You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Asma merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak di negara
maju. Sejak dua dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalensi asma meningkat pada anak
maupun dewasa. Asma memberikan dampak negatif bagi kehidupan penderitanya. Telah
terjadi perubahan pada patogenesis asma, dahulu diyakini sebagai suatu proses yang
disebabkan karena bronkospasme dan diobati dengan obat bronkodilator. Dewasa ini,
asma diketahui sebagai keadaan yang disebabkan oleh reaksi inflamasi kronik. Sehingga
obat antiinflamasi dianjurkan diberikan pada asma, kecuali pada asma yang sangat
ringan. Asma pada masa kanak-kanak sebenarnya dapat dikendalikan , walaupun tidak
semuanya dapat disembuhkan. Pada kenyataannya, sebagian besar asma masih “under-
diagnosed” dan “under-treated”. Sebaliknya di beberapa negara maju, asma ringan sering
diberi pengobatan yang berlebihan. (3)
Pada anak dan bayi, mekanisme dasar perkembangan penyakit ini masih belum
diketahui dengan pasti. Bayi dan balita yang mengalami mengi saat terkena infeksi
saluran napas akut, banyak yang tidak berkembang menjadi asma saat dewasanya.
Walaupun banyak hal yang berkaitan dengan asma telah terungkap namun ternyata
hingga saat ini, secara keseluruhan asma masih merupakan misteri.(3)
Secara internasional untuk saat ini panduan penanganan asma yang banyak
diikuti adalah Global Initiative for Asthma (GINA) yang disusun oleh National Lung,
Heart, and Blood Institute Amerika yang bekerjasama dengan World Health Organization
(WHO). Untuk anak-anak, Global Initiative for Asthma (GINA) tidak dapat sepenuhnya
diterapkan, sehingga Pediatric Asthma Consensus Group dalam pertemuan pada bulan
Maret 1995 mengeluarkan Konsensus Internasional III Penanggulangan Asma Anak
(selanjutnya disebut Konsensus Internasional ) yang dipublikasikan pada tahun 1998.
Selain Global Initiative for Asthma (GINA) dan Konsensus Internasional, banyak negara
yang mempunyai konsensus nasional di negara masing-masing, misal Indonesia sudah
ada Konsensus Nasional Asma Anak (KNAA) yang disusun oleh Unit Kerja Koordinasi
Pulmonologi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Konsensus Nasional
Asma Anak menjadi acuan dalam tatalaksana asma anak di Indonesia, maka istilah
konsensus diganti menjadi pedoman. (3)

1
1.2. Tujuan Penulisan
Referat berjudul “Asma pada Anak” disusun dengan tujuan agar para pembaca
dan penulis dapat memahami asma secara keseluruhan, yang meliputi :
1. Definisi asma
2. Faktor risiko asma
3. Pencetus timbulnya asma
4. Klasifikasi dan derajat asma
5. Cara mendiagnosis pasien asma
6. Pemeriksaan penunjang untuk membantu dalam mendiagnosis kasus asma
7. Penatalaksanaan kasus asma
8. Pencegahan yang perlu dilakukan untuk pasien asma agar terhindar dari serangan
ulang.
9. Prognosis pasien asma
10. Dan lain-lain.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan
inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan
limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang,
sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala
tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi,
yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap
berbagai rangsangan.(4)
Konsensus Internasional menggunakan definisi operasional sebagai mengi berulang
dan/atau batuk persisten dalam keadaan asma.(4)
Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA), kecurigaan asma apabila anak menunjukkan
gejala batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini
hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi pada
penderita atau keluarganya. Untuk menegakkan diagnosis asma pada anak di bawah lima
tahun sebaiknya berhati-hati apabila tidak pernah dijumpai adanya wheezing. Hal itu
disebabkan pada usia tersebut kemungkinan batuk yang berulang hanyalah akibat infeksi
respiratorik saja. Demikian pula apabila dijumpai wheezing pada usia di bawah tiga tahun
(batita) hendaknya berhati-hati dalam mendiagnosis asma. Wheezing yang dijumpai pertama
kali belum tentu merupakan gejala asma. Bila dijumpai keadaan batuk kronis dan/atau
berulang dengan/atau tanpa wheezing dengan karakteristik seperti di atas, tetap perlu
dipertimbangkan diagnosis asma. (1)

2.2 Epidemiologi
Asma diderita kurang lebih oleh tiga ratus juta penduduk dunia. Prevalensi penderita
asma meningkat, terutama pada anak. Setiap tahun, WHO memperkirakan sekitar lima belas
juta penderita mengalami penurunan kualitas hidupnya, dan dua ratus lima puluh ribu
penderita asma meninggal. Lima ratus ribu pasien dirawat karena asma dengan usia delapan
belas tahun atau lebih muda, dengan perkiraan biaya 6,2 miliar. Setiap tahunnya, 1,81 juta
anak usia delapan belas tahun atau lebih muda membutuhkan perawatan Unit Gawat Darurat.

3
Antara anak remaja usia lima hingga tujuh belas tahun, diperkiran menjadikan hari tidak ikut
sekolah selama sepuluh juta hari. Angka kesakitan dan kematian akibat asma pada anak
dalam dua dekade ini meningkat.(2)
Penelitian mengenai prevalensi asma di Indonesia telah dilakukan di berbagai
pusat pendidikan, namun belum semuanya menggunakan kuesioner baku. Rosmayudi di
Bandung pada tahun 1993 menemukan prevalensi asma pada anak enam hingga dua belas
tahun sebanyak 6,6%. Arifin di Palembang pada tahun 1996 menemukan prevalensi asma
5,7% pada anak tiga belas hingga lima belas tahun. Pada tahun 2002, Kartasasmita di
Bandung menemukan prevalensi asma yang berbeda tergantung umurnya, yaitu 3% pada
anak enam hingga tujuh tahun dan 5,2% pada anak tiga belas hingga empat belas tahun.
Namun Rahajoe NN di Jakarta menemukan prevalensi yang lebih tinggi, yaitu 6,7% pada
anak tiga belas hingga empat belas tahun. Sidhartani di Semarang tahun 1994 meneliti 632
anak usia dua belas hingga enam belas tahun dengan menggunakan kuesioner International
Study of Asthma and Allergy in Children (ISAAC) dan pengukuran Peak Flow Meter
menemukan prevalensi asma 6,2%. (1)
Faktor risiko asma berhubungan dengan ras, kasus asma pada anak kulit hitam lebih
tinggi dibandingkan anak kulit putih. Sebelum pubertas, prevalensi tiga kali lebih tinggi laki-
laki daripada perempuan, selama remaja, prevalensi sama antara laki-laki dan perempuan.
Kebanyakan anak, asma berkembang sebelum usia lima tahun, dan lebih dari setengah kasus
berkembang sebelum usia tiga tahun. Di antara bayi, 20% mempunyai riwayat wheezing
dengan infeksi saluran nafas atas dan 60% tidak ada wheezing setelah usia enam tahun.
Banyak kasus transient wheezers yaitu tidak ada alergi, walaupun fungsi paru sering
abnormal. Anak dengan riwayat wheezing pertama yang berhubungan dengan alergi,
kemungkinan akan mendapatkan wheezing ketika usia enam hingga sebelas tahun. Bila
wheezing didapatkan saat usia di atas enam tahun dengan riwayat alergi, maka kemungkinan
(2)
akan mendapatkan wheezing saat usia sebelas tahun.
2.3 Etiologi(2)
1. Infeksi saluran pernafasan; paling banyak disebabkan oleh infeksi virus. Bayi dan anak
dengan persisten wheezing dan asma mempunyai Immunoglobulin E tinggi dan respon
imun eosinofil, saat pertama kali terserang infeksi.
2. Alergen; terdapat dua respon yaitu, early asthmatic responses (respon dalam waktu
singkat) yang terjadi lewat terbentuknya mediator Immunoglobulin E dari sel mast dalam
hitungan menit pasca paparan alergen dan berakhir dalam dua puluh hingga tiga puluh
menit. Late asthmatic responses (respon lambat) yang terjadi dalam empat hingga dua

