You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu jenis tumbuhan yang mempunyai variasi morfologi pada organ

bunga adalah Hibiscus rosa-sinensis L. atau lebih dikenal sebagai kembang

sepatu. Hibiscus rosa-sinensis L. mempunyai banyak variasi yaitu meliputi

bentuk, warna (Purseglove, 1987 cit Prihatiningsih, 2011), dan ukuran bunga

(Beers & Howie, 1990). Di Indonesia sedikitnya terdapat 8 variasi bunga terkait

dengan bentuk, warna dan ukuran bunga dalam 1 jenis Hibiscus rosa-sinensis L.

Variasi bentuk bunga Hibiscus rosa-sinensis L. meliputi bentuk single (merah,

merah muda, kuning) dan bentuk double (Beers & Howie, 1990) dengan beberapa

variasi warna (Prihatiningsih, 2011).

Variasi warna pada kembang sepatu dipengaruhi oleh peristiwa hibridisasi

yang menyebabkan terjadinya mutasi genetik (Harvey, 2004). Salah satu agen

yang bisa menyebabkan mutasi genetik adalah kolkisin (Bragd, 1955).

Pemberian kolkisin pada titik tumbuh dari tunas dapat mencegah pembentukan

serabut-serabut benang-benang pengikat kromosom dan pemisahan kromosom

pada anafase dari mitosis menyebabkan ploidisasi kromosom, tanpa pembentukan

dinding sel (Crowder, 1997). Dengan adanya penghambatan mitosis dari kolkisin

ini diharapkan mampu merubah susunan genetik sel tanaman sehingga

berpengaruh lebih lanjut pada bentuk sel dan metabolit sel.

Berdasarkan penelitian Xing dkk. (2011) induksi kolkisin 0,2% selama 24

jam pada eksplan biji menyebabkan tanaman tetraploid dari Catharanthus roseus

1
2

(L.) G. Don memiliki stoma, cabang, daun, kandungan alkaloid indol lebih banyak

dari tanaman asal. Sedangkan menurut penelitian Pande dan Madhukar (2012),

menyatakan bahwa pemberian konsentrasi mutagen di atas 0,2% tidak

menunjukkan pertumbuhan kalus yang signifikan. Berdasarkan penelitian

Haryanti dkk. (2009), ukuran sel dari tanaman dengan perlakuan perendaman

kolkisin dengan konsentrantrasi 0,10%; 0,15% dan 0,20% lebih besar

dibandingkan ukuran sel tanaman kontrol maupun konsentrasi 0,05%.

Teknik kultur jaringan tanaman terdiri atas metode in vivo (George &

Sherington, 1984) dan in vitro (Chawla, 2002). Metode in vitro dapat

menghasilkan metabolit sekunder yang diinginkan dalam jumlah besar. Salah satu

teknik kultur jaringan tanaman secara in vitro adalah kultur kalus.

Berdasarkan penelitian Ismawati dan Kelik (2006) melaporkan bahwa

perlakuan kolkisin terhadap daun kembang sungsang menghasilkan ekstrak

dengan profil kromatogram yang mirip. Dalam penelitian ini akan dilakukan

induksi kultur kalus mahkota bunga kembang sepatu dengan kolkisin untuk

melihat penghambatan sel dan pengaruh kolkisin terhadap profil kromatogram

ekstrak petroleum eter, fraksi etanol 70%, fraksi etilasetat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh inkubasi kalus bunga kembang sepatu pada media

Murashige-Skoog (MS) cair + kolkisin terhadap pembelahan sel ?

2. Bagaimana pengaruh inkubasi kolkisin terhadap profil kromatogram kultur

kalus bunga kembang sepatu dibandingkan dengan tanaman induknya?


3

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh inkubasi kalus bunga kembang sepatu pada media

Murashige-Skoog (MS) cair + kolkisin terhadap pembelahan sel.

2. Mengetahui pengaruh inkubasi kolkisin terhadap profil kromatogram kultur

kalus bunga kembang sepatu dibandingkan dengan tanaman induknya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dalam jangka pendek dapat digunakan sebagai informasi

ilmiah tentang pengaruh lama perendaman kolkisin dalam media MS cair terhadap

pembelahan sel kalus bunga kembang sepatu dan profil kromatogram kalus bunga

kembang sepatu dan tanaman induk. Untuk jangka panjang, diharapkan dalam

penelitian selanjutnya dapat diaplikasikan untuk mendapatkan varietas unggul

dengan kandungan metabolit aktif yang lebih tinggi.

