You are on page 1of 21

SEJARAH DAN TEORI ARSITEKTUR

ARSITEKTUR INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN

Disusun oleh:

Kelompok 3

Irfani 1504104010068

Rizka Tiara Nasution 1504104010032

Monika Razifannur 1504104010049

Mutia Kemala Rizky 1504104010066

Nuri Ihsani 1504104010066

JURUSAN ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

1
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Sebelum masa kemerdekaan dunia arsitektur di Indonesia didominasi oleh karya


arsitek Belanda. Masa kolonial tersebut telah mengisi gambaran baru pada peta arsitektur
Indonesia. Kesan tradisional dan vernakuler serta ragam etnik di Negeri ini diusik oleh
kehadiran pendatang yang membawa arsitektur arsitektur di Indonesia
Setelah kemerdekaan di tahun 1945, arsitektur di Indonesia berkembang ke arah
arsitektur modern. Sepuluh tahun pertama setelah Indonesia merdeka, bangunan-bangunan
berkualitas rendah muncul dikarenakan perkembangan ekonomi yang belum kuat. Momen
kemerdekaan selalu diwarnai dengan banyak hal yang berbau nasionalisme, tak terkecuali
para arsitek pasca dikumandangkannya kemerdekaan Negara Republik Indonesia tahun
1945. Beriringan dengan kepergian para arsitek Belanda, beberapa arsitek Indonesia pertama
dan para tukang ahli bangunan yang menyebar di kota-kota Indonesia mulai banyak berkarya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. ARSITEKTUR PASCA KEMERDEKAAN


a. Perkembangan Arsitektur Indonesia
Di masa penjajahan Belanda sebenarnya mata kuliah arsitektur diajarkan sebagai
bagian dari pendidikan insinyur sipil. Namun, setelah Oktober 1950, sekolah arsitektur yang
pertama didirikan di Institut Teknologi Bandung yang dulu bernama Bandoeng Technische
Hoogeschool (1923). Disiplin ilmu arsitektur ini diawali dengan 20 mahasiswa dengan 3
pengajar berkebangsaan Belanda, yang pada dasarnya pengajar tersebut meniru system
pendidikan dari tempat asalnya di Universitas Teknologi Delft di Belanda. Pendidikan
arsitektur mengarah pada penguasaan keahlian merancang bangunan, dengan fokus pada
parameter yang terbatas, yaitu fungsi, iklim, konstruksi, dan bahan bangunan.
Semenjak konflik di Irian Barat pada tahun 1955 semua pengajar dari Belanda
dipulangkan ke negaranya, kecuali V.R. van Romondt yang secara rendah hati bersikeras
untuk tinggal dan memimpin sekolah arsitektur sampai tahun 1962. Selama
kepemimpinannya, pendidikan arsitektur secata bertahan memperkaya dengan memberikan
aspek estetika, barat ke tanah Indonesia. Sekitar awal 1910-an beberapa karya arsitek Belanda
seperti Stasiun Jakarta Kota, Hotel Savoy Homan dan Villa Isola di bandung sudah
memberikan pemandangan barubudaya dan sejarah ke dalam sebuah pertimbangan desain.
Van Romondt berambisi menciptakan Arsitektur Indonesia baru, yang berakar pada prinsip
tradisional dengan sentuhan modern untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kontemporer.
Dengan kata lain Arsitektur Indonesia adalah penerapan gagasan fungsionalisme,
rasionalisme, dan kesederhanaan dari desain modern, namun sangat terinspirasi oleh prinsip-
prinsip arsitektur tradisional.
Pada tahun 1958, mahasiswa arsitektur ITB sudah mencapai 500 orang, dengan 12
orang lulusan. Yang kemudian beberapanya menjadi pengajar. Pada bulan September 1959,
Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) didirikan. Sejak tahun 1961, kepemimpinan sekolah arsitektur
berpindah tangan pada bangsa Indonesia dengan Sujudi sebagai ketuanya. Kemudian Sujudi
mendirikan sekolah arsitektur di perguruan tinggi lainnya. Masa ini juga juga dipelopori oleh
Sujudi cs. bersama teman-temannya yang menamakan diri ATAP.
Awal tahun 1960-an, literature barat mulai masuk dalam diskursus pendidikan
arsitektur di Indonesia. Karya dan pemikiran para arsitek terkemukan seperti Walter Gropius,

