You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh basil gram


positif,clostridium tetani. Bakteri ini terdapat dimana-mana, dengan habitat
alamnya di tanah,tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang peliharaan dan
manusia. infeksi terjadi akibat kontak dengan jaringan melalui luka serta Toksin
dapat mempengaruhi saraf yang mengontrol fungsi otot.(1) Tetanus disebut juga
dengan seven day disease.dan pada tahun 1890 ditemukan toksin seperti
striknin, kemudian dikenal dengan tetanospasmin yang diisolasi dari tanah
anaerob yang mengandung bakteri imunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut
menghasilkan pencegahan dari tetanus.(2)

Tetanus sudah dikenal sejak zaman Mesir Kuno, tetapi isolasi C. tetani
Dari manusia baru pertama kali dilakukan pada tahun 1889 oleh Kitasato.
Imunisasi pasif terhadap tetanus pertama kali diperkenalkan oleh Nocard pada
tahun 1897 dan digunakan selama Perang Dunia I. Pada tahun 1924 Descombey
mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid dan digunakan secara luas selama
Perang Dunia II.(3)

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non
imun, inividu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang
kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi
ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih
merupakan penyakit yang membebani diseluruh dunia terutama dinegara beriklim
tropis dan negara negara sedang berkembang sering terjadi di Brazil, Filipina,
Vietnam, Indonesia dan negara lain dibenua Asia. Penyakit ini umum terjadi
didaerah pertanian, di daerah pedesaan, daerah iklim hangat. Pada negara - negara
tanpa program imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada
neonatus dan anak-anak.(1)

1
Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun
1995, tetanus tetap bersifat endemik pada negara negara sedang berkembang
dan WHO memperkirakan kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus
diseluruh dunia pada tahun 1992, termasuk didalamnya 580.000 kematian akibat
tetanus neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara dan 152.000 di Afrka. Penyakit
ini jarang dijumpai di negara negara maju. Di Afrika Selatan, kira-kira terdapat
300 kasus pertahun, dan kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di
Inggris.(1)
Pada akhir tahun 1940an dilaporkan 300 sampai 600 kasus pertahun di
Amerika Serikat. Pada tahun 1947 insidensi tetanus mencapai 3,9 kasus perjuta
populasi, kontras dengan angka insidensi tahunan antara tahun 1998-2000 yang
dilaporkan 0,16 perjuta populasi. Sejak tahun 1976 kurang dari 100 kasus
dilaporkan tiap tahun dan pada saat ini antara 50-70 kasus pertahun dilaporkan di
Amerika Serikat.
Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey
serologis skala luas terhadap antibody tetanus dan difteri yang dilakukan antara
tahun 1988-1994 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk
Amerika Serikat berusia di atas 6 tahun terlindungi terhadap tetanus. Sedangkan
pada anak antara 6-11 tahun sebesar 91%, persentase ini menurun dengan
bertambahnya usia, hanya 30% individu berusia diatas 70 tahun (pria 45% wanita
21%) yang mempunyai tingkat antibodi yang adekuat.(1)

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya


tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostiridium tetani. Terdapat beberapa bentuk
klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan
gangguan neurologis lokal.(1)

Penyakit klinis yang ditandai dengan onset akut hipertonia dan kontraksi
otot yang nyeri (biasanya otot rahang dan leher) dan spasme otot general tanpa
penyebab medis lain yang tampak dengan/tanpa bukti laboratories C. tetani atau
toksinnya dengan atau tanpa riwayat trauma.(4)

II.2 ETIOLOGI

Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki


dua bentuk, yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah
basil, Gram positif, tidak berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk
vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan, desinfektan
kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan
tetanus.(3) Bakteri ini terdapat dimana mana, dengan habitat alamnya di tanah,
tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran binatang peliharaan manusia. Clostiridium
tetani juga menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk
oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan selama
bertahun tahun pada lingkungan tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan
bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit.
Spora bakteri ini dihancurkan secara tidak sempurna dengan mendidihkan, tetapi
dapat dieliminasi dengan autoklav pada tekanan 1 atmosfir dan 120C selama 15
menit. Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan

