You are on page 1of 56

REFERAT

Kejang Demam

Oleh:
Jordanio Atmaja Bhaktinegara

Residen Pembimbing :
Dr. Novi

Supervisor Pembimbing:
dr. Irene , Sp.A

LABORATORIUM / SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG
2017

1
2

DAFTAR ISI
Cover.....................................................................................................................1
Daftar isi................................................................................................................2
Daftar Gambar...................................................................................................4
Daftar Tabel..........................................................................................................4

Bab I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.........................................................................................5
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................6
1.3 Tujuan.......................................................................................................6

Bab II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi.....................................................................................................8
2.2 Etiologi.....................................................................................................8
2.3 Daur Hidup Plasmodium......................................................................10
2.3.1 Siklus Hidup Plasmodium..........................................................10
2.3.1.1 Siklus Pada Manusia.....................................................10
2.3.1.2 Siklus Pada Nyamuk Anopheles......................................11
2.4 Transmisi.........................................................................14
2.5 Epidemiologi.......................................................................16
2.6 Patogenesis.......................................................................18
2.7 Patofisiologi.....................................................................21
2.7.1 Patofisiologi pada Neonatus.........................................................21
2.7.2 Patofisiologi pada Ibu Hamil..........................................................23
2.8 Manifestasi Klinis.........................................................................25
2.8.1 Malaria Tanpa Komplikasi..........................................................26
2.8.1.1 Diagnosis malaria tanpa Komplikasi................................27
2.8.1.2 Diagnosis Banding Malaria Tanpa Komplikasi.................30
2.8.1.3 Tatalaksana......................................................30
2.8.1.4 Siklus Pada Manusia......................................................37
2.8.2 Malaria Berat............................................................38
2.8.2.1 Diagnosis Malaria Berat.................................38
2.8.2.2 Tatalaksana..................................39
2.8.2.3 Pemberian Obat Anti Malaria....................................40
3

2.8.2.4 Diagnosis malaria berat.................................41


2.8.2.5 Pemantauan.................................44
2.8.3 Malaria Kongenital............................................................45
2.8.3.1 Diagnosis..................................46
2.8.3.2 Pencegahan.................................46
2.8.3.3 Penatalaksanaan.................................47
2.8.3.4 Komplikasi. ..................................49
2.9 Prognosis.............................................................................50
2.10 Pencegahan...........................................................................51

Bab III PENUTUP


3.1 Kesimpulan.............................................................................................53

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................55
4

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Nyamuk anopheles sebagai vektor malaria .....................................10


Gambar 2. Daur hidup Plasmodium................................................................13
Gambar 3 Peta Distribusi Malaria....................................................................16
Gambar 4. Daerah Resiko Tinggi Malaria di Indonesia..........18
Gambar 5. Patogenesis Malaria ........................................................21
Gambar 6. MTBS Malaria ..............................................................27
Gambar 7. Terapi Lini Pertama Malaria falciparum & vivax............................31
Gambar 8. Terapi Lini Pertama Malaria falciparum & vivax...............................32
Gambar 9. Terapi Lini Kedua Malaria falciparum..............................................33
Gambar 10. Terapi Lini Kedua Malaria falciparum..............................................34
Gambar 11. Terapi Lini Kedua Malaria vivax...................................................35
Gambar 12. Terapi Malaria..............................................................................36
Gambar 13. Terapi malaria infeksi campuran...................................................37
Gambar 14. Terapi Malaria pada ibu hamil......................................................49

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Masa Inkubasi Penyakit Malaria......................................12


Tabel 2. Sifat dan diagnostik empat spesies Plasmodium pada manusia....14
Tabel 3. Perbandingan Malaria..................26
5

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejang demam adalah penyebab kejang paling umum pada anak dan
sering menjadi penyebab rawat inap di rumah sakit secara darurat (Karande,
2007). Kejang demam didefinisikan sebagai kejang pada anak usia 6 bulan
sampai 5 tahun disertai demam, tanpa bukti infeksi sistem saraf pusat yang
mendasari. Sebanyak 2% sampai 5% anak yang berumur kurang dari 5 tahun
pernah mengalami kejang disertai demam, dengan kejadian terbanyak adalah
pada usia 17-23 bulan (Soetomenggolo, 2001). Kejang demam adalah bentuk
paling umum dari kejang masa kanak-kanak, terjadi pada 2-5% anak di Amerika
Serikat (Shinnar & Glauser, 2002). Di Eropa dan Amerika Serikat 2-5% anak
mengalami setidaknya satu kali kejang demam sebelum usia 5 tahun. Penelitian
di Jepang mendapatkan angka yang lebih tinggi yaitu 7% (Tsuboi,1986) dan
9,7% (Maeda, 1993). Meski studi pendahuluan di India menyebutkan hingga 10%
anak mengalami kejang demam, data terakhir menunjukkan bahwa angka
kejadian di India mirip dengan di Barat (Karande, 2007). Kejang demam terjadi
pada 2-4% anak di Indonesia (Pusponegoro, 2004) . Lumbantobing (2004)
mengemukakan bahwa kejang demam lebih sering terjadipada anak laki-laki
daripada anak perempuan dengan perbandingan 1,25:1.
Secara umum kejang demam memiliki prognosis yang baik, namun
sekitar 30 sampai 35% anak dengan kejang demam pertama akan mengalami
kejang demam berulang (Fetfeit, 2007). Meskipun memiliki prognosis yang baik,
namun kejang demam tetap menjadi hal yang menakutkan bagi orang tua. Untuk
itu diperlukan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
berulangnya kejang demam yang bisa diberikan kepada orang tua untuk
meredakan ketakutan yang berlebihan dan kepentingan tatalaksana. Adanya
faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya kejang demam berulang
adalah riwayat kejang demam dalam keluarga, usia kurang dari 12 bulan,
temperatur yang rendah saat kejang, dan cepatnya kejang setelah demam (Berg,
1996). Selain empat faktor di atas, adanya faktor jenis kelamin, riwayat epilepsi
dalam keluarga, dan kejang demam kompleks pada kejang demam pertama juga
ditambahkan sebagai faktor prediktif kejang demam berulang (Marudur, 201
6

1.2 Rumusan Masalah


Referat ini memiliki beberapa rumusan masalah, yaitu :
1. Apakah definisi Kejang Demam ?
2. Apa etiologi Kejang Demam ?
3. Bagaimana epidemiologi Kejang Demam?
4. Bagaimana patogenesis Kejang Demam ?
5. Bagaimana manifestasi klinis Kejang Demam ?
6. Bagaimana cara mendiagnosis Kejang Demam ?
7. Bagaimana tatalaksana dan cara pencegahan Kejang Demam ?

1.3 Tujuan
Tujuan dari referat ini adalah :
1. Untuk mengetahui definisi Kejang Demam.
2. Untuk mengetahui etiologi Kejang Demam.
3. Untuk mengetahui epidemiologi Kejang Demam.
4. Untuk mengetahui perjalanan penyakit Kejang Demam
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis Kejang Demam.
6. Untuk mengetahui cara mendiagnosis Kejang Demam.
7. Untuk mengetahui tatalaksana dan cara pencegahan Kejang Demam.
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kejang demam adalah kejang yang dihubungkan dengan suatu penyakit
yang dicirikan dengan demam tinggi (suhu 38,9C - 40C). Kejam demam
berlangsung kurang dari 15 menit, generalisata, dan terjadi pada anak-anak
tanpa kecacatan neurologik. Jenis kejang ini memberi dampak 3% sampai 5%
pada anak dan biasanya terjadi setelah usia 6 bulan dan sebelum usia 3 tahun.
Kejang demam tidak lazim terjadi pada anak setelah usia 5 tahun (Muscary,
2005).
Kejang demam dapat menandakan penyakit infeksi akut serius yang
mendasari seperti sepsis atau meningitis bakteria sehingga setiap anak harus
diperiksa secara cermat dan secara tepat diamati penyebab demam yang
menyertainya. Kejang demam terjadi tergantung oleh umur dan jarang sebelum
umur 9 bulan dan sesudah umur 5 tahun. Puncak umur mulainya adalah 14 18
bulan, dan insiden mendekati 3 4 % anak kecil (Behrman, 2000).
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu mencapai >38 derajat celcius). Kejang demam dapat terjadi karena
proses intrakranial maupun ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada 2 4%
populasi anak berusia 6 bulan sampai dengan 5 tahun. Paling sering pada anak
usia 17-23 bulan (Amin & Hardi, 2013).
Kejang demam adalah kejang umum yamg memiliki pencetus dan terjadi
pada penyakit demam akut pada anak yang sehat (Schwartz, 2004).
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada saat seorang bayi atau
anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat. Hal ini dapat terjadi
pada 2-5% populasi anak. Umumnya kejang demam ini terjadi pada usia 6 bulan
5 tahun dan jarang sekali terjadi untuk pertama kalinya pada usia kurang lebih
3 tahun (Nurul Itqiyah, 2008).
8

Menurut Amin dan Hardi (2013) kejang demam diklasifikasikan menjadi


dua yaitu:
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Ciri kejang ini adalah:
- Kejang berlangsung singkat
- Serangan berhenti sendiri dalam waktu < 10 menit
- Tidak berulang dalam waktu 24 jam
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Ciri kejang ini adalah:
- Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit
- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial
- Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah
bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering di
jumpai pada anak usia dibawah 5 tahun.

2.2 Etiologi
Menurut Lumbantobing (2001), faktor yang berperan dalam menyebabkan
kejang demam :
1. Demam itu sendiri
2. Efek produk toksik dari pada mikroorganisme (kuman dan virus terhadap
otak).
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi.
4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui
atau ensefalopati toksik sepintas.
6. Gabungan semua faktor tersebut di atas.
Menurut Amin dan Hardhi (2013) penyebab kejang demam dibedakan menjadi
intrakranial dan ekstrakranial.
9

Intrakranial meliputi:
- Trauma (perdarahan): perdarahan subarachnoid, subdural atau
ventrikuler
- Infeksi: bakteri, virus, parasit misalnya meningitis
- Congenital: disgesenis, kelainan serebri
Ekstrakranial meliputi:
- Gangguan metabolic: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia,
gangguan elektrolit (Na dan K) misalnya pada pasien dengan riwayat
diare sebelumnya.
- Toksik: intoksikasi, anastesi local, sindroma putus obat
- Congenital: gangguan metabolism asam basa atau ketergantungan dan
kekurangan piridoksin
Beberapa faktor resiko berulangnya kejang yaitu:
- Riwayat kejang dalam keluarga
- Usia kurang dari 18 bulan
- Tingginya suhu badan sebelum kejang. Makin tinggi suhu sebelum kejang
demam, semakin kecil kemungkinan kejang demam akan berulang.
- Lamanya demam sebelum kejang. Semakin pendek jarak mulainya
demam dengan kejang, maka semakin besar risiki kejang demam
berulang.

