You are on page 1of 11

RISET KHALAYAK SEBAGAI DASAR PEMBUATAN

PROGRAM ACARA SIARAN RADIO1

Oleh : Darmanto

Tujuan Pembelajaran:
1. Dapat menjelaskan siapa yang dimaksud dengan khalayak siaran radio
2. Dapat menjelaskan pentingnya mengetahui karakteristik khalayak
3. Dapat menjelaskan jenis pendekatan untuk mengetahui karakteristik khalayak
4. Dapat menjelaskan jenis kebutuhan khalayak
5. Dapat merancang dan melakukan riset khalayak secara sederhana

Mengenal Khalayak Siaran Radio


Memroduksi program radio pada hakekatnya sama dengan memasak untuk
warung makan atau restoran. Pihak pengusaha tentu selalu memikirkan, jenis makanan
apa yang akan dijual, apakah ada restoran lain yang menyediakan menu sama, cita rasa
seperti apa yang dapat memuaskan pembeli, dan daya tarik apa yang bisa membuat orang
mampir di restorannya? Demikian pula halnya yang perlu dilakukan oleh produser
program siaran radio. Dia perlu memulai dengan mengajukan pertanyaan, siapa khalayak
yang akan dilayani, apa yang mereka butuhkan, apa kesukaan mereka, dan bagaimana
membuat mereka tertarik untuk mendengarkan program yang akan dibuat.
Apa perbedaan permasalahan yang dihadapi pengusaha restoran dengan produser
program siaran radio ketika menghadapi khalayak? Bagi pengusaha warung makan atau
restoran, target sasaran mereka sangat jelas, yaitu siapa saja yang sedang lapar dan atau
mereka yang hobi kuliner. Karena makan merupakan kebutuhan pokok manusia, otomatis
semua orang dapat dibayangkan sebagai target sasarannya. Penajaman segmen biasanya
dilakukan dengan memilih kelompok sosial atas, menengah, ataukah bawah; atau
berdasar lingkungan sosiologis masyarakat desa, pinggiran, atau kota. Sedangkan bagi
produser program, tidaklah mudah menentukan siapa yang menjadi target khalayak
mereka. Format siaran yang diterapkan oleh suatu stasiun penyiaran memang dapat
membantu mengidentifikasikan profil khalayak yang akan dilayani, tetapi sifatnya masih
sangat umum dan serba perkiraan.
Siapa sebenarnya yang dimaksud dengan khalayak siaran radio? Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud khalayak adalah kelompok tertentu
dalam masyarakat yang menjadi sasaran komunikasi. Sedangkan menurut Wikipedia
Bahasa Indonesia, khalayak adalah sejumlah orang yang memiliki minat sama terhadap
1
Bahan Kuliah Produksi Program Radio (PPR) di UAJY, Semester Gasal TA 2010. Artikel ini
merupakan bagian dari Buku yang akan diterbitkan. Oleh karena itu mohon tidak
diserbarluaskan dulu.

