You are on page 1of 40

BAB I

PENDAHULUAN

Hidrosefalus adalah penyakit bedah saraf yang sering disebabkan oleh


perdarahan intrakranial, tumor, infeksi intrakranial dan cedera otak. Kelainan sekresi,
sirkulasi dan penyerapan cairan serebrospinal (CSS) merupakan penyebab terjadinya
akumulasi berlebihan dari CSS ke dalam sistem ventrikel sehingga mengalami
perluasan, yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak dan defisit neurologis
yang lama kelamaan menjadi hidrosefalus. Pembesaran ventrikel serebral yang terus
menerus dapat menyebabkan kompresi dan distorsi jaringan otak sehingga dapat
menimbulkan efek merusak, seperti respon inflamasi, gliosis, peregangan serat,
kerusakan neuron dan jalur seluler, kerusakan akson demielisasi, mengurangi aliran
darah otak dan kadar oksigen, serta terjadi perubahan protein menjadi zat toksik di
dalam otak. (jurnal 1)
Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur tetapi paling banyak pada bayi
yang ditandai dengan membesarnya kepala melebihi ukuran normal. Meskipun
banyak ditemukan pada bayi dan anak, sebenarnya hidrosefalus juga biasa
terjadi pada orang dewasa, hanya saja pada bayi gejala klinisnya tampak lebih
jelas sehingga lebih mudah dideteksi dan diagnosis. Hal ini dikarenakan pada bayi
ubun-ubunnya masih terbuka, sehingga adanya penumpukan cairan otak dapat
dikompensasi dengan melebarnya tulang- tulang tengkorak. Sedang pada orang
dewasa tulang tengkorak tidak mampu lagi melebar. (jurnal 2)
Secara keseluruhan, Insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000 kelahiran.
Insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5-1,8 pada tiap 1000 kelahiran dan 11%-
43% disebabkan oleh stenosis aqueductus serebri. Tidak ada perbedaan bermakna
insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus
dapat terjadi pada semua umur. Pada remaja dan dewasa lebih sering disebabkan oleh
toksoplasmosis. Hidrosefalus infantil; 46% adalah akibat abnormalitas perkembangan
otak, 50% karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4% akibat
tumor fossa posterior. Secara internasional, insiden hidrosefalus yang didapat juga
tidak diketahui jumlahnya. Sekitar 100.000 shunt yang tertanam setiap tahun di
negara maju, tetapi informasi untuk negara-negara lain masih sedikit. Kematian pada
hidrosefalus yang tidak ditangani dapat terjadi oleh karena herniasi tonsil sekunder
yang dapat meningkatkan tekanan intracranial, kompresi batang otak dan sistem
pernapasan. (3)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Kepala