2.3 Daur Hidup Plasmodium


Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium
yang dapat ditandai dengan demam, hepatosplenomegali dan anemia.
Plasmodium hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia.
Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina3.
Spesies Plasmodium pada manusia adalah:
1) Plasmodium falciparum (P. falciparum).
2) Plasmodium vivax (P. vivax)
3) Plasmodium ovale (P. ovale)
4) Plasmodium malariae (P. malariae)
5) Plasmodium knowlesi (P. knowlesi)
Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah P.
falciparum dan P. vivax, sedangkan P. malariae dapat ditemukan di beberapa
10

provinsi antara lain Lampung, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. P ovale pernah
ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan Papua. Pada tahun 2010 di Pulau
Kalimantan dilaporkan adanya P. knowlesi yang dapat menginfeksi manusia
dimana sebelumnya hanya menginfeksi hewan primata/monyet dan sampai saat
ini masih terus diteliti3
2.3.1 Siklus Hidup Plasmodium
Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu
manusia dan nyamuk Anopheles betina.
2.3.1.1. Siklus Pada Manusia.
Pada waktu nyamuk Anopheles infektif menghisap darah manusia,
sporozoit yang berada di kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran
darah selama lebih kurang setengah jam. Setelah itu sporozoit akan masuk ke
dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon
hati yang terdiri dari 10.000-30.000 merozoit hati (tergantung spesiesnya). Siklus
ini disebut siklus ekso-eritrositer yang berlangsung selama lebih kurang 2
minggu. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung
berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dorman yang
disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam sel hati selama
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pada suatu saat bila imunitas tubuh
menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat menimbulkan relaps (kambuh).
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke peredaran
darah dan menginfeksi sel darah merah3.
Di dalam sel darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium
tropozoit sampai skizon (8-30 merozoit, tergantung spesiesnya). Proses
perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang
terinfeksi (skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah
merah lainnya. Siklus ini disebut siklus eritrositer. Pada P. falciparum setelah 2-3
siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang menginfeksi sel darah merah dan
membentuk stadium seksual (gametosit jantan dan betina) 3.
Pada spesies lain siklus ini terjadi secara bersamaan. Hal ini terkait
dengan waktu dan jenis pengobatan untuk eradikasi. Siklus P. knowlesi pada
manusia masih dalam penelitian. Reservoar utama Plasmodium ini adalah kera
ekor panjang (Macaca sp). Kera ekor panjang ini banyak ditemukan di hutan-
hutan Asia termasuk Indonesia. Pengetahuan mengenai siklus parasit tersebut
11

lebih banyak dipahami pada kera dibanding manusia3.


2.3.1.2 Siklus pada nyamuk anopheles betina.
Di dalam tubuh nyamuk Anopheles yang bertindak sebagai hospes
definitive, berlangsung siklus hidup seksual (sporogoni). Bentuk gametosit yang
terhisap bersama darah manusia, di dalam tubuh nyamuk akan berkembang
menjadi bentuk gamet dan akhirnya menjadi bentuk sporozoit yang infektif bagi
manusia.14
Di dalam lambung nyamuk terjadi proses awal pematangan parasit. Dari
satu mikrogametosit akan terbentuk 4-8 mikrogamet, dan dari satu
makrogametosit akan terbentuk satu makrogamet. Fusi antara mikrogamet
dengan makrogamet akan menghasilkan zigot yang dalam waktu 24 jam akan
berkembang menjadi ookinet.
Ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk, masuk ke
jaringan antara lapisan epitel dan membran basal dinding lambung, berubah
menjadi ookista yang bulat bentuknya. Di dalam ookista akan terbentuk ribuan
sprozoit. Jika ookista telah matang, dindingnya pecah dan sporozoit menyebar
ke berbagai organ nyamuk, terutama masuk ke dalam kelenjar ludah nyamuk.
Dalam keadaan ini nyamuk vektor yang infektif.14
Nyamuk yang dapat menularkan malaria pada manusia hanya nyamuk
Anopheles betina. Pada saat menggigit penderita malaria (manusia yang
terinfeksi malaria), nyamuk Anopheles akan menghisap parasit malaria
(plasmodium) bersamaan dengan darah, sebab di dalam darah manusia yang
telah terinfeksi malaria banyak terdapat parasit malaria. Parasit malaria tersebut
kemudian bereproduksi dalam tubuh nyamuk Anopheles, dan pada saat
menggigit manusia lain (yang tidak terinfeksi malaria), maka parasit malaria
masuk ketubuh korban bersamaan dengan air liur nyamuk.4
Cara penularan :
Nyamuk Anopheles menggigit penderita malaria dan menghisap juga parasit
malaria yang ada di dalam darah penderita.
Parasit malaria berkembang biak di dalam tubuh nyamuk Anopheles (menjadi
nyamuk yang infektif)
Nyamuk Anopheles yang infektif menggigit orang yang sehat (belum
menderita malaria)
12

Sesudah +12-30 hari (bervariasi tergantung spesies parasit) kemudian, bila


daya tahan tubuhnya tidak mampu meredam penyakit ini maka orang sehat
tsb berubah menjadi sakit malaria dan mulai timbul gejala malaria.4
Masa inkubasi bervariasi tergantung spesies plasmodium (tabel 1). Masa
prepaten adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke tubuh manusia sampai
parasit dapat dideteksi dalam sel darah merah dengan pemeriksaan mikroskopik3
Plasmodium Masa Inkubasi (rata-rata)
P. falciparum 9 - 14 hari (12)
P. vivax 12 17 hari (15)
P. ovale 16 18 hari (17)
P. malariae 18 40 hari (28)
P.knowlesi 10 12 hari (11)
Tabel1 Masa Inkubasi Penyakit Malaria3

Gambar 2. Daur hidup Plasmodium1

Secara umum, pada dasarnya semua orang dapat terkena malaria;


walaupun terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu:
13

1. Ras atau suku bangsa. Di Afrika, apabila prevalensi hemoglobin S (HbS)


cukup tinggi, maka penduduknya lebih tahan terhadap infeksi P. falciparum.
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa HbS menghambat perkembangbiakan
P. falciparum baik sewaktu invasi maupun berkembang biak4.
2. Kurangnya suatu enzim tertentu. Kurangnya enzim G6PD (glucose 6-
phosphat dehydrogenase) memberikan perlindungan terhadap infeksi
P.falciparum yang berat. Walaupun demikian, kurangnya enzim ini merugikan
jika ditinjau dari segi pengobatan dengan golongan sulfonamid dan primakuin
oleh karena dapat terjadi hemolysis darah. Defisiensi enzim G6PD ini merupakan
penyakit genetik dengan manifestasi utama pada perempuan4.
3. Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu menghancurkan
plasmodium yang masuk atau menghalangi perkembangannya4.

P. falciparum P. vivax P. ovale P. malariae


Daur
5,5 hari 8 hari 9 hari 10-15 hari
praeritrosit
Hipnozoit - + + -
Jumlah
40.000 10.000 15.000 15.000
merozoit hati
Skizon hati 60 mikron 45 mikron 70 mikron 55 mikron
Daur eritrosit 48 jam 48 jam 50 jam 72 jam
Retikulosit
Eritrosit yang Muda dan Retikulosit
dan normosit Normosit
dihinggapi normosit dan normosit
muda
Pembesaran
- ++ + -
eritrosit
Schuffner
Titik eritrosit Maurer Schuffner Ziemann
(James)
Kuning Tengguli
Pigmen Hitam Tengguli tua
tengguli hitam
Jumlah
merozoit 8-24 12-18 8-10 8
eritrosit
14

Daur dalam
nyamuk pada 10 hari 8-9 hari 12-14 hari 26-28 hari
27oC
Tabel 2. Sifat dan diagnostik empat spesies Plasmodium pada manusia7

2.4 Transmisi
Malaria dapat ditularkan melalui dua cara yaitu cara alamiah dan bukan
alamiah
1. Penularan secara alamiah (natural infection)
Penularan ini terjadi melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang
infektif. Nyamuk menggigit orang sakit malaria maka parasit akan ikut terhisap
bersama darah penderita malaria. Di dalam tubuh nyamuk parasit akan
berkembang dan bertambah banyak, kemudian nyamuk menggigit orang sehat,
maka melalui gigitan tersebut parasit ditularkan ke orang lain3.
2. Penularan yang tidak alamiah
a. Malaria bawaan (congenital)
Terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena ibunya menderita malaria.
Disebabkan adanya kelainan pada sawar plasenta sehingga tidak ada
penghalang infeksi dari ibu kepada bayi yang dikandungnya4. Malaria kongenital
dibagi menjadi 2, yaitu :
True Congenital Malaria (acquired during pregnancy)
Pada malaria kongenital ini sudah terjadi kerusakan plasenta sebelum
bayi dilahirkan. Parasit malaria ditemukan pada darah perifer bayi dalam
48 jam setelah lahir dan gejalanya ditemukan pada saat lahir atau 1-2 hari
setelah lahir.
False Congenital Malaria (acquired during labor)
Malaria kongenital ini paling banyak dilaporkan dan terjadi karena
pelepasan plasenta diikuti transmisi parasit malaria ke janin. Gejala-
gejalanya muncul 3-5 minggu setelah bayi lahir.
b. Secara mekanik
Penularan terjadi melalui transfusi darah atau melalui jarum suntik.
Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para pecandu obat bius yang
menggunakan jarum suntik yang tidak steril4.
c. Secara oral (melalui mulut)
15

Cara penularan ini pernah dibuktikan pada burung, ayam (P.gallinasium)


burung dara (P.Relection) dan monyet (P.Knowlesi)4.
Pada umumnya sumber infeksi bagi malaria pada manusia adalah
manusia lain yang sakit malaria baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis.
Kecuali bagi simpanse di Afrika yang dapat terinfeksi oleh penyakit malaria,
belum diketahui ada hewan lain yang dapat menjadi sumber bagi plasmodium
yang biasanya menyerang manusia. Malaria, baik yang disebabkan oleh P.
falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale semuanya ditularkan oleh nyamuk
anopheles. Nyamuk yang menjadi vektor penular malaria adalah Anopheles
sundaicus, Anopheles aconitus, Anopheles barbirostris, Anopheles subpictus,
dan sebagainya4.

