Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh:
Putri Pertiwi
20110310064
Disusun Oleh:
Putri Pertiwi
20110310064
BAB I
REFLEKSI KASUS
1. Pengalaman
Seorang wanita usia 41 tahun G2P1A0 hamil 37 minggu 2 hari , datang ke UGD
RS PKU Muhammadiyah Gamping pada tanggal 19 Mei 2017 pukul 14.00
dengan keluhan keluar lendir darah sejak pukul 13.00 WIB. Pasien menyatakan
pada pukul 10.00 perut terasa kenceng-kenceng namun tidak teratur. 2 hari SMRS,
pasien kontrol ke poli Obsgyn dan dari hasil USG dinyatakan bahwa tali pusat
menutup jalan lahir. Riwayat hipertensi (+), hipertensi selama hamil (+), astma (-),
DM (-), jantung (-). Dokter mendiagnosis sebagai plasenta previa letak rendah
pada sekundigravida hamil aterm dengan hipertensi gestasional. Dokter
memutuskan untuk melakukan persalinan perabdominal seksio sesaria.
Identitas Pasien:
Nama : Ny. M
Usia : 41 tahun.
Alamat : Sedayu, Bantul
Diagnosis : Gestasional hipertensi pada sekundigravida hamil aterm.
Vital Sign:
Suhu (T) : 36,7o C
TD : 155/87 mmHg
HR 72x/menit
Pernapasan 20x/menit
Berat badan 59 kg, tinggi badan 155 cm
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum : baik, sadar, tidak anemis.
Kepala dan leher dalam batas normal.
Thorax: SDV +/+, S1S2 reguler
Palpasi : janin tunggal, memanjang, presentasi kepala, punggung kiri,
kepala teraba 4/5 bagian.
HPMT 7 September 2016, HPL 14 Juni 2017
HIS (+).
DJJ (+) 144x/menit.
TFU 32 cm.
TBJ 2310 gram.
Pemeriksaan Dalam:
V/U tenang, dinding vagina licin, cervix agak lunak tebal di belakang, terbuka
2 jari, selaput ketuban (+), presentasi kepala, kepala di H1, air ketuban (-),
sarung tangan lendir darah (+).
Riwayat Obstetri:
Anak I : laki-laki (lahir tahun 2010), BB lahir 2900 gram, lahir spontan di RS,
diitolong oleh dokter
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A B C D
2.2 Epidemiologi
Plasenta previa terjadi sekitar 1 dalam 200 kelahiran, tetapi hanya 20%
termasuk dalam plasenta previa totalis. Insiden meningkat 20 kali pada grande
multipara. Dari seluruh kasus perdarahan antepartum, plasenta previa
merupakan penyebab yang terbanyak. Oleh karena itu, pada kejadian
perdarahan antepartum, kemungkinan plasenta previa harus dipikirkan lebih
dahulu (Miller, 2009).
2.3 Etiologi
Plasenta previa meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan yang
endometriumnya kurang baik, misalnya karena atrofi endometrium atau
kurang baiknya vaskularisasi desidua. Keadaan ini bisa ditemukan pada :
1. Multipara, terutama jika jarak antara kehamilannya pendek
2. Mioma uteri
3. kuretase yang berulang
4. Umur lanjut
5. Bekas seksio sesarea
6. Perubahan inflamasi atau atrofi, misalnya pada wanita perokok atau
pemakai kokain. Hipoksemi yang terjadi akibat karbon monoksida
akan dikompensasi dengan hipertrofi plasenta. Hal ini terjadi terutama
pada perokok berat (lebih dari 20 batang sehari) (Martaadisoebrata,
2005).
Keadaan endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta harus
tumbuh menjadi luas untuk mencukupi kebutuhan janin. Plasenta yang
tumbuh meluas akan mendekati atau menutupi ostium uteri internum.
Endometrium yang kurang baik juga dapat menyebabkan zigot mencari
tempat implantasi yang lebih baik, yaitu di tempat yang rendah dekat ostium
uteri internum (Martaadisoebrata, 2005).
Ketika plasenta harus tumbuh membesar untuk mengkompensasi
penurunan fungsinya (penurunan untuk mengantarkan oksigen dan nutrisi
lain), ada kemungkinan untuk pertumbuhan plasenta previa. Beberapa contoh
situasi yang membutuhkan fungsi plasenta yang besar dan hasil peningkatan
dari resiko plasenta previa termasuk kehamilan multiple, merokok, dan hidup
di dataran tinggi. Plasenta previa juga dapat terjadi pada plasenta yang besar
dan yang luas, seperti pada eritoblastosis, diabetes melitus atau kehamilan
multipel (Stoppler, 2005).
