You are on page 1of 24

9

BAB I I
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, diantaranya adalah

penelitian yang dilakukan oleh Arlina S. (2008) dengan judul : Efektifitas

Program Penanggulangan Kemiskinan Melalui Bantuan Modal Produktif (Studi

Kasus Penerima Bantuan P2KP & PAM-DKB Kelurahan Bandungrejosari

Kecamatan Sukun Kota Malang) Bahwa implementasi kebijakan Program

Pengembangan Kecamatan yang dilakukan oleh pelaksana PPK yang telah

dilaksanakan di Kelurahan Bandungrejosari Kecamatan Sukun Kota Malang telah

dilaksanakan dengan tepat artinya telah sesuai dengan tugas dan tanggungjawab

semua elemen masyarakat yang ada di Kelurahan Bandungrejosari Kecamatan

Sukun Kota Malang baik pada tingkatan sosialisasi program, perencanaan

program, pelaksanaan program dan monitoring serta evaluasi semua telah

menunjukkan hasil yang maksimal itu bisa ditunjukkan dengan angka yang

dinyatakan oleh responden hampir 70 % mengatakan sangat baik. Variabel

kemampuan pelaksana Program Pengembangan Kecamatan yang dilakukan oleh

pelaksana PPK yang telah dilaksanakan di Kelurahan Bandungrejosari Kecamatan

Sukun Kota Malang juga telah ditampakkan dengan keprofesionalan para pelaku

baik yang ada di tingkat RT/RW maupun mereka pelaku yang ada di tingkat

kelurahan. Hal ini bisa dilihat dari indikator yang telah ditanyakan kepada

responden 65 % menyatakan cukup baik dan memiliki otonomi derta mempuyai

9
10

budaya organisasi yang cukup baik pula. Variabel lingkungan yang sangat

mempengaruhi perjalanan Program Pengembangan Kecamatan yang dilakukan

oleh pelaksana PPK yang telah dilaksanakan di Kelurahan Bandungrejosari

Kecamatan Sukun Kota Malang telah menampakkan dukungannya yang maksimal

ini terlihat dari kelompok sasaran yang ada dimasyarakat penerima Program

Pengembangan Kecamatan yang dilakukan oleh pelaksana PPK yang telah

dilaksanakan di Kelurahan Bandungrejosari Kecamatan Sukun Kota Malang dan

memiliki karakteristik yang cukup baik dan mendukung terhadap program-

program tersebut.

Sementara penelitian yang dilakukan oleh Liyana Apriyanti (2011) dengan

judul penelitian : Analisis Program Pemberdayaan Masyarakat Dalam

Penanggulangan Kemiskinan Kota Semarang (Kasus Implementasi Program

Pinjaman Bergulir PNPM Mandiri Perkotaan Kelurahan Kemijen Kecamatan

Semarang Timur Kota Semarang Tahun 2008-2010), Berdasarkan hasil analisis

deskriptif tentang persepsi anggota KSM terhadap pinjaman bergulir

menunjukkan bahwa mereka menganggap jangka waktu pengembalian pinjaman

tidak lama (65,63 %) dan bunga pinjaman juga berat (79,69 %). Sebanyak 54,76

% berpendapat bahwa pinjaman bergulir dapat membantu modal usaha, 52,38 %

responden berpendapat membantu kelancaran usaha dan 52,38 % responden

berpendapat bahwa pinjaman dapat meningkatkan usahanya. Persepsi tersebut

menunjukkan bahwa pinjaman bergulir membantu anggota KSM dalam

mengembangkan usaha mereka. Dari hasil analisis uji beda memperlihatkan

bahwa pendapatan usaha anggota KSM rata-rata per bulan sesudah program
11

mengalami perubahan yang meningkat sampai 18,41 %, tabungan anggota KSM

rata-rata per bulan sesudah program mengalami perubahan yang meningkat

sampai 53,91%, sedangkan investasi usaha anggota KSM rata-rata per bulan

sesudah program mengalami perubahan yang meningkat sampai 50,26 %. Adanya

peningkatan ini menunjukkan bahwa apabila program pinjaman bergulir

dilaksanakan secara baik akan dapat memutus lingkaran setan kemiskinan.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Pengertian dan Masalah Kemiskinan

2.2.1.1. Pengertian Kemiskinan

Kemiskinan adalah suatu kondisi kehidupan masyarakat yang sebagian

besar atau seluruh anggota masyarakat (penduduk) berada pada standar hidup

yang rendah. Standar hidup rendah yang digolongkan sebagai penduduk miskin di

Indonesia, dokonotasikan sebagai rumah tangga penduduk yang tingkat

pendapatannya dibawah garis kemiskinan.

Standar hidup yang rendah (Todaro, 2009) dimanifestasikan secara

kuantitatif dan kualitatif dalam bentuk pendapatan yang rendah, perumahan yang

kurang layak, kesehatan yang buruk, sedikit atau tidak berpendidikan, angka

kematian tinggi, harapan hidup dan mendapatkan pekerjaan yang rendah dan

dalam banyak hal mereka berada dalam keadaan yan g sulit dan tidak mempunyai

harapan sama sekali.

