Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi
disebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya
benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh
jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh.
Organisme atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan
pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi(peradangan), yang menarik kedatangan
sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan aliran darah setempat.
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau kapsul, oleh sel-sel sehat di
sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah nanahmenginfeksi struktur lain di sekitarnya. Meskipun
demikian, seringkali proses enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau
penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam nanah.
Abses harus dibedakan dengan empyema. Empyema mengacu pada akumulasi nanah di
dalam kavitas yang telah ada sebelumnya secara normal, sedangkan absesmengacu pada akumulasi nanah di
dalam kavitas yang baru terbentuk melalui proses terjadinya abses tersebut.
Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi lain yang mengikuti abses
dapat merupakan tanda dan gejala dari proses inflamasi, yakni: kemerahan (rubor), panas (calor),
pembengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor), dan hilangnya fungsi. Abses dapat terjadi pada setiap jaringan solid,
tetapi paling sering terjadi pada permukaan kulit, pada paru-paru, otak, gigi, ginjal,
dan tonsil. Komplikasimayor abses adalah penyebaran abses ke jaringan sekitar atau jaringan yang jauh dan
medis secepatnya diindikasikan ketika terdapat kecurigaan akan adanya abses. Suatu abses dapat menimbulkan
konsekuensi yang fatal (meskipun jarang) apabila abses tersebut mendesak struktur yang vital, misalnya abses
leher dalam yang dapat menekan trakhea.
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik. Namun demikian, kondisi
tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah, debridemen, dan kuretase.
Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya, utamanya apabila
disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut harus diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda
asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersamaan dengan pemberian obat analgesik dan
berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap nanah yang lebih lunak. Hal ini dinyatakan dalam
sebuah aforisme Latin: Ubi pus, ibi evacua.
Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis, tindakan pembedahan dapat
ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir yang perlu dilakukan. Drainase abses paru dapat dilakukan
dengan memposisikan penderita sedemikian hingga memungkinkan isi abses keluar melalui saluran pernapasan.
Memberikan kompres hangat dan meninggikan posisi anggota gerak dapat dilakukan untuk membantu
penanganan abses kulit.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus, antibiotik antistafilokokus seperti
flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan. Dengan adanya kemunculan Staphylococcus aureus resisten
Methicillin (MRSA) yang didapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk
menangani MRSA yang didapat melalui komunitas, digunakan antibiotik lain: clindamycin, trimethoprim-
sulfamethoxazole, dan doxycycline.
Adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa penanganan hanya dengan menggunakan
antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan tindakan yang efektif. Hal tersebut terjadi karena
antibiotik sering tidak mampu masuk ke dalam abses, selain bahwa antibiotik tersebut seringkali tidak dapat
pembedahan, sebagian dokter hanya menangani abses secara konservatif dengan menggunakan antibiotik.
http://id.wikipedia.org/wiki/Abses
Dari data RSUD Dr R Soetrasno Rembang kususnya di ruang Melati jumlah pasien abses mulai bulan
januari sampai bulan july 2010 adalah 11 orang, oleh dasar itulah penulis ingin membahas lebih jauh tentang
penyakit abses.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum :
Dapat melaksanakan asuhan keperawatan pada Tn.T dengan Abses Femur Dextra di ruang melati RSUD
Dr. R Soetrasno Rembang
2. Tujuan kusus :
a. Dapat melaksanakan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Abses Femur Dextra dengan benar.
b. Dapat menganalisa dan merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Abses Femur Dextra dengan
benar.
c. Dapat melaksanakan intervensi keperawatan pada pasien dengan Abses Femur Dextra dengan benar.
d. Dapat melaksanakan implementasi pada pasien dengan Abses Femur Dextra dengan benar.
e. Dapat melakukan evaluasi pada klien dengan Abses Femur Dextra dengan benar.
f. Membahas kesenjangan yang ada dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan Abses Femur
dengan benar.
C. Sistematika penulisan
Untuk mempermudah pemahaman karya tulis ini penulis membagi sistematika penulisan dalam 5 BAB yaitu
BAB 1 pendahuluan terdiri dari tentang latar belakang, tujuan penulisan dan sistematikapenulisan. BAB II konsep
dasar teori meliputi pengertian, etiologi, pathofisiologi, manifestasi klinis, pathway, focus pengkajin, diagnosa
keperawatan, fokus intervensi. BAB III resume keperawatan, merupakan uraian kasus pada Tn.T dengan Abses
Femur Dextra mulai dari pengkajian, analisa data, intervensi, implementasi, catatan perkembangan, evaluasi.
BAB IV Pembahasan terdiri dari masalah kesenjangan antara teori dengan kasus nyata dan pembenaran. BAB
V Penutup yang berisi kesimpulan dan saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
KONSEP DASAR
Dalam bab ini penulis akan membahas tentang tinjauan pustaka dari asuhan keperawatan pada Tn.T
dengan abses femur dextra di ruang Melati RSUD Dr R Soetrasno Rembang mulai dari pengertian ,etiologi,
pathofisiologi, manifestasi klinis, pathway, penatalaksanaan, pemeriksaan penunjang sampai dengan proses
keperawatan yang meliputi fokus pengkajian,analisa data, diagnosa keperawatan yang diarahkan pada pathway
Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus (bakteri,jaringan nekrotik
Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati yang terakumulasi disebuah kavitas jaringan
karena adanya proses infeksi). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah
(http://id.wikipedia.org/wiki/abses)
B. Etiologi
Merupakan penyebab paling sering terjadinya abses. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara
multiplikasi. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis kimiawi yang merupakan awal
radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubunganya dengan dinding sel
2. Reaksi hipersensitivitas.
Terjadi bila ada perubahan respon Imunologi yang menyebabkan jaringan rusak.
3. Agen Fisik
Melalui trauma fisik, ultra violet, atau radiasi, terbakar, atau dinding berlebih (frostbite).
selain itu agen infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung menyebabkan
radang
5. Nekrosis jaringan
Aliran darah yang kurang akan menyebabkan hipoksia dan berkurangnya makanan pada dearah yang
bersangkutan.
