Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Tetanus sudah dikenal sejak zaman Mesir Kuno, tetapi isolasi C. tetani
Dari manusia baru pertama kali dilakukan pada tahun 1889 oleh Kitasato.
Imunisasi pasif terhadap tetanus pertama kali diperkenalkan oleh Nocard pada
tahun 1897 dan digunakan selama Perang Dunia I. Pada tahun 1924 Descombey
mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid dan digunakan secara luas selama
Perang Dunia II.(3)
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non
imun, inividu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang
kemudian gagal mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi
ulangan. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih
merupakan penyakit yang membebani diseluruh dunia terutama dinegara beriklim
tropis dan negara negara sedang berkembang sering terjadi di Brazil, Filipina,
Vietnam, Indonesia dan negara lain dibenua Asia. Penyakit ini umum terjadi
didaerah pertanian, di daerah pedesaan, daerah iklim hangat. Pada negara - negara
tanpa program imunisasi yang komprehensif, tetanus terjadi terutama pada
neonatus dan anak-anak.(1)
1
Walaupun WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun
1995, tetanus tetap bersifat endemik pada negara negara sedang berkembang
dan WHO memperkirakan kurang lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus
diseluruh dunia pada tahun 1992, termasuk didalamnya 580.000 kematian akibat
tetanus neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara dan 152.000 di Afrka. Penyakit
ini jarang dijumpai di negara negara maju. Di Afrika Selatan, kira-kira terdapat
300 kasus pertahun, dan kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di
Inggris.(1)
Pada akhir tahun 1940an dilaporkan 300 sampai 600 kasus pertahun di
Amerika Serikat. Pada tahun 1947 insidensi tetanus mencapai 3,9 kasus perjuta
populasi, kontras dengan angka insidensi tahunan antara tahun 1998-2000 yang
dilaporkan 0,16 perjuta populasi. Sejak tahun 1976 kurang dari 100 kasus
dilaporkan tiap tahun dan pada saat ini antara 50-70 kasus pertahun dilaporkan di
Amerika Serikat.
Resiko terjadinya tetanus paling tinggi pada populasi usia tua. Survey
serologis skala luas terhadap antibody tetanus dan difteri yang dilakukan antara
tahun 1988-1994 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, 72% penduduk
Amerika Serikat berusia di atas 6 tahun terlindungi terhadap tetanus. Sedangkan
pada anak antara 6-11 tahun sebesar 91%, persentase ini menurun dengan
bertambahnya usia, hanya 30% individu berusia diatas 70 tahun (pria 45% wanita
21%) yang mempunyai tingkat antibodi yang adekuat.(1)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEFINISI
Penyakit klinis yang ditandai dengan onset akut hipertonia dan kontraksi
otot yang nyeri (biasanya otot rahang dan leher) dan spasme otot general tanpa
penyebab medis lain yang tampak dengan/tanpa bukti laboratories C. tetani atau
toksinnya dengan atau tanpa riwayat trauma.(4)
II.2 ETIOLOGI
3
bersifat sensistif terhadap beberapa antibiotic (metronidazol, penisilin dan
lainnya). Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis.
Clostiridium tetani menghasilkan efek efek klinis melalui eksotoksin yang kuat.
Tetanospasmin dihasilkan dalam sel sel yang terinfeksi dibawah kendali
plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Dengan
autolysis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk
heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100 kDa) yang memediasi
pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan
rantai ringan (50kDa) berperan untuk memblokade perluasan neurotransmitter.
Telah diketahui urutan genom dari Clostiridium tetani. Struktur asam amino dari
dua toksin yang paling kuat yang pernah ditemukan yaitu toksin botulinum dan
toksin tetanus secara parsial bersifat homolog. Peranan toksin tetanus dalam tubuh
organisme belum jelas diketahui. DNA toksin ini terkandung dalam plasmid.
Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi, karena tidak semua strain
mempunyai plasmid. Belum banyak penelitian tentang sensitifitas antimikrobial
bakteri ini.
II.3 PATOGENESIS
Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora C.tetani. C.tetani sendiri tidak
menyebabkan inflamasi dan port dentrae tetap tampak tenang tanpa tanda
inflamasi, kecuali apabila oleh mikroorganisme yang lain(1).
4
sensitive terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan
jembatan disulfide yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dari
rantai berat terikat pada membrane saraf dan ujung amino memungkinkan
masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk
mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi.
Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan dibawahnya dan
terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membrane ujung saraf lokal. Jika
toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian
akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retrogred ke dalam
badan sel di batang otak dan saraf spinal(1).
Transport terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan
saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan
akan masuk dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron
inhibitori spinal terpengaruh, gejala gejala tetanus akan muncul. Transpor
interneuronal retrogred lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke batang
otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati celah sinaptik
dengan suatu mekanisme yang tidak jelas(1).