3
bersifat sensistif terhadap beberapa antibiotic (metronidazol, penisilin dan
lainnya). Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis.
Clostiridium tetani menghasilkan efek efek klinis melalui eksotoksin yang kuat.
Tetanospasmin dihasilkan dalam sel sel yang terinfeksi dibawah kendali
plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Dengan
autolysis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk
heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100 kDa) yang memediasi
pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan
rantai ringan (50kDa) berperan untuk memblokade perluasan neurotransmitter.
Telah diketahui urutan genom dari Clostiridium tetani. Struktur asam amino dari
dua toksin yang paling kuat yang pernah ditemukan yaitu toksin botulinum dan
toksin tetanus secara parsial bersifat homolog. Peranan toksin tetanus dalam tubuh
organisme belum jelas diketahui. DNA toksin ini terkandung dalam plasmid.
Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi, karena tidak semua strain
mempunyai plasmid. Belum banyak penelitian tentang sensitifitas antimikrobial
bakteri ini.

II.3 PATOGENESIS

Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora C.tetani. C.tetani sendiri tidak
menyebabkan inflamasi dan port dentrae tetap tampak tenang tanpa tanda
inflamasi, kecuali apabila oleh mikroorganisme yang lain(1).

Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan


terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin : tetanospasmin dan
tetanolisin. Tetanolisis mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup
yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang
memungkinkan multiplikasi bakteri(1).

Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin


mencakup lebih dari 5% dari berat organism. Toksin ini merupakan polipeptida
rantai ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat
(100.000Da) dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang

4
sensitive terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan
jembatan disulfide yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dari
rantai berat terikat pada membrane saraf dan ujung amino memungkinkan
masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk
mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi.
Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan dibawahnya dan
terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membrane ujung saraf lokal. Jika
toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian
akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retrogred ke dalam
badan sel di batang otak dan saraf spinal(1).

Transport terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan
saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan
akan masuk dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron
inhibitori spinal terpengaruh, gejala gejala tetanus akan muncul. Transpor
interneuronal retrogred lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke batang
otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati celah sinaptik
dengan suatu mekanisme yang tidak jelas(1).

Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfide yang


menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan
rantai ringan. Efek toksin dihasilkan melalui pencegahan lepasnya
neurotransmitter. Sinaptobrevin merupakan protein membrane yang diperlukan
untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neurotransmitter. Rantai
ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang membelah
sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegah perlepasan
neurotransmitter(1).

Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori , dimana setelah
toksin ini menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan
memblokade perlepasan neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam
aminobutirik (GABA). Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang

5
pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi
inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik
preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron
motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan asetilkolin ke
dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin
botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus
efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi
pada ujung neuromuskuler. Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal
pada penelitian pada hewan. Apakah mekanisme ini berperan terhadap spasme
intermitten dan serangan autonomic, masih belum jelas. Efek prejungsional dari
ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan diantara dua spasme dan dapat
berperan pada paralisis saraf cranial yang dijumpai pada tetanus sefalik dan
myopati yang terjadi setelah pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus
menghasilkan gejala karakteristik berupa paralisis flaksid(1).

Aliran aferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang
otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai
konvulsi. Reflex inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot
otot agonis dan antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah
nyeri dan dapat berakibat fraktur atau rupture tendon. Otot rahang, wajah dan
kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh
dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot otot perifer tangan dan kaki
relative jarang terlibat(1).

Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya


kontrol otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin
plasma yang berlebihan. Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel.
Pemulihan membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru menjelaskan mengapa
tetanus berdurasi lama(1).

Pada tetanus lokal, hanya saraf saraf yang menginervasi otot otot yang
bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang

6
dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas
mencapai ujung saraf terminal, sawar darah otak memblokade masuknya toksin
secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu
tranasport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan
terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang : hal ini menjelaskan urutan
keterlibatan serabut saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus
generalisata(1).