2.5 Epidemiologi
Malaria merupakan penyakit endemis atau hiperendemis di daerah tropis
maupun subtropis dan menyerang negara dengan penduduk padat. Malaria
dapat dijumpai di bagian Meksiko, sebagian Karibia, Amerika Tengah dan
Selatan, Afrika Sub-sahara, Timur tengah, India, Asia Selatan, Indo Cina, dan
pulau-pulau di Pasifik Selatan. Diperkirakan prevalensi malaria di seluruh dunia
berkisar antara 160-400 juta kasus4.
16

Gambar 3 Peta Distribusi Malaria10


Malaria merupakan penyakit endemis atau hiperendemis di daerah tropis
maupun subtropis dan menyerang negara dengan penduduk padat. Kini malaria
terutama dijumpai di Meksiko, sebagian Karibia, Amerika Tengah dan Selatan,
Afrika Sub-sahara, Timur tengah, India, Asia Selatan, Indo Cina, dan pulau-pulau
di Pasifik Selatan. Diperkirakan prevalensi malaria di seluruh dunia berkisar
antara 160-400 juta kasus. Batas dari penyebaran malaria adalah 64 derajat
lintang utara (Rusia) dan 32 derajat lintang selatan (Argentina). Ketinggian yang
memungkinkan parasit hidup adalah 400 meter di bawah permukaan laut (Laut
Mati) dan 2600 meter di atas permukaan laut (Bolivia). Plasmodium vivax
mempunyai distribusi geografis yang paling luas, mulai dari daerah yang beriklim
dingin, subtropik sampai ke daerah tropis, kadang-kadang dijumpai di Pasifik
Barat. Plasmodium falciparum terutama menyebabkan malaria di Afrika dan
daerah-daerah tropis lainnya. Diperkirakan 300-500 juta kasus malaria muncul
tiap tahunnya, dan menyebabkan 1-2 juta kematian, kebanyakan pada anak.4
Pada tahun 2010 di Indonesia terdapat 65% kabupaten endemis dimana
hanya sekitar 45% penduduk di kabupaten tersebut berisiko tertular malaria.
Berdasarkan hasil survei komunitas selama 2007 2010, prevalensi malaria di
Indonesia menurun dari 1,39% (Riskesdas 2007) menjadi 0,6% (Riskesdas
17

2010). Sementara itu berdasarkan laporan yang diterima selama tahun 2000-
2009, angka kesakitan malaria cenderung menurun yaitu sebesar 3,62 per 1.000
penduduk pada tahun 2000 menjadi 1,85 per 1.000 penduduk pada tahun 2009
dan 1,96 tahun 2010. Sementara itu, tingkat kematian akibat malaria mencapai
1,3%4.
Walaupun telah terjadi penurunan Annual Parasite Incidence (API) secara
nasional, di daerah dengan kasus malaria tinggi angka API masih sangat tinggi
dibandingkan angka nasional, sedangkan pada daerah dengan kasus malaria
yang rendah sering terjadi kejadian Luar Biasa (KLB) sebagai akibat adanya
kasus impor. Pada tahun 2011 jumlah kematian malaria yang dilaporkan adalah
388 kasus4.
Prevalensi nasional malaria berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010
adalah 0,6% dimana provinsi dengan API di atas angka rata-rata nasional adalah
Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Bangka
Belitung, Kepulauan Riau, Bengkulu, Jambi, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan
Aceh. Tingkat prevalensi tertinggi ditemukan di wilayah timur Indonesia, yaitu di
Papua Barat (10,6%), Papua (10,1%) dan Nusa Tenggara Timur (4,4%)4.
Kasus resistensi parasit malaria terhadap klorokuin ditemukan pertama
kali di Kalimantan Timur pada tahun 1973 untuk P. falcifarum, dan tahun 1991
untuk P. vivax di Nias. Sejak tahun 1990, kasus resistensi tersebut dilaporkan
makin meluas di seluruh provinsi di Indonesia. Selain itu, dilaporkan juga adanya
resistensi terhadap Sulfadoksin-Pirimethamin (SP) di beberapa tempat di
Indonesia. Keadaan ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyakit
malaria4.
18

Gambar 4. Daerah Resiko Tinggi Malaria di Indonesia2

2.6 Patogenesis
1. Demam
Akibat ruptur eritrosit merozoit dilepas ke sirkulasi
19

Pelepasan merozoit pada tempat dimana sirkulasi melambat


mempermudah infasi sel darah yang berdekatan, sehingga parasitemia
falsifarum mungkin lebih besar daripada parasitemia spesies lain, dimana
robekan skizon terjadi pada sirkulasi yang aktif. Sedangkan plasmodium
falsifarum menginvasi semua eritrosit tanpa memandang umur, plasmodium
vivax menyerang terutama retikulosit, dan plasmodium malariae menginvasi sel
darah merah matang, sifat-sifat ini yang cenderung membatasi parasitemia dari
dua bentuk terakhir diatas sampai kurang dari 20.000 sel darah merah /mm3.
Infeksi falsifarum pada anak non imun dapat mencapai kepadatan hingga
500.000 parasit/mm3. 5
2. Anemia
Akibat hemolisis, sekuestrasi eritrosit di limpa dan organ lain, dan depresi
sumsum tulang
Hemolisis sering menyebabkan kenaikan dalam billirubin serum, dan pada
malaria falsifarum ia dapat cukup kuat untuk mengakibatkan hemoglobinuria
(blackwater fever). Perubahan autoantigen yang dihasilkan dalam sel darah
merah oleh parasit mungkin turut menyebabkan hemolisis, perubahan-
perubahan ini dan peningkatan fragilitas osmotic terjadi pada semua eritrosit,
apakah terinfeksi apa tidak. Hemolisis dapat juga diinduksi oleh kuinin atau
primakuin pada orang-orang dengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase
herediter.5
Pigmen yang keluar kedalam sirkulasi pada penghancuran sel darah merah
berakumulasi dalam sel retikuloendotelial limfa, dimana folikelnya menjadi
hiperplastik dan kadang-kadang nekrotik, dalam sel kupffer hati dan dalam
sumsum tulang, otak, dan organ lain. Pengendapan pigmen dan hemosiderin
yang cukup mengakibatkan warna abu-abu kebiruan pada organ. 5
3. Kejadian immunopatologi
Aktivasi poliklonal hipergamaglobulinemia, pembentukan kompleks imun,
depresi immun, pelepasan sitokin seperti TNF
Bentuk imunitas terhadap malaria dapat dibedakan atas :
a) Imunitas alamiah non imunologis
Berupa kelainan-kelainan genetic polimorfisme yang dikaitkan dengan
resistensi terhadap malaria, misalnya: Hb S, Hb C, Hb E, thallasemin alafa-
beta, defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase, golingan darah duffy
20

negative kebal terhadap infeksi plasmodium vivax, individu dengan HLA-Bw


53 lebih rentan terhadap malaria dan melindungi terhadap malaria berat.
b) Imunitas didapat non spesifik
Sporozoit yang masuk kedalam darah segera dihadapi oleh respon imun
non spesifik yang terutama dilakukan oleh magrofag dan monosit, yang
menghasilkan sitokin-sitokin seperti TNF, IL1, IL2, IL4, IL6, IL8, dan IL10,
secara langsung menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik), membunuh
parasit (sitotoksik). 5
c) Imunitas didapat spesifik.
Merupakan tanggapan system imun terhadap infeksi malaria mempunyai
sifat spesies spesifik, strain spesifik, dan stage spesifik. 5
4. Anoxia jaringan
parasit P. falciparum matur: timbul knob pada permukaan sel darah merah
berparasit yang memfasilitasi cytoadherence P. falciparum-parasitized red cells
ke sel-sel endotel vaskular otak, ginal, organ yang terkena lainnya obstruksi
aliran darah & kerusakan kapiler leakage protein dan cairan vaskular, edema,
serta anoxia jaringan otak, jantung, paru, usus, ginjal.
P. vivax dan P. ovale : menyerang eritrosit imatur
P. malariae: menyerang eritrosit matur
P. falciparum: menyerang eritrosit matur & imatur parasitemia lebih berat
Kerentanan bervariasi secara genetik, beberapa fenotip sel darah merah:
Hemoglobin S
Hemoglobin F
Thalassemia
Resisten (parsial) terhadap infeksi P. falciparum. 5
.Malaria berat akibat P. falciparum mempunyai patogenesis yang
khusus. Eritrosit yang terinfeksi P. falciparum akan mengalami proses
sekuestrasi, yaitu tersebarnya eritrosit yang berparasit tersebut ke pembuluh
kapiler alat dalam tubuh. Selain itu pada permukaan eritrosit yang terinfeksi akan
membentuk knob yang berisi berbagai antigen P. falciparum. Sitokin (TNF, IL-6
dan lain lain) yang diproduksi oleh sel makrofag, monosit, dan limfosit akan
menyebabkan terekspresinya reseptor endotel kapiler. Pada saat knob tersebut
berikatan dengan reseptor sel endotel kapiler terjadilah proses sitoadherensi.
Akibat dari proses ini terjadilah obstruksi (penyumbatan) dalam pembuluh kapiler
21

yang menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Terjadinya sumbatan ini juga


didukung oleh proses terbentuknya rosette, yaitu bergerombolnya sel darah
merah yang berparasit dengan sel darah merah lainnya. Pada proses
sitoaderensi ini juga terjadi proses imunologik yaitu terbentuknya mediator-
mediator antara lain sitokin (TNF, IL-6 dan lain lain), dimana mediator tersebut
mempunyai peranan dalam gangguan fungsi pada jaringan tertentu. Untuk P.
vivax dan Plasmodium lainnya diduga ada mekanisme tersendiri yang perlu
penelitian lebih lanjut3.

Gambar 5. Patogenesis Malaria8

2.7 Patofisiologi
2.7.1 Patofisiologi Pada Neonatus
Gejala malaria timbul saat eritrosit yang mengandung parasit pecah.
Gejala yang sering timbul adalah demam yang disebabkan oleh pirogen endogen
yaitu TNF dan interleukin-1. Akibat demam terjadi vasodilatasi perifer yang
22

disebabkan oleh bahan vasokatif yang diproduksi oleh parasit. Pembesaran


limpa disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi oleh
parasit, teraktivasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit
yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolysis. Juga terjadi penurunan
jumlah trombosit dan leukosit neutrophil. Terjadinya kongesti pada organ lain
meningkatkan resiko terjadinya ruptur limpa4.
Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan difagositosis oleh
sistem retikuloendotelial. Hemolisis bergantung pada jenis plasmodium dan
status imunitas. Anemia juga disebabkan oleh hemolysis autoimun, sekuestrasi
oleh limpa pada eritrosit yang terinfeksi maupun yang normal dan gangguan
eritropoesis. Pada hemolysis berat dapat terjadi hemoglobinuria dan
hemoglobinemia. Hyperkalemia dan hiperbilirubinemia juga sering ditemukan4.
Kelainan patologik pembuluh darah kapiler pada malaria tropika,
disebabkan karena sel darah merah yang terinfeksi menjadi kaku dan lengket
sehingga perjalanan dalam kapiler darah terganggu dan mudah melekat pada
endotel kapiler karena adanya penonjolan membran eritrosit. Setelah terjadi
penumpukan sel dan bahan pecahan sel, maka aliren kapiler terhambat dan
timbul hipoksi jaringan, terjadi gangguan pada integritas kapiler dan dapat terjadi
perembesan cairan bahkan perdarahan ke jaringan sekitarnya. Rangkaian
kelainan patologis ini dapat menimbulkan manifestasi klinis sebagai malaria
serebral, edema paru, gagal ginjal, dan malabsorpsi usus4.
Pertahanan tubuh individu terhadap malaria dapat berupa faktor imunitas
diturunkan dan didapat. Pertahanan terhadap malaria yang diturunkan penting
untuk melindungi anak kecil/bayi karena sifat khusus eritrosit yang relatif resisten
terhadap masuk dan berkembang biaknya parasit malaria. Masuknya parasit
bergantung pada interaksi antara organel spesifik pada merozoit dan struktur
khusus pada permukaan eritrosit. Sebagai contoh eritrosit yang mengandung
glikoprotein A penting untuk masuknya Plasmodium falciparum. Individu yang
tidak mempunyai determinan golongan darah Duffy mempunyai resistensi
alamiah terhadap Plasmodium vivax; spesies ini mungkin memerlukan protein
pada permukaan sel yang spesifik untuk dapat masuk ke dalam eritrosit.
Resistensi relatif yang diturunkan pada individu dengan HbS tergadap malaria
telah lama diketahui dan pada kenyataannya terbatas pada daerah endemis
malaria. Seleksi yang sama juga dijumpai pada hemoglobinopati tipe lain,
23