Menyebabkan kematian jaringan yang merupakan stimulus kuat penyebab infeksi pada daerah tepi infeksi sering
C. Faktor Predisposisi.
3. Anemia.
4. Diabetes
5. Keganasan(kanker)
6. Penyakit lainya
7. Higienis jelek
8. Kegemukan
9. Gangguan kemotatik
(http//Imadeharyoga.com)
D. Patofisiologi
Kuman yang masuk kedalam tubuh akan menyebabkan kerusakanakan jaringan dengan cara
mengeluarkan toksin. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik (sintesis), kimiawi yang secara spesifik
mengawali proses peradangan atau melepaskan endotoksin yang ada hubunganya dengan dinding sel. Reaksi
hipersensitivitas terjadi bila ada perubahan kondisi respon imunologi mengakibatkan perubahan reaksi imun
yang merusak jaringan. Agent fisik dan bahan kimia oksidan dan korosif menyebabkan kerusakan
jaringan,kematian jaringan menstimulus untuk terjadi infeksi. Infeksi merupakan salah penyebab dari
peradangan, kemerahan merupakan tanda awal yang terlihat akibat dilatasi arteriol akan meningkatkan aliran
darah ke mikro sirkulasi kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan bersifat lokal. Peningkatan suhu dapat
terjadi secara sistemik.
Akibat endogen pirogen yang dihasilkan makrofaq mempengaruhi termoregulasi pada suhu lebih tinggi
sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi. Peradangan terjadi perubahan diameter pembuluh
darah mengalir keseluruh kapiler, kemudian aliran darah kembali pelan. Sel-sel darah mendekati dinding
pembuluh darah didaerah zona plasmatik. Leukosit menempel pada epitel sehingga langkah awal terjadi
emigrasi kedalam ruang ekstravaskuler lambatnya aliran darah yang mengikuti Fase hyperemia meningkatkan
permiabilitas vaskuler mengakibatkan keluarya plasma kedalam jaringan, sedang sel darah tertinggal dalam
pembuluh darah akibat tekanan hidrostatik meningkat dan tekanan osmotik menurun sehingga terjadi akumulasi
cairan didalam rongga ekstravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu edema. Regangan dan
distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga abses menyebabkan rasa nyeri. Mediator kimiawi,
termasuk bradikinin, prostaglandin, dan serotonin merusak ujung saraf sehingga menurunkan ambang stimulus
terhadap reseptor mekanosensitif dan termosensitif yang menimbulkan nyeri. Adanya edema akan mengganggu
gerak jaringan sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang menyebabkan terganggunya mobilitas litas.
Inflamasi terus terjadi selama, masih ada pengrusakan jaringan bila penyabab kerusakan bisa diatasi, maka
debris akan difagosit dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi resolusi dan kesembuhan. Reaksi sel fagosit yang
berlebihan menyebabkan debris terkumpul dalam suatu rongga membentuk abses di sel jaringan lain
membentuk flegmon. Trauma yang hebat menimbulkan reaksi tubuh yang berlebihan berupa fagositosis debris
yang diikuti dengan pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak (fase
organisasi), bila fase destruksi jaringan berhenti akan terjadi fase penyembuhan melalui jaringan granulasi
fibrosa. Tapi bila destruksi jaringan berlangsung terus akan terjadi fase inflamasi kronik yang akan sembuh bila
kulit. Sedangkan abses yang diinsisi dapat mengakibatkan resiko penyebaran infeksi.
E. Manifestasi Klinis
Manifstasi Klini
1. Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi lain yang mengikuti abses dapat
merupakan tanda dan gejala dari prose inflamasi, yakni kemrahan (rubor), panas (color), pembengkakan (tumor),
2. Timbul atau teraba benjolan pada tahap awal berupa benjolan kecil, pada stadium lanjut benjolan bertambah
besar, demam, benjolan meningkat, malaise, nyeri, bengkak, berisi nanah (pus).
(http//www.surabayapost.co.id)
3. Gambaran Klinis
a. Nyeri tekan
b. Nyeri lokal
c. Bengkak
d. Kenaikan suhu
e. Leukositosis
1. Kultur ; Mengidentifikasi organisme penyebab abses sensitivitas menentukan obat yang paling efektif.
2. Sel darah putih, Hematokrit mungkin meningkat, Leukopenia, Leukositosis (15.000 - 30.000) mengindikasikan
produksi sel darah putih tak matur dalam jumlah besar.
3. Elektrolit serum, berbagai ketidakseimbangan mungkin terjadi dan menyebabkan acidosis, perpindahan cairan
dan perubahan fungsi ginjal
4. Pemeriksaan pembekuan : Trombositopenia dapat terjadi karena agregasi trombosit, PT/PTT mungkin
memanjang menunjukan koagulopati yang diasosiasikan dengan iskemia hati/sirkulasi toksin/status syok.
5. Laktat serum : Meningkat dalam acidosis metabolic, disfungsi hati, syok.
6. Glukosa serum, hiperglikemi menunjukkan glukogenesis dan glikogenesis di dalam hati sebagai respon dari
puasa/perubahan seluler dalam metabolism.
8. GDA : Alkalosis respiratori hipoksemia,tahap lanjut hipoksemia asidosis respiratorik dan metabolic terjadi karena
10. Sinar X : Film abdominal dan dada bagian bawah yang mengindikasikan udara bebas di dalam abdomen/organ
pelvis.
11. EKG : Dapat menunjukan perubahan segmen ST dan gelombang T,dan disritmia yang menyerupai infak miokard.
(Doenges,2000:873)
G. Penatalaksanan
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik. Namun demikian, kondisi
tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah, debridemen atau kuretase. Suatu abses harus diamati
dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya, utamanya apabila disebabkan oleh benda asing karena benda
asing tersebut harus diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong dan
diambil absesnya, bersama dengan pemberian obat analgetik. Drainase, abses dengan menggunakan
pembedahan biasanya diindikasi apabila abses telah berkembang dari peradangan serasa yang keras menjadi
tahap nanah yang lebih lunak.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri staphylococcus aureus, antibiotik antistafilokokus seperti
flucloxacillin atau didoxacillin sering digunakan. Dengan adanya kemunculan stophylococcus aureus yang dapat
1. Aktifitas I istirahat
Gejala : Malaise
2. Sirkulasi
Tanda : Tekanan darah normal/sedikit dibawah jangkauan normal (selama curah jantung tetap meningkat). Denyut perifer
kuat, cepat (perifer hiperdinamik); lemah/lembut/mudah hilang, takikardi ekstrem (syok). Suara jantung : disritmia
dan perkembangan S3 dapat mengakibatkan disfungsi miokard, efek dari asidosis/ketidakseimbangan elektrolit.
3. Eliminasi
Gejala : Diare
4. Makanan/cairan
Tanda : Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/masa otot (malnutrisi). Penurunan haluaran, konsentrasi urine;
6. Nyeri I/kenyamanan
7. Pemafasan
Tanda : Takipnea dengan penurunan kedalaman pemafasan, penggunaan kortikosteroid, infeksi baru, penyakit viral.