4
belas jam pasca paparan alergen dengan gejala berat yang berakhir selama satu jam atau
lebih. Alergen berupa makanan, kutu, debu, dan lain-lain
3. Irritan ; zat iritan berupa asap rokok, udara dingin, bahan kimia, parfum, bau cat, polusi
udara yang dapat mencetuskan hiperresponsif bronkial (mekanisme inflamasi).
4. Perubahan cuaca
5. Olahraga ; panas dan kehilangan cairan dapat meningkatkan osmolaritas cairan
pernafasan dan mengakibatkan terbentuknya mediator-mediator. Dingin mengakibatkan
kongesti dan dilatasi pembuluh darah bronkial, selama fase penghangatan setelah
olahraga, pembuluh darah agak melebar.
6. Emosi
7. Reflux gastroesofagus (GER) ; asam mengakibatkan meningkatnya resistensi jalan nafas
8. Inflamasi saluran nafas atas ; rhinitis alergi, sinusitis, dan lain lain
9. Asma nokturnal ; diakibatkan oleh alergen, sinusitis, refluks gastroesofagus, inflamasi
parenkim, dan lain lain.

2.4 Patofisiologi
1. Obstruksi saluran respiratori
Perubahan fungsional yang terjadi pada asma adalah terjadinya obstruksi saluran
respirasi yang mengakibatkan keterbatasan aliran udara yang bersifat reversibel, ini
berdasarkan gejala batuk, sesak, mengi yang timbul pada asma, serta reaksi berlebihan
saluran nafas terhadap bronkokonstriksi. Batuk terjadi akibat rangsangan pada saraf
sensorik saluran respirasi oleh mediator inflamasi. Mediator inflamasi ini juga berperan
dalam menimbulkan persepsi sesak melalui saraf aferen. Ketika saraf aferen terangsang,
misal pada keadaan hiperkapnea atau hipoksemia, maka akan merangsang timbulnya
hiperventilasi alveolar, dan terdapat kemungkinan terburuk adalah dimana adanya
gangguan fungsi pada reseptor aferen yang menyebabkan terjadinya penurunan
kemampuan merasakan adanya penyempitan saluran nafas, ini terjadi pada kasus asma
kronis berat (perceivers buruk). (3)
Semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh penyempitan saluran
respirasi yang mempengaruhi struktur trakeobronkial, maksimal hingga bronkus kecil
dengan diameter 2-5 mm. Resistensi saluran nafas mengalami peningkatan dan laju
ekspirasi maksimal menurun, yang mempengaruhi volume paru secara keseluruhan.
Penyempitan saluran nafas pada daerah perifer menyebabkan peningkatan volume residu.
Mekanisme adaptasi yang timbul dari penyempitan saluran pernafasan adalah bernafas
dengan hiperventilasi dimana usaha ini dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Inflasi

5
toraks yang berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal secara mekanik
mengalami kesulitan sehingga kerjanya menjadi tidak optimal. Peningkatan usaha
bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbul kelelahan dan gagal nafas. (3)

2. Hipereaktivitas saluran respiratori


Mekanisme yang menjelaskan timbulnya reaktivitas yang berlebihan sampai saat
ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas
yang terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas, inflamasi pada dinding
saluran nafas, terutama pada regio peribronkial, cenderung memperparah penyempitan
saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot polos. Stimulus yang lain seperti
olahraga, udara dingin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos saluran
nafas, stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut saraf dan sel lain untuk
mengeluarkan mediatornya.(3)
3. Otot polos saluran respiratori
Peningkatan kontraktilitas otot pada asma berhubungan dengan peningkatan
kecepatan pemendekan otot. Perubahan pada struktur filamen kontraktilitas atau
plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi hiperreaktivitas saluran nafas yang
terjadi secara kronik. Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dapat
menigkatkan respon otot polos untuk berkontraksi. Ini membuktikan adanya hubungan
antara zat yang dihasilkan oleh sel mast dan hiperresponsif saluran nafas secara in vitro.
(3)

4. Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering ditemukan pada saluran
nafas pasien asma dan penampakan remodelling saluran nafas merupakan karakteristik
asma kronik. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas hampir selalu
ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab yang persisten pada serangan
asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan pemberian bronkodilator.
Hipersekresi mukus pada pasien asma merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme yang berperan terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan
hiperplasia, dan mekanisme patofisologi yang berperan terhadap terjadinya sekresi sel
granulasi. Mediator yang dikeluarkan sel goblet, yang mengalami metaplasi dan
hiperplasi merupakan bagian dari inflamasi. Degranulasi sel goblet yang dicetuskan oleh
stimulus lingkungan, seperti asap rokok, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan
neuropeptidase lokal atau aktivasi jalur refleks kolinergik. Degranulasi yang diprovokasi
oleh mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret , seperti leukotrien, histamin,
produk netrofil non protein. (3)
6
5. Keterbatasan aliran udara ireversibel
Penebalan saluran nafas, yang merupakan karakteristik asma, terjadi pada bagian
kartilago dan membranosa dari saluran nafas, juga terjadi perubahan pada elastik dan
hilangnya hubungan antara saluran nafas dengan parenkim di sekitarnya, penebalan
dinding saluran nafas, ini menjelaskan mekanisme timbulnya penyempitan saluran nafas
yang gagal untuk kembali normal dan terjadi terus menerus. Kekakuan otot polos
menyebabkan aliran udara pernafasan terhambat hingga menjadi ireversibel. (3)

