You are on page 1of 32

REFLEKSI KASUS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti


Program Pendidikan Klinik Bagian Ilmu Forensik
Di RS Bhayangkara
Semarang

oleh :
Wiska Habiburohman E 12711142
Singgih Priyambodo 12711013
A.M. Farid Santoso 12711064
Ferry Hendra Surya 16712085

Pembimbing:
dr. Ratna Relawati, Sp.KF, M.Si, Med

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2017
FORM REFLEKSI KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

Nama Dokter Muda : Wiska Habiburohman E 12711142


Singgih Priyambodo 12711013
A.M. Farid Santoso 12711064
Ferry Hendra Surya 16712085
Identitas Pasien
Nama/Inisial : Ny. RK
Umur : 21 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Kasus : Kekerasan Fisik dalam RumahTangga
Pengambilan kasus pada minggu ke: 1
Jenis Refleksi: lingkari yang sesuai (minimal pilih 2 aspek, untuk aspek ke-Islaman
sifatnya wajib)
a. Ke-Islaman*
b. Etika/ moral
c. Medikolegal
d. Sosial Ekonomi
e. Aspek lain: Forensik

Form Uraian
1. Resume kasus yang diambil (yang menceritakan kondisi lengkap pasien/
kasus yang diambil)
Pagi hari sebelum Ny. RK (korban) memeriksakan diri ke Rumah Sakit
Bhayangkara, korban telah mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
yang dilakukan oleh suaminya (pelaku). Korban mengatakan bahwa kejadian
kekerasan fisik dialaminya berawal dari korban meminta pelaku untuk pulang pada
pukul 05.30. Dikarenakan korban sedang hamil tua, korban meminta kepada pelaku
untuk sekaligus membelikan makanan karena korban belum makan sejak malam.
Pelaku segera pulang ke rumah namun marah kepada korban tanpa alasan yang jelas
lalu pelaku langsung pergi keluar rumah. Korban sempat mencurahkan
kemarahannya melalui media sosial. Pukul 06.30 pelaku pulang ke rumah korban

REFKAS KDRT UII Page 2


dalam keadaan mabuk dan bertengkar dengan korban dan mengancam korban dengan
menceraikannya setelah melahirkan. Pelaku lalu memukul korban pada bagian dada
kanan atas dan pergelangan tangan korban masing-masing satu kali dengan kekuatan
yang cukup keras. Korban tidak melawan dan hanya menangis. Lalu pelaku masuk
kamar dan tidur.

Pernikahan ini sudah berlangsung kurang lebih 1 tahun dan hamil ini
merupakan kehamilan yang pertama dengan usia kehamilan 8 bulan. KDRT ini
pertama kali dialami oleh Ny. RK saat hamil 4 bulan. Selama menikah Ny. RK
mengaku kurang lebih sudah 2 kali diperlakukan dengan sangat kasar oleh suaminya.
Pada saat KDRT yang pertama, korban ditampar di pipi dan dipukul di lengan kanan
korban. Namun, Ny. RK tidak pernah melaporkan atau menceritakan perlakuan
suaminya tersebut.

Dikarenakan KDRT yang dialaminya ini sudah kedua kalinya, korban


menceritakan hal tersebut kepada kerabatnya dan memutuskan untuk melaporkan ke
pihak kepolisian untuk diperkarakan dan menginginkan visum.

Ny. RK pada hari Selasa, 9 Mei 2017 Ny. RK melaporkan peristiwa tersebut
kepada pihak Kepolisian Resort Kota Semarang lalu pergi ke RS Bhayangkara
Semarang untuk melakukan visum. Ny. RK diduga telah menjadi korban kekerasan
fisik dalam lingkup rumah tangga yang diduga dilakukan oleh suaminya yang
bernama Tn. DP dengan cara Ny. RK ditonjok dan dicengkeram dengan
menggunakan tangan kosong.
Hasil Pemeriksaan
a. Keadaan Umum
- Tingkat kesadaran : Sadar penuh
- Denyut nadi : 88 x/menit
- Pernapasan : 19 x/menit
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Suhu badan : 36,5 oC
b. Kelainan-kelainan Fisik
Deskripsi Luka
Wajah: tidak ada tanda-tanda kekerasan
Leher: tidak ada tanda-tanda kekerasan
Dada: Terdapat sebuah luka memar pada dada sebelah kiri, bentuk tidak

REFKAS KDRT UII Page 3


teratur, batas luka tidak tegas. Ukuran luka, panjang dua sentimeter dan
lebar tiga sentimeter, warna biru kehitaman, sama rata dengan daerah
sekitarnya. Letak pusat luka lima sentimeter di bawah garis mendatar
yang melewati kedua puncahk bahu dan tiga sentimeter dari garis tengah
tubuh. Disekitar memar tidak ada kelainan.
Punggung: tidak ada tanda-tanda kekerasan
Perut: tidak ada tanda-tanda kekerasan
Anggota gerak
o Anggota gerak atas:
o Kanan : Tidak ada tanda kekerasan
o Kiri : Terdapat sebuah luka memar pada atas pergelangan tangan
kiri, bentuk tidak teratur, batas tidak tegas. Ukuran luka panjang
dua sentimeter dan lebar satu sentimeter, warna biru keunguan,
sama rata dengan daerah sekitarnya. Letak pusat luka satu
sentimeter diatas pergelangan tangan kiri. Disekitar memar tidak
ada kelainan.
o Anggota gerak bawah: tidak ada tanda-tanda kekerasan

2. Latar belakang /alasan ketertarikan pemilihan kasus


Kasus kekerasan dalam rumah tangga selalu mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun (Gumelar, 2011). Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi kasus
yang tak pernah habis dibahas karena meskipun berbagai instrumen hukum, mulai
dari Internasional sampai pada tingkat nasional belum mampu menekan angka kasus
Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi.
Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa jumlah kasus Kekerasan
terhadap Perempuan 2014 sebesar 293.220 sebagian besar dari data tersebut
diperoleh dari data kasus/perkara yang ditangani oleh 359 Pengadilan Agama di
tingkat kabupaten/kota yang tersebar di 30 Provinsi di Indonesia, yaitu mencapai
280.710 kasus atau berkisar 96%. Sisanya sejumlah 12.510 kasus atau berkisar 4%
bersumber dari 191 lembaga-lembaga mitra pengada layanan yang merespon dengan
mengembalikan formulir pendataan yang dikirimkan oleh Komnas Perempuan.
Seperti tahun lalu, kekerasan yang terjadi di ranah personal mencatat kasus paling
tinggi.
Sejumlah 280.710 kasus data Pengadilan Agama seluruhnya dicatat dalam
kekerasan yang terjadi di ranah personal yang terjadi terhadap istri. Sementara dari