E. Tinjauan Pustaka

1. Uraian tanaman kembang sepatu

a. Klasifikasi kembang sepatu

Klasifikasi tanaman kembang sepatu di dalam Taksonomi

Tumbuhan adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Malvales
4

Suku : Malvaceae

Marga : Hibiscus

Jenis : Hibiscus rosa-sinensis L.

(Tjitrosoepomo dkk., 1977)

b. Nama umum/dagang

Nama umum/ dagang Hibiscus rosa-sinensis L. adalah

kembang sepatu (Heyne, 1987).

c. Nama daerah

Sumatera : bungong raya (Aceh),bunga-bunga (Batak Karo),

soma-soma (Nias), bkyu (Mentawai)

Jawa : kembang sepatu (Betawi), kembang wra (Sunda),

kembang sepatu (Jawa Tengah), bunga rbong

(Madura)

Bali : waribang, pucuk

Nusa tenggara : embuhanga (Sangir), bunga capatu (Timor)

Sulawesi : ulango (Gorontalo), kulango (Buol), bunga capatu

(Makasar), bunga bisu (Bugis)

Maluku : ubo-ubo (Ternate), balbunga (Tidore)

(Heyne, 1987)
5

d. Deskripsi

A B C D

E F G
Keterangan :
A. warna merah dengan mahkota single
B. warna merah jambu dengan mahkota double
C. warna jingga dengan mahkota single
D. warna merah dengan mahkota double
E. warna merah jambu dengan mahkota single
F. warna putih dengan mahkota single
G. warna merah tua dengan mahkota single
Gambar 1. Variasi bentuk mahkota dan warna pada bunga kembang sepatu.

Tanaman kembang sepatu merupakan tanaman perdu, tahunan,

tegak dengan tinggi 3m. Batang bulat, berkayu, keras, diameter

9cm. Batang berwarna ungu ketika masih muda, sedangkan setelah tua

berwarna putih kotor. Daun tunggal, tepi bergerigi, ujung runcing,

pangkal tumpul, panjang 10-16cm, lebar 5-11cm, berwarna hijau muda

dan hijau. Bunga tunggal berbentuk terompet di ketiak daun. Kelopak

bunga berbentuk lonceng, berbagi lima, berwarna hijau kekuningan.

Mahkota bunga terdiri atas lima belas daun mahkota. Benang sari

banyak dan didukung oleh sejenis tabung yang berbentuk tugu


6

(kolumna), tangkai sari merah, kepala sari kuning. Putik dengan

tangkai putik yang berada di dalam kolumna, di bagian ujung tangkai

terbagi menjadi 5 kepala putik. Buah berukuran kecil, lonjong,

berdiameter 4mm. Buah berwarna putih ketika masih muda,

sedangkan berwarna cokelat setelah tua. Akar bertipe tunggang

berwarna cokelat muda (Backer & Bakhuizen, 1965).

e. Khasiat

Bunga kembang sepatu efektif untuk terapi hipertensi arterial

(Dwivedi dkk., 1977 cit Jadhav dkk., 2009), dan antifertilitas (Sethi

dkk., 1986 cit Jadhav dkk., 2009 ; Singh, 1982 cit Jadhav dkk., 2009).

Daun dan bunganya berguna untuk pertumbuhan rambut serta

membantu dalam penyembuhan luka lambung (Nadkarni, 1954 cit

Jadhav dkk., 2009; Ali dan Ansari, 1997 cit Jadhav dkk., 2009; Kurup

dan Joshi, 1979 cit Jadhav dkk., 2009). Berdasarkan penelitian

sebelumnya kembang sepatu memiliki efek farmakologis yaitu anti

radang, anti viral, diuretik, menormalkan siklus haid, ekspektoran

(Anonim4, 2012) serta dapat menaikkan HDL dan menurunkan kadar

gula darah (Sachdewa A, & Khemani LD., 2003).

f. Kandungan kimia

Kembang sepatu mengandung antosianin dan flavonoid, sianidin-

3,5-diglukosida, sianidin-3-soprosida-5-glukosida, kuersetin-3,7

diglukosida, kuersetin-3-diglukosida (Jadhav dkk., 2009).


7

2. Uraian tentang Kultur Jaringan Tanaman

a. Kultur jaringan tanaman

Kultur jaringan atau budidaya in vitro adalah suatu metode

untuk mengisolasi bagian tunas seperti protoplasma, sel, jaringan, dan

organ serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-

bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi

tunas lengkap (Gunawan, 1992).

Seorang botanis asal Jerman yaitu Gottlieb Heberlandt adalah

orang pertama yang mempraktekkan kultur jaringan tanaman

(Chawla, 2002). Menurut Thorpe (2012) penelitian awal dimulai dari

kultur akar, embrio dan kalus/jaringan. Schleiden dan Schwann

mengatakan sel mempunyai kemampuan anatomi bahkan kemampuan

totipotensi (Kuswandi, 2012).

