You are on page 1of 7

10 Majalah Farmasi Airlangga Vol.6 No.1, April 2008 Dianawati O., et.al.

Hubungan Persepsi Terhadap Iklan Di Televisi Dengan Perilaku Swamedikasi Pelajar SMU Negeri Di
Surabaya

Oelva Dianawati, Fasich, Umi Athijah


Departemen Farmasi Komunitas, Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga

The practice of self medication is the most common form of health seeking behavior in the community.
Most of them got information about over the counter drugs for self medication from drugs advertising on
television. The aim of this study was to measure the correlation between drug advertising and self
medication behavior and to obtain description of proper self medication behavior in the community.
Data were collected by questionaires from 254 respondents. It was conducted in 2004. The sampling
method used was stratified random sampling. Respondents were high school students in Surabaya who
ever had headache, taking medicine by they own decision, and getting information by the drug
advertising on television. The Dependent variable of this study is the perception of respondents to the
drug advertising on television and the Independent variable is self medication behavior. These two
variables were correlated with Product Moment coefficients.
This study found that drug advertising on television had influences the self medication behavior
among teenagers while description of proper self medication as follows: a) 57,9% of respondents
practiced proper self medication. b) the indicator of self medication behavior that influenced by
advertising was the compliance of respondents to follow the direction of used of the drugs.

Keywords: Self Medication, Perceptions, Drug Advertising

PENDAHULUAN tersebut harus obyektif, lengkap, dan tidak menyesatkan


Kesehatan didefinisikan sebagai keadaan sejahtera (Pedoman Periklanan Obat Bebas, 1994). Informasi mengenai
dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap obat dapat diperoleh dari berbagai sumber baik dari anggota
orang hidup produktif baik secara sosial dan ekonomi masyarakat maupun dari media massa seperti televisi, radio,
(UU No 23 tahun 1992 tentang kesehatan). Sedangkan koran, majalah, dan sebagainya.
yang dimaksud sehat menurut WHO adalah sehat baik Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
secara fisik, mental, maupun sosial ekonomi (Aulton, Puslitbang Farmasi pada tahun 1992 sumber informasi
1996). Dalam upaya pemeliharaan kesehatan, yang banyak digunakan masyarakat dalam swamedikasi
pengobatan sendiri merupakan upaya pertama dan yang adalah iklan terutama iklan obat di televisi yaitu sebesar
terbanyak dilakukan masyarakat untuk mengatasi 24-36% (Sukasediati, 2000). Televisi juga memberi
keluhan kesehatannya sehingga peranannya tidak dapat rekomondasi bagi remaja dalam pemilihan dan penggunaan
diabaikan begitu saja (Suryawati, 1997). Pengobatan obat. Iklan televisi merupakan sumber utama (55%)
sendiri dilakukan masyarakat untuk mengatasi infomasi mengenai obat. Sedangkan 40% mendapat
gangguan kesehatan ringan misalnya sakit kepala, informasi mengenai obat dari teman atau anggota keluarga
diare, batuk, dan sebagainya. dan 5% lewat iklan radio, poster/spanduk.
Beberapa faktor yang berperan pada perilaku Dalam post-audit tahun 2001, diketahui bahwa iklan
pengobatan sendiri antara lain adalah persepsi tentang yang tidak memenuhi syarat adalah 36,7% dari 548
sakit, ketersediaan obat yang dijual bebas, serta iklan obat yang diperiksa, 64,3% dari 490 iklan obat
ketersediaan informasi yang benar mengenai tradisional, 54,% dari 105 iklan suplemen makanan.
penggunaan obat tersebut (Sukasediati, 2000). Persepsi Alasan iklan tersebut dikatakan tidak memenuhi syarat
seseorang tentang sakit sangat menentukan kapan dan antara lain karena tidak sesuai dengan rancangan yang
bagaimana seseorang tersebut mengambil tindakan disetujui, belum mendapatkan ijin, tidak mencantumkan
pengobatan sendiri. Ketersediaan obat yang dijual spot peringatan, dan memanfaatkan tenaga kesehatan
bebas memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan dalam mempengaruhi masyarakat (Budhianto, 2002).
dan menggunakan obat tersebut dengan mudah. Banyaknya iklan obat di televisi yang tidak sesuai
Sedangkan ketersediaan informasi mengenai obat dapat dengan etika periklanan obat dikhawatirkan akan dapat
menentukan pemilihan dan penggunaan obat tersebut. menyebabkan interpretasi yang salah pada masyarakat
Salah satu tanggung jawab apoteker dalam tentang penggunaan obat dalam tindakan pengobatan sendiri.
pengobatan sendiri adalah memberikan jaminan kepada Salah satu jenis obat bebas yang banyak beredar di
masyarakat bahwa obat yang digunakan tersebut aman, masyarakat dan banyak diiklankan adalah Analgesik,
efektif, dan terjangkau agar pengobatan sendiri yang yaitu obat untuk meredakan atau menghilangkan rasa
dilakukan masyarakat dapat memberikan hasil sesuai yang sakit. Biasanya obat ini digunakan untuk mengatasi
diharapkan. Pengobatan sendiri yang berkualitas dapat dilihat keluhan sakit kepala, sakit gigi, nyeri pada tulang,
dari indikator rasionalitas terapi yaitu tepat obat, tepat maupun nyeri pada saat haid. Secara umum, toleransi
penderita, tepat dosis, tepat waktu pemberian, dan waspada masyarakat terhadap rasa sakit relatif rendah dan
efek samping (Ganiswara,1995). pengobatan sendiri untuk gejala nyeri relatif tinggi.
Untuk melakukan pengobatan sendiri yang berkualitas, Sakit kepala adalah keluhan yang hampir pernah
masyarakat membutuhkan informasi yang benar. Informasi dirasakan oleh semua orang sehingga sakit kepala
Hubungan Persepsi Terhadap Iklan Di Televisi Majalah Farmasi Airlangga Vol.6 No.1, April 2008 11