Tanda : Suhu umumnya meningkat (37,95C atau lebih) tetapi mungkin normal pada lansia mengganggu pasien, kadang
sub normal (dibawah 36,5C), menggigil, luka yang sulit/lama sembuh, drainase purulen, lokalisasi eritema, ruam
eritema makuler.
8. Sexualitas
9. Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : Masalah kesehatan kronis/melemahkan misal: DM, kanker, hati, jantung, ginjal, kecanduan alkohol. Riwayat
ngan : Mungkin dibutuhkan bantuan dengan perawatan/alat dan bahan untuk luka, perawatan, perawatan diri, dan tugas-
Prioritas Keperawatan
a. Menghilangkan infeksi.
b. Mendukung perfusi jaringan/volume sirkulasi.
c. Mencegah komplikasi.
H. Pathway
I. Diagnosa Keperawatan
Secara teori pada kasus abses dapat ditarik beberapa diagnose keperawatan antara lain :
1. Resiko tinggi berhubungan dengan prosedur invasif
2. Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan regulasi
temperatur.
3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan reduksi aliran darah arteri dan vena.
4. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan permiabilitas / kebocoran cairan
5. Resiko tinggi terhadap pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah.
6. Kurang pengetahuan mengenai penyakit berhubungan dengan kesalahan interpretasi informasi.
9. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit.
( Doenges,2000:241 )
J. Fokus Intervensi
1. Resiko tinggi infeksi terhadap perkembangan infeksi oportunistik berhubungan dengan prosedur invasif.
an : Menunjukan penyembuhan luka seiring perjalanan waktu.
ria Hasil : Bebas dari sekresi purulen/drainase, atau eritema dan afebris.
Intervensi
a. Berikan isolasi / pantau pengunjung sesuai indikasi.
Rasional : Isolasi luka / linen dan mencuci tangan adalah yang dibutuhkan untuk mengalirkan luka, sementara isolasi /
pembatasan pengunjung dibutuhkan untuk melindungi pasien imunosupresi. Mengurangi resiko kemungkinan
infeksi.
b. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktifitas walaupun menggunakan sarung tangan steril.
Rasional : Mengurangi kontaminasi silang.
d. Lakukan inspeksi terhadap luka / sisi alat invasif setiap hari, berikan perhatian utama terhadap jalur
hiperalimentasi
Rasional : Memberikan gambaran untuk identifikasi awal dari infeksi sekunder.
f. Gunakan sarung tangan / pakaian pada waktu merawat luka yang terbuka/antisipasi dari kontak langsung
Hipotermi adalah tanda-tanda genting yang merefleksikan perkembangan status syok / penurunan perfusi
jaringan.
i. Amati adanya menggigil dan diaphoresis
Rasional : Menggigil seringkali mendahului memuncaknya suhu pada adanya infeksi umum.
j. Memantau tanda-tanda penyimpangan kondisi / kegagalan untuk membaik selama masa terapi.
Rasional : Dapat menunjukan ketidak tepatan terapi antibiotik atau pertumbuhan berlebihan dari organisme resisten.
k. Inspeksi rongga mulut terhadap sariawan. Selidiki laporan rasa gatal / peradangan vaginal / perineal.
Rasional : Depresi sistem imun dan penggunaan antibiotik dapat meningkatkan resiko infeksi skunder; terutama ragi. .
penyembuhan.
regulasi temperatur.
an : Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan.
Rasional : Suhu 38,9C menunjukan proses infeksius akut .Pola demam dapat membantu dalam diagnosis.
b. Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen tempat tidur, sesual indikasi.
Rasional : Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
c. Berikan kompres mandi hangat; hindari penggunaan alcohol.
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.
(Doenges,2000 : 874 )
3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan reduksi aliran darah arteri dan vena.
ria Hasil : Tanda-tanda vital stabil, nadi perifer jelas, kulit hangat dan kering, tingkat kesadaran umum, haluaran urine individu
yang sesuai dan bising usus aktif
Intervensi
b. Pantau kecenderungan pada tekanan darah, mencatat perkembangan hipotensi, dan perubahan pada tekanan
denyut.
Rasional : Hipotensi akan berkembang bersamaan dengan mikroorganisme menyerang aliran darah.
Rasional : Pada awal nadi cepat menunjukan peningkatan curah jantung, nadi lemah menunjukan penurunan curah jantung.
e. Kaji frekuensi pernafasan, kedalaman, dan kualitas. Perhatikan dispnea berat.
Rasional : Peningkatan pernafasan terjadi sebagai respon terhadap efek langsung dari endotoksin pada pusat pemafasan.
f. Selidiki perubahan pada sensorium.
j. Pantau pH gaster sesuai petunjuk. Hematest sekresi gaster / feses darah samar.
Rasional : Stress dari penyakit dan penggunaan steroid meningkatkan resiko erosi / perdarahan mukosa gaster.
k. Evaluasi kaki dan tangan bagian bawah untuk pembengkaan jaringan lokal, eritema, tanda Homan positif
Rasional : Stasis vena dan proses infeksi dapat menyebabkan perkembangan thrombosis.
l. Pantau tanda-tanda perdarahan.
Rasional : Akselerasi pembekuan pada mikrosirkulasi menciptakan situasi perdarahan yang membahayakan jiwa / emboli
multiple
Rasional : Dosis antibiotik massif sering memiliki efek toksik potensial bila perfusi hepar / ginjal terganggu.
n. Berikan cairan parenteral.
q. Berikan suplemen O2
Rasional : Peningkatan suhu meningkatkan metabolisme O2.
4. Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan permiabilitas/kebocoran cairan kedalam
lokasi interstisial.
eria Hasil : Tanda vital dalam batas normal, nadi perifer teraba haluaran urine adekuat.
Intervensi
a. Catat haluaran urine dan berat jenis. Catat keseimbangan masukan dan keluaran komulatif. Dorong masukan
cairan oral sesuai toleransi.
Rasional : Keseimbangan cairan positif lanjut dengan disertai penambahan berat badan dapat mengindikasikan edema ruang
Rasional : Mekanisme kompensasi awal dari takikardia untuk meningkatkan curah jantung dan meningkatkan tekanan darah
sistemik.
Rasional : Kehilangan cairan dari kompartemen vaskuler kedalam ruang interstisiil akan menyebabkan edema.
f. Berikan cairan IV, misal kristaloid (0,5%) sesuai indikasi.