Kemampuan totipotensi adalah kemampuan setiap sel untuk

tumbuh menjadi tanaman sempurna bila diletakkan dilingkungan yang

sesuai (Suryowinoto, 1991 cit. Hendaryono & wijayanti, 1994). Pada

prinsipnya kultur jaringan memerlukan tiga tahap utama. Tahap

pertama meliputi, yaitu menjaga agar kultur yang ditumbuhkan dapat

berkembang dengan baik dalam kondisi aseptik. Tahap kedua adalah

melakukan usaha agar dapat terjadi multiplikasi (penggandaan)

propagula dengan cepat sehingga diperoleh tunas dalam jumlah besar.

Tahap ketiga merupakan persiapan pemindahan planlet ke media

tanam dalam pot atau tanah. Perkembangan teknik perbanyakan klon


8

melalui kultur in vitro mengarah kepada optimasi beberapa aspek

penting, yaitu sifat eksplan awal, komposisi media, kondisi fisik

media, dan lingkungan kultur (Murashige, 1974). Keuntungan kultur

jaringan diantaranya, yaitu mendapatkan tanaman baru dengan waktu

relatif singkat dan produksi metabolit sekunder. Menurut Gunawan

(1995) melalui kultur kalus dan kultur sel dapat memproduksi

metabolit sekunder.

b. Sterilisasi

Sterilisasi dalam kultur jaringan merupakan hal penting karena

faktor utama keberhasilan kultur jaringan adalah cara sterilisasi

eksplan sesuai prosedur. Sterilisasi adalah suatu proses untuk

membunuh jasad renik pada tanaman, sehingga ketika ditumbuhkan

dalam suatu media tidak ada jasad renik yang berkembang biak

(Siallagan, 2012).

Semua bahan media, botol kultur, alat-alat yang digunakan

dalam menangani jaringan dan bahan tanaman harus disterilkan

terlebih dahulu agar bebas dari kontaminasi (Thomas & Davey,

1975). Sedangkan permukaan terluar eksplan dimana banyak

mengandung jasad renik disterilisasi secara aseptik (Widaningrum,

2000) dengan metode sterilisasi kimia (Pratiwi, 2006). Menurut

Bonga dan Durzan (1982) untuk mensterilkan permukaan terluar dari

eksplan sulit dilakukan karena akan merusak atau membunuh jaringan

secara bersamaan.
9

Sterilan kimia yang digunakan dalam kultur jaringan tanaman

diantaranya NaClO (pemutih) dengan konsentrasi 1,5-20% dan waktu

perendaman 5-20 menit (Whetherell, 1982), Ca(ClO)2 3-7 % (b/v)

(Iliev dkk., 2010), HgCl2 dengan konsentrasi 0,01-0,05% dan waktu

perendaman 10-20 menit (Gunawan, 1988), dan alkohol 70% waktu

perendaman 0,5-1 menit (Gunawan, 1988), etanol 95% (v/v) dan

sabun bakteriosida (Iliev dkk., 2010).

Sterilisasi peralatan dan media biasanya menggunakan alat yaitu

otoklaf. Alat tersebut bekerja atas dasar temperatur dan tekanan

(Sabila, 2013). Menurut Santosa dan Nursandi (2002) temperatur

yang digunakan untuk sterilisasi adalah 121oC dengan tekanan antara

15-18 psi (pounds per squar inch) selama 15 menit.

Sterilisasi ruang kultur digunakan alat Laminar Air Flow (LAF)

dengan proses sterilisasi penyaringan. Prinsip kerja dari LAF yaitu

udara yang dihisap oleh blower dihembuskan melalui HEPA (high

efficiency particulate air) filter dengan porositas 0,22 m, sehingga

spora-spora, bakteri dan jamur akan tertahan. LAF biasanya

dilengkapi dengan lampu UV. Sebelum bekerja, permukaan meja

kerja LAF disemprot dan dilap dengan kain yang telah dibasahi oleh

alkohol 70% kemudian lampu UV dinyalakan 1-2 jam (Santosa &

Nursandi, 2002). Menurut Pratiwi (2006) sinar UV bereaksi dengan

asam nukleat sel mikroorganisme sehingga menyebabkan ikatan-


10

ikatan molekul antar timin akan menghalangi replikasi DNA normal

dengan menutup jalan enzim replikasi.

c. Eksplan

Propagasi mikro adalah pembiakan secara vegetatif in vitro

dimulai dari bagian paling kecil eksplan, untuk mendapatkan

sejumlah besar tanaman (George & Sherington, 1984). Eksplan

adalah bagian yang akan dikulturkan. Biasanya berasal dari meristem,

tunas, batang, kepala sari, daun, embrio, hipokotil, biji, rimpang, umbi

akar atau bagian-bagian lain (Mariska & Deden, 2003).