1
suatu kegemaran atau persoalan tertentu tanpa harus mempunyai pendapat yang sama,
dan menghendaki pemecahan masalah tanpa adanya pengalaman untuk itu. McQuail
(2002-2004) menyebut beberapa ciri khalayak, yaitu: jumlahnya besar, tersebar dalam
ruang tertentu, berada dalam periode waktu yang sama, terdiri dari berbagai latar
belakang (heterogen), tidak saling mengenal (anonimitas), terhimpun oleh tindakan
individual secara sukarela, memiliki kesamaan minat, lemah dalam pengorganisasian, dan
komposisinya cepat berubah. Berdasarkan sejumlah pendapat tersebut dapat dirumuskan
bahwa yang dimaksud dengan khalayak siaran radio adalah orang-orang dari berbagai
latar belakang, tidak saling mengenal, tidak mempunyai ikatan organisasi, mempunyai
minat yang sama terhadap hal tertentu, dan berada dalam lingkungan wilayah maupun
waktu tertentu untuk mengikuti siaran radio secara reguler atau pun temporer. Bisa saja
nama stasiun radio dan program yang diikutinya berbeda-beda, tetapi mereka disatukan
oleh media yang bernama radio.
Secara garis besar dikenal adanya dua tipe khalayak, yaitu khalayak umum
(general audience), dan khalayak khusus (specialiazed audience). Dalam konteks
pembahasan ini, khalayak umum menunjuk pada konsep pendengar radio secara
keseluruhan, sedangkan pendengar khusus mengarah kepada kelompok masyarakat yang
menjadi pendengar radio atau acara tertentu. Dengan mengacu pendapat Clausse dalam
McQuail (2005: 203), ada beberapa kategori khalayak siaran radio yang dapat dibedakan
berdasarkan tingkat intensitas keterlibatan mereka dalam mengikuti siaran radio.
Pertama, semua orang yang memiliki pesawat radio adalah khalayak siaran radio.
Asumsinya, dengan memiliki pesawat pemerima (radio receiver) berarti mereka bersedia
menerima tawaran komunikasi yang disampaikan melalui siaran radio. Dengan
demikian, untuk memetakan siapa saja khalayak siaran radio di suatu wilayah dapat
diketahui berdasarkan data statistik kepemilikan pesawat radio. Angka statistik tersebut
bisa saja dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), monografi kecamatan, monografi
desa/kalurahan, kantor dinas yang tugas pokok dan fungsinya mengurusi bidang
komunikasi dan informatika, maupun lembaga independen seperti Komisi Penyiaran
Indonesia/Daerah (KPI/KPID) dan lembaga penelitian terkait.
Kedua, khalayak adalah mereka yang secara sadar dan terencana benar-benar mau
mendengarkan siaran radio dengan motif dan intensitas yang berbeda-benda. Ada yang
dilandasi motif hiburan, motif untuk mendapatkan informasi, memeroleh perlindungan
psikologis, dorongan untuk berinteraksi sosial dan lainnya. Setiap motif memengaruhi
pilihan jenis program dan tingkat intensitas untuk mengikutinya. Mereka yang
mendengarkan radio karena motif hiburan tentu saja akan memilih stasiun radio yang
berformat hiburan (musik, humor, quiz). Mereka yang mendengarkan radio karena
dorongan untuk mendapatkan informasi tentu saja akan lebih banyak tune in di frekuensi
radio yang berformat berita (news).
Ketiga, khalayak yang melakukan aktivitas mendengarkan siaran radio dengan
mencatat isi pesan yang mereka anggap penting. Masih mengacu pada pendapat Clausse
(Ibid.), dari ketiga kategori tersebut selanjutnya khalayak dibagi menjadi empat
tingkatan, yaitu (1) publik potensial yang diasumsikan dapat menerima pesan tertentu, (2)
publik efektif sebagai bentuk representasi dari mereka yang benar-benar mengikuti
siaran, (3) publik pesan tertentu adalah mereka yang secara sadar mengikuti siaran radio
karena dorongan untuk memeroleh pesan tertentu yang diinginkan, dan (4) publik

2
terpengaruh, yakni mereka yang secara sosiologis benar-benar terpengaruh oleh isi pesan
komunikasi yang disampaikan melalui siaran radio.
Adanya tingkatan kategori khalayak tersebut menunjukkan bahwa sifat khalayak
siaran radio sesungguhnya tidak pasif seperti digambarkan dalam teori jarum hipodermik,
tetapi cenderung aktif sebagaimana dijelaskan dalam teori uses and gratification. Teori
jarum hipodermik beranggapan bahwa khalayak bersifat pasif dan oleh karena itu kalau
kepadanya terus menerus disuntikkan suatu pesan, maka pada akhirnya mereka akan
terpengaruh oleh pesan tersebut. Sedangkan teori uses and gratification secara sadar
mengakui bahwa khalayak cenderung aktif sehingga mereka akan memilih jenis media
dan menggunakannya sesuai dengan kebutuhan dan tingkat kemampuan media tersebut
dalam memuaskan kepentingan mereka. (Rakhmat, 2000: 62-68 dan Rakhmat, 2000:
202-208). Dari sudut pandang teori uses and gratification, posisi khalayak menjadi
subyek yang menentukan jenis media yang akan dipergunakan dan memilih jenis
program yang akan diakses.
Dalam kaitan dengan siaran radio, khalayak dapat diposisikan sebagai pemangku
kepentingan (stakeholder) yang memiliki hak untuk melakukan komplain jika layanan
yang diberikan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pelayanan publik. Terlebih jika siaran
radio masih menggunakan frekuensi sebagai ranah publik (public domain), hak khalayak
untuk mendapatkan layanan yang berkualitas dilindungi oleh undang-undang. Khalayak
dalam statusnya sebagai warga negara berhak memrotes stasiun penyiaran radio yang
tidak memberi porsi bagi terlaksananya fungsi sosial media massa. Sayangnya, posisi
khlayak sebagai pemangku kepentingan hanya dapat diperjuangkan di lembaga penyiaran
publik dan penyiaran komunitas. Sedangkan dalam konteks penyelenggaraan penyiaran
radio swasta, posisi khalayak lebih ditempatkan sebagai konsumen. Pada sisi ini khalayak
lebih banyak dilihat sebagai pelaku yang mengonsumsi komoditi produk industri media
sehingga posisinya senantiasa diperebutkan oleh berbagai kepentingan pasar dan politik
dengan cara-cara yang eksploitatif dan manipulatif (Deddy N. Hidayat, 2008: xix-xxii).
Dalam posisinya sebagai konsumen, keberadaan khalayak merupakan barang dagangan
atau komoditi (Darmawan, 1997: ii-iii) dari pihak industri media untuk ditawarkan
kepada pengiklan. Dengan kata lain, eksistensi industri penyiaran radio swasta sangat
tergantung pada dukungan khalayak. Semakin besar jumlah khalayak yang bisa diklaim
sebagai miliknya, semakin besar pula kue iklan yang akan diraupnya. Sebaliknya, industri
penyiaran radio yang ditinggalkan khalayak pasti terancam bangkrut. Meskipun
keberadaan khalayak menentukan hidup matinya stasiun penyiaran swasta, tetapi karena
posisinya hanya sebagai konsumen maka daya tawar mereka sangat rendah.