Rasional : Menggantikan kehilangan dengan maningkatkan permiabilitas kapiler dan meningkatkan sumber-sumber tak kasat
mata.
g. Pantau nilai laboratorium.
uan : Pasien menunjukan GDA dan frekuensi pemafasan dalam batas normal
teria Hasil : Bunyi nafas bersih dan sinar x dada jelas / membaik tidak mengalami dispnea / sianosis
Intervensi :
Rasional : Hipoventilasi dan dipsnea merefleksikan mekanisme kompensasi yang tidak efektif dan merupakan indikasi bahwa
diperlukan ventilator.
metabolisme anaerob.
8) Berikan O2 tambahan melalui jalur yang sesuai.
6. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan
bergubungan dengan :
a. Kurangnya pemajanan / mengingat, kesalahan Interpretasi informasi
b. Keterbatasan Kognitif
Ditandai
a Hasil : Ikut serta dalam program pengobatan, memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dengan dapat penunjukkan
prosedur yang diperlukan dan menjelaskan rasional dan tindakan.
b. Tinjau faktor resiko individual dan bentuk penularan tempat masuk infeksi.
Rasional : Menyadari terhadap bagaimana infeksi ditularkan akan memberikan informasi untuk merencanakan/melakukan
tindakan protektif.
c. Berikan informasi mengenai terapi obat - obatan, efek samping dan pentingnya ketaatan pengobatan.
Rasional : Meningkatkan pemahaman dan meningkatkan kerja sama dalam penyembuhan/profilaksis, dan untuk
Rasional : Tampon superabsorben/merupakan resiko potensial bagi infeksi stpahilococcus aureus (sindrom syok toksik).
h. Identifikasi tanda / gejala yang membutuhkan evaluasi medis.
Rasional : Pengenalan dini dari perkembangan infeksi akan memungkinkan intervensi dan mengurangi resiko kearah
situasi yang membahayakan jiwa.
i. Tekankan pentingnya imunisasi profilaktik / terapi antibiotik sesuai kebutuhan.
a. Menolak bergerak/tidak mampu bergerak sesuai tujuan rentang gerak terbatas, penurunan kekuatan kontrol
Kriteria Hasil :
a. Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur.
b. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi yang sakit dan atau kompensasi tubuh.
c. Menunjukan teknik/perilaku yang memampukan melakukan aktifitas.
Intervensi :
(Doenges,2000 : 737)
b. Tingkatkan aktifitas perawatan diri pasien setiap saat.
Rasional : aktivitas dapat meningkat jika memotivasi yang sesuai dengan kondisi pasien.
(Doenges,2000 : 737)
Rasional : aktifitas dapat meningkatkan istirahat yang untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh.
(Doenges,2000 : 757)
(Doenges,2000 : 738)
a. Kaji/ ukuran, wama, kedalaman luka , perhatikan jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka.
Rasional : Memberikan informasi dasar tentang kebutuhan penambahan kulit dan kemungkinan petunjuk tentang sirkulasi
pada area luka.
Ditandai:
a. Keluhan nyeri.
a. Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan pada udara terbuka.
Rasional : Suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf.
Rasional : Peninggian mungkin diperlukan pada awal untuk mnenurunkan pembentukan edema setelah perubahan posisi dan
peninggian menurunkan ketidaknyamanan serta resiko kontraktur sendi.
d. Tutup jari / ekstremitas pada posisi berfungsi (menghindari posisi fleksi sendi yang sakit) menggunakan bebat
cendera dapat merasa lebih nyaman, ini dapat mengakibatkan kontraktur fleksi
e. Ubah posisi dengan sering dan rentang gerak pasif dan aktif sesuai indikasi.
Rasional : Gerakan dan latihan menurunkan kekakuan sendi dan kelelahan otot tetapi tipe latihan tergantung pada lokasi dan
luas cendera.
(Doenges, 2000:654)
BAB III
RESUME KEPERAWATAN
Dalam bab ini penulis akan membahs tentang tinjauan pustaka dari asuhan keperawatan pada Tn.T dengan
abses femur dextra di ruang Melati RSUD Dr R Soetrasno Rembang mulai dari pengertian ,etiologi,
pathofisiologi, manifestasi klinis, pthway, penatalaksanaan, pemeriksaan penunjang sampai dengan proses
keperawatan yang meliputi fokus pengkajian, diagnosa keperawatan yang di arahkan pad pathway serta fokus
intervensinya
A. Pengkajian
Asuhan keperawatan di berikan pada klien dengan nama Tn.T umur 36 tahun, berjenis kelamin laki-laki,
beralamat, Sendang Agung 4 / 2 Kaliori, Beragama islam, pekerjaan sebagai nelayan, Tanggal masuk rumah
sakit pada 26 Juni 2010 jam 13.40 dan tanggal pengkajian 28 Juni
Dengan diagnosa medis Abses Femur Dextra. dengan keluhan utama Pasien mengatakan nyeri, nyeri
semakin terasa saat bergerak cekot-cekot, nyeri pada femur dextra, nyeri terasa hilang timbul dengan skala nyeri
4
Kaki pasien mengalami bengkak sudah satu minggu yang lalu sebelum dibawa ke RS pada tangal 26 uni
2010. sebelumnya pasien jatuh dari sepedah montor. tindakan yang dilakukan pasien adalah memijit kakinya
ditukang pijit. Karena tidak kunjung sembuh pada tanggal 26 Juni 2010 jam 13.40 pasien dibawa ke RSU dr. R.
Soetrasno Rembang. Pasien masuk lewat UGD di UGD pasien mendapatkan terapi inf. RL 20 tetes per menit,
injeksi Cefotaxime 2 x 1 gr Intra Vena, injeksi Torasic 2x1 gr Intra Vena, Setelah mendapatkan terapi dari IGD
pasien dipindah ke urang Bougenvil. Tetapi pada 26 Juni 2010 jam 13.00 WIB pasien dipindah lagi ke ruang
Melati untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Pasien mengatakan sebelumnya pasien tidak pernah dirawat di RS. Pasien tidak mempunyai riwayat
penyakit asma, jantung DM, hipertensi dan penyakit menular lainnya dan keluarga tidak ada yang mempunyai
penyakit keturunan.
Pada Pengkajian pola fungsional di dapatkan data tentang Pola Perpesi dan pemelihraan kesehatan Pasien
mengatakan bahwa kesehatan begitu penting . hal ini terlihat dari apabila ada salah satu keluarga yang sakit
Pola nutrisi / metabolik Sebelum sakit Sebelum sakit pasien makan 3x/hari dengan menu nasi, sayur, lauk.
minum 6-8 gelas/hari dan Selama sakit Pasien makan 3x/hari sesuai menu RS. Makan habis porsi.