1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu: skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi
oleh oto temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses alselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu: fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa
media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak
dan serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu:
a. Dura mater (luar)
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
potensial (ruang subdural) yang terletak antara dura mater dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi
dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningeal terletak antara dura mater dan permukaan dalam
dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
b. Selaput Arachnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarachnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala
a) Ruang subaraknoid memisahkan lapisan arakhnoid dari pia mater dan
mengandung cairan serebrospinalis, pembuluh darah, serta jaringan
penghubung seperti selaput yang memepertahankan posisi arakhnoid
piamater di bawahnya.
b) Berkas kecil jaringan arachnoid. Vili arachnoid, menonjol ke dalam sinus
vena (dural) dura mater.
c. Pia mater (dalam)
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater
4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu: Proensefalon (otak
depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
reticular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan.
5. Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. Pleksus koroid adalah jarring-jaring
kapiler berbentuk bunga kol yang menonjol dari piamater ke dalam dua ventrikel
otak. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel
III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arachnoid yang terdapat pada sinus sagitalis
superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arachnoid
sehingga menggangu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekana
intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar
150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
Ruangan CSS mulai terbentuk pada minggu kelima masa embrio, terdiri dari
sistem ventrikel, sisterna magna pada dasar otak dan ruang subaraknoid yang
meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Hubungan antara system ventrikel
dan ruang subaraknoid adalah melalui foramen Magendie di median dan foramen
Luschka di sebelah lateral ventrikel IV.
Aliran CSS yang normal ialah dari ventrikel lateralis melalui foramen
Monroi ke ventrikel III, dari tempat ini melalui saluran yang sempit akuaduktus
Sylvii ke ventrikel IV dan melalui foramen Luschka dan Magendie ke dalam
ruang subaraknoid melalui sisterna magna. Penutupan sisterna basalis
menyebabkan gangguan kecepatan resorpsi CSS oleh sistem kapiler.
CSS yang berada di ruang subarakhnoid, merupakan cairan yang bersih dan
tidak berwarna. Merupakan salah satu proteksi untuk melindungi jaringan otak
dan medula spinalis terhadap trauma atau gangguan dari luar. Pada orang dewasa
volume intrakranial kurang lebih 1700 ml, volume otak sekitar 1400 ml, volume
cairan serebrospinal 52-162 ml (rata-rata 104 ml) dan darah sekitar 150 ml.
6.

F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga
tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari
fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
G. Inervasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar
dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.
H. Tekanan Intra Kranial (TIK)
Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak, volume
darah intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam tengkorak pada 1 satuan
15
waktu. Keadaan normal dari TIK bergantung pada posisi pasien dan berkisar 15
mmHg. Ruang cranial yang kalau berisi jaringan otak (1400 gr), Darah (75 ml),
cairan cerebrospiral (75 ml), terhadap 2 tekanan pada 3 komponen ini selalu
berhubungan dengan keadaan keseimbangan Hipotesa Monro Kellie
menyatakan : Karena keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam tengkorak,
adanya peningkatan salah 1 dari komponen ini menyebabkan perubahan pada
volume darah cerebral tanpa adanya perubahan, TIK akan naik.
Peningkatan TIK yang cukup tinggi, menyebabkan turunnya batang otak
(Herniasi batang otak) yang berakibat kematian.
I. Ventrikel otak
Sistem ventrikel terdiri dari 2 buah
ventrikel lateral, ventrikel III dan
ventrikel IV. Ventrikel lateral terdapat
di bagian dalam serebrum, masingmasing ventrikel terdiri dari 5 bagian
yaitu kornu anterior, kornu posterior,
kornu inferior, badan dan atrium.
Ventrikel III adalah suatu rongga sempit di garis tengah yang berbentuk corong
unilokuler, letaknya di tengah kepala, ditengah korpus kalosum dan bagian korpus
unilokuler ventrikel lateral, diatas sela tursica, kelenjar hipofisa dan otak tengah
dan diantara hemisfer serebri, thalamus dan dinding hipothalanus. Disebelah
anteropeoterior berhubungan dengan ventrikel IV melalui aquaductus sylvii.
Ventrikel IV merupakan suatu rongga berbentuk kompleks, terletak di sebelah
ventral serebrum dan dorsal dari pons dan medula oblongata.
Fisiologi Kepala
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial,
cairan secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang
dewasa dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari
lumbal pungsi yaitu 4 10 mmHg. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak
dan menyebabkan atau memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada
penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap.
16
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus
bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan
darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan
meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK.
Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep
ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie.
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16%
dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran
darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per
100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung
pada usainya. ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera
pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari
berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal
sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan
perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat direkomendasikan
untuk meningkatkan ADO.
Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang berarti
kepala. Hidrosefalus dapat didefinisikan secara luas sebagai suatu gangguan
pembentukan, aliran, atau penyerapan cerebrospinal fluid (CSF) yang mengarah ke
peningkatan volume cairan di dalam SSP. Kondisi ini juga bisa disebut sebagai
gangguan hidrodinamik dari CSF. Akut hidrosefalus terjadi selama beberapa hari,
hidrosefalus subakut terjadi selama beberapa minggu, dan hidrosefalus kronis terjadi
selama bulan atau tahun. Kondisi seperti atrofi otak dan lesi destruktif fokus juga
mengakibatkan peningkatan abnormal CSF dalam SSP. (4)

Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi.
Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa padat,
dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma
eksternal.Di antara kuliat dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan
membrane dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek,
pembuluh-pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan
kehilangan darah bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.8

Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah


pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeningx, dibagi menjadi
arachnoidea dan piamater.8,9

Duramater adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan suatu lapisan dalam
(meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang melapisi otak
umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah untuk
menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di
antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat
di antara bagian-bagian otak. 8,9

Arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya terpisah
dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi spatium
subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan
dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu
anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan. 8,9

Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi


permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus, fissure dan sekitar pembuluh
darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di
abwah corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel
tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah
choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan
ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea
di tempat itu. 8,9

B. Etiologi
Trauma adalah penyebab khas EDH. Trauma pada kepala menyebabkan
gangguan struktur duramater dan pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur
tulang tengkorak. Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear. Jika gaya
destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau
fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur
yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio). Pada EDH ketika
pembuluh darah otak pecah, biasanya arteri yang kemudian mengalir ke dalam ruang
antara duramater dan tengkorak.4,8

Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur
tulang tengkorak. Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom epidural,
subdural, atau intraserebral. Cedera difus dapat menyebabkan gangguan fungsional
saja. 4,8

Benturan yang terjadi akan menyebabkan gelombang kejut yang disebarkan ke semua
arah dan mengubah tekanan jaringan. Bila tekanan yang terjadi cukup besar maka
akan terjadi kerusakan jaringan otak di tempat benturan, disebut coup, atau
berlawanan arah dengan datangnya benturan, countracoup.4,8

C. Patofisiologi
Arteri meningea media masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
berjalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan
yang terjadi menimbulkan hematom pada daerah epidural, desakan oleh hematoma
akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar.8
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus
temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial
lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium.8
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formation
retikularis di medula oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons
motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif.8
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong
kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul
tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi
dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.8
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar
hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur penderita
pingsan sebentar dan segera sadar kembali.
Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang
progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua
penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut
lucid interval. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada
EDH.
EDH akibat perdarahan arteri meningea media,terletak antara duramater dan lamina
interna tulang pelipis.9

D. Gejala Klinis
Gejala yang sangat menonjol pada EDH adalah penurunan kesadaran secara
progresif. Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera otak. Gejala yang sering
tampak penurunan kesadaran bisa sampai koma, bingung, penglihatan kabur, susah
bicara, nyeri kepala yang hebat, keluar cairan dari hidung dan telinga, mual, pusing
dan berkeringat.

1. Diagnosis Foto Polos Kepala


Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai EDH. Dengan
proyeksi Antero-Posterior (A-P) lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada film
untuk mencari adanya fraktumr tulang yang memotong sulcus arteria meningea
media. 9

Fraktur impresi dan linier pada tulang parietal, frontal dan temporal.9
2. Computed Tomography (CT-Scan)
CT-Scan merupakan metode pemeriksaan radiologi terpilih untuk mengevaluasi
pasien cedera otak.8 Pemeriksaan CT-Scan dapat mengkonfirmasi diagnosis EDH
secara cepat dan akurat.5 Pada pemeriksaan CT-Scan EDH akut tampak sebagai lesi
ekstra serebri dengan densitas yang tinggi. Tepi lateralnya mengikuti gambaran
permukaan dalam tabula interna sedang tepi medialnya konveks karena adanya
perlekatan yang kuat antara duramater dan tabula interna yang membatasi perluasan
hematoma. Akan tampak pula pergeseran garis tengah (midline shift) ke arah
kontralateral dan fraktur tulang kranium bila ada. Densitas EDH pada CT-Scan
kadang-kadang tidak terlalu tinggi, bahkan dapat sama (isodens) atau lebih rendah
(hipodens) dibanding jaringan otak. Keadaan ini didapatkan pada penderita dengan
hematokrit yang rendah atau anemia berat. 9,10