merupakan sebab terbanyak orang membeli obat pereda Perhitungan besar sampel (sample size) yang akan
rasa sakit yang dijual bebas (Septadina, 2003). Sakit diambil dihitung berdasarkan rumus proporsi Issac &
kepala dapat terjadi karena berbagai macam sebab dan Michael sebagai berikut ( Zainuddin, 1999):
pemicu. Oleh karena itu mengetahui penyebab sakit n= N . Z2. p . q
kepala adalah langkah penting untuk menentukan d . (N-1) + Z2 p. q
2

tindakan yang akan diambil untuk mengatasi keluhan Keterangan:


tersebut. n = jumlah sample yang diambil
Pada penelitian ini yang akan diamati adalah p = esimator proporsi populasi
pemilihan dan penggunaan analgesik untuk mengatasi q = 1-p
keluhan sakit kepala pada remaja di Surabaya. Remaja Z2 = harga kurva normal tergantung dari harga
yang akan diamati adalah pelajar kelas SMU negeri di N = jumlah unit populasi
Surabaya. Secara umum dapat diasumsikan bahwa d = deviasi/nilai varians populasi
pelajar SMU adalah remaja yang mudah dipengaruhi Apabila diketahui bahwa jumlah SMU negeri di
oleh iklan karena karakter dasarnya yang selau ingin Surabaya dalah 22 sekolah, maka pada derajat
mencoba seseuatu yang baru dan menarik. Disamping kepercayaan 95% dan deviasi 0,1 maka didapatkan
itu pelajar SMU dapat dikategorikan dalam tingkat bahwa jumlah sekolah yang akan disurvey adalah
remaja lanjut (usia 17-18 tahun) yang memiliki sebanyak 8 sekolah yang masing - masing wilayah di
kecenderungan untuk mulai mengambil keputusan Surabaya diwakili oleh beberapa sekolah sesuai dengan
sendiri (Gunarsa, 2000). Hal ini diharapkan dapat proporsinya. Dari tabel jumlah sampel untuk penelitian
memperkecil variabilitas yang terjadi sehingga survey didapakan bahwa jumlah responden yang harus
kesimpulan yang diambil dapat lebih dapat dipercaya. diambil pada derajat kepercayaan diatas dengan jumlah
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan populasi 1000 sampai 5000 orang adalah 250
persepsi terhadap iklan di televisi dengan perilaku responden. Untuk mendapatkan besar sampel yang
swamedikasi dan mempelajari cara pemilihan dan memadai dan tetap memenuhi jumlah yang diinginkan
penggunaan obat sakit kepala pada pelajar SMU Negeri di setelah proses ekslusi data maka sebelumnya dilakukan
Surabaya akibat pengaruh iklan obat di Televisi sebagai survey pendahuluan. Variabel penelitian antara lain:
gambaran kualitas swamedikasi yang mereka lakukan.
(A)Variabel persepsi terhadap iklan (Variabel bebas)
BAHAN DAN METODE Untuk menunjukkan persepsi remaja? terhadap iklan,
Penelitian dilakukan di tahun 2004. Pada penelitian digunakan kuisioner yang dikembangkan dari indikator-
ini yang dijadikan sebagai populasi adalah siswa-siswa indikator sebagai berikut. (a) Penilaian terhadap iklan
SMU negeri di Surabaya. Alasan pemilihan populasi obat. (i) Iklan merupakan informasi yang menarik. (ii)
