You are on page 1of 9

MATERI FORUM GROUP DISCUSSION(FGD)

MILIK : MILTON FRIEDMAN GROUP.

Apakah kenaikan harga rokok solusi efektif?


Pemerintah Indonesia membantah kenaikan harga rokok akan mencapai Rp50.000 per bungkus,
meski berencana menaikkan cukai rokok tahun depan.

Wacana kenaikan harga rokok hingga Rp50.000 ramai diperbincangkan di media sosial selama
sepekan belakangan.

Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi, mengatakan, pemerintah masih mengkaji kenaikan
tarif cukai rokok demi memenuhi target penerimaan cukai pada RAPBN 2017 sebesar Rp149
triliun.

Namun sampai saat ini besarannya belum ditetapkan.

RUU Pertembakauan dinilai untungkan industri tembakau


Kemasan rokok Inggris harus polos tanpa merek
Video musik membuat remaja terpapar kebiasaan merokok

Image copyright Getty Image caption Penelitian menunjukkan kenaikan harga rokok hingga dua
kali lipat dapat menurunkan konsumsi hingga 30%.

Heru memastikan bahwa pemerintah berkomitmen mengurangi konsumsi rokok di kalangan


masyarakat, salah satunya dengan menaikkan cukai rokok. Akan tetapi, kenaikan selalu
dilakukan secara bertahap.

Kalau harga Rp50.000, berarti terjadi kenaikan sebesar 300%, sementara dalam sejarahnya
kisaran kenaikan harga itu puluhan saja, kata Heru kepada BBC Indonesia.

Ia menilai, peningkatan harga secara drastis dapat menyebabkan penurunan produksi, dan
ujungnya berdampak pada kesejahteraan tenaga kerja di pabrik serta petani tembakau dan
cengkeh yang menjadi pemasok industri rokok.

Efek samping lainnya yang bisa terjadi, kata Heru, ialah merebaknya rokok ilegal.

Dengan menaikkan harga dua kali lipat, jumlah rokok yang dikonsumsi akan turun tetapi jumlah
uang yang beredar untuk rokok tetap naik.Hasbullah Thabrany

Salah satu instrumen penetapan harga itu kan cukai, yang merupakan bentuk pajak. Secara teori,
ketika pajak terlalu tinggi, akan ada dampak berupa produk ilegal, jelasnya.
Berawal dari penelitian
Wacana kenaikan harga rokok hingga Rp50.000 per bungkus berawal dari penelitian studi Pusat
Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia.

Studi yang diterbitkan di Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia itu mengkaji dukungan publik
terhadap kenaikan harga rokok dan cukai untuk mendanai jaminan kesehatan nasional (JKN)
yang biasa dikenal sebagai BPJS.

Berdasarkan survei terhadap 1.000 orang dari 22 provinsi dengan tingkat penghasilan di bawah
Rp1 juta sampai di atas Rp20 juta, sebanyak 82% responden setuju jika harga rokok dinaikkan
untuk mendanai JKN.

Peserta kemudian ditanyakan berapa harga rokok maksimal yang sanggup dibeli dan sebanyak
72% menyatakan akan berhenti merokok jika harga satu bungkus rokok di atas Rp50.000.

Image copyright Getty Image caption Kenaikan harga rokok diakui tak akan berdampak besar
bagi para perokok berat.

Dengan menaikkan harga dua kali lipat, jumlah rokok yang dikonsumsi akan turun tetapi
jumlah uang yang beredar untuk rokok tetap naik. Maka pemerintah menerima tambahan uang
cukai sebesar Rp70 triliun, itu cukup untuk menutup defisit JKN, tutur penulis utama laporan
itu, Hasbullah Thabrany.

Hasbullah juga mengatakan bahwa hasil tersebut konsisten dengan studi di negara-negara lain.

Penelitian sebelumnya di Malaysia, Singapura, Inggris, Australia menunjukkan kalau orang


dihadapkan dengan kenaikan harga rokok dua kali lipat maka konsumsinya turun 30%. Dalam
ilmu ekonomi ini disebut elastisitas demand, jelas Hasbullah.

Kebijakan pendukung
Kebijakan kenaikan cukai rokok akan lebih efektif jika pada saat yang sama ada larangan
menjual rokok secara ketengan dan isi kemasan bungkus rokok dibatasi minimal 20
batang.Sudaryatmo

Meski demikian, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sudaryatmo, menilai
sekadar menaikkan harga rokok tak cukup untuk menurunkan jumlah perokok.

Kebijakan itu, menurutnya, perlu dibarengi rangkaian kebijakan pendukung; antara lain
menyediakan terapi bagi masyarakat yang ingin berhenti merokok.