6. Eksaserbasi
Faktor yang dapat mencetuskan sehingga terjadi eksaserbasi dan yang dapat
menyebabkan bronkokonstriksi, seperti udara dingin, kabut, olahraga. Stimulus yang
dapat menyebabkan inflamasi saluran nafas seperti pemaparan alergen, virus saluran
nafas. Olahraga dan hiperventilasi pernafasan dengan keadaan udara dingin dan kering
menyebabkan bronkokonstriksi dan pelepasan sel lokal dan mediator inflamasi seperti
histamin, leukotrien yang dapat menstimulasi otot polos. Stimulus yang hanya
menyebabkan bronkokonstriksi tidak akan memperburuk respon bronkial yang
diakibatkan oleh stimulus yang lain, sehingga hanya bersifat sementara saja. Eksaserbasi
asma dapat timbul selama beberapa hari. Sebagian besar berhubungan dengan infeksi
saluran nafas, yang paling sering adalah common cold oleh Rhinovirus yang dapat
menginduksi respon inflamasi intrapulmoner. Pada pasien asma, inflamasi terjadi dengan
derajat obstruksi yang bervariasi serta dapat memperberat hipereaktivitas bronkial.
Respon inflamasi ini melibatkan aktivasi dan masuknya eosinofil dan atau neutrofil yang
dimediasi oleh pelepasan sitokin atau kemokin T atau sel epitel bronkial. Selain itu,
paparan alergen juga mencetuskan eksaserbasi pada pasien asma.(3)

7. Asma nokturnal
Saat dilakukan biopsi transbronkial, membuktikan adanya akumulasi eosinofil
dan makrofag di alveolus dan jaringan peribronkial pada malam hari dan adanya
inflamasi pada saluran nafas perifer diperkuat dengan bukti bahwa adanya gangguan bila
pasien asma tidur dalam posisi supine. (3)

8. Abnormalitas gas darah


Asma hanya mempengaruhi proses pertukaran gas bila serangan berat. Berat
ringannya hpoksemia arteri, dapat menggambarkan beratnya obstruksi saluran nafas yang
terjadi secara tidak merata di seluruh paru. Hipokapnea yang ditemukan pada serangan

7
asma ringan sampai sedang, dapat dilihat dari usaha bernafas yang lebih. Peningkatan
PCO2 arteri mengindikasikan sedang terjadi obstruksi berat dan ini dapat menghambat
pergerakan otot pernafasan dan usaha bernafas ( keracunan CO2)sehingga dapat timbul
gagal nafas dan mati. (3)

2.5 Patogenesis
1. Inflamasi Akut dan Kronis
Proses inflamasi pada asma akan menyebabkan reaksi inflamasi akut dan kronis.
Pajanan allergen inhalasi pada pasien yang alergi dapat menimbulkan respons alergi
fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons fase lambat.
-Reaksi Fase Awal/Cepat (Early Phase Reaction)
Reaksi fase cepat dihasilkan oleh aktivitas sel-sel yang sensitive terhadap
allergen IgE spesifik, terutama sela mast dan makrofag. Pada pasien dengan
komponen alergi yang kuat terhadaptimbulnya asma, basofil juga ikut berperan. (3)
Ikatan antara sel dan IgE mengawali reaksi biokimia serial yang
menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti histamine, proteolitik, enzim
glikolitik, heparin, serta mediator newly generated seperti prostaglandin, leukotrien,
adenosine, dan oksigen reaktif. Bersama-sama dengan mediator yang sudah terbentuk
sebelumnya, mediator-mediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran
respiratori dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mucus, vasodilatasi dan
kebocoran mikrovaskular. (3)
-Reaksi Fase Lambat
Timbul beberapa jam lebih lambat dibandingkan fase awal.meliputi
pengerahan dan aktivitas dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, neutrofil dan makrofag.
Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi
dan pelepasan newly generated mediator. Sel T pada saluran respiratori yang
teraktivitas oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2. Selanjutnya dalam
2-4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi
mediator proinflamasi, seperti IL-2, IL-5 dan GM-CSF untuk pengerahan dan
aktivitas sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat
semakin lama semakin kuat. (3)
Reaksi fase lambat dipikirkan merupakan system model untuk mempelajari
mekanisme inflamasi pada asma. Selama terjadinya respons fase lambat dan
berlangsungnya pajanan alergen, aktivitas sel-sel pada saluran respiratori
menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang pelepasan sel

8
leukosit proinflamasi, terutama eosinofil dan prekursornya dari sumsum tulang ke
dalam sirkulasi. (3)

2. Airway Remodeling
Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang
secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang
menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel mati/rusak dengan sel-sel baru.
Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang
rusak/injury dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang
rusak/injury dengan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada
asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi
yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme
sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodelling.
Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari
diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposisi jaringan
penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan
fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.
(8)

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan


remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga
komponen lainnya seperti matriks ekstraseluler, membran retikular basal, matriks
interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot
polos, kelenjar mukus. (8)
Perubahan struktur yang terjadi :
1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
3. Penebalan membran reticular basal
4. Pembuluh darah meningkat
5. Matriks ekstraseluler fungsinya meningkat
6. Perubahan struktur parenkim
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

2.6 Gejala Klinis


9
Gejala Asma diantaranya adalah batuk, sesak dengan bunyi mengi, sukar bernapas
dan rasa berat di dada, lendir atau dahak berlebihan, sukar keluar dan sering batuk kecil atau
berdehem. Batuk biasanya berpanjangan di waktu malam hari atau cuaca sejuk, pernafasan
berbunyi (wheezing), sesak napas, merasakan dada sempit. Asma pada anak tidak harus sesak
atau mengi. Batuk malam hari yang lama dan berulang pada anak harus dicurigai adanya
asma pada anak. Ciri lainnya adalah batuk saat aktifitas (berlari, menangis atau tertawa).(6)
Gejala asma yang khas biasanya berupa batuk episodik dan wheezing disertai rasa
tertekan di dada dan kesulitan bernafas, terutama pada malam hari. Batuk biasanya kering
namun dapat produktif dengan sputum yang kental dan lengket. Adakalanya batuk
merupakan gejala satu-satunya. Gambaran klinik ini akibat dari penyempitan saluran
pernafasan yang mengakibatkan obstruksi aliran udara. (9)
Penyempitan saluran nafas terjadi akibat proses peradangan, melalui 3 hal :
• Kontraksi otot polos bronkus yang eksesif
• Penebalan dinding saluran bronchus
• Sekresi berlebihan di dalam lumen

Pedoman Nasional Asma Anak (Indonesia) mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda
dan gejala wheezing/mengi dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut: (7)
1. Timbul secara episodik dan/atau kronik,
2. Cenderung pada malam/dini hari (nokturnal),
3. Musiman
4. Faktor pencetus di antaranya aktivitas fisik
5. Reversibel (bisa sembuh seperti sedia kala) baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, serta
6. Adanya riwayat asma atau atopi (kecenderungan mengidap alergi) lain pada
pasien/keluarganya,
7. Sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan.