tersebut karena siswa SMU Negeri di Surabaya dapat Iklan dapat mempengaruhi keputusan pemilihan obat.
diasumsikan berasal dari berbagai kelas ekonomi dan (iii) Informasi dalam iklan obat belum lengkap. (b)
wilayah sehingga diharapkan sampel yang diambil dapat Kepercayaan terhadap informasi yang disajikan dalam
lebih representatif. Usia sekitar 16-17 tahun sehingga iklan. (i) Mempercayai keunggulan obat seperti yang
diharapkan dapat memperkecil variabilitas yang dikatakan dalam iklan. (ii) Menganggap semua
mungkin terjadi akibat perbedaan usia. Selain itu pelajar informasi yang disampaikan tentang obat tersebut benar.
SMU berada pada usia yang dapat dikatagorikan pada (c) Penilaian terhadap obat yang diiklankan. (i) Obat
usia remaja lanjut yang mempunyai karakter mulai sakit kepala dapat menunjukkan efek segera setelah
mempunyai keinginan untuk membuat keputusan diminum. (ii) Obat sakit kepala tersebut berbeda dengan
sendiri dan mencoba sesuatu yang baru dan menarik. yang lain. (iii) Obat sakit kepala tersebut adalah satu-
Cara pengujian validitas yang dilakukan dalam satunya obat yang dapat menyembuhkan tiap keluhan
penelitian ini adalah pengukuran validitas konstrak. sakit kepala.
Reliabilitas kuesioner dalam penelitian ini diuji dengan Variabel ini diukur berdasarkan jumlah skor yang
metode tehnik belah dua. Analisa data dengan statistik diperoleh individu dalam memberikan respon. Semakin
deskriptif dan uji korelasi. Metode statistik yang rendah skor total yang diperoleh responden, semakin
digunakan untuk menguji korelasi antara dua variable positif persepsinya terhadap iklan. Demikian juga
adalah teknik korelasi Product Moment. sebaliknya, semakin tinggi jumlah skor total yang
Penelitian ini menggunakan teknik penarikan sampel diperoleh individu maka semakin negatif persepsinya
acak kelompok bertahap ( Multi stage cluster sampling) terhadap iklan. Skor akhir tiap responden tersebut
(Gasperz, 1991). Pada penelitian ini siswa SMU Negeri kemudian diinterpretasikan dalam bentuk kategori sikap
di Surabaya yang merupakan populasi dibagi yang berjenjang sebagaimana dalam skala Likert.
berdasarkan sekolah. Tiap sekolah adalah satuan Kategori sikap yang digunakan pada variabel ini
kelompok yang dianggap mempunyai karakteristik yang menggunakan 4 jenjang yaitu: Sangat Baik, Baik, Tidak
hampir sama. Mula-mula dilakukan sampling terhadap Baik dan Sangat Tidak Baik. Rumusan kategori sikap
sekolah negeri yang ada di Surabaya, selanjutnya dari yang berjenjang tersebut ditentukan dengan formula
tiap sekolah yang terpilih tersebut diambil sejumlah skala linier numerik.
pelajar sebagai sampel secara acak sederhana untuk (B).Variabel Perilaku swamedikasi (variabel
dijadikan responden. tergantung).
12 Majalah Farmasi Airlangga Vol.6 No.1, April 2008 Dianawati O., et.al.

