahan, Tubuh dan
(color/warna kulit) ekstremitas biru ekstremitas
kemerahan
P : Pulse (heart Tidak ada < 100x per menit >1100x per menit
rate/denyut nadi)
G : Grimance Tidak ada Gerakan sedikit Menangis
(reflek)
A : Activity (tonus Lumpuh Fleksi lemah Aktif
otot)
R : Respiration Tidak ada Lemah, merintih Tangisan kuat
(usaha bernapas)

Bayi akan dikatakan mengalami asfiksia berat jika APGAR score berada pada
rentang 0-3, asfiksia sedang dengan nilai APGAR 4-6, dan bayi normal atau dengan
sedikit asfiksia jika APGAR score berada pada rentang 7-10 (Nurarif, 2013).
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosisa asfiksia
pada bayi baru lahir menurut Prawirohardjo (2005), yaitu:
1) Denyut Jantung Janin
Frekuensi normal adalah antara 120 dan 160 denyutan dalam semenit. Selama his
frekuensi ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula.
Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi
apabila frekuensi turun sampai dibawah 100 semenit di luar his, dan lebih-lebih
jika tidak teratur, hal ini merupakan tanda bahaya.
2) Mekonium Dalam Air Ketuban
Pada presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenasi dan harus
menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi
kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat
dilakukan dengan mudah.
3) Pemeriksaan Darah Janin
Alat yang digunakan : amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan
kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa
pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai
di bawah 7.2, hal itu dianggap sebagai tanda bahaya. Selain itu kelahiran bayi
yang telah menunjukkan tanda-tanda gawat janin mungkin disertai dengan
asfiksia neonatorum, sehingga perlu diadakan persiapan untuk menghadapi
keadaan tersebut jika terdapat asfiksia, tingkatnya perlu dikenal untuk dapat
melakukan resusitasi yang sempurna. Untuk hal ini diperlukan cara penilaian
menurut APGAR.
4) Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin meliputi hemoglobin/hematokrit (HB/ Ht) : kadar Hb 15-
20 gr dan Ht 43%-61%), analisa gas darah dan serum elektrolit.
5) Tes combs langsung pada daerah tali pusat. Menentukan adanya kompleks
antigen-antibodi pada membran sel darah merah, menunjukkan kondisi hemolitik.
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
Asfiksia merupakan kejadian kegawatan pada janin sehingga memerlukan tindakan
yang cepat. Adapun prosedur pertolongan bayi dengan asfiksia adalah sebagai berikut
(Depkes RI, 2005):

PENILAIAN :
Bayi tidak menangis, tidak bernapas atau megap-megap

LANGKAH AWAL (dilakukan dalam 30 detik) :


1). Jaga bayi tetap hangat, 2). Atur posisi bayi : leher agak ekstensi, 3). Isap lendir,
4). Keringkan dan rangsang taktil, 5). Reposisi
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Penilaian apakan bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur

Ya Tidak

VENTILASI :
1. Pasang sungkup, perhatikan lekatan
2. Ventilasi 2 kali dengan tekanan 30 cm air, amati gerakan dada bayi
3. Bila dada bayi mengembang, lakukan ventilasi 20 kali dengan tekanan 20
cm air dalam 30 detik
------------------------------------------------------------------------------------------
4. Penilaian apakan bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur

Ya Tidak

Lanjutkan ventilasi, hentikan tiap 30 detik


--------------------------------------------------------------------------
Penilaian apakan bayi menangis atau bernapas spontan dan
teratur

Ya Tidak

Setelah ventilasi selama 2 menit tidak berhasil, siapkan rujukan


ASUHAN PASCA RESUSITASI :
1. Jaga bayi agar tetap hangat Bila bayi tidak bisa dirujuk dan tidak bisa bernapas, hentikan ventilasi
2. Lakukan pemantauan setelah 20 menit
3. Konseling
4. Pencatatan
Konseling dukungan emosional dan pencatatan bayi meninggal

