You are on page 1of 19

BAB II

TINJAUAN PUSTTAKA

2.1 Diabetes Melitus

DM merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan timbulnya

hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin. Hal ini terkait dengan kelainan

pada karbohidrat, metabolism lemak dan protein (Palaian, et al., 2005).

Hiperglikemia kronik dan gangguan metabolik DM lainnya akan menyebabkan

kerusakan jaringan dan organ, seperti mata, ginjal, syaraf, dan system vaskular

(Cavallerano, 2009).

2.1.1 Etiologi

DM dicirikan dengan peningkatan sirkulasi konsentrasi glukosa akibat

metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang abnormal dan berbagai

komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Semua keadaan diabetes

merupakan akibat suplai insulin atau respon jaringan terhadap insulin yang tidak

adekuat (Inzucchi, 2005), ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi DM

bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dan jenis yang berbeda akhirnya akan

mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang

peranan penting pada mayoritas penderita DM. Manifestasi klinis DM terjadi jika

lebih dari 90% sel-sel beta telah rusak. Pada DM yang lebih berat, sel-sel beta

Universitas Sumatera Utara


telah rusak semuanya, sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan

metabolik yang berkaitan dengan defisiensi insulin (Anonim, 1999).

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (2008), terbagi 4

bagian yaitu:

a. Diabetes tipe 1

DM tipe 1 (tergantung insulin), DM ini disebabkan kerusakan sekresi

produksi insulin sel-sel beta pankreas, sehingga penurun insulin sangat cepat

sampai akhirnya tidak ada lagi yang disekresi. Oleh karena itu dalam

penatalaksanaannya substitusi insulin tidak dapat dielakkan (disebut diabetes yang

tergantung insulin).

b. Diabetes tipe 2

DM tipe 2 (tak tergantung insulin), adalah DM yang lebih umum,

penderitanya lebih banyak dibandingkan DM tipe 1. Penderita DM tipe 2

mencapai 90-9 % dari keseluruhan populasi penderita diabetes. DM tipe 2 sering

terjadi pada usia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini di kalangan remaja dan

anak-anak populasi penderita DM tipe 2 meningkat. Berbeda dengan DM tipe 1,

pada DM tipe 2 terutama penderita DM tipe 2 pada tahap awal umumnya dapat

dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa

yang juga tinggi. DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,

tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespons insulin

Universitas Sumatera Utara


secara normal. Keadaan ini lazim disebut resistensi insulin. Obesitas atau

kegemukan sering dikaitkan dengan penderita DM tipe 2.

c. Diabetes gestational

DM ini adalah intoleransi glukosa yang mulai timbul atau mulai diketahui

selama pasien hamil. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon disertai

pengaruh metaboliknya terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan merupakan

keadaan diabetogenik.

d. Diabetes spesifik

DM ini disebabkan defekasi genetik fungsi sel-sel beta, defekasi genetik

kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, DM karena obat, DM

karena infeksi, DM imunologi dan sindrom genetik.

2.1.3 Gejala dan Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala khas berupa

poliuria, polidispia, lemas dan berat badan menurun. Gejala lain yang mungkin

dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensia pada

pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan dan gejala khas,

ditemukan pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk

menegakkan diagnosis DM. Umumnya hasil pemeriksaan satu kali saja glukosa

darah sewaktu abnormal belum cukup kuat untuk diagnosis klinis DM (Perkeni,

2002). Berikut adalah kriteria penegakan diagnosis DM (Tabel 1.1).