Untuk mengetahui perilaku swamedikasi untuk HASIL DAN PEMBAHASAN


mengatasi keluhan sakit kepala dengan analgesik pada Tabel 1. Jumlah responden tiap wilayah di
remaja digunakan indikator-indikator sebagai berikut. Surabaya tahun 2004
(a) Mengenali keluhan yang dialami. (b) Mengetahui No Wilayah Nama Jumlah
tindakan yang tepat untuk mengatasi keluhan tersebut. SMU Responden
(c) Memilih obat yang sesuai untuk mengatasi keluhan Jumlah %
tersebut. (d) Mendapatkan informasi yang benar tentang 1 Surabaya Pusat SMUN A 30 11,8%
obat yang akan digunakan. (e) Mengikuti aturan SMUN B 32 12,8%
penggunaan obat tersebut. (f) Mengetahui adanya SMUN C 33 13%
keterbatasan dalam swamedikasi. SMUN D 35 13,8%
Variabel ini diukur dengan menggunakan kuisioner 2 Surabaya Timur SMUN E 32 12,8%
yang berdasarkan jumlah skor jawaban yang diperoleh 3 Surabaya Barat SMUN F 31 12,2%
individu atas respon yang diberikan. Semakin tinggi 4 Surabaya Utara SMUN G 29 11,4%
skor yang diperoleh individu maka menunjukkan 5 Surabaya Slatan SMUN H 31 12,2%
semakin baik kualitas swamedikasi yang dilakukan, Total 254 100%
demikian juga sebaliknya.
Skor akhir tiap responden tersebut kemudian Uji validitas yang dilakukan dalam penelitian ini
diinterpretasikan dalam bentuk kategori sikap yang menggunakan metode validitas konstrak dengan rumus
berjenjang sebagaimana dalam skala Likert. Kategori korelasi Product Moment. Koefisien korelasi antara
sikap yang digunakanuntuk variabel ini menggunakan 4 soal tiap nomor dengan skor total menunjukkan hasil
jenjang yaitu: Sangat Benar, Benar, Tidak Benar dan yang signifikan.
Sangat Tidak Benar. Rumusan kategori sikap yang Uji reliabilitas yang dilakukan dalam penelitian ini
berjenjang tersebut ditentukan dengan formula skala adalah menggunakan pendekatan uji konsistensi internal
linier numerik. dengan sekali tes (Single Trial Administration). Metode
Kedua variabel diatas kemudian dikorelasikan untuk yang digunakan adalah metode koefisien alpha () dan
mengetahui tingkat hubungan antara persepsi remaja tehnik belah dua. Dengan menganalisis 20 item yang
terhadap iklan dengan perilaku swamedikasi yang terdapat pada hasil skoring angket melalui instrumen
mereka lakukan untuk mengatasi keluhan sakit kepala. program statistik, maka dihasilkan koefisien alpha
Jenis kuesioner yang digunakan untuk mengetahui sebesar 0,7517. Angka ini menunjukkan bahwa
karakteristik responden adalah pilihan ganda. perbedaan (variasi) yang nampak pada skor tes tersebut
Responden diberi pertanyaan yang harus dijawab mampu mencerminkan sekitar 75% dari variasi yang
dengan memilih salah satu jawaban yang disediakan dan terjadi pada skor murni subjek yang bersangkutan.
dianggap paling sesuai. Data yang diperoleh dinyatakan Sehingga hanya terdapat 25% dari variasi skor yang
dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi. nampak disebabkan oleh variasi error dari pengukuran.
Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara persepsi Sedangkan uji reliabilitas dengan tehnik belah dua
iklan dengan perilaku swamedikasi digunakan kuisioner menghasilkan koefisien reliabilitas untuk belahan pertama
berdasarkan skala Likert yaitu responden menyatakan sebesar 0,6952 dan belahan kedua sebesar 0,7030.
pendapatnya mengenai pernyataan-pernyataan yang Dari nilai koefisien reliabilitas dan validitas yang
diberikan dengan 4 kategori yang disediakan yaitu dihasilkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa alat
sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini cukup
setuju. Modifikasi skala Likert menjadi hanya 4 reliabel dan valid.
kategori bertujuan untuk menghindari adanya Dalam melakukan uji korelasi antar indikator yang
kecenderungan responden menjawab nilai tengah yaitu datanya bersifat ordinal, instrumen yang digunakan adalah
netral, ragu-ragu, atau tidak berpendapat. Pernyataan- uji korelasi bivariant Product Moment atau Spearman.
pernyataan yang digunakan dalam item kuesioner ini Derajat interpretasi pengukuran menggunakan hipotesa
adalah penyataan favorable dan unfavorable sebagai berikut:
(Singarimbun, 1995). Pada pernyataan favorable Ho:Tidak terdapat hubungan (korelasi) antara dua
jawaban sangat setuju mendapat nilai 4, setuju indikator yang diuji
mendapat nilai 3, tidak setuju mendapat nilai 2, dan H1:Terdapat hubungan (korelasi) antara dua indikator
sangat tidak setuju mendapat nilai 1. Pada pernyataan yang diuji
unfavorable berlaku nilai yang sebaliknya. Kekuatan korelasi (r) 0.000.199 sangat lemah, kuat, dan
0.801.000 sangat kuat. Sedangkan nilai p<0.05
menunjukkan korelasi yang bermakna antara dua variabel
yang diuji. p<0.05 menunjukkan tidak terdapat korelasi yang
bermakna antara dua variabel yang diuji. Nilai r positif
menunjukkan korelasi searah, nilai r negatif menunjukkan
korelasi berlawanan arah (Dahlan, 2008)
Korelasi antara persepsi dengan perilaku swamedikasi
Korelasi antara persepsi responden terhadap iklan obat
di televisi dengan perilaku swamedikasi diukur dengan
koefisien korelasi Pearson (tabel 2).
Hubungan Persepsi Terhadap Iklan Di Televisi Majalah Farmasi Airlangga Vol.6 No.1, April 2008 13