Menurut Sarwono (2005), plasenta previa tidak selalu terjadi pada
penderita dengan paritas yang tinggi akibat vaskularisasi yang berkurang atau
terjadinya atrofi pada desidua akibat persalinan yang lampau. Plasenta yang
letaknya normal dapat memperluas permukaannya sehingga menutupi
sebagian atau seluruh ostium uteri internum, seperti pada kehamilan kembar.
Plasenta previa berhubungan dengan paritas dan umur penderita. Hal ini dapat
dilihat pada tabel dan grafik 1 tentang hubungan plasenta previa dengan umur
ibu dan paritasnya (Wiknjosastro, 2005).
2.4 Patofisiologi
Menurut DeCherney dan Nathan (2003), perdarahan pada plasenta
previa mungkin berhubungan dengan beberapa mekanisme sebagai berikut :
a.Pelepasan plasenta dari tempat implantasi selama pembentukan segmen
bawah rahim atau selama terjadi pembukaan ostium uteri internum atau
sebagai akibat dari manipulasi intravagina (Vaginal Touchae)
b. Infeksi pada plasenta (Plasentitis)
c.Ruptur vena desidua basalis
2.6 Diagnosa
Diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang (Wiknjosastro, 2005) :
Anamnesa yang sesuai dengan gajala klinis, yaitu terjadi
perdarahan spontan dan berulang melalui jalan lahir tanpa ada rasa nyeri.
Pemeriksaan fisik :
Inspeksi : Terlihat perdarahan pervaginam berwarna merah segar.
Palpasi abdomen : Janin sering belum cukup bulan, jadi fundus uteri
masih rendah; Sering disertai kesalahaan letak janin; Bagian bawah
janin belum turun, apabila letak kepala, biasanya kepala masih dapat
digoyang atau terapung; Bila pemeriksa sudah cukup pengalaman
dapat dirasakan suatu bantalan pada segmen bawah rahim, terutama
pada ibu yang kurus.
Inspekulo : Dengan pemeriksaan inspekulo dengan hati-hati dapat
diketahui asal perdarahan, apakah dari dalam uterus, vagina, varises
yang pecah atau lain-lain.
Pemeriksaan dalam hanya boleh dilakukan di meja operasi (PDMO /
Pemeriksaan Dalam di Meja Operasi) karena dengan pemeriksaan
dalam, akan menyebabkan perdarahan pervaginam yang lebih deras.
Pemeriksaan penunjang :
Plasenta previa hampir selalu dapat didiagnosa dengan menggunakan
USG abdomen, yang 95% dapat dilakukan tiap saat.
2.8 Penanganan
Setiap ibu hamil dengan perdarahan antepartum harus segera dirujuk ke
rumah sakit yang memiliki fasilitas transfusi darah dan operasi, tanpa
dilakukan pemeriksaan dalam terlebih dahulu. Perdarahan yang pertama kali
jarang mengakibatkan kematian dengan syarat tidak dilakukan pemeriksaan
dalam sebelumnya, sehingga masih cukup waktu untuk mengirimkan
penderita ke rumah sakit. Bila pasien dalam keadaan syok karena perdarahan
yang banyak, harus segera diperbaiki keadaan umumnya dengan pemberian
infus atau tranfusi darah.
Selanjutnya penanganan plasenta previa bergantung kepada :
Keadaan umum pasien, kadar Hb
Jumlah perdarahan yang terjadi
Umur kehamilan/taksiran BB janin
Jenis placenta previa
Paritas dan kemajuan persalinan
Penanganan pasien dengan plasenta previa ada 2 macam, yaitu:
1. Penanganan Pasif / Ekspektatif
Dahulu ada anggapan bahwa kehamilan dengan plasenta previa harus
segera diakhiri untuk menghindarkan perdarahan yang fatal. Namun
sekarang ternyata terapi ekspektatif dapat dibenarkan dengan alasan
sebagai berikut:
Perdarahan pertama pada plasenta previa jarang fatal
Untuk menurunkan kematian bayi karena prematuritas
Kriteria penanganan ekspektatif:
Umur kehamilan kurang dari 37 minggu
Perdarahan sedikit
Belum ada tanda-tanda persalinan
Keadaan umum baik, kadar Hb 8 % atau lebih
Perdarahan pada plasenta previa pertama kali terjadi biasanya
sebelum paru-paru janin matur sehingga penanganan pasif ditujukan untuk
meningkatkan survival rate dari janin. Langkah awal adalah transfusi
untuk mengganti kehilangan darah dan penggunaan agen tokolitik untuk
mencegah persalinan prematur sampai usia kehamilan 36 minggu. Sesudah
usia kehamilan 36 minggu, penambahan maturasi paru-paru janin
dipertimbangkan dengan beratnya resiko perdarahan mayor. Kemungkinan
terjadi perdarahan berulang yang dapat mengakibatkan IUGR harus
dipertimbangkan. Sekitar 75% kasus plasenta previa diterminasi pada
umur kehamilan 36-38 minggu (Hanafi, 2005).