II.4 GAMBARAN KLINIK

Gejala-gejala dapat timbul beberapa hari,beberapa minggu,dan dapat juga


beberapa bulan setelah terjadinya infeksi. Penderita merasa badannya tidak enak
kepala nyeri, dan otot-otot kaku. Kemudian timbul kejang kaku pada otot-otot
lokal atau mengenai otot-otot seluruh badan. Biasanya kejang dimulai dengan
trismus, yaitu kejang kaku otot maseter, hingga mulut makin lama makin sukar
dibuka dan akhirnya terkancing, lalu menyusul kejang pada otot-otot dinding
perut. Otot otot ini terasa kaku pada perabaan. Pada tetanus umum, kemudian
timbul spasme otot otot tengkuk dan otot otot tubuh lainnya, yang terjadi
dalam serangan-serangan. Otot-otot wajah dapat mengejang pula hingga wajah
tampak menyeringai. Kejang ini dapat makin lama makin hebat hingga
mengganggu pernapasan, kesadaran biasanya tetap baik. Akan tetapi bila asfiksia
yang terjadi hebat, kesadaran akan menurun karena otak kekurangan oksigen.
Pasien meninggal karena asfiksia akibat kejang otot-otot pernapasan ini karena
spasmus glotis, karena dekompensasi jantung atau karena kelelahan. Angka
kematian tetanus kurang lebih 50% oleh karena itu, penting sekali tindakan
pencegahan.(5).

II.4.1 Tetanus general

Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general.tanda khas dari


tetanus general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mulut
akibat spasme otot maseter,trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan
leher,kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan peningkatan temperature

7
2-4C diatas suhu normal.spasme otot-otot wajah menyebabkan wajah penderita
tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonikus (sardonic smile).spasme
otot-otot somatic yang luas menyebabkan tubuh penderita membentuk lengkungan
seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi
tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan kejang otot yang
akut,paroksimal,tidak terkoordinasi dan menyeluruh merupakan karakteristik dari
tetanus general. kejang tersebut terjadi secara intermitten,ireguler,tidak dapat
diprediksi dan berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit.Pada
awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat periode relaksasi diantara kejang lama
kelamaan kejang menimbulkan nyeri dan kelelahan (paroksismal).Kejang dapat
terjadi secara spontan atau dipicu berbagai stimulus eksternal dan internal distensi
vesika urnaria dan rectum atau sumbatan mukus dalam bronkus dapat memicu
kejang paroksimal.Udara dingin,suara,cahaya,pergerakan pasien bahkan gerakan
pasien unuk minum dapat memicu spasme paroksismal. sianosis dan bahkan
kematian mendadak dapat terjadi akibat spasme tersebut. terkadang pasien dengan
tetanus general menampakkan manifestasi autonomic yang mempersulit
perawatan pasien dan dapat mengancam nyawa. Overaktivitas sistem saraf
simpatis lebih sering ditemukan pada pasien usisa tua atau pecandu narkotik
dengan tetanus. Overaktifitas autonom dapat menyebabkan fluktuasi ekstrim
tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta takikardi,
berkeringat,hipertermia dan aritmia jantung.(6)

Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita


mengalami nyeri hebat pada setiap episode spasme.spasme berlanjut selama 2-3
minggu yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transport toksin yang
sudah berada intraaksonal, setelah antitoksin diberikan.Apabila antitoksin tidak
diberikan pemulihan lengkap akan terjadi dalam beberapa bulan sampai produksi
dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan neuromuscular
junction yang baru(3).

8
Gambaran klinik penederita tetanus ditunjukkan oleh gambar :

Gambar 1 : Penderita tetanus dengan risus sardonikus

Gambar 2 : Anak penderita tetanus yang menangis akibat kontraksi otot yang
nyeri

Gambar 3 : Penderita tetanus dengan opistotonus

9
II.4.2 Tetanus lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan


tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-
otot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan
selama beberapa minggu sebelum perlahan-lahan menghilang. Tetanus lokal dapat
berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan
dan jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal hanya 1%

II.4.3 Tetanus sefalik

Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus local,yang


tejadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga.masa inkubasinya 1-2 hari
dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf cranial yang tersering adalah
saraf ke 7. disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi.mortalitasnya
tinggi(1)

Gambar 4 : Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan
tetanus sefalik. (Sumber: Cook, 2001)

10
II.4.4 Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan


biasanya fatal apabila tidak diterapi.Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak
yang dilahirkan dari ibu yang tidak di imunisasi secara adekuat terutama setelah
perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril.Resiko infeksi tergantung
pada panjang tali pusat,kebersihan lingkungan,dan kebersihan saat mengikat dan
memotong umbilicus.onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan,rigiditas,
sulit menelan ASI,iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus
neonatorum.Diantara neonatus yang terinfeksi,90% meninggal dan retardasi
mental terjadi pada yang bertahan hidup.(1)

II.5 PERJALANAN PENYAKIT

Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata
rata 7 10 hari dengan rentang 1 60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala
pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1 7 hari. Inkubasi dan onset
yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat.
Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah.
Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan
sampai 1 2 minggu. Spasme berkurang setelah 2 3 minggu tetapi kekakuan
tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson
terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan biasa memerlukan waktu
sampai 4 minggu.(1)

Pada proses perjalanan penyakit tetanus disebutkan juga tingkat derajat


keparahan yang dilaporkan oleh (Phillips,Dakar,Udwadia,Ablett).Sistem yang
dilaporkan oleh Ablett merupakan sistem yang sering dipakai.

