You are on page 1of 19

Refarat Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 21 pt

Polip Anterokoanal Formatted: Font: 21 pt


Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 21 pt
Formatted: Indent: Left: 0.29", Space After: 7.45 pt,
Line spacing: Multiple 1.08 li
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt

Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt

Pembimbing
dr. Syabriansyah, Sp.THT-KL Formatted: Indent: Left: 1.5", First line: 0.16"
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt

Disusun oleh :
Fegi Dwiputra Nugaraha (H1AP12021)

Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt

Kepaniteraan Klinik THT Formatted: Font: (Default) Times New Roman


Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 14 pt
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Begkulu
Formatted: Font: (Default) Times New Roman
Rumah Sakit Umum Daerah M Yunus
Provinsi Bengkulu Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 14 pt

Formatted: Space After: 0 pt, Tab stops: 2.87",


2017 Centered + 5.04", Centered

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul ......................................................................... 1


Daftar isi .................................................................................. 2

BAB I Pendahuluan
A. Pendahuluan ..................................................................... 3
BAB II Tinjauan Pustaka
A. Anatomi Hidung ............................................................... 4
B. Polip Anterokoanal ........................................................... 6
BAB III Kesimpulan ................................................................. 17

Daftar Pustaka

2
BAB I
Pendahuluan

A. Pendahuluan
Polip nasi adalah kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan,
dengan permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan.
Polip nasi bukan merupakan penyakit tersendiri tetapi merupakan
manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit dan sering dihubungkan
dengan sinusitis, rinitis alergi, asma dll.1
Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir
melalui tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada
daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terisap oleh tekanan negatif ini
sehigga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip. Fenomena
ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area yang sempit di
kompleks ostiomeatal (KOM) di meatus medius, walaupun demikian polip
dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan
seringkali bilateral dan multipel. Polip yang berasal dari sinus maksila
(antrum) dapat keluar melalui ostium sinus maksila atau ostium
asesoriusnya, masuk ke rongga hidung dan berlanjut ke koana lalu membesar
di nasofaring. Polip ini disebut polip koana (polip antrokoanal).1
Polip antrokoanal pertama kali ditemukan oleh Killian pada tahun
1906. Karena itu, polip ini disebut juga sebagai Killians polyp.2Polip
antrokoanal adalah suatu lesi polipoid jinak yang berasal dari mukosa antrum
sinus maksila yang inflamasi dan udematus, dapat meluas ke koana.
Terbanyak berasal dari mukosa dinding antrum bagian posterior.
Etiopatogenesis polip antrokoanal sampai saat ini masih kontroversi.
Polip antrokoanal banyak ditemukan pada anak dan dewasa muda
dengan gejala utama hidung tersumbat unilateral dan rinore. Nasoendoskopi
dan Tomografi komputer merupakan pemeriksaan baku emas untuk
menegakkan diagnosis polip antrokoanal. Penatalaksanaan polip antrokoanal
adalah dengan polipektomi. Banyak teknik polipektomi polip antrokoanal
yang telah dikenal, akan tetapi dengan efek samping dan tingkat rekurensi
yang tinggi.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu
dinding medial, lateral, inferior dan superior. Bagian dari kavum nasi yang
letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut sebagai
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang memiliki banyak kelenjar

sebasea dan rambut-rambut yang disebut dengan vibrise.3

Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang rawan, dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periostium pada bagian tulang sedangkan diluarnya dilapisi juga oleh mukosa
hidung.
1. Tulang dan kartilago
Bagian tulang terdiri dari:
a. Lamina perpendikularis os etmoid
b. Os Vomer
c. Krista nasiis os maksila.
d. Krista nasiis os palatina
2. Bagian tulang rawan terdiri dari
a. Kartilago septum (kartilago kuadrangularis)
b. Kolumela

Gambar 1. Anatomi hidung


Dinding lateral rongga hidung dibentuk oleh permukaan dalam prosesus
frontalis os maksila, os lakrimalis, konka inferior dan konka media yang merupakan
bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan

