You are on page 1of 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

HIV pada manusia berasal dari infeksi silang spesies oleh virus
simian didaerah pedesaan Afrika, mungkin akibat kontak langsung
manusia dengan darah primata yang terinfeksi. Bukti terbaru adalah bahwa
pasangan primata HIV-1 dan HIV-2 ditularkan kepada manusia melalui
beberapa peristiwa yang berbeda (setidaknya tujuh). Analisis evolusi
sekuens menempatkan masuknya SIV CPZ pada manusia yang menyebabkan
peningkatan HIV-1 grup M pada sekitar tahun 1930. Diduga, trasmisi
seperti ini terjadi berulang kali seiring pertambahan umur, tetapi
perubahan sosial, ekonomi, dan perilaku tertentu yang terjadi pada
pertengahan abad 20 menyebabkan keadaan yang memungkinkan infeksi
virus ini meluas, menjadi banyak ditemukan pada manusia, dan mencapai
proporsi epidemik.

Masalah HIV-AIDS adalah masalah besar yang mengancam


Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, Badan WHO
yang mngurusi masalah AIDS, memperkirakan jumlah odha di seluruh
dunia pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak ada
negara yang terbebas dari HIV-AIDS. HIV-AIDS menyebabkan berbagai
krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis
pembangunan negara, krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis
kemanusiaan. Dengan kata lain HIV-AIDS menyebabkan multidimensi.
Sebagai krisis kesehatan, AIDS memerlukan respons dari masyarakat dan
memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang
terinfeksi HIV.

PENYAKIT HIV-AIDS Page 1


1.2 Rumusan Masalah

- Apa yang dimaksud dengan HIV-AIDS ?


- Bagaimana epidemiologi dari penyakit HIV-AIDS?
- Apa yang menjadi penyebab dari penyakit HIV-AIDS?
- Apa tanda dan gejala dari penyakit HIV-AIDS?
- Bagaimana cara mendiagnosis dari penyakit HIV-AIDS?
- Bagaimana cara penularan dan patofisiologis dari HIV-AIDS?
- Bagaimana penatalaksanaan dari penyakit HIV-AIDS?

1.3 Tujuan

- Dapat mengetahui apa itu penyakit HIV-AIDS ?


- Mengetehui epidemiologi dari penyakit HIV-AIDS ?
- Mengetahui penyebab HIV-AIDS ?
- Mengetahui bagaimana tanda dan gejala dari HIV-AIDS?
- Mengetahui dan memahami cara menegakkan diagnosis dari HIV-
AIDS ?
- Mengetahui cara penularan dan perjalanan penyakit dari HIV-AIDS ?
- Mengetahui dan memahami dalam penanganan HIV-AIDS ?

PENYAKIT HIV-AIDS Page 2


BAB II

ISI

2.1 Definisi HIV-AIDS

AIDS dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala


penyakit dengan karakteristik defisiensi imun yang berat, dan merupakan
manifestasi stadium akhir infeksi HIV. Antibodi HIV positif tidak identik dengan
AIDS, karena AIDS harus menunjukkan adanya suatu atau lebih gejala penyakit
akibat defisiensi sitem imun seluler (Juwono,2004).

Untuk negara-negara yang mempunyai fasilitas diagnostik yang cukup,


definisi AIDS adalah sebagai berikut:

1. Suatu penyakit yang menunjukkan adanya defisiensi imun seluler,


misalnya sarkoma Kaposi, atau satu atau lebih infeksi oportunistik yang
didiagnostik dengan cara yang dapat dipercaya.
2. Tidak adanya sebab-sebab lain imuno defisiensi seluler yang diketahui
berkaitan dengan penyakit tersebut (Juwono,2004).

Untuk negara-negara yang tidak mempunyai fasilitas diagnostik yang


cukup adalah disusun suatu ketentuan klinik sebagai berikut (hasil workshop di
Bangui Afrika Tengah, bulan Oktober 1985).

a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala
mayor dan satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang
lain seperti kanker, malnutrisi berat, atau pemakaian kortikosteroid yang
lama.
Gejala mayor :
- Penurunan berat badan lebih dari 10%
- Diare kronik lebih dari 1 bulan
- Demam lebih dari satu bulan (kontinyu atau intermiten)

Gejala minor :

PENYAKIT HIV-AIDS Page 3


- Batuk lebih dari 1 bulan
- Dermatitis pruritik umum
- Herpes zoster recurrens
- Kandidiasis oro-faring
- Limfadenopatigeneralisata
- Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif
b. Dicurigai AIDS pada anak, bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor
dan dua gejala minor, dan tidak terdapat seba-sebab imunosupresi yang
lain seperti kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama
atau etiologi lain.
Gejala mayor :
- Penurunan berat badan atau pertumbuhan yang lambat dan abnormal
- Diare kronik lebih dari 1 bulan
- Demam lebih dari 1 bulan

Gejala minor :

- Limfadenopati generalisata
- Kandidasis oro-faring
- Infeksi umum yang berulang
- Batuk persisten
- Dermatitis generalisata
- Infeksi HIV pada ibunya

Kriteria tersebut khusus untuk negara-negara Afrika yang mempunyai


prevalensi AIDS tinggi, dan belum tentu sesuai untuk digunakan di Indonesia. Di
Indonesia untuk keperluan untuk survailan, dipergunakan pedoman definisis
WHO/CDC yang telah direvisi tahun 1987 (Juwono,2004).

Awal tahun 1993, CDC telah merivisi lagi kriteria untuk definisi AIDS
sebagai Amerika Serikat dan tidak untuk negara industri lainnya. Termasuk AIDS
adalah semua HIV positif dengan jumlah sel limfosit CD4 kurang ari 200/mm3.
Sedangkan Kanada, Australia dan Eropa menambah 3 gejala penyakit lain sebagai

PENYAKIT HIV-AIDS Page 4


indikator AIDS yaitu: pneumonia bakterial yang kurens, tuberkolosis paru, dan
kanker leher rahim yang invasif. Dengan adanya revisi tersebut, istilah ARC
(AIDS Related Complex), suatu istilah yang sebelumnya dipakai secara luas untuk
menunjukkan tanda adanya gangguan sistem imun, sekarang tidak dipakai lagi
(Juwono,2004).