Manifestasi alergi lain yang dapat menyertai pada penderita asma:(6)


1. Sering pilek, sinusitis, bersin, mimisan. tonsilitis (amandel), sesak, suara serak.
2. Pembesaran kelenjar di leher dan kepala belakang bawah.
3. Sering lebam kebiruan pada kaki atau tangan seperti bekas terbentur.
4. Kulit timbul bisul, kemerahan, bercak putih dan bekas hitam seperti tergigit nyamuk.
Sering menggosok mata, hidung atau telinga, kotoran telinga berlebihan.
5. Nyeri otot & tulang berulang malam hari.
10
6. Sering kencing, atau bed wetting (ngompol)
7. Gangguan saluran cerna : Gastroesofageal refluk, sering muntah, nyeri perut, sariawan,
lidah sering putih atau kotor, nyeri gusi atau gigi, mulut berbau, air liur berlebihan, dan
bibir kering.
8. Sering buang air besar (> 2 kali/hari), sulit buang air besar (obstipasi), kotoran bulat kecil
hitam seperti kotoran kambing, keras, sering buang angin.
9. Kepala,telapak kaki/tangan sering teraba hangat atau dingin. Sering berkeringat
(berlebihan)
10. Mata gatal, timbul bintil di kelopak mata, mata sering berkedip,
11. Gangguan hormonal : tumbuh rambut berlebihan di kaki dan tangan, keputihan.
12. Sering sakit kepala, migrain.

2.7 Klasifikasi Asma


Menurut Global Initiative for Asthma(3)
1. Intermiten
Gejala kurang dari 1 kali, serangan singkat, gejala nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan
(FEV1 ≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau
FEV1<20%)
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari, serangan dapat mengganggu
aktivitas dan tidur, gejala nokturnal >2 kali/bulan (FEV1 ≥80% predicted atau PEF ≥80%
nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV120-30%)
3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari, serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur, gejala
nokturnal >1 kali/ minggu, menggunakan agonis-β2 kerja pendek setiap hari (FEV1 60-
80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau
FEV1>30%)
4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari, serangan sering terjadi, gejala asma nokturnal sering terjadi
(FEV1 ≤60% predicted atau PEF ≤60% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau
FEV1>30%)

Menurut Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2004(3)

11
2.8 Diagnosis
Parameter klinis,
kebutuhan obat, dan Asma episodik
faal paru Jarang Asma episodik sering Asma persisten

Frekuensi serangan <1 x/bulan >1 x/bulan Sering


Hampir sepanjang tahun
Lama serangan <1 minggu ≥1 minggu (tidak ada remisi)

Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam

Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu


Pemeriksaan fisis (di Normal (tidak ada Mungkin terganggu
luar serangan) kelainan) (ada kelainan) Tidak pernah normal
Obat pengendali
(antiinflamasi) Tidak perlu Perlu, non steroid Perlu, steroid
Uji faal paru (di luar PEF/FEV1<60 %
serangan) PEF/FEV1>80 % PEF/FEV160-80 % Variabilitas 20-30%
Variabilitas faal paru
(bila ada serangan) Variabilitas >15% variabilitas >30% variabilitas >50%

Perjalanan alamiah (3)


Beberapa penelitian melaporkan bahwa dari sejumlah anak dengan mengi pada tahun
pertama kehidupan, ternyata hanya sejumlah kecil yang mengalami asma pada masa anak. Salah
satu penelitian yang dilakukan TCRS (Tucson Children Respiratory’s Study) menghasilkan
bahwa terdapat 3 fenotip mengi yang terjadi pada masa anak, yaitu
1. transient early wheezing ; kebanyakan pada anak yang mengalami mengi pada 3 tahun
pertama kehidupan, mengi tidak sering, timbul sesekali, dan tidak timbul lagi pada usia 6
tahun . jenis ini tidak mempunyai riwayat keluarga asma, dermatitis atopi, peningkatan kadar
IgE yang lebih. Faktor risiko kasus ini adalah penurunan fungsi paru sebelum terkena
penyakit infeksi saluran nafas bawah, ibu merokok selama kehamilan, dan ibu usia muda.
Wheezing berulang berhubungan dengan penyakit saluran nafas akut oleh virus.
2. wheezing of late onset ; tidak pernah mengalami penyakits saluran nafas bawah yang disertai
mengi, tetapi, pada usia 6 tahun timbul mengi. Ditemukan dengan ibu asma, anak laki-laki,
dan adanya rinitis pada tahun pertama kehidupan.
3. persistent wheezing ; paling sedikit satu kali terkena penyakit saluran pernafasan bawah
dengan mengi dalam 3 tahun pertama kehidupan dan mengi selalu muncul sampai usia 6
tahun. Ibu dengan asma, IgE tinggi. Kurang lebih 60 % anak menunjukkan atopi pada usia 6
tahun, dan 40 % non-atopi.

Penilaian derajat serangan asma (3)

Parameter klinis,
Ringan Sedang Berat (Tanpa Berat (Ancaman
Fungsi paru,
ancaman henti henti nafas)
12
Laboratorium
nafas)
Sesak timbul-pada Berjalan Berbicara Istirahat
saat (breathless) Bayi: Bayi : Bayi :
menangis - Tangis pendek dan lemah Tidak mau
keras - Kesulitan makan/minum makan/minum
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Duduk
Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk
bertopang lengan
Kesadaran Mungkin Biasanya irritable Biasanya Bingung dan
irritable iritable mengantuk
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata/Jelas
Mengi (wheezing) Sedang, sering Nyaring, sepanjang ekspirasi, Sangat nyaring, Sulit/tidak terdengar
hanya pada ± inspirasi terdengar tanpa
akhir ekspirasi stetoskop
Sesak nafas Minimal Sedang Berat
Gerakan paradok
Obat Bantu nafas Biasanya tidak Biasanya ya Ya
torako-abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, ditambah retraksi Dalam, ditambah Dangkal / hilang
retraksi suprasternal nafas cuping
interkostal hidung
Laju nafas Meningkat Meningkat Meningkat Menurun
Pedoman nilai baku laju nafas pada anak sadar :
Usia laju nafas normal
< 2 bulan < 60 / menit
2 – 12 bulan < 50 / menit
1 – 5 tahun < 40 / menit
6 – 8 tahun < 30 / menit
Laju nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pedoman nilai baku laju nadi pada anak sadar :
Usia laju nadi normal
2 – 12 bulan < 160 / menit
1 – 2 tahun < 120 / menit
3 – 8 tahun < 110 / menit
Pulsus paradoksus
Tidak ada Ada Ada Tidak ada, tanda
(pemeriksaannya
kelelahan otot nafas
tidak praktis) < 10 mmHg 10-20 mmHg > 20 mmHg

PEFR atau FEV1 (%


nilai dugaan/% nilai
terbaik)
- pra bronkodilator > 60% > 80% < 40%
- pasca
bronkodilator 40-60% 60-80% < 60%
Respon < 2 jam
SaO2 % > 95% 91-95% ≤ 90%
PaO2 Normal
biasanya tidak > 60 mmHg < 60 mmHg
perlu diperiksa
PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg
Sumber : Global Initiative for Asthma 2006

Alur diagnosis(3)
Batuk dan/mengi
13
Riwayat penyakit
Pemeriksaan fisik
Uji tuberkulin

Diduga asma : Tidak jelas asma :