REFKAS KDRT UII Page 4


12.510 kasus yang masuk dari lembaga mitra pengada layanan, kekerasan yang
terjadi di ranah personal tercatat 68% atau 8.626 kasus. Pada tahun 2014 mencatat
sebanyak 3.860 kasus atau 29%, dan di ranah negara adanya 24 kasus atau kurang
dari 1%. Kekerasan di Ranah Personal, Ranah personal artinya pelaku adalah orang
yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan,
perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. Sebanyak 8.626
kasus di ranah personal, 59% atau 5.102 kasus berupa kekerasan terhadap istri, 21%
atau 1.748 kasus kekerasan dalam pacaran, 10% atau 843 kasus kekerasan terhadap
anak perempuan, 9% atau 750 kasus kekerasan dalam relasi personal lain, 1% atau 63
kasus kekerasan dari mantan pacar, 0,7% atau 53 kasus kekerasan dari mantan suami,
dan 0,4% atau 31 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Kasus kekerasan fisik masih menempati urutan tertinggi pada jenis tindak
kekerasan dalam ranah personal di tahun 2014, yaitu mencapai 3.410 (40%), diikuti
posisi kedua kekerasan psikis sebesar 2.444 (28%), kekerasan seksual 2.274 kasus
(26%) dan kekerasan ekonomi 496 kasus (6%). Urutan di atas sama dengan data
tahun 2013. Mayoritas rentang usia perempuan korban di ranah personal adalah 25-
40 tahun, menyusul setelahnya di usia 13-18 tahun, kemudian di usia 19-24 tahun. Ini
berarti bahwa kekerasan tertinggi terjadi pada usia nikah (25-40 tahun). Dari data di
atas dapat kita ketahui bahwa dari tahun ke tahun Kekerasan Dalam Rumah Tangga
cenderung meningkat karena kekerasan yang dihadapai perempuan juga meningkat.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau biasa juga disebut sebagai kekerasan
domestik (domestic violence) merupakan suatu masalah yang sangat khas karena
kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada semua lapisan masyarakat mulai dari
masyarakat berstatus sosial rendah sampai masyarakat berstatus sosial tinggi.
Sebagian besar korban KDRT adalah perempuan, apakah istri atau anak perempuan
dan pelakunya biasanya ialah suami (walaupun ada juga korban justru sebaliknya).
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (UU No. 23 Tahun 2004).
Di sebagian besar masyarakat Indonesia, KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah
Tangga belum diterima sebagai suatu bentuk kejahatan.Artinya penanganan segala

REFKAS KDRT UII Page 5


bentuk kekerasan dalam rumah tangga hanya menjadi urusan domestik setiap
keluarga saja, dan Negara dalam hal ini tidak berhak campur tangan ke lingkup intern
warga negaranya. Namun, dengan berjalannya waktu dan terbukanya pikiran kaum
wanita Indonesia atas emansipasi, akhirnya sudah mulai muncul titik terangnya yaitu
disusunnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Namun masih banyak kasus KDRT yang bergulir sebagaimana kasus
fenomena yang terselubung.
Ketertarikan pemilihan kasus ini terkait dengan upaya yang dilakukan oleh
pemerintah tidaklah mudah karena pemerintah berhadapan dengan akar budaya
tradisonal patriarki yang membawa dampak kepada marginalisasi, diskriminasi dan
sub-ordinasi kaum perempuan dan anak-anak dalam kehidupan berkeluarga,
bermasayarakat, berbangsa dan bernegara.

3. Refleksi dari aspek etika moral/ medikolegal/ sosial ekonomi beserta


penjelasan evidence/ referensi yang sesuai *

a. Aspek Medikolegal
Aspek Hukum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut teori politik hukum, hadirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
merupakan salah satu bentuk kebijakan (policy) pemerintah sebagai legislasi nasional
dalam rangka menghapus kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini terjadi dan
juga sebagai payung hukum bagi saksi sekaligus korban kekerasan dalam rumah
tangga untuk melindungi dirinya di dalam proses peradilan pidana dalam
persidangan.
Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Peraturan
Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan
Korban KDRT, Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional
Terhadap Perempuan, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, dan peraturan perundangan lainnya yang memberikan tugas dan
fungsi kepada lembaga-lembaga yang terkoordinasi memberikan perlindungan

REFKAS KDRT UII Page 6


hukum terhadap kasus KDRT dan termasuk lembaga-lembaga sosial yang bergerak
dalam perlindungan terhadap perempuan.
Usaha kebijakan hukum pidana dalam mengatur masalah kekerasan dalam
rumah tangga merupakan salah satu bagian tugas pemerintah dan DPR untuk
memberikan sebuah payung hukum yang sangat memadai bagi saksi sekaligus
korban kekerasan dalam rumah tangga, karena politik hukum yang hendak dicapai
oleh pemerintah dalam mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
sebagaimana termuat di dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Yang di maksud dalam rumah tangga ini ialah pada pasal 2 pada undang-
undang no 23 tahun 2004 yaitu:
(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud ada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota
keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam


RumahTangga yang selanjutnya disebut sebagai UU PKDRT diundangkan tanggal 22
September 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 95.
Fokus UU PKDRT ini ialah kepada upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan
korban kekerasan dalam rumah tangga. UU PKDRT Pasal 3 menyebutkan,
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan :
a. Penghormatan hak asasi manusia
b. Keadilan dan kesetaraan gender
c. Nondiskriminasi
d. Perlindungan korban.

UU PKDRT Pasal 4 menyebutkan Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

REFKAS KDRT UII Page 7


bertujuan :
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

UU PKDRT pasal Pasal 5 mengatakan bahwa Setiap orang dilarang melakukan


kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam Iingkup rumah tangganya,
dengan cara:
1. kekerasan fisik;
2. kekerasan psikis;
3. kekerasan seksual; atau
4. penelantaran rumah tangga

UU PKDRT Pasal 6 menyebutkan Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat.