4
lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang
terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil
ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang dinamakan dengan meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus
yaitu meatus inferior, medius dan superior. Dinding inferior merupakan dasar
hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal
os palatum.
Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior
dan inferior, os nasi, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus
os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang
dilalui filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial

konka superior.2

Gambar 2. Dinding lateral hidung

Vaskularisasi

Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina


yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari arteri karotis eksterna).
Septum bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga
cabang dari arteri maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri
labialis superior (cabang dari arteri fasialis) memperdarahi septum bagian
anterior mengadakan anastomose membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak
lebih superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Littles
area yang merupakan sumber perdarahan pada epistaksis. Arteri karotis interna

5
memperdarahi septum nasi bagian superior melalui arteri etmoidalis anterior
dan superior.

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri


maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis. Vena sfenopalatina mengalirkan darah balik dari bagian posterior
septum ke pleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis.
Pada bagian superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui vena oftalmika
yang berhubungan dengan sinus sagitalis superior.

Gambar 3. Vaskularisasi hidung

B. Polip Anterokoanal

1. Definisi
Polip antrokoanal merupakan pertumbuhan jinak unilateral yang berasal
dari mukosa sinus maksilaris dengan pertumbuhannya kedalam ostium sinus
maksilaris hingga mencapai koana posterior dan polip terlihat di nasofaring.
Polip antrokoanal adalah lesi polipoidal soliter jinak yang timbul dari antrum
sinus maksilaris yang menyebabkan opasitas dan pembesaran antrum secara
radiologis tanpa bukti kerusakan tulang. Polip tersebut keluar dari antrum
melalui ostium aksesori mencapai rongga hidung, mengembang di posterior
untuk keluar melalui choana ke dalam ruang hidung. Polip antrochoanal
berbentuk dumb bell shaped dengan tiga komponen yaitu antral, nasal dan
nasofaring

6
2. Epidemiologi
Polip antrokoanal (Killians polyp) biasanya jarang terjadi dan
kemungkinan muncul pada kelompok ras tertentu. Seperti polip jinak hidung
lainnya biasanya lebih sering muncul pada pria dibanding wanita. Onsetnya
biasanya di bawah usia 40 tahun, walaupun mungkin juga ditemukan pada
semua umur.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Mohd. Tahir J, dkk di Kuala
Lumpur Malaysia melaporkan 40 penderita (17 pria dan 23 wanita) polip
antrokoanal yang dirawat di Pusat Perubatan UKM selama 10 tahun (Mei
1998 hingga April 2008) yaitu median umur penderita adalah 37 tahun.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita. Gejala klinis
yang sering menjadi masalah utama adalah hidung tersumbat (92.5%),
diikuti oleh hidung berair (45%), lelehan belakang hidung (35%) dan
mendengkur (22.5%).
Berbagai pendekatan pembedahan telah digunakan yaitu pembedahan
yang paling sering dilakukan adalah polipektomi endoskopi dan antrostomi
meatus tengah pada 28 penderita (70%). Selain itu, 2 penderita menjalani
septoplasti dan 1 penderita menjalani sinustomi frontal. Terdapat 6 penderita
(15%) menjalani pembedahan kombinasi antrostomi sublabial. Tidak
ditemukan komplikasi yang besar, 4 penderita mengalami penyakit berulang,
3 penderita menjalani pembedahan di tempat lain dan 1 penderita mengalami
penyakit berulang setelah pembedahan pertama. Peneliti merumuskan
bahwa penggunaan endoskopi dalam penatalaksanaan antrokoanal polip
adalah efektif dengan morbiditas yang minimal.
Penelitian oleh Berg (1988) dilaporkan 15 kasus polip antrokoanal
dalam 3 tahun, penelitiannya termasuk polip antrokoanal dari kista
intramural yang berkembang melalui ostium sinus maksilaris kedalam
rongga hidung.