1. Episodik 1. Timbul pada masa neonatus
2. Nokturnal/morning dip 2. Gagal tumbuh
3. Musiman 3. Infeksi kronik
4. Pasca aktivitas berat 4. Muntah/tersedak
5. Riwayat atopi pasien/keluarga 5. Kelainan fokal paru
6. Kelainan sistem kardiovaskuler

Jika ada fasilitas, periksa dengan


peak flow meter atau spirometer Pertimbangkan pemeriksaan:
untuk menilai : 1. Foto ro toraks dan sinus
1. Reversibilitas (≥15%) 2. Uji fungsi paru
3. Uji respon terhadap bronkodilator
2. Variabilitas (≥15 %)
4. Uji provokasi bronkus
3. Hiperreaktivitas (≥20%)
5. Uji keringat
6. Uji imunologik
Tidak berhasil 7. Pemeriksaan motilitas silia
Berikan bronkodilator 8. Pemeriksaan refluks gastroesofagus
berhasil

Diagnosa kerja : asma Tidak mendukung mendukung


diagnosa lain diagnosa lain

Tentukan derajat dan pencetusnya


Bila asma episodic sering/persisten
Diagnosis dan pengobatan
:foto rontgen
sesuai dengan diagnosis kerja

Berikan obat anati asma: bila tidak


berhasil, nilai ulang diagnosis dan Pertimbangkan asma Bukan
ketaatan berobat sebagai penyakit asma
penyerta

2.9 Pemeriksaan Penunjang(3)


1. Pemeriksaan fungsi paru, terdiri dari
1. Pengukuran sederhana ; peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak ekspirasi
(APE), pulse oxymetry, spirometri
2. Pengukuran kompleks ; muscle strength testing, volume paru absolut, kapasitas difusi

14
uji fungsi paru yang biasa dilakukan adalah volume paru, fungsi jalan nafas,
pertukaran gas. Pemeriksaan analisis gas darah merupakan baku emas untuk menilai
parameter pertukaran gas, tetapi pulse oxymetry masih merupakan pemeriksaan yang
berguna dan efisien. Pada uji fungsi jalan nafas, hal yang paling penting adalah
manuver ekspirasi paksa secara maksimal yang dapar dilakukan pada anak di atas 6
tahun adalah forced expiratory volume in 1 second (FEV1) dan vital capacity (VC)
dengan menggunakan spirometer serta pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau
arus puncak ekspirasi (APE) dengan peak flow meter. Pengukuran variabilitas dan
reversibilitas fungsi paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendiagnosis asma,
menilai derajar beratnya asma, dan menjadi acuan dalam strategi pedoman
pengelolaan asma.
Pada pedoman nasional asma anak (PNAA) 2004, untuk mendukung diagnosis asma anak
dipakai batasan :
1. variabilitas PEF atau FEV1 ≥15%
2. kenaikan PEF atau FEV1 ≥15% setelah
pemberian inhalasi bronkodilator
3. penurunan PEF atau FEV1 ≥20% setelah
provokasi bronkus
penilaian variabilitas sebaiknya dilakukan dengan mengukur selama ≥2 minggu.
2. Pemeriksaan hiperreaktivitas saluran nafas
Pada pasien yang mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak normal, penilaian
respon saluran nafas terhadap metakolin, histamin, atau olahraga dapat membantu
menegakkan diagnosis asma.
3. Pengukuran petanda inflamasi saluran nafas non-invasif
Dapat dilakukan dengan cara memeriksa sputum, dan dengan pengukuran kadar NO
ekshalasi. Tetapi, pemeriksaan ini tidak spesifik.
4. Penilaian status alergi
Dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik dapat membantu menentukan faktor risiko
atau pencetus asma. Tes alergi untuk kelompok usia <5 tahun dapat digunakan untuk :
1. Menentukan apakah anak atopi
2. Mengarahkan manipulasi lingkungan
3. Memprediksi prognosis anak dengan mengi

15
2.10 Penatalaksanaan
Tata laksana asma mencakup edukasi terhadap pasien dan atau keluarganya terntang
penyakit asma dan penghindaran terhadap faktor pencetus, serta medikamentosa.
Medikamentosa yang digunakan dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu pereda (reliever)
dan pengendali (controller). (5) Obat pereda ada yang menyebutnya obat pelega, atau obat
serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika
sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi, maka obat ini
tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang sering disebut sebagai
obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar
asma yaitu inflamasi saluran nafas kronik. Dengan demikian pemakaian obat ini terus-
menerus dalam jangka waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan responsnya
terhadap pengobatan /penanggulangan. (1) Tata laksana asma dibagi menjadi dua kelompok
yaitu saat serangan dan di luar serangan. Di luar serangan, pemberian controller tergantung
pada derajat penyakit. Pada asma episodik jarang, tidak diperlukan controller, sedangkan
pada asma episodik sering dan asma persisten memerlukan obat controller. Pada saat
serangan, lakukan prediksi derajat serangan, kemudian ditata laksana sesuai dengan
derajatnya. (5)
Terdapat empat komponen agar serangan asma tidak berulang (asma terkontrol),
yaitu :(10)
1. Pendekatan, edukasi pasien.
Manajemen kasus asma diperlukan hubungan dan kerja sama yang baik antara
penderita, dan orang-orang yang ada di sekitar pasien (orang tua, dokter, dan
lain-lain). Hal ini berhubungan dengan kepatuhan meminum obat, memberikan
edukasi kapan, dan ciri asma yang memburuk dan langkah apa yang harus
dilakukan bila kondisi asma memburuk, dan lain-lain.
2. Mengindentifikasi dan mengurangi faktor risiko
3. Tata laksana, dan memantau asma
4. Pencegahan dan tata laksana eksaserbasi asma.
Eksaserbasi adalah waktu dimana nafas pendek, batuk, wheezing, tarikan dada
atau kombinasi dari gejala yang meningkat secara progresif.

16
Terapi yang tidak perlu dilakukan/diberikan untuk asma : (10)
1. Sedatif
2. Mukolitik ; karena dapat memperberat batuk
3. Terapi fisik pada dada/fisioterapi ; karena dapat meningkatkan ketidak nyamanan pada
pasien
4. Antibiotik ; antibiotik diberikan pada pasien pneumonia atau infeksi bakteri, bukan
asma
5. Adrenalin ; tidak berguna pada pasien asma

2.10.1 Terapi Medikamentosa


Terdiri dari tatalaksana saat serangan dan tatalaksana jangka panjang. Pada
saat serangan pemberian α-2 agonis pada awal serangan dapat mengurangi gejala
dengan cepat. Bila diperlukan dapat diberikan kortikosteroid sistemik pada serangan
sedang dan berat.
Pada serangan asma yang berat: (5)
1. Berikan oksigen
2. Nebulasi dengan β-agonis ± antikolinergik dengan oksigen dengan 4-6 kali
pemberian.
3. Koreksi asidosis, dehidrasi dan gangguan elektrolit bila ada
4. Berikan steroid intra vena secara bolus, tiap 6-8 jam
5. Berikan aminofilin intra vena :
1. Bila pasien belum mendapatkan amonifilin
sebelumnya, berikan aminofilin dosis awal 6 mg/kgBB dalam dekstrosa atau
NaCl sebanyak 20 ml dalam 20-30 menit.
2. Bila pasien telah mendapatkan aminofilin
(kurang dari 4 jam), dosis diberikan separuhnya.
3. Bila mungkin kadar aminofilin diukur dan
dipertahankan 10-20 mcg/ml.
4. Selanjutnya berikan aminofilin dosis rumatan
0,5-1 mg/kgBB/jam
6. Bila terjadi perbaikan klinis, nebulasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan
pemberian steroid dan aminofilin dapat per oral
7. Bila dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan
dibekali obat β-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam
17
selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol
ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.

