You are on page 1of 32

LAPORAN KASUS

ILMU PENYAKIT BEDAH

TRAUMA AMPUTASI PENIS

(KOMPLIKASI SIRKUMSISI)

Oleh :

Citra Putri Anandira

132011101046

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya

SMF Ilmu Bedah di RSD dr.Soebandi Jember

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JEMBER

2017
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

DAFTAR ISI ........... ii

DAFTAR GAMBAR . iii

BAB 1. PENDAHULUAN 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA........ 5

2.1 Trauma Amputasi Penis .... 5

2.1.1 Anatomi Penis .. 5

2.1.2 Etiologi Trauma Penis . 12

2.1.3 Patofisiologi Trauma Penis ...... 12

2.1.4 Diagnosis Trauma Penis .. 14

2.1.5 Penanganan pada Trauma Penis .. 15

2.2 Sirkumsisi . 17

2.2.1 Definisi .... 17

2.2.2 Indikasi dan Kontraindikasi .... 17

2.2.3 Persiapan Operasi .... 18

2.2.4 Teknik Sirkumsisi ... 19

2.2.5 Komplikasi .. 22

BAB 3. LAPORAN KASUS ..... 23

BAB 4. KESIMPULAN .... 31

DAFTAR PUSTAKA ....... 32

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Komponen pada penis 5


Gambar 2.2 Potongan melintang dari penis ... 6
Gambar 2.3 Potongan sagital genitalia eksterna pria . 7
Gambar 2.4 Pembagian uretra pada genitalia pria . 9
Gambar 2.5 Pembuluh darah superfisial penis . 10
Gambar 2.6 Pembuluh darah profunda dan dorsal penis . 10
Gambar 2.7 Nervus pudendus .. 11
Gambar 2.8 Teknik Dorsumsisi ... 20
Gambar 2.9 Teknik Klasik/Guilotin ..... 21
Gambar 3.1 Foto Klinis sebelum Operasi 25
Gambar 3.2 Foto Klinis setelah Operasi .. 27

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

Trauma amputasi penis merupakan kasus kegawatdaruratan operatif yang


jarang ditemui dengan penyebab yang bervariasi[1]. Amputasi penis dapat ditemui
pada pasien yang melakukan emaskulasi diri sendiri pada individu psikotik yang
melakukannya sebagai respon terhadap halusinasi yang dialaminya. Selain itu,
amputasi penis juga merupakan komplikasi dari tindakan sirkumsisi.
Sirkumsisi merupakan tindakan yang bertujuan untuk membuang
prepusium sehingga glans penis menjadi terbuka[2]. Tindakan ini merupakan
tindakan bedah minor yang umum dilakukan, terutama pada anak usia 6-10 tahun.
Tetapi, karena sirkumsisi banyak dilakukan oleh petugas medis yang tidak
berpengalaman di rumah, rumah sakit maupun sirkumsisi massal dengan jumlah
pasien yang banyak yang dilakukan dalam waktu yang singkat maka angka
komplikasi sirkumsisi cukup besar. Pada amputasi penis yang merupakan
komplikasi tindakan sirkumsisi, bagian dari penis yang teramputasi adalah kulit
penis dan/atau bagian dari glans penis.
Meskipun tindakan sirkumsisi dianggap sebagai prosedur yang mudah dan
aman dilakukan dengan penyulit yang jarang terjadi (0,2-0,5%)[2], trauma amputasi
penis masih butuh perhatian khusus agar para tenaga medis dapat mengetahui baik
penanganan awal maupun tatalaksana lebih lanjut dari kasus ini, dan dapat lebih
berhati-hati terhadap tindakan sirkumsisi yang akan dilakukan.

4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma Amputasi Penis

2.1.1 Anatomi Penis


Penis terdiri dari tiga kompenen utama, dua korpora kavernosa pada bagian
dorsal dan satu korpora spongiosum yang berada pada bagian ventral (Gambar 2.1).
komponen ini ditutupi oleh jaringan areolar yang ditutupi oleh lapisan kulit. Kulit
pada penis tipis dengan warna yang lebih gelap, dan tanpa disertai oleh jaringan
lemak. Kulit akan langsung berhubungan pada corpus penis, yang akan
memudahkan gerakan pada corpus penis[3].

Gambar 2.1 Komponen pada penis[3]


a. Dua buah corpora cavernosa yang terpisah di proximal cruris; b. Gland
penis yang merupakan kelanjutan dari corpus spongiosum; c. Hubungan
antara corpora cavernosa, corpus spongiosum, dan gland penis

5
Korpora cavernosa yang terletak di bagian distal mengandung jaringan
erektil yang dibungkus oleh tunika albugiea. Badan erektil penis diselubungi oleh
deep penile fascia (fasia Bucks), superficial penile fascia (fasia Dartos), dan kulit.
Di sebelah superior dari corpora kavernosa terdapat vena dorsalis profundus, arteri
dorsalis, nervus dorsalis yang berada pada fasia Bucks diatas tunika albuginea[3].
(Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Potongan melintang dari penis[3]


a. dua buah korpora kavernosa; b. septum intercorpora; c. tunika
albuginea; d. arteri kavernosa; e. korpus spongiosum; f. uretra pars
pendularis; g. fascia Buck; h. arteri dan vena dorsalis penis

Fasia Bucks adalah lapisan tebal yang langsung menyelubungi dan


menempel secara longgar terhadap ketiga korpora. Di sebelah ventral, fasia Bucks
terbagi untuk menyelubungi korpus spongiosum. Konsolidasi dari fasia ini di
sebelah lateral korpus spongiosum memfiksasi struktur ini pada tunica albuginea.
Di sebelah distal, fasia Bucks menempel pada permukaan bawah dari glans penis
pada korona glandis. Setelah melewati basis dari glans penis, fasia ini meluas
sampai perineum.
Fasia Dartos penis terdiri dari jaringan areolar yang memisahkan dua
lapisan preputial fold dan berlanjut ke sebeah proksimal di bawah kulit penis,
melekat secara longgar pada kulit dan fasia Bucks. Fasia Dartos mengandung
arteri-arteri, vena-vena, dan nervus superfisial penis. Pada basis penis, fasia ini