Tabel 2. Korelasi antara persepsi pelajar SMU negeri di Apabila ketepatan pemilihan obat ini dikorelasikan dengan
Surabaya terhadap iklan dan perilaku swamedikasi persepsi responden terhadap iklan obat di televisi maka akan
Persepsi Sangat tidak baik 8 (3.1 %) menghasilkan nilai hubungan yang searah dan signifikan.
responden Tidak baik 185 (72.8 %) Tabel tersebut menunjukkan bahwa persepsi responden
terhadap iklan Baik 61 (24 .0%) terhadap iklan obat di televisi memberikan pengaruh yang
Perilaku Sangat tidak 5 (2.0 %) lemah terhadap perilaku pemilihan obat yang tepat.
swamedikasi benar Korelasi antara persepsi dengan perilaku mengetahui
Tidak benar 102 (40.2 %) adanya efek samping obat
Benar 126 (49.5 %)
Sangat benar 24 (8.3 %) Tabel 5. Korelasi antara persepsi pelajar SMU negeri di
Korelasi Pearson, p=0.000, r=0, 439 Surabaya terhadap iklan dan perilaku mengetahui
adanya efek samping obat
Berdasarkan tabel 2 maka korelasi antara persepsi
responden terhadap iklan obat sakit kepala adalah 0,439. Persepsi Sangat tidak 8 (3.1%)
Nilai tersebut menunjukkan adanya hubungan yang searah responden baik
antara variabel persepsi dan perilaku swamedikasi. terhadap iklan Tidak baik 185 (72.8 %)
Korelasi antara persepsi dengan perilaku mengetahui Baik 61 (24 .0%)
ketepatan waktu penggunaan obat sakit kepala Perilaku Tahu 82 (32.3 %)
Korelasi antara persepsi responden terhadap iklan obat di mengetahui
televise dengan ketepatan waktu penggunaan obat sakit adanya efek Tidak Tahu 172 (67.7 %)
kepala diukur dengan koefisien korelasi Pearson (tabel 3). samping obat
Korelasi Pearson, p=0.000, r=0, 171
Tabel 3. Korelasi antara persepsi pelajar SMU negeri di
Surabaya terhadap iklan dan perilaku mengetahui Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa korelasi
ketepatan waktu penggunaan obat sakit kepala antara persepsi dengan kewaspadaan terhadap efek
Persepsi Sangat tidak baik 8 (3.1 %) samping adalah sebesar 0,171 sehingga dapat
responden Tidak baik 185 (72.8 %) diinterpretasikan bahwa ada hubungan yang searah
terhadap iklan Baik 61 (24 .0%) meskipun signifikansinya rendah.
Perilaku Korelasi antara persepsi dengan perilaku mengetahui
mengatahui Tidak Benar 121 (47.6 %) sumber informasi
ketepatan waktu
penggunaan obat Tabel 6. Korelasi antara persepsi pelajar SMU negeri di
sakit kepala Surabaya terhadap iklan dan perilaku mengetahui
Benar 133 (52.4%) sumber informasi
Korelasi Pearson, p=0.000, r=0, 345 Persepsi Sangat tidak 8 (3.1%)
Obat yang biasa digunakan responden adalah obat responden baik
sakit kepala 78% (198) dan obat flu 22%. Berdasar tabel terhadap iklan Tidak baik 185 (72.8 %)
3 dapat diketahui bahwa korelasi antara persepsi dengan Baik 61 (24 .0%)
ketepatan waktu penggunaan obat sakit kepala adalah Perilaku Sangat Tidak 1 (0.4 %)
sebesar 0.345 sehingga dapat diinterpretasikan bahwa mengetahui Benar
ada hubungan yang searah antara variabel persepsi sumber Tidak Benar 67 (26.4 %)
dengan ketepatan waktu penggunaan obat sakit kepala. informasi Benar 139 (54.7 %)
Korelasi antara persepsi dengan perilaku mengetahui Sangat Benar 47 (18.5 %)
ketepatan pemilihan obat yang digunakan Korelasi Pearson, p=0.000, r=0, 254

Tabel 4. Korelasi antara persepsi pelajar SMU negeri di Pada tabel 6 ditunjukkan bahwa korelasi antara persepsi
Surabaya terhadap iklan dan perilaku mengetahui dengan ketepatan sumber informasi adalah sebesar 0,245
ketepatan pemilihan obat yang digunakan sehingga dapat diinterpretasikan bahwa ada hubungan yang
searah meskipun signifikansinya rendah.
Persepsi Sangat tidak 8 (3.1%) Korelasi antara persepsi dengan perilaku mengetahui
responden baik ketepatan dosis obat
terhadap iklan Tidak baik 185 (72.8 %) Tabel 7. Korelasi antara persepsi pelajar SMU negeri di
Baik 61 (24 .0%) Surabaya terhadap iklan dan perilaku mengetahui
Perilaku Sangat tidak 5 (2.0 %) ketepatan dosis obat
mengetahui benar Persepsi Sangat tidak 8 (3.1%)
ketepatan Tidak benar 102 (40.2 %) responden baik
pemilihan obat Benar 126 (49.5 %) terhadap iklan Tidak baik 185 (72.8 %)
yang digunakan Sangat benar 24 (8.3 %) Baik 61 (24 .0%)
Korelasi Pearson, p=0.000, r=0, 219 Perilaku Tidak Benar 128 (50.4 %)
14 Majalah Farmasi Airlangga Vol.6 No.1, April 2008 Dianawati O., et.al.