Standar hidup yang rendah tersebut di satu sisi bisa disebabkan rendahnya

sumberdaya alam, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, rendahnya


12

penguasaana modal, keterbe-lakangan teknologi, di sisi lain bisa disebabkan

pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, penyebaran penduduk yang tidak

merata, maupun sistem kelembagaan dan atau pranata sosial yang tidak menjamin

adanya pemerataan pendapatan dan atau keadilan sosial bagi masyarakatnya.

(Santoso. 2002 ).

Perhitungan garis kemiskinan ada beberapa metode yang dipergunakan,

misalnya perhitungan kebutuhan gizi dan pangan , perhitungan indek tentang

besarnya prosentasi penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Sedangkan

garis kemiskinan diperoleh dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita

sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan,

selain itu masih banyak perhitungan garis kemiskinan lainnya.

2.2.1.2. Masalah Kemiskinan

Kemiskinan dan keterbelakangan merupakan fenomena sosiologis yang

menjadi atribut negara-negara dunia ketiga. Fenomena ini juga merupakan

kebalikan dari kondisi yang dialami oleh negara-negara maju yang memiliki

atribut sebagai maju atau model. Untuk memahami definisi dan asal mula

kemiskinan dan keterbelakangan, kita dapat melakukan kajian dengan cara :

1. Mengadakan telaahan terhadap kemiskinan dan kosakata kemiskinan


seperti yang dilakukan oleh Friedmann (2002: 160) dan Korten (2005:
67);
2. Membandingkan dengan konsep-konsep modernisasi sebagai
kebalikan yang diametral dari kemiskinan dan keterbelakangan seperti
yang dikemukakan oleh para pakar yang terkumpul dalam ontologi
Modernization : The Dinamics of Growth (Myron Weiner, 1967).
13

Hampir di setiap negara, kemiskinan selalu terpusat di tempat-tempat

tertentu, yaitu biasanya di perdesaan atau di daerah-daerah yang kekurangan

sumber daya. Persoalan kemiskinan juga selalu berkaitan dengan masalah-

masalah lain, misalnya lingkungan.

Beban kemiskinan paling besar terletak pada kelompok-kelompok tertentu.

Kaum wanita pada umumnya merupakan pihak yang dirugikan. Dalam rumah

tangga miskin, mereka sering merupakan pihak yang menanggung beban kerja

yang lebih berat dari pada kaum pria. Demikian pula dengan anak-anak, mereka

juga menderita akibat adanya ketidak merataan tersebut dan kualitas hidup masa

depan mereka terancam oleh karena tidak tercukupinya gizi, pemerataan

kesehatan dan pendidikan. Selain itu timbulnya kemiskinan sangat sering terjadi

pada kelompok-kelompok minoritas tertentu.

Kemiskinan berbeda dengan ketimpangan distribusi pendapatan

(inequality). Perbedaan ini sangat perlu ditekankan. Kemiskinan berkaitan erat

dengan standar hidup yang absolut dari bagian masyarakat tertentu, sedangkan

ketimpangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. Pada

tingkat ketimpangan yang maksimum, kekayaan dimiliki oleh satu orang saja dan

tingkat kemiskinan sangat tinggi.

Menurut Kuncoro, (2007: 102103). Mengemukakan bahwa kemiskinan

didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum.

Definisi tersebut menyiratkan tiga pernyataan dasar, yaitu :

1. Bagaimanakah mengukur standar hidup ?


2. Apa yang dimaksud dengan standar hidup minimum ?
3. Indikator sederhana yang bagaimanakah yang mampu mewakili
masalah kemiskinan yang begitu rumit ?
14

Untuk memahami lebih jauh persoalan kemiskinan ada baiknya

memunculkan beberapa kosakata standar dalam kajian kemiskinan (Friedmann,

2002: 89) sebagai berikut :

1. Poverty line (garis kemiskinan). Yaitu tingkat konsumsi rumah tangga


minimum yang dapat diterima secara sosial. Ia biasanya dihitung
berdasarkan income yang dua pertiganya digunakan untuk keranjang
pangan yang dihitung oleh ahli statistik kesejahteraan sebagai
persediaan kalori dan protein utama yang paling murah.
2. Absolute and relative poverty (kemiskinan absolut dan relatif).
Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang jatuh dibawah standar
konsumsi minimum dan karenanya tergantung pada kebaikan
(karitas/amal). Sedangkan relatif adalah kemiskinan yang eksis di atas
garis kemiskinan absolut yang sering dianggap sebagai kesenjangan
antara kelompok miskin dan kelompok non miskin berdasarkan
income relatif.
4. Deserving poor adalah kaum miskin yang mau peduli dengan harapan
orang-orang non-miskin, bersih, bertanggungjawab, mau menerima
pekerjaan apa saja demi memperoleh upah yang ditawarkan.
5. Target population (populasi sasaran adalah kelompok orang tertentu
yang dijadikan sebagai objek dan kebijakan serta program pemerintah.
Mereka dapat berupa rumah tangga yang dikepalai perempuan, anak-
anak, buruh tani yang tak punya lahan, petani tradisional kecil, korban
perang dan wabah, serta penghuni kampung kumuh perkotaan.