Pentingnya mengetahui karakteristik khalayak


Ketika seseorang hendak berbicara kepada orang lain yang secara personal sangat
dikenalnya otomatis dia tahu apa yang mesti dikatakan atau materi apa yang dibutuhkan,
bahasa yang sebaiknya digunakan, idiom-idiom yang sering dipakai, gaya penyampaian
yang cocok, volume suara yang tepat, mimik dan gerak tubuh (gesture) yang wajar, dan
waktu (timing) yang tepat untuk mengawali maupun mengakhiri. Sebaliknya, kalau
seseorang tidak mengenal sifat-sifat dari lawan bicaranya tentu akan mengalami banyak
masalah dalam berkomunikasi. Bahkan untuk menentukan materi bicara yang tepat pun

3
mengalami kesulitan, apalagi memilih bahasa yang sesuai, gaya penyampaian yang
disenangi dan waktu yang tepat untuk melangsungkan pembicaraan.
Ilustrasi tersebut di atas menegaskan betapa pentingnya bagi produser untuk
mengenali karakteristik khalayak yang akan dilayani. Menurut Gough dalam Ari
Marichar (1999: 365) pemahaman atas karakteristik khalayak akan membantu memilih
materi yang sesuai dengan tingkatan khalayak, menjadi acuan dalam menyusun tujuan
yang realistis, dasar keputusan mengenai isi, gaya penyampaian, dan bentuk penyajian
program. Dengan mengetahui karakteristik khalayak, produser dapat memilih materi
yang akan disampaikan secara tepat berdasarkan kebutuhan dan merancang penyajian
program sesuai dengan minat khalayak. Berdasarkan fakta empirik, pilihan materi yang
tepat dan perencanaan program yang baik dapat meningkatkan efektivitas komunikasi.
Bagaimana pun komunikasi yang baik dan efektif hanya mungkin terwujud ketika ada
saling pengertian dan keseteraan antara komunikator dengan komunikan. Dalam kaitan
dengan siaran radio, figur komunikator kebanyakan muncul dalam diri penyiar atau
reporter yang mengirim pesan kepada khalayak sebagai komunikan.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, karakteristik khalayak radio dapat
dibedakan antara khalayak pasif dan khalayak aktif. Khalayak pasif biasanya hanya
menjadi pendengar, tanpa mau memberikan umpan balik (feed back) secara langsung
maupun tunda. Mereka tidak melakukan reaksi apa-apa seandainya siaran yang tengah
didengarkan mengalami gangguan teknis maupun non teknis. Mereka tidak protes kalau
terjadi kesalahan dalam siaran. Mayoritas pendengar radio di Indonesia, terlebih dari
kelompok dewasa dan tua pada umumnya tergolong pasif. Oleh karna itu mereka sering
disebut sebagai mayoritas yang diam (silent majority). Sedangkan khalayak aktif
memiliki kebiasaan responsif terhadap segala sesuatu yang terjadi dengan
penyelenggaraan penyiaran.
Berdasarkan pengamatan penulis, sedikitnya ada tiga tipe khalayak aktif di
Indonesia. Pertama, tipe yang aktif sebatas di udara dengan merespon isi siaran. Mereka
ini biasanya kalau mendengarkan ada hal-hal yang menurutnya tidak baik, ada kesalahan
dalam siaran langsung menelpon ke studio yang bersangkutan atau mengirim SMS.
Ketika teknologi SMS belum ada, biasanya mereka mengirimkan surat atau facimili ke
studio radio yang bersangkutan. Kedua, tipe khalayak aktif di udara dan darat. Bentuk
keaktifan di udara diwujudkan dengan memberikan reaksi langsung melalui telepon
maupun SMS ketika mereka mendengar adanya kesalahan dalam siaran. Respon
langsung juga mereka berikan ketika ada acara request (permintaan lagu) maupun acara
sejenis curhat dan atau konseling. Sedangkan keaktifan di darat diwujudkan dalam
bentuk kehadirannya di studio untuk mendiskusikan hal-hal yang terkait langsung dengan
siaran maupun sekedar berkenalan dan bersilaturahmi dengan penyiar dan kru siar
lainnya. Jenis khalayak seperti ini tampaknya tidak ditemukan pada industri media massa
lain seperti surat kabar, majalah, dan televisi. Ketiga, tipe khalayak radio yang setia.
Kelompok ini sebenarnya mirip dengan tipe kedua, tetapi memiliki tingkat keaktivan
yang jauh lebih tinggi. Mereka mengorganisasi diri dalam kelompok yang disebut
monitor Radio X dengan aktivitas yang beragam, ada yang menyelenggarakan arisan,
saling mengunjungi, berdiskusi, dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan off air yang
diselenggarakan oleh stasiun radio kesayangannya. Di Yogyakarta, organisasi monitor