UU PKDRT Pasal 7 menyebutkan Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

UU PKDRT Pasal 8 menyebutkan bahwa Kekerasan seksual sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
1. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut;
2. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu

Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti


Kekerasan terhadap Perempuan yang selanjutnya disebut sebagai Perpres Komnas
Perempuan ialah merupakan penyempurnaan Keputusan Presiden No. 181 Tahun
1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Perpres Komnas

REFKAS KDRT UII Page 8


Perempuan Pasal 24 telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku Keppres No. 181
Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Komnas
Perempuan ini dibentuk berdasarkan prinsip negara hukum yang menyadari bahwa
setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk
pelanggaran atas hak-hak asasi manusia sehingga dibutuhkan satu usaha untuk
mencegah dan menanggulangi terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Delik dalam Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana disinonimkan dengan tindak pidana. Delik berasal dari
bahasa Latin yakni kata delictum. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat
Bahasa Edisi Keempat (2012) delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman
karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana. Delik atau
perbuatan pidana menurut Moeljatno, (2000) adalah perbuatan yang oleh suatu aturan
hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan
ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan
oleh kelakuan orang). Ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu. Delik atau perbuatan pidana dalam prakteknya dibedakan
menjadi dua yaitu delik biasa dan delik aduan.
Menurut Moeljatno, (2000) delik biasa adalah delik yang belakangan ditambah
dengan unsur-unsur lain yang memberatkan ancaman pidananya. Ada kalanya unsur-
unsur lain itu mengenai cara yang khas dalam melakukan delik biasa, ada kalanya
objek yang khas, ada kalanya pula mengenai akibat yang khas dari perbuatan yang
merupakan delik biasa tadi, sehingga delik biasa adalah tindak pidana yang
penuntutannya tidak dilakukan atas dasar adanya pengaduan sehingga disebut delik
bukan aduan atau delik pokok. Contohnya Pasal 362 KUHP adalah pencurian biasa
dan Pasal 363 KUHP adalah pencurian yang dikualifisir, yaitu karena cara
melakukannya diwaktu ada kebakaran atau dengan beberapa orang, maupun karena
objeknya adalah hewan. Pasal 351 KUHP adalah penganiayaan biasa, sedangkan
Pasal 353 KUHP, Pasal 354 KUHP, Pasal 355 KUHP dan Pasal 356 KUHP adalah
penganiayaan yang dikualifisir, karena caranya, objeknya maupun akibatnya adalah
lebih khusus daripada penganiayaan biasa Menurut Teguh Prasetyo, (2010) yang
disebut dengan delik aduan menurut Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (2002)
dalam bahasa Belanda disebut klachtdelict adalah tindak pidana yang penuntutannya

REFKAS KDRT UII Page 9


hanya dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau
yang terkena. Terdapat dua jenis delik aduan yaitu delik aduan absolute, yang
penuntutannya hanya berdasarkan pegaduan dan delik aduan relatif karena adanya
hubungan istimewa antara pelaku dengan korban. Menurut Fockema Andreae, dalam
Kamus Istilah Hukum (1997), klachtdelict adalah delik pengaduan, pada delik
pengaduan jaksa hanya dapat melakukan penuntutan jika orang yang dirugikan
(gelaedeerde) mengajukan pengaduan untuk penuntutan.
Moerjono (2000) Delik adalah peristiwa hukum, biasanya terjadi dalam hukum
pidana. Delik ada dua yaitu :
Delik aduan adalah apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang
menjadi korban tindak pidana. Misalnya pemerkosaan, pencurian dalam
keluarga dan pencurian dalam waktu pisah meja-ranjang (schidding van tavel
en bed). Delik aduan bisa ditarik kembali apabila si pelapor menarik
laporannya misalnya karena ada perdamaian atau perjanjian damai yang
diketahui oleh penyidik bila telah masuk tingkat penyidikan, oleh jaksa bila
telah masuk tingkat penuntutan atau oleh hakim bila masuk persidangan tetapi
belum divonis. Penarikan aduan atau laporan biasanya terjadi dalam kasus
perkosaan di mana si korban merasa malu atau si pelaku mau menikahi korban.
Dalam kasus pencurian dalam keluarga atau pisah meja ranjang, biasanya
alasan keluarga.
Delik biasa atau dalam istilah Bareskrimnya adalah Kriminal murni, yaitu
semua tindak pidana yang terjadi yang tidak bisa dihentikan prosesnya dengan
alasan yang bisa dimaklumi dalam delik aduan. Misalnya penipuan. Meskipun
korban sudah memaafkan atau pelaku mengganti kerugian, proses hukum terus
berlanjut sampai vonis karena ini merupakan delik murni yang tidak bisa
dicabut.

Jenis-jenis Delik Aduan


Dalam ilmu hukum pidana delik aduan ini ada dua macam, yaitu:
1. Delik Aduan Absolute (Absolute Klacht Delict)
Delik Aduan absolute (absolute klacht delict) merupakan suatu delik

REFKAS KDRT UII Page 10


yang baru ada penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan.
Dan yang diadukan sifatnya hanyalah perbuatannya saja atau kejahatannya
saja. Dalam hal ini bahwa perbuatan dan orang yang melakukan perbuatan itu
dianggap satu kesatuan yang tetap bermuara pada kejahatan yang dilakukan.
Oleh karena itu delik aduan absolute ini mempunyai akibat hukum dalam
masalah penuntutan tidak boleh dipisah-pisahkan/onsplitbaar.
Kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam jenis delik aduan absolut
seperti: Kejahatan penghinaan (Pasal 310 s/d 319 KUHP), kecuali penghinaan
yang dilakukan oleh seseoarang terhadap seseorang pejabat pemerintah, yang
waktu diadakan penghinaan tersebut dalam berdinas resmi. Si penghina dapat
dituntut oleh jaksa tanpa menunggu aduan dari pejabat yang dihina. Kejahatan-
kejahatan susila (Pasal 284, Pasal 287, Pasal 293 dana Pasal 332 KUHP).
Kejahatan membuka rahasia (Paal 322 KUHP)
2. Delik Aduan Relative (Relatieve Klacht Delict)
Delik aduan relatif adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan, yang
sebenarnya bukan merupakan kejahatan aduan, tetapi khusus terhadap hal-hal
tertentu, justru diperlukan sebagai delik aduan. Menurut Pompe, delik aduan relatif
adalah delik dimana adanya suatu pengaduan itu hanyalah merupakan
suatu voorwaarde van vervolgbaarheir atau suatu syarat untuk dapat menuntut
pelakunya, yaitu bilamana antara orang yang bersalah dengan orang yang dirugikan
itu terdapat suatu hubungan yang bersifat khusus. Umumnya delik aduan retalif ini
hanya dapat terjadi dalam kejahatan-kejahatan seperti:
Pencurian dalam keluarga, dan kajahatan terhadap harta kekayaan yang lain
yang sejenis (Pasal 367 KUHP) Pemerasan dan ancaman (Pasal 370 KUHP)
Penggelapan (Pasal 376 KUHP)
Penipuan (Pasal 394 KUHP)
Beberapa hal perbedaan antara delik aduan absolut dengan delik aduan relatif:
Delik aduan relatif ini penuntutan dapat dipisah-pisahkan, artinya bila ada
beberapa orang yang melakukan kejahatan, tetapi penuntutan dapat dilakukan
terhadap orang yang diingini oleh yang berhak mengajukan pengaduan. Sedangkan
pada delik aduan absolut, bila yang satu dituntut, maka semua pelaku dari kejahatan