3
Frank Lloyd Wright, dan Le Corbusier menjadi referensi normative dalam diskusi dan
pelajaran.
Iklim politik pada saat itu juga sangat berpengaruh terhadap pola fikir masyarakat
terhadap teori dan konsep arsitektur modern. Karena di masa kepemimpinan Sukarno,
modernitas diberikan olah kepentingan simbolis yang merujuk pada persatuan dan
kekuatan nasional. Sukarno telah berhasil mempengaruhi secara mendasar karakter arsitektur
yang diproduksi pada masa iai memegang kekuasaan. Modern, revolusioner, dan heroik
dalam arsitektur membawa kita pada program pembangunan besar-besaran terutama untuk
ibukota Jakarta. Ia berusaha mengubah citra Jakarta sebagai pusat pemerintahan kolonial
menjadi ibukota Negara yang merdeka dan berdaulat yang lahir sebagai kekuatan baru di
dunia.
Pada akhir 1950-an Sukarno mulai membongkar bangunan-bangunan lama dan
memdirikan bangunan baru, pelebaran jalan, dan pembangunan jalan bebas hambatan.
Gedung pencakar langit dan teknologi bangunan modern mulai diperkenalkan di negeri ini.
Dengan bantuan dana luar negeri proyek-proyek seperti Hotel Indonesia, Pertokoan Sarinah,
Gelora Bung Karno, By pass, Jembatan Semanggi, Monas, Mesjid Istiqlal, Wisma Nusantara,
Taman Impian Jaya Ancol, Gedung DPR&MPR dan sejumlah patung monumen.
Ciri khas proyek arsitektur Sukarno adalah kemajuan, modernitas, dan
monumentalitas yang sebagian besar menggunakan langgam International Style. Seorang
arsitek yang memiliki hubungan dekat dengan Presiden Sukarno pada masa itu adalah
Friedrich Silaban. Ia terlibat hampir semua proyek besari pada masa itu. Desainnya didasari
oleh prinsip fungsional, kenyamanan, efisiensi, dan kesederhanaan. Pendapatnya bahwa
arsitek harus memperhatikan kebutuhan fungsional suatu bangunan dan factor iklim tropis
seperti temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, dan radiasi matahari. Desainnya
terekspresikan dalam solusi arsitektur seperti ventilasi silang, teritisan atap lebar, dan selasar-
selasar.

Sejak kejatuhan Sukarno pada tahun 1965, pemerintahan Orde Baru di bawah
kepemimpinan Suharto menyalurkan investasi asing ke Jakarta dan telah melaksanakan
rencana modernisasi dengan tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia. Proyek yang
ditinggalkan Sukarno kemudian diselesaikan oleh Gubernur DKI Jakarta pada saat itu Ali
Sadikin.Ali Sadikin juga bermaksud menjadikan Jakarta sebagai tujuan wisata bagi
wisatawan dari Timur dan Barat. Sehingga pada tahun 1975, dikembangkan suatu program

4
konservasi bagian Kota Tuan di Jakarta dan beberapa situs-situ sejarah lainnya. Program ini
sedikit demi sedikit mengubah sikap masyarakat terhadap warisan arsitektur kolonial.
Sejak awal 1970-an, kondisi ekonomi di Indonesia semakin membaik, yang
berdampak pada kebutuhan akan jasa perencanaan dan perancangan arsitektur berkembang
pesat. Maka munculla biro-biro arsitektur yang menangani proyek badan pemerintahan,
BUMN, dan para orang kaya baru. Sayangnya para arsitek professional di Indonesia tidak
siap menerima tantangan besar tersebut. Yang tidak memiliki pilihan doktrin fungsional dari
arsitektur modern membelenggu pengembangan karakter unik dalam arsitektur kontemporer
pada masanya. Sementara itu kalangan elit dan golongan menengah keatas mengekspresikan
kekayaan dan status sosialnya melalui desain yang monumental dan eklektik dengan
meminjam ornamen arsitektur Yunani, Romawi, dan Spanyol.
Kekecewaan terhadap kecenderungan meniru dan eklektik ini membawa arsitek
Indonesia pada suatu gagasan untuk mengembangkan karakter arsitektur Indonesia yang
khas. Suharto memegang peran utama untuk membangkitkan kembali kerinduan pada
kehidupan pedesaan Indonesia, melalui tema-tema arsitektur etnik. Jenis arsitektur ini
kemudian dipahami sebagai langgam resmi yang dianjurkan. Ditandai juga dengan
pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Para arsitek muda sebagian besar juga kecewa terhadap tendensi eklektis dari
arsitektur modern di dalam negeri. Yang kemudian semakin menyoroti secara simpatik pada
arsitektur tradisional. Mereka menyoroti perbedaan kontras antara arsitektur modern dengan
arsitektur tradisional sedemikian rupa sehingga arsitektur tradisional diasosiasikan dengan
nasional, dan arsitektur modern dengan asing dan barat.
Pada pertengahan tahun 1970-an, masalah langgam dan identitas arsitektur nasional
menjadi isu utama bagi arsitek Indonesia. Terhadap masalah langgam dan identitas arsitektur
nasional pandangan arsitek Indonesia menjadi tiga kelompok yang berbeda. Kelompok
pertama berpendapat bahwa arsitektur Indonesia sebenarnya sudah ada, terdiri atas berbagai
jenis arsitektur tradisional dari berbagai daerah. Implikasinya adalah penerapan elemen
arsitektur tradisional yang khas, seperti atap dan ornamen. Kelompok arsitek kedua bersikap
skeptis terhadap segala kemungkinan untuk mencapai langgam dan identitas arsitektur
nasional yang ideal. Kelompok ketiga adalah sebagian akademisi arsitektur yang secara
konsisten mengikuti langkah bapak mereka, V.R. van Romondt. Mereka berpendapat
bahwa arsitektur Indonesia masih dalam proses pembentukan, dan hasilnya bergantung pada
komitmen dan penilaian kritis terhadap cita-cita budaya, selera estetis, dan perangkat