4
tidak selalu anggotanya hanya terdiri dari khalayak salah satu radio, tetapi berasal dari
pengemar siaran radio yang berbeda-beda.
Selain dua kategori sifat khalayak seperti dijelaskan di muka, karakteristik
khalayak dapat pula dikenali dengan pendekatan psikologi komunikasi seperti dikatakan
oleh Jalaluddin Rakhmat. Menurut Rakhmat, ada tiga kelompok khalayak dengan
masing-masing karakteristiknya. Pertama, kelompok yang kurang terdidik (the illiterate)
yang banyak sekitar 60% dari keseluruhan populasi. Kelompok the illiterate ini memiliki
ciri antara lain bisa membaca dan menulis, lebih tertarik pada audio visual, orientasi
pesan pada hal-hal yang bersifat superfisial dan full action, cenderung memikirkan
pemenuhan kebutuhannya sendiri, kurang menyukai hal-hal yang bersifat idealis, dan
pada umumnya mereka itu bukan pemikir. Kedua, kelompok pragmatik (the pramatig)
yang jumlahnya diperkirakan mencapai 30% dari total populasi. Kelompok ini memiliki
ciri antara lain senang melibatkan diri dalam mekanisme masyarakat, mobilitas cukup
tinggi, berpendidikan menengah ke atas, berpendapatan cukup, bergaya hidup modern,
dan cepat melakukan penyesuaian dengan perkembangan sosial yang ada di sekitarnya.
Ketiga, kelompok intelektual (the intelectual) yang jumlahnya hanya 10% dari total
populasi di suatu wilayah. Ciri umum yang mudah dikenali untuk kelompok ini adalah
kreatif, bertipe pemikir, berorientasi pada idealisme, tidak berorientasi pada materi, dan
menjadi figur rujukan (personal reference) bagi yang lain.

Pendekatan untuk Mengetahui Karakteristik Khalayak


Untuk mengenali karakteristik khalayak ada beberapa pendekatan yang dapat
dipergunakan. Mengacu pada pemikiran Kasali (2000), karakteristik khalayak dapat
dikenali melalui enam pendekatan. Pertama, pendekatan demografis adalah proses
mengenali sifat-sifat khalayak berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, suku,
dan agama yang dipeluknya. Mengenai tingkat usia sering kali antara radio satu dengan
lainnya berbeda dalam cara mengategorikannya. Pada umumnya tidak dibuat rinci seperti
data statistik, tetapi dibuat kategorisasi yang lebih longgar dengan mengacu pada
perkembangan psikologi. Oleh karena itu pembagian umumnya menjadi seperti ini:
kelompok anak-anak (0-18 tahun), remaja (19-21 tahun), pemuda (22-29 tahun), dewasa
(30-49 tahun), tua (50-60 tahun), dan lanjut usia (lebih dari 60 tahun).
Kedua, pendekatan geografis, yaitu membedakan sifat khalayak berdasarkan
wilayah tempat tinggalnya, misal di wilayah Indonesia Timur, Tengah, dan Barat, atau
berdasar pulau dan wilayah administrasi seperti provinsi, kabupaten/kota (Morissan,
2005: 154). Wilayah tempat tinggal itu bisa juga dibedakan antara wilayah lembah,
ngarai, pegunungan, pesisir pantai, daerah industri, daerah pertanian, daerah nelayan,
wilayah bencana gempa bumi, wilayah bencana banjir, tanah longsor, dan sebagainya.
Telah terbukti secara empiris bahwa lingkungan geografis mempunyai pengaruh bagi
terbentuknya sifat-sifat khalayak. Orang yang tinggal di wilayah industri tentu memiliki
kesadaran waktu yang lebih tinggi dibanding mereka yang berada di wilayah pertanian.
Orang yang tinggal di wilayah pegunungan yang juga merupakan daerah rawan bencana
longsor, tentu memiliki sensitivitas terhadap kondisi alam sekitarnya lebih tinggi
dibanding mereka yang tinggal di daerah lembah yang tidak rawan bencana.