Gambar 1. Gambaran CT-Scan EDH di Lobus Fronal kanan.9

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Teknik pencitraan ini lebih sensitif dibandingkan CT-Scan, namun MRI
membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan CT-Scan.11 MRI akan
menggambarkan massa hiperindens bikonveks yang menggeser posisi duramater,
berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan
batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih
untuk menegakkan diagnosis.9
Gambar 3. Gambaran MRI EDH.9

E. Diagnosis Banding
1. Hematoma subdural
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara duramater dan
arachnoid. Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan EDH yang
berkembang lambat. Bisa di sebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang
menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang sehingga merusak
arteri kortikalis. Biasanya disertai dengan perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-
Scan hematoma subdural, tampak penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens
berbentuk bulan sabit.4

Hematoma Subdural Akut 12

2. Hematoma Subarachnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di
dalamnya.9
Kepala panah menunjukkan hematoma subarachnoid, panah hitam menunjukkan
hematoma subdural dan panah putih menunjukkan pergeseran garis tengah ke
kanan.12

F. Penatalaksanaan2
Penatalaksanaan cedera kranioserebral dapat dibagi berdasarkan kondisi
kesadaran pasien:

1) Pasien dalam keadaan sadar


a) Simple head injury (SH)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan
tidak ada defisit neurologik, dan tidak ada muntah. Tindakan hanya perawatan
luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Umumnya pasien boleh pulang
dengan edukasi dan keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai
kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit
dibangunkan, pasien harus segera dibawa kembali ke rumah sakit.
b) Penderita mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah trauma kranioserebral,
dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan mengalami
cedera kranioserebral ringan.

2) Pasien dengan penurunan kesadaran


a) Cedera kranioserebral ringan
Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan perintah,
tanpa disertai defisit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka,
foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi
pasien disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di rumah sakit
untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid
interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala
lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis positif). Jika dicurigai ada
hematoma, dilakukan CT scan.
Pasien cedera kranioserebral ringan tidak perlu dirawat jika orientasi (waktu dan
tempat) baik, tidak ada gejala fokal neurologik, tidak ada muntah atau sakit
kepala, tidak ada fraktur tulang kepala, tempat tinggal dalam kota, ada yang bisa
mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai ada perubahan kesadaran,
dibawa kembali ke RS
b) Cedera kranioserebral sedang (GCS 9-12)
Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner. Urutan
tindakan:
i. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing),
dan sirkulasi (Circulation)
ii. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera organ
lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas,
lakukan fiksasi leher dengan pemasangan kerah leher dan atau fiksasi tulang
ekstremitas bersangkutan
iii. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
iv. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial
v. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defisit fokal serebral lainnya.
c) Cedera kranioserebral berat (GCS 3-8)
Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan
fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada
perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan
sama dengan cedera kranioserebral sedang dengan pengawasan lebih ketat dan
dirawat di ICU. Disamping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan sistemik.
Pasien cedera kranioserebral berat sering berada dalam keadaan hipoksi,
hipotensi, dan hiperkapni akibat gangguan kardiopulmoner.

Tindakan di Unit Gawat Darurat


1. Resusitasi dengan tindakan A =Airway, B = Breathing dan C = Circulation
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa
muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi
lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi
muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan
sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan
Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenic sentral, atau ataksik. Kelainan perifer
disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi. Tata
laksana dengan oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten; cari dan atasi
faktor penyebab; kalau perlu pakai ventilator.
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik
<90mmHg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan risiko
kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial,
berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada
disertai tamponade jantung/ pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya dengan
cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah
yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.