Gambar 2. Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir


Pada pertolongan persalinan, setiap petugas perlu mengetahui apakah bayi
mempunyai resiko mengalami asfiksia. Pada keadaan tersebut, bicarakan dengan ibu
dan keluarganya kemungkinan diperlukannya tindakan resusitasi. Akan tetapi, pada
keadaan tanpa faktor resiko pun beberapa bayi dapat mengalami asfiksia. Oleh
karena itu, petugas harus siap melakukan resusitasi bayi setiap melakukan
pertolongan persalinan (Depkes RI, 2005).
Tahap persiapan meliputi (Depkes RI, 2005):
a. Persiapan keluarga
Bicarakan dengan keluarga mengenai kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
pada ibu dan bayi sebelum menolong persalinan.
b. Persiapan tempat
Tempat untuk resusitasi harus hangat, terang, rata, keras, bersih, kering, sebaiknya
dekat pemancar panas, dan tidak berangin.
c. Persiapan alat resusitasi
Alat yang digunakan meliputi :
1) Kain ke 1 : untuk mengeringkan bayi
2) Kain ke 2 : untuk membungkus bayi
3) Kain ke 3 : untuk mengganjal bahu bayi
4) Alat pengisap lendir
5) Tabung dan sungkup
6) Kotak alat resusitasi
7) Handscun
8) Stopwatch atau jam tangan
d. Persiapan diri
Penolong harus mencuci tangan dan menggunakan APD sebelum menolong
persalinan. Keputusan melakukan resusitasi dinilai dari kondisi bayi tidak
bernapas atau bernapas megap-megap. Selain itu, resusitasi juga dilakukan jika air
ketuban bercampur dengan mekonium. Dalam manajemen asfiksia, proses
penilaian sebagai dasar pengambilan keputusan bukanlah suatu proses sesaat yang
dilakukan hanya satu kali. Pada setiap tahapan manajemen asfiksia senantiasa
dilakukan penilaian untuk membuat keputusan, tindakan apa yang tepat untuk
dilakukan (Depkes RI, 2005).
Setelah dilakukan resusitasi, maka bayi baru lahir dengan asfiksia diberikan
asuhan pasca resusitasi. Asuhan pasca resusitasi merupakan perawatan intensif
selama 2 jam pertama. Asuhan yang diberikan sesuai dengan hasil resusitasi,
meliputi (Depkes RI, 2005 dan Agarwal, 2008):
e. Bila resusitasi berhasil
Hal yang pertama kali dilakukan setelah resusitasi berhasil yaitu
memindahkan bayi ke ruangan bayi dan menjaga bayi agar tetap hangat.
Kemudian lakukan monitoring tanda-tanda vital secara berkala. Lakukan juga
pemeriksaan analisa gas darah, kadar gula darah, hematokrit, dan kadar kalsium.
Sementara itu, berikan konseling kepada ibu terkait pemberian ASI, menjaga
kehangatan bayi dengan teknik Kangoroo Mother Care, dan jelaskan kepada ibu
bagaimana tanda-tanda bahaya pada bayi baru lahir. Selain itu, selalu monitor
warna kulit, suhu, dan respirasi rate minimal pada dua jam pertama, serta
lakukan pencatatan atau dokumentasi.
f. Bila perlu rujukan
Bayi perlu rujukan jika :
1) RR < 30x per menit, atau > 60x per menit
2) Adanya tarikan dinding dada
3) Bayi merintih (ada bunyi napas saat ekspirasi) atau megap-megap (ada bunyi
napas saat inspirasi)
4) Tubuh bayi pucat atau kebiruan
5) Bayi lemas
6) Siapkan surat rujukan dan lakukan pencatatan atau dokumentasi setiap kali
selesai melakukan tindakan.
g. Bila resusitasi tidak berhasil
1) Lakukan konseling berupa pemberian dukungan moral kepada keluarga yang
kehilangan. Ibu akan merasa sedih, bahkan menangis. Perubahan hormon
setelah kehamilan mungkin menyebabkan perasaan ibu sangat sensitif.
Jelaskan kepada ibu dan keluarga bahwa ibu memerlukan istirahat, dukungan
moral, dan makanan bergizi.
2) Berikan asuhan tindak lanjut berupa kunjungan nifas.
3) Lakukan pencatatan atau dokumentasi
Ada beberapa hal yang tidak dianjurkan dilakukan terhadap bayi dengan
asfiksia. Berikut adalah tindakan-tindakan yang sebaiknya dihindari saat
melakukan pertolongan kepada bayi dengan asfiksia beserta akibat yang
ditimbulkannya (Depkes RI, 2001) :
Tabel 3. Tindakan yang Tidak Dianjurkan dan Akibat yang Mungkin
Ditimbulkannya
Tindakan Akibat
Menepuk bokong Trauma dan melukai
Menekan rongga dada Fraktur, pneumototaks, gawat napas,
kematian
Menekankan paha ke perut bayi Ruptura hepar atau lien, perdarahan
Mendilatasi sfingter ani Robek atau luka pada sfingter
Kompres dingin atau panas Hipotermi, luka bakar
Meniupkan oksigen atau udara dingin Hipotermi
ke muka atau tubuh bayi
Berdasarkan penelitian oleh Berglund dkk (2008) dinyatakan bahwa kepatuhan
terhadap protap penatalaksanaan atau manajemen asfiksia bayi baru lahir masih
rendah dan harus ditingkatkan, terutama menyangkut tindakan ventilasi.
Pendokumentasian juga harus diperbaiki agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan (Berglund, 2008).
Penatalaksanaan dari sisi medikamentosa dapat dilakukan dengan (Depkes RI,
2005 dan IAI, 2012):
a. Cairan penambah volume darah
Cairan diberikan jika bayi terlihat pucat, kehilangan darah, dan atau tidak
memberikan respon yang memuaskan terhadap resusitasi. Cairan yang dipakai
dapat berupa garam fisiologis (dianjurkan), ringer laktat, dan dapat juga berupa
darah O-negatif dengan dosis 10 ml/kgBB/5-10 menit melalui jalur vena
umbilikalis.
b. Epinefrin
Epinefrin diberikan setelah VTP (ventilasi tekanan positif) 30 detik dan
VTP+kompresi dada selama 30 detik tidak memberikan hasil positif sehingga
frekuensi jantung tetap > 60 kali per menit. Dosis yang diberikan sebanyak 0,1
s.d. 0,3 ml/kgBB melalui rute IV dengan pengenceran 1 : 10.000 dan diberikan
secepat mungkin.
c. Natrium bikarbonat
Hanya diberikan jika dicurigai terjadinya asidosis metabolik atau terbukti
sudah terjadi asidosis metabolik. Dosis pemberian yaitu sebanyak 2 mEq/kgBB
(larutan 4,2%) melalui jalur vena umbilikus dengan kecepatan < 1
mEq/kgBB/menit. Natrium bikarbonat tidak boleh diberikan jika ventilasi
masih belum adekuat.
Penelitian yang dilakukan oleh Gregorio dkk (2011) menyatakan bahwa
ternyata kafein dapat digunakan untuk penanganan apneu pada bayi baru lahir
prematur sehubungan dengan belum matangnya sistem saraf pada bayi
tersebut. Dinyatakan bahwa kafein memiliki toksisitas yang rendah dan waktu
paruh yang panjang. Beberapa penelitian juga melaporkan beberapa
kemungkinan menarik dari efek yang dihasilkan oleh kafein, seperti efek
perlindungan kafein terhadap otak dan paru-paru (Gregorio, 2011).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Gathwala dkk (2010) menyatakan
bahwa pemberian magnesium dalam dosis tertentu kepada bayi dengan asfiksia
berat dapat memberikan perlindungan terhadap sistem saraf bayi. Ion
magnesium mempunyai reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) yang dapat
melindungi otak dari kerusakan lebih lanjut akibat asfiksia (Gathwala, 2010).

8. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat mengenai beberapa organ pada bayi, diantaranya adalah sebagai
berikut (Karlsson, 2008) :
a. Otak : hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis
b. Jantung dan paru : hipertensi pulmonal persiste pada neonatus, perdarahan paru,
edema paru
c. Gastrointestinal : enterokolitis nekotikos
d. Ginjal : tubular nekrosis akut, SIADH, anuria atau oliguria (< 1 ml/kg/jam) untuk
24 jam atau lebih dan kreatinin serum > 100 mmol/L
e. Hematologi : DIC
f. Hepar : aspartate amino transferase > 100 U/L, atau alanine amino transferase >
100 U/L sejak minggu pertama kelahiran
Komplikasi yang khas pada asfiksia neonatorum yaitu Enselopati Neonatal atau
Hipoksik Iskemik Enselopati yang merupakan sindroma klinis berupa gangguan
fungsi neurologis pada hari-hari awal kehidupan bayi aterm (Moster, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Azzopardi dkk (2009) serta penelitian oleh
Wintermark dkk (2011) menyatakan bahwa meskipun induksi hipotermia sedang
selama 72 jam pada bayi dengan asfiksia neonatorum tidak secara signifikan
mengurangi tingkat kematian maupun cacat berat, tetapi menghasilkan pengaruh baik
terhadap sistem saraf pada bayi yang selamat (Azzopardi, 2009 dan Wintermark,
2011)