Tabel 1.1 Kriteria penegakan diagnosis

Universitas Sumatera Utara


Glukosa plasma 2 jam
Glukosa plasma puasa
setelah makan

Normal <100 mg/dl <140 mg/dl

Pra-diabetes 100-125 mg/dl -

Diabetes >126 mg/dl 200 mg/dl

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi

akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua

kategori, yaitu :

a. Komplikasi akut

i. Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah

nilai normal (< 50 mg/dl). Gejala umum hipoglikemia adalah

lapar, gemetar, mengeluarkan keringat, berdebar-debar, pusing,

pandangan menjadi gelap, gelisah serta bisa koma. Apabila

tidak segera ditolong akan terjadi kerusakan otak dan akhirnya

kematian. Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan

sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak

berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan. Hipoglikemia

lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat

dialami 1-2 kali per minggu, survei yang dilakukan di Inggris

diperkirakan 2-4% kematian pada penderita DM tipe 1

disebabkan oleh serangan hipoglikemia.

ii. Hiperglikemia, hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah

meningkat secara tiba-tiba. Gejala hiperglikemia adalah

poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah, dan

Universitas Sumatera Utara


pandangan kabur. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat

berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya,

antara lain ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non

Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis. Ketoasidosis diabetik

diartikan tubuh sangat kekurangan insulin dan sifatnya

mendadak. Akibatnya metabolisme tubuh pun berubah.

Kebutuhan tubuh terpenuhi setelah sel lemak pecah dan

membentuk senyawa keton, keton akan terbawa dalam urin dan

dapat dicium baunya saat bernafas. Akibat akhir adalah darah

menjadi asam, jaringan tubuh rusak, tak sadarkan diri dan

mengalami koma. Komplikasi KHNK adalah terjadi dehidrasi

berat, hipertensi, dan syok. Komplikasi ini diartikan suatu

keadaan tubuh tanpa penimbunan lemak, sehingga penderita

tidak menunjukkan pernafasan yang cepat dan dalam,

sedangkan kemolakto asidosis diartikan sebagai suatu keadaan

tubuh dengan asam laktat tidak berubah menjadi karbohidrat.

Akibatnya kadar asam laktat dalam darah meningkat

(hiperlaktatemia) dan akhirnya menimbulkan koma.

b. Komplikasi kronis

i. Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler yang

umum berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak

(pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami penyakit

jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke.

Pencegahan komplikasi makrovaskuler sangat penting

Universitas Sumatera Utara


dilakukan, maka penderita harus dengan sadar mengatur gaya

hidup termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet gizi

seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, dan mengurangi

stress.

ii. Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama

terjadi pada penderita DM tipe 1. Hiperglikemia yang persisten

dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c)

menyebabkan dinding pembuluh darah semakin lemah dan

menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil, seperti

nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan

amputasi (Anonim, 2006).

2.1.4 Penatalaksanaan

Menurut PERKENI terdapat dua macam penatalaksanaan DM, yaitu :

a. Terapi tanpa obat

i. Pengaturan diet, diet yang baik merupakan kunci keberhasilan

terapi diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan

komposisi seimbang terkait dengan karbohidrat, protein, dan

lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status

gizi, umur, stres akut, dan kegiatan fisik yang pada dasarnya

ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan berat badan

ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat

mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel

beta terhadap stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian

Universitas Sumatera Utara


dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi

kadar HbA1c sebanyak 0,6% dan setiap kilogram penurunan

berat badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu

harapan hidup. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian di

luar negeri bahwa diet tinggi karbohidrat bentuk kompleks

(bukan disakarida atau monoakarida) dan dalam dosis terbagi

dapat meningkatkan atau memperbaiki pembakaran glukosa di

jaringan perifer dan memperbaiki kepekaan sel beta di

pankreas.

ii. Olahraga, berolah raga secara teratur akan menurunkan dan

menjaga kadar gula darah tetap normal. Olahraga yang

disarankan adalah yang bersifat Continuous, Rhymical,

Interval, Progressive, Endurance Training dan disesuaikan

dengan kemampuan serta kondisi penderita. Beberapa olahraga

yang disarankan antara lain jalan, lari, bersepeda dan berenang,

dengan latihan ringan teratur setiap hari, dapat memperbaiki

metabolisme glukosa, asam lemak, ketone bodies, dan

merangsang sintesis glikogen.

b. Terapi obat, apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat belum berhasil

mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan

langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat. Terapi obat

dapat dilakukan dengan antidiabetik oral, terapi insulin atau kombinasi

keduanya (Anonim, 2006). Pada penatalaksanaan terapi DM tipe 2

terdapat alur agar terapi optimal (Gambar 2.1).