Menurut Pierik (1987) keberhasilan dari suatu eksplan dalam

kultur in vitro ditentukan oleh genotip, umur tanaman, fisiologi

tanaman, kesehatan tanaman, letak eksplan dari tanaman, ukuran

eksplan, metode inisiasi, umur jaringan/organ, perlakuan terhadap

tanaman induk, kondisi pertumbuhan dan perawatan eksplan. Aturan

dasar dalam pemilihan eksplan adalah memakai sumber eksplan yang

sehat dan tumbuh kuat, memilih jaringan muda dan memakai eksplan

dengan ukuran cukup besar (Wetherell, 1982).

d. Kultur Kalus

Kultur kalus adalah teknik budidaya organ, jaringan, sel, atau

bagian sel di dalam suatu media yang sesuai secara aseptik dengan

tujuan tertentu dimana akan menghasilkan sifat genetik sama dengan

induknya (Santosa, 2013). Kultur kalus bertujuan untuk memperoleh

kalus dari eksplan hasil induksi dalam lingkungan terkendali. Melalui


11

sifatnya, sel membelah terus-menerus, sel-sel kalus tersebut

berpotensi menghasilkan produk metabolit sekunder tertentu dalam

jumlah banyak (Santosa & Nursandi, 2002).

Struktur kalus merupakan kumpulan dari banyak sel yang

menyebabkan sel-sel pada lapisan dalam tidak dapat mengadakan

kontak langsung dengan media (Trimulyono dkk., 2003). Menurut

George (1993), awal pertumbuhan kalus, berupa fase lag yaitu suatu

fase untuk adaptasi dengan lingkungan atau tempat tumbuh.

Kemudian fase logaritmik, pada fase ini sel-sel kalus mulai membelah

dan kecepatan pertumbuhan sel menjadi konstan pada fase stationer.

Jenis kalus dilihat dari kemampuan diferensiasi sel dan kapasitas

regenerasi menjadi tumbuhan baru, tergantung dari asal dan umur

jaringan eksplan (Sabila, 2013). Inisiasi kultur suspensi menggunakan

kalus yang kurang kompak atau kalus friable (George, 2008).

e. Medium kultur

Keberhasilan kultur jaringan tanaman dipengaruhi oleh beberapa

faktor yaitu eksplan, zat pengatur tumbuh, media, dan lingkungan

(George & Sherington, 1984). Menurut Santosa dan Nursandi (2002)

media kultur dipilih berdasarkan kebutuhan unsur hara sel atau

tanaman. Jaringan atau organ dapat ditumbuhkan secara in vitro

dengan media yang terdiri atas elemen anorganik, suplemen organik,

sumber karbon dan energi, vitamin dan zat pengatur tumbuh (Reynold

& Billy, 2010).


12

Media Murashige-Skoog (MS) dan Schenk-Hidebrandt (SH)

paling banyak digunakan untuk kultur jaringan dan efektif untuk

pertumbuhan kultur tanaman monokatil dan dikotil (Sabila, 2013).

Menurut George (2008) media ini digunakan secara luas untuk

penanaman eksplan, mikropropagasi dan penanaman kultur dalam

jangka waktu lama.

Media kultur jaringan tanaman mengandung empat komponen

senyawa, yaitu :

1). Unsur anorganik

Tumbuhan membutuhkan unsur hara yaitu unsur makro

dan unsur mikro. Unsur makro dibutuhkan dalam jumlah besar

seperti karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen (N),

fosfor (P), kalium (K), sulfur (S), kalsium (Ca), dan magnesium

(Mg) sedangkan unsur mikro dibutuhkan dalam jumlah kecil

meliputi mangan (Mn), seng (Zn), tembaga (Cu), molibnum

(Mo), boron (B), besi (Fe), dan klorin (Cl), (Mengel dan Kirkby,

1987). Selain itu kobalt (Co), aluminium (Al), natrium (Na), dan

iodin (I) merupakan unsur yang penting bagi beberapa jenis

tanaman, namun ketersediaannya dalam tumbuhan telah

tercukupi (George & Klerk, 2008).

2). Suplemen organik

Morfogenesis dan pertumbuhsn kultur jarinan tanaman

dapat ditingkatkan dengan penambahan dalam jumlah kecil


13

unsur organik yaitu vitamin. Vitamin yang sering ditambahkan

yaitu tiamin (B1), asam nikotinat, piridoksin-HCl, tiamin HCl

serta myo-inositol (George & Klerk, 2008).