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
Hal-hal yang dikaji pada bayi baru lahir dengan asfiksia setelah tindakan resusitasi
meliputi (Carpenito, 2007 dan Mansjoer, 2000) :
a. Sirkulasi
Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110-180 kali per menit. Tekanan darah 60-80
mmHg sistolik dan 40-45 mmHg diastolic.
1) Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas maksimal tepat di
kiri dari mediasternum pada ruang intercostae III/IV
2) Mur-mur biasanya terjadi pada selama beberapa jam pertama kehidupan
3) Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1 vena
b. Eleminasi
Dapat berkemih saat lahir
c. Makanan atau cairan (status nutrisi)
1) Berat badan : 2500-4000 gram
2) Panjang badan : 44-45 cm
3) Turgor kulit elastis (bervariasi sesuai dengan gestasi
d. Neurosensori
1) Tonus otot : fleksi hipertonik dari semua ekstremitas
2) Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama 30 menit pertama
setelah kelahiran (periode pertama reaktivitas). Penampilan asimetris (molding,
edema, hematoma)
3) Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi menunjukkan
abnormalitas genetik, hipoglikemia, atau efek nekrotik)
e. Pernapasan
1) APGAR score optimal : antara 7 s.d. 10
2) Rentang RR normal dari 30-60 kali per menit, pola periodik dapat terlihat
3) Bunyi napas bilateral, kadang-kadang krekels umum awalnya silidrik thorax :
kertilago xifoid menonjol umum terjadi
f. Keamanan
Suhu normal pada 36,5 s.d. 37,5 0C. Ada verniks (jumlah dan distribusi tergantung
pada usia gestasi
g. Kulit
Kulit lembut, fleksibel, pengelupasan kulit pada tangan atau kakai dapat terlihat,
warna merah muda atau kemerahan, mungkin belang-belang menunjukkan memar
minor (misal : kelahiran dengan forseps), atau perubahan warna herliquin, petekie
pada kepala atau wajah (dapat menunjukkan peningkatan tekanan berkenaan
dengan kelahiran atau tanda nukhal), bercak portuine, telengiektasis ( kelopak
mata, antara alis dan mata, atau pada nukhal), atau bercak mongolia (terutama
punggung bawah dan bokong) dapat terlihat.Abrasi kulit kepala mungkin ada
(penampakan elektroda internal)

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan janin dalam kandungan kekurangan
02 dan kadar co2 meningkat yang ditandai dengan apnea, bayi tidak menunjukkan
bernafas spontan,tekanan darah menurun,bayi tidak bereaksi terhadap
rangsangan,denyut jantung janin lambat,bayi terlihat lemas.
b. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan ganguan perfusi ventilasi di
tandai dengan sianosis, pernafasan cuping hidung, takikardi dan pH arteri
menurun.
c. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan adaanya
kemungkinan hipovolemia atau kematian jaringan
d. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya infeksi nosokomial dan respon imun
yang terganggu.
3. PERENCANAAN KEPERAWATAN