Dalam memilih waktu yang optimum untuk persalinan, dilakukan
tes maturasi janin meliputi penilaian surfaktan cairan amnion dan
pengukuran pertumbuhan janin dengan USG. Penderita dengan umur
kehamilan antara 24-34 minggu diberikan preparat tunggal betamethason
(12 mg im 2x1) untuk meningkatkan maturasi paru janin. Berdasarkan
data evidence based medicine didapatkan pemakaian preparat ganda
steroid sebelum persalinan meningkatkan efek samping yang berbahaya
bagi ibu dan bayi (Hanafi, 2005).
Pada terapi ekspektatif, pasien dirawat di rumah sakit sampai berat
anak 2500 gr atau kehamilan sudah sampai 37 minggu. Selama terapi
ekspektatif diusahakan untuk menentukan lokasi plasenta dengan
pemeriksaan USG dan memperbaiki keadaan umum ibu. Penderita
plasenta previa juga harus diberikan antibiotik mengingat kemungkinan
terjadinya infeksi yang besar disebabkan oleh perdarahan dan tindakan-
tindakan intrauterin. Setelah kondisi stabil dan terkontrol, penderita
diperbolehkan pulang dengan pesan segera kembali ke rumah sakit jika
terjadi perdarahan ulang (Nathan, 2003).
2. Penanganan aktif / terminasi kehamilan
Terminasi kehamilan dilakukan jika janin yang dikandung telah
matur, IUFD atau terdapat anomali dan kelainan lain yang dapat
mengurangi kelangsungan hidupnya, pada perdarahan aktif dan banyak.
Kriteria penanganan aktif/terminasi kehamilan:
Umur kehamilan >/= 37 minggu, BB janin >/= 2500 gram
Perdarahan banyak 500 cc atau lebih
Ada tanda-tanda persalinan
Keadaan umum pasien tidak baik ibu anemis Hb < 8 gr % (Hanafi, 2005)
Jenis persalinan apa yang kita pilih untuk penanganan plasenta
previa dan kapan melaksanakannya bergantung pada faktor-faktor sebagai
berikut :
Perdarahan banyak atau sedikit
Keadaan ibu dan anak
Besarnya pembukaan
Tingkat plasenta previa
Paritas
Ada 2 pilihan cara persalinan, yaitu persalinan pervaginam dan
seksio sesarea. Persalinan pervaginam bertujuan agar bagian terbawah
janin menekan bagian plasenta yang berdarah selama persalinan
berlangsung, sehingga perdarahan berhenti. Seksio sesarea bertujuan
mengangkat sumber perdarahan, memberikan kesempatan pada uterus
untuk berkontraksi menghentikan perdarahannya, dan menghindari
perlukaan servik dan segmen bawah uterus yang rapuh apabila dilakukan
persalinan pervaginam (Wiknjosastro, 2005).
Persalinan per vaginam dapat berupa :
Pemecahan ketuban
Versi Braxton Hicks
Cunam Willet-Gauss
Pemecahan selaput ketuban merupakan cara pilihan untuk
melangsungkan persalinan pervaginam, karena (1) bagian terbawah janin
akan menekan plasenta dan bagian plasenta yang berdarah; dan (2) bagian
plasenta yang berdarah dapat bebas mengikuti regangan segmen bawah
uterus, sehingga pelepasan plasenta dari segmen bawah uterus lebih lanjut
dapat dihindarkan (Wiknjosastro, 2005).
Apabila pemecahan selaput ketuban tidak berhasil menghentikan
perdarahan, maka dapat dilakukan pemasangan cunam Willet dan versi
Braxton-Hicks. Dalam dunia kebidanan kedua cara ini telah ditinggalkan
karena seksio sesaria dinilai lebih aman bagi ibu dan janin. Akan tetapi
pada keadaan darurat cara ini masih dilakukan sebagai pertolongan
pertama untuk mengatasi perdarahan yang banyak atau apabila seksio
sesaria tidak mungkin dilakukan (Wiknjosastro, 2005).
Cara ini mungkin dapat menolong ibu dengan menghentikan
perdarahan, tetapi tidak selalu menolong janinnya. Tekanan yang
ditimbulkan terus menerus pada plasenta dapat mengurangi sirkulasi darah
uteroplasenta, sehingga mengakibatkan anoksia sampai kematian janin.