Universitas Sumatera Utara


Target : Awal intervensi
HbA1c 6,5-7,0% Edukasi/ nutrisi/ olahraga
(Penurunan 0,5-1,0%)
GDS < 110-130 mg/dl
GDPP < 140 180 Pilihan monoterapi
lain :
Target tercapai Monoterapi/ kombinasi Pioglitazon/
awal sulfonylurea dan atau rosiglitazon
metformin Nateglinide
Dicek A1c tiap 3-6 Repaglinide
Akarbose/ insulin
Insulin analog

Target tidak tercapai Kombinasi lain :


setelah 3 bulan Metformin/ sulfonylurea
Target tercapai
dengan pioglitazon/
rosiglitazon atau
akarbose/ miglitol
metformin dengan
Kombinsi sulfonilurea
nateglinide atau
repaginide:insulin/
Terapi dilanjutkan atau insulin analog
dicek A1c tiap 3-6 bulan (monoterapi/ kombinasi)

Targer tercapai Targer tercapai setelah 3-6 bulan

Terapi dilanjutkan dan


di cek: A1c tiap 3-6 Intermediate-acting Insulin atau 1x perhari glargine :
bulan Sebelum pemberian intermediate regular insulin atau
lispro/ aspart mix: tambah 3 kombinasi antidiabetik
oral: atau ganti untuk memisah dosis insulin/ insulin
analog terapi: berkunjung ke endokrinologis

Gambar 2.1. Algoritma penatalaksanaan DM tipe 2 (Dipiro et.,al, 2005)

Sejak ditemukannya insulin pada tahun 1921 oleh Banting dan Best, angka

kematian DM dapat ditekan secara bermakna. Meski pun waktu paruh insulin

Universitas Sumatera Utara


sekitar 7-10 menit, tetapi pemberiannya secara subkutan, intramuskuler, dan

intravena mempunyai tujuan klinik yang berlainan.

American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa

parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan DM

(Tabel 2.1).

Tabel 2.1. Target penatalaksanaan DM

Parameter Kadar ideal yang diharapkan

Kadar glukosa darah puasa 80-120 mg /dl

Kadar glukosa plasma puasa 90-130 mg/dl

Kadar glukosa darah saat tidur 100-140 mg/dl

Kadar insulin 110-150 mg/dl

Kadar HbA1c < 7%


>55 mg/dl (wanita)
Kadar kolesterol HDL
> 45 mg/dl (pria)
Kadar trigliserida <200 mg/dl

2.1.5 Penilaian Pengontrolan Glukosa

Metode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan glukosa pada

semua tipe diabetes adalah pengukuran HbA1c. Hemoglobin pada keadaan normal

tidak mengandung glukosa ketika pertama kali keluar dari sumsum tulang (Price,

2002). Pada orang normal, sebagian kecil fraksi hemoglobin akan mengalami

glikosilasi. Artinya glukosa terikat pada hemoglobin melalui proses enzimatik dan

bersifat reversible. Pada pasien DM glikosilasi hemoglobin meningkat secara

proporsional dengan kadar rerata glukosa darah selama 2-3 bulan sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara


Bila kadar glukosa darah berada pada kisaran normal antara 70-140 mg%

selama 2-3 bulan terakhir, maka hasil tes HbA1c akan menujukkan nilai normal.

Pemeriksaan HbA1c adalah pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai

status glikemik jangka panjang (Perkeni, 2009). Pergantian hemoglobin yang

lambat, nilai hemoglobin yang tinggi menunjukkan bahwa kadar glukosa darah

tinggi selama 4-8 minggu. Nilai normal glikat hemoglobin bergantung pada

metode pengukuran yang digunakan, namun berkisar antara 3,5%-5,5% (Tabel

2.2). Pemeriksaan HbA1c sebagai pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk

menilai status glikemik jangka panjang (Waspadji, 1996).