6
menyatu dengan tunika Dartos dari skrotum dan meluas sampai ke perineum,
dimana fasia ini akan berlanjut menjadi fasia perineum superfisialis[3].
Tunika albuginea secara primer terdiri dari kolagen dan jaringan
fibroelastik, yang menuju lapisan sirkular longitudinal di bagian dalam dan luar
yang menyelubungi hampir semua korpus. Korpora kavernosa dipenuhi dengan
jaringan erektil yang terdiri dengan arteri-arteri, sinusoid-sinusoid yang berisi sel-
sel endotelial, vena, nervus, dan trabekula yang berasal dari tunika albuginea.
Diantara jaringan ini dan tunika albuginea, terdapat lapisan sangat tipis dari
jaringan areolar yang mengandung sejumlah pembuluh darah.
Di sebelah proksimal, ligamentum suspensarium penis terletak pada basis
penis (Gambar 2.3). Bagian luar dari ligamentum tersebut berlanjut menjadi bagian
bawah dari linea alba dan terbagi menjadi lamina-lamina yang menyelingkupi
penis. Bagian dalam dari ligamentum suspensarium melekat pada bagian anterior
dari symphisis pubis[4].

Gambar 2.3 Potongan sagital genitalia eksterna pria[4]


Korpus spongiosum berada pada bagian ventral pada cekungan diantara
kedua korpora cavernosa. Tunika albuginea yang menyelubungi korpus
spongiosum lebih tipis dari pada yang menyelubungi korpora kavernosa dan pada

7
korpus spongiosum, jaringan erektil lebih sedikit. Uretra berjalan sepanjang penis
didalam korpus spongiosum. Korpus spongiosum sebelah distal membentuk
jaringan erektil yang bernama glans penis, yang menutup seluruh ujung korpora
cavernosa. Meatus uretra berada di sebelah ventral dari ujung glans penis dengan
aksis panjang berada pada arah vertikal. Tepi dari glans penis yang berbatasan
dengan shaft penis bernama corona, dengan sulkus coronarius berada di
proksimalnya. Frenulum adalah lipatan kulit yang menempel pada bagian paling
ventral dari glans penis, dimana korona membentuk V [4].
Pembagian uretra sebagai berikut: pada anterior terdapat uretra pars
glandularis/fossa navikularis, uretra pars pendularis, dan uretra pars bulbosa.
Sedangkat pada posterior terdapat uretra pars membranosa, dan uretra pars
prostatika (Gambar 2.4). Uretra pars glandularis dilapisi oleh epitel squamous
kompleks. Pada uretra pars pendularis, epitelium yang melapisi adalah secara
primer adalah stratified atau pseudo stratified columnar dengan disertai area epitel
stratified squamous. Pada bulbus penis, uretra melebar dan berada lebih dekat pada
bagian dorsal dari corpus spongiosum. Uretra pars bulbosa dilapisi oleh epitel
stratified atau pseudo stratified columnar, yang akan berlanjut ke arah proksimal
menjadi uretra pars membranasea. Pada area ini terjadi perubahan bertahap menjadi
epitel transisional yang melapisi uretra pars prostatika. Kelenjar periuretra (kelenjar
Littres) berada pada uretra pars pendularis dan bulbosa pada permukaan dorsalnya.
Sering kali terdapat lacuna magna pada dorsal dari fossa navicularis. Duktus
kelenjar bulbouretra (kelenjar Cowpers) berada pada uretra pars bulbosa[3].

8
Gambar 2.4 Pembagian uretra pada genitalia pria[3]
A. Uretra posterior (a. uretra pars prostatika; b. uretra pars membranosa)
B. Uretra anterior (a. uretra pars bulbosa; b. uretra pars pendularis; c.
fossa navikularis)

Suplai darah superfisial untuk kulit penis dan dartos berasal dari bagian
inferior kanan dan kiri arteri pudenda ekterna (Gambar 2.5). pembuluh darah ini
berasal dari cabang pertama arteri femoralis dan menyilang sisi medial atas dari
femoral triangle yang akan bercabang menjadi dua. Cabang-cabang ini berjalan ke
arah dorsolateral dan ventrolateral didalam fasia dartos pada shaft penis dengan
kolateralisasi ke arah midline. Drainase vena superfisial penis disediakan oleh
sejumlah vena yang berjalan di dalam fasia dartos pada sisi dorso lateral penis.
Vena-vena ini bersatu pada basis penis yang membentuk vena dorsalis superfisialis,
yang akan bermuara pada vena saphena kiri[3].

9
Gambar 2.5 Pembuluh darah superfisial penis[4]
Suplai darah ke struktur dalam dari penis berasal dari arteri penis kommunis
yang merupakan terusan dari arteri perieal (Gambar 2.6). Arteri penis komunis
berjalan pada batas medial ramus pubis inferior sebelum bercabang menjadi cabang
terminal dekat dengan bulbus uretra. Terkadang satu atau lebih pembuluh darah
terminal penis berasal dari arteri pudenda aksesorius yang berasal dari pelvis, paling
banyak berasal dari arteri obturator atau arteri pudenda interna sebelum masuk
foramen sciatica magna. Arteri pudenda asesorius berjalan sepanjang bagian bawah
buli-buli dan permukaan anterolateral dari prostat untuk mencapai bagian dalam
dari penis[4].

Gambar 2.6 Pembuluh darah profunda dan dorsal penis[4]

10
Vena yang berasal dari glans penis membentuk pleksus retro koronal yang
bermuara pada tiga sampai lima vena besar yang menuju vena dorsalis profunda,
yang berada di dalam fasia Bucks disebelah superior tengah dari korpus penis.
Vena dorsalis profunda di sebelah proksimal melewati ligamentum suspensarium
dan kemudian dibalik simpisis pubis untuk bergabung dengan pleksus prostatika
(pleksus Santorini). Sepanjang shaft penis, vena dorsalis menerima drainase darah
dari jaringan erektil. Vena emisaria muncul dari jaringan vena subtunika mengikuti
arah perpendikular atau oblik menuju tunika albuginea. Vena-vena ini muncul dari
permukaan lateral atau dorsal dari korpora kavernosa dan menuju vena
sirkumfleksa atau langsung menuju vena dorsalis profunda. Vena sirkumfleksa
berada pada dua-pertiga sebelah distal dari penis. Vena-vena ini berasal dari korpus
spongiosum dan berjalan transversal pada sisi lateral dari korpora, melewati
dibawah arteri dorsalis dan nervus dorsalis menuju vena dorsalis profunda[3].
Nervus pudendus menyediakan persyarafan somatik motorik dan sensorik
untuk penis (Gambar 2.7). Nervus ini memasuki perineum bersama arteri dan vena
pudenda interna melalui foramen sciatica minor pada sisi posterior dari fossa
ischiorectal. Bersama-sama berjalan melalui kanalis Alcocks ke batas posterior
dari membran perineum. Pada tiap sisi nervus dorsalis muncul sebagai cabang
pertama dari nervus pudendus di dalam kanalis Alcocks. Di sebelah distal nervus-
nervus ini berlanjut menuju bagian dorsal dari korpora. Fascicles multipel
menyebar keluar dari nervus dorsalis sepanjang shaft peni, memberikan suplai
persyarafan untuk permukaan tunika albuginea, kulit dan glans penis[4].