Oleh karena itu, cara ini biasanya dilakukan pada janin yang telah mati,
janin yang prognosis untuk hidup di luar uterus kurang baik, atau pada
multipara yang persalinannya lebih lancar sehingga tekanan pada plasenta
tidak terlalu lama (Nathan, 2003).
Di rumah sakit yang lengkap, seksio sesarea merupakan cara
persalinan terpilih. Di rumah sakit dr. Cipto Mangunkusumo antara tahun
1971-1975, seksio sesarea dilakukan pada kira-kira 90% dari semua kasus
plasenta previa. Gawat janin bukan merupakan kontraindikasi dilakukan
seksio sesarea demi keselamatan ibu. Akan tetapi, gawat ibu mungkin
terpaksa menunda seksio sesarea sampai keadaannya dapat diperbaiki
misalnya penanganan syok hipovolemik dengan resusitasi cairan intravena
dan darah (Nathan, 2003).
Plasenta previa totalis merupakan indikasi mutlak untuk seksio
sesarea. Plasenta previa parsialis pada primigravida sangat cenderung
untuk seksio sesarea. Perdarahan banyak dan berulang merupakan indikasi
mutlak seksio sesarea karena perdarahan itu biasanya disebabkan oleh
plasenta previa yang lebih tinggi derajatnya dari pada yang ditemukan
pada pemeriksaan dalam, atau vaskularisasi yang hebat pada servik dan
segmen bawah uterus. Multigravida dengan plasenta letak rendah, plasenta
previa marginalis atau plasenta previa parsialis pada pembukaan lebih dari
5 cm dapat ditanggulangi dengan pemecahan selaput ketuban. Tetapi jika
dengan pemecahan selaput ketuban tidak mengurangi perdarahan yang
timbul, maka seksio sesaria harus dilakukan.
Pada kasus yang terbengkalai dengan anemia berat karena
perdarahan atau infeksi intrauteri, baik persalinan pervaginam maupun
seksio sesaria sama-sama tidak aman bagi ibu dan janin. Akan tetapi
dengan bantuan transfusi darah dan antibiotik yang adekuat, seksio sesaria
masih lebih aman dibanding persalinan pervaginam untuk semua kasus
plasenta previa totalis dan kebanyakan kasus plasenta previa parsialis.
Seksio sesaria pada multigravida yang telah mempunyai anak hidup cukup
banyak dapat dipertimbangkan dilanjutkan dengan histerektomi untuk
menghindari terjadinya perdarahan postpartum yang sangat mungkin akan
terjadi, atau sekurang-kurangnya dipertimbangkan dilanjutkan dengan
sterilisasi untuk menghindari kehamilan berikutnya.
Persiapan untuk resusitasi janin perlu dilakukan. Kemungkinan
kehilangan darah harus dimonitor sesudah plasenta disayat. Penurunan
hemoglobin 12 mg/dl dalam 3 jam atau sampai 10 mg/dl dalam 24 jam
membutuhkan transfusi segera. Komplikasi post operasi yang paling
sering dijumpai adalah infeksi masa nifas dan anemia (Nathan, 2003).
Tindakan seksio sesarea pada plasenta previa, selain dapat
mengurangi kematian bayi, terutama juga dilakukan untuk kepentingan
ibu. Oleh karena itu, seksio sesarea juga dilakukan pada plasenta previa
walaupun anak sudah mati (Nathan, 2003).
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu hamil dengan plasenta previa,
adalah:
1. Perdarahan antepartum
2. Perdarahan post partum
3. Hipovolemik
4. Infeksi
5. Abortus
6. Prolaps plasenta
7. Plasenta melekat, sehingga harus dikeluarkan manual dan kalau perlu
dibersihkan dengan kerokan
8. Robekan jalan lahir
9. Bayi prematur atau lahir mati
2.10 Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat kematian ibu karena plasenta previa
seharusnya dapat ditanggulangi. Sejak dilakukan penanganan pasif pada tahun
1945, kematian perinatal berangsur-angsur dapat diperbaiki. Walaupun demikian,
hingga kini kematian perinatal yang disebabkan prematuritas tetap memegang
peranan utama. Dengan persalinan seksio sesarea, fasilitas transfusi darah, dan
metode anestesi yang benar kematian ibu dapat diturunkan sampai kurang dari
1%. Sedang kematian perinatal yang dihubungkan dengan plasenta previa sekitar
10%.
DAFTAR PUSTAKA
DeCherney, AH; Nathan, L. 2003. Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis &
Treatment. Ninth Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.
Wiknjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo. Jakarta.