5
Ketiga, pendekatan sosial budaya adalah upaya membedakan sifat-sifat khalayak
berdasarkan latar belakang sosial budaya mereka. Dalam masyarakat desa yang memiliki
budaya komunal cukup tinggi kebiasaan kumpul bersama antarwarga tetangga tanpa
memiliki tujuan jelas merupakan ritual yang penting untuk dilakukan demi menjaga
harmoni. Namun, bagi masyarakat kota yang budaya individualitasnya sudah cukup
tinggi akan memertimbangkan masak-masak untung ruginya jika mau sering berkumpul
dengan warga sekitarnya. Warga masyarakat yang memiliki latar belakang sosio kultural
Islam abangan akan mempunyai sifat berbeda dengan mereka yang berlatar belakang
Islam taat/santri. Bahkan sesama muslim pun bisa jadi akan muncul sikap berbeda dalam
menghadapi masalah tertentu karena yang satu berlatar belakang NU dan satunya
Muhammadiyah. Demikian pula di antara sesama Kristiani pun (Katholik dan Protestan)
akan terjadi perbedaan tajam dalam memandang masalah tertentu seperti budaya lokal
dan penyikapan terhadap arwah leluhur. Munculnya perbedaan sikap itu mencerminkan
adanya sifat yang berbeda pula.
Keempat, pendekatan status ekonomi sosial (SES) adalah cara membedakan sifat
khalayak berdasarkan tingkat status ekonomi sosial yang mereka miliki. Biasanya
kategorisasi ini dilakukan dengan mengetahui tingkat belanja (expenditure) khalayak per
bulan yang dibedakan dalam kategori A, B, C, D, dan E. Rentang angka nominal masing-
masing kategori tersebut sengaja tidak dituliskan di sini karena bersifat dinamis
mengikuti perubahan sosio ekonomi negara. Aspek SES sangat memengaruhi
terbentuknya sifat-sifat tertentu pada khalayak. Khalayak yang masuk kategori A atau
kelompok atas, tentu akan mempunyai sifat berbeda dibandingkan dengan mereka yang
berada di lapis B C (menengah ke bawah), apalagi dengan yang di level D-E atau
kelompok bawah.
Kelima, pendekatan cohort adalah cara membedakan sifat-sifat khalayak
berdasarkan kesamaan generasi. Kategori generasi dapat dilakukan berdasarkan
kesamaan tahun kelahiran, tahun masuk atau lulus pendididkan tertentu, peristiwa politik
dalam maupun luar negeri, dan kesamaan era tertentu seperti era televisi, era komputer,
era HP, era internet (Kasali, 1997: 277-281). Dalam lingkungan masyarakat Jawa
generasi tua, peristiwa alam pun bahkan sering dijadikan sebagai pathokan untuk
menentukan cohort, misalnya era meletusnya gunung Merapi, meletusnya Merbabu,
terjadinya gempa bumi, dan sebagainya. Kalau kita cermati, pengaruh cohort ini sangat
besar terhadap pembentukan sifat-sifat khalayak, terutama dalam hal membentuk gaya
hidup. Oleh karena itu meskipun pendekatan ini termasuk paling akhir kita kenal, tetapi
kenyataannya tampak lebih signifikan pengaruhnya dibanding dengan pendekatan
psikografis.
Keenam, pendekatan psikografis adalah upaya memahami sifat-sifat khalayak
berdasarkan gaya hidup (life style) mereka. Menurut Joseph Plumer seperti dikutip
Morissan (opcit.hal.155) gaya hidup seseorang dapat diketahui dari pola penggunaan
waktu setiap harinya untuk melakukan aktivitas (activity) yang berkaitan dengan
pekerjaan, hobi, olah raga, dan lainnya. Di samping itu dapat pula diketahui berdasarkan
minat (interest) mereka dalam menjalani hidup ini. Kemanakah energi dan perhatiannya
lebih banyak disalurkan, apakah untuk meniti karir, untuk mengejar kesenangan,
memuaskan diri sendiri, melakukan kerja sosial, dan sebagainya. Variabel lain yang
sering dipakai untuk mengukur gaya hidup seseorang adalah pandangan (opinion) dia

6
mengenai isu-isu sosial yang ada. Semakin responsif terhadap isu-isu aktual dan
memberikan pandangan yang lebih komprehensif mengenai berbagai masalah yang ada
mencerminkan sifat diri yang terbuka, dan peduli terhadap sesama serta lingkungan
sosial. Sebaliknya, kebiasaan enggan mengutarakan pendapatnya terkait dengan
permasalahan atau isu-isu aktual mencerminkan gaya hidup yang cenderung eksklusif,
tertutup dan individualistis.