3). Sumber karbon

Pada kultur in vitro, karbohidrat mempunyai peran penting

yaitu sebagai sumber karbon yang secara langsung diserap oleh

tunas untuk pertumbuhan, perkembangan, pembentukan

metabolit, pembentukan polimer, regulator siklus sel dan

pembelahan sel (Ruan, 2012). Penelitian Rohimatun dan Ireng

(2011) melaporkan bahwa penambahan sukrosa ke dalam media

MS akan meningkatkan bobot basah kalus pada bulan kedua dan

ketiga dan berbeda nyata dibandingkan media dengan

penambahan glukosa. Jumlah sukrosa 2-4% sering ditambahkan

dalam media (Thorpe dkk., 2008).

Sukrosa adalah sumber karbon yang paling mudah

ditranslokasikan dalam jaringan tanaman dibandingkan

karbohidrat lain. Sukrosa masuk dalam jalur glikolisis dan siklus

krebs untuk membentuk ATP dan NADH. Sukrosa merupakan

disakarida dan terhidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa

sehingga dapat digunakan sebagai sumber karbon dan energi

lebih besar untuk pertumbuhan. Glukosa merupakan

monosakarida dimana akan menghasilkan energi lebih rendah

dibanding dengan sukrosa (Rohimatun & Ireng, 2011).


14

Hidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa dalam sel akan

mempengaruhi tekanan osmotik sel. Hidrolisis sukrosa ini

menyebabkan penyerapan air kedalam sel lebih banyak sehingga

tekanan turgor meningkat kemudian menyebabkan pembesaran

dan pemanjangan sel (Suskendriyati dkk., 2004).

4). Zat pengatur tumbuh

Zat pengatur tumbuh merupakan pemicu eksplan untuk

tumbuh membentuk akar, kalus dan tunas (Kusmianto, 2008).

Terdapat berbagai macam zat pengatur tumbuh diantaranya,

yaitu auksin, sitokinin, giberelin, etilen, dan asam absisat

(Machakova dkk., 2008). Auksin dan sitokinin merupakan zat

pengatur tumbuh yang umum digunakan dalam kultur in vitro

(Kusmianto, 2008). Pemakaian keduanya dengan konsentrasi

tepat dapat mengatur arah dan kecepatan pertumbuhan jaringan

(Gati & Mariska, 1992; Indrayanto, 1988).

Zat pengatur tumbuh yang sering ditambahkan dalam

media kultur adalah asam 2,4-diklorofenoksinamat (2,4-D)

(Syahid & Hernani, 2001). Menurut Hendaryono dan Wijayani

(1994) zat pengatur tumbuh tersebut bersifat stabil karena tidak

mudah mengalami kerusakan oleh cahaya maupun pemanasan

pada waktu sterilisasi. Penambahan 2,4-D dalam media media

akan merangsang pembelahan dan pembesaran pada eksplan

sehingga dapat memacu pembentukan dan pertumbuhan kalus


15

serta meningkatkan senyawa kimia alami flavonoid (Rahayu,

2002).

f. Produksi metabolit sekunder melalui kultur jaringan tanaman

Sintesis senyawa obat secara alami belum mencukupi kebutuhan

masyarakat karena produksinya masih sangat rendah. Oleh karena itu

dibutuhkan suatu metode untuk meningkatkan kandungan senyawa

metabolit sekunder tanaman sehingga dapat berfungsi sebagai obat

(Wardani dkk., 2003) melalui teknik kultur jaringan (Wardani dkk.,

2003). Hal ini disebabkan karena metabolit sekunder merupakan hasil

dari proses-proses biokimia yang terjadi pada tubuh tanaman secara

utuh, sedangkan proses-proses tersebut juga terjadi pada kultur in

vitro. Produksi metabolit sekunder ini biasanya terdapat pada kalus

atau bagian dari daun, akar dan batang (Ignacimuthu, 1997) namun

produksinya dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal

(Zulhilmi dkk., 2012). Faktor eksternal seperti pemberian elisator

untuk menimbulkan kondisi tercekam dapat digunakan untuk

meningkatkan metabolit sekunder (Di Cosmo & Masawa, 1995).

Elisator adalah stimulasi fisika, kimia maupun biologi yang

dapat menginduksi respon pertahanan tumbuhan (Zulhilmi dkk., 2012).