Friedmann juga merumuskan kemiskinan sebagai minimnya kebutuhan

dasar sebagaimana yang dirumuskan dalam konferensi ILO tahun 2006.

Kebutuhan dasar menurut konferensi itu dirumuskan sebagai berikut :

1. Kebutuhan minimum dari suatu keluarga akan konsumsi privat


(pangan, sandang, papan dan sebagainya).
2. Pelayanan esensial atas konsumsi kolektif yang disediakan oleh dan
untuk komunitas pada umumnya (air minum sehat, sanitasi, tenaga
listrik, angkutan umum, dan fasilitas kesehatan dan pendidikan).
3. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan yang
mempengaruhi mereka
4. Terpenuhinya tingkat absolut kebutuhan dasar dalam kerangka kerja
yang lebih luas dari hak-hak dasar manusia.
5. Penciptaan lapangan kerja (employment) baik sebagai alat maupun
tujuan dari strategi kebutuhan dasar.
15

Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-

beda. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan

hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya

rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan

minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Adapun pengeluaran

kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan,

sandang, serta aneka barang dan jasa. Selama periode 2006 sampai 2003, telah

terjadi peningkatan batas garis kemiskinan, yang disesuaikan dengan kenaikan

harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat. Batass garis kemiskinan

ini dibedakan antara daerah perkotaan dan pedesaan.

Garis kemiskinan lain yang paling dikenal adalah garis kemiskinan

Profesor Sajogyo, yang dalam studi selama bertahun-tahun menggunakan suatu

garis kemiskinan yang didasarkan atas harga beras. Sajogyo mendefinisikan batas

garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan

beras. Dengan menerapkan garis kemiskinan ini kedalam data SUSENAS (Survei

Sosial Ekonomi Nasional) dari tahun 2006 sampai dengan 2007, akan

diperoleh persentasi penduduk yang hidup di bawah kemiskinan (dalam

kuncoro, 2007: 116).

Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di

dunia, termasuk Amerika Serikat sekalipun (Kuncoro, 2007: 10). Ia bersifat

multidimensional, dalam arti berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya,

politik dan aspek lainnya (Sumodiningrat, 2009: 26). Sedangkan Kartasasmita

(2007: 234) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah dalam


16

pembangunan yang ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan, yang

kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada umumnya

lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan

ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai

potensi lebih tinggi. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan Friedmann (2002:

123) yang mengatakan bahwa kemiskinan sebagai akibat dari ketidak-samaan

kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial.

Namun menurut Brendley (dalam Ala, 2001: 4) kemiskinan adalah

ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan

yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas. Hal ini diperkuat

oleh salim (dalam Ala, 2001: 1) yang mengatakan bahwa kemiskinan biasanya

dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memperoleh kebutuhan hidup

yang pokok. Sedangkan Lavitan mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan

barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar

hidup yang layak.

2.2.1.3. Upaya Penanggulangan Kemiskinan

Konsep pengentasan kemiskinan menurut Inpres Nomor 5 Tahun 2003

adalah sebagai berikut :

Bagian dari gerakan nasional penanggulangan kemiskinan yang


dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan dengan mengikutsertakan
berbagai instansi dan lembaga, baik pemerintah maupun swasta termasuk
Perguruan Tinggi, Dinas usaha, organisasi masyarakat dan lembaga
kemasyarakatan lainnya. Program pengentasan kemiskinan ini
menyediakan bantuan khusus berupa modal kerja bagi kelompok
penduduk miskin disertai bimbingan dan pendamping khusus. (2003:18).
17

Dalam membahas upaya untuk membuat strategi penanggulangan

masyarakat golongan miskin dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek,

yaitu :

1. Aspek Sumberdaya (manusia, modal, alam).


2. Aspek kesinambungan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan
ekonomi.
3. Aspek kebijakan ekonomi makro
4. Aspek kelembagaan (Politik. Sosial , budaya).
5. Aspek konsep dan strategi.

Aspek pertama dimaksud untuk membahas kemiskinan alami, aspek

kedua, ketiga dan keempat dimakssud untuk membahas kemiskinan struktural,

sedang sedangkan aspek kelima dimaksud untuk membahas pengendalian dan

arah strategi.

Selanjutnya upaya mengurangi kemiskinan, secara konsepsional dapat

dilakukan dengan, menciptakan lapangan kerja yang mampu menyerap tenaga

kerja pengangguran di pedesaan maupun di perkotaan, meningkatkan ketrampilan

tenaga kerja masyarakat pedesaan dan perkotaan. Tenaga kerja penganggur dan

kerja kurang di pedesaan pada umumnya mempunyai ciri-ciri berpendidikan

rendah, ketrampilan rendah, tidak memiliki modal cukup, tetapi mempunyai

kemauan kerja yang tinggi.