Jenis kebutuhan khalayak


Betapa pun tidak mudah untuk melakukanya, tetapi bagi seorang produser harus
dapat mengidentifikasikan jenis kebutuhan khalayak akan pesan komunikasi melalui
siaran radio. Produser harus dapat membedakan secara jelas antara keinginan (want)
dengan kebutuhan (need) sebelum ia mengarahkan orang lain dalam membuat program.
Apa yang dimaksud dengan keinginan adalah dorongan nafsu untuk memiliki sesuatu
demi tercapainya kepuasan diri. Keinginan lebih bersentuhan dengan aspek pemenuhan
kepuasan psikologis yang sifatnya sesaat dan tidak selalu paralel dengan kebutuhan untuk
memertahankan eksistensi diri. Keinginan sering kali timbul dan memanipulasi diri
sebagai suatu kebutuhan akibat adanya stimuli dari lingkungan sosial yang terlalu
dominan melebihi kemampuan daya tahan diri seseorang. Contoh keinginan yang
kemudian memanipulasi diri sebagai suatu kebutuhan adalah trend kepemilikan hand
phone di kalangan pelajar dan mahasiswa yang kini justru menggeser kebutuhan akan
buku. Dalam konteks siaran radio, hasrat untuk mendapatkan hiburan yang terlalu
dominan dalam diri khalayak telah menggeser kebutuhan akan informasi. Akibatnya,
motif orang untuk mendengarkan siaran radio lebih banyak untuk mencari hiburan yang
sesungguhnya lebih memenuhi aspek keinginan dari pada dorongan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Lantas, apa yang dimaksud dengan kebutuhan? Kebutuhan adalah dorongan
naluriah yang harus dipenuhi demi terciptanya keseimbangan untuk menjaga
kelangsungan hidup. Kebutuhan bersentuhan langsung dengan kepentingan dasar
manusia yang harus dipenuhi jika dikehendaki adanya peningkatan kualitas hidup
manusia. Riset mengenai jenis kebutuhan manusia telah dilakukan oleh sejumlah ahli
yang dapat kita gunakan sebagai acuan dalam merancang riset khalayak untuk
penyusunan program. Abraham Maslow, tokoh yang pendapatnya mengenai hirarkhi
kebutuhan manusia banyak dijadikan acuan mengatakan bahwa kebutuhan yang harus
dipenuhi agar manusia dapat berkembang dengan baik, yaitu (1) kebutuhan biologis
seperti rasa lapar, haus dan sebagainya, (2) kebutuhan rasa aman, (3) kebutuhan akan
cinta kasih dan rasa memiliki, (4) kebutuhan akan penghargaan, (5) kebutuhan untuk
tahu, (6) kebutuhan akan keindahan, dan (7) kebutuhan akan aktualisasi diri (Handoko,
1992: 20). Sedangkan menurut David McCelland ada tiga jenis kebutuhan manusia yang
harus dipenuhi, yaitu kebutuhan berprestasi (need for achievement), kebutuhan akan
kasih sayang (need for affiliaton), dan kebutuhan berkuasa (need for power). Adapun
menurut W.I. Thomas dan Florian Znaniecki dalam Rakhmat (2000:37), jenis kebutuhan
manusia meliputi keinginan memperoleh pengalaman baru; keinginan untuk
mendapatkan respon; keinginan akan pengakuan; dan keinginan akan rasa aman.

7
Berdasarkan uraian singkat di atas, produser perlu merancang sebuah riset untuk
lebih mengetahui rincian (breakdown) kebutuhan khalayak. Kalau riset dilakukan secara
sederhana mengingat adanya keterbatasan sumber dana dan sumber daya, maka teori
kebutuhan yang dirinci menjadi item pertanyaan dalam riset mungkin cukup dari seorang
ahli saja, misalnya konsep kebutuhan dari Maslow. Produser kemudian membuat rincian
dari masing-masing jenis kebutuhan tersebut ke dalam pertanyataan yang lebih
operasional. Contoh, jenis kebutuhan biologis kalau prase itu langsung ditanyakan ke
responden/informan mungkin jawabannya tidak akan mengenai sasaran. Kebutuhan
biologis sebagai suatu konsep harus diterjemahkan menjadi pertanyaan yang mudah
dipahami oleh responsen/informan. Misalnya, dapat dimulai dengan mengajukan
pertanyaan yang sifatnya mendasar: berapa kali dalam sehari Anda makan, menu apa
yang paling sering Anda santap, berapa kali dalam seminggu Anda makan daging, apakah
setiap hari Anda minum susu, apakah dalam satu tahun terakhir ini kondisi kesehatan
Anda cukup baik, dan seterusnya. Berdasarkan jawaban atas sederet pertanyaan itu
selanjutnya dapat ditarik kesimpulan tentang tingkat pemenuhan kebutuhan biologis
dalam diri khalayak. Hindari penyampaian pertanyaan yang bersifat langsung sehingga
mengarahkan jawaban antara ya dan tidak.