Pola eliminasi Sebelum sakit pasien buang air besar 1x/hari dengan konsutensi lembek, dan tidak ada
keluhan dan selama sakit pasien belum pernah buang air besar.
Pola aktifitas dan latihan selama sakit segala aktifitas di bantu oleh orang lain / keluarga.
Pola tidur dan istirahat: pasien susah untuk istirahat Pada Pemeriksaan fisik Keadaan umum Lemah,
Kesadaran compasmentis denganTanda-tanda vital tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 360C, nadi 88 x/mnt,
RR20 x/mnt, Ekstremitas atas Tangan kiri terpasang infus RL 20 tetes / menit dan pada bagian bawah Terdapat
benjolan pada paha kanan bagian bawah samping
B. Program terapi :
Analisa yang di dapat dari pengkajian pada tanggal 28 Juni 2009 pukul 07.00 WIB adalah data subyektif
Pasien mengatakan paha kanannya cekot-cekot dan data obyektifnya nyeri muncul saat bergerak terasa cekot-
cekot pada Femur dextra, skala nyeri 4 nyeri hilang timbul dan pasien tampak gelisah sehingga didapatkan
masalah gangguan rasa nyaman yang di sebabkan proses inflamasi.
Analisa yang kedua di dapatkan data subyektif Pasien mengatakan kakinya sakit bila digerakan nyeri data
obyektifnya pasien tampak menahan sakit bila kaki digerakan, Paha kaki kanan bagian bawah tampak bengkak
dan aktifitas pasien dibantu sehingga di dapatkan masalah Immobilisasi berhubungan dengan kerusakan
integritas jaringan.
Analisa yang ketiga didapatkan data obyektif Pasien makan habis porsi. Pasien tidak mau makan
makanan tambahan yang dibelikan oleh isrinya, Pasien tampak lelah dan pasien mual tiap habis makan
sehingga didapatkan masalah Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia
D. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul dari analisa data yang telah di lakukan pengkajian TnT. Adalah
gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses inflamasi yang ditandai dengan pasien mengatakan
paha kanannya terasa nyeri, nyeri muncul saat bergerak terasa cekot-cekot pada Femur dextra, skala nyeri 4,
kakinya sakit bila digrakan terasa nyeri Pasien tampak menahan sakit bila kaki digerakan, Paha kaki kanan
makan habis porsi, pasien tidak mau makan makanan tambahan yang dibelikan oleh isrinya, Pasien tampak
lelah dan Pasien mual tiap habis makan.
E. INTERVENSI, IMPLEMENTASI DAN EVALUASI
Rencana tindakan untuk mengatasi permasalahan yang ada pada Tn.T pada hari/tanggal Senin 28 Juni
2009 pukul 07.00 WIB di tetapkan tiap diagnosa.
Diagnosa pertama gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses inflamasi tujuan yang
direncanakan adalah setelah dilakukan tindakan selama 1x30 menit diharapkan nyeri berhubungan proses
Mengobservasi tanda-tanda vital, observasi adanya tanda tanda nyeri non verbal misal : ekspresi wajah, posisi
vena
Ketopain 1 gr, Cefazolin 1 gr data subyektif pasien kooperatif, data obyektif obat masuk intra vena, tidak ada
alergi. Memberikan pendidikan kesehatan cara mengurangi nyeri dengan teknik distraksi dan relaksasi data
subyektif pasien mengatakan mengerti, data obyektif pasien tampak mempraktekan cara distraksi dan relaksasi.
Mengobservasi tanda- tanda vital data subyektif pasien kooperatif, data obyektif tekanan darah 100/70 mmHg,
nadi 86 x /mnt, suhu360 C, respiratore 20 x / mnt. Evaluasi : subyektif pasien mengatakan nyeri cekot-cekot
berkurang dengan skala nyeri 3, obyektif pasien tampak lebih rilek , analisa gangguan rasa nyaman nyeri
berhubungan dengan proses inflamasi teratasi, planing pertahankan intervensi, observasi tanda-tanda vital
Kolaborasi dalam pemberian analgetik dan antibiotik
Diagnosa kedua Imobilisasi berhubungan dengan kerusakan intergritas jaringan tujuan yang di rencanakan
adalah setelah dilakukan tindakan selama 1 x 6 jam diharapkan gangguan mobilisasi berhubungan dengan
kerusakan integritas jaringan dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien dapat melakukan aktifitas sesuai
kemampuannya seperti, makan, ambulasi ditempat tidur, berpakaian secara mandiri
Intervensi yang di buat untuk mengatasi permasalahn Tn.T adalah :
Bantu klien dalam beraktifitas bila tidak mampu, tingkatkan aktifitas perawatan diri pasien setiap saat, berikan
alternative dengan periode yang cukup, pantau respon terhadap aktifitas, mengobservasi skala aktifitas
Tindakan yang di lakukan : mengobservasi skala aktifitas data subyektif pasien mengatakan makan, mandi,
toileting dibantu oleh keluarga data obyektif aktifitas pasien tampak dibantu. Evaluasi : subyektif Pasien
mengatakan kakinya sakit bila digerakkan, obyektif tampak menahan sakit ketika kaki digerakkan, skala pola
aktivitas 17, analisa gangguan mobilisasi berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan belum teratasi
planing lanjutkan intervensi, bantu klien dalam beraktifitas bila tidak mampu, tingkatkan aktifitas perawatan diri
pasien setiap saat, berikan alternative dengan periode yang cukup, pantau rtespon terhadap aktifitas
Diagnosa ketiga resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia tujuan yang
direncanakan adalah setelah dilakukan tindakan selama 1 x 24 jam diharapkan resiko pemenuhan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien makan habis 1 porsi, mual (-), pasien tampak
lebih segar.
Intervensi yang dibuat untuk mengatasi permasalahn Tn.T adalah : Pantau intake dan output makanan, timbang
berat badan pasien dan ukur lingkar lengan pasien setiap hari, berikan makanan dalam keadaan hangat, berikan
makan sedikit tapi sering dan makanan kecil tambahan yang tepat, mengobservasi pola makan pasien, tentukan
program diit dan pola makan pasien, kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan diit pasien dan pemeberian
bubur.