Penambahan elisator ini bertujuan untuk menginduksi dan

meningkatkan pembentukan senyawa metabolit sekunder,

meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang berkaitan dengan

pembentukan metabolit sekunder (Roberts, 2005). Sedangkan


16

kekurangan elisator adalah untuk mendapatkan hasil optimum

diperlukan kultur dengan dua tahap, penambahan kurang tepat akan

mengurangi pertumbuhan sel karena pengaruh diJGinduksikan serta

membutuhkan senyawa spesifik untuk setiap metabolit sekunder

(Verpoorte dkk., 1994).

3. Agen Antimitotik

Salah satu agen antimitotik yang digunakan untuk membentuk

kromosom poliploidi adalah kolkisin. Menurut Suryo (1995), kolkisin

(C22H23O4N) diperoleh dari umbi dan biji tanaman Autumn crocus atau

Cholcicum autumnale Linn., termasuk dalam anggota suku Liliaceae.

Kolkisin merupakan alkaloid bersifat sebagai racun pada tanaman sehingga

akan mempengaruhi penyusunan mikrotubula dalam sel (Haryanti dkk.,

2009).

Larutan kolkisin dapat digunakan pada jaringan meristematik untuk

menginduksi penggandaan somatik (Nasir, 2002). Menurut Suryo (1995)

fungsi kolkisin yaitu untuk menghalang-halangi terbentuknya gelendong inti

(spindel) pada mitosis, kolkisin dapat memperjelas detil morfologi

kromosom bahkan memungkinkan terjadinya poliploidi.

Menurut Sheeler dan Bianchi (1987) setiap dimmer penyusun

mikrotubula (gabungan dan tubulin) mempunyai tempat pengikat

spesifik bagi kolkisin. Dimmer yang telah berikatan dengan kolkisin akan

mencegah tersusunnya dimmer tersebut menjadi mikrotubula. Apabila

dimmer terhalang penyusunannya maka mikrotubula penyusun benang


17

spindle pada mitosis, akan menyebabkan pembelahan sel terhambat dan

kromosom yang telah mengganda selama interfase gagal memisahkan diri,

sehingga membentuk sel poliploid. Bila penggandaan kromosom terjadi

segera setelah pembuahan maka individu yang dihasilkan akan menjadi

poliploid sempurna, sedangkan penggandaan pada tahap perkembangan

lanjut hanya membentuk sektor poliploid saja. Bila penggandaan terjadi

setelah meiosis maka pengurangan gamet akan terbentuk dan bila dibuahi

dengan gamet normal maka akan terbentuk poliploid tidak berimbang

(Nasir, 2002).

Jaringan tanaman dalam keadaan membelah dapat diberikan kolkisin

dengan berbagai cara dan dengan konsentrasi berbeda-beda pula. Tiap

spesies mempunyai tanggapan berbeda terhadap konsentrasi kolkisin yang

diperlukan dan lamanya perlakuan untuk mengukur komposisi kromosom.

Pemberian kolkisin pada titik tumbuh dari tunas dapat mencegah

pembentukan serabut-serabut benang-benang pengikat kromosom dan

pemisahan kromosom pada anafase dari mitosis menyebabkan ploidisasi

kromosom, tanpa pembentukan dinding sel (Crowder, 1997). Biasanya 0,5-

1,0% pasta atau larutan kolkisin dapat menimbulkan poliploid (Crowder,

1990).

4. Metode Penyarian

Ekstraksi atau penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat

yang semula berada di dalam sel ditarik oleh cairan penyari sehingga zat-zat

aktif larut dalam cairan penyari. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan


18

beberapa faktor seperti sifat bahan terutama sifat zat aktif sehingga perlu

disari (Ansel, 1989).

Ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan cara dingin dan cara

panas. Jenis-jenis ekstraksi tersebut sebagai berikut :

a. Cara Dingin

1). Maserasi, adalah ekstraksi menggunakan pelarut dengan

beberapa kali pengadukan pada suhu kamar. Secara teknologi

termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian

konsentrasi pada keseimbangan (Gultom, 2012).

2). Perkolasi, adalah ekstraksi pelarut yang selalu baru sampai

sempurna yang umumnya pada suhu ruang. Prosesnya didahului

dengan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap

perkolasi sebenarnya (penampungan filtrat) secara terus menerus

sampai diproleh ekstrak perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan

(Gultom, 2012).

b.. Cara Panas

1). Reflux, adalah ekstraksi pelarut pada temperatur didihnya selama

waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik (Gultom, 2012).

2). Soxhlet, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru

menggunakan menggunakan alat khusus sehingga terjadi

ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan

adanya pendingin balik (Gultom, 2012).


19

3). Destilasi Uap, adalah ekstraksi zat kandungan menguap dari

bahan dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan parsial zat

kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara

kontinyu sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase

uap campuran menjadi destilat air bersama kandungan yang

memisah sempurna atau sebagian (Gultom, 2012).