Tabel 2.2 Kadar glikat hemoglobin pada penderita DM

Normal/Kontrol glukosa HbA1c (%)

Nilai normal 3,5-5,5%

Kontrol glukosa baik 3,5-6,0

Kontrol glukosa sedang 7,0-8,0

Kontrol glukosa buruk >8,0

2.1.6 Obat Obat Diabetes Melitus

a. Antidiabetik oral

Penatalaksanaan pasien DM dilakukan dengan menormalkan kadar gula

darah dan mencegah komplikasi. Lebih khusus lagi dengan menghilangkan gejala,

optimalisasi parameter metabolik, dan mengontrol berat badan. Bagi pasien DM

tipe 1 penggunaan insulin adalah terapi utama. Indikasi antidiabetik oral terutama

ditujukan untuk penanganan pasien DM tipe 2 ringan sampai sedang yang gagal

Universitas Sumatera Utara


dikendalikan dengan pengaturan asupan energi dan karbohidrat serta olah raga.

Obat golongan ini ditambahkan bila setelah 4-8 minggu upaya diet dan olah raga

dilakukan, kadar gula darah tetap di atas 200 mg% dan HbA1c di atas 8%. Jadi

obat ini bukan menggantikan upaya diet, melainkan membantunya. Pemilihan

obat antidiabetik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes.

Pemilihan terapi menggunakan antidiabetik oral dapat dilakukan dengan

satu jenis obat atau kombinasi. Pemilihan dan penentuan regimen antidiabetik oral

yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakit DM serta

kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan

komplikasi yang ada (Anonim, 2005). Dalam hal ini obat hipoglikemik oral

adalah termasuk golongan sulfonilurea, biguanid, inhibitor alfa glukosidase dan

insulin sensitizing.

b. Insulin

Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada manusia.

Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai yang

dihubungkan dengan jembatan disulfide, terdapat perbedaan asam amino kedua

rantai tersebut (Katjung, 2002). Untuk pasien yang tidak terkontrol dengan diet

atau pemberian hipoglikemik oral, kombinasi insulin dan obat-obat lain bisa

sangat efektif. Insulin kadangkala dijadikan pilihan sementara, misalnya selama

kehamilan. Namun pada pasien DM tipe 2 yang memburuk, penggantian insulin

total menjadi kebutuhan. Insulin merupakan hormon yang mempengaruhi

metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak.

Fungsi insulin antara lain menaikkan pengambilan glukosa ke dalam selsel

sebagian besar jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif,

Universitas Sumatera Utara


menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan otot serta mencegah penguraian

glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa.

2. 2 Farmakoekonomi

Farmakoekonomi adalah gambaran dan analisis dari biaya terapi obat

untuk sistem perawatan kesehatan dan masyarakat. Farmakoekonomi meneliti,

mengidentifikasi, dan membandingkan konsekuensi dari suatu produk farmasi dan

jasa (Bootman, et al.,2005).

Tujuan dari farmakoekonomi di antaranya membandingkan obat yang

berbeda untuk pengobatan pada kondisi yang sama selain itu juga

membandingkan pengobatan yang berbeda untuk kondisi yang berbeda.

Ada pun prinsip farmakoekonomi adalah sebagai berikut yaitu menetapkan

masalah, mengidentifikasi alternative intervensi, menentukan hubungan antara

income dan outcome sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat;

mengidentifikasi dan mengukur outcome dari alternatif intervensi, menilai biaya

dan efektivitas, dan langkah terakhir adalah menginterpretasikan dan pengambilan

kesimpulan. Data farmakoekonomi sangat penting untuk membuat beberapa

keputusan klinik, seperti pengelolaan formularium yang efektif, pengobatan

pasien secara individual, kebijakan pengobatan dan alokasi dana (Muhlis, 2007).