Selain dengan tenaga kerja pedesaan yang mempunyai ciri-ciri tersebut

diatas banyak pula tenaga kerja penganggur dan kurang kerja di pedesaan dan

perkotaan yang mempunyai ciri-ciri pendidikannya cukup sampai tinggi, namun

ketrampilannya rendah dan modal rendah. Sebenarnya banyak tenaga kerja di

pedesaan (lulusan Sekolah Menengah) yang diserap oleh swasta , namun belum
18

cukup mampu menyerap pertumbuhan angkatan kerja. Padahal tenaga kerja

penganggur dan kurang kerja adalah merupakan sumber kemiskinan dimana-

mana.

Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka pada dasarnya upaya

pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan cara :

1. Perbaikan sumberdaya manusia

2. Alih teknologi

3. Meningkatkan ketrampilan

4. Membuka peluang kesempatan kerja baru

5. Meningkatkan pendapatan keluarga miskin di pedesaan

6. Melakukan stimulasi kegiatan usaha dan mengembangkan usaha agribisnis

2.2.2. Pemberdayaan Masyarakat

Penggunaan kata empowerment dan to empower diterjemahkan

menjadi pemberdayaan dan memberdayakan. Kata memberdayakan perlu

diucapkan secara hati-hati agar tidak terpeleset menjadi memperdayakan.

Menurut Marriam Webster dan Oxford English Dictionary kata to empower

mengandung dua arti yaitu :

1. to give power or authority to, yang artinya memberi kekuasaan atau

kewenangan (mendelagasikan otoritas) kepada (pihak lain)

2. to give ability or enable to, yang artinya memampukan (memberi

kesanggupan) atau memungkinkan.


19

Kegagalan model pembangunan di negara-negara sedang berkembang yang

disinyalir para ahli sangat lamban dalam mencapai tujuannya yakni memberantas

kemiskinan sebagaimana digugat oleh model pembangunan community

development dan model partisipasi rakyat (Korten, 2005: 35), dianggapnya

sebagai model-model yang tidak memberi kesempatan pada rakyat miskin untuk

ikut dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut pemilihan,

perencanaan, dan kemudian pelaksanaan program pembangunan.

Konsep empowerment (pemberdayaan) yang dirintis oleh Friedmann

(2002: 124) memunculkan adanya 2 (dua) premis mayor, yaitu kegagalan dan

harapan dalam memandang konsep-konsep keneysian. Kegagalan yang

dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi terdahulu dalam

menanggulangi masalah kemiskinan dan menjamin kelestarian lingkungan yang

berkelanjutan. Sedangkan harapan muncul karena adanya model-model

pembangunan alternatif yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan

gender, persamaan antar generasi dan pertumbuhan ekonomi yang memadai.

Kegagalan dan harapan menurut Friedman bukanlah merupakan alat ukur dari

hasil kerja ilmu sosial melainkan lebih merupakan cermin dari nilai-nilai normatif

dan moral yang berkembang dalam lokalitas. Kegagalan dan harapan akan terasa

sangat nyata pada tingkat individu dan masyarakat. Pada tingkat yang lebih luas,

yang dirasakan hanyalah gejala dari kegagalan dan harapan. Dengan demikian,

pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya adalah nilai kolektif dari

pemberdayaan individu.
20

Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan

martabat lapisan masyarakat di mana kondisi sekarang tidak mampu untuk

melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain,

memberdayakan adalah meningkatkan kemampuan dan meningkatkan

kemandirian masyarakat. Konsep partisipasi yang aktif dan kreatif atau seperti

yang dikemukakan oleh Paul (2007: 24) sebagai berikut :

Participation refers to an active process whereby beneficiaries influence


the direction and excution of development projects rather than merely
receive a share of project benefits.(Partisipasi mangacu pada sebuah
proses aktif yang dengannya kelompok sasaran bisa mempengaruhi arah
dan pelaksanaan proyek pembangunan ketimbang hanya semata-mata
menerima pembagian keuntungan proyek).

Definisi di atas memandang keterlibatan masyarakat mulai dari tahap

pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil evaluasi (Cohen &

Uphoff, 2000: 215-223). Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai sadar

akan situasi dan masalah yang dihadapinya, serta berupaya untuk mencari jalan

keluar yang dapat dipakai demi mengatasi masalahnya. Partisipasi juga membantu

masyarakat miskin untuk melihat realitas sosial ekonomi dan proses desentralisasi

yang dilakukan dengan memperkuat Delivery system (sistem distribusi) di

tingkat bawah.

Soetrisno (2005: 74) menyatakan bahwa ada dua definisi partisipasi yang

beredar di masyarakat yaitu: Definisi pertama partisipasi rakyat dalam

pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap rencana proyek pembangunan

yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Ukuran tinggi

rendahnya partisipasi masyarakat dalam definisi inipun disamakan dengan


21

kemauan rakyat untuk ikut menanggung biaya pembangunan baik berupa uang

maupun tenaga dalam melaksanakan proyek pembangunan pemerintah.

Dipandang dari sudut sosiologis definisi ini tidak dapat dikatakan sebagai

partisipasi rakyat dalam pembangunan melainkan mobilisasi rakyat dalam

pembangunan. Definisi kedua partisipasi dalam pembangunan merupakan

kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan,

melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah

dicapai. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak

hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan

tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan

proyek yang dibangun diwilayah mereka serta ada tidaknya kemauan rakyat untuk

secara mandiri melestarikan hasil proyek itu.