3. Etiologi
Etiologi polip nasi masih belum diketahui secara pasti. Namun terdapat
beberapa keadaan yang berhubungan dengan polip nasi, yaitu :
a. Rhinosinusitis : Alergi maupun non-alergi dan rhinitis non-alergi
dengan sindrom eosinofilia.
b. Cystic fibrosis: Gangguan motilitas siliaris dan komposisi abnormal
dari lendir hidung.
c. Sinusitis jamur alergi.

7
d. Triad Samter: Ini adalah tiga serangkai polip hidung, asma dan
intoleransi aspirin.
e. Sindroma Kartagener: Bronkiektasis, sinusitis, situs inversus dan
diskinesia siliaris.
f. Sindrom Young: penyakit Sinopulmonary dan azoospermia.
g. Sindrom Churg-Strauss: Asma, demam, eosinofilia, vaskulitis dan
granuloma.
h. Hidung mastositosis: Mukosa hidung disusupi sel mast dengan
sedikit eosinofil. Tes kulit untuk tingkat alergi dan IgE normal.
i. Neoplasma: Polip nasal sederhana dapat dikaitkan dengan
keganasan, yang umum terjadi pada orang di atas 40 tahun dan harus
dikeluarkan melalui pemeriksaan histologis.
j. Sensitifitas terhadap ASA (asam asetilsalisilat)

Pasien biasanya mengalami onset asma pada saat dewasa dengan


polip nasi dan sinusitis kronis. Banyak pasien yang sensitif terhadap ASA
ataupun OAINS (obat anti inflamasi non steroid) namun tidak
mengetahuinya. Paparan terhadap ASA ataupun OAINS lainnya dapat

mengarah kepada eksaserbasi asma hingga bahkan syok anafilaktik.9

Inflamasi kronis kiranya memiliki peranan awal dalam patogenesis polip


nasi. Polip multipel muncul pada anak dengan sinusisit kronis, rinitis alergi,
cystic fibrosis, dan allergic fungal sinusitis. Suatu polip tersendiri dapat
menjadi polip antrokoanal, polip jinak yang besar, kista duktus
nasolakrimalis, suatu lesi kongenital, serta tumor jinak ataupun ganas,
seperti :
Encephalocele
Glioma
Papilloma
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma
Rabdomiosarkoma Limfoma
Neuroblastoma Sarkoma
Karsinoma nasofaring
Inverting papilloma

4. Patafisiologi
Polip antrokoanal termasuk penyakit inflamasi sinus maksilaris. Hal ini
masih menjadi kontroversi bagi beberapa peneliti. Yang masih menjadi
kontroversi adalah asal, patogenesisnya dan penatalaksanaannya. Terjadinya
infeksi bakteri pada sinus diikuti dengan rhinosinusitis. Selain faktor

8
anatomi seperti bulosa konka, deviasi septum nasal, infeksi sinus etmoidalis
anterior akan mengakibatkan sinusitis maksilaris kronik.
Ada beberapa kelenjar mukosa asinus didalam antrum maksilaris.
Infeksi pada mukosa dapat memudahkan terjadinya penutupan kelenjar
asinus. Karena hal tersebut maka formasi sebuah kista yang mana dapat
berkembang kedalam sinus sampai ke ostium membentuk polip antrokoanal
pada hidung dan nasofaring. Bagian antral telah dilaporkan sebagai polipoid
atau kista.