Gambar 2.7 Nervus pudendus[4]

11
2.1.2 Etiologi Trauma Penis
Sampai saat ini, laki-laki dengan gangguan psikotik akut yang menyakiti
dirinya sendiri dengan memotong penis nya masih menjadi penyebab terbanyak
dari trauma penis. Selain itu, trauma penis dapat berasal dari kecelakaan kerja,
terutama pada pasien yang bekerja dengan menggunakan alat pemotong tajam
dengan posisi duduk atau berdiri ditengah-tengah tubuhnya[5]. Meskipun terdapat
banyak kasus tentang amputasi penis, tetapi hingga sekarang masih sedikit literatur
yang membahas tentang laporan kasus amputasi penis.
Menurut penelitian yang dilakukan pada Perovic tahun 2005, kasus trauma
pada penis yang ditemukan pada 34 pasien dengan usia rata-rata 28 tahun, dapat
dijumpai kasus sebagai berikut: kecelakaan (41%), trauma iatrogenik (38%),
mutilasi tubuh diri sendiri (6%), penggunaan kauter elektrik (3%), kasus luka bakar
(6%), dan trauma tembakan peluru (6%)[6].
Pada kasus amputasi penis dari komplikasi sirkumsisi, amputasi glans penis
parsial terjadi pada penggunaan teknik clamp. Teknik sirkumsisi ini sangat sering
dilakukan di negara Turki, dengan teknik sebagai berikut: kulit prepusium ditarik
sampai ke distal, lalu dipasangkan klem pada ujung penis dan dilakukan eksisi
diantara kulit prepusium dan klem tersebut. Lalu operator akan menjahit ujung
potongan distal pada kulit dan mukosa penis dan ujung dari prepusium yang
dalam[7]. Dengan teknik ini, amputasi penis dapat terjadi jika saat pemotongan
prepusium tidak dilakukan dengan baik dan hati-hati.

2.1.3 Patofisiologi Trauma Penis


Trauma tajam genitalia eksterna sering berhubungan dengan injuri yang
kompleks kepada organ lain. Pada anak-anak, trauma tajam pada genitalia eksterna
sering terlihat pada kasus laserasi kulit genitalia setelah terjatuh ke atas benda
tajam[8].
Amputasi penis adalah salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada
tindakan sirkumsisi. Sirkumsisi adalah suatu prosedur pembedahan yang umum
dilakukan. Tetapi, karena sirkumsisi banyak dilakukan oleh petugas medis yang
tidak berpengalaman di rumah, rumah sakit maupun sirkumsisi massal dengan

12
jumlah pasien yang banyak yang dilakukan dalam waktu yang singkat maka angka
komplikasi sirkumsisi cukup besar. Besarnya komplikasi pada tindakan sirkumsisi
pada bayi baru lahir sebesar 0,2% sampai 3%. Perdarahan dan infeksi adalah
komplikasi ringan yang paling sering dilaporkan. Komplikasi sirkumsisi yang
paling serius adalah injuri pada urethra atau teramputasinya glans penis atau
sebagian atau seluruh bagian dari korpus penis[9].
Parsial amputasi dari glans penis dilaporkan pada teknik sirkumsisi
menggunakan teknik guilotine dimana kulit preputium ditarik dan di klem disebelah
distal dari ujung glans dan dieksisi diantara glans dan klem tersebut. Dengan teknik
ini, amputasi penis dapat terjadi jika operator secara tidak sengaja menempatkan
klem di glans penis[7]. Pernyataan dan rekomendasi EAU tahun 2012 mengenai
tindakan sirkumsisi dapat dilihat pada Tabel 2.1[5].

Tabel 2.1 Pernyataan dan rekomendasi EAU tahun 2012 mengenai tindakan
sirkumsisi[5]
Pernyataan
Sirkumsisi adalah tindakan yang umum dilakukan
Rate komplikasi berbeda-beda pada setiap negara
Kebanyakan kompliasi karena sirkumsisi adalah
komplikasi minor dan mudah diterapi
Rekomendasi GR
Sirkumsisi, pada semua umur, harus dilakukan oleh A
profesional yang berpengalaman dengan menggunakan
analgesia yang tepat dan kondisi yang steril
Komplikasi yang berat dari tindakan sirkumsisi A
membutuhkan pembedahan rekonstruksi dan harus dirujuk
pada pusat Urologi
GR = grade of recommendation

13
2.1.4 Diagnosis Trauma Penis
Diagnosis trauma tajam khususnya amputasi penis dapat terlihat jelas dari
pemeriksaan fisik. Dari anamnesis harus diketahui tentang tipe trauma, berapa lama
trauma tersebut telah berlangsung dan alat penyebab amputasi penis tersebut.
Adanya darah pada meatus urethra mengindikasikan bahwa ada trauma pada uretra.
Tetapi, ketiadaan darah pada meatus tidak serta-merta menghilangkan
kemungkinan terjadi trauma pada uretra[10]. Pada trauma tembus yang disebabkan
oleh tembakan, kaliber peluru dan dapat membantu menentukan luas dan jalur
kerusakan. Retrograde urethrography, dan sistoskopi, mungkin dapat berguna,
tetapi ahli urologi harus waspada untuk kemungkinan urethrogram yang negatif
palsu karena adanya bekuan darah yang mencegah adanya ekstravasasi. Skala
trauma tajam penis menurut American Association for the Surgery of Trauma dapat
dilihat pada Tabel 2.2[11].