Sesuai dengan hasil Inter-Country Consultation Meeting WHO di New


Delhi bulan Desember 1985, dianggap perlu bahwa kasus kasus pertama yang
dilaporkan sebagai AIDS kepada WHO mendapat konfirmasi dengan tes ELISA
dan Western Biot. Di Indonesia Mentri Kesehatan RI telah mengeluarkan
instruksi agar setiap kasus AIDS/ dicurigai AIDS dilaporkan ke Departemen
Kesehatan, dengan dengan formulir khusus (Juwono,2004).

2.2 Epidemiologi HIV-AIDS

Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang


mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual,baik homoseksual
maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi
komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya.
Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS misalnya pengguna
narkotika, pekerja seks komersil dan pelanggannya, serta narapidana (Djoerban
dan Djuazi, 2006).

Namun, infeksi HIV/AIDS saat ini juga telah mengenai semua golongan
masyarakat, baik kelompok resiko tinggi maupun masyarakat umum. Jika pada
awalnya, sebagian besar odha berasal dari kelompok homoseksual maka kini
telah terjadi pergeseran dimana persentase penularan secara heteroseksual dan
pengguna narkotika semakin meningkat. Beberapa bayi yang terbukti tertular HIV
dari ibunya menunjukkan tahap yang lebih lanjut dari tahap penularan
heteroseksual (Djoerban dan Djuazi, 2006).

PENYAKIT HIV-AIDS Page 5


Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih amat jarang ditemukan
di Indonesia. Sebagian besar odha pada periode itu berasal dari kelompok
homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan
sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang terutama
disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik. Sampai dengan akhir maret
2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Jumlah itu tentu masih
sangat jauh dari jumlah sebenarnya. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002
memperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi HIV adalah antara
90.000 sampai 130.000 orang (Djoerban dan Djuazi, 2006).

Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah


ODHA pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu
para penjaja seks komersial dan penyalah-guna NAPZA suntikan di beberapa
provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga
provinsi tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi
terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Tanah Papua sudah memasuki
tingkat epidemi meluas (generalized epidemic) (Ditjen PP&PL, 2011).

Hasil estimasi tahun 2009, di Indonesia terdapat 186.000 orang dengan


HIV positif. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan
sebanyak 278 rumah sakit rujukan Odha (Surat Keputusan Menteri (Ditjen
PP&PL, 2011).

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 780/MENKES/SK/IV/2011


tentang Penetapan Lanjutan Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang dengan HIV yang
tersebar di hampir semua provinsi di Indonesia. Dari Laporan Situasi
Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia sampai dengan September 2011
tercatat jumlah Odha yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843 dari
33 provinsi dan 300 kab/kota, dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1,
dan persentase tertinggi pada kelompok usia 20-29 tahun (Ditjen PP&PL, 2011).

PENYAKIT HIV-AIDS Page 6


2.3 Etiologi HIV-AIDS

Luc montagnier dkk tahun 1983 telah menemukan LAV (


lymphadenopathy associated virus ) dari seorang dengan pembengkakan kelenjer
limfe (PGL). Pada tahun 1984 sejenis virus yang disebut HTVL 3 (human T cell
lymphotropic virus tipe 3) ditemukan dari pasien AIDS di Amerika oleh Robert
Gallo dkk. Kemudian ternyata bahwa kedua virus tersebut sama, dan oleh
Commite Taxonomy international pada tahun 1985 disebut sebagai HIV (human
immune-deficiency Virus). Sampai tahun 1994 diketahui ada dua subtype yaitu
HIV 1 dan HIV 2 (Juwono, 2004).

HIV 1 dan HIV 2 merupakan suatu virus RNA yang termasuk retrovirus
dan lentivirus. HIV 1 penyebarannya lebih luas di hampir seluruh dunia,
sedangkan HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien dari afrika barat dan Portugal
HIV 2 lebih mirip dengan monkey virus yang disebut SIV ( simian
immunodeficiency virus). Antara HIV 1 dan 2 intinya mirip, tetapi selubung
luarnya sangat berbeda (Juwono, 2004).

HIV mempunyai enzim reverse trans criptase yang terdapat didalam inti
HIV dan akan mengubah RNA virus menjadi DNA. Inti HIV merupakan protein
yang dikenal dengan p24, dan bagian luar HIV yang berupa selubung glikoprotein
terdiri dari selubung transmembran gp 41 dan bagian luar berupa tonjolan-
tonjolan yang disebut gp 120. Gen yang selalu ada pada struktur genetic virus
HIV adalah gen untuk kode inti p24, dan gen yang mengkode polymerase RTase.
Sedangkan gen yang mengkode selubung luar akan sangat bervariasi dari satu
strain virus dengan yang lainnya. Bahkan pada seorang pengidap HIV selubung
luar ini dapat berbeda-beda (Juwono, 2004).

PENYAKIT HIV-AIDS Page 7


2.4 Cara Penularan

HIV terdapat dalam darah dan cairan tubuh seorang yang telah tertular,
walaupun orang tersebut belum menunjukkan keluhan atau gejala penyakit. HIV
hanya dapat ditularkan bila terjadi kontak langsung dengan cairan tubuh atau
darah. Dosis virus memegang peran penting. Makin besar jumlah virusnya makin
besar kemungkinan infeksinya. Jumlah virus yang banyak ada dalam darah,
sperma, cairan vagina dan serviks dan cairan otak. Dalam saliva, air mata, urin,
keringat, dan air susu hanya ditemukan sedikit sekali (Juwono, 2004).