5
teknologi yang melahirkan model dan bentuk bangunan tradisional pada masa tertentu dalam
sejarah. Mereka yakin bahwa pemahaman yang lebih mendalam terhadap prinsip tersebut
dapat memberikan pencerahan atau inspirasi bagi arsitek kontemporer untuk menghadapi
pengaruh budaya asing dalam konteks mereka sendiri.
Dalam periode 1980-1996 institusi keprofesian dan pendidikan arsitektur mengalami
perkembangan pesat, Pertumbuhan sector swasta yang subur serta investasi dengan korporasi
arsitektur asing mulai mengambil alih segmen pasar kelas atas di ibukota dan daerah tujuan
wisata seperti Pulau Bali. Dapat dikatakan bahwa arsitektur kontemporer di Indonesia tidak
menunjukkan deviasi yang radikal terhadap perkembangan arsitektur modern di dunia pada
umumnya.
Sebenarnya pada pertengahan 1970-an telah ada usaha untuk menciptakan suatu
langgam khusus, suatu bentuk identitas Indonesia, tetapi hanya terbatas pada proyek
arsitektur yang prestisius seperti bandara udara internasional hotel, kampus, dan gedung
perkantoran. Sangat jelas bahwa proyek penciptaan langgam dan identitas arsitektur
Indonesia termotivasi secara politis.
Awal tahun 1990-an ditandai pengaruh postmodernisme pada bangunan umum dan
komersil di Jakarta dan kota besar lainnya. Hadirnya kontribusi signifikan dari para arsitek
muda yang berusaha menghasilkan desain yang khas dan inovatif untuk memperkaya
khasanah arsitektur kontemporer di Indonesia. Di antaranya adalah mereka yang terhimpun
dalam kelompok yang sering dianggap elitis, yaitu Arsitek Muda Indonesia (AMI). Dengan
motto semangat, kritis, dan keterbukaan kiprah AMI juga didukung oleh kelompok muda
arsitek lainnya seperti di Medan, SAMM di Malang, De Maya di Surabaya dan BoomArs di
Manado. Untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha kreatif di kalangan arsitek
praktisi, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) juga mulai memberikan penghargaan desain (design
award) untuk berbagai kategori tipe bangunan. Karya-karya arsitektur yang memperoleh
penghargaan dimaksudkan sebagai tolok ukur bagi pencapaian desain yang baik dan sebagai
pengarah arus bagi apresiasi arsitektural yang lebih tinggi.
Penghargaan Aga Khan Award dalam arsitektur yang diterima Y.B. Mangunwijaya
pada tahun 1992 untuk proyek Kali Code, telah berhasil memotivasi arsitek-arsitek Indonesia
untuk melatih kepekaan tehadap tanggung jawab sosial budaya.
Krisis moneter tahun 1997 mengakibatkan jatuhnya pemerintahan Orde Baru telah
melumpuhkan sector property dan jasa professional di bidang arsitektur. Diperlukan hampir

6
lima tahun untuk kembali, namun kerusakan yang sedemikian parah mengakibatkan
kemunduran pada semua program pembangunan nasional.
Kini, arsitek kontemporer Indonesia dihadapkan pada situasi paradoksikal:
Bagaimana melakukan modernisasi sambil tetap memelihara inti dari identitas budaya?
Karya-karya kreatif dan kontemporer kini menjadi tonggak baru dalam perkembangan
arsitektur Indonesia. Dengan pemikiran dan isu baru yang menjadi tantangan arsitek muda.
Seiring pergerakan AMI memberikan semangat modernisme baru yang lebih sensitif terhadap
isu lokalitas dan perubahan paradigma arsitektur di Indonesia.

2. Priodesasi Arsitektur Indonesia Pasca Kemerdekaan


a. Bangunan Monumental
Selama perang dunia ke II, kekayaan arsitektur di Indonesia (di kota-kota) tidak
mengalami kerusakan yang parah, bila dibandingkan dengan kehancuran kota-kota di Jepang
atau di berbagai negara di Eropa., arsitektur justru terjadi seperempat abad kemudian yaitu
ketika bangunan-bangunan yang bergaya kolonial dirombak paksa tampak depannya, demi
mengikuti gaya arsitektur muktakhir. Perombakkan perombakkan seperti itu telah
melahirkan lebih banyak bentuk-bentuk yang dipaksa dan tidak rasional daripada
menghasilkan bentuk yang dari segi keindahan lebih menarik.

Ketika masa revolusi sedang hangatnya memang terjadi kehancuran dan kerusakan
dari sejumlah gedung-gedung penting. Pembangunannya kembali berlangsung sangat lambat
karena keadaan negara yang sedang dalam musim pancaroba. Namun dari segi lain, ada titik-
titik cerah bagi perkembangan arsitektur, umpamanya di tahun-tahun peralihan (1945-1949)
ketika kekuasaan Republik Indonesia menjadi mutlak diakui oleh Belanda. Sejak saat itu dan
seterusnya selama 4 windu Merdeka perkembangan arsitektur Indonesia, seakan-akan
terpusat di Jakarta. Boleh kita pandang, bahwa pangkal perkembangan arsitektur tersebut
dimulai tahun 1948 ketika kota satelit Kebayoran Baru menjadi kenyataan. Pembangunna
kota baru di selatan Jakarta itu sangat penting artinya dari segi arsitektur karena perluasan
kota tersebut menumbuhkan berbagai gaya bangunan rumah,gedung-gedung umum dsb