Berdasarkan Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett dapat dibagi menjadi


antara lain(1) :

a. Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata,


tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.

11
b. Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme
singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan
frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia ringan
c. Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme reflex
berkepanjangan. Frekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan apnea,
disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.
d. Derajat IV (sangat berat) : derajat tiga dengan gangguan otonomik berat
melibatkan system kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi
berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.

II.6 DIAGNOSIS

Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis.Tetanus tidaklah


mungkin apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara
lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan. Sekret luka hendaknya
dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus. Namun demikian, C.tetani dapat
diisolasi dari luka pasien tanpa tetanus sering tidak dapat ditemukan dari luka
pasien teanus, kultur yang positif bukan merupakan bukti bahwa organism
tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus. Leukosit mungkin
meningkat. Pemerikassan cairan cerebrospinal menunjukkan hasil yang normal.
Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan
pemendekan atau tidak adanya interval tenaga yang secara normal dijumpai
setelah potensial aksi. Perubahan non spesifik data dijumpai pada EKG. Enzim
otot mungkin meningkat. Kadar anti toksi serum 0,15 U/ml dianggap protektif
dan pada kadar ini tetanus tidak mungkin terjadi, walaupun ada beberapa kasus
yang terjadi pada kadar anti toksin yang protektif(1).

Diagnosis diferensialnya mencakup kondisi lokal yang dapat


menyebabkan trismus, seperti absess alveolar, keracunan striknin, reaksi obat
distonik (misalnya terhadap fenotiasin dan metoclorpramid) tetanus hipokalsemik
dan perubahan-perubahan metabolik dan neurologis pada neonatal. Kondisi
kondisi lain yang dikacaukan dengan tetanus meliputi meningitis/ensefalitis,

12
rabies dan proses intra abdominal akut (karena kekakuan abdomen).
Meningkatnya tonus pada otot sentral (wajah,leher,dada,punggung dan perut)
yang tumpang tindih dengan spasme generalisata dan tidak terlibatnya tangan dan
kaki secara kuat mendukung diagnosa tetanus.(1).

II.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari tetanus sebagian besar dari penyakit-penyakit


infeksi, kelainan metabolik,penyakit sistem saraf pusat,kelainan psikiatrik dan
kelainan muskuloskeletal (tampak pada tabel) :

Diagnosa banding tetanus


Penyakit Gambaran diferensial
INFEKSI
Demam trismus tidak ada,penurunan
Meningoensefalitis kesadaran, cairan serebrospinal abnormal
Polio trismus tidak ada,paralisis tipe flaksid,cairan
serebrospinal abnormal
Gigitan binatang,trismus tidak ada
Rabies hanya spasme orofaring
Bersifat lokal,rigiditas atau spasme
Lesi orofaring seluruh tubuh tidak ada
Peritonitis trismus dan spasme seluruh tubuh tidak ada

KELAINAN METABOLIK
Hanya spasme karpo-pedal dan laringeal,
Tetani Hipokalsemia
keracunan striknin Relaksasi komplit diantara spasme
Reaksi fenotiazin Distonia,menunjukkan respon dengan
difenhidramin

13
PENYAKIT SISTEM
SARAF PUSAT
status epileptikus penurunan kesadaran
perdarahan atau tumor (SOL) Trismus tidak ada,penurunan kesadaran
KELAINAN PSIKIATRIK

Histeria Trismus inkonsan,relaksasi komplit antara


spasme
KELAINAN
MUSKULOSKELETAL
Trauma Hanya local

II.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penderita tetanus adalah :

1. Bila memungkinkan periksa bakteriologi (Clostridium Tetani)


2. EKG bila ada tanda-tanda gangguan jantung
3. Foto toraks bila ada komplikasi paru-paru

II.9 PENGOBATAN

Strategi terapi melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan : organisme yang


terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk mencegah pelepasan toksin
lebih lanjut. Toksin yang terdapat dalam tubuh, diluar sistem saraf pusat
hendaknya dinetralisasi dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf
pusat diminimisasi.(1).