kelainan genetik tertentu dari eritrosit, thalassemia, defisiensi enzim C6PD dan
defisiensi piruvat kinase. Masing-masing kelainan ini menyebabkan resistensi
membrane eritrosit atau keadaan sitoplasma yang menghambat pertumbuhan
parasit4.
Imunitas humoral dan seluler terhadap malaria didapat sejalan dengan
infeksi ulangan. Namun imunitas ini tidak mutlak dapat mengurangi gambaran
klinis infeksi ataupun dapat menyebabkan asimtomatik periode panjang. Pada
individu dengan malaria dapat dijumpai hipergamaglobulinemia poliklonal, yang
merupakan suatu antibody spesifik yang diproduksi untuk melengkapi beberapa
aktivitas opsonin terhadap eritrosit yang terinfeksi, tetapi proteksi ini tidak
lengkap dan hanya bersifat sementara apabila tanpa disertai infeksi ulangan4.
2.7.2 Patofisiologi Pada Ibu Hamil
Patofisiologi malaria dalam kehamilan sangat dipengaruhi oleh perubahan
sistem imunologis oleh adanya organ baru yaitu plasenta. Terjadi penurunan
sistem imunitas didapat yang drastis selama kehamilan, terutama pada
nulipara. (Efek imunitas antimalaria ditransfer kepada janin) 15
Pada wanita hamil memiliki risiko terserang malaria falciparum lebih
sering dan lebih berat dibandingkan wanita tidak hamil. Konsentrasi eritrosit yang
terinfeksi parasit banyak ditemukan di plasenta sehingga diduga respon imun
terhadap parasit di bagian tersebut mengalami supresi. Hal tersebut
berhubungan dengan supresi sistim imun baik humoral maupun seluler selama
kehamilan sehubungan dengan keberadaan fetus sebagai "benda asing" di
dalam tubuh ibu. Supresi sistim imun selama kehamilan berhubungan dengan
keadaan hormonal. Konsentrasi hormon progesteron yang meningkat selama
kehamilan berefek menghambat aktifasi limfosit T terhadap stimulasi antigen.
Selain itu efek imunosupresi kortisol juga berperan dalam menghambat respon
imun.17
Sitokin yang diduga banyak berperan pada mekanisme patologi dari
malaria adalah TNF (tumor necrosis factor). TNF- menginduksi terjadinya
perubahan pada netrofil yaitu pelepasan enzim lisosomal, ekspresi reseptor
permukaan seperti reseptor Fc dan integrin, adhesi dan migrasi kemotaktik.
Selanjutnya terjadi peningkatan daya adheren sel netrofil terhadap berbagai
substrat dan sel sehingga daya bunuh netrofil terhadap parasit meningkat. Selain
itu TNF- juga memacu pembentukan sitokin lain seperti Il-1, IL-6, IL-12, IFN-dan
24

meningkatkan sintesis prostaglandin. TNF- juga meningkatkan ekspresi molekul


adhesi seperti ICAM1 dan CD36 pada sel-sel endotel kapiler sehingga
meningkatkan sitoadheren eritrosit yang terinfeksi parasit.17
. Kadar TNF- plasenta yang tinggi akan memacu proses penempelan
eritrosit berparasit pada kapiler plasenta dan selanjutnya akan menimbulkan
gangguan aliran darah plasenta dan akhirnya gangguan nutrisi fetus.
Bila proses berlanjut dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan fetus
sehingga bayi yang dilahirkan memiliki berat badan rendah. Selain itu
peningkatan sintesis prostaglandin seiring dengan peningkatan konsentrasi TNF-
plasenta diduga dapat menyebabkan kelahiran prematur.

2.8 Manifestasi Klinis


Gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri dari beberapa
serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselingi oleh
suatu periode (periode laten) bebas demam. Sebelum demam pasien biasanya
mengeluh lemah, nyeri kepala, tidak nafsu makan, mual atau muntah. Pada
pasien dengan infeksi campuran (lebih dari satu jenis plasmodium), maka
serangan demam dapat terjadi secara terus menerus (tanpa interval)4.
Periode demam biasanya terdiri dari tiga stadium berurutan yakni stadium
dingin (cold stage), stadium demam (hot stage), stadium berkeringat (sweating
stage). Periode ini biasanya terlihat jelas pada orang dewasa namun jarang
dijumpai pada anak-anak. Pada anak dibawah usia lima tahun, stadium dingin
seringkali bermanifestasi sebagai kejang. Serangan demam pertama didahului
oleh masa inkubasi (intrinsik). Masa inkubasi bervariasi antara 9-30 hari
tergantung pada spesies parasit, paling pendek pada Plasmodium falciparum
dan paling panjang pada Plasmodium malariae. Masa inkubasi ini juga
tergantung pada intensitas infeksi, pengobatan yang pernah didapat sebelumnya
dan derajat imunitas penderita. Pada malaria akibat transfusi darah masa
inkubasi Plasmodium falciparum adalah 10 hari, Plasmodium vivax 16 hari, dan
Plasmodium malariae 40 hari atau lebih setelah transfusi. Sedangkan masa
inkubasi pada penularan secara alamiah bagi masing-masing spesies parasit,
untuk Plasmodium falciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale
13-17 hari, dan pada Plasmodium malariae 28-30 hari. Setelah lewat masa
25

inkubasi, pada orang dewasa timbul gejala demam yang terbagi menjadi tiga
stadium yaitu stadium dingin, stadium demam, dan stadium berkeringat4,18.
Stadium dingin diawali dengan gejala menggigil atau perasaan yang sangat
dingin. Nadi cepat tetapi lemah, bibir, dan jari-jari pucat atau sianosis, kulit kering
dan pucat, pasien mungkin muntah pada anak sering terjadi kejang. Stadium ini
berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam. Setelah melalui fase dingin,
dilanjutkan dengan stadium demam. Muka merah, kulit kering dan terasa sangat
panas seperti terbakar, nyeri kepala, seringkali terjadi mual dan muntah, nadi
menjadi kuat lagi. Biasanya pasien menjadi sangat haus dan suhu tubuh
meningkat sampai 41 derajat celcius atau lebih. Stadium demam berlangsung
antara 2-12 jam. Demam disebabkan oleh karena pecahnya skizon dalam sel
darah merah yang telah matang dan masuknya merozoit darah ke dalam aliran
darah. Pada Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, skizon dari tiap generasi
menjadi matang setiap 48 jam sekali, sehingga timbul demam setiap hari ketiga
terhitung dari serangan demam sebelumnya. Pada Plasmodium malariae,
demam terjadi 72 jam (setiap hari keempat), sehingga disebut malaria kuartana.
Pada Plasmodium falciparum, setiap 24-48 jam4.
Pada stadium berkeringat, suhu badan pasien menurun dengan cepat
kadang-kadang sampai di bawah normal. Gejala tersebut tidak sama antar tiap
pasien, tergantung pada spesies parasit, berat infeksi, dan usia pasien. Gejala
klinis yang berat biasanya terjadi pada malaria tropika yang disebabkan oleh
kecenderungan parasit untuk berkumpul pada pembuluh darah organ tertentu
seperti otak, hati, dan, ginjal, sehingga menyebabkan tersumbatnya pembuluh
darah organ-organ tesebut. Gejalanya mungkin berupa koma, kejang, dan
sampai gangguan fungsi ginjal. Kematian paling banyak disebabkan oleh malaria
jenis ini. Black water fever yang merupakan komplikasi berat, adalah munculnya
hemoglobin pada urin sehingga menyebabkan warna urin berwarna tua atau
hitam. Gejala lain black water fever adalah icterus dan muntah berwarna seperti
empedu. Black water fever biasanya dijumpai pada infeksi Plasmodium
falciparum berulang dengan infeksi yang cukup berat.4,18
Di daerah yang tinggi endemisitasnya (hiper atau holoendemik), pada
orang dewasa seringkali tidak dijumpai gejala klinis walaupun darahnya
mengandung parasit malaria. Hal ini disebabkan imunitas yang telah timbul pada
merka karena infeksi berulang. Limpa biasanya membesar pada serangan
26

pertama yang berat atau setelah beberapa serangan dalam periode yang cukup
lama. Dengan pengobatan baik, limpa secara berangsur-angsur mengecil
kembali4.

P. falc P. vivax P. ovale P. Mal


M. Inkubasi 8-15 10-15 10-15 20-40
Paroxysmal 48 48 48 72
Darah tepi Cincin & Semua Semua Semua
gamet stadium stadium stadium
% sel darah Dapat > 50 2-3 2-3 <1
merah yang
terinfeksi
Manifestasi Sering Jarang Jarang Jarang
ganas
Perjalanan 1 3 3 Bervariasi
penyakit
(tahun)
Tabel 3. Perbandingan Malaria3

2.8.1 Malaria Tanpa Komplikasi


Pada daerah hiper atau holoendemik, kontrol malaria akut sering terjadi
pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun, secara bertahap menginduksi imunitas
secara aktif. Pada orang dewasa yang sudah mendapat imunitas, maka gejala
klinisnya menjadi lebih ringan. Infeksi akut juga dapat terjadi pada orang dewasa
yang mendapat kemoprofilaksis tidak sempurna atau lupa minum obat pada saat
masuk daerah endemis malaria. Pada daerah hipoendemik malaria, semua usia
dapat terserang malaria4.
Anak pada mulanya menjadi letargik, mengantuk atau gelisah, anoreksia,
pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala dan mual. Demam selalu dijumpai
tetapi bervariasi. Muntah, nyeri perut, dan diare agak jarang dijumpai.
Pembesaran hati sering dijumpai pada anak. Pada serangan akut pembesaran
hati terjadi pada awal perjalanan penyakit dan lebih sering dijumpai daripada
pembesaran limpa. Hati biasanya lunak dan terus membesar sesuai progresifitas
penyakit, namun fungsinya jarang terganggu dibandingka orang dewasa. Ikterus
27

dapat dijumpai pada beberapa anak, terutama berhubungan dengan hemolisis.