Metode evaluasi farmakoekonomi terdiri dari lima macam yaitu Cost-

Analysis (CA), Cost-Minimization Analysis (CMA), Cost-Effectiveness Analysis

(CEA), Cost-Utility Analysis (CUA), Cost-Benefits Analysis (CBA) (Dipiro et al.,

2005).

a. Cost Analysis (CA)

Universitas Sumatera Utara


CA, yaitu tipe analisis sederhana, yang mengevaluasi intervensi biaya.

Cost-Analysis dilakukan untuk melihat semua biaya dalam pelaksanaan atau

pengobatan, dan tidak membandingkan pelaksanaan, pengobatan atau evaluasi

efikasi. Adanya tiga syarat penting yang mesti dipenuhi, sebelum melakukan

analisis biaya, yaitu struktur organisasi rumah sakit yang baik, sistem akuntansi

yang tepat, informasi statistik yang cukup baik. Penerapan analisis biaya di rumah

sakit selalunya mengacu pada penggolongan biaya yang terdiri dari 8 macam,

yaitu :

i. Biaya langsung (direct cost) merupakan biaya yang melibatkan proses

petukaran uang untuk penggunaan sumber dan kaitannya dengan

pertukaran uang, misalnya pasien diberi obat, maka pasien tersebut

harus membayarnya dengan sejumlah uang tertentu. Contoh biaya

langsung adalah biaya obat, biaya operasional (pembayaran jasa dokter

dan perawat, sewa ruangan, penggunaan alat), dan lainnya.

ii. Biaya tidak langsung (indirect cost) adalah biaya yang tidak melibatkan

proses pertukaran uang untuk penggunaan sumber berdasarkan

komitmen. Contohnya adalah biaya akibat hilangnya produktivitas

(tidak masuk kerja), waktu (biaya perjalanan, menunggu), dan lainnya.

iii. Biaya non material (intangible cost) merupakan biaya yang dikeluarkan

untuk hal-hal yang tak teraba, sehingga sukar diukur. Biaya ini bersifat

psikologis, sukar dijadikan nilai mata uang. Contohnya adalah biaya

untuk rasa nyeri atau penderitaan, cacat, kehilangan kebebasan, dan

efek samping.

Universitas Sumatera Utara


iv. Biaya tetap (fixed cost) merupakan biaya yang tidak dipengaruhi oleh

perubahan keluar (output). Untuk biaya ini tidak berubah meski pun ada

peningkatan atau penurunan output, kecuali untuk gaji berkala.

Contohnya adalah gaji Pegawai Negeri Sipil, sewa ruangan, dan ongkos

peralatan.

v. Biaya tidak tetap (variable cost) merupakan biaya yang dipengaruhi oleh

perubahan volume keluaran. Jadi, biaya ini akan berubah apabila terjadi

peningkatan atau penurunan output. Contoh adalah komisi penjualan

dan harga obat.

vi. Biaya rerata (average cost) merupakan biaya konsumsi sumber per unit

output. Jadi, hasil pembagian dari biaya total dengan volume atau

kuantitas output. Biaya rerata adalah total biaya dibagi jumlah kuantitas

output.

vii. Marginal cost merupakan perubahan total biaya hasil dari pertambahan

atau berkurangnya unit output.

viii. Opportunity cost merupakan besarnya biaya sumber pada saat nilai

tertinggi dari penggunaan alternatif.

b. Cost-Minimization Analysis (CMA)

CMA adalah tipe analisis yang menentukan biaya program terendah

dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini digunakan

untuk menguji biaya relatif terkait dengan intervensi yang sama dalam bentuk

hasil yang diperoleh. Pendapat kritis analisis cost-minimization hanya

digunakan untuk prosedur hasil pengobatan yang sama. Contoh terapi dengan

menggunakan antibiotika generik dengan merk dagang, outcome klinik (efek

Universitas Sumatera Utara


samping dan efikasi sama), yang berbeda adalah onset dan durasinya. Maka

pemilihan obat difokuskan pada obat yang biaya per harinya yang lebih murah.