II.9.1 Netralisasi toksin

Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan memberikan Human


tetanus immunoglobulin (HTIG). Belum ada konsensus mengenai dosis tepat
HTIG untuk tetanus.namun beberapa penelitian menyarankan pemberian dosis
tunggal 3000-6000 IU secara intramuscular sedangkan dosis yang disarankan

14
dalam formularium nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU(7). Waktu paruh HTIG
sekitar 23 hari sehingga tidak diperlukan dosis ulangan HTIG tidak boleh
diberikan lewat jalur intravena karena mengandung anti complementary
aggregates of globulin yang dapat mencetuskan reaksi alergi. Apabila HTIG tidak
tersedia dapat digunakan antitetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda
dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000 IU antitoksin
dimasukkan ke dalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intraven,
pemberian harus selesai dalam 30 45 menit setengah dosis yang tersisa
(20.000IU) diberikan secara intramuscular pada daerah sekitar luka. ATS berasal
dari serum kuda sehingga pemberiannya harus didahului oleh skin test yatu 0,1 ml
ATS diencerkan menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan 1:10
kemudian diinjeksikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap
tetanospasmin yang belum memasuki sistem saraf.(2).

II.9.2 Eliminasi bakteri

Proses eliminasi bakteri maka dapat dilakukan dengan :

a. Lokasi luka dibersihkan bila perlu dieksisi


b. Kultur luka untuk menemukan bakterinya tetapi tidak selalu berhasil
c. Penicillin adalah drug of choice:berikan procain penisilin,1,2 juta unit IM
atau IV setiap 6 jam selama 10 hari
d. Untuk pasien yang alergi penicillin dapat diberikan tetracycline,500 mg
PO atau IV setiap 6 jam selama 10 hari
Pemberian antibiotic diatas dapat mengeradikasi clostridium tetanie tetapi
tidak mempengaruhi proses neurologis.

II.9.3 Terapi simtomatik dan suportif

Terapi simtomatik dan suportif yang diberikan antara lain :

a. Diazepam dosis 10 mg IV perlahan 2-3 menit, selanjutnya dosis


maintenance 10 ampul (100 mg) /500 ml cairan infuse (10-12
mg/kgbb/hari) diberikan secara drips untuk mencegah kristalisasi cairan

15
dikocok setiap 35 menit setiap kejang diberikan diazepam 1
ampul/IV,dapat diulang setiap 15 menit sampai maksimal 3 kali bila tidak
teratasi rawat ICU.
b. Oksigen diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia,distress pernapasan
dan sianosis.
c. Nutrisi diberikan TKTP dalam bentuk lunak,saring/cair,bila perlu melalui
pipa NGT.
d. Menghindari tindakan/perbuatan yang bersifat merangsang termasuk
rangsangan suara dan cahaya.
e. Mempertahankan/membebaskan jalan napas (pengisapan lendir secara
berkala).
f. Posisi/letak penderita diubah-ubah secara periodik
g. Pemasangan kateter bila terjadi retensi urin

II.10 Prognosis

Penerapan metode untuk monitoring dan oksigenasi suportif telah secara


nyata memperbaiki prognosis tetanus. Angka fatalitas kasus dan penyebab
kematian bervariasi secara dramatis tergantung pada fasilitas yang tersedia. Di
Negara-negara berkembang, tanpa fasilitas untuk perawatan jangka panjang dan
bantuan ventilasi, kematian akibat tetanus berat mencapai lebih dari 50% dengan
obstruksi jalan napas, gagal nafas dan gagal ginjal merupakan penyebab utama.
Mortalitas sebesar 10% dianggap merupakan target yang dapat dicapai oleh
Negara-negara maju. Perawatan intensif modern hendaknya dapat mencegah
kematian akibat gagal nafas akut, tetapi sebagai akibatnya bagi kasus yang berat
gangguan otonomik lebih nampak. Trujillo melaporkan bahwa 40% kematian
setelah adanya perawatan intensif adalah akibat henti jantung mendadak dan 15%
akibat komplikasi respirasi. Mortalitas bervariasi berdasarkan usia pasien.
Prognosis buruk pada usia tua, pada neonatus dan pada pasien dengan periode
inkubasi yang pendek, interval yang pendek antara onset gejala sampai tiba di RS.
DI USA mortalitas pada pasien dewasa dibawah 30 tahun hampir 0, tetapi pada
pasien diatas 60 tahun mencapai 52%. Di portugis, antar tahun 1986 sampai tahun

16
1990, mortalitas untuk semua umur bervariasi antara 32 sampai 59%. Mortalitas
dan prognosis juga tergantung pada status vaksinasi sebelumnya.