Tiga Cara Penularan HIV :

1. Hubungan Seksual
Baik secara vaginal, oral ataupun anal dengan orang pengidap. Ini adalah
cara yang paling umum terjadi, meliputi 80-90% dari total kasus sedunia.
Lebih mudah terjadi penularan apabila terdapat lesi penyakit kelamin dengan
ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis, gonorea,
klamidia, kankroid dan trikomoniasis. Risiko pada seks anal lebih besar
disbanding seks vaginal, dan risiko juga lebih besar pada yang receptive dari
pada yang insertive. Diketahui juga bahwa epitel silindris pada mukosa
rectum, mukosa uretra laki-laki dan kanalis servikalis ternyata mempunyai
reseptor CD4 yang merupakan target utama HIV (Juwono, 2004).

2. Kontak Langsung dengan Darah/produk Darah/Jarum Suntik


a. Transfusi darah/produk darah yang tercemar HIV, risikonya sangat tinggi,
sampai lebih dari 90%. Ditemukan sekitar 3-5% dari total kasus sedunia.
b. Pemakaian jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik dan
sempritnya pada para pencandu narkotik suntik. Risikonya sekitar 0,5-1%,
dan telah terdapat 5-10% dari total kasus sedunia.
c. Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan
risikonya sekitar kurang dari 0,5% dan telah terdapat kurang dari 0,1%
dari total kasus sedunia (Juwono, 2004).

PENYAKIT HIV-AIDS Page 8


3. Secara Vertikal
Dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik selama hamil, saat
melahirkan ataupun setelah melahirkan. Risiko sekitar 25-40%, terdapat
<0,1% dari total kasus sedunia (Juwono, 2004).

2.5 Manifestasi Klinik

Manifestasi virus infeksi HIV sangat luas spektrumnya, karena itu ada
beberapa macam klasifikasi. Yang paling umun di pakai adalah klasifikasi yang di
buat oleh CDC,USA, sebagai berikut : (Juwono,2004).

Klasifikasi infeksi HIV (CDC,USA,1967)

1. Grup 1 : infeksi akut


2. Grup II : infeksi kronik asimtomatik
3. Grup III : persistent generalized lymphadenopathy
4. Grup IV : penyakit lain
a. Sub grup A : penyakit konstitusional
b. Sub grup B : penyakit neurologis
c. Sub grup C : penyakit infeksi sekunder
d. Sub grup D : kanker sekunder
e. Sub grup E : kondisi-kondisi lainnya

Masa Inkubasi

Masa inkubasi adalah waktu dari terjadinya infeksi sampai munculnya


gejala pertama pada pasien. Pada infeksi HIV hal ini sulit di ketahui. Dari
penelitian sebagian besar kasus di katakana masa inkubasi rata-rata 5-10 tahun,
dan bervariasi sangat lebar, yaitu antara 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun.
Walaupun belum ada gejala, tapi yang bersangkutan telah dapat menjadi sumber
penularan (Juwono,2004).

1. Infeksi Akut

PENYAKIT HIV-AIDS Page 9


Sekitar 30-50% dari mereka yang terinfeksi HIV akan memberikan gejala
akut yang mirip dengan gejala infeksi mononucleosis, yaitu demam, sakit
tenggorokan, letargi, batuk, mialgia, keringat malam, dan keluhan GIT berupa
nyeri menelan, mual, muntah, dan diare. Mungkin bisa di dapatkan adanya
pembesaran kelenjar limfe leher, faringitis, macularrash dan aseptic meningitis
yang akan sembuh dalam waktu 6 minggu. Pathogenesis simtom ini tidak jelas
diketahui, mungkin sangat mungkin akibat adanya reaksi imun yang aktif
terhadap masuknya HIV dalam darah. Saat ini mungkin pemeriksaan antibody
HIV masih negative, tapi pemeriksaan Ag P24 sudah positif. Pada saat ini pasien
dikatakan pasien ini sangat infeksius (Juwono,2004).

2. Infeksi Kronik Asimtomatik

Fase akut akan diikuti fase kroni asimtomatik yang lamanya bisa bertahun-
tahun. Walaupun tidak ada gejala, kita tidak dapat mengisolasi virus dari daerah
pasien dan ini berarti bahwa selama fase ini pasien juga terinfeksius. Tidak
diketahui secara pasti apa yang terjadi pada HIV pada fase ini. Mungkin terjadi
replikasi lambat pada sel-sel tertentu dan laten pada sel-sel lainnya. Tapi jelas
bahwa aktivitas HIV tetap terjadi dan ini dibuktikan dengan menurunnya fungsi
sistem imun dari waktu ke waktu. Mungkin dari jumlah virus tertentu tubuh masih
dapat mengantisipasi system imun dalam kompensasi (Juwono,2004).

3. PGL (Pembengkakan Kelenjar Limfe)

Pada kebanyakan kasus, gejala pertama yang mincul adalah PGL. Ini
menunjukkan adanya hiperaktivitas sel limfosit B dalam kelenjar limfe, dapat
persisten selama bertahun-tahun, dan pasien tetap merasa sehat. Terjadi progesi
bertahap dengan adanya hyperplasia folikel dalam kelenjar limfe sampai
timbulnya involusi dengan adanya invasi sel limfosit T8 . Ini merupakan reaksi
tubuh untuk menghancurkan sel dendritik folikel yang terinfeksi HIV. Disamping
itu infeksi pada otak juga sering terjadi. Walaupun dikatakan konsentrasi HIV
paling banyak dalam likuor serebrospinal, umumnya sulit mendeteksi kelainan
psikoneurologi pada fase ini (Juwono,2004).