Tabel 2.2 Skala trauma organ untuk trauma penis menurut American Association
for the Surgery of Trauma (AAST) [11]
Grading Trauma penis
AAST
I Laserasi kutaneus atau kontusio
II Laserasi sedalam fasia Bucks (cavernosum) tanpa hilangnya
III jaringan
Avulsi kutaneus, laserasi sampai glans atau meatus, atau defek
IV uretra atau cavernosa <2cm
V Penektomi parsial; atau defek uretra atau cavernosa >2cm
Penektomi total

Perhatian awal yang juga harus diberikan adalah mengenai preservasi


bagian penis yang teramputasi. Sebaiknya diketahui berapa lama penis telah
teramputasi, dan teknik penempatan bagian penis tang yeramputasi. Hipotermia
memperpanjang waktu survival semua jaringan. Respon terhadap hipotermia pada
jaringan penis belum dipelajari, tetapi penis dapat sukses direplantasi setelah 18
jam setelah kejadian, yaitu sesuai waktu iskemia hipotermik[12].

14
2.1.4 Penanganan pada Trauma Penis
Pada saat datang, pasien amputasi penis harus dilakukan stabilisasi keadaan
umum dengan resusitasi cairan yang adekuat. Pasien sebisa mungkin di bawa pada
pusat medis yang dapat melakukan pembedahan mikrovaskuler, karena
pembedahan mikrovaskular memiliki hasil yang lebih baik. Manajemen akut dari
amputasi penis melibatkan resusitasi pasien dimana keadaan umum pasien mungkin
menurun dikarenakan kehilangan darah dan persiapan untuk reimplantasi penis jika
bagian penis yang teramputasi didapatkan dan tidak mengalami kerusakan parah.
Tindakan reimplantasi harus dipertimbangkan pada semua pasien dan harus
dilakukan dalam 24 jam pertama setelah kejadian amputasi penis. Jika amputasi
terjadi pada saat episode psikotik, konsultasi dukungan psikiatri sangat
dibutuhkan[5].
Bagian penis yang teramputasi harus dicuci dengan cairan saline steril,
dibungkus dengan kasa yang dibasahi cairan salin, diletakkan pada kantong steril
dan kantong tersebut direndam dalam air es. Penis tidak boleh bersentuhan
langsung dengan es. Bebat tekan atau torniquet harus diletakkan pada penis yang
teramputasi untuk mencegah kehilangan darah masif. Reimplantasi dapat dicapai
dengan cara non-pembedahan mikro, tetapi teknik ini memberikan komplikasi
striktur uretra yang lebih tinggi dan kehilangan sensasi. Hasil yang terbaik
dihasilkan dengan teknik reimplantasi dengan pembedahan mikro. Pertama korpora
cavernosa dan urethra di sejajarjan dan diperbaiki, kemudian arteri dorsalis penis,
vena dorsalis penis dan nervus dorsalis dengan menggunakan mikroskop. Arteri
cavernosa umumnya terlalu kecil untuk dilakukan anastomose. Fasia dan kulit
ditutup lapis demi lapis, dan dipasang kateter uretra dan kateter suprapubis. Jika
bagian penis yang teramputasi tidak dapat ditemukan, atau tidak dapat dilakukan
reimplantasi, maka ujung penis yang teramputasi ditutup seperti tindakan
penektomi parsial[5].
Menurut guidelines European Association of Urology tahun 2013 mengenai
trauma tajam penis, direkomendasikan dilakukan eksplorasi secara pembedahan
dan debridemen jaringan nekrotik. Bahkan pada trauma tajam penis yang terbatas,
penjahitan primer dari jaringan yang rusak dapat menghasilkan penyembuhan yang

15
baik karena banyaknya suplai darah penis. Karena elastisitas dari kulit penis cukup
baik, hilangnya kulit dalam jumlah sedang biasanya dapat teratasi dengan baik,
walaupun pada trauma yang luas dan kehilangan jaringan kulit yang luas
memerlukan manajemen yang lebih sulit. Jaringan yang digunakan untuk
rekonstruksi pasca trauma harus memiliki kemampuan menutup yang baik dan
cocok digunakan untuk rekonstruksi[5].
Pada amputasi penis yang terjadi karena komplikasi tindakan sirkumsisi
dengan teknik guilotine, level amputasi sangat penting dalam manajemen terapi.
Jika amputasi penis berada pada korpus atau batang penis, direkomendasikan
dilakukan replantasi dengan teknik mikrovaskular; walaupun terdapat beberapa
laporan kasus yang sukses melakukan tindakan replantasi dengan menggunakan
teknik makrosurgical. Jika terjadi amputasi glans penis parsial, jaringan yang
tereksisi harus dipreservasi dan segera dilakukan penjahitan dan tindakan
memperbaiki dengan teknik mikroskopis tidak dibutuhkan. Jika tindakan
pembedahan dilakukan dalam 8 jam setelah kejadian, penis sembuh dengan baik
pada sebagian besar kasus. Tindakan anastomotic urethroplasty umumnya tidak
tepat jika dilakukan di glans penis karena eksisi dan reanastomosis pada uretra di
bagian glans penis akan mengakibatkan pemendekan uretra setidaknya 1 cm, yang
mana cukup dapat mengakibatkan terjadinya chordee[7].
Manajemen postoperatif harus meliputi setidaknya 2 hari bedrest dan
antibiotik spektrum luas selama 2 hari postoperatif. Setelah 2 minggu stent urethral,
catheter foley dapat dilepas setelah dilakukan retrograde urethrogram pericateter
atau voiding cystourethrogram memastikan telah terjadi anastomosis, kemudian
kateter suprapubis dapar dilepas setelah beberapa hari berkemih secara normal.
Selain manajemen pembedahan, Departemen Psikiatri harus terlibat dalam
perawatan pasien postoperatif. Pada kasus mutilasi genital oleh pasien sendiri,
pasien biasanya bersikap irasional sehingga status mental pasien harus
dikendalikan. Juga terdapat peningkatan bunuh diri yang lebih tinggi pada pasien
mutilasi genital dan pasien seperti ini harus dimonitor secara ketat oleh departemen
psikiatri.