c. Cost-Effectiveness Analysis (CEA)

CEA adalah tipe analisis yang membandingkan biaya suatu intervensi

dengan beberapa ukuran nonmoneter, yang berpengaruh terhadap hasil

perawatan kesehatan. Analisis cost-effectiveness merupakan salah satu cara

untuk memilih dan menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa

program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria

penilaian program mana yang akan dipilih didasarkan pada discounted unit cost

dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai

discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis atau

pengambil keputusan. Dalam menganalisis suatu penyakit, analisis cost-

effectiveness didasarkan pada perbandingan antara biaya suatu program

pemberantasan tertentu dan akibat dari program tersebut dalam bentuk

perkiraan dari kematian dan kasus yang bisa dicegah. Analisis cost

effectiveness mengkonversi cost dan benefit (efikasi) ke dalam rasio pada obat

yang dibandingkan (Muhlis, 2007).

Pada studi farmakoekonomi untuk menginterpretasikan dan melaporkan

hasil diwujudkan ke dalam bentuk rasio efektivitas, yaitu average cost-

effectiveness ratio (ACER) dan incremental costeffectiveness ratio (ICER).

Apabila suatu intervensi memiliki ACER paling rendah per unit efektivitas,

maka intervensi tersebut paling cost-effective, sedangkan ICER merupakan

tambahan biaya untuk menghasilkan satu unit peningkatan outcome relatif

terhadap alternatif intervensinya.

Universitas Sumatera Utara


d. Cost-Utility Analysis (CUA)

CUA adalah tipe analisis yang mengukur manfaat dalam utilitas beban

lama hidup, menghitung biaya per utilitas, mengukur rasio untuk

membandingkan di antara beberapa program. Analisis costutility mengukur

nilai spesifik kesehatan dalam bentuk pilihan setiap individu atau masyarakat.

Seperti analisis cost-effectiveness, analisis cost-utility membandingkan biaya

terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan

kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan tersebut. Pada analisis cost-

utility, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup

(quality adjusted life years, QALYs) dan hasilnya ditunjukkan dengan biaya

per penyesuaian kualitas hidup. Data kualitas dan kuantitas hidup dapat

dikonversi ke dalam nilai QALYs. Sebagai contoh, jika pasien dinyatakan

benar-benar sehat, nilai QALYs dinyatakan dengan angka 1 (satu). Keuntungan

dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup. Kekurangan

analisis ini bergantung pada penentuan QALYs pada status tingkat kesehatan

pasien (Martin, 2002).

e. Cost-Benefits Analysis (CBA)

CBA adalah tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu

intervensi dengan beberapa ukuran moneter dan pengaruhnya terhadap hasil

perawatan kesehatan. Analisis ini sangat bermanfaat pada kondisi antara

manfaat dan biaya karena mudah dikonversi ke dalam bentuk rupiah. Analisis

ini mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan beberapa ukuran

moneter, dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Dapat

Universitas Sumatera Utara


digunakan untuk membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang

berbeda dan merupakan tipe penelitian farmakoekonomi yang kompreherensif.

2.3 Asuhan Kefarmasian

Asuhan Kefarmasian adalah suatu praktik yang bertumpu kepada pasien,

bertanggung jawab dan komitmen terhadap kebutuhan pasien akan obat.