PENYAKIT HIV-AIDS Page 10


4. Dengan menurunya sel limfosit T4,makin jelas Nampak gejala klinis yang
dapat dibedakan menjadi beberapa keadaan, gejala ini dapat dibagi atas
:
a. Gejala dan keluhan yang disebsbkan oleh hal-hal yang tidak langsung
berhubungan dengan HIV, seperti diare, demam lebih dari 1 bulan,
keringat malam, rasa lelah berlebihan, batuk kronik lebih dari 1 bulan, dan
penurunan berat badan 10% atau lebih. Apabila yang mencolok adalah
penurunan berat badan, maka ini merupakan salah satu penyakit indicator
AIDS, dan disebut slim disease, gejala ini yang paling banyak terjadi di
afrika.
b. Gejala yang langsung akibat HIV, misalnya mielopati, neuropati primer
dan penyakit susunan saraf otak. Hampir 30 % pasien dalan stadium akhir
akan menderita AIDS dementia kompleks, yaitu menurun sampai
hilangnya daya ingat, gangguan fungsi motorik dan gangguan fungsi
kognitif, sehingga pasien sulit berkomunikasi dan tidak bisa berjalan.
c. Infeksi oportunistik dan neoplasma. Pada stadium kronik simtomatik ini
sangat sedikit keluhan dan gejala yang benar-benar langsung akibat HIV.
Sebagian besar adalah akibat menurunya sel limfosit T4 , sehingga dengan
terganggunya sentral system imun selular ini, maka infeksi oportunistik
yang sering dialami adalah infeksi virus, parasit dan mikobakterium.
Neoplasma yang dikenal sebagai penyakit indicator AIDS adalah :
sarcoma Kaposi dan limfoma sel B yang terisolasi di otak dan non hodgin
limfoma.

PENYAKIT HIV-AIDS Page 11


(Ditjen PP&PL, 2011).

2.6 Diagnosis

Diagnosis AIDS dapat dibuat bila terdapat satu atau lebih gejala penyakit
yang termasuk indikator AIDS dan pemeriksaan laboratorium sebagai bukti
adanya infeksi HIV (seperti yang tercantum dalam lampiran definisi kasus
menurut CDC, USA) (Juwono,2004).

Pemeriksaan Laboratorium

Umumnya pemeriksaan laboratotium untuk HIV/AIDS dibagi atas tiga


kelompok, yaitu : (Juwono,2004).

1. Pembuktian adanya antibody (Ab) atau antigen (Ag) HIV.


2. Pemeriksaan status imunitas.
3. Pemeriksaan terhadap infeksi oportunistik dan keganasan.
1. Pembuktian adanya Ab atau Ag HIV
HIV terdiri dari selubung, kapsid dan inti. Masing-masing terdiri
dari protein yang bersifat sebagai antigen dan menimbulkan pembentukan
antibody dalam tubuh yang terinfeksi. Jenis antibody yang telah diketahui
banyak sekali, tetapi yang penting untuk diagnostik adalah : antibody gp
41, gp 120 dan p24.
Teknik pemeriksaan adalah sebagai berikut :
- Tes untuk menguji Ab HIV. Terdapat bebagai macam cara, yaitu :
ELISA, Western Blot, RIPA, dan IFA.
- Tes untuk menguji antigen HIV, dapat dengan cara : pembiakan virus,
antigen p24, dan PCR.

PENYAKIT HIV-AIDS Page 12


Yang praktis dan umum dipakai adalah tes ELISA, karena tes
memiliki sensitivitas yang tinggi. Oleh karena itu untuk menghindari
adanya hasil tes yang positif palsu, tes ELISA perlu dikonfirmasi dengan
tes Western Blot (WB) yang mempunyai spesifisitas tinggi. Setiap tes
positif dengan ELISA I akan diulangi dengan ELISA II dari sampel yang
sama, dan bila tes kedua positif, lalu dilakukan tes WB. Dengan
konfirmasi tes WB ini, hasil tes dikatakan positif. Setiap tes dilakukan
seharusnya telah mendapatkan Informed consent dari yang bersangkutan,
dan dilakukan konseling pre dan post- tes.

Hal ini untuk mengurangi dampak psikologis yang timbul pada


seseorang yang diperiksa. Hasil tes harus benar-benar dijaga
kerahasiaannya, dan hanya dokter atau konselor yang bersangkutan saja
yang dapat mengetahui hasilnya, untuk kemudian memberitahukan secara
tatap muka kepada yang bersangkutan. Tidak dibenarkan untuk
memberitahukan hasil tes kepada orang tuanya.

2. Tes yang Menunjukkan Adanya Defisiensi Imun


Untuk ini dapat dilakukan pemeriksaan Hb, jumlah leukosit,
trombosit, jumlah limfosit dan sediaan apusan darah tepi atau sumsum
tulang. Pada pasien AIDS dapat ditemui anemia, leukopenia / limfopenia,
trombositopenia dan displasia sumsum tulang normo atau hiper selular.
Dapat dilakukan perhitungan jumlah sel limfosit T, limfosit B, sel
limfosit CD4 dan CD8. Dikatakan terjadi gangguan sistem imun bila telah
terjadi penurunan jumlah sel limfosit, sel CD4 dan menurunnya ratio CD4 /
CD8. Tes kulit DTH (Delayed Type Hypersensitivity) untuk tuberculin dan
kandida yang hasilnya negatif atau energy menunjukkan kegagalan
imunitas selular. Mungkin saja jumlah CD4 masih normal, tetapi fungsinya
sudah menurun. Dapat terjadi poliklonal hipergammaglobulinemia (IgA
dan IgG) yang menunjukkan adanya rangsangan non-spesifik terhadap sel
B untuk membentuk imunitas humoral.

PENYAKIT HIV-AIDS Page 13


3. Tes Untuk Infeksi Oportunistik Atau Kanker
Setiap infeksi oportunistik atau kanker sekunder yang ada pada
pasien AIDS diperiksa sesuai dengan metode diagnostik penyakitnya
smasing-masing, misalnya : pemeriksaan mikroskopis untuk kandidiasis,
PCP, TBC paru, dsb. Kadang-kadang perlu pemeriksaan penunjang lain,
seperti laboratorium rutin, serologis, radiologis, USG, CT scan,
bronkoskopi, pembiakan, histopatologis dan sebagainya.

PENYAKIT HIV-AIDS Page 14


2.7 Prognosis
Perjalanan alamiah penyakit AIDS belum diketahui dengan pasti. Faktor
faktor yang memegang peran untuk timbulnya AIDS pada serangan HIV positif
belum diketahui dengan jelas. Perkiraan bahwa infeksi HIV yang berulang dari
pemajanan terhadap infeksi infeksi lain seperti virus herpes simpleks, CMV dan
EBV mengakibatkan progresivitas penyakit. Median survival pasien AIDS adalah
antara 1-2 tahun untuk negara maju dan kurang dari 1 tahun untuk negara yang
sedang berkembang.

