You are on page 1of 3

KEARIFAN EKOLOGIS KARUHUN SUNDA MELALUI UGA TANAH (C)AWISAN

[1]
Nandang Rusnandar
Uga bagi masyarakat Sunda, merupakan salah satu bentuk pengungkapan prediksi antisipatif dari generasi karuhun
untuk dipedomani mengenaikejadian-kejadian pada masa yang akan datang. Uga Bandung secara khusus dan uga
Sunda secara umum banyak yang mengutarakan mengenai bagaimana pentingnya memelihara lingkungan hidup.
Orang Baduy di daerah Banten misalnya mempunyai suaka pemujaan yang disebutSasakadomas dan tempat-tempat
yang dianggap suci lainnya. Menurut kepercayaannya tempat suci itu merupakan sasaka pusaka buana yang
harus dijaga diraksa harus dipelihara dan dijaga dari kerusakan. Demikian pula dengan tanah cawisan yang
dianggap suci ini harus dijaga dari kerusakan alam. Hal itu pun terlihat pula di Kampung Adat Dukuh di Garut
Selatan, di sana ada lokasi tanah cawisan yang dianggap suci dan tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang.
Uga yang menyatakan akibat dari sebuah perbuatan dan pada akhirnya alam menjadi korban, termasuk manusia di
dalamnya, sehingga mereka semua menuju suatu tempat yang telah dicawiskeun diperuntukkan, dapat dilihat pada
uga di bawah ini,
1. Bandung th bakal kakeueum, bakal pindah ka tegal harendong.
2. Jaga Bandung bakal jadi sagara, ngarungsina ka tegal harndong.Tegal harndong th leuweung
panyampayan. Petana th ti Cipelah bras ka Citambur anjog ka hiji leuweung, tah ta tegal harndong.
3. Jaga Bandung bakal kakeueum, sabeulah urang Bandung ka kidul baganana ka Gunung Cikuray,
sabeulahna ka kalr, baganana ka Gunung Tangkubanparahu
Uga di atas menunjukkan adanya akibat yang ditimbulkan ketika Bandung mengalami perubahan, dari kota
menjadi kakeueum air atau menjadi lautan. Penduduk Bandung akan mengungsi atau pindah tempat menuju ke
tempat yang telah ditentukan, Tegal Harndong, Gunung Cikuray untuk penduduk Bandung Selatan sedangkan
Gunung Tangkubanparahu untuk penduduk Bandung Utara. Tegal Harndong adalah suatu tempat yang letaknya
sangat samar, hanya disebutkan berada di sebuah hutan panyampayan di daerah Citambur.
4. Di mana manusa teu merhatikeun Cikapundung, Pasir Buniwangi jeung Pasir Ngla, bakal urug, tuluy
mangpet ngabendung wahangan. Jeung dimana ngemplangna nepi Maribaya Cibodas, nu ngabendung
tuluy bedah, Bandung kalld, kakeueum ; laju Bandung jadi talaga deui.

Uga di atas menyatakan Bandung akan mengalami kejadian perubahan alam yang mengakibatkan
Bandung menjadi kakeueum,talaga terendam air, dan telaga, diakibatkan oleh keserakahan manusia
yang berada di kota Bandung tanpa melihat akibat yang ditimbulkan di kemudian hari. Makna dari
kata kakeueum dan talagadapat menunjukkan makna konotatif dan denotatif, yaitu sesak oleh
manusia, keadaan semacam itu mengakibatkan kota Bandung diibaratkan sebagai lautan, atau akibat
dari perbuatan yang tidak bertanggungjawab dan melupakan kearifan lokal, maka Bandung
menjadi kakeueum dan talaga, seperti dalam Uga /4/ bagi manusia yang tidak lagi memerhatikan
Cikapundung dan Citarum maka akibatnya banjir di mana-mana, maka ada kemungkinan Bandung akan
menjadi telaga kembali.