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori , dimana setelah
toksin ini menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan
memblokade perlepasan neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam
aminobutirik (GABA). Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang
5
pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi
inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik
preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron
motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan asetilkolin ke
dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin
botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun demikian, pada tetanus
efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh daripada berkurangnya fungsi
pada ujung neuromuskuler. Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal
pada penelitian pada hewan. Apakah mekanisme ini berperan terhadap spasme
intermitten dan serangan autonomic, masih belum jelas. Efek prejungsional dari
ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan diantara dua spasme dan dapat
berperan pada paralisis saraf cranial yang dijumpai pada tetanus sefalik dan
myopati yang terjadi setelah pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus
menghasilkan gejala karakteristik berupa paralisis flaksid(1).
Aliran aferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang
otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai
konvulsi. Reflex inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot
otot agonis dan antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah
nyeri dan dapat berakibat fraktur atau rupture tendon. Otot rahang, wajah dan
kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh
dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot otot perifer tangan dan kaki
relative jarang terlibat(1).
Pada tetanus lokal, hanya saraf saraf yang menginervasi otot otot yang
bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang
6
dilepaskan di dalam luka memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas
mencapai ujung saraf terminal, sawar darah otak memblokade masuknya toksin
secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu
tranasport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang pendek akan
terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang : hal ini menjelaskan urutan
keterlibatan serabut saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus
generalisata(1).
7
2-4C diatas suhu normal.spasme otot-otot wajah menyebabkan wajah penderita
tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonikus (sardonic smile).spasme
otot-otot somatic yang luas menyebabkan tubuh penderita membentuk lengkungan
seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi
tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan kejang otot yang
akut,paroksimal,tidak terkoordinasi dan menyeluruh merupakan karakteristik dari
tetanus general. kejang tersebut terjadi secara intermitten,ireguler,tidak dapat
diprediksi dan berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit.Pada
awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat periode relaksasi diantara kejang lama
kelamaan kejang menimbulkan nyeri dan kelelahan (paroksismal).Kejang dapat
terjadi secara spontan atau dipicu berbagai stimulus eksternal dan internal distensi
vesika urnaria dan rectum atau sumbatan mukus dalam bronkus dapat memicu
kejang paroksimal.Udara dingin,suara,cahaya,pergerakan pasien bahkan gerakan
pasien unuk minum dapat memicu spasme paroksismal. sianosis dan bahkan
kematian mendadak dapat terjadi akibat spasme tersebut. terkadang pasien dengan
tetanus general menampakkan manifestasi autonomic yang mempersulit
perawatan pasien dan dapat mengancam nyawa. Overaktivitas sistem saraf
simpatis lebih sering ditemukan pada pasien usisa tua atau pecandu narkotik
dengan tetanus. Overaktifitas autonom dapat menyebabkan fluktuasi ekstrim
tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta takikardi,
berkeringat,hipertermia dan aritmia jantung.(6)
8
Gambaran klinik penederita tetanus ditunjukkan oleh gambar :
Gambar 2 : Anak penderita tetanus yang menangis akibat kontraksi otot yang
nyeri
9
II.4.2 Tetanus lokal
Gambar 4 : Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan
tetanus sefalik. (Sumber: Cook, 2001)
10
II.4.4 Tetanus Neonatorum
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata
rata 7 10 hari dengan rentang 1 60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala
pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1 7 hari. Inkubasi dan onset
yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat.
Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin parah.
Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan
sampai 1 2 minggu. Spasme berkurang setelah 2 3 minggu tetapi kekakuan
tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson
terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan biasa memerlukan waktu
sampai 4 minggu.(1)
11
b. Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme
singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan
frekuensi pernafasan lebih dari 30, disfagia ringan
c. Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme reflex
berkepanjangan. Frekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan apnea,
disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.
d. Derajat IV (sangat berat) : derajat tiga dengan gangguan otonomik berat
melibatkan system kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi
berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.
II.6 DIAGNOSIS
12
rabies dan proses intra abdominal akut (karena kekakuan abdomen).
Meningkatnya tonus pada otot sentral (wajah,leher,dada,punggung dan perut)
yang tumpang tindih dengan spasme generalisata dan tidak terlibatnya tangan dan
kaki secara kuat mendukung diagnosa tetanus.(1).