mengetahui cenderung menggunakan obat sakit kepala dengan dosis


ketepatan dosis Benar 126 (49.6 %) maupun frekuensi yang tidak tepat.
obat Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
Korelasi Pearson, p=0.000, r=0,358 korelasi sedang antara persepsi responden terhadap
iklan obat di televisi dengan perilaku swamedikasinya.
Berdasarkan tabel di atas korelasi antara persepsi Jika dilihat dari angka koefisien korelasi antar indikator,
dengan ketepatan dosis adalah sebesar 0,358 sehingga maka dapat diinterpretasikan bahwa seluruh korelasi
dapat diinterpretasikan bahwa ada hubungan yang antar sikap menunjukkan hubungan yang bersifat positif
searah antara kedua variabel tersebut. (searah). Artinya, jika persepsi terhadap iklan obat di
Korelasi antara persepsi dengan perilaku mengetahui televisi semakin membaik, maka perilaku swamedikasi
pemakaian obat sakit kepala. yang dilakukan akan menunjukkan indikasi
penyimpangan yang makin besar pula.
Tabel 8. Korelasi antara persepsi pelajar SMU negeri di Sedangkan jika dilihat dari nilai signifikansinya,
Surabaya terhadap iklan dan perilaku mengetahui maka dapat diinterpretasikan bahwa seluruh bentuk
pemakaian obat sakit kepala korelasi antar indikator tersebut menunjukkan adanya
Persepsi Sangat tidak baik 8 (3.1%) hubungan yang signifikan. Namun, jika dilihat dari nilai
responden Tidak baik 185 (72.8 %) koefisien korelasinya menunjukkan kekuatan hubungan
terhadap iklan Baik 61 (24 .0%) antar sikap tersebut sangat bervariasi.
Perilaku Tidak Benar 144 (56.7 %) Hal ini menunujukkan bahwa iklan obat di televisi
mengetahui ternyata cukup dapat memberikan pengaruh pada
pemakaian obat Benar 110 (43.3 %) perilaku swamedikasi seseorang. Menurut Donald K.
sakit kepala Robert (Rahmat, 2000) Pengaruh yang ditimbulkan oleh
Korelasi Pearson, p=0.000, r=0,290 iklan tersebut tidak hanya berkaitan dengan pesan yang
disampaikan tetapi juga menyangkut medianya. Lebih
Berdasarkan tabel 8 di atas korelasi antara persepsi lanjut dikatakan bahwa efek media massa dapat dilihat
dengan ketepatan frekuensi pemakaian obat adalah baik secara kogntif maupun afektif.
sebesar 0,290 sehingga dapat diinterpretasikan bahwa ada Efek kognitif iklan adalah kemampuan iklan untuk
hubungan yang searah antara kedua variable tersebut. membuat masyarakat mendapatkan informasi yang
Korelasi antara persepsi dengan perilaku mengetahui bermanfaat untuk kemudian dapat mengembangkan
adanya keterbatasan swamedikasi ketrampilan kognitifnya. Media massa mempengaruhi
persepsi masyarakat tentang informasi apa yang
Tabel 9. Korelasi antara persepsi pelajar SMU negeri di dianggap penting sehingga media membntuk citra atau
Surabaya terhadap iklan dan perilaku mengetahui gambaran tentang realitas tertentu sebagaimana yang
adanya keterbatasan swamedikasi ditampilkan dalam media tersebut (Rahmat, 2000).
Demikian halnya dengan penyampaian informasi obat
Persepsi Sangat tidak 8 (3.1%)
melalui periklanan, informasi yang ada pada iklan
responden baik
mengenai obat tersebut akan ditangkap sebagai
terhadap iklan Tidak baik 185 (72.8 %)
pengetahuan yang kemudian menjadi salah satu bagian
Baik 61 (24 .0%)
dalam rangkaian organisasi kognitif seseorang. Apabila
Perilaku Sangat Tidak informasi yang disampaikan bernilai benar maka akan
mengetahui Benar 8 (3.1 %) menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya
adanya Tidak Benar 82 (32.3 %) perilaku yang benar.
keterbatasan
Benar 99 (39.0 %) Hal ini tampak pada nilai korelasi antara persepsi
swamedikasi responden terhadap informasi yang ada pada iklan obat
Korelasi Pearson, p=0.000, r=0, 249 di televisi ternyata memberikan pengaruh yang cukup
signifikan terhadap perilaku pengobatan sendiri untuk
Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui bahwa korelasi mengatasi keluhan sakit kepala. Pengaruh tersebut
antara persepsi dengan pengetahuan akan keterbatasan terjadi karena pada masyarakat modern orang
swamedikasi adalah sebesar 0,249 sehingga dapat memperoleh banyak informasi mengenai obat dari
diinterpretasikan bahwa ada hubungan yang searah media massa. Tetapi pada saat yang sama masyarakat
walaupun signifikansinya tidak terlalu tinggi. mengalami kesulitan untuk mengecek kebenaran
Secara umum gambaran kualitas swamedikasi pelajar informasi tersebut. Kepercayaan responden terhadap
SMU di Surabaya adalah responden mempunyai informasi yang disampaikan dalam iklan obat sakit
pengetahuan yang rendah akan efek samping obat yang kepala akan disimpan sebagai pengetahuan dalam
digunakan sehingga kewaspadaan terhadap efek tanggapan kognitifnya terhadap iklan obat sakit kepala.
samping obat adalah hal yang penting dalam Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh
penyampaian informasi mengenai obat kepada Sukasediati (2000) mengenai faktor-faktor yang
masyarakat dan indikator kualitas swamedikasi yang mempengaruhi swamedikasi, salah satu faktor penentu
paling besar korelasinya adalah indikator ketepatan kualitas swamedikasi pada masyarakat adalah
dosis obat yang digunakan. Responden yang ketersediaan sumber informasi. Apabila sumber
mempunyai kepercayaan tinggi terhadap iklan informasi tersebut dapat memberikan pengetahuan yang
Hubungan Persepsi Terhadap Iklan Di Televisi Majalah Farmasi Airlangga Vol.6 No.1, April 2008 15