Di satu sisi harga rokok dinaikkan, di sisi lain pemerintah juga menyediakan alternatif bagi
masyarakat yang mau berhenti merokok berupa terapi gratis di klinik kesehatan. Selama ini
sudah ada, tapi jumlahnya terbatas, kata Sudaryatmo.
Sudaryatmo mengakui bahwa kenaikan harga rokok tak akan berdampak besar pada para
perokok yang sudah ketagihan. Meski demikian, ia berharap langkah itu dapat menekan angka
pertumbuhan perokok pemula.

Kebijakan kenaikan cukai rokok akan lebih efektif jika pada saat yang sama ada larangan
menjual rokok secara ketengan dan isi kemasan bungkus rokok dibatasi minimal 20 batang,
tambah Sudaryatmo.

Survei Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2014 terhadap siswa sekolah usia 13-15 tahun
di Indonesia mengungkap 36,2% laki-laki dan 4,3% perempuan mengonsumsi tembakau.

Umumnya, siswa mulai merokok pada usia 12-13 tahun.


Pro Kontra Kenaikan Harga Rokok dan Alasan Kenapa
Kita Harus Mendukungnya
23 Aug 2016

AddThis Sharing Buttons


Share to FacebookShare to TwitterShare to Google+Share to PinterestShare to WhatsAppShare
to More

Isu kenaikan harga rokok semakin meluas. Melalui akun Twitter resminya, Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai mengeluarkan pernyataan resmi bahwa berita itu tidak benar pada Sabtu, (20/8).
Hingga saat ini, belum ada aturan baru tentang Harga Jual Eceran (HJE) rokok.

Berita simpang siur tentang kenaikan harga rokok hingga Rp50ribu itu berawal dari hasil studi
dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. Studi yang melibatkan 1000 responden dan berlangsung dari Desember
2015 hingga Januari 2016 mendapati bahwa sejumlah perokok menyatakan akan berhenti
merokok jika harga rokok dinaikkan dua kali lipat dari harga normal. Bahkan, 72% di
antaranya menyatakan akan berhenti merokok jika harga rokok di atas Rp50ribu.

Di balik semua kehebohan itu, ada hal penting yang harus kita perhatikan. Sebetulnya sejauh
mana strategi menaikkan harga dan cukai rokok efektif untuk menurunkan jumlah perokok?

Data UN Office of Drugs and Crime mencatat Indonesia termasuk salah satu negara dengan
harga rokok termurah di dunia. Sebagai perbandingan, rata-rata harga rokok di Indonesia
adalah 1,32 dolar AS atau Rp 17.368. Di negara-negara maju, harga rokok di atas seratus ribu
rupiah, misalnya di Australia, sebungkus rokok bisa mencapai 16,11 dolar AS atau Rp 211.973.

Di negara-negara berkembang, rokok dijual murah karena menyasar perokok pemula, seperti
anak-anak dan remaja. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, tahun 2013, mengungkap fakta bahwa
tingkat konsumsi rokok pada anak-anak usia 10-14 tahun masuk kategori sangat tinggi, mencapai
8 batang per hari atau 240 batang sebulan!

Haula Rosdiana, Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak dari Universitas Indonesia mengatakan
sudah saatnya pemerintah menetapkan legislasi yang tegas untuk rokok ini, guna mengendalikan
dampak negatif rokok.

Kenaikan harga rokok juga berdampak bagi penerimaan negara, yaitu meningkatkan pendapatan
cukai. Sebagai komoditas, rokok dikenakan cukai (sin tax), karena rokok memiliki dampak
negatif bagi konsumennya, bahkan para perokok pasif dan lingkungan. Di berbagai negara,
cukai rokok sangat tinggi untuk mengendalikan konsumsi rokok. Indonesia termasuk yang paling
rendah, kata Haula.

Baca juga:
Fenomena Perokok Usia Anak, Saatnya Kita Bertindak

Dalam pernyataan resminya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mendukung harga rokok
dinaikkan karena akan berefek positif untuk menurunkan konsumsi rokok di rumah tangga
miskin. Dana untuk membeli rokok bisa digunakan untuk membeli bahan pangan.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan pemicu kemiskinan di rumah tangga miskin adalah
beras dan rokok. Para tukang becak, supir, yang menikmati rokok, merekalah para pembayar
cukai rokok. Tidak heran, dampak sosialnya sangat besar. Rokok membuat yang miskin semakin
miskin, papar Haula.