16
2.2 Sirkumsisi

2.2.1 Definisi
Sirkumsisi merupakan proses pemotongan atau membuang prepusium penis
dengan menyisakan mukosa (lapisan dalam kulit) dari sulcus coronarious ke arah
kepala penis, yang bertujuan untuk menjaga kebersihan penis dengan mencegah
timbulnya penumpukan smegma, mencegah infeksi, dan mencegah timbulnya
karsinoma penis. Selain itu sirkumsisi dilakukan denngan alasan sosial, agama
maupun budaya. Sirkumsisi sendiri merupakan tindakan bedah minor yang paling
banyak dikerjakan di seluruh dunia, baik oleh dokter, paramedis ataupun oleh
dukun sunat[2].

2.2.2. Indikasi dan Kontraindikasi


Indikasi dilakukannya sirkumsisi dari segi medis yaitu fimosis, parafimosis,
balanitis rekuren, kondiloma akuminata, karsinoma skuamosa pada prepusium dan
kelainan-kelainan lain yang terbatas pada prepusium. Fimosis merupakan suatu
keadaan dimana prepusium tidak dapat ditarik ke belakang (proksimal) atau
membuka. Kadang-kadang lubang pada ujung prepusium hanya sebesar ujung
jarum, sehingga urin sulit keluar. Maka dari itu fimosis perlu dilakukan tindakan
sirkumsisi. Keadaan yang dapat menimbulkan fimosis adalah kongenital (bawaan)
yang paling banyak dan peradangan (balanopostitis). Sedangkan parafimosis
merupakan suatu keadaan di mana preputium tidak dapat ditarik ke depan (distal)
atau menutup. Pada keadaan ini glans penis atau batang penis dapat terjepit oleh
preputium yang membengkak. Keadaan ini paling seng disebabkan oleh
peradangan. Sebelum tindakan sirkumsisi, sebaiknya dicoba terlebih dahulu
dilakukan reduksi. Bila gagal, perlu dilakukan sirkumsisi[2].
Sirkumsisi juga memiliki kontraindikasi pada beberapa pasien dengan
kondisi khusus, yaitu pada pasien yang menderita hipospadia, epispadia, korde,
megalouretra, webbed penis (didapatkan jaringan diantara penis dan raphe
skrotum). Sedangkan kelainan pembekuan darah, dan infeksi pada sekitar kulit
penis atau sekitar penis merupakan kontraindikasi relatif untuk tindakan ini.

17
2.2.3 Persiapan Operasi
Dalam melakukan sirkumsisi harus diingat beberapa prinsip dasar, yaitu 1)
asepsis, 2) pengangkatan kulit prepusium secara adekuat, 3) hemostasis yang baik,
dan 4) kosmetik. Sirkumsisi yang dikerjakan pada umur neonatus (<1 bulan) dapat
dikerjakan tanpa memakai anestesi, sedangkan anak yang lebih besar harus dengan
memakai anestesi umum guna menghindari terjadinya trauma psikologis[2].
Pada persiapan dari operator, yang harus disiapkan adalah baju operator
(bila tidak ada baju kamar bedah, dapat memakai baju yang bersih), mengenakan
topi atau penutup rambut dan masker, cuci tangan dengan antiseptik, mengenakan
sarung tangan steril, dan posisi operator berada di sebelah kiri pasien. Pada
persiapan dari pasien, bila terdapat rambut pubis harus dicukur terlebih dahulu, lalu
penis dan sekitarnya dibersihkan dengan air sabun, pada pasien anak-anak, perlu
diadakan pendekatan agar pasien tidak cemas dan gelisah sebelum tindakan
sirkumsisi dilakukan[2].
Sebelum memulai sirkumsisi, anamnesis dan pemeriksaan tanda-tanda vital
pasien perlu dilakukan. Anamnesis meliputi identitas pasien, dan perlu ditanyakan
riwayat buang air kecil pada pasien, apakah pancaran urin keluar normal atau
menetes, apakah penis nya terkesan bengkok, dan apabila pasien jatuh apakah luka
tidak kunjung sembuh. Alergi dari obat dan makanan juga perlu ditanyakan guna
edukasi pada saat post-operasi[2].
Alat-alat yang diperlukan dalam sirkumsisi adalah kain kasa yang steril,
cairan disinfektan untuk tindakan asepsis seperti alkohol atau povidone iodine, kain
steril untuk mempersempit daerah operasi, jarum suntik beserta obat anestesi lokal
(lidokain 2%), dan satu set peralatan bedah minor. Untuk dressing luka, dapat
diberikan kassa steril dengan sofratulle atau salep gentamycin, yang ditutup dengan
plester atau hipafix.

18
2.2.4 Teknik Sirkumsisi
Adapun beberapa cara atau teknik dalam melakukan tindakan sirkumsisi
yaitu metode klasik/Guilotin, metode dorsumsisi, metode lonceng, metode klamp,
metode laser, metode flashcutter. Pada operasi awal, yang pertama kali di lakukan
adalah sebagai berikut: 1. Disinfeksi lapangan operasi dengan povidon yodium; 2.
Daerah operasi ditutup dengan kain steril; 3. Pada anak yang lebih besar atau
dewasa ,pembiusan dilakukan dengan memakai anasteri lokal dengan
menyuntikkan lidokain secara blok dan infiltrasi, pada teknik infiltrasi, obat
anastesi disuntikkan dengan cara di bawah kulit dan melingakar basis ilfiltrasi di
bawah kulit dan melingkari bawah kulit. Kemudian ditunggu beberapa saat dan
dinyakinkan bahwa batang penis sudah terbius; 4. Jika terjadi fimosis, dilakukan
dilatasi dulu dengan klem sehinggga prepusium dapat ditarik ke proksimal.
Selanjutnya prepusium dibebaskan dari perekatannya dengan glans penis dan
dibersihkan dari smegma atau kotoran lain. 5. Pemotongan prepusium[2].
Dorsumsisi merupakan teknik sirkumsisi dengan cara memotong prepusium
pada jam 12, sejajar dengan sumbu panjang penis kearah proksimal, kemudian
dilakukan petongan melingkar ke kiri dan ke kanan sepanjang sulkus koronarius
glandis. Cara ini lebih dianjurkan, karena dianggap lebih lege artis dibanding cara
guilotin. Dengan sering berlatih melakukan cara ini, maka akan semakin terampil,
sehingga hasil yang didapat juga lebih baik[2].
Keuntungan dengan menggunakan teknik dorsumsisi adalah: kelebihan
mukosa-kulit bisa diatur, tidak terdapat insisi mukosa yang berlebihan seperti cara
guilotin, kemungkinan melukai glans penis dan merusak frenulum prepusium lebih
kecil, perdarahan mudah diatasi, karena insisi dilakukan bertahap.Kerugian dengan
menggunakan teknik dorsumsisi adalah: tekniknya lebih rumit dibandingakan cara
guilotin, bila tidak terbiasa, insisi yang dilakukan tidak rata, memerlukan waktu
relatif lebih lama dibandingkan gulotin.
Cara kerja dalam melakukan teknik dorsumsisi adalah (Gambar 2.8):
a. Prepsium dijepit pada jam 11, 1 dan 6