Merancang dan melakukan riset khalayak secara sederhana


Tradisi riset khalayak siaran radio ternyata memiliki akar panjang karena sudah
dimulai sejak 1929 oleh Cooperative Analysis of Broadcasting (CAB) di bawah
kepemimpinan Archibald M. Crossley. Riset yang dilakukan dengan menggunakan
telepon ini bertujuan untuk memetakan jumlah pendengar yang tergabung dalam jaringan
radio siaran tertentu, dan menghasilkan temuan bahwa pukul 7-11 merupakan jam utama
(prime time) bagi siaran radio di Amerika Serikat. Pada periode 1930-1940-an
bermunculan lembaga riset dan puncaknya ditandai dengan berdirinya Office of Radio
Reseach (ORR). Namun, bermunculannya banyak lembaga riset ternyata menimbulkan
masalah tersendiri sehingga pada tahun 1963 perlu dibentuk Dewan Rating Penyiaran
(Broadcast Rating Council) yang bertugas memantau, mengaudit, serta melegalisasi
keberadaan lembaga rating di Amerika (Keith, 2000: 13-17). Di benua Eropa, pada tahun
1936 BBC melakukan riset khalayak sebagai bentuk jaminan akuntabilitas publik dan
sekaligus menyediakan sistem informasi bagi pihak managemen maupun pembuat
program (Panjaitan dan Iqbal, 2006: 57).
Secara umum ada dua jenis riset khalayak siaran radio, yaitu riset rating (rating
reseach) dan riset non rating (non-rating reseach) (Morisaan, 2005: 176). Riset rating
dilakukan dengan maksud untuk mengetahui jumlah pendengar sebuah stasiun radio
dibandingkan dengan jumlah pendengar radio lain. Melalui riset rating dapat diketahui
posisi radio A di suatu kota dibandingkan dengan radio-radio lain di dalam wilayah yang
sama. Riset rating dapat pula dilakukan untuk mengetahui posisi suatu acara
dibandingkan acara lain di sebuah stasiun penyiaran yang sama, atau untuk membanding
posisi acara sejenis di berbagai stasiun penyiaran. Untuk menjaga obyektivitas, maka
penyelenggaraan riset rating untuk mengetahui posisi stasiun radio dibanding radio lain
sebaiknya dilakukan oleh lembaga independen. Dalam konteks indonesia, selama ini riset
rating dimonopoli oleh AGB Nielsen Media Research, padahal idealnya ada banyak
lembaga riset rating sehingga terjadi kompetisi yang sehat.

8
Sesuai dengan judul bab ini, maka riset khalayak yang akan dibahas lebih lanjut di
sini adalah riset non rating, bahkan itu pun tidak mencakup seluruhnya. Sebagaimana
dikemukakan oleh Gough (ibid. h. 365-366), riset khalayak idealnya dilakukan tiga
tahap, yaitu sebelum pembuatan program, pada saat siaran, dan setelah siaran. Bahasan
lebih lanjut di sini hanya akan terfokus pada riset khalayak untuk tujuan pembuatan
program. Dengan kata lain, kegiatan riset khalayak ini dilakukan sebagai dasar untuk
merancang sebuah program siaran.
Apa saja yang perlu diteliti tentang khalayak untuk tujuan pembuatan program
siaran? Berdasarkan sejumlah pengalaman melakukan riset selama ini, jenis informasi
yang perlu digali meliputi profil responden/informan, kebiasaan mendengarkan radio,
jenis program yang dibutuhkan, dan bentuk penyajian yang disenangi. Profil khalayak
mencakup informasi mengenai data demografi, geografi, SES, sosial budaya, cohort, dan
psikografi. Informasi mengenai kebiasaan mendengarkan radio meliputi berapa hari rata-
rata dalam seminggu mendengarkan siaran radio, berapa jam rata-rata per hari
mendengarkan siaran radio, pada jam berapa biasa mendengarkan radio, di mana biasa
mendengarkan radio, kegiatan apa yang dilakukan ketika mendengarkan siaran radio, apa
alasan utama mendengarkan siaran radio, apa tujuan utama mendengarkan radio, stasiun
radio apa yang paling sering didengarkan. Jenis program yang dibutuhkan dapat digali
menggunakan pertanyaan seputar informasi apa yang ingin didapatkan dari siaran radio,
isu-isu apa yang ingin dibicarakan melalui siaran radio, siapa yang sebaiknya diajak
membahas isu tersebut, apa yang mereka harapkan dari siaran radio dengan adanya
pembahasan berbagai isu sosial yang mereka hadapi. Dapat pula digali melalui
pertanyaan silang, apakah selama ini sudah ada radio yang mampu memenuhi kebutuhan
mereka akan infomasi? Kalau ada, apa nama radionya dan nama acaranya. Apa komentar
responden/informan tentang acara tersebut. Selanjutnya mengenai bentuk penyajian yang
disenangi dapat ditanyakan secara langsung dengan menggunakan ungkapan yang sama.
Jika responden/informan mengalami kesulitan untuk menjawab, dapat dibantu dengan
memberikan sejumlah contoh jenis format penyajian seperti uraian, dialog, diskusi, talk
show, sandiwara, quiz, dan sebagainya.
Mengingat riset non rating biasanya bersifat kualitatif, maka pilihan metodenya
juga perlu disesuaikan. Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan maksimal 12
orang sebagai peserta dan seorang moderator profesional dapat dipilih sebagai metode
untuk menggali data khalayak. Metode lain yang mirip dengan FGD adalah bentuk curah
aspirasi, yaitu mendatangkan beberapa informan yang jumlahnya bisa lebih besar dari
peserta FGD lalu setiap yang hadir diminta mengemukakan pemikiran dan harapan
mereka tentang program siaran radio yang ideal. Selain kedua metode tersebut,
wawancara mendalam dengan beberapa informan kunci juga dapat dipilih sebagai cara
untuk menghimpun data dengan biaya yang sangat murah.
Metode lain yang dapat dilakukan untuk mengetahui kebutuhan khalayak adalah
melalui studi dokumentasi. Sumber datanya dapat berupa surat atau pun SMS yang
dikirim pendengar ke stasiun penyiaran bersangkutan. Data tersebut kemudian diolah
dengan menggunakan metode analisis isi agar diperoleh informasi yang akurat. Langkah
yang sama dapat dilakukan terhadap sumber data berupa pikiran pembaca di surat kabar,
teks yang ada di facebook, maupun email yang dikirim oleh pihak pendengar.