REFKAS KDRT UII Page 11


itu harus dituntut juga.
Pada delik aduan absolute, cukup apabila pengadu hanya menyebutkan
peristiwanya saja, sedangkan pada delik aduan relatif, pengadu juga harus
menyebutkan orang yang ia duga telah merugikan dirinya.
Pengaduan pada delik aduan absolut tidak dapat di pecahkan (onsplitbaar),
sedangkan Pengaduan pada delik aduan relatif dapat dipecahkan (splitbaar).
Dapat dikemukan adalah bahwa untuk dikatakan adanya suatu delik aduan,
maka disamping delik tersebut memiliki anasir yang lazim dimiliki oleh tiap delik,
delik ini haruslah juga mensyaratkan adanya pengaduan dari si korban atau pihak
yang dirugikan untuk dapat dituntutnya si pelaku. Delik aduan (Klacht Delicten) ini
adalah merupakan suatu delik, umumnya kejahatan, dimana untuk penuntutan
perkara diharuskan adanya pengaduan dari si korban atau pihak yang dirugikan
sepanjang Penuntut Umum berpendapat kepentingan umum tidak terganggu dengan
dilakukannya penuntutan atas perkara tersebut. Alasan persyaratan adanya pengaduan
tersebut menurut Simons yang dikutip oleh Satochid adalah: adalah karena
pertimbangan, bahwa dalam beberapa macam kejahatan, akan lebih mudah
merugikan kepentingan-kepentingan khusus (bizjondere belang) karena penuntutan
itu, daripada kepentingan umum dengan tidak menuntutnya.

Ketentuan Pidana
Ketentuan pidana terhadap pelanggaran KDRT diatur oleh Undang-undang
Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sebagai berikut:

Pasal 44
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (Lima) tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,00 (Lima belas juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban jatuh sakit atau luka berat, dipidanakan penjara paling lama 10 tahun
atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (Tiga puluh juta rupiah).
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan

REFKAS KDRT UII Page 12


matinya korban, dipidana penjara paling lama 15 (Lima belas) tahun atau
denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (Empat puluh lima juta rupiah).
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-harian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (Lima juta rupiah).

Pasal 45
1. Setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00
(Sembilan juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidanakan penjara paling lama 4 (empat) bulan atau
denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (Tiga juta rupiah).

Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas)
tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (Tiga puluh enam juta rupiah).

Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan
hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahunatau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)
atau paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 48

REFKAS KDRT UII Page 13


Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan 47 mengakibatkan
korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat)
minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya
janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).

Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana
tambahan berupa :
a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari
korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu
dari pelaku;
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.

Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Pemulihan korban berdasarkan kepada Undang-undang No. 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga :

Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;

REFKAS KDRT UII Page 14


c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani.

Pasal 40
(1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya
(2) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan
dan merehabilitasi kesehatan korban.

Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.

Yang dimaksud dengan upaya pemulihan korban Peraturan Pemerintah RI No.


4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan
dalam Rumah Tangga pada Pasal 1 ayat 1 ialah: Segala upaya untuk penguatan
korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya baiksecara fisik maupun
psikis.
PP PKPKKDRT Pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa Penyelenggaraan
pemulihan ialah: Segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan
korban KDRT. PP PKPKKDRT Pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa
penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh instansi pemerintah
dan pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-
masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban.
Hal yang sama disebutkan dalam PP RI Pasal 19 yang menyebutkan: Untuk
penyelenggaraan pemulihan, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
tugasdan fungsi masing-masing dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat atau
lembagasosial, baik nasional maupun internasional yang pelaksanaannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari ketentuan ini, lembaga sosial mendapat kesempatan untuk berperan dalam
melakukan upaya pemulihan korban KDRT. PP PKPKDRT Pasal 4 menyebutkan
Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi:
a. Pelayanan kesehatan
b. Pendampingan korban

REFKAS KDRT UII Page 15


c. Konseling
d. Bimbingan rohani
e. Resosialisasi

Perlindungan Saksi Dan Korban Kekerasan Dalam RumahTangga


Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga,

Pasal 10
Korban berhak mendapatkan :
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
e. Pelayanan bimbingan rohani

Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya
untuk :
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan kepada korban;
c. Memberikan pertolongan darurat; dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban


yang selanjutnya disebut dengan UU PSK berlaku sejak tanggal 11 Agustus 2006
setelah diundangkan di Lembaran Negara RI No. 64 Tahun 2006. Pokok materi UU
PSK ini meliputi perlindungan dan hak saksi dan korban, lembaga perlindungan saksi
dan korban, syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan, serta ketentuan
pidana. UU PSK ini dikeluarkan karena pentingnya saksi dan korban dalam proses
pemeriksaan di pengadilan sehingga membutuhkan perlindungan yang efektif,

REFKAS KDRT UII Page 16


profesional, dan proporsional terhadap saksi dan korban.
Perlindungan saksi dan korban dilakukan berdasarkan asas penghargaan atas
harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian
hukum. Perlindungan saksi dan korban berlaku pada semua tahap proses peradilan
pidana dalam lingkungan peradilan yang bertujuan untuk memberikan rasa aman
pada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses
peradilan pidana. Perlindungan saksi dan korban juga dilakukan karena adanya hak-
hak seorang saksi dan korban yang harus dilindungi seperti:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta-
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan
d. Mendapat penerjemah
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
i. Mendapat identitas baru
j. Mendapatkan tempat kediaman baru
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
l. Mendapat nasihat hukum
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir, dan/atau
n. Bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dalam hal saksi dan korban
mengalami pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Dampak Jangka Pendek Kekerasan Terhadap Perempuan


Umumnya yang dimaksud dengan dampak jangka pendek kekerasan adalah
cedera fisik yang diderita oleh korban (luka-luka, patah tulang, kehilangan fungsi alat
tubuh atau indera, keguguran kandungan, dll), gejala sisa di bidang kesehatan dan
psikologis (anxietas, depresi, battered woman trauma syndrome, rape trauma
syndrome, alcohol and drug abuse, dan resiko melakukan bunuh diri), serta dampak
terhadap pendidikan dan pertumbuhan anak terutama bila dalam kasus kekerasan
rumah tangga.

REFKAS KDRT UII Page 17


Kekerasan terhadap perempuan juga dapat menimbulkan dampak jangka
panjang, terutama pada kekerasan yang berulang dan berlangsung lama seperti pada
kekerasan dalam rumah tangga. Dampak tersebut dapat berupa ketidakharmonisan
keluarga yang berakibat kepada terganggunya pertumbuhan dan perkembangan
anak, child abuse, cycle of violence gangguan perkembangan mental dan perilaku
seksual, dll.