5. Gejala Klinis
Gejala klinis utama adalah hidung tersumbat unilateral dan disertai
nasal discharge. Beberapa kasus yang jarang, gejala polip antrokoanal tidak
khas. Polip antrokoanal berbeda dari inflamasi kronik, polip sinus maksilaris
hanya mempunyai sedikit gejala minor yaitu proses terjadinya sedikit lama,
sedikitnya terjadi obstruksi ostium maksilaris, tingginya angka kejadian
sakit kepala, obstruksi hidung persisten, adanya kista pada stroma polip,
penipisan membran basal, rendahnya angka kejadian metaplasia sel
skuamosa dan tingginya proporsi perpindahan sel dalam cairan hidung. Pada
2 kasus penelitian, dapat didiagnosis alergi tapi hal ini tidak sama dengan
polip, yang mana tidak ditemukannya gambaran tipe morfologi dari alergi
berhubungan polip (eosinofilik).
Mohd Tahir J dkk meneliti bahwa gejala klinis yang paling sering
adalah sumbatan hidung (92,5%) diikuti dengan rinorea (45%), postnasal
drip (35%) dan mendengkur (22,5%).

Tabel 1. Gejala klinis dari 40 penderita dengan polip antrokoanal.


Gejala klinis n (%)
Sumbatan hidung 37 (92,5)
Rinorrea 18 (45)
Postnatal drip 14 (35)
Mendengkur 9 (22,5)
Nyeri Kepala 5 (12,5)
Hiposmia 4 (10)
Gumpalan dalam tenggorakan 4 (10)
Rasa tidak nyaman pada hidung 4 (10)
Gejala Klinis n (%) Formatted Table

Sumbatan hidung 37 (92.5) Formatted: Line spacing: single

Rinorrea 18 (45) Formatted: Line spacing: single

9
Postnasal drip 14 (35) Formatted: Line spacing: single

Mendengkur 9 (22.5) Formatted: Line spacing: single

Nyeri kepala 5 (12.5) Formatted: Line spacing: single

Hiposmia 4 (10) Formatted: Line spacing: single

Gumpalan dalam tenggorokan 4 (10) Formatted: Line spacing: single

Rasa tidak nyaman pada hidung 4 (10 Formatted: Line spacing: single
Formatted: Right: 0", Space After: 0 pt, Line spacing:
7 single
Tabel 2. Observasi rinologis yang berhubungan dengan polip antrokoanal.
Gejala Klinis n (%) Formatted: Centered, Line spacing: single
Sinusitis kronis 20 (50) Formatted Table
Deviasi septum 5 (12,5) Formatted: Font color: Auto
Polip etmoid 4 (10) Formatted: Font color: Auto

Konkoa Bulosa 4 (10) Formatted: Line spacing: single

1 (2,5) Formatted: Font: Not Bold


Bilateral inferior turbinate hypertrophy
Formatted: Centered, Line spacing: single
Diagnosis
Formatted: Font: 12 pt
6.
Formatted: Indent: Left: 0.44", Numbered + Level: 1 +
Dari anamnesis ditemukan adanya sumbatan hidung unilateral disertai Numbering Style: 1, 2, 3, + Start at: 1 + Alignment:
Left + Aligned at: 1.08" + Indent at: 1.33"
nasal discharge, kadang-kadang disertai dengan nyeri kepala, serta
Formatted: Font: Bold
ditemukannya massa polipoid pada hidung melalui rinoskopi anterior Formatted: Indent: Left: 0.44", Right: 0", Space After:
0 pt, Line spacing: 1.5 lines
dan/atau posterior, dari pemeriksaan fisik biasanya mengarah kepada polip
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt
antrokoanal yaitu ditemukannya polip yang berasal dari mukosa sinus
maksilaris dengan pertumbuhannya kedalam ostium sinus maksilaris hingga
mencapai koana posterior dan polip terlihat di nasofaring.
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan Formatted: List Paragraph, Indent: Left: 0", Line
rinoskopi anterior dapat terlihat adanya massa yang berwarna pucat yang spacing: single
berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.
Formatted: List Paragraph, Justified, Indent: Left:
0.69", First line: 0.31", Line spacing: 1.5 lines
Pembagian polip nasi menurut Mackay dan Lund:12
a. Grade 0 : Tidak ada polip Formatted: Line spacing: 1.5 lines

b. Grade 1 : Polip terbatas pada meatus media


c. Grade 2 : Polip sudah keluar dari meatus media, tampak di rongga
hidung tapi belum menyebabkan obstruksi total Formatted: Font: 16 pt, Superscript

d. Grade 3 : Polip sudah menyebabkan obstruksi total


Formatted: Font: 16 pt
Formatted: List Paragraph, Left, Indent: Left: 0", First
line: 0.19", Line spacing: single
Formatted: List Paragraph, Left, Indent: Left: 0", Line
spacing: single