Menurut Cipolle et.al.,(1997) ada tiga kegiatan dan tanggungjawab dalam proses

perawatan pasien yaitu :

a. Penilaian (Assessement), tujuan penilaian ada tiga yaitu untuk :

i. Memahami bahwa pasien dapat mengambil keputusan yang baik

terhadap terapi obat yang rasional.

ii. Menentukan ketepatan, keefektifan, keamanan terapi obat pasien

dan menentukan kompatibilitas pasien dengan obat yang

dipilihkan.

iii. mengidentifikasi masalah terapi obat, informasi yang diperlukan

untuk membuat keputusan klinis pasien mencakup data yaitu

(informasi demografis, dan pengalaman penggunaan obat-obatan),

data penyakit (kondisi medis saat ini, riwayat kesehatan, status

gizi, dan tinjauan sistem), dan data obat (obat saat ini, penggunaan

pengobatan masa lalu).

b. Rencana Perawatan (Care Plan), tujuan rencana perawatan adalah untuk

mengatur semua pekerjaan yang telah disepakati oleh praktisi dan pasien

untuk mencapai tujuan terapi. Hal ini membutuhkan intervensi untuk

menyelesaikan masalah terapi obat, untuk memenuhi tujuan, dan untuk

Universitas Sumatera Utara


mencegah masalah terapi obat baru, sehingga mengoptimalkan

pengalaman pengobatan pasien. Rencana perawatan mengandung

intervensi yang dirancang untuk menyelesaikan masalah terapi obat,

mencapai tujuan lain terapi, mencegah masalah terapi obat baru.

c. Evaluasi Tindak Lanjut (Follow up Evaluation), tujuan dari evaluasi

tindak lanjut adalah untuk menentukan hasil optimal terapi obat untuk

pasien, hasil ini dimaksudkan untuk tujuan terapi, menentukan efektifitas

dan keamanan farmakoterapi, mengevaluasi kepatuhan pasien, dan

menetapkan status pasien. Langkah evaluasi adalah pengalaman klinis dan

pengetahuan terkini. Bahkan, kebanyakan terjadi selama evaluasi tindak

lanjut. Evaluasi tindak lanjut adalah langkah dalam proses ketika dokter

melihat obat dan dosis yang paling efektif atau kegagalan. Pada evaluasi

tindak lanjut juga dinilai respon pasien terhadap terapi obat dalam hal

efektivitas, keselamatan, kepatuhan dan juga menentukan jika ada masalah

baru. Konsep pelayanan kefarmasian muncul karena kebutuhan untuk bisa

mengkuantifikasi pelayanan kefarmasian yang diberikan, baik di klinik

maupun di apotik (komunitas). Penekanan pelayanan kefarmasian terletak

pada dua hal utama, yaitu:

a. menentukan pelayanan kefarmasian yang dibutuhkan pasien sesuai kondisi

penyakit.

b. membuat komitmen untuk meneruskan pelayanan setelah dimulai secara

berkesinambunngan.

Berkembangnya paradigma baru tentang pelayanan kefarmasian ini tidak

jarang mengundang salah pengertian profesi kesehatan lain. Oleh sebab itu perlu

Universitas Sumatera Utara


ditekankan bahwa pelayanan kefarmasian yang dilakukan seorang farmasi bukan

untuk menggantikan profesi dokter atau profesi lain, namun lebih pada

pemenuhan kebutuhan dalam sistem pelayanan kesehatan yang muncul, antara

lain:

a. adanya kecenderungan polifarmasi dalam terapi, terutama pada pasien

lanjut usia atau pun penderita penyakit kronis.

b. semakin beragamnya produk obat yang beredar di pasaran beserta

informasinya.

c. peningkatan kompleksitas terapi obat

d. peningkatan morbiditas dan mortalitas yang disebabkan masalah terapi obat.

e. mahalnya biaya terapi apalagi bila disertai kegagalan terapi.

Secara prinsip, pelayanan kefarmasian terdiri dari beberapa tahap yang

harus dilaksanakan secara berurutan:

a. penyusunan informasi dasar atau database pasien

b. evaluasi atau pengkajian (assessment)

c. penyusunan rencana pelayanan kefarmasian (RPK)

d. implementasi RPK

e. monitoring implementasi dan tindak lanjut (folloe up) (Depkes, 2005).

Universitas Sumatera Utara

You might also like