Dampak Kekerasan Jangka Panjang


Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa anak-anak yang tumbuh dari
keluarga yang biasa dengan kekerasan terhadap perempuan atau juga terhadap anak,
akan melakukan perbuatan yang sama pada saat mereka menjadi dewasa dan
berumahtangga sendiri. Anak laki-laki belajar dari ayahnya dalam melakukan
kekerasan terhadap isterinya, sedangkan anak perempuan belajar dari ibunya untuk
menjadi korban kekerasan. Masyarakat luas telah menerima teori bahwa kekerasan
adalah perilaku yang diperoleh dari belajar dan bersifat siklik.

Peran Tenaga Kesehatan


Para dokter dapat menemukan kasus dengan melakukan wawancara
(anamnesa) yang terarah secara efisien tetapi efektif, menemukan tanda kekerasan
yang khusus atau mencurigakan, mendokumentasikan temuannya, menilai
keselamatan di masa datang dan mengkomunikasikan kepada korban pilihan
penyelesaian yang realistik. Beberapa pertanyaan dapat dijadikan pertanyaan rutin
penapis dalam rangka diagnostik. Diagnosis juga dapat ditegakkan dengan melihat
ciri-ciri tertentu. Tracy (1996) melaporkan pengalamannya menerapkan pertanyaan
rutin penapis terhadap pasien-pasien ginekologis yang tidak ada hubungannya
dengan KDRT, tentang apakah pernah mengalami kekerasan fisik selama dalam
perkawinannya. Dari 8 pasien yang datang berurutan ternyata semuanya pernah
mengalami kekerasan fisik pada tahun-tahun sebelumnya.
Tenaga kesehatan juga dapat menilai besarnya risiko bahaya kekerasan di masa
mendatang dengan menilai: meningkatnya frekuensi kekerasan, meningkatnya
ancaman pembunuhan atau bunuh diri dari pasangannya, adanya senjata api atau
mulai digunakannya senjata tajam, dan catatan kriminal pelaku. Dalam

REFKAS KDRT UII Page 18


penatalaksanaan korban KDRT, selain melakukan terapi di bidang medis tenaga
kesehatan juga dapat melakukan hal-hal:
1. Menyatakan atau memperlihatkan bahwa ia juga memperhatikan keselamatan
korban/pasien guna menumbuhkan kepercayaan korban.
2. Memberikan nasihat atau merujuk pasien untuk terapi medis khusus,
penanganan medikolegal, konseling psikologis dan/atau psikososial, contoh
pertanyaan tersebut adalah:
Apa yang terjadi apabila terdapat ketidaksepakatan antara Anda dengan
suami/pacar di rumah?
Pernahkah Anda menerima kekerasan atau tindakan serupa dari suami
atau pacar?
Pernahkah Anda mengalami ancaman, intimidasi atau dibuat takut oleh
pasangan?
Apakah Anda merasa aman dan selamat bila berada di rumah?
Apakah Anda merasa takut atas keselamatan Anda atau anak Anda yang
diakibatkan oleh ulah orang yang hidup di rumah Anda? dan
Pernahkah Anda pergi ke dokter karena mengalami kekerasan atau
ketakutan di rumah?
Beberapa ciri dapat disebutkan:
cedera bilateral atau multipel,
beberapa cedera dengan beberapa tahap penyembuhan,
tanda kekerasan seksual,
keterangan pasien yang tidak sesuai dengan cederanya,
keterlambatan berobat, atau
berulangnya kehadiran di rumah sakit akibat trauma.
3. Membatasi terapi obat penenang atau obat tidur kecuali atas indikasi yang
tepat.
4. Menilai perlu atau tidaknya pelaporan ke pihak berwenang.

Alur dan prosedur pelayanan berdasarkan Kemenkes:


1. Korban dengan diantar atau tidak diantar polisi datang ke RS mendaftar
kebagian registrasi, kemudian di IGD dilakukan triase untuk menilai kondisi
korban apakah dalam keadaan non kritis, semi-kritis, kritis
2. Korban dalam keadaan non kritis akan dirujuk ke PPT untuk mendapatkan
layanan pemeriksaan fisik, konseling psikologis dan hukum, dan penunjang
tambahan, medikolegal (VeR) dan pendampingan. Untuk mendapatkan VeR,

REFKAS KDRT UII Page 19


korban perlu membawa surat permintaan VeR dari polisi.
3. Apabila RS tidak memiliki layanan konseling psikologis/hukum/selter, Pusat
Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A), P2TPA, PK2PA, atau
dikembalikan ke keluarga jika tidak membahayakan.
4. Pada RS yang tidak memiliki PKT/PPT setelah masalah medisnya tertangani
dapat dirujuk ke RS dengan PKT/PPT untuk mendapatkan pelayanan lain
yang dibutuhkan korban.
5. Korban yang dalam keadaan semi kritis akan ditangani di IGD sesuai dengan
prosedur yang berlaku. Apabila diperlukan, dapat dikonsultasikan/dirujuk ke
spesialis terkait/unit lain seperti kamar operasi/ICU/HCU.
6. Korban dalam keadaan kritis akan mendapatkan pelayanan seperti pada
korban semi kritis. Pemeriksaan medikolegal dilakukan bersamaan dengan
pelayanan medis
7. Apabila korban dari ICU/HCU kemudian meninggal, lapor ke polisi maka
akan dilakukan otopsi untuk mendapatkan VeR berdasarkan surat permintaan
Visum et Repertum dari polisi.
8. Apabila tenaga kesehatan di poliklinik RS menemukan pasien yang diduga
korban kekerasan maka dinilai terlebih dahulu keadaan umumnya kemudian
dikonsulkan ke PPT/PKT.

b. Aspek Forensik
Visum et Repertum sangat penting sekali dalam pembuktian tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga karena dengan adanya visum tersebut maka perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa dapat terbukti dan terdakwa dapat dihukum karena
perbuatannya tersebut. Biasanya korban yang mengalami kekerasan dalam rumah
tangga akan terlihat lebam atau pun luka di tubuhnya. Luka tersebut kemudian akan
diperiksa oleh pihak rumah sakit yang akan mengeluarkan visum nantinya. Pada
pemeriksaan kasus perlukaan atau korban yang mengalami kekerasan fisik, maka
dokter akan menentukan jenis luka yang ada pada tubuh korban, dan dari jenis luka
tersebut maka dokter kemudian dapat mengetahui jenis kekerasan yang menyebabkan
luka atau alat apa yang digunakan oleh pelaku. Setelah melakukan pemeriksaan
terhadap korban yang mengalami kekerasan fisik maka dalam rangka membuat
kesimpulan mengenai hasil visum tersebut dokter harus memperhatikan terlebih
dahulu kualifikasi luka yang ada.