Tindakan yang di lakukan : Mengobservasi pola makan pasien data subyektif pasien mengatakan setiap makan
Subyektif pasien mengatakan mual, tetapi memaksa untuk makan, obyektif pasien makanhabis 1 porsi, pasien
tampak lelah, analisa resiko pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tidak terjadi, planing pertahankan
intervensi,
observasi pola makan pasien, anjurkan pasien makan sedikit tapi sering
BAB III
PEMBAHASAN
Pada bagian ini penulis akan membahas tentang kesesuaian dan kesenjangan yang ada antara teori
dengan tinjauan kasus dengan judul asuhan keperawatan pada Tn.T dengan abses femur dextra di ruang melati
RSUD Dr.R. Soetrasno Rembang. Dengan mengunakan metode pemecahan masalah melaluai pendekatan
proses keperawatan serta memuat pula pembahasan pembenaran data yang kurang sempurna atau kurang
tepat karena keterbatasan waktu.
Pada prinsipnya pembahasan menjawab pertanyaan 5W+H dengan memperhatikan aspek tahapan
proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, dan evaluasi
keperawatan.
Dalam pengkajian penulis akan membenarkan data-data pendokumentasian yang belum sempurna
karena kurang ketelitian dan keterbatasan waktu dan kurangnya penulis mencantumkan data dan suasana ujian
yang mempengaruhi psikis penulis.
Pasien mengatakan dalam keluarga tidak ada yang mempunyai penyakit keturunanayat kesehatan keluarga
Keterangan :
: : laki-laki
: perempuan
: meninggal
: pasien
Pembenaran :
Di sini penulis mencantumkan genogram keluarga, yang seharusnya penulis tidak perlu mencantumkannya
karena abses bukan merupakan penyakit menurun
B. Pengkajian pola fungsional
Sebelum sakit :Sebelum sakit pasien makan 3x/hari dengan menu nasi, sayur, lauk. Minum 6-8 gelas/hari.
Selama sakit :Pasien makan 3x/hari sesuai menu RS. Makan habis porsi.
Pembenaran :
Di sini penulis lupa mencantumkan konsumsi minum pada saat sakit: pasien hanya minum liter air aqua, hal ini
penting karena dengan mengetahui asupan air kita bisa mengukur balance cairan agar turgor kulit normal.
b. Pola eliminasi
Sebelum sakit : BAB 1x/hari dengan konsistensi lembek, dan tidak ada keluhan.
Selama sakit : -
Pembenaran :
Di sini penulis lupa mencantumkan pola eliminasi BAB pada saat sakit pada hal ini sangat penting untuk
mengetahui tentang asupan nutrisi pasien, jika asupan nurtrisi terpenuhi dapat membantu proses penyembuhan
c. Pola prsepsi diri
Penambahan :
Pasien mengatakan kesehatan adalah suatu hal yang penting.Dan bila ada anggota keluarga yang sakit
langsung dibawa ke puskesmas untuk mendapatkan perawatan
C. Pemeriksaan fisik
a. Ekstremitas
Atas : Tangan kiri terpasang infus RL 20tpm
Pembenaran :
Seharusnya penulis mencantumkan kekutan otot pada ekstremitas bawah kanan , untuk memperkuat suatu
tegaknya diagnosa
D. Diagnosa Keperawatan Intervensi, Implementasi dan Evaluasi
Pada data ini kurang mendukung untuk tegaknya diagnosa sehingga penulis menambahkan adanya tanda-
tanda inflamasi. Tanda- tanda utama inflamasiadalah: rubor (kemerahan jaringan), kalor (kehangatan
( Doenges,2000:241 )
(Smeltzer, 2002:212)
Nyeri merupakan keadaan di mana individu menglami dan melaporkan adanya ketidaknyamanan yang hebat
atau sensasi yang tidak menyenangkan selama enam bulan atau kurang
(Carpenito 2000:45)
Alasan penulis mengangkat diagnosa ini sebagai diagnosa yang pertama karena keluahan utama pasien adalah
nyeri pada kaki kiri dengan skala lima dan nyeri harus segera diatasi karena bisa menyebabkan
(Corwin 2002:227)
Nyeri yang tidak diatasi secara adekuat mempunyai efek yang membahayakan di luar kenyamanan selain
Nyeri yang dialami oleh pasien dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk pengalaman masa lalu dengan nyeri
: ansietas, usia, faktor-faktor ini dapat meningkat atau menurun perspsi nyeri pasien, meningkatnya dan
menurunya toleran terhadap nyeri dan pengaruh sikap respon terhadap nyeri
(Smeltzer 2001:220).
Penulis menentukan kriteria waktu satu kali 30 menit diharapkan nyeri berhubungan proses inflamasi teratasi
dengan, kriteria hasil skala nyeri 3 Pasien tampak rilek.
Intervensi :
a) Mengobservasi TTV
Rasional : mengetahui keadaan umum yang menunjukan pasien mengalami nyeri dan untuk mengetahui skala
nyeri sebelumnya
Rasional : dengan kompres dingin pembuluh darah akan mengalami vaso konstriksi
Rasional : teknik distraksi atau pengalihan perhatian bisa mengurangi atau menekan nyeri
(carpenito, 2000 : 47)
Rasional : teknik relaksasi diharapkan menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan
intensitas nyeri
Evaluasi pada tanggal 28 Juni 2010 pukul 12.30 WIB di dapatkan data
pasien mengatakan nyeri cekot-cekot berkurang dengan skala nyeri 3, pasien tampak lebih rileks, analisa
gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses inflamasi belum teratasi, masalah yang belum teratasi
didelegasikan pada perawat yang jaga berikutnya utuk di lanjutkan rencana tindakan karena keterbatasan waktu
penulis dalam melakukan asuhan keperawartan.
2. Immobilisasi berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan yang ditandai dengan pasien mengatakan
makan, mandi, toileting dibantu oleh keluarga, aktifitas pasien tampak dibantu, pasien tampak menahan sakit bila
kaki digerakan, paha kaki kanan bagian bawah tampak bengkak, aktifitas pasien dibantu dengan etiologi
Kerusakan integritas jaringan dan problem Immobilisasi. pada data obyektif kurang lengkap untuk menunjukan
masalah imobilisasi Seharusnya penulis mencantumkan kekeutan otot pada ekstremitas bawah kanan , untuk
akan melakukan pembenaran, Gangguan mobilitas berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh (gangguan
neuromuskular)
( Doenges,2000:241 )
Mobilisasi tergantung pada interaksi yang terkoordinasi antara fungsi sensorik persepsi,keterampilan motorik,
kondisi fisik, tingkat kognitif, dan kesehatan premorbid, serta variableeksternal seperti keberadaan sumber-
sumber komunitas, dukungankeluarga, adanya halangan arsitektural ( kondisi lingkungan), dan kebijaksanaan
institusional.