Kadar transaminase darah sedikit meningkat untuk waktu singkat. Limpa
membesar umumnya diraba pada minggu kedua; pembesaran limpa progresif
sesuai dengan perjalanan penyakit. Pada anak yang telah mengalami serangan
berulang, limpa dapat menjadi sangat besar dan konsistensi sangat keras4,20.
2.8.1.1 Diagnosis Malaria tanpa Komplikasi

Gambar 6. MTBS Malaria2


28

Manifestasi klinis malaria dapat bervariasi dari ringan sampai


membahayakan jiwa. Gejala utama demam sering di diagnosis dengan infeksi
lain, seperti demam typhoid, demam dengue, leptospirosis, chikungunya, dan
infeksi saluran nafas. Adanya thrombositopenia sering didiagnosis dengan
leptospirosis, demam dengue atau typhoid. Apabila ada demam dengan ikterik
bahkan sering diintepretasikan dengan diagnosa hepatitis dan leptospirosis.
Penurunan kesadaran dengan demam sering juga didiagnosis sebagai infeksi
otak atau bahkan stroke. Mengingat bervariasinya manifestasi klinis malaria
maka anamnesis riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria pada setiap
penderita dengan demam harus dilakukan.
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
Diagnosa pasti malaria apabila ditemukan parasit malaria dalam darah
A. Anamnesis
Keluhan utama pada malaria adalah demam, menggigil, berkeringat dan dapat
disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal pegal.
Pada anamnesis juga perlu ditanyakan:
1. riwayat berkunjung ke daerah endemik malaria;
2. riwayat tinggal di daerah endemik malaria;
3. riwayat sakit malaria/riwayat demam;
4. riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir;
5. riwayat mendapat transfusi darah
B. Pemeriksaan Fisik
1. Demam (>37,5 C aksila)
2. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
3. Pembesaran limpa (splenomegali)
4. Pembesaran hati (hepatomegali)
C. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk mendapatkan kepastian diagnosis malaria harus dilakukan
pemeriksaan sediaan darah. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan melalui cara
berikut.
1. Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan dengan mikroskop merupakan gold standard (standar baku)
untuk diagnosis pasti malaria. Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan
29

membuat sediaan darah tebal dan tipis.


Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di rumah
sakit/Puskesmas/lapangan untuk menentukan:
a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif);
b) Spesies dan stadium Plasmodium;
c) Kepadatan parasit:
1) Semi Kuantitatif
(-) = negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB/lapangan
pandang besar)
(+) = positif 1 (ditemukan 1 10 parasit dalam 100 LPB)
(++) = positif 2 (ditemukan 11 100 parasit dalam 100 LPB)
(+++) = positif 3 (ditemukan 1 10 parasit dalam 1 LPB)
(++++) = positif 4 (ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB)
Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu:
- Kepadatan parasit < 100.000 /ul, maka mortalitas < 1 %
- Kepadatan parasit > 100.000/ul, maka mortalitas > 1 %
- Kepadatan parasit > 500.000/ul, maka mortalitas > 50 %
2) Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada sediaan darah tebal
(leukosit) atau sediaan darah tipis (eritrosit).
Contoh :
Jika dijumpai 1500 parasit per 200 lekosit, sedangkan jumlah lekosit
8.000/uL maka hitung parasit = 8.000/200 X 1500 parasit = 60.000 parasit/uL.
Jika dijumpai 50 parasit per 1000 eritrosit = 5%. Jika jumlah eritrosit 4.500.000/uL
maka hitung parasit = 4.500.000/1000 X 50 = 225.000 parasit/uL.
2. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test/RDT)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria,
dengan menggunakan metoda imunokromatografi. Tes ini digunakan pada unit
gawat darurat, pada saat terjadi KLB, dan di daerah terpencil yang tidak tersedia
fasilitas laboratorium mikroskopis. Hal yang penting yang perlu diperhatikan
adalah sebelum RDT dipakai agar terlebih dahulu membaca cara
penggunaannya pada etiket yang tersedia dalam kemasan RDT untuk menjamin
akurasi hasil pemeriksaan. Saat ini yang digunakan oleh Program Pengendalian
Malaria adalah yang dapat mengidentifikasi P. falcifarum dan non P. Falcifarum7.
30

2.8.1.2 Diagnosis Banding Malaria Tanpa Komplikasi


Manifestasi klinis malaria sangat bervariasi dari gejala yang ringan sampai
berat, terutama dengan penyakit-penyakit di bawah ini.
1. Malaria tanpa komplikasi harus dapat dibedakan dengan penyakit infeksi lain
sebagai berikut.
a. Demam tifoid
Demam lebih dari 7 hari ditambah keluhan sakit kepala, sakit perut (diare,
obstipasi), lidah kotor, bradikardi relatif, roseola, leukopenia, limfositosis relatif,
aneosinofilia, uji serologi dan kultur.
b. Demam dengue
Demam tinggi terus menerus selama 2 - 7 hari, disertai keluhan sakit kepala,
nyeri tulang, nyeri ulu hati, sering muntah, uji tourniquet positif, penurunan jumlah
trombosit dan peninggian hemoglobin dan hematokrit pada demam berdarah
dengue, tes serologi (antigen dan antibodi).
c. Leptospirosis
Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, muntah, conjunctival
injection (kemerahan pada konjungtiva bola mata), dan nyeri betis yang
mencolok. Pemeriksaan serologi Microscopic Agglutination Test (MAT) atau tes
serologi positif7.
2.8.1.3 Tatalaksana
Obati anak secara rawat jalan dengan obat anti malaria lini pertama
seperti yang direkomendasikan pada panduan nasional. Terapi yang
direkomendasikan WHO saat ini adalah kombinasi artemisinin sebagai obat lini
pertama. Klorokuin dan Sulfadoksin-pirimetamin tidak lagi menjadi obat anti
malaria lini pertama maupun kedua karena tingginya angka resistensi terhadap
obat ini di banyak Negara untuk malaria falsiparum5.
Berikan pengobatan selama 3 hari dengan memberikan regimen
yang dapat dipiih dibawah ini:
Artesunat ditambah amodiakuin. Tablet terpisah 50 mg artesunat dan 153
mg amodiakuin basa (saat ini digunakan dalam program nasional)
Artesunat : 4mg/kgBB/dosis tunggal selama 3 hari
Amodiakuin : 10mg-basa/kgBB/dosis tunggal selama 3 hari
Dehidroartemisinin ditambah piperakuin (fixed dose combination)
31

Dosis dehidroartemisinin: 2-4 mg/kgBB dan piperakuin: 16-32


mg/kgBB/dosis tunggal. Obat kombinasi ini diberikan selama 3 hari.
Artesunat ditambah sulfadoksin/pirimetamin (SP). Tablet terpisah 50 mg
artesunat dan 500 mg sulfadoksin/25 mg pirimetamin:
Artesunat : 4mg/kgBB/dosis tunggal selama 3 hari
SP : 25 mg (Sulfadoksin)/kgBB/dosis tunggal
Artemeter/lufemantrin. Tablet kombinasi yang mengandung 20 mg
artemeter dan 120 mg lumefantrin:
Artemeter : 3,2mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis
Lumefantrin : 20 mg/kgBB
Tablet kombinasi ini dibagi dalam dua dosis dan diberikan selama 3 hari.
Amodiakuin ditambah SP. Tablet terpisah 153 mg amodiakuin basa dan
500 mg sulfadoksin / 25 mg pirimetamin
Amodiakuin : 10mg-basa/kgBB/dosis tunggal
SP : 25 mg (sulfadoksin)/kgBB/dosis tunggal
Untuk malaria falsiparum khusus anak usia >1 tahun tambahkan
primakuin 0,75 mg-basa/kgBB/dosis tunggal selama 1 hari. Untuk vivax, ovale,
dan malariae tambahkan primakuin basa 0,25 mg/kgBB/hari dosis tunggal
selama 14 hari5.

Gambar 7. Terapi Lini Pertama Malaria falciparum & vivax3


32

Gambar 8. Terapi Lini Pertama Malaria falciparum & vivax3


33

Gambar 9. Terapi Lini Kedua Malaria falciparum3


34

Gambar 10. Terapi Lini Kedua Malaria falciparum3


35

Gambar 11. Terapi Lini Kedua Malaria vivax3


36

Gambar 12. Terapi Malaria3


37

Gambar 13. Terapi malaria infeksi campuran3

2.8.1.4 Komplikasi
Anemia
Pemberian zat besi pada malaria dengan anemia ringan tidak dianjurkan,
kecuali disebabkan oleh defisiensi besi. Jangan beri zat besi pada anak dengan
gizi buruk fase akut5.
Tindak Lanjut Malaria Berat
Minta ibu untuk kunjungan ulang jika demam menetap setelah obat
diminum berturut-turut dalam 3 hari atau lebih awal jika kondisi memburuk. Jika
hal ini terjadi: periksa apakah anak memang minum obatnya dan ulangi hapusan
darah. Jika obat tidak diminum, ulangi pengobatan. Jika obat telah diberikan
namun hasil hapusan darah masih positif, berikan obat anti-malaria lini kedua.
Lakukan penilaian ulang pada anak untuk mengetahui dengan jelas
kemungkinan lain penyebab demam. Jika demam timbul setelah pemberian obat
anti malaria lini kedua (kina dan doksisiklin untuk usia > 8 tahun), minta ibu untuk
kunjungan ulang untuk menilai kembali penyebab demam5.
38

2.8.2 Malaria Berat


Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium
falciparum stadium aseksual. Malaria dengan disertai satu atau lebih kelainan
dibawah ini merupakan malaria berat, antara lain:
Malaria serebral dengan kesadaran menurun (delirium, stupor, koma)
Anemia berat, kadar hemoglobin < 5g/dl
Dehidrasi, gangguan asam basa (asidosis metabolik) dan gangguan
elektrolit
Hipoglikemia berat
Gagal ginjal
Edema paru akut
Kegagalan Sirkulasi (algid malaria
Kecenderungan terjadi perdarahan
Hiperpireksia/hipertermia
Hemoglobinuria/Black water fever
Ikterus
Hiperparasitemia4
2.8.2.1 Diagnosis Malaria Berat
Anamnesis
Menjelaskan perubahan perilaku, penurunan kesadaran dan kondisi yang
sangat lemah.
Pemeriksaan Fisik
Demam
Letargis atau tidak sadar
Kejang umum
Asidosis
Lemah yang sangat, sehingga anak tidak bsia lagi berjalan atau duduk
tanpa bantuan
Ikterik
Distres pernapasan, edema paru
Syok
Kecenderungan untuk terjadi perdarahan
Sangat pucat5
39

Pemeriksaan Laboratorium21
Anemia berat (hematocrit <15%; hemoglobin <5g/dl)
Hipoglikemia (glukosa darah <2,5mmol/liter atau 45 mg/dl)
Pada anak yang mengalami penurunan kesadaran dan/ atau kejang,
lakukan pemeriksaan glukosa darah. Selain itu, pada semua anak yang dicurigai
malaria berat, lakukan pemeriksaan:
Tetes tebal dan hapusan darah tipis untuk identifikasi spesies
Hematokrit5
Bila dicurigai malaria serebral (misalnya pada anak yang mengalami
koma tanpa sebab yang jelas) dan bila tidak ada kontraindikasi, lakukan pungsi
lumbal untuk menyingkirkan meningitis bakteri. Jika meningitis bakteri tidak dapat
disingkirkan, maka berikan pula pengobatan meningitis bakteri. Jika hasil temuan
klinis dicurigai malaria berat dan hasil hapusan darah negatif, ulangi hapusan
darah5.