2. Pemeriksaan fisik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran,
tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya), defi
sit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan
pemantauan ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat perburukan salah satu
komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.

3. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal, collar yang telah
terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan abdomen dilakukan atas indikasi.
CT scan otak dikerjakan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis
diduga ada hematoma intrakranial.

4. Pemeriksaan laboratorium
Hb, leukosit, diferensiasi. Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis
dapat dipakai sebagai salah satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan
komosio (CKR). Leukosit>17.000 merujuk pada CT-scan otak abnormal, sedangkan
angka leukositosis>14.000 menunjukkan kontusio meskipun secara klinis lama
penurunan kesadaran<10 menit dan nilai GCS 13-15 adalah acuan klinis yang
mendukung ke arah komosio. Prediktor ini bila berdiri sendiri tidak kuat, tetapi di
daerah tanpa fasilitas CT-scan otak, dapat dipakai sebagai salah satu acuan prediktor
yang sederhana.
Gula darah sewaktu (GDS), hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko
bermakna untuk kematian dengan OR 10,07 untuk GDS 201-220mg/ dL dan OR
39,82 untuk GDS >220 mg/ dL.
Ureum dan kreatinin, pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan
zat hiperosmolar yang pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada fungsi
ginjal yang buruk, mannitol tidak boleh diberikan.
Analisis gas darah, dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran
menurun. pCO tinggi dan pO rendah akan memberikan luaran yang kurang baik. pO
dijaga tetap >90mm Hg, SaO>95%, dan pCO 30-35 mmHg.
Elektrolit (Na, K, dan Cl), kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan
esadaran. Albumin serum (hari 1) pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin
rendah (2,7-3,4g/dL) mempunyai risiko kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan
dengan kadar albumin normal.
Trombosit, PT, aPTT, fi brinogen, pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada
kelainan hematologis. Risiko late hematomas Perlu diantisipai. Diagnosis kelainan
hematologis ditegakkan bila trombosit <40.000/mm, kadar fibrinogen <40mg/mL,
PT>16detik, dan aPTT >50 detik.

5. Manajemen tekanan intrakranial (TIK) yang meninggi


Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri dan/atau hematoma
intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK normal adalah
0-15 mm Hg. Di atas 20 mm Hg sudah harus diturunkan dengan cara:
a) Posisi tidur
Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada pada satu
bidang.
b. Terapi diuretik
Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam 30
menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm. Loop
diuretic (furosemid), pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai efek
sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.

6. Nutrisi
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5 kali normal
dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Kebutuhan energi rata-rata pada cedera
kranioserebral berat meningkat rata-rata 40%. Total kalori yang dibutuhkan 25-30
kkal/kgBB/ hari. Kebutuhan protein1,5-2g/kgBB/hari, minimum karbohidrat sekitar
7,2 g/kgBB/ hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, dan rekomendasi
tambahan mineral: zinc 1030 mg/hari, cuprum 1-3 mg, selenium 50-80 mikrogram,
kromium 50-150 mikrogram, dan mangan 25-50mg. Beberapa vitamin juga
direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C, riboflavin, dan vitamin K yang
diberikan berdasarkan indikasi. Pada pasien dengan kesadaran menurun, pipa
nasogastrik dipasang setelah terdengar bising usus. Mula-mula isi perut dihisap
keluar untuk mencegah regurgitasi sekaligus untuk melihat apakah ada perdarahan
lambung. Bila pemberian nutrisi peroral sudah baik dan cukup, infus dapat dilepas
untuk mengurangi risiko flebitis.