9
Sejumlah metode yang ditawarkan di sini memiliki kemungkinan tinggi untuk
diterapkan dalam riset khalayak non-rating, tanpa harus menunggu adanya dukungan
dana besar dari pihak manajemen. Tawaran yang disampaikan ini hanya membutuhkan
tekad yang kuat dengan sedikit biaya agar dapat direalisasi. Meskipun melalui cara yang
sederhana, tetapi kalau sebuah program dibuat berdasarkan data riset tentu hasilnya lebih
dapat dipertanggungjawabkan dibanding dengan yang dibuat berdasarkan asumsi semata
dari pihak produser. Semoga!

Penugasan:
1. Buatlah kelompok kerja dengan anggota masing-masing 5 orang untuk melakukan
riset khalayak secara sederhana
2. Setiap kelompok kerja wajib membuat desain riset secara sederhana yang isinya
mencakup: latar belakang, permasalahan penelitian (reseach question), tujuan
penelitian, dan metodologi (lokasi, waktu pelaksanaan, metode pengumpulan
data, teknik olah data, dan pelaporan).
3. Buatlah instrumen penelitian sesuai dengan pilihan metode yang Anda pakai
4. Laporan riset disampaikan tidak lebih dari 2 halaman kwarto, spasi tunggal, pont
12, dan dipresentasikan dalam kuliah minggu depan

Daftar Pustaka
Darmawan, Josep J, 1997. Mengenal Audience Radio dan Permasalahannya, dalam
Seminar Kiat Membidik Khalayak Pendengar di Yogyakarta, Yogyakarta:
Kerjasama UAJY, RRI, Seven Seas dan Perum Pegadaian
Gough, Howard (Edit.), 1999. Perencanaan Penyajian Produksi Programa Radio
(terjemahan Ari.R. Maricar, dkk), Kualalumpur Jakarta: AIBD dan PRSSNI
Handoko, Martin, 1992. Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku, Yogyakarta: Kanisius
Hidayat, Dedy N, 2008. Audiens: Dari Konsumen ke Komoditi dan Buruh,dalam Puji
Rianto (Editor), Riset Audiences dalam Kajian Komunikasi, Yogyakarta:
PKMBP
Kasali, Renald, 1997. Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting, Positioning,
Jakarta: Gramedia
Keith, Michael C., 2000. Stasiun Radio: Riset (Terjemahan), Indonesia: Internews
McQuail, Denis, 2005. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar (Alih bahasa Agus
Dharma dan Aminuddin Ram), Jakarta: Erlangga
Morissan, 2005. Media Penyiaran Strategi Mengelola Radio dan Televisi, Tangerang:
Ramdina Prakarsa
Panjaitan, Erica L, dan TM.Dhani Iqbal, 2006. Matinya Rating Televisi Ilusi Sebuah
Netralitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

10
Rakhmat, Jalaluddin, 2000. Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Remaja
Rosdakarya (cetakan ke-18)
Rakhmat, Jalaluddin, 2000. Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya
(cetakan ke-15)

11

You might also like