Gaya-gaya yang dikembangkan bertitik berat pada meng-Indonesia-kan sebagai


identitas baru Indonesia Merdeka, berlangsung di segala bidang kehidupan masyarakat
Indonesia. Para perencana rumah dan bangunan-bangunan, kebanyakan masih angkatan yang
berlatar belakang pendidikan Belanda, bahkan banyak arsitek-arsitek Belanda yang turut aktif

7
dalam proyek pembangunan tersebut. Peng-Indonesiaan gaya arsitektur di tahun 50-an
umumnya menonjolkan bentuk atap yang khas Indonesia dengan bentuknya yang lebih
sederhana dibanding gaya arsitektur Belanda. Contoh karya sekitar tahun 1950-an ini antara
lain kantor pusat Bank Pembangunan Industri di Jakarta dan sekitar tahun 1960-an dibangun
kantor Pusat Bank Indonesia di jalan Thamrin Jakarta.

Ketika jalur jalan utama yang menghubungkan Jakarta dan Kebayoran Baru dalam
tahap-tahap perkembangan, di jalan tersebut didirikan banyak gedung-gedung. Jenis gedung
tersebut merupakan jenis yang baru (pertama kali) di Indonesia. Contoh gedung-gedung yang
dimaksud adalah Gedung PP danGedung Kedutaan Besar Kerajaan Inggris. Gedung PP (PT
Pembangunan Perumahan) adalah gedung bertingkat yang direncanakan dengan konsep
perencanaan modern pada masa setelah perang dunia. Bentuknya polos dan jendela-
jendelanya diberi penahan sinar terik. Gedung Kedutaan Besar Kerajaan Inggris merupakan
bangunan modern yang menyesuaikan dengan lingkungan (perumahan) sekelilingnya.
Selanjutnya mulai bermunculan bangunan-bangunan yang jumlah tingkatannya semakin
banyak dan dilengkapi dengan peralatan modern. Salah satu contohnya adalah Hotel
Indonesia; hotel modern pertama di Indonesia.

Perlu diingat kembali bahwa dalam 10 tahun terakhir sebelum Belanda takluk kepada
Jepang, gaya arsitektur di Indonesia yang berlaku pada waktu itu mula-mula lebih cenderung
pada kubisme-fungsionil (tahun 30an) yang kemudian disesuaikan dengan kepribadian
Indonesia. Di dalam sepuluh tahun pertama Indonesia merdeka, keadaan ekonomi negara
belum kuat. Hal ini mempengaruhi dunia arsitektur; adanya keterbatasan dana untuk
menggalakan kegiatan pembangunan dan sarana arsitektur lainnya. Perpaduan antara
konstruksi bangunan yang hemat dengan pencarian bentuk kepribadian Indonesia telah
menghasilkan rencana-rencana bangunan yang modern dengan tetap adanya ciri-ciri
Indonesia. Salah satu contohnya adalah rumahan bertingkat milik Departemen Luar Negeri
yang dibangun tahun 1956. Bangunan ini merupakan bangunan perumahan pertama yang
bertingkat empat dan berbentuk flat (konsep barat) dengan atapnya yang berbentuk atap limas
(tradisional). Contohnya adalahBank Indonesia, Gedung Pos dan Telkom, Gedung
PLN, Bangunan gerbang Taman Pahlawan Jakarta, dll. Sepuluh tahun kemudian bentuk atap
joglo pun mulai muncul. Sementara itu di tahun-tahun lima puluhan ini, teori-teori bangunan
serta teknologi baru masuk ke Indonesia baik secara langsung (para ahli) maupun secara tidak
langsung (buku-buku dsb). Teknologi tersebut dari cara-cara menahan terik matahari (sun-

8
louvers) sampai ke teknologi beton tinggi (sophisticated). Penerapannya di Indonesia
berlangsung dengan perlahan dan secara berangsur. Hal ini disebabkan adanya keterbatasan
tenaga yang profesional, peralatan dan biaya. Bangunan bertingkat pada masa itu belum
menggunakan peralatan modern seperti AC dan lift. Cara penahan sinar matahari dengan
pembias (louvers) adalah cara yang umum. Gedung Depertemen Pertanian di Jakarta (1950)
dan Gedung DPMB (1953) merupakan gedung-gedung yang pertama direncanakan dengan
cara itu di Indonesia.

Perhatian Presiden Soekarno terhadap penonjolan nasionalisme di segala bidang - termasuk


arsitektur - sangat menentukan perkembangan selanjutnya. Bantuan-bantuan dari luar negeri
di bidang teknik datang dari berbagai pelosok dunia. Di samping itu, kesempatan-kesempatan
untuk menciptakan karya dimantapkan, dengan peranan utama oleh Presiden Soekarno
sendiri, dengan dibantu juga oleh arsitek Silaban dan Sudharsono. Proyek-proyek mercusuar
dibangun berurutan, mulai dari pendirian patung-patung (untuk memperindah kota),
monumen-monumen kejayaan, stadion olah raga raksasa, dan gedung-gedung pemerintahan
yang megah. Semuanya dari yang biasa sampai pada yang luar biasa. Beberapa bangunan
perlu dicatat sebagai bangunan yang bernilai sejarah karena bangunan tersebut merupakan
sesuatu yang pertama atau baru dan mempunyai kekhasan, serta mempengaruhi
perkembangan gaya arsitektur Indonesia di kota-kota lainnya, yaitu dalam bentuk peniruan
yang kemudian menjadi mode secara nasional.