Tindakan
1. Terapi non-operatif
Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:
a) Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan
terjadinya tekanan tinggi intrakranial
b) Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)
c) Minimalisasi kerusakan sekunder
d) Mengobati simptom akibat trauma otak
e) Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi
(antikonvulsan dan antibiotik)
2. Terapi operatif
Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:
a) Cedera kranioserebral tertutup
Fraktur impresi (depressed fracture; Perdarahan epidural (hematoma
epidural/EDH) dengan volume perdarahan lebih dari 30mL/44mL dan/atau
pergeseran garis tengah lebih dari 3 mm serta ada perburukan kondisi pasien;
Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan pendorongan garis
tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/ obliterasi sisterna basalis; Perdarahan
intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan neurologic atau
herniasi.
b) Pada cedera kranioserebral terbuka
Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur multipel,
dura yang robek disertai laserasi otak; Liquorrhea yang tidak berhenti lebih
dari 14 hari; Pneumoencephali; Corpus alienum; Luka tembak.
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk
functional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi
operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume > 25 cc desak
ruang supra tentorial, > 10 cc desak ruang infratentorial, > 5 cc desak ruang
thalamus. Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek massa yang
signifikan: Penurunan klinis, efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift
> 5 mm dengan penurunan klinis yang progresif, Tebal EDH > 1 cm dengan midline
shift > 5 mm dengan penurunan klinis yang progresif.

Perdarahan epidural sebenarnya memiliki keluaran yang baik asalkan dapat


diidentifikasi dan diterapi dengan cepat dan tepat (mortalitas keseluruhan 5%).
Keluaran memburuk karena berbagai faktor seperti keterlambatan diagnosis dan
penanganan, adanya penyakit penyerta yang berat, perdarahan bilateral, atau
perdarahan di fosa posterior.

Pasien perdarahan epidural yang telah menunjukkan tanda-tanda herniasi otak atau
gangguan batang otak memiliki kesudahan yang buruk.

G. Komplikasi9
EDH dapat memberikan komplikasi:
1. Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis di mana keadaan
ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak
(brain shift) dan peningkatan tekanan intrakranial.
2. Kompresi batang otak.

H. Prognosis13
Prognosis EDH tergantung pada lokasinya, besarnya dan kesadaran saat masuk
kamar operasi. Jika ditangani dengan cepat, prognosis EDH biasanya baik, karena
kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-
15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang
mengalami koma sebelum operasi.
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita
Nama : IKP
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. RM : 50.04.89
Umur : 11 tahun
Alamat : Mobukat Dusun 1 Kec Dumoga
Pekerjaan : Siswa
Agama : Hindu
MRS : 05 Mei 2017

B. Primary survey
Airway : Clear

Breathing : 18 kali/menit, O2 4L/menit via nasal kanul

Circulation : 98 kali/menit, reguler, isi cukup, akral hangat

Disability : verbal respon, tanda-tanda lateralisasi (-), pupil anisokor kanan


4mm dan kiri 3 mm
Exposure : Kepala

C. Secondary survey
Penurunan kesadaran akibat tertimpa buah kelapa dialami penderita sejak 4
hari SMRS. Awalnya penderita sedang mengumpulkan buah kelapa dibawah pohon
kelapa, tiba-tiba kelapa jatuh dan mengenai kepala penderita dari ketinggian 4 m.
Penderita terbentur pada kepala sebelah kanan. Setelah terbentur penderita pingsan
kemudian dibawa ke klinik kesehatan terdekat, penderita kemudian sadar 30 menit.
Lalu pasien muntah >3x dan menyemprot sehingga dirujuk ke RSU Monompia
Kotamobagu dan dirawat selama 4 hari. Penderita kemudian dirujuk ke RSUP Prof
Dr. R. D. Kandou dengan infus terpasang.
Riwayat penyakit dahulu disangkal.
Allergy : -