D TGL DX TUJUAN & KH INTERVENSI RASIONAL


X
1 Pola nafas tidak Tujuan : Pola nafas 1. Observasi ttv terutama irama, 1. Mengetahui status
efektif tetap paten atau efektif kedalaman dan frekuensi nafas pernafasan
berhubungan Kriteria hasil: 2. Pertahankan jalan nafas tetap 2. Jalan nafas yang baik dapat
dengan janin 1.Kecepatan dan irama baik menjamin lancarnya proses
dalam respirasi dalam batas 3. Berikan rangsangan taktil inspirasi dan ekspirasi
kandungan normal 4. Ajarkan keluarga untuk 3. rangsangan taktil dapat
kekurangan 02 2. Tidak adanya bunyi menempatkan bayi pada posisi merangsang terjadinya
dan kadar co2 nafas tambahan terlentang dengan leher sedikit usaha nafas spontan
meningkat yang 3.Denyut jantung bayi ekstensi dan hidung menghadap 4. untuk mencegah adanya
ditandai dengan normal ke atas penyempitan jalan nafas
apnea, bayi 4.Bayi bereaksi terhadap 5. Kolaborasi pemberian O2 sesuai 5. Mengetahui perkembangan
tidak rangsangan indikasi oksigen pemberian O2 dapat
menunjukkan 5. Bayi menunjukkan 6. Kolaborasi dalam pemeriksaan mencegah terjadinya
bernafas upaya bernafas spontan AGD metabolisme anaerob
spontan,tekanan 6. Ekspansi dada simetris 6. Mengetahui perkembangan
darah oksigen
menurun,bayi
tidak bereaksi
terhadap
rangsangan,deny
ut jantung janin
lambat,bayi
terlihat lemas
2 Gangguan Tujuan : Diharapkan 1. Observasi pola napas. Catat 1. Pasien pada ventilator dapat
pertukaran gas gangguan pertukaran gas frekuensi pernapasan, jarak antara mengalami
yang pasien dapat teratasi. pernapasan spontan dan napas hiperventilasi/hipoventilasi.
berhubungan Criteria hasil: ventilator. Dispnea dan berupaya
dengan ganguan 1.Membuat atau 2. Auskultasi dada secara memperbaiki kekurangan
perfusi ventilasi mempertahankan pola periodik, catat dengan bernapas berlebihan.
di tandai dengan pernapasan efektif adanya/takadanyadan kualitas 2. Memberikan informasi tentang
sianosis, melalui ventilator dengan bunyi napas, bunyi napas aliran udara melalui
pernafasan tanpa penggunaan otot tambahan, juga simetrisitas trakeobronkial dan
cuping hidung, pernapasan aksesori, gerakan dada. adanya/takadanya cairan,
takikardi dan pH sianosis atau tanda lain 3. Tinggikan posisi kepala bayi obstruksimukosa.
arteri menurun. hipoksia, saturasi oksigen dengan menggunakan bantal. 3. Peninggian kepala pasien atau
dalam rentang normal. 4. Periksa kecepatan interval turun dari tempat tidur
2.Berpartisipasi dalam napas panjang (biasanya 1,5 sementara masih ada ventilator
upaya penyapihan( sampai 2 kali volume tidal ). secara fisik dan psikologi
dengantepat ) dalam 5. Awasi rasio inspirasi dan menguntungkan.
kemapuan individu. ekspirasi( I:E ). 4. Napas panjang meningkatkan
3.Menunjukkan perilaku 6. Bila bayi sudah mulai bernafas ventilasi maksimal alveoli untuk
untuk mempertahankan tetapi masih sianosis berikan mencegah atau menurunkan
fungsi pernapasan. narium bikarbonat 7.5% atelektasis dan meningkatkan
sebanyak 6cc. dekstrosa 40% secret.
sebanyak 4cc disuntikkan 5. Fase ekspirasi biasanya dua kali
malalui vena umbilicus secara panjangnya dari kecepatan
perlahan lahan. inspirasi, tetapi lebih lama untuk
mengkonsumsi jebakan udara
untuk memperbaiki pertukaran
gas pada pasien.
6. Untuk mencegah tekanan
intracranial meningkat
3 Risiko Tujuan : Risiko 1. auskultasi frekuensi dan irama 1. takikardi sebagai akibat sebagai
ketidakefektifan ketidakefektifan perfusi jantung. Catat terjadinya bunyi hipoksimia dan kompensasi
perfusi jaringan jaringan otak dapat jantung ekstra upaya peningkatan aliran darah
otak yang diatasi 2. .observasi warna dan suhu kulit dan perfusi jaringan. Gangguan