Menjelang Asean Games IV tahun 1962, ketika Indonesia mendapatkan kehormatan


untuk menjadi tuan rumah, kesempatan itu mengundang banyak teknisi dari luar negeri untuk
menjadi pendamping dan konsultan bagi teknisi Indonesia untuk berbagai macam proyek
pembangunan sipil dan arsitektur. Teknisi atau konsultan dari USA umpamanya terlibat
dalam pembangunan jalan raya termasuk termasuk jembatan Semangi; teknisi dari atau
konsultan dari Rusia untuk stadion olah raga, dari Denmark untuk Hotel Indonesia, dari RRC
untuk gedung pameran dan gedung DPR / MPR, dan dari Jepang untuk Wisma Nusantara.

Stadion Utama di Senayan yang dibangun tahun 1958 umpamanya,adalah salah satu
stadion yang terbesar di Asia Tenggara dan stadion yang pertama mempunyai atap melingkar
dan menutupi tempat duduk.Kubah restoran utama dari Hotel Indonesia, Jakarta, yang
dibangun tahun 1960, adalah kubah pertama di Indonesia yang dibangun dengan kontruksi
cangkang (shell construction). Kubah terbesar di Indonesia adalah kubah utama Masjid
Istiqlal, Jakarta. Kubah yang juga berukuran besar adalah kubah gedung DPR / MPR.

9
Bangunan-bangunan lainnya yang tergolong proyek mercusuar di ibu kota yang
dimulai oleh Presiden Soekarno adalah Masjid Istiqlal, Monumen Nasional, Gedung DPR /
MPR, Gedung Pola, dsb.; masing-masing mempunyai kedudukan yang unik.

a. Masjid istiqlal

Masjid Istiqlal memiliki kubah raksasa putih yang wujudnya mirip bola dibelah dua.
Seperti masjid lainnya di dunia, masjid yang memiliki gaya arsitektur modern internasional
ini dilengkapi dengan menara yang tingginya mencapai jumlah ayat yang terdapat pada kitab
suci Al Quran. Sebuah bedug raksasa juga menjadi keunikan plus masjid ini dengan
ukurannya yang besar, pernah dinobatkan sebagai bedug terbesar di Indonesia! Mesjid
Istiqlal, bangunan megah dengan skala raksasa, khususnya bagi ukuran- ukuran mesjid-
mesjid pada umumnya di Indonesia. Bukan saja membuat sejarah dalam dunia arsitektur
Indonesia sebagai mesjid terbesar se Asia Tenggara , tetapi juga sebagai pendobrak konsep
mesjid yang konvensional atau tradisional

b. Monument NasionaL

10
Tugu Peringatan Nasional dibangun di areal seluas 80 hektar. Tugu ini diarsiteki oleh
Soedarsono dan Frederich Silaban, dengan konsultan Ir. Rooseno, mulai dibangun Agustus
1959, dan diresmikan 17 Agustus 1961 oleh Presiden RI Soekarno. Monas resmi dibuka
untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975. Pembagunan tugu Monas bertujuan mengenang dan
melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar
terbangkitnya inspirasi dan semangat patriotisme generasi saat ini dan mendatang.
Tugu Monas yang menjulang tinggi dan melambangkan lingga (alu atau anatan) yang penuh
dimensi khas budaya bangsa Indonesia. Semua pelataran cawan melambangkan Yoni
(lumbung). Alu dan lumbung merupakan alat rumah tangga yang terdapat hampir di setiap
rumah penduduk pribumi Indonesia.

Prinsip desain bangunan yang stabil alias mempunyai keseimbangan simetri, berskala
normal, proporsi yang seimbang dan perdaduan yang unik serta memiliki vocal point pada
salah bagian tugunya, bangunan monas bergaya Arsitektur Historicism
Lapangan Monas mengalami lima kali penggantian nama yaitu Lapangan Gambir, Lapangan
Ikada, Lapangan Merdeka, Lapangan Monas, dan Taman Monas. Di sekeliling tugu terdapat
taman, dua buah kolam dan beberapa lapangan terbuka tempat berolahraga. Pada hari-hari
libur

c. Gedung Pola

Gedung Pola , dari segi sejarah tercatat terutama sebagai bangunan penggangti dari rumah di
mana Proklamasi Kemerdekaan diserukan pada tanggal 17 Agustus 1945.

- bentuk fungsionil untuk maksud pameran

- tercatat terutama sebagai bangunan pengganti dari rumah dimana Proklamasi Kemerdekaan
diserukan pada tanggal 17 Agustus 1945