10
Gambar 4. Grading polip menurut Mackay dan Lund
Pemeriksaan radiologis mengunakan CT-Scan dan MRI (jarang)
dapat membantu menegakkan diagnosis polip antrokoanal. Pada CT-Scan
biasanya ditemukan gambaran massa jaringan lunak pada antrum yang
sampai ke bagian hidung dan nasofaring. Pemeriksaan CT-Scan juga
diperlukan untuk mengevaluasi perluasan penyakit serta hubungannya
dengan kelainan etmoidal, yang nantinya akan membantu untuk
merencanakan terapi.

Gambar 5. Polip antrokoanal yang menggantung dari nasofaring sampai ke


orofaring.

11
Gambar 6. Polip antrokoanal kiri yang menggantung ke dalam orofaring.

Gambar 7. Gambaran CT-Scan sinus paranasal yang memperlihatkan suatu


jaringan lunak yang menempati seluruh antrum kiri yang meluas sampai ke
etmoid.

Gambar 8. CT-Scan koronal yang memperlihatkan gambaran polip


antrokoanal yang tumbuh dari antrum maksila kanan yang meluas ke
dalam rongga hidung kanan melalui pelebaran ostium sinus.
7. Diagnosis Banding
Diagnosis sangat mengarah kepada polip antrokoanal
apabila antrum maksilaris meluas dan terdapat massa nasofaringeal.
Beberapa diagnosis yang mungkin adalah sebagai berikut :
a. Disfungsi konka (Turbinate Dysfunction).
Semua individu dapat mengalami disfungsi konka dalam suatu
waktu dalam hidupnya. Gejalanya dapat berupa obstruksi total
ataupun sumbatan ringan dan/atau rinorea. Penyebabnya termasuk
infeksi saluran nafas bagian atas, rinitis alergi, dan rinitis vasomotor.
Obat-obatan dan hormon juga dapat memicu hal ini. Sumbatan
hidung merupakan suatu gejala umum yang berhubungan dengan
disfungsi konka. Gejalanya dapat ringan, atau dapat berat hingga
membutuhkan dekongestan topikal seperti oxymetazoline atau
phenylephrine. Etiologi disfungsi konka merupakan multifaktorial.
Infeksi dan peradangan merupakan penyebab paling sering. Karena
konka memiliki banyak suplai pembuluh darah dan diatur oleh

12
sistem saraf parasimpatis, semua hal yang mempengaruhi dua hal ini
akan mempengaruhi konka.

Gambar 9. Hipertrofi mukosa dari konka inferior kanan dengan


obstruksi airway total

b. Chronic hypertropic polypoid rhinosinusitis.


Keadaan ini mempengaruhi epitel saluran nafas bagian atas. Ditandai
dengan adanya instabilitas vasomotor, hipertrofi mukosa polipoid, dan
infeksi superimposed. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya
instabilitas vasomotor pada saluran nafas bagian atas seperti obat-
obatan, infeksi, ketidakseimbangan hormonal, dan faktor psikogenik.
Alergi juga sering sebagai faktor penyebab terutama apabila
perubahannya terjadi bilateral. Polip hipertrofi dapat terjadi unilateral
ataupun bilateral.