Tata laksana serangan asma pada anak(5)

Klinik/IGD

Nilai derajat serangan

Tatalaksana Awal

1. Nebulisasi β -agonis 1-2x selang 20 menit


2. Nebulisasi kedua + antikolinergik
3. Jika serangan sedang/berat, nebulisasi
langsung dengan β 2-agonis
+antikolinergik

Serangan Ringan Serangan Sedang (nebulisasi 2 Serangan Berat (bila telah


(nebulisasi 1 kali, kali, respons parsial) nebulisasi 3 kali, respons buruk)
respons baik) 1. Berikan oksigen (3) 1. Sejak awal berikan O2
1. Observasi 1-2 jam 2. Nilai kembali derajat saat/diluar nebulissasi
2. Jika efek bertahan, serangan, jika sesuai 2. Pasang jalur parenteral
boleh pulang dengan serangan sedang, 3. Nilai ulang keadaan klinis,
3. Jika gejala timbul observasi di Ruangan jika sesuai dengan serangan
lagi, perlakukan Rawat Sehari berat, rawat di Ruang Rawat
sebagai serangan 3. Berikan steroid oral Inap
4. Foto rontgen toraks
sedang

Ruang Rawat Sehari / Observasi


Boleh Pulang 1. Teruskan pemberian Ruang Rawat Inap
1. Bekali dengan obat β - oksigen 1. Teruskan oksigen
agonis (hirupan/oral0 2. Lanjutkan steroid oral 2. Atasi dehidrasi dan asiodsis jika ada
3. Steroid IV tiap 6-8 jam
2. Jika sudah ada obat 3. Nebulisasi tiap 2 jam
4. Nebulisasi tiap 1-2 jam
pengendali, teruskan’jika 4. Bila dalam 12 jam
5. Aminofilin IV awal lanjutkan
pencetusnya adalah infeksi perbaikan klinis stabil,
rumatan
virus, dapat diberikan bioleh pulang, tetapi jika 6. Jika mambaik dalam 4-6x
steroid oral klinis tetap belum mambaik nebulisasi, interval jadi 4-6 jam
3. Dalam 24-48 jam control atau memburuk alih rawat 7. Jika dalam 24 jam perbaikan klinis
ke Klinik Rawat Jalan, ke ruang rawat inap stabil, boleh pulang
untuk reevaluasi 8. Jika dengan steroid dan aminofilin
parenteral tidak mambaik, bahkan
Catatan : timbul ancaman henti napas alih
1. Jika menurut penilaian serangannya sedang/berat, nebulisasi rawat ke ruang rawat intensif
pertama kali langsung dengan β -agonis + antikolinergik
2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang Rawat
Intensif
3. Jika alat nebulisasi tidak tersedia, nebulisasi dapat diganti dengan
adrenalin subkutan 0,01 ml/kgBB/kali, maksimal 0,3 ml/kali
Tatalaksana Jangka Panjang
4. Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4 L/menit
18
diberikan sejak awal, termasuk pada saat nebulisasi
Tatalaksana jangka panjang (aspek kronis) pada asma anak diberikan pada
asma episodik sering dan persisten, sedangkan pada asma episodik jarang tidak
diperlukan. Proses inflamasi kronis yang terjadi pada asma bersamaan dengan proses
remodelling yang ditandai dengan disfungsi epitel. Pemberian kortikosteroid yang
lama pada anak merupakan perdebatan yang cukup lama. Para ahli sepakat bahwa
pemberian kortikosteroid secara sistemik dalam jangka panjang dapat mengganggu
pertumbuhan anak sehingga harus berhati-hati dan bila memungkinkan dihindari.
Berdasarkan hal tersebut, pemberian secara topikal menjadi pilihan utama. Pemberian
kortikosteroid secara topikal (dalam hal ini secara inhalasi) dalam waktu lama
(jangka panjang) dengan dosis dan cara yang tepat tidak menyebabkan gangguan
pertumbuhan pada anak. Penggunaan kortikosteroid inhalasi telah dibuktikan
keuntungan dan keamanannya selama digunakan dengan cara yang benar. Pemberian
yang salah, baik dosis maupun cara pemberian, justru akan berdampak negatif
terhadap pertumbuhan anak dan efek samping lainnya seperti moon face, hipertensi,
perawakan pendek, dan sebagainya. (4)
Pada tahap awal, dosis kortikosteroid yang diberikan dimulai dengan dosis
rendah (pada anak > 12 tahun setara dengan budesonide 200-400 mg, sedangkan pada
anak < 12 tahun 100-200 mg) dan dipertahankan untuk beberapa saat (6-8 minggu)
apabila keadaan asmanya stabil. Pemberian dosis tersebut mempunyai efektifitas
yang baik pada asma yang membutuhkan obat pengendali. Selain itu efek samping
yang dikuatirkan yaitu gangguan pertumbuhan tidak terjadi dengan kortikosteroid
dosis rendah. (4)
Bila gejala asma sudah stabil dosis dapat diturunkan secara perlahan sampai
akhirnya tidak menggunakan obat lagi. Dikatakan asma stabil apabila tidak
ditemukan/minimal gejala asmanya. Penderita dapat tidur dengan baik, aktivitas tidak
terganggu, dan kualitas hidup cukup baik. Apabila dengan pemberian kortikosteroid
dosis rendah hasilnya belum memuaskan, dapat dikombinasi dengan long acting
beta-2 agonist (LABA) atau dengan theophylline slow release (TSR), atau dengan
antileukotrien, atau meningkatkan dosis kortikosteroid menjadi dosis medium
(setaradengan budesonide 200-400 μg). Pemberian kortikosteroid secara inhalasi
tidak mempunyai efek samping terhadap tumbuh kembang anak selama dosis yang
diberikan < 400 μg dan dengan cara yang benar. Pada anak dianjurkan tidak melebihi
800 μg, karena dengan penambahan dosis kortikosteroid tersebut tidak akan
menambah manfaatnya, tetapi justru meningkatkan efek sampingnya. (4)