11
ARSITEKTUR JENGKI (1950-1969AN)

a. Kelahiran Arsitektur Jengki

Pada tahun-tahun awal setelah kemerdekaan sekitar tahun 1950-1960-an. Sebagai


hasil dari kemerdekaan. Timbul semangat pembebasan diri dari segala hal yang berbau
kolonialisme."Dilain sisi, kemerdekaan itu terjadi pada saat kita tidak memiliki tenaga ahli
asing", jelas Ir. Joseph. Tenaga ahli asing yang ada sebagian besar orang Belanda. Karena
adanya pertikaian antara Indonesia dengan Belanda mengenai Irian Jaya, mereka harus
meninggalkan Indonesia. Pembangunan tidak boleh berhenti. "Sementara itu timbul
keinginan kuat untuk menampilkan jati diri bangsa yang merdeka", tutur arsitek yang akrbat
dipanggil pak Joseph ini. Dalam keadaan yang serba sulit ini, pemerintah Indonesia
memanfaatkan siapa saja yang mampu bekerja dibidang konstruksi. Kebetulan kemampuan
bekerja ini dimiliki oleh mereka yang pernah bekerja di perusahaan konstruksi pada masa
pendudukan. Misalnya kantor Pekerjaan Umum, Biro Arsitek atau Kontraktor Belanda.
Kebanyak dari mereka hanya lulusan STM. Sebab lembaga pendidikan yang dimiliki untuk
mendidik ahli bangunan pada masa itu hanya sampai tingkat STM. Mereka
inilah yang dipaksa melakukan pembangunan. Karena hanya lulusan STM, tentu saja ilmu
arsitektur mereka tidak seperti yang sarjana. Tetapi keuntungan yang mereka peroleh pada
masa itu, STM pada masa itu juga diajarkan dasar-dasar ilmu arsitektur. "Inilah yang menjadi
pegangan para lulusan STM pada masa itu" tambah pak Joseph.

Para tenaga ahli dadakan ini punya kesempatan untuk menunjukkan skil ke Indonesia-annya.
Namun didalam hati, mereka juga mempertanyakan ilmu arsitektur yang dimiliki. Usaha
mempertanyakan ini tidak sempat mereka renungkan. Tetapi harus segera ditunjukkan
dengan jawabannya. Karena mereka harus langsung bekerja. Pada waktu itu, semangat
nasionalisme yang kuat sedang tumbuh disetiap hati rakyat Indonesia, termasuk para ahli
dadakan ini. Dengan landasan nasionalisme yang kuat, timbul usaha untuk tidak membuat
apa yang telah dibuat Belanda. Dengan kata lain tidak boleh seperti itu. "Nah, itulah yang
mendasari lahirnya Arsitektur Jengki" kata pak Joseph.

Momen kemerdekaan selalu diwarnai dengan banyak hal yang berbau


nasionalisme, tak terkecuali para arsitek pasca dikumandangkannya kemerdekaan Negara
Republik Indonesia tahun 1945. Beriringan dengan kepergian para arsitek Belanda, beberapa

12
arsitek Indonesia pertama dan para tukang ahli bangunan yang menyebar di kota-kota
Indonesia mulai banyak berkarya. Sejarahperkembangan arsitektur Indonesia pasca
kemerdekaan 1945, puncaknya di era tahun 1950 sampai 1960-an diwarnai dengan hadirnya
sebuah gaya yang dikenal dengan nama arsitektur Jengki. Asal penggunaan kata jengki sering
dihubungkan dengan hal-hal di luar dunia arsitektur.

b. Pengertian arsitektur jengki

Pembentukan kata, istilah jengki berasal dari kata Yankee, yaitu sebutan untuk
orang-orang New England yang tinggal di bagian Utara Amerika Serikat. Penamaan jengki
juga dihubungkan dengan model busana celana jengki yang marak pada saat yang bersamaan.
Hadirnya arsitektur jengki di Indonesia menandai munculnya para arsitek pribumi yang
notabene adalah tukang yang ahli bangunan sebagai pendamping para arsitek Belanda
sebelumnya. Para ahli bangunan pribumi ini kebanyakan merupakan lulusan dari pendidikan
menengah bangunan atau STM. Di tengah bergolaknya kondisi perpolitikan di masa 1950
sampai 1960-an yang ditandai dengan semakin berkurangnya arsitek Belanda dan mulai
munculnya para ahli bangunan dan lulusan pertama arsitek Indonesia, yang kemudian turut
membentuk perkembangan arsitektur jengki. Arsitek Indonesia banyak mendesain di kota-
kota besar seperti Jakarta dan Bandung, sedangkan keahlian para tukang bangunan lebih
banyak berperan di kota-kota kecil.

c. Ciri-ciri Arsitektur Jengki


Langgam arsitektur Kolonial pada waktu itu banyak didominasi oleh bidang-bidang vertikal
dan horisontal. Langgam Arsitektur Jengki justru berlawanan. Arsitektur Jengki bermain
dengan garis lengkung dan lingkaran. Misalnya, jendela yang tidak simetris, overstek yang
meliuk-liuk, garis dinding yang dimiringkan. Bentuk-bentuk yang tidak semestinya pada
masa itu. "Arsitektur Jengki hanya mengolah perwajahan bangunan, baik itu luar maupun
dalam", jelas pak Joseph lagi. Selain wajah bangunan, juga perabot rumah. Misalnya meja
tamu dan kursinya. Bentuk tata ruangnya masih mengikuti tata ruang bangunan Kolonial. Hal
ini terjadi karena keterbatasan ilmu arsitektur tadi.