2.8 Patogenesis
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas tehadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebut menyebabkan gangguan respons imunn yang progresif.
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut
Simian Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan
monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen presenting cells ke
kelenjar getah bening regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah
bening yang mengekpresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridasi in situ dalam 7
sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi.
Puncak jumlah sel yang mengekpresikan SIV dikelenjar getah bening
berhubungan dengan puncak antingenemia p26 SIV. Jumlah sel yang
mengekpresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan
dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun spesifik. Koinsiden
dengan menghilangnya veremia adalah peningkatan sel limfosit CD8+
menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada
keadaan steady-state beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan relatif
stabil setelah beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor yang
mempengaruhi tinkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan

PENYAKIT HIV-AIDS Page 15


kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogenitas kapasitas replikatif virus dan
heterogenitas intrinsik pejamu
Antibodi muncul disirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi,
namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah
menurun sampai ke level steady-state. Walaupun antibodi ini umumnya
memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melewati infeksi virus, namun ternyata
tidak dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh
antibodi dengan melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk kemampuannya
mengubah situs glikosilasinya-nya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah
sehingga netralisasi yang diperantai antibodi tidak dapat terjadi.

2.9 Komplikasi

Komplikasi dengan lokasi yang spesifik (Widoyono, 2008) :

HIV unik dalam hal berbagai organisme dan keganasan yang terjadi.
Sebagian besar di antaranya memiliki hubungan dengan satu lokasi, namun dalam
keadaan penurunan drastis sel CD4 (<50 sel/mm3),manifestasi diseminata lebih
mungkin terjadi.

a. Pennyakit kulit dan mulut

Penyakit ini umum terjadi dan bervariasi mulai dari yang ringan hingga
yang menunjukan infeksi diseminata atau keganasan yang mengancam nyawa.
Sebagian besar pasien terkena pada saat tertentu dan jenis serta keparahan
seringkali bergantung pada tingginya hitung CD4.

Masalah kulit utama adalah dermatitis seboroik, xeroderma, folikulitis


yang gatal, skabies, tinea, herpes zoster, dan infeksi papilomavirus
Lesi oral atau mukokutan yang sering adalah kandidiasi oral atau vagina,
OHL, ulkus aftosa, herpes simpleks, dan gingivitis
Pada HIV yang lebih lanjut, sarkoma kaposi (kutan dan oral), moluskum

PENYAKIT HIV-AIDS Page 16


Kontagiosum, herpes simpleks mukokutan kronik dan berat, dan ulkus
CMV (oral) sering terjadi. Angiomatosis basiler bersifat unik untuk HIV dan
disebabkan oleh infeksi Bartonella.

b. Penyakit gastrointestinal

Penyakit terkait HIV seringkali melibatkan saluran gastrointestinal (GI).


Penurunan berat badan dan selera makan merupakan gejala umum apapun
patologinya.

Penyakit esofagus biasanya timbul dengan keluhan nyeri saat menelan dan
disfagia.
Kandidiasis merupakan penyebab pada 80% kasus (terjadi pada 30%
pasienn dengan OCP). Plak pseudomembranosa tampak saat memeriksa
barium meal sebagai defek pengisian (filling defects) (Gambar 13.1) dan
saat endoskopi
Penyakit usus halus sering berhubungan dengan diare cair bervolume
banyak, nyeri perut, dan malabsorpsi. Bila terdapat imunodefisiensi
sedang (100-200 CD4 sel/mm3) , Cryptosporidium, mikrosporidium, dan
Giardia merupakan penyebab yang mungkin bisa kadar CD4 <50
sel/mm3, Nycobacterium avium-intracellulare (MAI) san CMV merupakan
diagnosis alternatif
Penyakit usus besar timbul sebagai diare (sering berdarah) bervolume
sedikit yang disertai dengan nyeri perut. Suatu patogen enterik bakterial
standar mungkin berperan seperti Clostridium difficile.

Kolitis CMV merupakan diagnosis penting pada pasien dengan hitung


CD4 rendah yang terjadi pada hingga 5% pasien. Penegakan diagnosis dilakukan
melalui endoskopi yang sering memperlihatkan uklus dalam atau dangkal yang
konfluen atau segmental, serta dengan biopsi. Megakolon toksik, perdarahan, dan
berforasi dapat menyebabkan komplikasi pada infeksi.

c. Penyakit hepatobilier

PENYAKIT HIV-AIDS Page 17


Penyakit bilier dapat menyebabkan komplikasi pada infeksi CMV,
Cryptosporidium, atau mikrosporidium dalam bentuk kolangitis sklerosans
atau kolesistitis akalkulia. Manifestasinya adalah nyeri kuadran kanan atas,
muntah, dan demam; ikterus jarang terjadi. Pada kolangitis sklerosans,
peningkatan fosfatase alkali dan y-glutamil transferase serum biasanya
mendahului timbulnya ikterus. Pencitraan ultrasonografi memperlihatkan
pelebaran saluran empedu. Akan tetapi, endoskocopic retrograde
cholangiopancreatography (ERCP) penting untuk memperlihatkan
gambaran menyerupai kabut intrahepatik dan ekstrahempatik yang khas
untuk kolangitis sklerosans
Penyakt hati dapat disebabkan oleh koinfeksi dengan HBV atau HCV
(lihat Bab 10), atau obat-obat antiretrovirus (ARV). Koinfeksi hepatitis B
atau C menjadi masalah yang meningkat pada HIV. Pada kedua hepetitis
tersebut, virenia lebih tinggi dan penyakit lebih agresif. Pada koinfeksi
HBV, imuno supresi yang terlihat pada penyakit tahap lanjut dapat
memberikan suatu perlindungan, karena kerusakan hepar diperantarai oleh
sistem imun. Stimulan imun (interferon) dan antivirus (3TC,tenofovir)
memiliki peran dalam pengobatan. Pada hepatitis C, respon terhadap
interferon dan ribafirin tidak sebaik pada orang yang HIV negatif.
d. Penyakit paru

Lebih dari setengah pasien-pasien dengan HIV akan mengalami penyakit


paru pada suatu waktu tertentu. Beberapa faktor mempengaruhi kemungkinan
penyebabnya termasuk hitung CD4, etnis dan usia, kelompok resiko, serta riwayat
profilaksis PCP.

e. Penyakit sistem saraf/mata

Penyakit sistem saraf umum terjadi pada infeksi HIV. Kategori


manifestasinya yang luas merupakan lesidesakruang, suatu penyakit demensia
global, serta penyakit saraf radiks dan perifer.