Gambar 10.Chronic hypertropic polypoid rhinosinusitis.


c. Tumor Ganas Nasofaring
Merupakan 1% dari seluruh tumor ganas. Neoplasma ini dapat
menyebabkan terjadinya kesulitan dalam mendiferensial diagnosis.
Tumor ini cenderung menyebabkan kerusakan struktur tulang,
sumbatan jalan nafas, pelebaran jaringan adenoid atau terjadi invasi ke
dalam sinus paranasal. Diperlukan pemeriksaan CT-Scan untuk
mengevaluasi perluasan tumor. Tumor ganas nasofaring yang paling
sering terjadi pada ana-anak adalah limfoma, rabdomiosarkoma,

13
limfoepitelioma, dan neuroblastoma olfaktori. Jenis-jenis ini biasanya
tidak dapat dibedakan dengan menggunakan pemeriksaan radiologis.

Gambar 11. Tumor Nasofaring


d. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma
Merupakan suatu tumor jinak vaskuler yang dapat merusak jaringan
sekitar, paling sering muncul di nasofaring atau posterior rongga
hidung. Gejalanya dapat berupa epistaksis, sumbatan hidung, atau
adanya massa di nasofaring.

Gambar 12. Ekstensif angiofibrma


8. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Pada fase awal perubahan dari polip, dapat di berikan
pengobatan dengan antihistamin dan dapat memberi hasil yang baik
dengan kembalinya polip menjadi normal. Untuk mengontrol alergi dan
infeksi penggunaan steroid juga dapat digunakan (lokal maupun
sistemik).
Sangat disayangkan, banyak literatur mengenai pengobatan
polip yang masih tidak begitu efektif. Menurut Mackay jika suatu
operasi tidak lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan lainnya,
yang paling baik adalah melakukan yang paling sederhana dengan
resiko yang minimal bagi pasien. Hampir seluruh ahli bedah saat ini
mengobati polip secara pembedahan, tetapi banyak polip yang sensitif
terhadap kortikosteroid, dan apabila polip tidak menyebabkan sumbatan
hidung secara total, pengobatan preoperatif menggunakan
kortikosteroid sangat bermanfaat.

14
Proporsi pasien yang sensitif terhadap kortikosteroid masih
belum pasti, pemberian kortikosteroid oral harus dihindari walaupun
pengobatan ini lebih baik daripada pengobatan kosrtikosteroid topikal.
Tetes hidung betametason, 2 kali sehari pada masing-masing sisi
diberikan dalam waktui 1 bulan. Posisi saat meneteskan dalam posisi
telentang dengan kepala menengadah. Posisi ini memungkinkan
penetrasi obat lebih mudah ke dalam etmoid. Pilihan lain seperti
triklormetasone atau flumisolid dapat digunakan. Polip dapat hilang
secara sempurna dan pengobatan ini harus diteruskan minimal 3 bulan.
b. Operatif
Hampir pada semua kasus polip dilakukan tindakan
pembedahan. Terutama pada pasien yang sudah tidak memberikan
respon yang baik terhadap pengobatan farmakologi.
Krauses nasal snare digunakan untuk menghilangkan polip pada
hidung , dan juga dilakukan teknik partial turbinectomy.
Intranasal ethmoidectomy
External ethmoidectomy
Transantral etmoidectomy

Terdapat pandangan yang berbeda pada jenis operasi yang


dibutuhkan untuk polip nasi. Polipektomi sederhana merupakan
operasi pilihan, polip dapat diangkat dengan suatu avulsi atau
dengan pemotongan atau penggunaaan forceps seperti Tilley
Henckel`s, harus diperhatikan ketika menggunakan forceps jangan
terlalu ke medial ataupun ke lateral, seluruh mukosa polipoid harus
diangkat dari etmoid. Walaupun etmoidektomi intranasal
disarankan oleh beberapa ahli, polipektomi sederhana masih
merupakan prosedur yang komplit dan aman.

Etmoidektomi eksternal dilakukan melalui insisi medial ke


dalam kantus interna (Howarths) atau melalui insisi pada kulit di
bawah batas intraorbita (Pattersons). Seluruh sel dapat diangkat
apabila orbita dan seluruh bagian-bagiannya telah digeser ke lateral
dan pembuluh darah etmoidal interior dipisahkan. Harus berhati-
hati dalam membuka ostium sinus frontal secara luas untuk
mencegal mukokel yang merupakan komplikasi lanjut dari
pembedahan. Tidak ada penelitian yang menyatakan bahwa

15
etmoidektomi ekternal dapat mencegah kekambuhan, walaupun ada
beberapa ahli yang mengatakan demikian.