19
b. Prepusium diinsisi di antara jam 11 dan 1 ke arah sulkus koronarius
glandis, sisakan mukosa-kulit 2-3 mm dari bagian distal sulkus;
pasanglah tali kendali
c. Insisi melingkar ke kiri dan ke kanan sejajar sulkus
d. Pada frenulum prepusim insisi dibuat agak runcing(membentuk
segitiga)
e. Perdarahan dirawat
f. Buatlah tali kendali pada jam 3 dan 9
g. Lakukan penjahitan frenlum-kulit dengan jahitan berbetuk angka 8.
h. Lakukan penjahitan mukosa-kulit di sekeliling penis

Gambar 2.8 Teknik Dorsumsisi[2]

Pada dorsumsisi perlu diperhatikan: pengukuran mukosa-kulit pada


pemotongan antara jam 11 dan 1 sebagai patokan pada insisi ke lateral, pada insisi
ke lateral, kulit-mukosa tak boleh terlalu ditarik karena sisa mukosa dapat menjadi
terlalu sedikit, yang mempersulit penjahitan, ikatan plain cat-gut pada perwatan
perdarahaan dilakukan minimal tiga kali, untuk mencegah terlepasnya benang dari
simpul, pada penjahitan keliling, jahitan harus serapat mungkin, tidak boleh
terdapat tumpang tindih.

20
Teknik kedua yang sering dilakukan adalah teknik klasik/guilotin. Teknik
ini adalah teknik sirkumsisi dengan cara menjepit prepusium secara melintang pada
sumbu panjang penis, kemudian memotongnya. Insisi dapat dilakukan di bagian
proksimal atau distal dari klem tersebut. Cara ini lebih cepat dari cara dorsumsisi,
tapi membutuhkan kemahiran tersendiri. Bila operator belum terbiasa, hasilnya
akan lambat, karena harus menggunting mukosa atau kulit yang berlebihan.
Pendarahan yang terjadi dengan cara ini biasanya lebih banyak, karena insisi
prepusium dilakukan sekaligus[2].
Keuntungan dalam menggunakan teknik klasik/guilotin ini adalah: 1.
Tekniknya relatif lebih sederhana; 2. Hasil insisi lebih rata; 3. Waktu pelaksanaan
lebih cepat. Kerugian dalam menggunakan teknik klasik ini adalah: 1. Pada operator
yang tidak terbiasa, mukosa dapat berlebihan, sehingga memerlukan insisi ulang;
2. Ukuran mukosa-kulit tidak dapat dipastikan; 3. Kemungkinan melukai glans
penis dan insisi frenulum yang berlebihan lebih besat di bandingkan teknik
dorsumsisi; 4. Perdarahan biasanya lebih banyak.
Cara kerja dalam melakukan teknik klasik/guilotin adalah:
a. Prepusium dijepit pada jam 6 dan 12
b. Klem melintang dipasang pada prepusium, secara melintang dari
sumbu panjang penis. Arah klem miring dengan melebihkan bagian
yang sejajar frenulum
c. Prepusium di bagian proksimal atau distal dari klem melintang
diinsisi
d. Perdarahan dirawat
e. Penjahitan mukosa-kulit di sekeliling penis.

Gambar 2.9 Teknik Klasik/Guilotin[2]

21
Pada metode klasik/guilotin perlu diperhatikan bahwa jepitan pada
prepusium harus mengerah ke mukosa untuk mencegah mukosa yang berlebihan,
klem melintang dipasang sedemikian rupa sehingga masih terdapat jarak longgar
antara bagian proksimal klem dengan glans penis, klem melintang dalam posisi
miring dengan melebihkan bagian sejajar frenulum, untuk mencegah frenulum
terpotong secara berlebihan, ikatalah perdarahan dan jahitan mukosa-kulit.

2.2.5 Komplikasi
Berbagai komplikasi sirkumsisi dapat terjadi, bergantung pada teknik
operasi yang dipilih. Menurut waktu terjadinya komplikasi, komplikasi dari
sirkumsisi dapat dibagi menjadi dua. Pada komplikasi awal didapatkan perdarahan,
nyeri pada bekas insisi, pengangkatan kulit yang tidak adekuat, dan terjadinya
infeksi apabila jahitan yang dihasilkan tidak menutup keseluruhan luka. Komplikasi
lebih lanjut didapatkan kista epidermal sekitar prepusium, korde, terdapatnya sisa
prepusium, adhesi penis, fimosis, penis yang tenggelam, fistula uretrokutan,
meatitis, dan meatal stenosis[9].
Perdarahan merupakan komplikasi tersering dari sirkumsisi. Perdarahan
dapat terjadi dari ujung kulit yang telah dijahit, dan kebanyakan berasal dari
frenulum. Tindakan awal yang bisa digunakan untuk mengontrol perdarahan adalah
dengan menggunakan kasa steril yang ditekan, eksplorasi sumber perdarahan jarang
dilakukan pada tindakan sirkumsisi[9].