Arsitektur Jengki juga mempergunakan bahan-bahan bangunan asli Indonesia. Bahan yang
dipergunakan harus bahan jadi, tidak boleh mentah maksudnya dari perancangannya ketika
itu. Untuk menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mampu mengolah sendiri bahan bangunan

13
yang diperlukan. Hasilnya adalah permukaan bangunan yang dikasarkan, misalnya.
Dikasarkan bukan kerikil, karena kerikil yang diolah semacam itu buatan Belanda.
Permukaan kasar dibuat dari semen yang disemprotkan ke dinding dan pemakaian roster.
Pada bagian penutup atap juga diolah sedemikian rupa. Kalau pada waktu itu bangunan
Jengki dibuat seperti jambul. "Sepertinya sengaja menghilangkan yang berbau Belanda.
Sehingga saya dapat mengambil kesimpulan bahwa Arsitektur Jengki murni hasil pemikiran
bangsa Indonesia. Saya juga mencoba melihat literatur luar negeri kalau mungkin ada satu
langgam yang dipakai untuk Arsitektur Jengki. Ternyata tidak ada", tambahnya. Melihat hal
ini pak Joseph mengambil kesimpulan bahwa Arsitektur Jengki adalah murni karya bangsa
Indonesia. Tidak berkiblat kepada aliran arsitektur manapun di dunia termasuk juga
Arsitektur Nusantara (kata Indonesia ada setelah 17 Agustus 1945).

Semangat dekoratif yang dimiliki oleh para arsitek pada saat itu cukup kuat dan bagus. Unsur
dekoratif inilah yang oleh pak Joseph dianggap mewakili arsitektur Nusantara. Kalau kita
perhatikan, pada setiap arsitektur tersebut? Dekoratifnya. Jadi Arsitektur Jengki
menghadirkan Arsitektur Nusantara lewat unsur ini. Bukan lewat bentuk. "Semangat
Bhineka Tunggal Ika hadir melalui arsitektur Jengki. Oleh sebab itu saya dapat mengatakan
bahwa Arsitektur Jengki adalah arsitektur Indonesia yang pertama", tegas arsitek alumni ITS
tahun 1976 ini.

Contoh bangunan dengan arsitektur Jengki ini dapat kita lihat pada rumah-rumah dikawasan
Kebayoran Baru untuk Jakarta. Di Surabaya misalnya Stadion Gelora Pancasila, Pabrik
Coklad di Jl. Kalisari dan rumah tinggal di Jl. Embong Ploso 12 (saat tulisan ini dibuat sudah
dirobohkan). Biasanya unsur Jengki lebih banyak hadir pada bangunan rumah tinggal.
Mengenai hal ini pak Joseph menambahkan, "tidak adanya dana untuk membangun
menyebabkan lebih banyak rumah tinggal". Hal ini juga diakui oleh Van Lier Dame ketika
berjumpa dengan beliau. Van Lier Dame pada sekitar tahun 1950 bekerja di Indonesia
sebagai arsitek. Dia mengakui bahwa kendala utama yang dihadapi oleh Indonesia ketika itu
adalah kelangkaan bahan dan kemiskinan uang. Sehingga merekapun dituntut bekerja secara
efisien.
Arsitektur Jengki bermain dengan garis lengkung dan lingkaran. Misalnya, jendela
yang tidak simetris, overstek (teritis) yang meliuk-liuk, garis dinding yang dimiringkan.
Bentuk-bentuknya berlawanan dengan arsitektur Kolonial yang didominasi bidang vertikal

14
dan horisontal. Namun karena keterbatasan ilmu arsitektur pada saat itu, maka bentuk tata
ruang interior masih mengikuti bangunan Kolonial. Selain mengolah bentuk wajah bangunan,
gaya jengki juga diterapkan pada bentuk-bentuk mebel rumah.

Beberapa contoh
rumah Jengki di Kota Bandung, dengan ciri khas garis lengkung dan lingkaran, jendela yang
tidak simetris, overstek (teritis) yang meliuk-liuk, dan garis dinding yang dimiringkan.

Beberapa contoh gedung bergaya Jengki di Kota Bandung, dengan ciri khas garis lengkung
dan lingkaran, serta garis dinding yang dimiringkan.

Beberapa contoh mebel bergaya Jengki, dengan ciri khas garis tegas yang dimiringkan.

15
Kursi jati bergaya Jengki tersebut merupakan salah satu mebel istana Bogor yang didesain
oleh Bung Karno

Arsitektur Jengki mempergunakan bahan-bahan bangunan asli Indonesia. Untuk


menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mampu mengolah sendiri bahan bangunan yang
diperlukan. Hasilnya adalah permukaan bangunan yang dikasarkan, dibuat dari semen yang
disemprotkan ke dinding dan pemakaian roster (lubang angin). Pada bagian penutup atap
dibuat seperti jambul. Menurut Ir. Joseph Priyotomo. M.Arch Sepertinya bentuk-bentuk
pada rumah jengki, sengaja menghilangkan yang berbau Belanda. Sehingga saya dapat
mengambil kesimpulan bahwa Arsitektur Jengki murni hasil pemikiran bangsa Indonesia.
Saya juga mencoba melihat literatur luar negeri kalau mungkin ada satu langgam yang
dipakai untuk Arsitektur Jengki. Ternyata tidak ada, tambahnya. Melihat hal ini pak Joseph
mengambil kesimpulan bahwa Arsitektur Jengki adalah murni karya bangsa Indonesia.
Bentuk bangunan tidak berkiblat kepada aliran arsitektur manapun di dunia termasuk juga
Arsitektur tradisional Indonesia. Semangat dekoratif yang dimiliki oleh para arsitek pada
saat itu cukup kuat dan bagus, unsur dekoratif inilah yang dianggap mewakili arsitektur
Nusantara. Jadi Arsitektur Jengki menghadirkan Arsitektur Nusantara lewat unsur dekoratif,
bukan lewat bentuk. Biasanya unsur Jengki lebih banyak hadir pada bangunan rumah tinggal,
hal ini dikarenakan pada tahun 1950 terjadi kelangkaan bahan dan kemiskinan uang di
Indonesia, sehingga arsitek dan tukang bangunan dituntut bekerja secara efisien.