Pembedahan merupakan pilihan terapi dari polip antrokoanal.


Pengangkatan sederhana yang dilakukan pada awalnya dengan
menggunakan nasal snare atau polyp-forceps dapat menghilangkan
gejala dan pasien akan merasa kembali baik dalam beberapa tahun.
Namun sering terjadi kekambuhan yang disebabkan bagian antral
dari polip masih tertinggal. Pada kasus seperti ini dibutuhkan
pengangkatan radikal melalui sublabial. Prosedur ini disebut dengan
Caldwell-Luc operation. Antrum maksila dibuka dan polip diangkat
dari antrum.

Pada anak-anak prosedur ini tidak dapat dilakukan, karena


dapat menyebabkan deformitas fasio-maksilaris dan kerusakan gigi
permanen yang terletak di antrum maksila. Terapi antihistamin
jangka panjang lebih dipilih untuk mengontrol alergi.

9. Prognosis
Rekurensi polip nasi merupakan suatu masalah yang masih dihadapi
oleh para ahli. Angka rata-rata terjadinya rekurensi sangat bervariasi. Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Drake dkk selama 2 tahun menunjukkan
bahwa 5% pasien memiliki riwayat polipektomi lima kali atau lebih. Sangat
sulit untuk mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya
kekambuhan. Diperkirakan bahwa pasien yang mengalami polip pada usia
yang lebih muda dan memiliki riwayat keluhan hidung yang lama biasanya
lebih besar berkemungkinan mengalami kekambuhan. Pasien dengan
penyakit nasal yang berat sering membutuhkan operasi yang lebih besar.
Namun hal ini tidak menurunkan angka kemungkinan terjadinya
kekambuhan. Pasien dengan asma akan mengalami kekambuhan yang lebih
sering pada umumnya, dan apabila juga terdapat hipersensitivitas terhadap
aspirin akan lebih bertambah lagi kemungkinannya.
Polip nasi mirip seperti gulma. Sangat sulit untuk dieradikasi secara
tuntas. Oleh sebab itu, tujuan dari manajemennya adalah mengontrol gejala.
Apabila pasien hanya memiliki gejala minimal, terapi pun dapat minimal.
Apabila gejalanya lebih berat, terapinya pun harus lebih luas. Terapi medis
maupun bedah keduanya tidak menjamin polip tidak akan kembali lagi.
Namun akan sangat meningkatkan kualitas hidup individu.

16
BAB III

Kesimpulan

Polip nasi adalah kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, dengan
permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Polip
antrokoanal adalah lesi polipoidal soliter jinak yang timbul dari antrum sinus
maksilaris melalui ostium aksesori mencapai rongga hidung, mengembang di
posterior untuk keluar melalui choana ke dalam ruang hidung. Polip antrochoanal
berbentuk dumb bell shaped dengan tiga komponen yaitu antral, nasal dan
nasofaring. . Polip muncul pada anak dengan sinusisit kronis, rinitis alergi, cystic
fibrosis, dan allergic fungal sinusitis. Suatu polip tersendiri dapat menjadi polip
antrokoanal, polip jinak yang besar, kista duktus nasolakrimalis, suatu lesi
kongenital, serta tumor jinak ataupun ganas.

17
Gejala klinis utama adalah hidung tersumbat unilateral dan disertai nasal
discharge. Diagnosis polip antrokoanal berdasarkan anamnesis ditemukan adanya
sumbatan hidung unilateral disertai nasal discharge, kadang-kadang disertai dengan
nyeri kepala, serta ditemukannya massa polipoid pada hidung melalui rinoskopi
anterior dan/atau posterior, dari pemeriksaan fisik biasanya mengarah kepada polip
antrokoanal yaitu ditemukannya polip yang berasal dari mukosa sinus maksilaris
dengan pertumuhannya kedalam ostium sinus maksilaris hingga mencapai koana
posterior dan polip terlihat di nasofaring.