benar maka swamedikasi yang dilakukan oleh masyarakat kerjasama yang integral antara tenaga kesehatan,
diharapkan akan mengalami peningkatan kualitas sehingga pemerintah, maupun seluruh elemen masyarakat.
mencapai hasil pengobatan seperti yang diinginkan. Untuk meningkatkan kualitas pengobatan sendiri, di
Efek afektif iklan adalah kemampuan iklan untuk samping upaya-upaya untuk meningkatkan pengetahuan
membentuk dan merubah sikap seseorang. Semua sikap dan keterampilan masyarakat dalam memilih obat dan
bersumber pada organisasi kognitif, yaitu pada menganalisis secara kritis informasi obat, juga
informasi dan pengetahuan yang dimiliki seseorang. diperlukan upaya-upaya untuk mengendalikan informasi
Secara singkat sikap ditentukan oleh sumber-sumber yang bersifat komersil. Tujuannya agar informasi yang
informasi yang salah satunya adalah media massa, disediakan benar, dapat dipertanggung-jawabkan secara
media massa tersebut tidak mengubah sikap secara ilmiah, tidak menyembunyikan risiko pengobatan, tidak
langsung. Media massa mengubah dulu citra dan citra menyesatkan atau mengarahkan masyarakat kepada
mendasari sikap. Komunikasi yang disampaikan dalam persepsi tertentu sehingga dapat mengakibatkan
periklanan mungkin tidak secara langsung menimbulkan penggunaan obat yang tidak tepat.
perilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara Produk obat yang diiklankan ini dalam praktiknya
seseorang mengorganisasikan citranya tentang sepenuhnya harus dikendalikan dan diawasi, agar tidak
lingkungan, dan citra inilah yang mempengaruhi cara menyimpang dari kaidah yang telah ditentukan.
berperilaku (Rahmat, 2000). Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan bersama
Sikap selalu diarahkan pada objek, kelompok, Menkes dan Menpen Nomor 252/Men. Kes/SKB/VI
ataupun orang tertentu. Apabila masyrakat mengetahui I/1980 dan nomor 122/Kep/Men. Pen/1980 tentang
bahwa penggunaan obat bebas untuk mengatasi keluhan pengendalian dan pengawasan iklan obat, makanan
ringan sekalipun mempunyai rambu-rambu yang harus minuman, kosmetika dan alat kesehatan.
ditaati maka masyarakat akan mempunyai sikap yang Pelaksanaannya dilakukan di bawah persetujuan pihak
positif terhadap sumber informasi. Pada tahun 1960, Depkes, mulai dari pemberian nomor pendaftaran
Joseph Klapper melaporkan hasil penelitiannya sampai dapat atau layakkah iklan produk obat tersebut
mengenai efek komprehensif media massa yang salah dimuat di media periklanan. Dengan prosedur demikian,
satu kesimpulannya adalah komunikasi massa terbukti pemerintah berharap dapat melindungi masyarakat
cukup efektif dalam mengubah sikap pada bidang- terhadap pemakaian obat yang tidak tepat dan atau
bidang dimana pendapat orang lemah, misalnya pada merugikan kesehatan.
iklan komersial (Rahmat, 2000). Sebelum Undang-Undang periklanan berjalan secara
Filosofi Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) optimal sebagai akibat belum terbangunnya kesadaran
menurut International Pharmaceutical Federation dan profesionalitas oknum, baik itu pelaku maupun
adalah tanggung jawab profesi dengan tujuan untuk pembuat kebijakan, amat diperlukan adanya
mencapai keluaran yang dapat meningkatkan atau peningkatan kerja sama dengan pihak-pihak yang
menjaga kualitas hidup pasien. Dengan demikian peran berkompeten dalam mengawasi mekanisme pasar
profesi kefarmasian telah mengalami perubahan yang tentang peredaran obat sampai ke tangan masyarakat