Di satu sisi, legislasi rokok dianggap berdampak pada kesejahteraan para pekerja industri rokok.
Menurut Haula, sebuah kebijakan tidak bisa dipandang secara parsial. Jangan mengggunakan
buruh sebagai alasan menolak regulasi tembakau. Pemerintah bisa memberikan solusi lain,
misalnya, mengganti lahan cengkih menjadi lahan komoditas pangan lainnya. Negara ini lebih
butuh ketahanan pangan, bukan ketahanan tembakau, tegas Haula. (f)
Pro dan Kontra Kenaikan Harga Rokok
Bisnisupdate.com, Jakarta Desas-desus wacana tentang kenaikan harga rokok akhir-akhir ini
semakin kencang beredar. Hal tersebut menjadi pro dan kontra tersendiri antara, perusahaan,
masyarakat, dan tentunya negara.

Dalam keterangan tertulisnya, Senin, (22/8), Elvira selaku Head of Regulatory Affairs
International Trade and Communications PT HM Sampoerna Tbk, menyatakan kenaikan harga
yang terlalu tinggi pada produk rokok ataupun kenaikan cukai secara eksesif bukan merupakan
langkah yang bijaksana, karena setiap kebijakan yang berkaitan dengan harga dan cukai rokok
harus mempertimbangkan seluruh aspek secara komprehensif, jelasnya.

Dengan tingkat cukai saat ini yang cukup tinggi, tutur Elvira, perdagangan rokok ilegal telah
mencapai 11,7 persen dan merugikan negara hingga Rp 9 triliun. Hal ini tentu kontraproduktif
dengan upaya pengendalian konsumsi rokok, peningkatan penerimaan negara, dan perlindungan
tenaga kerja.

Karena itu, Elvira meminta pemerintah mengkaji pengaruh kenaikan harga rokok dengan daya beli
masyarakat. "Jika kita membandingkan harga rokok dengan pendapatan domestik bruto per kapita
di beberapa negara, harga rokok di Indonesia lebih tinggi dibanding Malaysia dan Singapura."

Wacana besaran harga Rp 50 ribu per bungkus rokok berasal dari hasil hitung-hitungan penelitian
profesor Hasbullah Thabrany, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Dalam penelitian berdasarkan hasil survei yang
dirilis Juli 2016 itu disebutkan harga rokok yang ideal untuk mencegah pelajar dan orang miskin
merokok adalah Rp 50 ribu per bungkus.

Pengumpulan data dilakukan sejak Desember 2015 sampai Januari 2016, dengan jumlah
responden 1.000 orang. Hasilnya, 82 persen responden setuju harga rokok dinaikkan. Bahkan, 72
persen responden menyatakan setuju harga rokok dinaikkan menjadi di atas Rp 50 ribu, untuk
mencegah pelajar merokok.

Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah Margo Yuwono menyebutkan
keberadaan rokok kretek filter dinilai menjadi penyebab salah kemiskinan di Jawa Tengah setelah
beras. Temuan itu berdasarkan survei profil kemiskinan BPS Jawa Tengah pada periode September
2015 hingga Maret 2016.

Lebih jauh, menurut Willem, harus ada kajian dan klarifikasi lebih jelas soal detail penelitian yang
menyorongkan kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus untuk menurunkan jumlah
perokok. "Sampling-nya sudah benar belum? Kalau mau membuat statement, kuatkan dulu
alasannya." ujarnya.

Willem menyatakan, Kementrian Perindustrian mendorong agar pabrik rokok berkembang sesuai
peraturan yang berlaku. "Sudah ada undang-undangnya, izin usaha, biaya cukai, ini bukan hal yang
ilegal, Kalau kita mau ubah aturan, silakan saja. Tapi jangan dibuat gaduh. pungkasnya.
Ada Peran Asing di Balik Wacana Harga Rokok Rp50 Ribu
per Bungkus
JAKARTA, IndonesiaSatu.co -- Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) meragukan hasil
penelitian dari Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK) Fakultas Kesehatan
Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI). APTI menilai penelitian tersebut tidak harus
dipercayai 100 persen.

Sebabnya, seperti dikatakan Ketua Umum APTI Soeseno Riban, ada aliran dana asing dari
Bloomberg ke PKEKK FKM UI, di balik wacana harga rokok Rp50 ribu per bungkus. Adapun
jumlah dana yang diterima FKM UI dalam melakukan kampanye antirokok dari Bloomberg ini
sebesar Rp4,3 miliar.

"Karena, kita perlu kritisi hasil penelitian ini didanai Bloomberg oleh dana dari luar dan semata-
mata dipakai untuk mendeskreditkan, atau membunuh industri. Mestinya, sebagai peneliti harus
memikirkan perspektif yang lebih luas, di mana UI adalah lembaga terkenal, terhormat, dan
dihormati," kata Soeseno di Jakarta, Kamis (25/8/2016).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, isu harga rokok Rp50 ribu per bungkus masih terus terjadi
sampai hari ini, karena belum ada ketegasan dari pemerintah. Sehingga, membuat petani
tembakau dan cengkih terus dihantui atas kenaikan harga itu.