19
Penggunaan LABA cukup menjanjikan, karena selain efek bronkodilator
dengan lama kerja yang lama (long acting), LABA juga mempunyai efek lain yang
masih dalam perdebatan yaitu antiinflamasi. pemberian kortikosteroid bersama
dengan LABA sangat menguntungkan. Pada saat ini telah dipasarkan di Indonesia
dalam bentuk satu sediaan yaitu fluticason-salmeterol, dan budesonidformoterol.
Pemberian kombinasi fluticason-salmeterol maupun budesonid-formoterol
mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan pemberian kortikosteroid dosis ganda
(double dose) secara sendiri. Kombinasi antara kortikosteroid dan LABA telah
terbukti aman selama dosis dan penggunaannya benar. (4)
Di Indonesia bentuk atau kemasan yang ada adalah dry powder inhaler
(DPI) yaitu berisi budesonide-formoterol, dan bentuk metered dose inhaler (MDI)
yang berisi fluticasone-salmeterol. Kombinasi budesonide-formoterol mempunyai
onset yang lebih cepat dibandingkan dengan fluticason-salmeterol, sedangkan
flutikasone-salmeterol mempunyai harga yang lebih murah dan mengurangi
perawatan di rumah sakit. Pada anak sangat dianjurkan menggunakan spacer (alat
antara) apabila menggunakan MDI, karena dapat meningkatkan deposit obat di paru,
mengurangi koordinasi saat menyemprot dan menghirup, serta mengurangi efek
samping kandidiasis mulut. Penggunaan DPI harus benar yaitu dengan menghisap
secara cepat dan dalam, sehingga penggunaannya harus pada anak yang lebih besar
(umumnya di atas 5 tahun). (4)
Penggunaan sodium kromoglikat, nodokromil, dan α2 agonis long-acting
sebagai contoller (pengendali) telahbanyak dilaporkan. Penggunaan obat α2 agonis
long-acting biasanya digunakan bersama-sama dengan kortikosteroid inhalasi sebagai
pengendali. Saat ini penggunaan kromoglikat dan nedokromil untuk tatalaksana
jangka panjang tidak digunakan lagi, karena selain efek antiinflamasinya kurang
kuat, juga tidak tersedianya obat tersebut. Selain pengobatan di atas, ada obat lain
yang digunakan pada asma yaitu golongan antileukotrien seperti montelukas dan
zafirlukas. Penggunaan obat antileukotrien jenis zafirlukas masih terbatas pada anak
usia >6 tahun, sedangkan jenis montelukas sudah digunakan pada anak di atas 2
tahun. Mengenai penggunaan obat ini, masih memerlukan penelitian lebih lanjut. (4)
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak, karena
perbedaan kemampuan menggunakan alat inhalasi. Perlu dilakukan pelatihan yang
benar dan berulang kali :

20
Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan usia (1)
Umur Alat inhalasi
< 2 tahun Nebuliser (alat uap)
MDI (Metered Dose Inhaler) dengan spacer
Aerochamber, Babyhaler
5-8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
DPI (Dry Powder Inhaler): Diskhaler, Turbuhaler
> 8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
DPI
MDI tanpa spacer

Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) membuat pedoman tentang tatacara dan
langkah – langkah untuk penggunaan obat controller.(4)

21
Setelah ditentukan klasifikasi asma sebagai asma episodik sering atau asma
persisten, maka penggunaan controller sudah harus dijalankan. Pertama berikan
kortikosteroid dosis rendah. Evaluasi gejala klinis sampai 6-8 minggu. Apabila dalam
waktu 6-8 minggu asmanya stabil, maka dosis kortikosteroid diturunkan secara
bertahap yang pada akhirnya dapat dihentikan tanpa kortikosteroid. Apabila dalam
waktu 6-8 minggu asmanya belum stabil yaitu masih sering terjadi serangan, maka
harus menggunakan tahap kedua yaitu berupa kortikosteroid dosis rendah
ditambahkan LABA, atau dengan penambahan TSR, atau dengan penambahan
antileukotrien, atau dosis kortikosteroid dinaikkan menjadi double dose. (4)
Setelah tahap kedua ini, harus dievaluasi ulang keadaan stabilitas asma.
Apabila asma stabil dalam waktu 6-8 minggu, maka pengobatan dapat diturunkan
secara bertahap sampai pada kortikosteroid dosis rendah yang pada akhirnya dapat
tanpa obat-obat controller. Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya belum stabil,
maka tatalaksana meningkat pada tahap ketiga yaitu meningkatkan dosis
kortikosteroid menjadi dosis medium ditambah LABA, atau TSR, atau antileukotrien,
atau ditingkatkan dosis kortikosteroidnya menjadi dosis tinggi. Apabila dengan dosis
ini asmanya stabil dalam waktu 6-8 minggu, maka diturunkan secara bertahap ke
tahap dua, ke satu dan akhirnya tanpa controller. Apabila dengan cara tersebut di atas
asmanya belum stabil, maka penggunaan kortikosteroid secara oral boleh digunakan.
(4)

Penggunaan kortikosteroid oral (sistemik) harus merupakan langkah terakhir


tatalaksana asma pada anak. Selain penggunaan obat controller, usaha pencegahan
terhadap faktor pencetus harus tetap dilakukan. (4)
Mengenai penggunaan obat antihistamin sebagai obat controller pada asma
anak tidak dianjurkan karena mempunyai efek seperti atropin (atropine like effect)
yang justru merugikan penderita. Antihistamin dapat diberikan pada tatalaksana asma
jangka panjang apabila penderita menderita asma disertai rinitis alergika kronis.
Tanpa penyakit penyerta rinitis alergika, PNAA tidak menganjurkan pemberian
antihistamin pada tatalaksana jangka panjang. Penggunaan antihistamin generasi
terbaru (misalnya setirizin dan ketotifen) sebagai pencegahan terhadap asma dapat
diberikan pada anak yang mempunyai risiko asma yang kuat yaitu riwayat asma pada
keluarga dan adanya dermatitis atopi pada penderita. Pemberian obat ini masih
kontroversi, meskipun ada yang berpendapat akan mempunyai efek yang cukup baik
bila digunakan selama 18 bulan. (4)

22
i. Terapi Nonmedikamentosa
Terdiri dari tatalaksana komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pada
penderita dan keluarganya, penghindaran terhadap faktor pencetus. Pada KIE perlu
ditekankan bahwa keberhasilan terapi atau tatalaksana sangat bergantung pada
kerjasama yang baik antara keluarga (penderita) dan dokter yang menanganinya.
Keluarga penderita asma perlu dijelaskan mengenai asma secara detail dengan
bahasa awam agar keluarga mengetahui apa yang terjadi pada asma, kapan harus
pergi ke dokter, penanganan pertama apabila terjadi serangan, dan sebagainya. (3)
Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran
yang cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap saluran respiratorik yang berakibat
terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa, dan hipersekresi. Penghindaran terhadap
pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik. (3)