Penyakit Spesifik (Widoyono, 2008) :

PENYAKIT HIV-AIDS Page 18


1. Cryptosporidiu dan mikrosporidium
2. Pneumonia pneumocystis carinii (pneumocystis carinii pneumonia PCP)
3. Microbacterium tuberculosis
4. Toksoplasmosis serebral
5. Leukoensefalopati multifokal progresif (progressive multifocal
leucoencephalopathy, PMFL)
6. Meningitis kriptokokus
7. Retinitis CMV
8. Infeksi Mycrobacterium oviumintracellularen (MAI) diseminata
9. Sarkoma kaposi (KS)
10. Limfoma Non-Hidgkin terkait HIV
11. Limfoma SSP primer (primary CNS lymphoma, PCNSL)

2.10 Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS


Ada beberapa jenis program yang terbukti sukses diterapkan dibeberapa
negara dan amat dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, untuk
dilaksanakan secara sekaligus, yaitu: (Djoerban dan Djuazi, 2006).

a. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda


b. Program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk brbagai
kelompok sasaran
c. Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik
d. Jaket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkoba, termasuk
program pengadaan jarum suntik steril
e. Program pendidikan agama
f. Program layanan pengobatan infeksi menular seksual (IMS)
g. Program promosi kondom dilokalisasi pelacuran dan panti pijat
h. Pelatihan keterampilan hidup
i. Program pengadaan tempat-tempat tes HIV dan konseling
j. Dukungan untuk anak jalanan dan prngentasan prostitusi anak

PENYAKIT HIV-AIDS Page 19


k. Integrasi program pencegahan dan pengobatan, perawatan dan dukungan
untuk odha
l. Program pencegahan penularan HIV dari ibu keanak dengan pemberian
obat ARV

Sebagian besar program tersebut sudah dijalankan di Indinesia. Dengan


kata lain, kita sebenarnya sudah mampu melakukannya. Hanya sayangnya
program-program tersebut belum dilaksanakan secara berkesinambungan dan
belum merata diseluruh indonesia.

Program pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda,


perlu dipikirkan strategi penetapannya disekolah, akademi dan universitas dan
untuk remaja yang ada di luar sekolah. Walupun sudah ada SK Mendiknas
mengenai masalah ini, namun secaranasional belum diterapkan.

Selain itu, sampai saat ini kurikulum nasional pendidikan HIV/AIDS intuk
mahasiswa kedokteran, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, dan tenaga
keperawatan masih dalam proses awal penyusunan. Penyelesaian kurikulum ini
penting untuk disegerakan mengingat kebutuhan akan tenaga kesehatan yang
mengerti seluk-beluk HIV/AIDS sudah amat mendesak.

Untuk program penyuluhan sebaya, cukup banyak Lembaga Swadaya


Masyarakat (LSM) yang mempunyai pengalaman dengan sasaran yang berbeda-
beda. Program magang sangat berguna untuk daerah-daerah yang belum
mengajarkan atau ingin memperluas cakupan kelompok sasarannya. Sistem
magang antar LSM yang sekarang ini sudah berjalan terasa sekali manfaatnya dan
perlu ditingkatkan.

Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik sudah terbina


dengan baik, sehingga tinggal melanjutkan agar ada kesinambungan. Setiap
momentum yang terkait dengan HIV/AIDS perlu dimanfaatkan untuk mendukung
kegiatan-kegiatan tersebut.

PENYAKIT HIV-AIDS Page 20


Kehidupan beagama yang berjalan baik selama ini tentu tidak lepas dari
pendidikan agama di sekolah dan di rumah. Namun demikian ada beberapa hal
yang mungkin dapat diperbaiki. Di antaranya, diperlukan strategi belajar-
mengajar yang terpijak pada kehidupan sehari-hari, termasuk dalam penggunaan
bahasa sehari-hari remaja. Demikian pula istilah heroin, metiletilendioksi
metamfetamin, kokain, dan LSD tidak begitu dikenal oleh remaja kita. Mereka
mengenalnya dengan nama putaw, ekstasi, dan cimeng.

Pelatihn keterampilan hidup amat diperlukan oleh remaja agar mengenal


potensi diri, tahu memanfaatkan sistem informasi, serta mengenal kesempatan dan
cara-cara mengembangkan diri. Bila kehidupan ekonomi dn pendidikan membaik,
niscaya penularan HIV/AIDS dapat ditekan.

Pengadaan tempat untuk tesHIV dan konseling yang mudah dicapai dan
suasana akrab dengan klien akan menyebabkan orang-orang yang meraa
mempunyai resiko tinggi beringan kaki mendatangi tempat-tempat tes dan
konseling HIV tersebut. Dengan konseling, diharapkan orang yang terinfeksi HIV
akan menerapkan seks aman dan tidak menularkan HIV ke oran lain. Sayangnya
tempat-tempat tersebut masih langka sekali. Di Jakatra hanya dad beberapa buah,
sementara di luar Jakarta sukar ditemukan.

Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak memang


bukan merupakan kegiatan yang mudah dierjakan. Utnutk melaksanakan kegiatan
ini diprlukan kepedulian dan partisipasi aktif berbagai lapisan masyarakat seperti
LSM, Ahli Hukum, Ahli Ilmu Sosial, Media Massa, Kepolisian, Departemen
Sosial, Departemen Kesehatan, dan lain-lain.