"Kegaduhan ini dimunculkan dari hasil penelitian UI itu. Sehingga, membuat kegaduhan terus
menerus yang terjadi sampai hari ini," kata Soeseno.

Tak hanya itu, penelitian tersebut juga membuat resah jutaan orang yang terlibat dalam industri
rokok. Karena itu, perlu adanya penjelasan dari pihak terkait, atau yang berwewenang supaya
mereka kembali tenang.

"Karena itu, kita perlu melihat dari penelitiannya, karena sudah meresahkan kira-kira 6,1 juta
orang yang terlibat di dalam industri hasil tembakau. Ada petani cengkih, tembakau, ada pekerja
pabrikan," ujarnya.
Naikkan Harga Rokok Belum Cukup, Tata Niaga Harus
Diatur
JAKARTA,IndonesiaSatu.co -- Desakan agar pemerintah segera merealisasikan kenaikan
harga rokok menjadi minimal Rp50 ribu per bungkus terus menguat. Usulan kenaikan harga
rokok ini merupakan hasil studi dari Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris mengatakan menyambut baik wacana
kenaikan rokok tersebut. Namun, selain menaikkan harga rokok, Pemerintah diminta tegas
mengatur tata niaga rokok yang selama ini begitu semrawut dan terlalu bebas sehingga siapa saja
dan di mana saja orang bisa membeli rokok.

Untuk itu, Fahira meminta pemerintah agar memberi sanksi yang tegas kepada berbagai
pelanggaran terkait rokok terutama kepada para penjual yang masih seenaknya menjual rokok
kepada anak-anak.

Di negara ini, rokok ada di mana-mana. Mulai dari lampu merah, warung hingga supermarket.
Bisa dibeli dan dikonsumsi siapa saja, termasuk anak SD sekalipun. Kalau membiarkan
peredaran rokok tidak terkendali seperti ini, artinya bangsa ini sudah melanggar undang-undang
perlindungan anak yang mewajibkan pemerintah menyelenggarakan upaya kesehatan yang
komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Jadi
menaikkan harga saja tidak cukup, pemerintah harus menindak tegas para penjual rokok kepada
anak, ujar Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris, di Jakarta (22/8/2016).

Fahira mengungkapkan, berdasarkan berbagai suvei, jumlah anak-anak yang mengosumsi rokok
di Indonesia sudah masuk tahap yang mengkhawatirkan. Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas), Kemenkes, perokok pemula (usia 10-14 tahun) naik dua kali lipat dalam 10 tahun
terakhir. Jika pada 2001 hanya 5,9 persen, pada 2010 naik menjadi 17,5 persen. Pada 2013,
Riskesdas menemukan fakta konsumsi rokok pada kelompok usia 10-14 tahun mencapai sekitar
delapan batang per hari atau 240 batang sebulan. Artinya, anak-anak kita sudah menghabiskan
Rp120 ribu untuk membeli rokok.

Tidak heran, jika Global Youth Tobbaco Survei, pada 2014, menempatkan Indonesia sebagai
salah satu negera dengan jumlah perokok anak terbesar di mana 20,3 persen anak sekolah usia
13-15 tahun sudah merokok. Hasil riset ini juga tidak jauh beda dengan Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) 2015 yang menyatakan, penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang
mengonsumsi rokok sebesar 22,57% di perkotaan dan 25,05% di pedesaan dengan jumlah batang
rokok yang dihabiskan selama seminggu mencapai 76 batang di perkotaan dan 80 batang di
pedesaan.

Di Indonesia, orang tua tidak merasa bersalah jika menyuruh anaknya membeli rokok dan
menghisap rokok di dekat anaknya. Penjual tidak merasa melanggar hukum menjual rokok
kepada anak-anak. Anak-anak kita tanpa rasa takut merokok di ruang-ruang terbuka, dan
parahnya semua ini kita anggap hal yang normal. Ingat, mulai 2020 sampai 2030, kita dilimpahi
bonus demografi, Indonesia akan diisi lebih banyak penduduk usia produktif. Tetapi jika kondisi
ini dibiarkan, negeri ini akan diisi oleh orang-orang berpenyakit kronis, tukas Senator Jakarta
ini.

Menurut Fahira, berbagai regulasi terkait rokok mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) hingga
Peraturan Kepala Daerah belum maksimal dijalankan terutama dari sisi sosialisasi dan
penegakkan hukum.

You might also like