KELAINAN METABOLIK
Hanya spasme karpo-pedal dan laringeal,
Tetani Hipokalsemia
keracunan striknin Relaksasi komplit diantara spasme
Reaksi fenotiazin Distonia,menunjukkan respon dengan
difenhidramin
13
PENYAKIT SISTEM
SARAF PUSAT
status epileptikus penurunan kesadaran
perdarahan atau tumor (SOL) Trismus tidak ada,penurunan kesadaran
KELAINAN PSIKIATRIK
II.9 PENGOBATAN
14
dalam formularium nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU(7). Waktu paruh HTIG
sekitar 23 hari sehingga tidak diperlukan dosis ulangan HTIG tidak boleh
diberikan lewat jalur intravena karena mengandung anti complementary
aggregates of globulin yang dapat mencetuskan reaksi alergi. Apabila HTIG tidak
tersedia dapat digunakan antitetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda
dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000 IU antitoksin
dimasukkan ke dalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intraven,
pemberian harus selesai dalam 30 45 menit setengah dosis yang tersisa
(20.000IU) diberikan secara intramuscular pada daerah sekitar luka. ATS berasal
dari serum kuda sehingga pemberiannya harus didahului oleh skin test yatu 0,1 ml
ATS diencerkan menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan 1:10
kemudian diinjeksikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap
tetanospasmin yang belum memasuki sistem saraf.(2).
15
dikocok setiap 35 menit setiap kejang diberikan diazepam 1
ampul/IV,dapat diulang setiap 15 menit sampai maksimal 3 kali bila tidak
teratasi rawat ICU.
b. Oksigen diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia,distress pernapasan
dan sianosis.
c. Nutrisi diberikan TKTP dalam bentuk lunak,saring/cair,bila perlu melalui
pipa NGT.
d. Menghindari tindakan/perbuatan yang bersifat merangsang termasuk
rangsangan suara dan cahaya.
e. Mempertahankan/membebaskan jalan napas (pengisapan lendir secara
berkala).
f. Posisi/letak penderita diubah-ubah secara periodik
g. Pemasangan kateter bila terjadi retensi urin
II.10 Prognosis
16
1990, mortalitas untuk semua umur bervariasi antara 32 sampai 59%. Mortalitas
dan prognosis juga tergantung pada status vaksinasi sebelumnya.
II.11 Komplikasi
II.12 Pencegahan
Bayi dan anak normal Imunisasi DPT pada usia 2,4,6, dan 15 18 bulan.
Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun
10 tahun setelahnya (usia 14-16tahun) diberikan
injeksi TT dan diulang setiap 10 tahun sekali
Bayi dan anak normal DPT diberikan pada kunjungan pertama,kemudian 2
sampai usia 7 tahun dan 4 bulan setelah injeksi pertama
yang tidak diimunisasi Dosis ke-4 diberikan 6-12bulan setelah injeksi pertama
pada masa bayi awal Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun
10 tahun setelahnya (usia 14-16tahun) diberikan
injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali
17
Usia > 7 tahun yang Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan
belum pernah pada kunjungan pertama, 4-8 minggu setelah injeksi
diimunisasi pertama dan 6-12 bulan setelah injeksi kedua.
Injeksi TT diulang setiao 10 tahun sekali
Ibu hamil yang belum Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus
pernah diimunisasi menerima 2 dosis injeksi TT dengan jarak 2 bulan
(lebih baik pada 2 trimester terakhir). Setelah bersalin,
diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah injeksi ke-2
untuk melengkapi imunisasi.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali
Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak
pernah diimunisasi tanpa perawatan obstetric yang
adekuat, neonatus tersebut diberikan 250 IU human
tetanus immunoglobulin. Imunitas aktif dan pasif
untuk ibu juga harus diberikan.
Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan
kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.
Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus
dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptik yang hati-
hati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang
rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka.
Tindakan yang demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus.(11)
18
Kedalaman 1 cm < 1 cm
Mekanisme cidera Misil, crush injury, Benda tajam (pisau, kaca)
luka bakar, frostbite
Tanda-tanda infeksi Ada Tidak ada
Jaringan mati Ada Tidak ada
Kontaminan (tanah,feses, Ada Tidak ada
rumput,saliva, dll)
Jaringan denervasi/iskemik Ada Tidak ada
Sumber : American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)
19
terbentuknya kekebalan pada penderita setelah sembuh dikarenakan toksin yang
masuk ke dalam tubuh tidak mampu merangsang pembentukan antitoksin.
Tetanospasmin merupakan toksin yang sangat poten sehingga dalam konsentrasi
yang sangat kecil dapat menimbulkan tetanus. Jumlah toksin yang masuk ke
dalam tubuh dan menimbulkan tetanus tidak cukup untuk merangsang imunitas
aktif penderita(2).
Pada kondisi tertentu dapat dijumpai antitoksin pada serum seseorang
yang tidak memiliki riwayat imunisasi atau peninggian titer antitoksin yang
karakteristik sebagai respon imun sekunder pada beberapa orang yang diberikan
imunisasi tetanus toksoiduntuk pertama kali. Hal ini disebut sebagai imunitas
alami. Imunitas alami dapat terjadi karena C. tetani telah diisolasi dari feses
manusia. Bakteri yang berada di dalam lumenusus merangsang terbentuknya
imunitas pada host. Imunitas alami dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus
tidak tinggi pada beberapa negara dimana pemberian imunisasi tetanus tidak
terlaksana dengan baik(2).
20
BAB III
RINGKASAN
21
DAFTAR PUSTAKA
22