Mengintegrasikan program pencegahan dengan program pengobatan,


perawatan, dan dukungan untuk odha merupakan syarat mutlak untuk
keberhasilan program penanggulangan HIV/AIDS. Bila kita melaksanakan
program pencegahan saja, hasilnya tidak akan sebaik bila dilakukan bersama
program pengobatan, layanan dan dukungan untuk odha. Masyarakat yang dapat
penyuluhan saja, kemudian merasa memilikiperilku resiko tinggi tidak akan mau

PENYAKIT HIV-AIDS Page 21


melakkan tes HIV bila ia melihat tidak ada yang mau merawat odha, atau bila ia
mengetahui ada odha yang dipecat dari pekerjaannya, dan dikucilkan dari
keluarga dan masyarakat.

Sudah cukup banyak program kegiatan penanggulangan HIV/AIDS yang


terbukti efektif dan mampu laksana, yang sudah kita terapkan untuk menekan
kecepatan peningkatan prevalensi HIV/AIDS di Indinesia. Namun demikian
perbaikan masih harus dilakukan di sana-sini. Bukan hanya yang menyangkut
kualitas program, namu juga perlusan cakupan pnerima program.

Rehabilitasi/Edukasi

Rehabilitasi ditujukan pada pengidap atau pasien AIDS dan keluarga atau
orang terdekat, dengan melakukan konseling yang bertujuan untuk: (Juwono,
2004).

1. Memberikan dukungan mental psikologis


2. Membantu mereka untuk bisa mengubah perilaku resiko tinggi menjadi
perilaku yang tidak beresiko atau kurang beresiko
3. Mengingatkan kembali tentang cara hidup sehat, sehingga bisa
mempertahankan kondisi tubuh yang baik
4. Membantu mereka untuk menemukan solusi permasalahan yang berkaitan
dengan penyakitnya, antara lain bagaimana mengutarakan masalah-
masalah pribadi dan sensitif kepada keluarga dan orang terdekat.

2.11 Penatalaksanaan HIV-AIDS

Menurut Djoerban dan Djauzi (2006) secara umum, penatalaksanaan


ODHA terdiri dari beberapa jenis, yaitu:

1. Pengobatan untuk menekan replikasi HIV dengan obat anti retroviral (ARV).

PENYAKIT HIV-AIDS Page 22


2. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, sarkoma
kaposi, limfoma, kanker serviks.

3. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi lebih baik dan
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama
serta tidur yang cukup dan menjaga kebersihan.

Pengobatan pada pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan terhadap :


(Juwono, 2004).

1. Virus HIV
2. Infeksi oportunistik
3. Kanker skunder
4. Status kekebalan tubuh
5. Simtematis dan suportif

1. Obat antiretrovirus
Bila dilihat dari kemungkinan tempat-tempat kerja obat ada
beberapa tempat yang mungkin di teliti adalah : pada reseptor CD4
(dengan CD4 soluble) penghambatan enzym reverse transciptase (misalnya
: analog nukleosid seperti AXI, dll, ddC dan obat non nivarapine). Bisa
dengan menghambat translasi dan transkipsi dengan antagonis Tat
ribosom,dan terapi gen. Dapat dengan protease inhibitor untuk
menghambat pelepasan HIV. Yang sudah dipakai secara luas adalah :
- Zidovudine (AZT) merupakan analog thymidine. Sebagai terapi
pertama anti retrovirus, bila jumlah CD4 <500/mm2. Efek pemakaian
obat ini yang menguntungkan pemakaian obat ini adalah : dapat
memperpanjang masa hidup (1-2 tahun), mengurangi frekuensi dan
berat infeksi oportunistik, menunda progresivitas penyakit,
memperbaiki kualitas hidup pasien, mengurangi resiko penularan
perinatal, mengurangi kadar Ag p24 dalam serum dan cairan spinal.

PENYAKIT HIV-AIDS Page 23


Efek samping zidovudine adalah : sakit kepal, nausea, anemia,
neutropenia, malaise, fatique, agitasi, insomnia, muntah dan rasa itdak
enak di perut. Setelah pemakaian jangka panjang dapat timbul miopati.
Toksik hepar (jarang) dan pigmentasi kuku. Resistensi akan terjadi bila
jumlah CD4< 100 mm3. Dosis yang sekarang di pakai 200 mg po tid,
dan dosis di turunkan menjadi 100 mg po tid bila ada tanda-tanda
toksik.
- Didanosine (dll) Videx.

Merupakan terapi kedua untuk yang intoleransi terhadap AZT,


atau bisa sebagai kombinasi dengan AZT menurun. Untuk menunda
infeksioportunistik respon terhadap AZT menurun. Untuk menunda
infeksi oportunistik pada ARC dan asimtomatik hasilnya lebih baik
dari pada AZT. Efek samping : neuropati perifer, pankreatiitis (7%),
nausea, diare.

Dosis : 200 mg po bid (untuk BB > 60 kg)

125 mg po bid (untuk BB< 60 kg)

Mulanya hanya dipakai untuk kombinasi dengan AZT. Secara


invitro merupakan obat yang paling kuat, tapi efek samping terjadinya
neuropati (17-31%), dan pankreatis. Dosis : 0,75 mg po tid (Juwono,
2004).

2. Obat-obat untuk infeksi oportunistik

Tergantung infeksi oportunistik apa yang timbul. Data dari barat


menunjukan pola infeksi oportunistik yang paling sering adalah PCP, yang
terjadi pada 75% dari pasien AIDS dan TBC (Juwono, 2004).

Terapi profilaktik :

Pemberian profilaktik :

PENYAKIT HIV-AIDS Page 24


Pemberian profilaktik untuk PCP dimulai bila CD4 < 250 mg mm/mm3
, dengan obat kotrimoksazol dua kali/ minggu, dosis 2 tablet, atau dengan
aerosol pentamidine 300 mg , dan dapsone atau fansidar. Profilaksis untuk
TBC dimulai bila PPDC > = 5mm, dan pasien anergik. Dipakai INH 300 mg
po qd dengan vit.B6, atau rifampisin 600 mg po qd bila intolerans INH.
Profilaksis untuk MAI (mycobacterium avium intracelulare), bila CD4 <
200/mm3, dengan flukonasol po q minggu, bila pernah menderita oral
kandidiasis, sebelumnya. Belum direkomendasikan untuk profilaksis
kandidiasis, karena cepat timbul resistensi obat di samping biaya juga mahal
(Juwono, 2004).