2.8.2.2 Tatalaksana
Tindakan gawat-darurat harus dilakukan dalam satu jam pertama:
Bila terdapat hipoglikemia atasi sesuai tatalaksana hipoglikemia
Atasi kejang sesuai tatalaksana kejang
Perbaiki gangguan sirkulasi darah
Jika anak tidak sadar, pasang pipa nasogastric, dan hisap isi lambung
secara teratur untuk mencegah resiko pneumonia aspirasi
Atasi anemia berat
Mulai pengobatan dengan obat antimalarial yang efektif 5
Jika konfirmasi hapusan darah untuk malaria membutuhkan waktu lebih dari
satu jam, mulai berikan pengobatan anti malaria sebelum diagnosis dapat
dipastikan atau sementara gunakan RDT.
Artesunat intravena. Berikan 2,4 mg/kgBB intravena atau intramuscular,
yang diikuti dengan 2,4 mg/kgBB IV atau IM setelah 12 jam, selanjutnya
setiap hari 2,4 mg/kgBB/hari selama minimum 3 hari sampai anak bisa
minum obat anti malaria per oral. Bila artesunat tidak tesedia bisa
diberikan alternative pengobatan dengan:
40

Artemeter intramuscular. Berikan 3,2 mg/kg IM pada hari pertama, diikuti


dengan 1,6 mg/kg IM per harinya selama paling sedikit 3 hari hingga anak
bisa minum obat. Gunakan sput 1 cc untuk memberikan volume suntikan
yang kecil.
Kina-dehidroklorida intravena. Berikan dosis awal 20mg/kgBB dalam
cairan NaCl 0,9% 10 ml/kgBB selama 4 jam. Delapan jam setelah dosis
awal, berikan 10 mg/kgBB dalam cairan IV selama 2 jam dan ulangi tiap 8
jam sampai anak bisa minum obat. Kemudian, berikan dosis oral untuk
menyelesaikan 7 hari pengobatan atau berikan satu dosis SP bila tidak
ada resistensi terhadap SP tersebut. Jika ada resistensi berikan dosis
penuh terapi kombinasi artemisinin. Dosis awal kina hanya diberikan
apabila ada pengawasan ketat dari perawat terhadap pemberian infus
dan pengaturan tetesan infus. Jika ini tidak memungkinkan, lebih aman
untuk memberi obat kina intramuscular.
Kina intramuscular. Jika obat kina melalui infus tidak dapat diberikan,
quinine dihidrochloride dapat diberikan dalam dosis yang sama melalui
suntikan intramuscular. Berikan garam kina 10 mg/kgBB IM dan ulangi
setiap 8 jam. Larutan parenteral harus diencerkan sebelum digunakan
karena akan lebih mudah diserap dan tidak begitu nyeri5.

2.8.2.3 Pemberian Obat Anti Malaria


Pengobatan malaria berat di tingkat Puskesmas dilakukan dengan
memberikan artemeter ataupun kina hidroklorida intramuscular sebagai dosis
awal sebelum merujuk ke RS rujukan. Apabila rujukan tidak memungkinkan,
pengobatan dilanjutkan dengan pemberian dosis lengkap artemeter intra
muscular. Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil di Puskesmas dilakukan
dengan memberikan kina HCl pada trimester 1 secara intra muscular dan
artemeter injeksi untuk trimester 2 dan 3. Pengobatan malaria di RS dianjurkan
untuk menggunakan artesunat intravena. Pengobatan malaria berat untuk ibu
hamil pada trimester 2 dan 3 menggunakan artesunate intravena, sedangkan
untuk ibu hamil trimester 1 menggunakan kina parenteral3.
a) Kemasan dan cara pemberian artesunat
Artesunate parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering
asam artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat
41

5%. Untuk membuat larutan artesunat dengan mencampur 60 mg serbuk kering


artesunik dengan larutan 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Kemudian ditambah
larutan Dextrose 5% sebanyak 3-5 cc. Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4
mg/kgBB per-iv, sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4
mg/kgbb per-iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat. Larutan
artesunat ini juga bisa diberikan secara intramuskular (i.m) dengan dosis yang
sama. Apabila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan
dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari +
primakuin.
b) Kemasan dan cara pemberian artemeter
Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg
artemeter dalam larutan minyak. Artemeter diberikan dengan dosis 3,2
Pilihan utama :
Artesunate intravena mg/kgBB intramuskular. Selanjutnya artemeter
diberikan 1,6 mg/kgBB intramuskular satu kali sehari sampai penderita mampu
minum obat. Apabila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan
dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin atau ACT lainnya
selama 3 hari + primakuin.
Obat alternatif malaria berat
Kina hidroklorida parenteral
Dosis anak-anak : Kina HCl 25 % (per-infus) dosis 10 mg/kgBB (jika umur <2
bulan : 6-8 mg/kgBB) diencerkan dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%
sebanyak 5-10 cc/kgBB diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai
penderita sadar dan dapat minum obat. Kina tidak boleh diberikan secara bolus
intra vena, karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan kematian
Perawatan Penunjang pada Anak yang Tidak Sadar
Jaga jalan napas
Posisi miring untuk menghindari aspirasi
Ubah posisi pasien setiap 2 jam5

2.8.2.4 Komplikasi
Malaria Serebral
malaria serebral (malaria otak) adalah malaria dengan penurunan kesadaran.
Penilaian derajat kesadaran pada anak-anak dilakukan berdasarkan Blantyre
42

Coma Scale 3, atau koma lebih dari 30 menit setelah serangan kejang yang
tidak disebabkan oleh penyakit lain. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24 jam.
Acidemia/acidosis dengan pH darah <7,25 atau plasma bikarbonat <15
mmol/liter. Komplikasi lain ditandai dengan anemia berat dengan Hb <5 g/dl atau
hematokrit <15% pada keadaan parasit >10.000/l.21
Nilailah derjat kesadaran sesuai dengan AVPU atau PGCS
Berikan perawatan seksama dan beri perhatian khusus pada jalan napas,
mata, mukosa, kulit, dan kebutuhan cairan
Singkirkan penyebab lain koma yang dapat diobati (misalnya
hipoglikemia, meningitis bakteri).
Kejang umumnya terjadi sebelum dan sesudah koma, jika timbul kejang
berikan antikonvulsan
Bila terdapat syok segera lakukan tatalaksana syok
Bila dicurigai adanya sepsis, berikan antibiotik yang sesuai5.
Anemia Berat
Anemia berat ditandai dengan kepucatan yang sangat pada telapak
tangan, sering diikuti dengan denyut nadi cepat, kesulitan bernapas,
kebingungan, atau gelisah. Tanda gagal jantung seperti irama derap,
pembesaran hati, dan terkadang edema paru bisa ditemukan21
Berikan transfusi darah segera mungkin kepada:
- Semua anak dengan hematocrit <15% atau Hb <5g/dl
- Anak yang anemianya tidak berat (hematocrit >15% ; Hb >5 g/dl
dengan tanda seperti dehidrasi, syok, penurunan kesadaran,
pernapasan kusmaull, gagal jantung ,dan parasitemia yang sangat
tinggi (> 10% sel darah merah)
Berikan PRC (10mg/kgBB), jika tersedia, selama 3-4 jam. Jika tidak
tersedia, berikan darah utuh segar 20ml/kgBB selama 3-4 jam.
Periksa frekuensi napas dan denyut nadi setiap 15 menit. Jika salah
satunya mengalami kenaikan, berikan transfusi dengan lebih lambat. Jika
ada bukti kelebihan cairan karena transfusi darah, berikan furosemide
intravena (1-2 mg/kgBB) hingga jumlah maksimal 20 mg/kgBB.
Setelah transfusi, jika Hb tetap rendah, ulangi transfusi
43

Pada anak dengan gizi buruk, kelebihan cairan merupakan komplikasi


yang umum dan serius. Berikan fresh whole blood 10 ml/kgBB hanya
sekali5.
Hipoglikemia
Hipoglikemia (gula darah <2,5mmol.liter atau <45 mg/dl) lebih sering terjadi
pada pasien umur <3 tahun, yang mengalami kejang dan/atau hiperparasitemia
dan pasien koma21
Berikan 5ml/kgBB glukosa 10% IV secara cepat. Periksa kembali glukosa
darah dalam waktu 30 menit dan ulang pemberian glukosa (5 ml/kgBB)
jika kadar glukosa rendah (<2,5 mmol/liter atau <45mg/dl).
Cegah agar hipoglikemia tidak sampai parah pada anak yang tidak sadar
dengan memberikan glukosa 10% intravena. Jangan melebihi kebutuhan cairan
rumatan untuk berat badan anak. Jika anak menunjukkan tanda kelebihan
cairan, batasi cairan parenteral; ulangi pemberian glukosa 10% (5ml/kgBB)
dengan interval yang teratur. 19
Bila anak sudah sadar dan tidak ada muntah atau sesak, stop infus dan
berikan makanan/minuman per oral sesuai umur. Teruskan pengawasan kadar
glukosa darah dan obati sebagaimana mestinya5.
Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal dengan cepat dan
mendadak yang antara lain ditandai adanya peningkatan ureum dan kreatinin
darah, dan gangguan produksi urin.
Gagal ginjal akut terjadi apabila volume urine pada anak-anak < 1
ml/kgbb/jam setelah diobservasi selama 6 jam. Pada neonatus volume urin <0.5
ml/kgbb/jam observasi 8 jam.
Terapi pada anak diberikan furosemid 1 mg/kgbb/kali. Bila tidak ada
perbaikan setelah 8 jam, pemberian dapat diulang dengan dosis 2 mg/kgbb
sampai maksimum 2 kali3.
Black Water Fever
Hemoglobinuria disebabkan hemolisis masif intravaskuler pada infeksi
berat, keadaan ini tidak berhubungan dengan disfungsi renal. Blackwater fever
dapat juga terjadi pada penderita defisiensi G6PD yang diberikan primakuin atau
obat oksidan lainnya. Blackwater fever bersifat sementara, tetapi dapat menjadi
gagal ginjal akut pada kasus-kasus berat3.
44

Tindakan
1) Berikan cairan rehidrasi
2) Monitor CVP
3) Apabila Hb <5 g% atau Ht <15 %, berikan transfusi darah
4) Periksa kadar G6PD
5) Apabila ditemukan defisiensi G6PD, hentikan pemberian primakuin, kina, SP.
Dianjurkan pemberian anti malaria golongan artemisinin.
6) Apabila berkembang menjadi Gagal ginjal akut, rujuk ke RS dengan fasilitas
hemodialisis3.
Algid Malaria
Malaria Algid merupakan komplikasi dari Malaria akibat Plasmodium
Falciparum. Pada malaria algid menyababkan terjadinya kegagalan sirkulasi
perifer, penderita mengalami kolaps dengan gejala diare berat,tekanan darah
rendah, badan lemas, kulit lembab dan dingin. Pada malaria tipe algid gastrik
menjadi kolaps dan berak darah tipe disenterik.
Distress Pernapasan (Asidosis)
Distres pernapasan ditandai dengan pernapasan yang cepat dan dalam
(kusmaull) kadang disertai dengan tarikan dinding dada bagian bawah. Hal ini
disebabkan oleh kondisi asidosis metabolic dan sering terjadi pada pasien
malaria serebral atau anemia berat. Atasi penyebab reversible asidosis, terutama
dehidrasi dan anemia5.