4). Infundasi, adalah ekstraksi pelarut air pada temperatur penangas

air 96-98oC selama 15-20 menit (Gultom, 2012).

Maserasi merupakan salah satu teknik penyarian paling sederhana

dalam menyari bahan obat berbentuk serbuk simplisia halus (Voight, 1994).

Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia halus dengan

pelarut yang dapat melarutkan zat aktif dari simplisia tersebut. Adanya

perbedaan konsentrasi di luar dan di dalam sel, cairan penyari akan

menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel sehingga zat aktif

akan larut didesak ke luar. Peristiwa ini berulang sehingga terjadi

keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel. Air,

etanol, air-etanol atau pelarut lain dapat digunakan sebagai cairan penyari

(Ansel, 1989).

Keuntungan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan sederhana,

serta aman untuk senyawa volatil. yang mudah hilang dalam pemanasan

(golongan senyawa terpenoid). Kerugian cara maserasi adalah

membutuhkan waktu pengerjaan relatif lama dan penyariannya kurang

sempurna (Anonim1, 1986).


20

5. Uraian tentang Metabolit Sekunder

Jalur metabolisme primer berbeda dengan metabolisme sekunder.

Metabolisme primer menghasilkan produk yang dinamakan metabolit

primer. Metabolit primer digunakan oleh seluruh organisme hidup untuk

bertahan hidup, seperti polisakarida, lemak dan asam nukleat. Berlawanan

dengan jalur metabolisme primer, terdapat jalur metabolisme sekunder

dimana jalurnya melibatkan senyawa-senyawa organik spesifik dan terjadi

sangat terbatas di alam. Metabolisme ini menghasilkan suatu produk dikenal

dengan metabolit sekunder, seperti glikosida, flavonoid, alkaloid, terpenoid,

dan zat warna (Dewick, 1999).

Mannito (1980) menyatakan flavonoid merupakan senyawa fenolik

dengan kerangka dasar C6-C3-C6.

Gambar 2. Struktur Dasar Flavonoid (Anonim2, 2006)


Menurut Pramono (1989), aglikon flavonoid banyak mengalami metilasi

pada umumnya larut dalam eter, tetapi tidak larut dalam air. Sebaliknya

glikosida flavonoid larut dalam air, tetapi tidak larut dalam eter. Aglikon

dari flavon, flavonon, isoflavon yang mengandung banyak gugus hidroksi

dapat larut baik dalam eter maupun dalam alkohol. Meskipun demikian,

ekstraksi dengan metanol maupun etanol dapat menarik semua flavonoid

dari ekstrak tanaman.


21

6. Uraian tentang Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode yang digunakan

untuk memisahkan senyawa secara cepat, prosedurnya sederhana, mudah

dideteksi walaupun tidak secara langsung dan memerlukan jumlah cuplikan

sedikit. Lapisan dipisahkan antara bahan berbutir-butir (fase diam)

ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas atau logam. Campuran

larutan tersebut akan dipisahkan, kemudian ditotolkan berupa pita atau

bercak. Setelah pelat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat,

dimana bejana berisi larutan pengembang (fase gerak) sesuai literature dan

pemisahan akan terjadi selama perambatan kapiler (Stahl, 1985).

Pemilihan fase diam mempunyai persyaratan tertentu diantaranya ialah

fase diam tidak boleh larut dalam pelarut/fase gerak, harus dapat homogen

bila diratakan, mempunyai daya adhesi terhadap lempeng, senyawa yang

diserap tidak boleh menimbulkan reaksi tertentu sehingga merubah struktur

senyawa atau kalau dapat bereaksi harus reversibel dan sebaiknya tidak

berwarna guna memudahkan deteksi. Paling sering menggunakan silika gel,

aluminium oksid, kieselgur, selulosa dan turunannya, poliamid dan lain-lain

sebagai fase diam (Henry, 1997).

Senyawa flavonoid cenderung polar, sangat kuat diabsorbsi pada

permukaan fase diam. Sehingga penggunaan fase diam dengan aktivitas

tinggi (silika gel) menjadi kurang tepat. Disamping itu penggunaan silika gel

dapat menyebabkan flavonoid yang polar terikat kuat, tetapi pengotor-


22

engotor logam dapat dihilangkan dengan penambahan asam klorida pekat

pada silika gel (Wibowo, 2001).