3. Obat untuk kanker sekunder

Pada dasarnya sama dengan penanganan pada pasien on HIV. Untuk


sarkoma Kaposi, KS soliter : radiasi, dan untuk KS multipel : kamoterapi.
Untuk limfoma maligna: sesuai dengan penanganan limfoma pada pasien non
HIV (Juwono, 2004).

4. Immune restoring agents


Obat-obat ini diharapkan dapat memperbaiki fungsi sel limfosit,
menambah jumlah limfosit, sehingga dapat memperbaiki status kekebalan
pasien. Bisa dengan memakai :
a. -Interferon alpha -ektrak kelenjar thymus

-interferon gama -loprinosin

-interleukin 2 -levamisol

b. mengganti sel limfosit dengan cara transfusi limfosit,


transplantasi timus dan transplantasi sumsum tulang
(Juwono, 2004).

5. Pengobatan simtomatis dan suportif

PENYAKIT HIV-AIDS Page 25


Obat-obat simtomatis dan terapi suportif sering harus diberikan pada
seseorang yang telah menderita AIDS, antara lain yang sering yaitu : analgetik,
transquilizer minor, vitamin dan transfusi darah (Juwono, 2004).

Menurut Djoerban dan Djauzi (2006) obat anti retroviral terdiri dari
beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nleotide
reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan
inhibitor protease. Saat ini regimen pengobatan anti retroviral yang dianjurkan
WHO adalah kombinasi dari 3 obat ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat
dipergunakan dengan keunggulan dan kerugian masing-masing.

Kombinasi ARV lini pertama yang umumnya digunakan di Indonesia


adalah kombinasi zidovudin(ZDV), lamivudin (3TC), dengan nevirapin (NVP).

Tabel. Kombinasi ART untuk Terapi inisial (Djoerban dan Djauzi, 2006).

*Tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama atau wanita yang
berpotensi tinggi untuk hamil

PENYAKIT HIV-AIDS Page 26


(Ditjen PP&PL, 2011).

Evaluasi Pengobatan

Pemantauan jumlah sel CD4 didalam darah merupakan indikator yang


dapat dipercaya utuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV,
dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan memberikan pengobatan
HRV. Jika tidak dapat sarana pemeriksaan CD4, maka jumlah CD4 dapat
diperkirakan dari jumlah limfosit total yang sudah dapat dikerjakan dibanyak
laboratorium pada umumnya (Djoerban dan Djauzi, 2006).

Sebelum tahun 1996, para klinisi mengobati, menentukan prognosis dan


menduga staging pasien, berdasarkan gambaran klinis pasien dan jumlah limfosit

PENYAKIT HIV-AIDS Page 27


CD4. Sekarang ini sudah ada tambahan parameter baru yaitu hitung virus HIV
dalam darah (viral load) sehingga upaya tersebut menjadi lebih cepat (Djoerban
dan Djauzi, 2006).

PENYAKIT HIV-AIDS Page 28


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
- AIDS dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala
penyakit dengan karakteristik defisiensi imun yang berat, dan
merupakan manifestasi stadium akhir infeksi HIV. Antibodi HIV
positif tidak identik dengan AIDS, karena AIDS harus menunjukkan
adanya suatu atau lebih gejala penyakit akibat defisiensi sitem imun
seluler .
- HIV 1 dan HIV 2 merupakan suatu virus RNA yang termasuk
retrovirus dan lentivirus. HIV 1 penyebarannya lebih luas di hampir
seluruh dunia, sedangkan HIV 2 ditemukan pada pasien-pasien dari
afrika barat dan Portugal.
- Tiga Cara Penularan HIV :
o Hubungan Seksual
o Kontak Langsung dengan Darah/produk Darah/Jarum Suntik
o Secara Vertikal, dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya,
baik selama hamil, saat melahirkan ataupun setelah melahirkan.
Risiko sekitar 25-40%, terdapat <0,1% dari total kasus sedunia
- Manifestasi virus infeksi HIV sangat luas spektrumnya, karena itu ada
beberapa macam klasifikasi. Yang paling umun di pakai adalah
klasifikasi yang di buat oleh CDC,USA, sebagai berikut :
o Grup 1 : infeksi akut
o Grup II : infeksi kronik asimtomatik
o Grup III : persistent generalized lymphadenopathy
o Grup IV : penyakit lain
Sub grup A : penyakit konstitusional
Sub grup B : penyakit neurologis
Sub grup C : penyakit infeksi sekunder
Sub grup D : kanker sekunder

PENYAKIT HIV-AIDS Page 29


Sub grup E : kondisi-kondisi lainnya
- Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas tehadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting.
Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons imunn
yang progresif.
- Menurut Djoerban dan Djauzi (2006) secara umum, penatalaksanaan
ODHA terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
1. Pengobatan untuk menekan replikasi HIV dengan obat anti
retroviral (ARV).
2. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS seperti jamur, tuberkulosis,
hepatitis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
3. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi
lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan
psikososial dan dukungan agama serta tidur yang cukup dan menjaga
kebersihan.

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa lebih dapat
mengenal mengenai demam tifoid dan mencari lebih banyak pengetahuan tentang
penyakit ini khusunya dalam pemberian obat yang rasional untuk pasien dengan
penyakit ini. Agar nantinya kita sebagai seorang farmasis dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien dalam hal disini yaitu pasien yang menderita demam tifoid.

PENYAKIT HIV-AIDS Page 30


DAFTAR PUSTAKA

Ditjen PP&PL. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa. Jakarta : Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.

Djoerban, Z dan Djuazi, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, Edisi
IV. Jakarta : FK UI.

Juwono, R. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta : FK UI.

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &


Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.

PENYAKIT HIV-AIDS Page 31

You might also like