Medication : - IVFD RL

Past illness : -

Last meal : -

Enviroment : Kebun Kelapa

Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Sakit Sedang
2. Kesadaran : GCS E3 V5 M6
3. Vital Sign
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 102 kali/menit
Respirasi : 24 kali/menit
Suhu : 36,5oC
4. Kepala : Conj.anemis (-/-), pupil bulat anisokor kanan 4 mm
kiri 3 mm
St.lokalis
R. Temporal dexra : hematom uk 4 cm
5. Leher : jejas (-), nyeri tekan (-)
6. Thoraks
Paru
Inspeksi : simetris, gerakan pernapasan kiri = kanan, jejas (-)
Palpasi : stem fremitus kiri = kanan,
Perkusi : sonor kiri = kanan
Auskultasi : suara pernapasan vesikuler kiri = kanan
suara napas tambahan: ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung kanan di ICS IV linea parasternalis dekstra
batas jantung kiri di ICS V linea midklavikula sinistra
Auskultasi : S1 S2 normal, regular, murmur (-)
7. Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : lemas, hepar/lien tidak teraba

Perkusi : timpani
8. Ekstremitas : jejas (-), akral hangat, CRT <2

D. Pemeriksaan Laboratorium (05 Mei 2017)

Pemeriksaan Hasil Nilai normal


Leukosit 7600/Ul 4000-10000/Ul
Eritrosit 4.33x106/Ul (4,00-6,00)x106/ uL
Hemoglobin 11.3 g/Dl 12,0-16,0 g/dL
Hematokrit 32% 37,0-48,0%
Trombosit 265x103/Ul 150000-450000/uL
MCH 26.1 pg 27-35 pg
MCHC 35.3 g/Dl 30-40 g/dL
MCV 73.9 Fl 80-100Fl

SGOT 18 U/L < 33

SGPT 8 U/L < 43

Ureum 18 mg/Dl 10-40 mg/dL


Creatinin 0.4 mg/Dl 0,5-1,5 mg/dL
GDS 91 mg/Dl 70-125 mg/Dl
Natrium 132 mEq/L 135-153 mEq/L
Kalium 4.26 mEq/L 3,5-5,3 mEq/L
Klorida 98.4 mEq/L 98-109 mEq/L

E. Pemeriksaan Radiologis
1. Rontgen toraks : Jantung ukuran Normal. Tidak tampak area hiperlusen tanpa
corakan bronkovaskuler di kedua paru. Sudut kostofrenikus kanan kiri lancip.
Tidak tampak fraktur kosta kanan dan kiri. Kesan : Tidak ada kelainan pada cor
dan pulmo.

2. CT Scan Kepala
Kesan: Tampak lesi hiperdens regio temporal dextra
EDH temporoparietal dextra vol. 56cc

Kesan : Fraktur linear os temporal dextra

F. Diagnosis
CKR (GCS 14)
Hematom Temporal Dextra
EDH regio temporoparietal dextra
Fraktur linear os temporal dextra

G. Penanganan
- O2 6 L/menit via NRM
- Elevasi Head of Bed 30o
- IVFD Ringer fundin 8 gtt/m
- IVFD NaCl 0,9 % + analgetik + neurotropik
- Injeksi Antibiotik
- Injeksi H2 blocker
- Neuroprotektor
- Pro trepanasi cito

H. Laporan Operasi
Tanggal Operasi : 05 Mei 2017

Jam Operasi dimulai : 18.25 Wita

Jam Op erasi selesai : 20.00 Wita

Lama Operasi : 1 jam 30 menit

Nama ahli bedah : dr. Maximillian Ch. Oley, Sp.BS (K)

Nama asisten : dr. Halim, dr. Erikson, dr. Stefani

Diagnosis sebelum operasi : CKR


Hematom temporal dextra
EDH regio temporoparietal dextra
Fraktur linier os temporal dextra
Nama / Macam operasi : kraniektomi dekompresi, hemostatik control,
duraplasti

Laporan operasi :