Tetanus yang berat umumnya membutuhkan perawatan ICU sampai 3-5


minggu, pasien mungkin membutuhkan bantuan ventilasi jangka panjang. Tonus
yang meningkat dan spasme minor dapat terjadi sampai berbulan-bulan, namun
pemulihan dapat diharapkan sempurna, kembali ke fungsi normalnya. Pada
beberapa penelitian pengamatan pada pasien yang selamat dari tetanus, sering
dijumpai menetapnya problem fisik dan psikologis.

II.11 Komplikasi

II.12 Pencegahan

Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam


menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah
tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif.(10)

Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang


bertujuan merangsang tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat
dimulai sejak anak berusia 2 bulan dengan pemberian imunisasi DPT atau DT.
Untuk orang dewasa digunakan tetanus toksoid (TT)). Jadwal imunisasi dasar
untuk profilaksis tetanus bervariasi menurut usia pasien.

Bayi dan anak normal Imunisasi DPT pada usia 2,4,6, dan 15 18 bulan.
Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun
10 tahun setelahnya (usia 14-16tahun) diberikan
injeksi TT dan diulang setiap 10 tahun sekali
Bayi dan anak normal DPT diberikan pada kunjungan pertama,kemudian 2
sampai usia 7 tahun dan 4 bulan setelah injeksi pertama
yang tidak diimunisasi Dosis ke-4 diberikan 6-12bulan setelah injeksi pertama
pada masa bayi awal Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun
10 tahun setelahnya (usia 14-16tahun) diberikan
injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali

17
Usia > 7 tahun yang Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan
belum pernah pada kunjungan pertama, 4-8 minggu setelah injeksi
diimunisasi pertama dan 6-12 bulan setelah injeksi kedua.
Injeksi TT diulang setiao 10 tahun sekali
Ibu hamil yang belum Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus
pernah diimunisasi menerima 2 dosis injeksi TT dengan jarak 2 bulan
(lebih baik pada 2 trimester terakhir). Setelah bersalin,
diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah injeksi ke-2
untuk melengkapi imunisasi.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali
Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak
pernah diimunisasi tanpa perawatan obstetric yang
adekuat, neonatus tersebut diberikan 250 IU human
tetanus immunoglobulin. Imunitas aktif dan pasif
untuk ibu juga harus diberikan.

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan
kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.
Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus
dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hati-
hati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang
rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka.
Tindakan yang demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus.(11)

Klasifikasi luka menurut American College of Surgeon Committee on Trauma


(1995)

Tampilan klinisi Luka rentan tetanus Luka tidak rentan tetanus


Usia luka 6 jam < 6 jam
Konfigurasi Bentuk stellate,avulse Bentuk linier,abrasi

18
Kedalaman 1 cm < 1 cm
Mekanisme cidera Misil, crush injury, Benda tajam (pisau, kaca)
luka bakar, frostbite
Tanda-tanda infeksi Ada Tidak ada
Jaringan mati Ada Tidak ada
Kontaminan (tanah,feses, Ada Tidak ada
rumput,saliva, dll)
Jaringan denervasi/iskemik Ada Tidak ada
Sumber : American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)

Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma


adalah reaksi neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek
samping lokal tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid.
Berikut adalah panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma.
Individual dengan faktor risiko status imunisasi tetanus yang inadekuat (imigran,
kemiskinan, orang tua tanpa riwayat injeksi booster yang jelas) harus diterapi
sebagai yang riwayatnya tidak diketahui(11).
Panduan pemberian profilaksis pada pasien trauma
Untuk anak 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT.
Dosisprofilaksis HTIG yang direkomendasikan adalah 250 IU diberikan
intramuskular. Apabila diberikan imunisasi tetanus (TT atau DPT) dan HTIG
secara bersamaan, gunakan alat injeksi yang berbeda dan tempat injeksi yang
terpisah. Apabila tidak tersedia HTIG dapat digunakan anti tetanus serum (ATS)
yang berasal dari serum kuda dengan dosis 3000-6000 IU. ATS lebih sering
menimbulkan reaksi hipersensitivitas dibandingkan TIG karena mengandung
protein asing bahkan pada pasien dengan teskulit atau konjungtiva negatif
sebelum pemberian (insiden 5-30%). ATS hanya diberikan apabila tidak tersedia
TIG dan kemungkinan tetanus melebihi reaksi yang potensial terhadap produk ini.
Seseorang yang pernah menderita tetanus tidak imun terhadap serangan
ulangan, artinya penderita tersebut memiliki kemungkinan yang sama untuk
menderita tetanus seperti orang lain yang tidak pernah diimunisasi. Tidak