Uga lain yang masih senada,

5 Urang Bandung mah bakal ka tegal harndong (ceuk riwayat di darah pakidulan
Pangalngan, di dinya aya nu disebut Tegal Bandung, cawisan keur urang Bandung. (dipelakan
ku urang pangalngan tara jadi)

6 Di darah Subang aya cab panayogian nu geus tumok (tos bad asak), Urang Bandung lumpat ka
Tegal Bandung atawa Tegal Layapan di Subang. Bandung heurin ku tangtung
Setiap uga lokal memiliki obsesi sebagai orientasi tempat yang akan berkembang sesuai dengan
perkembangan daerahnya, uga di atas misalnya, menggambarkan perkembangan di daerah yang ditandai dengan
adanya daerah (c)awisan atau daerah peruntukkan yang ditentukan dalam uga itu sendiri. Dan apabila uga menjadi
kenyataan bahwa Bandung menjadi lautan, maka ada korelasi antara kegiatan manusia yang merusak alam Bandung
dengan hasil yang diakibatkannya, kemudian mereka akan pindah ke tempat yang sudah ditentukan dalam uga,
seperti Tegal Harendong, Tegal Bandung, dan Tegal Layapan.
Kerarifan yang tertuang dalam uga dapat berfungsi sebagai antisipatif. Seperti daerah cawisan yang dianggap
sebagai tempat yang disakralkan, maka akan membantu masyarakat setempat untuk menjadikan salah satu daerah
konservasi alam sehingga tidak merusak dan mengeksploitasinya. Di samping itu uga pun dapat menjadi
sarana pemberitahuan dan perhatian untuk berbuat waspada akan kehancuran alam yang disebabkan oleh ulah
manusia.
Kearifan lokal yang terlupakan disebabkan oleh :

- Kurangnya minat para pemuda akan tradisi

- Sistem Pendidikan yang lebih mementingkan materi daripada nilai-nilai

- Orang tua yang tidak lagi mentransformasikan nilai-nilai tradisi

- Gaya hidup orang kota lebih banyak ditiru dan mereka melupakan tradisinya.

- Globalisasi informasi yang siap saji di depan meja mengubah sikap dan perilaku generasi muda
untuk lebih melihat hal-hal yang berbau modern
Simpulan
Kita tidak terbiasa mengayun langkah antisipatif atas suatu fenomena alam, yang berakibat pada sebuah
kejadian yang diprediksi uga. Bila upaya mengantisipasi itu tidak dilakukan secara sungguh-sungguh, prediksi uga
akan terjadi dan menjadi kenyataan.
Seperti contoh dengan bertambahnya jumlah penduduk di Kota Bandung atau rusaknya alam sulit untuk
diatasi, tapi dapat diprediksi dengan memanfaatkan uga di satu pihak dan ilmu pengetahuan di pihak lain. Karena itu
sangat diperlukan keseimbangan alam, eksploitasi alam tetap harus mempertimbangkan keseimbangan ekologis.
Adanya uga ini selayaknya dijadikan momentum untuk membiasakan langkah antisipatif ketimbang langkah reaktif.
Apabila langkah reaktif yang temporal dan spasial, maka uga hanya merupakan sebuah karya karuhun yang tidak
berguna. Justru dengan adanya uga ini diharapkan para pembuat kebijakan membiasakan diri dengan langkah
antisipatif. Sebab selama ini fenomena alam hanya dipahami sebagai sebuah kenyataan yang harus diterima begitu
saja.
Harapan, antara pembuat kebijakan pemerintah yang harus mampu mengungkap kearifan masyarakatnya
dalam menghadapi fenomena alam ini, apalagi yang berhubungan dengan lingkungan alam. Begitu pula dengan para
ahli yang menggeluti budaya harus mampu memberikan kontribusi pengetahuannya bagi pembuat kebijakan. Maka
antara keduanya harus ada sinergitas, pemerintah harus memberikan peluang bagi para ahli dalam menekuni dan
mengembangkan ilmunya demi pembangunan, sehingga pembangunan akan berbasis kearifan yang ditemukan oleh
para ahli itu sendiri.

[1] Makalah dibacakan dalam [IA-ITB] Sarasehan Pemulihan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal tgl 28

Januari 2010 di Hotel Aston Jl. Braga Bandung.

You might also like