2.8.2.5 Pemantauan
Anak dengan kondisi ini harus berada dalam observasi ketat
Pantau dan laporkan segera bila ada perubahan derajat kesadaran,
kejang, atau perubahan perilaku anak
Pantau suhu badan, denyut nadi, frekuensi napas, tekanan darah setiap 6
jam, selama setidaknya dalam 48 jam pertama
Pantau kadar gula darah setiap 3 jam hingga anak sadar sepenuhnya
Periksa tetesan infus secara rutin
Catat semua cairan masuk (termasuk cairan intravena) dan cairan
keluar5.
45

2.8.3 Malaria Kongenital


Gejala utama infeksi malaria adalah demam yang diduga berhubungan
dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit/skizon) dan terbentuknya sitokin
dan atau toksin lainnya. Pada daerah hiperendemik sering ditemukan penderita
dengan parasitemia tanpa gejala demam. Gambaran karakteristik dari malaria
ialah demam periodik, anemi dan splenomegali. Sering terdapat gejala prodromal
seperti malaise, sakit kepala, nyeri pada tulang/otot, anoreksi dan diare ringan.17
Namun sebenarnya efek klinik malaria pada ibu hamil lebih tergantung
pada tingkat kekebalan ibu hamil terhadap penyakit itu sedangkan kekebalan
terhadap malaria lebih banyak ditentukan dari tingkat transmisi malaria tempat
wanita hamil tinggal/berasal, yang dibagi menjadi 2 golongan besar :
1. Stable transmission / transmisi stabil, atau endemik (contoh : Afrika Sub-
Sahara)
Orang-orang di daerah ini terus-menerus terpapar malaria karena sering
menerima gigitan nyamuk infektif setiap bulannya
Kekebalan terhadap malaria terbentuk secara signifikan
2. Unstable transmission / transmisi tidak stabil, epidemik atau non-endemik
(contoh : Asia Tenggara dan Amerika Selatan)
Orang-orang di daerah ini jarang terpapar malaria dan hanya menerima rata-rata
< 1 gigitan nyamuk infektif/tahun.
Wanita hamil (semi-imun) di daerah transmisi stabil/endemik tinggi akan
mengalami:
Peningkatan parasite rate (pada primigravida di Afrika parasite rate pada
wanita hamil meningkat 30-40% dibandingkan wanita tidak hamil)
Peningkatan kepadatan (densitas) parasitemi perifer
Menyebabkan efek klinis lebih sedikit, kecuali efek anemi maternal
sebagai komplikasi utama yang sering terjadi pada primigravida. Anemi
tersebut dapat memburuk sehingga
menyebabkan akibat serius bagi ibu dan janin.

Sebaliknya di daerah tidak stabil/non-endemik/endemik rendah yang


sebagian besar populasinya merupakan orang-orang non-imun terhadap malaria,
kehamilan akan meningkatkan risiko penyakit maternal berat, kematian janin,
46

kelahiran prematur dan kematian perinatal. Ibu hamil yang menderita malaria
berat di daerah ini memiliki risiko fatal lebih dari 10 kali dibandingkan ibu tidak
hamil yang menderita malaria berat di daerah yang sama.17
2.8.3.1 Diagnosis
Diagnosis pasti infeksi malaria dapat dilakukan baik dengan pemeriksaan
mikroskopik (saat ini merupakan standar baku emas) maupun dengan rapid
diagnostic test yang dapat mendeteksi antigen spesifik parasit. Pengalaman dan
alat yang mencukupi akan dapat mendeteksi 15 parasit/uL. Namun selama
kehamilan densitas parasit rendah dan parasit berkumpul di plasenta, yang
berbahaya baik terhadap ibu dan janin, oleh sebab itu sensitifitas mikroskopik
berkurang pada kasus seperti ini. Kurangnya sensitifitas mikroskopik merupakan
kendala dalam mendeteksi dan menilai efektifitas terapi malaria pada wanita
hamil. Rapid diagnostik test Akhir-akhir ini banyak digunakan. Uji ini praktis
namun pada kehamilan kurang sensitif. PCR digunakan hanya pada kasus yang
selektif, digunakan jika diagnosis film darah tidak cukup kuat. PCR juga
digunakan untuk kepentingan penelitian. Pemeriksaan ini lebih akurat dari
mikroskopi namun sangat mahal dan memerlukan seorang ahli. Metoda
diagnostik yang lain adalah deteksi antigen HRP II dari parasit dengan metode
Dipstick test, selain itu dapat pula dilakukan uji imunoserologis yang lain seperti
Tera Radio Immunologic (RIA) dan Tera Immuno enzimatik (ELISA).17
Di daerah yang intensitas penularannya stabil tidak ditemukannya
plasmodium pada darah perifer dalam sekali pemeriksaan tidak langsung
mengkesampingkan adanya infeksi. Parasitemia dapat berfluktuasi dan tetap
berada dibawah kadar deteksi (total biomass kira-kira 108 parasit) oleh imunitas
tubuh dimana P,falciparum berkumpul di plasenta. Pemeriksaan skrining darah
yang lebih dini dan sering pada wanita hamil akan bermanfaat untuk mendeteksi
malaria dan terapi malaria secara dini. Deteksi dini dan terapi menunjukkan
adanya penurunan kasus malaria plasenta, sehingga merupakan langkah kunci
dalam menurunkan pengaruh yang berbahaya terhadap ibu dan janin.17
2.8.3.2 Pencegahan
Kemoprofilaksis Malaria dalam Kehamilan
WHO merekomendasikan agar memberikan suatu dosis pengobatan
(dosis terapeutik) anti malaria untuk semua wanita hamil di daerah endemik
malaria pada kunjungan ANC yang pertama, kemudian diikuti kemoprofilaksis
47

teratur. Saat ini kebijakan pengobatan malaria di Indonesia menghendaki hanya


memakai klorokuin untuk kemoprofilaksis pada kehamilan Ibu hamil dengan
status non-imun sebaiknya menghindari daerah endemis malaria.17
Profilaksis mulai diberikan 1 sampai 2 minggu sebelum mengunjungi
daerah endemis, dengan klorokuin (300 mg basa) diberikan seminggu sekali dan
dilanjutkan sampai 4 minggu setelah kembali ke daerah non endemis Beberapa
studi memperlihatkan bahwa kemoprofilaksis menurunkan anemia maternal dan
meningkatkan berat badan bayi yang dilahirkan
Mengurangi Kontak dengan Vektor
Mengurangi kontak dengan vektor seperti insektisida, pemakaian kelabu
yang dicelup dengan insektisida mengurangi prevalensi parasitemia, khususnya
densitas tinggi, insidens klinis dan mortalitas malaria. Pemakaian celana panjang
dan kemeja lengan panjang, pemakaian penolak nyamuk (repellent).
Vaksinasi
Target vaksin malaria antara lain mengidentifikasi antigen protektif pada
ketiga permukaan stadium parasit malaria yang terdiri dari sporozoit, merozoit,
dan gametosit. Kemungkinan penggunaan vaksin yang efektif selama kehamilan
baru muncul dan perlu pertimbangan yang kompleks.
Tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan vaksin untuk mencegah
malaria selama kehamilan, yaitu :
a. Tingkat imunitas sebelum kehamilan
b. Tahap siklus hidup parasit
c. Waktu pemberian vaksin.
2.8.3.3 Tatalaksana
Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan
membunuh semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia. Adapun
tujuan pengobatan radikal untuk mendapat kesembuhan kilinis dan parasitologik
serta memutuskan rantai penularan. Lini pertama pengobatan malaria falsiparum
adalah seperti yang tertera dibawah ini:
Lini pertama = Artesunat + Amodiakuin + Primakuin
Primakuin tidak boleh diberikan kepada:
lbu hamil pada trisemster 1
Bayi < 1 tahun
Penderita defisiensi G6-PD
48

Pada semua ibu hamil dengan malaria, maka pada kunjungan ANC yang
pertama, diberikan pengobatan dosis terapeutik anti malaria.
Klorokuin + Kina (pada trimester I)
Artesunat + Amodiakuin (pada trimester II)
Kina diberikan per-oral, 3 kali sehari dengan dosis 10 mg/kgbb/kali selama
7(tujuh) hari.
Klorokuin diberikan 1 kali per-hari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg
basa/kgbb.
Loading dose : 20 mg garam/kgbb dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5% atau
NaCI 0,9% diberikan selama 4 jam pertama. Selanjutny selama 4 jam ke-dua
hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu, diberikan kina
dengan dosis maintenance 10 mg/kgbb dalam larutan 500 ml dekstrose 5 % atau
NaCI selama 4 jam Empat jam selanjutnya, hanya diberikan lagi cairan dextrose
5% atau NaCl 0,9% Setelah itu diberikan lagi dosis maintenance seperti diatas
sampai penderita dapat minum kina per-oral. Bila sudah sadar / dapat minum
obat pemberian kina iv diganti dengan kina tablet per-oral dengan dosis 10
mg/kgbb/kali, pemberian 3 x sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung sejak
pemberian kina perinfus yang pertama).
49