Atap yang Tidak Lazim

Rumah-rumah jengki umumnya menggunakan atap pelana yang tidak lazim. Banyak atap
yang berupa patahan dengan perbedaan ketinggian yang kemudian diselipkan ventilasi
sebagai media pembuangan panas pada atap. Selain itu atap-atap rumah jengki memiliki
kemiringan yang curam sebagai bentuk tanggap iklim tropis yang curah hujannya tinggi.

16
Beranda
Keberadaan beranda atau teras merupakan elemen mutlak dalam arsitektur tropis juga
disadari oleh para arsitek jengki. Teras berfungsi sebagai ruang penerima tamu, tempat
berteduh, dan tak sedikit sebagai aksentuasi pintu masuk. Bandingkan dengan ukuran teras
rumah-rumah sekarang yang semakin mengecil, teras pada rumah jengki masik memiliki
kesan yang luas dan selaras dengan pekarangan. Atap teras sendiri memiliki bentuk yang
berbeda-beda pada rumah jengki sebagai fungsi aksentuasi. Yang umum kita lihat adalah atap
beton yang melengkung maupun yang ditekuk-tekuk sebagai perlawanan terhadap bentuk
modern yang datar dan monoton (bayangkan, dengan ilmu arsitektur dan konstruksi yang
belum madani para arsitek jengki telah menghasilkan desain beton yang ditekuk!).

17
Permainan Bentuk Kusen dan Perletakan Jendela.
Masih dengan semangat anti-simetris, bentuk kusen yang asimetris dan permainan letak
jendela yang tidak sejajar menunjukkan kesan tersebut. Selain itu banyaknya bukaan jendela
sebagai sarana penghawaan dan pencahayaan yang alami berlawanan dengan jendela rumah
sekarang yang semakin lama semakin mengecil (desain minimalis, jendela minimal?).
Penyesuain desain kusen dan jendela yang lebar dan besar juga menunjukkan bahwa
arsitektur jengki tanggap terhadap iklim tropis.

Krawang atau Rooster

Penggunaan krawang atau rooter merupakan penyesuaian terhadap iklim tropis. Fungsi
utamanya adalah sebagai ventilasi untuk pergantian udara secara alami. Selain itu dengan
bermacam-macam bentuk dari segilima, segitiga, lingkaran, hingga trapesium tak beraturan
menjadi ekspresi estetika pada rumah jengki.

Elemen Dekoratif pada Tampak Bangunan.

Elemen-elemen dekoratif merupakan ungkapan para penghuni serta kreatifitas para arsitek
jengki. Maka kita menemukan satu ciri dekorasi yang sama antara satu rumah jengki dengan
yang lain. Ragam dekoratif kreasi arsitek jengki kebanyakan kombinasi-kombinasi garis
lengkung dengan motif alam, ataupun pola-pola garis vertikal dan horisontal. Elemen ini
dapat kita lihat pada dinding atau pada kolom bangunan.

Sayangnya, arsitektur jengki perlahan tapi pasti mulai punah keberadaannya. Padahal, rumah-
rumah jengki banyak kita temui di kota-kota besar bahkan sampai daerah pelosok sekalipun.
Arsitektur jengki sendiri perlahan hilang tenggelam kalah dari tren arsitektur modern-
minimalis itu. Meskipun dibaliknya terdapat makna serta semangat yang besar, arsitektur
jengki masih memiliki definisi yang bias, karena arsitektur ini dipelopori oleh arsitek
angkatan pertama yang belum memiliki kemampuan arsitektur yang baik, sebagaimana
dijelaskan di atas.

18
BAB III
KESIMPULAN

Seiring perjalanan perkembangan arsitektur Indonesia terus mencari jati diri dan
berusaha lepas dari hal hal yang berbau colonial, selain sebagai pelopor pembangunan
dibidang arsitektur, arsitek Indonesia juga tidak lepas dari perjalanan kemedekaan Indonesia.

19
DAFTAR PUSTAKA

Sumalyo, Yulianto, 1996. Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad XX, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Suriawidjaja, P. Eppi, alt., 1983. Persepsi Bentuk dan Konsep Arsitektur, Djambatan, Jakarta.
www.architecture.com/greatbuilding.
www.bluffon.edu/-Sullivanm/www.michaelgraves.com.
www.geogle.com/postmodern.
Wiryomartono, Poerwono Bagoes, 1993. Perkembangan Gerakan Arsitektur Modern di Jerman dan
Post Modernisasi, Universitas Atmajaya, Yogyakarta.
Hutagalung, Rapindo, 1992. Architrave. Badan Otonomi Architrave Bekerjasama dengan PT.
Mitramass Mediakarsa, Jakarta.

20
21

You might also like