19
terbentuknya kekebalan pada penderita setelah sembuh dikarenakan toksin yang
masuk ke dalam tubuh tidak mampu merangsang pembentukan antitoksin.
Tetanospasmin merupakan toksin yang sangat poten sehingga dalam konsentrasi
yang sangat kecil dapat menimbulkan tetanus. Jumlah toksin yang masuk ke
dalam tubuh dan menimbulkan tetanus tidak cukup untuk merangsang imunitas
aktif penderita(2).
Pada kondisi tertentu dapat dijumpai antitoksin pada serum seseorang
yang tidak memiliki riwayat imunisasi atau peninggian titer antitoksin yang
karakteristik sebagai respon imun sekunder pada beberapa orang yang diberikan
imunisasi tetanus toksoiduntuk pertama kali. Hal ini disebut sebagai imunitas
alami. Imunitas alami dapat terjadi karena C. tetani telah diisolasi dari feses
manusia. Bakteri yang berada di dalam lumenusus merangsang terbentuknya
imunitas pada host. Imunitas alami dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus
tidak tinggi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi tetanus tidak
terlaksana dengan baik(2).

20
BAB III

RINGKASAN

Tetanus adalah penyakit sistem saraf akut yang disebabkan oleh


eksotoksin clostridium tetani dengan karakteristik peninggian rigiditas dan spasme
tonik persisten dari otot skeletal.Tetanus dapat dicegah melalui pemberian
imunisasi aktif tetanus toksoid,higiene persalinan yang baik, dan manajemen
perawatan luka yang adekuat.

Pada proses perjalanan penyakit tetanus disebutkan juga tingkat darajat


keparahan yang dilaporkan oleh (Phillips,Dakar,Udwadia,Ablett).Sistem yang
dilaporkan oleh Ablett merupakan sistem yang sering dipakai.Skor ablett masih
merupakan pilihan dalam menentukan derajat keparahan penyakit tetanus pada
saat pasien masuk dan juga dapat digunakan untuk menilai kemajuan perjalanan
penyakit selama perawatan karena menilai banyak parameter dan penilaian unsur-
unsurnya bersifat objektif.

Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam


menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah
tetanus, yaitu perawatan luka yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif.

Berdasarkan Prognosis Mortalitas bervariasi berdasarkan usia pasien


prognosis buruk pada usia tua,pada neonatus dan pada pasien dengan periode
inkubasi yang pendek,interval yang pendek antara onset gejala sampai tiba di RS.
Mortalitas dan prognosis juga tergantung pada status vaksinasi sebelumnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS,


Setiati S,(editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit DalamJakarta: Pusat Penerbitan
IPD FKUI;2009. Hal : 2911 2923.
2. Ritarwan K. 2004. Tetanus (Online)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf
kiking2.pdf diakses 22 july 2012
3. Ang J. 2003. Tetanus. (Online).www.chmkids.org/upload/docs/imed/TET
ANUS.pdf diakses 22 july 2012
4. Dire DJ. Tetanus in Emergency Medicine. (Online).http://emedicine.meds
cape.com/article/786414-overview, diakses 22 july 2012
5. Markam,s.tetanus Buku Neurologi praktis Hal: 171-176
6. Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz
M, et al.Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term
Effects of Medical Implants 2003;13(3):139-54
7. Taylor AM. Tetanus.Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care
& Pain.2006;6(3):101-4.
8. Sihotang.F.A .Tetanus.tugas kepanitraan klinik laboratorium ilmu bedah
FK Universitas Mulawarman/SMF Bedah RSUD A wahab sjahranie :
2011
9. Widoyono,penyakit tropis.Edisi II.jakarta : Penerbit Erlangga Hal 34-39
10. Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
EGC; 2005
11. Ross SE. Prophylaxis Against Tetanus in Wound Management.
(Online).http://www.facs.org/trauma/publications/tetanus.pdf, diakses 22
Juli 2012.

22

You might also like