Gambar 14. Terapi Malaria pada ibu hamil3

2.8.3.4 Komplikasi
1. Kematian janin dalam kandungan
Kematian janin intrauterin dapat terjadi akibat hiperpireksi, anemi berat,
penimbunan parasit di dalam plasenta yang menyebabkan gangguan sirkulasi
ataupun akibat infeksi transplasental.
2. Abortus
Abortus pada usia kehamilan trimester I lebih sering terjadi karena
demam tinggi sedangkan abortus pada usia trimester II disebabkan oleh anemia
berat.
3. Persalinan prematur
Umumnya terjadi sewaktu atau tidak lama setelah serangan malaria.
Beberapa hal yang menyebabkan persalinan prematur adalah febris, dehidrasi,
asidosis atau infeksi plasenta
4. Berat badan lahir rendah
50

Penderita malaria biasanya menderita anemi sehingga akan


menyebabkan gangguan sirkulasi nutrisi pada janin dan berakibat terhambatnya
pertumbuhan dan perkembangan janin
dalam kandungan
5. Malaria plasenta
Plasenta mempunyai fungsi sebagai barier protektif dari berbagai
kelainan yang terdapat dalam darah ibu sehingga parasit malaria akan
ditemukan di plasenta bagian maternal dan hanya dapat masuk ke sirkulasi janin
bila terdapat kerusakan plasenta misalnya pada persalinan sehingga terjadi
malaria kongenital. Prevalensi malaria plasenta biasanya ditemukan lebih tinggi
daripada malaria pada sediaan darah tepi wanita hamil, hal ini mungkin karena
plasenta merupakan tempat parasit bermultiplikasi. Diagnosis malaria plasenta
ditegakkan dengan menemukan parasit malaria dalam sel darah merah atau
pigmen malaria dalam monosit pada sediaan darah yang diambil dari plasenta
bagian maternal atau darah tali pusat. Infeksi P. falciparum sering
mengakibatkan anemi maternal, abortus, lahir mati, partus prematur, BBLR serta
kematian maternal. Gambaran histologik infeksi aktif berupa plasenta yang
bewarna hitam/abu-abu, sinusoid padat dengan eritrosit terinfeksi, eritrosit
terinfeksi pada sisi maternal dan tidak pada sisi fetal kecuali pada beberapa
penyakit plasenta. Tampak pigmen hemozoin dalam ruang intervilli dan makrofag
disertai infiltrasi sel radang. Dapat terjadi simpul sinsitial disertai nekrosis
fibrinoid dan kerusakan serta penebalan membrana basalis trofoblas.
6. Malaria Kongenital
Malaria kongenital adalah malaria yang menginfeksi janin atau bayi, dimana
infeksi terjadi dari ibu pada saat kehamilan (transplasenta-intrauterine) ataupun
saat persalinan Gejala klinik malaria kongenital antara lain iritabilitas, tidak mau
menyusu, demam, pembesaran hati dan limpa (hepatosplenomegali) dan anemia
tanpa retikulositosis dan tanpa ikterus.

2.9 Prognosis
Prognosis malaria yang disebabkan P. vivax umumnya baik, tidak
menyebabkan kematian walaupun apabila tidak diobati infeksi rata-rata dapat
berlangsung sampai 3 bulan atau lebih lama oleh karena mempunyai sifat relaps,
sedangkan P.malariae dapat berlangsung sangat lama dengan kecenderungan
51

relaps, pernah dilaporkan sampai 30-50 tahun. Infeksi P. falciparum tanpa


penyulit berlangsung sampai satu tahun. Infeksi P.falciparum dengan penyulit
prognosis menjadi buruk, apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat
bahkan dapat meninggal terutama pada gizi buruk. WHO mengemukakan
indikator prognosis buruk apabila:
Umur 3 tahun atau kurang
Koma yang berat
Kejang berulang
Reflex korena negatif
Deserebrasi
Dijumpai disfungsi organ (gagal ginjal, edema paru)
Terdapat perdarahan retina
Indikator laboratorium
Hiperparasitemia (>250.000/ml atau >5%)
Skizontemia dalam darah perifer
Leukositosis
PCV (packed cell volume) <15%
Hemoglobin <5g/dl
Glukosa darah <40mg/dl
Ureum >60 mg/dl
Glukosa likuor serebrospinal meningkat
SGOT meningkat > 3 kali normal
Antitrombin rendah
Peningkatan kadar plasma 5 nukleotidase4

2.10 Pencegahan
1. Pemakaian obat anti malaria
Semua anak dari daerah non-endemik apabila masuk ke daerah endemic
malaria, maka 2 minggu sebelumnya sampai dengan 4 minggu setelah keluar
dari daerah endemic malaria, tiap minggu diberikan obat anti malaria
a. Klorokuin basa 5mg/kgBB (8,3 mg garam), maksimal 300 mg basa
sekali seminggu atau
52

b. Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 0,50-0,75 mg/kgBB


atau sulfadoksin 10-15mg/kgBB sekali seminggu (hanya untuk umur 6
bulan atau lebih).
2. Menghindari gigitan nyamuk
3. Vaksin malaria
Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu
mencegah penyakit ini, tetapi adanya bermacam stadium pada perjalanan
penyakit malaria menimbulkan kesulitan pembuatannya. Penelitian pembuatan
vaksin malaria ditujukan pada 2 jenis vaksin, yaitu:
a. Proteksi terhadap ketiga stadium parasit: (1) Sporozoit yang
berkembang dalam nyamuk dan menginfeksi manusia, (2) merozoit
yang menyerang eritrosit, dan (3) gametosit yang menginfeksi nyamuk
b. Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan. Jadi,
pendekatan pembuatan vaksin yang berbeda-beda mempunyai
kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung tujuan mana
yang akan dicapai. Vaksin sporozoit P.falciparum merupakan vaksin
yang pertama kali diujicoba, dan apabila telah berhasil, dapat
mengurangi morbiditas dan mortalitas malaria tropika terutama pada
anak dan ibu hamil. Dalam waktu dekat akan diuji coba vaksin dengan
rekayasa genetika4.
53

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari referat ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
Plasmodium bentuk aseksual yang hidup dan berkembang biak dalam
sel darah merah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan melalui
gigitan nyamuk Anopheles betina yang infektif.
2. Malaria disebabkan oleh parasit sporozoa Plasmodium yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina infektif.
3. Siklus hidup Plasmodium berlangsung pada manusia dan nyamuk. Di
dalam tubuh manusia yang merupakan hospes perantara, terjadi
siklus hidup aseksual yang terdiri dari empat tahapan yaitu tahap
skizogoni, tahap skizogoni eksoeritositik, tahap skizogoni eritrositik
dan tahap gametogoni.
4. Gejala klinis malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya
transmisi infeksi malaria. Berat/ringannya infeksi dipengaruhi oleh
jenis Plasmodium, daerah asal infeksi (pola resistensi terhadap
pengobatan), umur penderita, keadaan kesehatan dan nutrisi.
5. Diagnosis malaria dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
laboratorium (mikroskopik, tes diagnostik cepat) dan tanpa
pemeriksaan laboratorium.
6. Penderita malaria dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai
malaria berat yang menurut WHO (2000), didefenisikan sebagai
infeksi Plasmodium falciparum dengan satu atau lebih komplikasi
sebagai berikut antara lain : malaria serebral (malaria otak) adalah
malaria dengan penurunan kesadaran.
7. Tujuan pengobatan malaria secara umum adalah untuk mengurangi
angka kesakitan, mencegah kematian, menyembuhkan penderita dan
mengurangi kerugian akibat sakit.
54

8. Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria


dengan memakai obat ACT (Artemisinin base Combination Therapy).
9. Pemeriksaan hasil pengobatan penderita malaria falciparum dilakukan
setelah 3 hari pada pengobatan lini pertama atau 7 hari setelah
pengobatan lini kedua. Penderita malaria vivax dilakukan hari 4 atau
hari 7 sampai 14 hari setelah pengobatan lini pertama.
10. Malaria pada kehamilan akan meningkatkan risiko penyakit maternal
berat, kematian janin, kelahiran prematur dan kematian perinatal.
55

DAFTAR PUSTAKA

1. CDC. 2016. Global Health - Division of Parasitic Diseases and Malaria


(Online). https://www.cdc.gov/malaria/about/biology/ diakses pada tanggal
22 Agustus 2016.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Buku Bagan Manajemen
Terpadu Balita Sakit. Jakarta: Depkes RI
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pedoman
Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Jakarta: Depkes RI
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis ed
2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI
5. WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO
Indonesia
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Pedoman
Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Jakarta: Depkes RI
7. Departemen Parasitologi FKUI Jakarta. 2008. Parasitologi Kedokteran.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
8. Gazinelli T. Ricardo, Kalantari Parisa, Fitzgerald A. Katherine, Gulenbock T.
Douglas. 2014. Plasmodium Life Cycle and Pathogenesis of Malaria
(Online). http://www.nature.com/nri/journal/v14/n11/fig_tab/nri3742_F1.html
diakses pada tanggal 22 Agustus 2016
9. International Medical Corps. Malaria (Online).
http://internationalmedicalcorps.org/page.aspx?pid=501 diakses pada
tanggal 22 Agustus 2016
10. WHO. 2016. Malaria (Online) http://www.who.int/topics/malaria/en/ diakses
pada tanggal 23 Agustus 2016
11. 7Fak. Kedokteran UI, 2005. Buku Kuliah 2 : Ilmu Kesehatan Anak.
Infomedika. Jakarta.
12. Depkes RI, 1999. Modul Epidemiologi Malaria 1. Ditjen PPM & PLP.
Jakarta.
13. Depkes RI. 2004, Petunjuk Teknis Pemberantasan Malaria. Ditjen PPM dan
PLP. Jakarta
14. Soedarto, 2008. Parasitologi Klinik. Airlangga University Press. Surabaya.
56

15. Depkes RI. Malaria Direktorat Jenderal Pencegahan dan pemberantasan


Penyakit Menular dan Lingkungan Pemukiman, Jakarta 1995.
16. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Malaria. Epidemiologi I. 1991.
Direktorat Jendral PPM & PLP.
17. Sutanto. I. Malaria Pada Kehamilan. Bagian Parasitologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
18. Tjitra E. Manifestasi Klinis dan Pengobatan Malaria. P3M. BPPK Depkes RI,
Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 94. 1994.
19. Hiswani .Gambaran Penyakit dan Vektor Malaria di Indonesia.
http://en.google.org/pdf., FKM. USU
20. Aru W. Sudoyo dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I edisi IV. Pusat
Penerbitan FKUI Jakarta. 2006.
21. Kosasih E.N dan A.S. Tafsiran Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik. Ed.II.
karisma Publishing Group. 2008
22. Metha PN. Pediatric Malaria. Emedicine medscape. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/998942-overview. 2015
23. Depkes RI, 2009. Buku Saku Pengendalian dan Pencegahan Malaria :
Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria Di Indonesia. Ditjen PP & PL.
Jakarta.
24. Plasmodium knowlesi Malaria in Humans Is Widely Distributed and
Potentially LifeThreatening. Janet Cox-Singh, et al. Clinical Infectious
Diseases 2008; 46:165

You might also like