cukup besar dengan berkembangnya ruang lingkup serta menyaring informasi yang diberikan agar tidak
asuhan kefarmasian. menyesatkan. Ini semua bertujuan agar nantinya
Dengan melihat aspek kebutuhan informasi untuk masyarakat terlindungi dari hal-hal yang merugikan dan
meningkatkan kualitas pengobatan sendiri, maka menjadikan masyarakat lebih dewasa dalam menilai
diperlukan suatu upaya untuk membekali masyarakat baik tidaknya suatu informasi.
agar mempunyai ketrampilan mencari informasi secara Kesimpulan. Persepsi terhadap iklan obat di televisi
cepat dan benar serta idak hanya mengandalkan iklan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku
sebagai satu-satunya sumber informasi Pendidikan obat swamedikasi remaja di Surabaya. Informasi yang ada
kepada masyarakat bertujuan antara lain agar: pada iklan obat mampu menimbulkan kepercayaan pada
(1)Masyarakat mengerti bahwa informasi obat secara masyarakat sehingga pengetahuan hasil persepsi
cepat dapat diperoleh dari kemasan/ Package Insertnya. tersebut akan mempengaruhi perilakunya dalam
(2)Masyarakat mampu mengenali bahwa berbagai nama menggunakan obat sakit kepala.
dagang obat sebenarnya mempunyai kandungan bahan
aktif yang sama atau hampir sama. Lebih jauh agar DAFTAR PUSTAKA
masyarakat mampu membedakan kandungan aktif dan Aulton M.E, Collet D.M. (1990) Pharmaceutical
merek obat. (3) Masyarakat mengetahui cara pemakaian Practice. Edinburg: London, Melbourne & New
obat dengan benar, mewaspadai efek samping maupun York..
kontra indikasi, serta mengetahui keterbatasan Budhianto T.G. (2002) Banyak iklan Produk Kesehatan
swamedikasi. (4) Masyarakat mampu menelaah secara Bermasalah. Kompas: Jakarta. 14 Juni 2002.
sederhana kualitas informasi obat. Dahlan MS., (2008). Statistik untuk kedokteran dan
Filosofi Pharmaceutical Care membawa konsekuensi kesehatan. Salemba Medika
bahwa asuhan kefarmasian merupakan proses Departemen Kesehatan RI. (1994) Keputusan Mentri
kolaboratif yang bertujuan untuk mengidentifikasi, Kesehatan RI tentang Pedoman Periklanan obat
mencegah, dan menyelesaikan masalah obat dan Bebas. Nomor 386/Men.Kes/SK/IV/1994. Direktorat
masalah yang terkait dengan kesehatan. Peningkatan Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.
kualitas swamedikasi hanya dapat dilakukan dengan adanya Ganiswara (ed). (1995). Farmakologi dan Terapi. Edisi
16 Majalah Farmasi Airlangga Vol.6 No.1, April 2008 Dianawati O., et.al.

IV. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Septadina, I.S, (2003). Penggunaan Analgesik Untuk
Gasperz, V. (1991). Tehnik Penarikan Sampel Untuk Mengatasi Sakit Kepala Pada Masyarakat
Penelitian Survey. Edisi pertama . Tarsito: Bandung. Perkotaan. Universitas Sriwijaya.
Gunarsa, S.D. (2000). Psikologi Perkembangan Anak dan Singarimbun M, dan Efendi S. (1987). Metode Penelitian
Remaja. Edisi X. PT BPK Gunung Mulia: Jakarta. Survey. LP3ES: Jakarta. Edisi kedua.
Jalaluddin, R., Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. PT Sukasediati N, (2000).Peningkatan Mutu Pengobatan
Remaja Rosdakarya: Bandung. Sendiri Menuju Kesehatan untuk Semua. Puslitbang
Farmasi, BadanLitbangkes Depkes.
Suryawati S, (1997). Menuju Swamedikasi yang
Rasional. Pusat Studi farmakologi klinik dan
kebijakan obat Universitas gadjah Mada:
Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indoesia Nomor 23 Tahun
1992 Tentang Kesehatan
Zainuddin M., (1999). Metodologi Penelitian. Airlangga
University Press: Surabaya.

You might also like