Penggunaan selulosa pada KLT sering digunakan untuk senyawa-

senyawa polar. Untuk tepatnya bila pemisahan flavonoid menggunakan

selulosa, sebab flavonoid pada umumnya senyawa yang hidrofil. Pada

sistem kromatografi lapis tipis dikenal istilah kecepatan rambat suatu

senyawa dan diberi simbol Rf . Harga Rf ditentukan oleh jarak rambat suatu

senyawa dari titik awal dan jarak rambat fase gerak dari titik awal dan dapat

digunakan untuk identifikasi senyawa yang dianalisis (Wibowo, 2001).

jarak titik pusat bercak dari titik awal


Rf =jarak yan g ditempuh pelarut pengembangan

Angka Rf berjarak antara 0,00 sampai 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua

desimal, hRf ialah angka Rf dikalikan faktor 100 dan menghasilkan nilai

berjarak antara 0 sampai 100 (Wibowo, 2001).

Identifikasi bercak senyawa pada kromatogram dapat dilakukan

dengan 3 cara. Cara pertama yaitu bercak langsung dilihat dengan sinar

tampak atau sinar ultra violet; cara kedua adalah bercak terlebih dahulu

disemprot atau diuapi dengan pereaksi tertentu kemudian dilihat dengan

sinar tampak atau sinar ultra violet dan cara yang ketiga yaitu lapisan bercak

dikerok lalu diidentifikasi dengan berbagai cara, misalnya ditambah pereaksi

tertentu dalam tabung dan mencari panjang gelombang pada serapan

maksimum (Wibowo, 2001).

Cara paling mudah untuk mengidentifikasi flavonoid adalah dengan

mengamati perubahan warna sebelum dan sesudah diuapi dengan amonia.


23

Flavonoid bersifat asam, sehingga menimbulkan warna khas dengan amonia.

Warna bercak yang diperoleh dibandingkan dengan warna bercak dalam

literatur, maka dapat diperkirakan kemungkinan golongan flavonoid yang

dianalisis.

F. Landasan Teori

Berbagai upaya dilakukan untuk menyeragamkan kandungan metabolit

sekunder dalam tanaman melalui bagian dari teknik kultur jaringan yaitu kultur

kalus. Penelitian Xing dkk. (2011) menyebutkan bahwa induksi kolkisin 0,2%

selama 24 jam pada eksplan biji menyebabkan tanaman tetraploid dari

Catharanthus roseus (L.) G. Don memiliki stoma, cabang, daun dan kandungan

alkaloid indol lebih banyak dari tanaman asal. Menurut penelitian Pande dan

Madhukar (2012), menyatakan bahwa pemberian konsentrasi mutagen di atas

0,2% tidak menunjukkan pertumbuhan kalus yang signifikan.

Penelitian lain menyebutkan bahwa ukuran sel dari tanaman dengan

perlakuan perendaman kolkisin dengan konsentrasi 0,10%; 0,15% dan 0,20%

lebih besar dibandingkan ukuran sel tanaman kontrol maupun konsentrasi 0,05%

(Haryanti, 2009). Menurut Sheeler dan Bianchi (1957) larutan kolkisin pada

konsentrasi kritis tertentu akan menghalangi penyusunan mikrotubula dari

benang-benang spindle yang mengakibatkan ketidakteraturan pada mitosis.

Apabila benang-benang spindle tidak terbentuk pada pembelahan mitosis sel

diploid, kromosom yang telah mengganda selama interfase gagal memisah pada

anaphase (Sheeler & Bianchi, 1957 cit Haryanti dkk., 2009) sehingga pembelahan

sel terhambat. Menurut penelitian Levin (2010) menyatakan bahwa tanaman yang
24

diinduksi kolkisin membentuk sel berinti lebih dari satu, dimana posisi dari dua

inti sel tersebut dipengaruhi oleh stabilitas dari kedekatan inti sel dan bentuk yang

sedemikian rupa sehingga sel tersebut menyerupai sel normal akan tetapi tidak

menambah jumlah sel.

Berdasarkan penelitian Ismawati dan Kelik (2006) melaporkan bahwa

perlakuan kolkisin terhadap daun kembang sungsang menghasilkan ekstrak

dengan profil kromatogram yang mirip. Menurut Harborne (1996) metabolit

sekunder berada didalam vakuola. Vakuola pada tanaman terletak diluar inti sel

sehingga ketika sel berinti lebih dari satu maka tidak mempengaruhi jumlah

vakuola sehingga setelah diinkubasi dengan kolkisin tidak berpengaruh pada

jumlah kandungan metabolit sekunder dalam tanaman.

G. Hipotesis

1. Inkubasi kolkisin dalam media Murashige-Skoog (MS) cair akan menghambat

pembelahan sel, bisa merubah bentuk sel dan menambah jumlah inti sel.

2. Perlakuan inkubasi kolkisin pada kultur kalus tidak merubah profil

kromatogram jika dibandingkan dengan kontrol dan tanaman induk.

You might also like