REFKAS KDRT UII Page 20


Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang aspek-aspek kekerasan
yang terjadi pada jaringan tubuh manusia yang masih hidup yang berguna untuk
kepentingan pengobatan ataupun membantu penegak hukum untuk memecahkan
sebuah kasus pidana. Dalam kaitannya dengan forensik, traumatologi dapat
digunakan untuk menentukan jenis penyebab trauma, waktu terjadinya, cara
melakukannya, akibatnya, dan kontek peristiwa penyebab trauma.
Kekerasan yang terjadi pada tubuh seseorang dapat memberikan dampak pada
fisik ataupun psikisnya. Dampak pada fisik bila diperiksa dengan teliti akan dapat
diketahui jenis penyebabnya.

Karakteristik Kasus dan Korban KDRT


Banyak wanita yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai
suatau hal yang tabu. Itulah mengapa mereka cenderung menutupi penderitaan fisik
dan psikologis yang dilakukan pasangannya. Adanya sikap posesif terhadap korban
ataupun perilaku mengisolasi korban dari dunia luar dapat dilihat sebagai tanda awal
KDRT. Korban biasanya tampak depresi, sangat takut pengunjung/pasien lainnya dan
yang merawatnya, termasuk pegawai rumah sakit. Perhatikan perubahan sikap
korban. Mereka akan cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya. Mereka pada
umumnya tak ingin orang sekitarnya melihat tanda-tanda kekerasan. Korban juga
akan mencoba untuk menyembunyikan atau menutupi luka-lukanya dengan memakai
riasan wajah tebal, leher baju yang tinggi, rambut palsu atau perhiasan.

Karakteristik Luka pada Korban KDRT


Orang yang mendapat siksaan fisik dari pasangannya tak jarang mengalami
cedera. Hanya saja mereka cenderung menutupinya dengan mengatakan bahwa luka
tersebut akibat terjatuh ,atau kecelakaan umum. Untuk membedakannya ,perlu
diketahui ciri-ciri khusus luka akibat kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga.
Karakteristik luka yang disebabkan oleh adanya KDRT, biasanya menunjukkan
gambaran sebagai berikut :
1) Luka bilateral, terutama pada ekstremitas
2) Luka pada banyak tempat
3) Kuku yang tergores, luka bekas sundutan rokok yang terbakar, atau bekas tali

REFKAS KDRT UII Page 21


yang terbakar.
4) Luka lecet, luka gores minimal
5) Perdarahan subkonjungtiva yang diduga karena adanya pukulan pada bagian
mata sehingga melukai struktur dalam mata, bisa juga terjadi jika berlaku
perlawanan yang kuat antara korban dengan pelaku sehingga secara tidak
sengaja melukai korban.
Adanya bentukan luka memberi kesan adanya kekerasan. Bentukan luka
merupakan tanda, cetakan atau pola yang timbul dengan segera di bawah epitel oleh
senjata penyebab luka. Bentuk luka dapat karena benda tumpul, benda tajam (goresan
atau tikaman) atau karena panas .
1) Kekerasan Tumpul
Kekerasan yang melukai kulit merupakan luka yag paling sering terjadi, berupa
luka memar, lecet dan luka goresan. Adanya luka memar yang sirkuler ataupun
yang linier memberi kesan adanya penganiyaan. Luka memar pararel dengan
sentral yang bersih memberi kesan adanya penganiayaan dari objek linear.
Adanya bekas tamparan dengan bentukan jari juga harus dicatat. Luka memar
sirkuler dengan diameter 1-1,5 cm dengan tekanan ujung jari mungkin terlihat
sama dengan bentuk penjambretan. Bentukan-bentukan tersebut sering tampak
pada lengan atas bagian dalam dan area-area yang tidak terlihat waktu
pemeriksaan fisik. Penganiayaan dengan menggunakan ikat pinggang atau
kawat menyebabkan luka memar yang datar, dan penganiayaan dengan sol atau
hak sepatu akan menyebabkan luka memar pada korban yang ditendang.
2) Memar
Beberapa faktor mempengaruhi perkembangan luka memar, meliputi kekuatan
kekerasan tumpul yang diterima oleh kulit, kepadatan vaskularisasi jaringan,
kerapuhan pembuluh darah, dan jumlah darah yang keluar kedalam jaringan
sekitar. Luka memar yang digunakan untuk identifikasi umur dan penyebab
luka, tidak selalu menunjukkan kesamaan warna pada tiap orang dan tidak
dapat berubah dalam waktu yang sama antara satu orang dengan orang lain.
Beberapa petunjuk dasar tentang penampakkan luka memar sebagai berikut:
a) Waktu merah, biru, ungu atau hitam dapat terjadi kapan saja dalam waktu
1 jam setelah trauma sebagai resolusi memar. Gambaran warna merah
tidak dapat digunakan untuk memperkirakan umur memar.
b) Memar dengan gradasi warna kuning umurnya lebih dari 18 jam.

REFKAS KDRT UII Page 22


c) Meskipun warna memar kuning, coklat, atau hijau merupakan indikasi
luka yang spesifik sulit.
3) Bekas Gigitan
Merupakan bentuk luka lain yang sering ada pada domestik violence. Beberapa
gigitan ini sulit untuk dikenali, misalnya penampakkan memar semisirkuler
yang non spesifik, luka lecet, atau luka lecet memar, dan masih banyak lagi
gambaran yang dapat dikenali karena lokasi anatomi dari gigitan dan
pergerakan tidak tetap pada kulit
4) Bekas kuku
Ada 3 macam tanda bekas kuku yang mungkin terjadi, bisa tunggal atau
kombinasi, yaitu sebagai berikut :
a) Impression marks bentukan ini merpakan akibat patahnya kuku pada
kulit. Bentuknya seperti koma atau setengah lingkaran.
b) Scratch marks bentuk ini superficial dan memanjang, kedalamannya
sama dengan kedalaman kuku. Bentukan ini terjadi terjadi karena wanita
yang menjadi korban berkuku panjang.
c) Claw mark Bentukan ini terjadi ketika kulit terkoyak, dan tampak lebih
menyeramkan
5) Strangulasi Hanging, ligature atau manual adalah 3 tipe dari strangulasi
(pejeratan). Dua tipe terakhir mungkin berhubungan dengan domestic violence.
a) Ligature strangulation (garroting) dan Manual strangulation (throttlig).
Ligature strangulation (Garroting) merupakan bentuk strangulasi dengan
menggunakan tali, seperti kabel telpon atau tali jemuran. Sedangkan
Manual strangulation (throttling) biasanya menggunakan tangan,
dilakukan dengan tanga depan sambil berdiri atau berlutut didepan
tenggorokkan korban
b) Strack dan McLane melakukan penelitian pada 100 wanita yang
dilaporkan mengalami pencekikan oleh pasangan mereka dengan tangan
kosong, lengan ataupun menggunakan alat (kabel listrik, ikat pinggang,
tali, peralatan mandi).
c) Disfagia, odinofagia, hiperventilasi, dispneu, dan apneu dilaporkan atau
ditemukan. Dengan catatan, laporan menunjukkan bahwa beberapa
korban dengan keadaan awal ringan, dapat meninggal dalam waktu 36
jam setelah strangulasi.
d) Pada ligature strangulation sering tampak petekie. Petekie pada
konjungtiva terlihat sama banyaknya dengan petekie pada daerah jeratan,