berhubungan Kriteria Hasil : atau membrane mukosa irama berhubungan dengan
dengan adaanya 1. irama jantung ataau 3. ukur haluaran urine dan catat hipoksemia,ketidakseimbangan
kemungkinan frekuensi dan nadi perifer berat jenisnya elektrolit,dan atau peningkatan
hipovolemia dalam batas normal 4. anjurkan keluarga untuk ikut peregangan jantung kanan bunyi
atau kematian 2.tidak adanya sianosis memantau keadaan pasien jantung ekstra misalnya S3 dan
jaringan sentral atau perifer 5. berikan cairan (IV/ per oral) S4 terlihat sebagai peningkatan
3.kulit hangat atau kering sesuai indikasi kerja jantung atau terjadinya
4.haluaran urine dan dekompensasi.
berat jenis dalam batas 2. kulit
normal pucat/sianosis,kuku,membrane
bibir atau lidah.,atau dingin,kulit
burik menunjukkan
vasokontriksi perifer (syok) dan
atau gangguan darah sistemik.
3. syok lanjut atau penurunan
curah jantung menimbulkan
penurunan perfusi ginjal.
Dimanifestasikan oleh
penurunan haluaran urine
dengan berat jenis normal atau
meningkat.
4. untuk mengurangi terjadinya
resiko perfusi jaringan
5. peningkatan cairan diperlukan
untuk menurunkan
hipervsikositas darah (potensial
pembentukan thrombus ) atau
mendukung volume sirkulasi
atau perfusi jaringan.
4 Risiko infeksi Tujuan : resiko 1. Observasi keadaan umum dan 1. demam mengindikasikan efek
berhubungan infeksi dapat teratasi tanda tanda vital dari endotoksin dan endorphin
dengan adanya Kriteria hasil : 2. Berikan isolasi atau pantau yang melepaskan tirogen.
infeksi pengunjung Hipotermi adalah tanda
nosokomial dan 3. Batasi penggunaan alat atau genting yang merefleksikan
respon imun prosedur infasif perkembangan status syok atau
yang terganggu. 4. Ajarkan keluarga pasien untuk penurunan perfusi jaringan
mencuci tangan sebelum dan 2. isolasi/pembatasan
sesudah melakukan aktifitas pengunjung dibutuhkan untuk
yang melibatkan pasien (bayi) melindungi pasien
5. Kolaborasi dengan laboratorium imunosupresi mengurangi
mengambil specimendarah resiko kemungkinan infeksi
urine dan feses bayi 3. mengurangu jumlah lokasi
yang dapat menjadi tempat
masuk organism
4. untuk mengurangi kontaminasi
silang
5. untuk mengidentifikasi portal
entry dan organisme
kemungkinan infeksi.
4. IMPLEMENTASI
Merupakan langkah keempat dalam tahap proses keperawatan dengan
melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah
direncanakan dalam rencanan tindakan keperawatan. (Aziz Alimul, 2009)

5. EVALUASI KEPERAWATAN
a. Pola nafas tetap paten atau efektif
b. Diharapkan gangguan pertukaran gas pasien dapat teratasi.
c. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak dapat diatasi
d. Resiko infeksi dapat teratasi
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, LJ.2007. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis. Jakarta : EGC

Departemen Kesehatan RI. 2005. Manajemen Asfiksia Bayi Baru Lahir untuk Bidan. Jakarta :
Depkes RI.

Gathwala G, Khera A, Singh J, Balhara B. 2010. Magnesium for Neuroprotection in Birth


Asphyxia. Jornal of Pediatric Neurosciences : (5); 102-4.

Hasan R, Alatas H. 1985. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FK-UI.

Ikatan Apoteker Indonesia. 2012. Informasi Sesialite Obat Indonesia volume 47. Jakarta : ISFI
Penerbitan.

Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3
Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.

NANDA International. 2009. Nursing Diagnosis: Definition and Classification 2009-2011.


USA: Willey Blackwell Publication.

Nurarif AH, Kusuma H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis,
NANDA, dan NIC-NOC. Yogyakarta : Media Action.

You might also like