Kemudian oleh Goulet (2009: 46) partisipasi dikonsepsikan secara baru

sebagai suatu insentif moral yang mengijinkan kaum miskin yang tidak berdaya

untuk merundingkan insentif-insentif material baru bagi diri mereka dan sebagai

suatu titik terobos yang memperbolehkan masyarakat grassroot berhasil

mendapatkan jalan menuju bidang-bidang makro pembuatan keputusan. Dengan

demikian, partisipasi merupakan aspek terpenting dalam upaya memberdayakan

masyarakat baik secara individu maupun kelompok.

Paulo Freire (2000: 34) adalah orang yang paling tegas menyatakan kepada

elite pembuat keputusan mengenai pentingnya partisipasi dalam pembangunan. Bagi

Paulo Freire, batu uji tertinggi otentisitas (keaslian) pembangunan adalah :

Apakah rakyat sebelumnya selalu diperlakukan sebagai obyek, yang hanya


tahu dan melaksanakannya, sekarang dapat secara aktif menyadari dan
22

bertindak yang karenanya menjadi tujuan hidup kemasyarakatan sendiri.


Kalau rakyat ditekan dan dimerosotkan ke dalam budaya diam, mereka
tidak berpartisipasi dalam kemanusiaan itu sendiri. Sebaliknya jika rakyat
dimampukan untuk berpartisipasi sehingga menjadi subyek aktif yang
sadar dan bertindak, mereka akan merancang sejarah manusiawinya dalam
arti yang sebenarnya dan melibatkan diri dalam pembangunan yang otentik

Timbul pertanyaan apakah suatu proses pembangunan dapat dilaksanakan

tanpa adanya partisipasi masyarakat lokal. Dari analisis bentuk dan jenis

partisipasi yang terungkap dapat dijelaskan bahwa jenis pembangunan yang

berlainan memerlukan partisipasi yang berlainan pula. Suatu pembangunan yang

berpusat pada rakyat yang sangat sentral terhadap pemenuhan prioritas kebutuhan

pokok hidup manusiawi, penciptaan lapangan kerja, swakarsa, pelestarian

keanekaragaman budaya, jelas memerlukan untuk partisipasi dengan memainkan

peran aktif masyarakat non-elite dalam mendiagnosis permasalahan mereka

sendiri (Goulet, 2009: 90). Pendekatan baru dalam pembangunan menekankan

pada upaya penggalangan partisipasi masyarakat untuk bersatu padu dalam

pembanguna yang diarahkan dengan model perencanaan di bawah.

Untuk memberi makna suatu pembangunan itu betul-betul pembangunan

masyarakat, maka dituntut adanya partisipasi secara aktif dari masyarakat.

Janabadra dan Ndraha (2000: 112) mengartikan partisipasi sebagai pengambilan

bagian dalam kegiatan bersama. Mubyarto (2007: 19) mendefinisikan partisipasi

sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai

kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan diri sendiri.

Suparlan (2006: 61) mencoba menguji secara mendalam dan menyeluruh

program pembangunan yang berasal dari atas dia menyatakan bahwa

pemberdayaan berbagai proses pembangunan pada dasarnya merupakan upaya


23

mentransformasikan masyarakat lokal yang mempunyai wawasan lokal menjadi

wawasan nasional dan turut bertanggung jawab terhadap kebutuhan bangsa. Pada

akhirnya keberhasilan pembangunan dapat dilihat tatkala menjadi bagian tak

terpisahkan dari cara-cara hidup masyarakat lokal dan dipakai sebagai model

pembangunan yang berwujud dalam berbagai tindakan.

Kemampuan masyarakat pendapat Curtis, et. Al., (2008 : 1). untuk

mewujudkan dan mempengaruhi arah serta pelaksanaan suatu program

ditentukan dengan mengandalkan power yang dimilikinya sehingga

pemberdayaan (empowerment) merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang

sifatnya aktif dan kreatif.

Participation is concerned with the distribution of power in society, for it


is power which enables groups to determine which needs, and whose
needs will be met through the distribution of resources (Partisipasi terkait
dengan distribusi kekuasaan dalam masyarakat, karena hanya
kekuasaanlah yang memungkinkan kelompok untuk menentukan
kebutuhan yang mana dan kebutuhan siapa yang akan dipenuhi melalui
distribusi sumberdaya).

Pemberdayaan merupakan the missin ingredient (unsur tersembunyi)

dalam mewujudkan partisipasi masyarakat yang aktif dan kreatif. Secara

sederhana, pemberdayaan mengacu pada kemampuan masyarakat untuk

mendapatkan dan memanfaatkan akses ke dan kontrol atas sumber-sumber hidup

penting.

Upaya masyarakat miskin melibatkan diri dalam proses pembangunan

melalui power yang dimilikinya merupakan bagian dari pembangunan manusia

(personal/human development). Pembangunan manusia merupakan proses

kemandirian (self-reliance), kesediaan bekerjasama dan toleran terhadap


24

sesamanya dengan manyadari potensi yang dimilikinya. Hal ini dapat terwujud

dengan menimba ilmu dan ketrampilan baru, serta aktif berpartisipasi dalam

pembangunan ekonomi, sosial, dan politik dalam komunitas mereka.