Penatalaksanaan untuk polip antrokoanal pada fase awal adalah pemberian


antihistamin dan kortikosteroid. Hampir pada semua kasus polip dilakukan tindakan
pembedahan. Terutama pada pasien yang sudah tidak memberikan respon yang baik
terhadap pengobatan farmakologi.

Pasien yang mengalami polip pada usia yang lebih muda dan memiliki
riwayat keluhan hidung yang lama biasanya lebih besar berkemungkinan mengalami
kekambuhan.

Daftar Pustaka

1. Sharkawy, A. Endoscopic management of paediatric antrochoanal polyp. Acta


Otorhinolaryngologica Italica. 2013;33:107-111
2. Kamath, M. Panduranga, Mahesh C, Suja S, Padmnabhan K. Antrochoanal
polyps and allergy a comparative study. Indian J Otolaryngol and Head and
Neck Surgery. 2002 March 54(1):1-4
3. Dhingra, P.L, Shruti D. Disease of Ear, Nose, Throat & Head and Neck Surgery
6th Edition. 2014. Elsevier : New York.
4. Hansen, John T. Netters Clinical Anatomy : Nasal region. 2010. Saunders:
Philadeplhia

5. Bansal, Mohan. Disease of ear, nose & throat: Nasal polyps. 2013. Jaypee Brothers
Medical Publisher: London.

6. Tuli, BS, Isha Preet. Textbook of Ear, Nose and Throat Second Edition. 2013.
Jaypee Brothers Medical Publisher: New Delhi.

18
7. Marcos RB, Rogerio PG, Sebastio DP, Viviane CS. Antrochoanal polyposis: a
review of sixteen cases. Ear Nose Throat J. 2006;72(6):831-35
8. Weber, Silke Anna, Giesela F. Incidence and evolution of nasal polyp in children
and adolescents with cystic fibrosis. Rev Bras Otorhinolaringol. 2008;74(1):16-
20
9. Sharma, Manish, Padam S, Megha K, Mohit G. Huge antrochoanal polyp
mimicking double tongue. Int J Dent Med Res. 2015 Mar;1(6):130-132
10. Sousa, Marcello Castro, Helena M, Celso G, Mariana M, Nicodemos J.
Reproducibility of the three-dimensional endoscopic staging system for nasal
polyposis. Braz J Otorhinolaringol. 2009;75(6): 814-20
11. Al-Mazrou, Khalid A, Manal B, Abdurrahman I. Characteristic of antrochoanal
polyps in the pediatric age group. Annal of Throracic medicine. 2009;4(3):133-136
12. Rao, U.Srinivasa, V Sandeep. Clinical and radiological study of antrochoanal
polyps. Int J Contemp Med Res. 2016;3(4):1162-66
13. Mirkovic, Cveta S, Aleksandar P, Biserka V, Ivan S. Clinical case report of a
large antrochoanal polyp. Acta Medica. 2014;57(2):78-82
14. Sanosi, Abdurrahman Al. Endoscopic excision of the antrochoanal polyp.
Kuwait Med Journ. 2005;37(3):182-184
15. Frossini P, Picarella E, De Campora. Antrochoanal polyp : analysis of 200
cases. Acta Otorhinolaryngol Italica. 2009;29:21-26
16. Yaman, Huseyin, Suleyman Y, Elif K, Ender G, Ozcan O. Evaluation and
management of antrochoanal polyps. Clin Exp Otorhinolaryngol 2010;3(2):110-
114
17. Maldonado, Miguel, Asuncion M, Isam A, Joaquim M. The antrochoanal polyp.
Rev Rhinology. 2004;43:178-182

19

You might also like