Pencegahan asma
1. Pencegahan primer

Pencegahan primer adalah mencegah terjadinya sensitisasi pada bayi


atau anak yang mempunyai resiko untuk terjadinya asma di kemudian hari.
Yang dimaksud dengan resiko adalah bayi atau anak dengan atopi, baik pada
salah satu ataupun kedua otangtuanya. Langkah pertama adalah mengenali
adanya faktor resiko untuk terjadinya asma di kemudian hari, yaitu dengan
mengenali orangtua dengan atopik. Oleh karena itu, upaya pencegahan primer
sudah dapat dimulai ketika belum terjadinya potensi genetik bersatu yaitu
dengan rekayasa genetik. Akan tetapi, hal ini belum dapat dilakukan, sehingga
upaya pencegahan primer saat ini masih ditujukan pada janin atau bayi dengan
resiko asma. Beberapa upaya pencegahan primer telah ditelusuri dan masih
banyak yang kontroversial. Pencegahan primer dapat dilakukan pada saat
prenatal dan pascanatal. Pada masa prenatal, orang tua dihindari terhadap
lingkungan yang bersifat sebagai faktor resiko. Penghindaran yang dianjurkan
adalah terhadap lingkungan, terutama indoor pollutants. Yang dimaksud
dengan indoor pollutants adalah asap rokok, debu rumah yang mungkin
mengandung banyak tungau debu rumah, dan lain lain. Pemberian probiotik
untuk menurunkan kejadian asma saat ini masih dibicarakan. Diperkirakan
caranya adalah melalui supresi Th2 yang berperan terhadap inflamasi dan
produksi immunoglobulin A (IgA). Faktor yang meningkatkan prevalens asma

23
yang sudah disepakati adalah infeksi Respiratory sincytial virus (RSV). Ada
dua kemungkinan mekanisme terjadinya peningkatan tersebut. Mekanisme
pertama, mungkin saja pada anak tersebut, yang telah mempunyai riwayat
atopi, melakukan reaksi yang berlebihan terhadap infeksi RSV, sehingga
kerusakan pada saluran respiratorik menjadi lebih hebat dan berdampak di
kemudian hari. Mekanisme kedua, infeksi RSV akan mengakibatkan kerusakan
hebat pada saluran respiratorik, sehingga kerusakan tersebut berdampak di
kemudian hari. Selain pemberian probiotik pada bayi, yang telah banyak
dilakukan adalah pemberian susu hipoalergenik (susu dengan protein
hidrolisat). (3)
2. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder adalah mencegah terjadinya asma/inflamasi pada


seorang anak yang sudah tersensitisasi. Secara klinis hal ini telah dibuktikan
dengan menggunakan obat antihistamin. Pada early treatment of the atopic
child (ETAC), pemberian cetirizine selama 18 bulan pada anak dengan
dermatitis atopi yang orangtuanya atopi, dapat mecegah terjadinya asma
sebanyak 50% bila anak tersebut hanya alergi terhadap debu rumah dan serbuk
sari. Hanya saja, obat ini secara keseluruhan tetap tidak dapat menurunkan
kejadian asma. (3)
Selain pemberian obat-obatan tersebut, faktor resiko lain seperti
alergen harus dihindari juga. Penghindaran pada pencegahan sekunder juga
sama seperti pada pencegahan primer, sebab tanpa penghindaran terhadap
alergen maka pencegahan sekunder menjadi tidak bermakna. Akan tetapi,
pencegahan sekunder ini masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut. (3)
3. Pencegahan tersier

Pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya serangan pada seorang


anak yang sudah menderita asma. Kita menyadari bahwa serangan asma dapat
terjadi akibat adanya faktor pencetus. Pencegahan terhadap hal tersebut
merupakan salah satu langkah pencegahan tersier. Faktor lain yang dapat
menyebabkan serangan asma adalah gagalnya terapi jangka panjang. Yang
dimaksud terapi jangka panjang adalah pemberian obat pengendali (controller)
berupa kortikosteroid, baik yang diberikan tersendiri ataupun kombinasi
dengan β-agonis kerja panjang atau antileukotrien. (3)

24
b. Prognosis(2)
1. Wheezing yang ditemukan pada bayi yang disertai infeksi
saluran pernapasan atas (URTIs), 60% tidak menunjukkan gejala pada usia enam
tahun, namun anak-anak yang menderita asma (gejala dapat berulang pada usia
enam tahun).
2. Beberapa temuan menunjukkan bahwa prognosis buruk bila
asma terjadi pada usia kurang dari tiga tahun, kecuali bila hanya disebabkan oleh
virus.
3. Individu yang mengalami asma selama masa kanak-kanak
memiliki FEV1 yang rendah, hipersensitivitas saluran nafas dan sering terjadi
bronkospastik oleh karena infeksi dan menghasilkan wheezing.
4. Anak-anak dengan asma ringan yang tidak menunjukkan
gejala antara serangan
mungkin di kemudian hari akan bebas dari asma.
5. Saat remaja, kebanyakan asma tidak bergejala atau ringan, tetapi akan menetap
selanjutnya.
6. Asma memiliki kecenderungan berulang pada masa pubertas, dengan
kemungkinan terjadi lebih dini pada anak perempuan. Walau bagaimanapun,
dibandingkan dengan laki-laki, perempuan memiliki tingkat hyperresponsif
bronkial (BHR) yang lebih tinggi.

25
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Asma merupakan inflamasi kronik yang terjadi di saluran nafas atas yang ditandai dengan
wheezing dan batuk.
2. Asma dibagi menjadi asma ringan, sedang, dan berat
3. Penyebab timbulnya asma sangat banyak, di antaranya infeksi saluran nafas, alergen,
iritan, perubahan cuaca, olahraga, emosi, dan lain-lain.
4. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan fungsi paru, pemeriksaan
hiperreaktivitas saluran nafas, pengukuran petanda inflamasi saluran nafas non-invasif,
dan penilaian status alergi.
5. Penatalaksanaan pasien asma berupa kombinasi yang baik antara terapi medikamentosa
dan nonmedikamentosa. Pencegahan faktor pencetus sangatlah penting, agar terhindar
dari serangan asma ulangan

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Nastiti, dkk. ASMA. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi pertama. IDAI .Jakarta :
2008.
2. Supriyatno, H. Bambang. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universita Indonesia/ Rumah
Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
3. Sidhartani, Magdalena (2007) Peran Edukasi Pada Penatalaksanaan Asma Pada Anak.
Documentation. Diponegoro University Press, Semarang
4. www.emedicine.com eMedicine Specialties > Pediatrics: General Medicine
>Pulmonology>astma
5. Mangunnegoro Hadiarto,dkk. ASMA. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. PDPI. Jakarta : 2004.
6. www.fk.unpad.ac.id / anti IgE asma pada anak. 2007
7. Landia Setiawati, Makmuri M.S., Retno Asih S. Asma bagian Ilmu Kesehatan
Anak.Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya
8. www.joeuser.com dr Widodo Judarwanto SpA. Asma Pada Anak Gangguan yang
Menyertai dan Fakta Yang belum Terungkap. Children Allergy Center Rumah
Sakit Bunda Jakarta, Oktober: 2006
9. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Nasional Cipto
Mangunkusumo 2007
10. www.ginasthma.org. Pocket Guide for Asthma Management and Prevention. 2009

27
28

You might also like