Bagaimana pemberdayaan masyarakat merupakan satu masalah sendiri

yang berkaitan dengan hakekat dari kekuasaan, serta hubungan antar individu atau

lapisan-lapisan sosial yang lain. Pada dasarnya setiap individu dilahirkan dengan

kekuasaan. Hanya saja kadar dari kekuasaan itu akan berbeda antara satu individu

dengan individu yang lain. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang

saling terkait (interlinking factors) antara lain seperti pengetahuan, kemampuan,

status, harta, kedudukan, dan jenis kelamin. Faktor-faktor yang saling terkait itu

pada akhirnya membuat hubungan antar individu dengan dikotomi subyek

(penguasa) dan obyek (yang dikuasai). Bentuk relasi sosial yang dicirikan dengan

dikotomi subyek dan obyek tersebut merupakan relasi yang ingin diperbaiki

melalui proses pemberdayaan.

Pemberdayaan merupakan proses rekonstruksi hubungan antara subyek dan

obyek. Proses ini mensyaratkan adanya pengakuan subyek atas kemampuan atau

power yang dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya flow

of power (transfer kekuasaan) dari subyek ke obyek. Pemberian kekuasaan,

kebebasan dan pengakuan dari subyek ke obyek dengan memberinya kesempatan

untuk meningkatkan hidupnya dengan memamkai sumber daya tersebut. Pada

akhirnya, kemampuan individu miskin untuk dapat mewujudkan harapannya

dengan pemberian pengakuan oleh subyek merupakan bukti bahwa individu

tersebut memiliki kekuasaan/daya. Dengan kata lain, mengalirnya daya ini dapat
25

terwujud suatu upaya aktualisasi diri dari obyek untuk meningkatkan hidupnya

dengan memakai daya yang ada padanya serta dibantu juga dengan daya yang

dimiliki subyek. Dalam pengertian yang lebih luas, hasil akhir dari proses

pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula obyek menjadi

subyek (yang baru), sehingga relasi sosial yang ada nantinya hanya akan ditandai

dengan relasi antar subyek (lama) dengan subyek (baru) yang lain. atau proses

pemberdayaan adalah mengubah pola relasi lama subyek-obyek menjadi relasi

subyek-subyek.

Dengan demikan, transfer kekuasaan ini merupakan faktor yang penting

dalam mewujudkan pemberdayaan. Terdapat dua perspektif atas dimensi power

itu, yaitu perspektif distributif yang menghambat pemberdayaan, dan perspektif

generatif yang cnederung mendukung pemberdayaan (Dahl, 2003; Masoed, 2004:

100-1). Bila power ditinjau dalam perspektif distributif, maka ia bersifat zero-sum

dan sangat kompetitif. Kalau yang satu mempunyai daya berarti yang lain tidak

tidak punya. Kalau satu pihak memperoleh tambahan daya, berarti pihak yang

lain kehilangan. Dalam hubungan kekuasaan seperti ini, aktor yang berperilaku

rasional dianggap tidak mungkin bekerjasama karena hanya akan merugikan diri

sendiri. Kalau pemberdayaan si miskin dapat dilakukan dengan mengurangi

kekuasaan si pemegang kekuasaan, maka pasti si pengausa akan berusaha

mencegah proses pemberdayaan itu.

Sebaliknya, yang berlaku pada sisi perspektif generatif bersifat positive-

sum. Artinya, pemberian pada pihak lain dapat meningkatkan daya sendiri. Kalau

daya suatu unit sosial secara keseluruhan meningkat, semua anggotanya dapat
26

menikmati bersama-sama. Dalam kasus ini, pemberian daya kepada lapisan miskin

secara tidak langsung juga akan meningkatkan daya si pemberi, yaitu si penguasa.

Dengan menggunakan kajian teori yang ditawarkan oleh Sarah Cook dan

Steve ini, maka perubahan yang akan dihasilkan merupakan suatu perubahan yang

bersifat terencana karena input yang akan digunakan dalam perubahan telah

diantisipasi sejak dini sehingga out put yang akan dihasilkan mampu berdaya

guna secara optimum.

Upaya pemberdayaan dapat juga dilakukan melalui 3 (tiga) jurusan

(Kartasasmita, 2005: 4) yaitu:

1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi


masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa
setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat
dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya
itu dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk
mengembangkan.
2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah yang
lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input), serta
pembukaan akses ke berbagai peluang yang akan membuat masyarakat
menjadi makin berdaya dalam memanfaatkan peluang.
3. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses
pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi semakin lemah, dan
menciptakan kebersamaan serta kemitraan antara yang sudah maju dan
yang belum maju/berkembang. Secara khusus perhatian harus diberikan
dengan keberpihakan melalui pembangunan ekonomi rakyat, yaitu
ekonomi usaha kecil termsuk koperasi, agar tidak makin tertinggal
jauh, melainkan justru dapat memanfaatkan momentum globalisasi
bagi pertumbuhannya.