22
BAB 3. LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : An. Moh Alfan Candra
Usia : 12 tahun (28-05-2005)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jalan Jember-Banyuwangi, Garahan
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : Siswa
Agama : Islam
Suku Bangsa : Madura
Status : Belum Menikah
No. Rekam Medis : 151052
Tgl. Masuk RS : 23 Agustus 2017
Tgl. Keluar RS : 27 Agustus 2017
Tgl. Pemeriksaan : 24 Agustus 2017

3.2 Anamnesa
Keluhan Utama: ingin memperbaiki penis
Riwayat Penyakit Sekarang: pasien mengeluh bentuk penis nya tidak
normal. Pasien pernah di sirkumsisi oleh bidan satu tahun yang lalu, dan
diduga gland penisnya terpotong saat itu. 2 bulan yang lalu pasien sempat
membawa ke dokter puskesmas silo 2 untuk dilakukan sirkumsisi ulang,
tetapi dokter menyatakan tidak sanggup dan disarankan untuk dirujuk ke
spesialis urologi. Pasien juga mengeluhkan pancaran kencing lemah dan
kadang urine keluar sedikit-sedikit. Terkadang pasien bisa kencing sampai
10 kali per hari. Nyeri saat kencing (-), keluar darah di lubang kencing (-),
kencing darah (-)
Riwayat Penyakit Dahulu: (-)
Riwayat Penyakit Keluarga: (-)
Riwayat Pengobatan: (-)

23
3.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran : Allert
Tanda-Tanda Vital :
TD = 100/70 mmHg
HR= 92x/m
RR= 16x/m
Tax= 370C
Status Generalis :
Mata = Sklera tidak didapatkan ikterus
Konjungtiva tidak didapatkan anemis
Telinga = tidak didapatkan sekret dan darah
Hidung = tidak didapatkan sekret dan darah, tidak didapatkan pernafasan
cuping hidung
Mulut = tidak didapatkan perdarahan, tidak sianosis
Thorax :
Cor = iktus cordis tidak tampak dan teraba di ICS V MCL Sinistra,
S1S2 tunggal e/g/m = -/-/-
Pulmo = Gerak dada simetris,Vesikuler, Rhonki -/- , Wheezing -/-
Abdomen :
I = flat
P = soepel, nyeri tekan (-), massa (-)
P = timpani
A = bising usus (+) normal
Extremitas = Akral Hangat di keempat ekstremitas
Edema tidak didapatkan di keempat ekstremitas

24
Status Urologis:
- Regio flank : massa (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok cva (-)
- Regio suprapubik : vesika urinaria kesan kosong, nyeri tekan (-)
- Regio urogenital : gland penis (-), preputium menutup sebagian penis, MUE
(+) pin point letak normal, keluar darah (-) sekret (-) urin (-), skrotum D/S
terisi testis, perineum tidak ada jejas dan tidak ada hematom

Gambar 3.1 Foto Klinis sebelum Operasi

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (23-08-2017)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hb 12,6 13,5 17,5
Leukosit 9,1 4,5 - 11
Hematokrit 36,9 41-53
Trombosit 284 150-450
SGOT 32 10-31
SGPT 15 9-36
GDS 100 <200
Natrium 136 135-155
Kalium 4.11 3.5-5.0
Chlorida 105 90-110
Calcium 2.28 2.15-2.57
Serum kreatinin 0.8 0.5-1.1
BUN 12 6-20

25
3.5 Diagnosa
Trauma Amputasi Penis

3.6 Planning
Rekonstruksi glans penis dengan GA

3.7 Prognosis
Ad Vitam: Ad bonam
Ad Functionam: Dubia
Ad Sanationam: Dubia ad bonam

3.8 Laporan Operasi


a. Diagnosa pre op: post trauma amputasi penis
b. Diagnosa post op: post trauma amputasi penis
c. Operasi: rekonstruksi glans penis
d. Persiapan operasi : inform consent, profilaksis cefriakson 1gram
e. Posisi pasien : pasien posisi supine
f. Disinfeksi : povidone iodine
g. Pendapatan pada eksplorasi : uretra distal fibrosis, glans penis yang tersisa
dipertahankan.
h. Deskripsi/uraian operasi : uretroplasty dengan lokasi proksimal penile,
dipasang kateter latex 8fr, ujung glans penis dijahit
i. Nama operasi : rekonstruksi glans penis dan uretra
j. Komplikasi : perdarahan, infeksi post operasi
k. Penutupan lapangan operasi : jahitan benang vicryl 4.0 terputus, jahit
mukosa lalu kulit

26
l. Hasil operasi :

Gambar 3.2 Foto Klinis setelah Operasi


m. Terapi post operasi :

- Infus RD5 1000 cc/24 jam


- Ceftriakson 2x500mg
- Antrain 3x50mg
- Asam traneksamat 3x500mg
- Minum air putih sedikit-sedikit 2 jam post op
- Bila sadar penuh, tidak mual, mulai diet susu, lalu diet bebas TKTP

27
3. 9 Follow Up
25 Agustus 2017
S/ nyeri di luka post operasi, mual (-), demam (-)
O/
Keadaan umum : Cukup Tekanan darah : 100/80 RR : 16 x/m
Kesadaran : Alert Nadi :88 x/m Tax : 36,5

Status Generalis
K/L : a/i/c/d : -/-/-/-
Thorax :
Cor : Ictus cordis tidak tampak, teraba di ICS V MCL Sinistra. Batas jantung tidak
melebar. S1 S2 tunggal, e/g/m -/-/-
Pulmo : Gerakan dada simetris, tidak didapatkan retraksi. Perkusi sonor di kedua sisi.
Suara vesikuler +, Rhonki -, Wheezing -.
Abdomen : flat, bising usus +, timpani, supel

Status Urologis:
- Regio flank : massa (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok cva (-)
- Regio suprapubik : vesika urinaria kesan kosong, nyeri tekan (-)
- Regio urogenital : gland penis (-), MUE (+) pin point letak proksimal penile, keluar
darah (-) sekret (-) urin (-), skrotum D/S terisi testis, perineum tidak ada jejas dan tidak
ada hematom

A/ Trauma amputasi penis post rekonstruksi glans penis


P/ Inf RL 500cc/24jam
Inj Ceftriaksone 2x500 mg
Inj Antrain 3x50mg
Inj Asam traneksamat 3x500mg

28
26 Agustus 2017
S/ nyeri di luka operasi berkurang
O/
Keadaan umum : Cukup Tekanan darah : 110/80 RR : 20 x/m
Kesadaran : Alert Nadi :80 x/m Tax : 36, 6C