Pengelolaan imobilisasi menjadi sangat penting karena bertujuan untuk dapat mempertahankan atau bahkan
meningkatkan taraf hidup fungsional, dengan parameter kemampuan untuk melakukan ADL (Activities of Daily
Life). Rehabilitasi medik, dukungan keluarga dan lingkungan merupakan faktor utama. dalam pengelolaan
imobilisasi. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan latihan-latihan yang terprogram.
(carpenito, 2000 : 2)
Intervensinya :
a) Bantu klien dalam beraktifitas bila tidak mampu.
Rasional : dengan membantu aktivitas yang di perlukan pasien akan membantu mengurangi resiko yang tidak di
inginkan.
(Doenges,2000 : 737)
(Doenges,2000 : 737)
c) Berikan alternative dengan periode yang cukup.
Rasional : aktifitas dapat meningkatkan istirahat yang untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh.
(Doenges,2000 : 757)
d) Pantau respon terhadap aktifitas
Rasional: pasien mampu mandiri (nilai 0) atau memerlukan bantuan/peralatan yang minimal (nilai 1);
memerlukan bantuan sedang/dengan pengawasan/diajarkan (nilai 2); memerlukan bantuan/peralatan yang terus
menerus dan alat khusus (nilai 3); atau tergantung secara total pada pemberi asuhan (nilai 4). Seseorang dalam
semua kategori sama-sama mempunyai resiko kecelakaan namun kategori dengan nilai 2-4 mempunyai resiko
Implementasi : implementasi yang berhasil dilaksanakan untuk mengatasi masalah diatas adalah mengobservasi
skala aktifitas
Evaluasi :
Evaluasi pada tanggal 28 Juni 2010 pukul 12.30 WIB di dapatkan data Pasien mengatakan kakinya sakit bila
digerakkan, tampak menahan sakit ketika kaki digerakkan, skala pola aktivitas 17, analisa gangguan mobilisasi
berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan belum teratasi planing lanjutkan intervensi, obervasi skala
aktifitas pasien, bantu pasien dalam pemenuhan aktifitas, berikan ROM aktif , masalah yang belum treatasi
didelegasikan pada perawat ruangan untuk di lanjutkan rencana tindakan karena keterbatasan waktu penulis
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh: suatu keadaa dimana individu yang tidak puasa mengalami atau
beresiko mengalami penurunan berat badan yang berhubungan dengan masukan yang tidak adekuat atau
Penulis menegakan diagnosa Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan anoreksia karena terdapat data yang mendukung diagnosa ini, yaitu pasien pasien mengatakan lemas,
nafsu makan berkurang dan terasa mual. pada pengkajian pola metabolisme pasen makan 2x sehari habis
Maslow kebutuhan nutrisi termasuk dalam kebutuhan fisiologis. Dimana kebutuhan nutrisi ditegakan setelah
memprioritaskan masalah emergensi. Bahayanya apabila kebutuhan nutrisi tidak adekuat maka akan dapat
menurunkan daya tahan tubuh yang dapat menimbulkan infeksi sekunder. Selain itu nutrisi yang tidak adekuat
b. Timbang berat badan pasien dan ukur lingkar lengan pasien setiap hari
Rasional : Mengetahui status nutrisi pasien
d. Berikan makan sedikit tapi sering dan makanan kecil tambahan yang tepat
Rasional : dilatasi gaster dapat terjadi bila pemberian makan terlalu cepat
(Doenges, 2000 : 426)
Rasional : Mengetahui makanan yang disukai pasien yang dapat meningkatkan nafsu makan dan dapat
menyesuaikan diit makanan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
Implementasi :
implementasi yang berhasil di laksanakan untuk mengatasi masalah di atas adalah Mengobservasi pola makan
pasien data subyektif pasien mengatakan setiap makan merasa mual data obyektifnya pasien makan habis
porsi.
Evaluasi :
pasien mengatakan masih merasa mual, tetapi memaksa untuk makan, pasien makanhabis 1 porsi, pasien
tampak lelah, analisa resiko pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan belum tratasi, planing pertahankan
intervensi, Pantau intake dan output makanan, timbang berat badan pasien dan ukur lingkar lengan pasien
setiap hari, berikan makanan dalam keadaan hangat, berikan makan sdikit dan makanan kecil tambahan yang
tepat, tentukan program diit dan pola makan pasien, kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan diit pasien
dan pemeberian bubur. masalah yang belum treatasi di delegasikan pada perawat ruangan unruk di lanjutkan
rencana tindakan karena keterbatasan waktu penulis dalam melakukan asuhan keperawartan.
E. Diagnosa keperawatan yang teori muncul tetapi di tinjauan kasus tidak muncul.
oportunistik (virus, jamur, bakteri, protozoa,atau parasit lain) dari sumber-sumber eksternal,sumber-sumber
endogen atau eksogen
(Carpenito,2001 : 204)
2. Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan regulasi
temperatur.
Hipertermia : keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko untuk mengalami kenaikan suhu tubuh
terus menerus lebih tinggi dari 37,8 C (100 F) per oral atau 38,8 C (100 F) per rectal karena factor eksternal
Perubahan perfusi jaringan : keadaan di mana individu mengalami atau beresiko mengalami suatu penurunan
dalam nutrisi dan pernapasan pada tingkat seluler di sebabkan suatu penurunan dalam suplai darah kapiler.
Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan denganpermiabilitas / kebocoran cairan kedalam
Kekurangan volume cairan terjadi ketika tubuh kehilangan cairan dan elektrolit ekstraseluler dalam jumlah
yang proporsional (isotonik). Kondisi seperti ini disebut juga hipovolemia. Umumnya, gangguan ini diawali
dengan kehilangan cairan intravaskuler, lalu diikuti dengan perpindahan cairan interseluler
menujuintravaskuler sehingga menyebabkan penurunan cairan ekstraseluler. Untuk
untuk mengkompensasi kondisi ini, tubuh melakukan pemindahan cairanintraseluler. Secara umum, defisit
volume cairan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kehilangan cairan abnormal melalui kulit, penurunan asupan
cairan, perdarahan dan pergerakan cairan ke lokasi ketiga (lokasi tempat cairan berpindah dan tidak mudah
untuk mengembalikanya ke lokasi semula dalam kondisi cairan ekstraseluler istirahat). Cairan dapat berpindah
dari lokasiintravaskuler menuju lokasi potensial seperti pleura, peritonium, perikardium, atau rongga sendi. Selain
itu, kondisi tertentu, seperti terperangkapnya cairan dalam saluran pencernaan, dapat terjadi akibat obstruksi
saluran pencernaan
Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka menjaga kondisi tubuh tetap sehat. Keseimbangan cairan
dan elektrolit di dalam tubuh adalah merupakan salah satu bagian dari fisiologi homeostatis. Keseimbangan
cairan dan elektrolit melibatkan komposisi dan perpindahan berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh adalah larutan
yang terdiri dari air ( pelarut) dan zat tertentu (zat terlarut). Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan partikel-
partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam larutan. Cairan dan elektrolit masuk ke dalam tubuh
melalui makanan, minuman, dan cairan intravena (IV) dan didistribusi ke seluruh bagian tubuh. Keseimbangan
cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh
bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan yang lainnya; jika salah satu
terganggu maka akan berpengaruh pada yang lainnya. Cairan tubuh dibagi dalam dua kelompok besar yaitu :
cairanintraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan intraseluler adalah cairan yang berada di dalam sel di seluruh
tubuh, sedangkan cairan ekstraseluler adalah cairan yang berada di luar sel dan terdiri dari tiga kelompok yaitu :
cairanintravaskuler (plasma), cairan interstitial dan cairan transeluler. Cairanintravaskuler (plasma) adalah cairan
di dalam sistem vaskuler, cairan intersitialadalah cairan yang terletak diantara sel, sedangkan
cairan traseluler adalah cairan sekresi khusus seperti cairan serebrospinal,cairan intraokuler, dan sekresisaluran
cerna.
Perpindahan Cairan dan Elektrolit Tubuh Perpindahan cairan dan elektrolit tubuh terjadi dalam tiga fase yaitu : 4
Fase I : Plasma darah pindah dari seluruh tubuh ke dalam sistem sirkulasi, dan nutrisi dan oksigen diambil dari
paru-paru dan tractus gastrointestinal.
Fase II : Cairan interstitial dengan komponennya pindah dari darah kapiler dan sel
Fase III : Cairan dan substansi yang ada di dalamnya berpindah dari cairan interstitial masuk ke dalam sel.
Pembuluh darah kapiler dan membran sel yang merupakan membran semipermiabel mampu memfilter tidak
semua substansi dan komponen dalam cairan tubuh ikut berpindah.Metode perpindahan dari cairan dan elektrolit
tubuh dengan cara :
1) Diffusi
2) Filtrasi
3) Osmosis
4) Aktif Transport Diffusi dan osmosis adalah mekanisme transportasi pasif. Hampir semua zat berpindah
dengan mekanisme transportasi pasif. Diffusi sederhana adalah perpindahan partikel-partikel dalam segala arah
melalui larutan atau gas. Beberapa faktor yang mempengaruhi mudah tidaknya difusi zat terlarut menembus
membran kapiler dan sel yaitu :
a) Permeabilitas membran kapiler dan sel
b) Konsenterasi
c) Potensial listrik
d) Perbedaan tekanan. Osmosis adalah proses difusi dari air yang disebabkan oleh perbedaan konsentrasi.
Difusi air terjadi pada daerah dengan konsentrasi zat terlarut yang rendah ke daerah dengan konsentrasi zat
terlarut yang tinggi. Perpindahan zat terlarut melalui sebuah membran sel yang melawan perbedaan konsentrasi
dan atau muatan listrik disebut transportasi aktif. Transportasi aktif berbeda dengan transportasi pasif karena
memerlukan energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP). Salah satu contonya adalah transportasi pompa
kalium dan natrium. Natrium tidak berperan penting dalam perpindahan air di dalam bagian plasma dan bagian
cairan interstisial karena konsentrasi natrium hampir sama pada kedua 5
bagian itu. Distribusi air dalam kedua bagian itu diatur oleh tekanan hidrostatik yang dihasilkan oleh darah
kapiler, terutama akibat oleh pemompaan oleh jantung dan tekanan osmotik koloid yang terutama disebabkan
oleh albumin serum. Proses perpindahan cairan dari kapiler ke ruang interstisial disebut ultrafilterisasi. Contoh
lain proses filterisasi adalah pada glomerolus ginjal. Meskipun keadaan di atas merupakan proses pertukaran
dan pergantian yang terus menerus namun komposisi dan volume cairan relatif stabil, suatu keadaan yang
4. Resiko tinggi terhadap pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah
Kerusakan pertukaran gas : keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan jalanya gas (O2 dan CO2)
yang actual (atau dapat mengalami potensial) antara alveoli paru-paru dan system vaskuler
Kurang pengetahuan suatu keadaan di mana sorang individu atau kelompok mengalami defisiensi pengetahuan
kognitif atau ketrampilan ketrampilan psikomotor berkenaan dengan kondisi atau rencana pengobatan.
(Carpenito, 2001 : 223)
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit.
Kerusakan integritas jaringan : keadaan seorang individu mengalami atau beresiko untuk mengalami kerusakan
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Pada abses femur dextra tidak semua memperlihatkan gejala yang sesuai dengan teori
2. Prinsip pengelolaan pasien dengan abses femur dextra adalah perawatan umum yang berorentasikan pada
kebutuhan pasien.
3. Di dalam kesembuhan pasien ternyata keluarga mempunyai peran yang sangat besar, bila keluarga di ikut
sertakan maka klien akan terlindungi dengan adanya orang terdekat klien kooperatif dan semangat dari pasien
yang ingin sembuh merupakan faktor pendukung sedangkan kurangnya pengetahuan klien merupakan faktor
1. Tenaga kesehatan dapat memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan permasalahan yang dikeluhkan oleh
pasien dengan mengunakan sistem pendokumentasian yang sistematis
2. Untuk mempercepat kesembuhan klien, peran keluarga sangat penting maka keluarga perlu di ikut sertakan
dalam perawatan dan pengobatan klien.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L,J, 2001, Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Klinik (terjemahan), Edisi 3, EGC, Jakarta.
Doenges, M.E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien (terjemahan), edisi 3, EGC, Jakarta
http://imadeharyoga.com (diakses 30 juni 2010)
http://www.surabayapost.co.id (diakses 30 juni 2010)
http://lensaaskep.blog.com/kebutuhan-cairan-dan-elektrolit.html(diakses 30 juni 2010)
http://ruangkesehatan.blog.com/20%abses (diakses 30 juni 2010)
Price, SA dan Wilson, LM, 1995, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (terjemahan), Eidisi 4, Volume 1,
EGC, Jakarta
Smeltzer, S.C, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (terjemahan), Edisi 8, Volume 2, EGC, Jakarta.
S. Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 1998, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta
Underwood, J.C.E, 1999, Buku Ajar Ilmu Bedah (terjemahan), Edisi 4, EGC, Jakarta.