Namun Friedmann juga mengingatkan bahwa sangatlah tidak realistik

apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur-struktur di luar masyarakat

madani diabaikan. Oleh karena itu, menurut Friedmann pemberdayaan masyarakat


27

tidak hanya sebatas ekonomi saja namun juga secara politis, sehingga pada

akhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar menawar yang kompetitif, baik

secara nasional maupun internasional. Paradigma pemberdayaan ingin mengubah

kondisi yang serba sentralistik ke situasi yang lebih otonom dengan cara memberi

kesempatan pada kelompok orang miskin untuk merencanakan dan kemudian

melaksanakan program pembangunan yang mereka pilih sendiri, kelompok orang

miskin ini, juga diberi kesempatan untuk mengelola pembangunan, baik yang

berasal dari pemerintah maupun pihak luar (Soetrisno, 2005: 80).

Peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan

yang menyangkut diri masyarakat sendiri merupakan unsur yang sungguh penting

dalam hal ini. Dengan dasar pandang demikian, maka pemberdayaan masyarakat

amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengalaman

demokrasi. Dalam konteks dan alur pikir ini Friedmaan (2002: 34) menyatakan :

The empowerment approach, which is fundamental to alternative


development, places the emphasis on autonomy in decesion making of
territotially organized communities, local self-reliance (but not autarchy)
democracy and experiental social learning (Pendekatan pemberdayaan,
yang sangat penting terhadap pembangunan alternatif, menempatkan
penekanan pada otonomi dalam pembuatan keputusan dari komunitas
yang diorganisir secara teritorial, kemandirian lokal, demokrasi langsung
dan pembelajaran sosial yang diambil dari pengalaman).

Titik fokus dari pemberdayaan ini adalah lokalitas karena civil society,

menurutnya, lebih siap diberdayakan lewat isu-isu lokal. Dalam pandangan Bryant

& White (2007: 235) empowerment berarti menumbuhkan kekuasaan dan

wewenang yang lebih besar kepada si miskin. Selanjutnya mereka menyatakan

bahwa satu-satunya cara menciptakan mekanisme dari dalam (built-in) guna

meluruskan keputusan-keputusan alokasi yang sangat tidak adil sehingga rakyat


28

memiliki pengaruh. Hal ini senada dengan rumusan yang diberikan oleh Paulo

Freire (dalam Soetrisno, 2005: 27) yang menyatakan bahwa empowerment bukanlah

sekedar memberi kesempatan pada rakyat untuk menggunakan sumber-sumber

alam dan dana pembangunan saja, akan tetapi lebih dari itu, empowerment

merupakan upaya untuk mendorong masyarakat untuk mencari cara menciptakan

kebebasan dari struktur-struktur yang represif (bersifat menekan). Dengan kata

lain, empowerment berarti partisipasi masyarakat dalam politik. Rumusan lain

tentang konsep empowerment ini ditemui dalam pernyataan Schumacher (2003: 132)

yang kurang berbau politik dan lebih menekankan pada hal-hal sebagai berikut :

Economic development can succed only if it is carried forward as a broad


popular movement reconstruction with the primary emphasis on the full
utilization of the drive, enthusiasm, intelligence and labour power of every
one.
(Pembangunan ekonomi hanya dapat berhasil manakala sebagai
rekonstruksi pergerakan rakyat dengan penekanan utama pada
pemanfaatan secara penuh semangat, antusiasme, intelegensi dan kekuatan
kerja setiap orang).

Selanjutnya Schumacher menyatakan bahwa strategi yang paling tepat

untuk menolong si miskin adalah memberi kail ketimbang ikan yang dengannya

mereka dapat mandiri. Schumacher sangat memberi tempat yang istimewa bagi

kelompok LSM/NGO (non-govermental organization) dalam proses

pembangunan. Schumacher (dalam Soetrisno, 2005: 67) memberikan alasan sebagai

berikut :

Development effort is mainly carried on by government officials in


other words by adminstrators (who) are not by training and experience,
either entrepreneur on inovator. (Upaya pembangunan pada umumnya
dilakukan oleh pejabat pemerintah dengan kata lain oleh administratur
yang dari segi pendidikan dan pengalaman bukanlah pengusaha atau
inovator).
29

Penekanan konsep Empowerment Schumacher yang lebih memfokuskan

pada pembentukan kelompok mandiri tidak akan banyak mempuyai arti tanpa ada

dukungan politik, sebagaimana yang dinyatakan oleh Freire. Artinya, konsep

empowerment apapun yang akan dipilih dibutuhkan dosis politik untuk menjadi

obat yang ampuh dari penyakit kemiskinan (Soetrisno, 2005: 68).

Dengan demikian pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep

pembangunan ekonomi dan politik yang merangkum berbagai nilai sosial. Konsep

ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni bersifat people centered,

participatory, empowering, and sustainable (Berpusat pada rakyat,

partisipatoris, memberdayakan dan berkelanjutan) (Chambers, 2003: 290).

Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar

(basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan

lebih lanjut (safety net). Alternatif konsep pertumbuhan ini oleh Friedmann (2002:

68) disebut sebagai alternative development (pembangunan alternatif) yang

menghendaki inclusive democracy, appropriate economic growth, gender

equality and intergenarational equity (demokrasi inklusif, pertumbuhan

ekonomi yang memadai, kesetaraan jender dan persamaan antara generasi).

Konsep ini tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena

seperti dikatakan oleh Brown (dalam Mustadjab, 2000), keduanya tidak harus

diasumsikan sebagai incompatible and anthithetical (tidak cocok dan antitetis).

Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap Zero sum game dan

trade-off (prinsip pilih salah satu). Ia bertitik tolak dari pandangan bahwa

dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan serta

akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Oleh karena itu seperti


30

dikatakan oleh Kirdar dan Silk (dalam Kartasasmita, 2006: 90), the right kinds of

growth (pertumbuhan yang benar), yakni bukan pertumbuhan vertikal yang

menghasilkan trickle-down seperti yang terbukti tidak berhasil, tetapi yang

bersifat horisontal (horizontal flows), yakni broadly based, employment intensive,

and compartmentalized (berbasis luas, intensif tenaga kerja, dan saling

melengkapi).

2.2.4. Efektivitas Program Pengembangan Kelurahan dan Kecamatan

Menurut Soekarno (2005:120) mengemukakan tentang pengertian

efektivitas sebagai berikut : Efektivitas adalah suatu ukuran tentang bagaimana

sebaiknya melaksanakan suatu sistem, itu adalah suatu perbandingan setara suatu

sistem yang ada dengan sistem yang dikehendaki dan harus dipelihara pada

tingkat menengah.

Dengan meningkatnya efektivitas dan efisiensi program sektor peternakan

diharapkan dapat menciptakan kemampuan aparatur dan petani ternak yang erat

kaitannya dengan implementasi kebijakan publik.

Kegiatan agribisnis (khususnya di sektor peternakan) mempunyai

karakteristik dasar sebagai sumberdaya yang dapat diperbarui, sehingga jika

melihat sumberdaya manusianya cukup efektif untuk diterapkan dalam upaya

untuk merubah keadaan sosial ekonomi masyarakat. Selanjutnya menurut Byres

bahwa :
31

Perubahan sosial adalah suatu perjalanan waktu dan didalamnya tercakup


suatu masa peralihan, sedangkan perubahan sosial di pedesaan berawal
dari perubahan yang secara mendasar di dalam masyarakat sampai
terbentuknya susunan hubungan sosial ekonomi produksi yang baru.
(2004 : 64-65)

Sedangkan Harris (2002 : 28-36) mengatakan bahwa : Perubahan sasial

sebagai suatu proses perubahan susunan hubungan social ekonomi : perubahannya

masyarakat agraris tradisional menjadi masyarakat dengan sistem pertanian

terintegrasi ke dalam sistem ekonomi secara keseluruhan

Dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarga/masyarakat dan

memperluas kesempatan kerja di pedesaan, selayaknya diutamakan pada

pengembangan agribisnis. Pembangunan masyarakat pedesaan perlu terus

ditingkatkan terutama melalui pengembangan kemampuan sumberdaya manusia

termasuk penciptaan iklim yang mendorong tumbuhnya prakarsa dan swadaya

masyarakat pedesaan.

Sejalan dengan itu perlu ditingkatkan kemampuan masyarakat pedesaan

untuk berproduksi serta mengolah dan memasarkan hasil produksinya, sekaligus

menciptakan lapangan kerja , Dengan menfaatkan sebaik baiknya segala dana dan

daya bagi peningkatan pendapatan dan taraf hidupnya

2.3. Kerangka Pikir Penelitian

Agar penelitian ini terarah sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang

diterapkan serta berdasarkan kiblat teoritis, maka perlu terlebih dahulu disusun

kerangka pemikiran dalam melaksanakan penelitian ini. Penelitian ini

menganalisis pengembangan masyarakat desa dalam upaya menanggulangi


32

kemiskinan, dimana sasaran akhir dari program adalah menjadikan peserta

program untuk dapat mandiri dalam permodalannya sehingga dapat memutus

lingkaran setan kemiskinan.

Dalam penelitian ini akan membandingkan pendapatan usaha, tabungan,

dan investasi usaha sebelum dan sesudah pinjaman. Apabila ada peningkatan

berarti penerima program dapat memanfaatkan bantuan program dengan baik

dalam meningkatkan usahanya, sehingga nantinya apabila sudah keluar dari

program akan dapat berusaha sendiri. Bantuan program yang diberikan tersebut

berupa pinjaman modal kerja bergulir sebagai modal bagi peningkatan pendapatan

kegiatan usaha ekonomi produktif. Kerangka pemikiran tersebut dapat dijelaskan

sebagai berikut :

Kebijakan Pemerintah
Penanggulangan Pengembangan
Kemiskinan Masyarakat Desa

Penanggulangan
Kemiskinan
Masyarakat Desa

Gambar 2.1
Model Kerangka Pikir Penelitian

You might also like