REFKAS KDRT UII Page 23


seperti wajah dan daerah periorbita.
e) Pada leher mungkin ditemukan goresan dan luka lecet dari kuku korban
atau kombinasi dari luka yang dibuat oleh pelaku dan korban. Lokasi dan
luas bervariasi dengan posisi pelaku (depan atau belakang) dan apakah
korban atau pelaku menggunakan satu atau dua tangan. Pada Manual
strangulation korban sering merendahkan dagunya dalam upaya
melindungi leher, hal ini akan mengakibatkan luka lecet pada dagu
korban dan tangan pelaku.
f) Luka memar tunggal atau area eritematous sering terlihat pada ibu jari
pelaku. Area dari luka memar dan eritema sering terlihat bersama,
berkelompok pada bagian samping leher, sepanjang mandibula, bagian
atas dagu, dan di bawah area supraklavikula.
g) Ligature mark terlihat dari halus sampai keras, menyerupai lipatan kulit.
Tanda (misalnya pola seperti gelombang kabel telepon, seperti jalinan
pita dari tali) dapat memberi kesan korban telah dicekik. Sifat dan sudut
pola ini diperlukan untuk membedakan penggantungan dengan Ligature
strangulation. Pada Ligature strangulation, penekanan dari penjeratan
biasanya horizontal pada level yang sama dengan leher, dan tanda
penjeratan biasanya di bawah kartilago thyroid dan sering tulang hyoid
patah. Pada penggantungan, penekanan cenderung vertikal dan berbentuk
seperti air mata, di atas kartilago thyroid, dengan simpul pada daerah
tengkuk, di bawah dagu, atau langsung di depan telinga. Tulang hyoid
biasanya masih utuh.
h) Keluhan lainnya termasuk kehilangan kesadaran, defekasi, muntah yang
tidak terkontrol, mual dan kehilangan ingatan.
Bentuk-bentuk atau dimensi kekerasan pada anak antara lain :
a) Penganiayaan fisik: menyakiti dan melukai anak atau membunuhnya. Termasuk
diantaranya: dipukul, dibakar, digigit, juga diracun, diberi obat yang salah,
ditenggelamkan.
b) Penganiayaan seksual: ketika anak-anak, laki-laki maupun perempuan,
dianiaya secara seksual oleh orang dewasa untuk memenuhi kebutuhan seksual
mereka sendiri. Hal ini dapat berupa hubungan kelamin (penetrasi), masturbasi
(seks oral, hubungan seksual anal, dan mengekspos anak untuk keperluan

REFKAS KDRT UII Page 24


pornografi).
c) Penelantaran anak: ketika orang tua tidak memenuhi kebutuhan disarankan
seperti makanan, pakaian, pengobatan, juga meninggalkan anak yang masih
kecil sendirian di rumah. Orang tua yang menolak atau tidak memberi cinta dan
kasih sayang dikatakan penelantaran emosional.
d) Penganiayaan emosional: ketika anak kurang mendapat cinta dan kasih sayang,
sering diancam dan dicela sehingga anak kehilangan percaya diri dan harga
diri.
Di mana apabila dilakukan pengelompokkan besar maka bentuk kekerasan dapat
dikelompokkan menjadi:
a) Kekerasan dalam area domestik/hubungan intim-personal, yaitu berbagai
bentuk kekerasan antara pelaku dan korbannya memikili hubungan keluarga
atau hubungan kedekatan lain. Termasuk di dalamnya penganiayaan terhadap
istri, penganiayaan terhadap anak kandung dan anak tiri, penganiayaan
terhadap pacar, bekas istri, tunangan, orang tua, serangan seksual atau
perkosaan oleh anggota keluarga.
b) Kekerasan dalam area publik, yaitu berbagai kekerasan yang terjadi di luar
hubungan keluarga atau hubungan personal lain, meliputi berbagai bentuk
kekerasan yang sangat luas cakupannya, baik yang terjadi ditempat kerja, di
tempat umum (bus dan kendaraan umum, pasar, restiran, dan tempat umum
lainnya), di lembaga-lembaga pendidikan, dalam bentuk publikasi atau produk
dan praktek ekonomis yang meluas distribusinya (misalnya ponografi,
perdagangan perempuan dan lainnya) maupun bentu-bentuk lain.
c) Kekerasan yang dilakukan oleh atau dalam lingkup negara meliputi kekerasan
secara fisik, seksual, dan atau psikologis yang dilakukan, dibenarkan, atau
didiamkan, dibiarkan terjadi oleh negara dimana pun terjadinya, termasuk
pelanggaran hak asasi perempuan dalam pertentangan antar kelompok, dalam
situasi konflik senjata, berkaitan dengan antara lain pembunuhan, perkosaan,
perbudakan seksual dan kehamilan paksa.

4. Refleksi ke-Islaman beserta penjelasan evidence / referensi yang sesuai


Dalam konteks rumah tangga, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri

REFKAS KDRT UII Page 25


dan anak-anaknya agar taat kepada Allah Swt. Hal ini sesuai firman Allah Swt yang
artinya:
Wahai orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
(Qs. at-Tahrim [66]: 6). Dalam mendidik istri dan anak-anak ini, bisa jadi terpaksa
dilakukan dengan pukulan. Pukulan dalam konteks pendidikan atau tadib ini
dibolehkan dengan batasan-batasan dan kaidah tertentu yang jelas.
Kaidah itu antara lain: pukulan yang diberikan bukan pukulan yang
menyakitkan, apalagi sampai mematikan, pukulan hanya diberikan jika tidak ada cara
lain (atau semua cara sudah ditempuh) untuk memberi hukuman/pengertian, tidak
baleh memukul ketika dalam keadaan marah sekali (karena dikhawatirkan akan
membahayakan), tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital (wajah, kepala dan
dada), tidak boleh memukul lebih dari tiga kali pukulan (kecuali sangat terpaksa dan
tidak melebihi sepuluh kali pukulan), tidak boleh memukul anak di bawah usia 10
tahun, jika kesalahan baru pertama kali dilakukan, maka diberi kesempatan bertobat
dan minta maaf atas perbuatannya, dll.
Berkaitan dengan nusyuz, al-Quran al-Nisa ayat 34 menyatakan :



( 34 : ) .