Status Generalis
K/L : a/i/c/d : -/-/-/-
Thorax :
Cor : Ictus cordis tidak tampak, teraba di ICS V MCL Sinistra. Batas jantung tidak
melebar. S1 S2 tunggal, e/g/m -/-/-
Pulmo : Gerakan dada simetris, tidak didapatkan retraksi. Perkusi sonor di kedua sisi.
Suara vesikuler +, Rhonki -, Wheezing -.
Abdomen : flat, bising usus +, timpani, supel

Status Urologis:
- Regio flank : massa (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok cva (-)
- Regio suprapubik : vesika urinaria kesan kosong, nyeri tekan (-)
- Regio urogenital : gland penis (-), MUE (+) letak proksimal penile, keluar darah (-)
sekret (-) urin (-), skrotum D/S terisi testis, perineum tidak ada jejas dan tidak ada
hematom

A/ Trauma amputasi penis post rekonstruksi glans penis


P/ Inf RL 500cc/24 jam
Inj Ceftriakson 2x500mg
Inj antrain 3x50mg

29
27 Agustus 2017
S/ tidak ada keluhan
O/
Keadaan umum : Cukup Tekanan darah : 100/80 RR : 20 x/m
Kesadaran : Alert Nadi :84 x/m Tax : 36, 8C

Status Generalis
K/L : a/i/c/d : -/-/-/-
Thorax :
Cor : Ictus cordis tidak tampak, teraba di ICS V MCL Sinistra. Batas jantung tidak
melebar. S1 S2 tunggal, e/g/m -/-/-
Pulmo : Gerakan dada simetris, tidak didapatkan retraksi. Perkusi sonor di kedua sisi.
Suara vesikuler +, Rhonki -, Wheezing -.
Abdomen : flat, bising usus +, timpani, supel

Status Urologis:
- Regio flank : massa (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok cva (-)
- Regio suprapubik : vesika urinaria kesan kosong, nyeri tekan (-)
- Regio urogenital : glans penis (-), MUE (+) letak proksimal penile, keluar darah (-)
sekret (-) urin (-), skrotum D/S terisi testis, perineum tidak ada jejas dan tidak ada
hematom

A/ Trauma amputasi penis post rekonstruksi glans penis


P/ Inj Ceftriakson 2x500mg
Inj Antrain 3x50mg
Diet TKTP

KRS dengan Terapi


Cefixime 2x100mg, asam mefenamat
3x500mg bila nyeri,

30
BAB 4. KESIMPULAN

Amputasi penis adalah suatu kasus di bidang Urologi yang cukup jarang
didapatkan. Amputasi penis dapat ditemui pada pasien yang melakukan emaskulasi diri
sendiri pada individu-individu psikotik yang melakukannya sebagai respon terhadap
halusinasi yang dialaminya. Selain itu, amputasi penis juga merupakan komplikasi dari
tindakan sirkumsisi.sirkumsisi adalah suatu prosedur pembedahan yang umum
dilakukan. Tetapi, karena sirkumsisi banyak dilakukan oleh petugas medis yang tidak
berpengalaman di rumah, rumah sakit maupun sirkumsisi massal dengan jumlah pasien
yang banyak yang dilakukan dalam waktu yang singkat maka angka komplikasi
sirkumsisi cukup besar.
Diagnosis amputasi penis dapat terlihat jelas dari pemeriksaan fisik. Dari
anamnesa harus diketahui tentang tipe trauma, berapa lama trauma tersebut telah
berlangsung dan alat penyebab amputasi penis tersebut.
Manajemen akut dari amputasi penis melibatkan resusitasi pasien dan
direkomendasikan dilakukan eksplorasi secara pembedahan dan debridemen jaringan
nekrotik. Bahkan pada trauma tajam penis yang terbatas, penjahitan primer dari
jaringan yang rusak dapat menghasilkan penyembuhan yang baik karena banyaknya
suplai darah penis. Karena elastisitas dari kulit penis cukup baik, hilangnya kulit dalam
jumlah sedang biasanya dapat teratasi dengan baik, walaupun pada trauma yang luas
dan kehilangan jaringan kulit yang luas memerlukan manajemen yang lebih sulit.
Karena luasnya spektrum trauma pada traktus genitourinari khususnya trauma
amputasi penis, maka membutuhkan manajemen khusus untuk penanganan pasien
tersebut dan sangatlah penting bagi ahli urologi untuk menguasai manajemen dari
trauma ini.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Patel, M., D. Jensen., C. Stephen. 2014. Traumatic Penile Amputation: A case


report and acute management. Journal Trauma Treatment.
2. Purnomo, B. 2011. Dasar-dasar Urologi. Sagung Seto: Jakarta.
3. Yachia, D. 2007. Text Atlas of Penile Surgery. Informa Healthcare: United
Kingdom.
4. Pamela, E. G. Thomas. 2015. Penis Anatomy: gross Anatomy, vasculature,
lymphatics and nerve supply. Medscape.
5. Summertom, D., N. Djakovic. 2013. Guidelines on Urological Trauma.
European Association of Urology Guidelines Edition.
6. Perovic, S. 2005. Severe Penile Injuries: Etiology, Management and
Outcomes. Urologia Polska, Department of Urology.
7. Faydaci, G., K. Ugur, C. Osman., S. Sermin., E. Bilal. 2011. Amputation of
Glans Penis: a Rare Circumcision Complication and Succesful Management
with Primary Anastomosis and Hyperbaric Oxygen Therapy. Korean Journal
Urology.
8. Raheem, O., H. Mirheydar., P. Nishant. 2015. Surgical Management of
Traumatic Penile Amputation Report and Review of the World Literature.
Sexual Medicine.
9. Krill, A., L. S. Palmer., P. Jeffrey. 2011. Review Article: Complications of
Circumcision. The Scientific World Journal.
10. Santucci, R. A., Fields, B. 2015. Penile Fracture and Trauma: background,
history of the procedure, epidemiology. Medscape.
11. Moore, E., T. Cogbill., M. Malangoni., G. Jurkovich., H. Champion. 2013.
Scaling System for Organ Spesific Injuries. American Association for the
Surgery of Trauma.
12. Ince, B., A. O. Gundeslioglu. 2013. A Salvage Operation for Total Penis
Amputation Due to Circumcision. Arhives of Plastic Surgery.

32

You might also like