Artinya : Laki-laki (suami) itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah
memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz,
Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha besar

REFKAS KDRT UII Page 26


Berkaitan dengan pemukulan terhadap isteri, terdapat hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya diantara khutbah Beliau
pada haji wada, sebagai berikut:

: .....

[22] .

Menceritakan kepada kami Abu Bakar..dst. sampai sabda Rasulullah saw:


Takutlah kalian kepada Allah terhadap perempuan karena kamu sekalian telah
mengambil mereka sebagai amanah Allah dan dihalalkan bagimu kehormatannya
(menggaulinya) dengan kalimah Allah, dan bagimu agar istri-istrimu tidak
melakukan jimak dengan laki-laki lain yang tidak mau sukai di ranjangmu, maka
pukullah istri-istrimu itu dengan pukulan yang tidak menyebabkan luka, dan istri-
istrmu berhak atas rizki dan pakaian yang baik.

Berdasarkan hadits di atas, dapat dimengerti bahwa pemukulan diperbolehkan


karena istri berbuat zina yang keji. Dalam tafsir al-Mizan juga dijelaskan, berkaitan
dengan penjelasan ayat 19 surat An-Nisa tentang larangan untuk menguasai yaitu
menahan, mempersempit gerak langkah dan mengekang. Larangan tersebut diberi
pengecualian yaitu jika mereka berbuat fahisyah mubayyanah. Kata fahisyah dalam
al-Quran biasanya digunakan untuk menyebut perbuatan zina, sementara
mubayyanah dari kata bayyana cenderung mempunyai arti pembuktian, sehingga
perbuatan keji yang dimaksud adalah perbuatan zina yang terbukti.
Disamping ayat tentang nusyuz ini, banyak terdapat ayat yang lain
memerintahkan untuk mempergauli istri dengan maruf dan larangan menyakiti isteri
atau larangan untuk berbuat kemodlaratan terhadap isteri. Maruf adalah sesuatu
yang diketahui dalam masyarakat mengandung kebaikan, tidak ada yang tidak
mengetahuinya atau menyangkalnya. Telah dijelaskan dalam al-Quran pula bahwa
semua manusia (baik laki-laki maupun perempuan) merupakan kesatuan
kemanusiaan yang berasal dari asal yang satu. Mereka saling mebutuhkan dan

REFKAS KDRT UII Page 27


membentuk masyarakat. Masing-masing mempunyai kekhususan, seperti laki-laki
bersifat kuat dan tegas, sedangkan perempuan bersifat lembut dan penuh kasih. Akan
tetapi masing-masing saling membutuhkan.
Lebih lanjut beliau menjelaskan apabila dengan dipukul si istri tersebut masih
membangkang juga, maka hal tersebut dilaporkan kepada pihak yang berwenang,
dalam hal ini ke pengadilan agama untuk menunjuk hakam atau juru damai diantara
kedua belah pihak suami istri tersebut untuk merukunkan keduanya. Sebagaimana
dijelaskan dalam ayat syiqaq. Firman Allah swt. surat An-Nisa ayat 35 sebagai
berikut:


( 35 : )

Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah seorang hakam [juru pendamai] dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal

Jika pemukulan dilakukan dengan sengaja dan bukan untuk mendidik maka
sanksi hukumnya menurut islam adalah kewajiban membayar diyat (100 ekor unta),
tergantung organ tubuh yang disakiti. Penyerang terhadap lidah dikenakan sanksi 100
ekor unta, 1 biji mata 1/2 diyat (50 ekor unta), satu kaki 1/2 diyat, luka yang sampai
selaput batok kepala 1/3 diyat, luka dalam 1/3 diyat, luka sampai ke tulang dan
mematahkannya 15 ekor unta, setiap jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5
ekor unta, luka sampai ke tulang hingga kelihatan 5 ekor unta (Nidzam al-Uqubat,
Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki).

REFKAS KDRT UII Page 28


Umpan balik dari pembimbing

TTD Dokter Pembimbing

dr.Ratna Relawati, Sp.KF, Msi, Med

REFKAS KDRT UII Page 29


DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Asikin, H.Z., 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT Raja


Grafindo Persada, Jakarta.

Andreae, F., 1997. Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia. Binacipta, Jakarta.

Anonim, 2011. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Sosiologi.

Anonim, 2011. Laporan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga RSUP Sanglah.

Budiyanto, A., et al, 1997. Ilmu Kedokteran Forensik Edisi 1. Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 37-54

Dahlan, S., 2000. Thanatologi; Ilmu Kedokteran Forensik, Pedoman Bagi Dokter
dan Penegak Hukum; Cetakan Pertama; Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 67-76.

Fiely dkk, 2010. Referat Aspek Medikolegal Kekerasan Dalam RumahTangga.


Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang.

Gumelar, L., 2011. Kasus KDRT masih tinggi.


http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/03/08/168036-
linda-gumelar-kasus-kdrt-masih-tinggi (diakses tanggal 15 Mei 2017)

Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Jelang Satu Dasawarsa UU Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga.


www.komnasperempuan.com (diakses 15 Mei 2017)

Komnas Ham, Anak-anak Indonesia yang Teraniaya, Buletin Wacana, Edisi


VII/Tahun IV/1-30 November 2006

Moeljatno. 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Prasetyo, T., 2010. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana. Nusa Media, Bandung.

Rina P, 2010, Makalah Pengantar Ilmu Sosiologi Tentang KekerasanDalam Rumah


Tangga, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Administrasi Negara,
Universitas Lampung.

Shopia, M.S., 2010. Perlindungan Saksi dan Korban


www.hukumonline.com/berita/R_U_U_Perlindungan_saksi_dan_korban
(diakses 15 Mei 2017)

REFKAS KDRT UII Page 30


Termorshuizen, M., 2002. Kamus Hukum Belanda-Indonesia. Penerbit Djembatan,
Jakarta.

Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, tentang menyatakan berlakunya Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Pengaturan Hukum
Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1958 Nomor 127).

Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi


dan Korban

Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Wahid, A., Irfan, M., 1997 Op.cit, hal 30 Suparman Marzuki, Pelecehan Seksual.
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Windu, M., 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johsn Galtung. Kanisius,
Yogyakarta.

REFKAS KDRT UII Page 31


LAMPIRAN

REFKAS KDRT UII Page 32

You might also like