- Penderita tidur terlentang dalam general anestesi dengan kepala miring ke


kiri
- A dan antisepsis lapangan operasi
- Insisi question mark 1 cm depan tragus memotong temporo parietal
dextra.
- Insisi diperdalam lapis demi lapis sampai periosteum
- Periosteum disisihkan dengan rasparotorium
- Tampak fraktur linear regio temporal dextra
- Dilakukan burr hole 1 lubang, tampak hematoma kemudian diperlebar
dengan kerison dan knabel tang hingga diameter + 5cm
- Evakuasi hematom 30cc, duramater tampak berdenyut
- Kontrol perdarahan dengan bone wax, lyostip dan beriplas
- Gantung dura pada 4 sisi
- Pasang drain di subgaleal
- Luka operasi dijahit lapis demi lapis
- Operasi selesai
-
Diagnosis Pasca Operasi: CKR + Hematom temporal dextra + EDH regio
temporoparietal dextra + Fraktur linier os temporal dextra.

Foto Operasi
a. Follow Up
06 Mei 2017 (Hari Perawatan I) di PICU
S : Kontak (+)
Nyeri luka operasi (+)
O : T : 93/54 mmHg N : 82 kali/menit
R : 14 kali/menit S : 36,8 o C
GCS : E3 V5 M6

Kepala : Regio temporal dextra tampak luka tertutup verban

Pupil bulat anisokor, kanan 4 mm kiri 3 mm, refleks cahaya (+)

normal

Drain: 20 cc/24 jam

A : Post kraniektomy dekompresi ec. EDH temporoparietal dextra

Fraktur linier os temporal dextra

P : - O2 4 L/menit via nasal kanul

- Elevasi Head of Bed 30o


- IVFD NaCl 0.9% 500 cc + 1 amp ikaneuron + 2 amp ketorolac 8
gtt/mnt
- IVFD Ringer Fundin 10 gtt/m
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr (H2)
- Injeksi Ranitidin 2x30 mg
- Injeksi As.tranexamat 3x300 mg
- Injeksi citicolin 2x250 mg
- Nutrisi adekuat via NGT
- Rawat drain
Hasil lab 06-05-2017

Pemeriksaan Hasil Nilai normal


Leukosit 16.590/Ul 4000-10000/Ul
Eritrosit 3.42x106/Ul (4,00-6,00)x106/ uL
Hemoglobin 8.7 g/Dl 12,0-16,0 g/dL
Hematokrit 26.1% 37,0-48,0%
Trombosit 223x103/Ul 150000-450000/uL
MCH 25.5 pg 27-35 pg
MCHC 33.5 g/Dl 30-40 g/dL
MCV 76.1 Fl 80-100Fl

Ureum 15 mg/Dl 10-40 mg/dL


Creatinin 0.5 mg/Dl 0,5-1,5 mg/dL
GDS 96 mg/Dl 70-125 mg/Dl
Albumin 3.24 3.50-5.70 g/dL
Natrium 138 mEq/L 135-153 mEq/L
Kalium 4.60 mEq/L 3,5-5,3 mEq/L
Calcium 8.36 8.10-10.40 mg/dL
Klorida 110 mEq/L 98-109 mEq/L
CRP <6,00 mg/L <6,00 mg/L

07 Mei 2017 (Hari perawatan ke-II)


S : kontak (+)
Nyeri kepala (+)
Nyeri luka operasi (+)
O : T : 100/50 mmHg N : 83 kali/menit
R : 10 kali/menit S : 36 o C
GCS : E4V5M6
Kepala: pupil bulat anisokor kanan 4 mm kiri 3 mm, refleks cahaya (+)
normal

Luka operasi terawat; drain +8 cc

A : Post kraniektomy dekompresi ec EDH temporoparietal dextra

Fraktur linier os temporal dextra

Anemia

P : - O2 4 L/menit via nasal kanul

- Elevasi Head of Bed 30o


- IVFD NaCl 0.9% 500 cc + ikaneuron 1 amp 8 gtt/mnt
- IVFD Ringer Fundin 10 gtt/m
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr (H3)
- Injeksi Ranitidin 2x30 mg
- Injeksi As. Tranexamat 3x300mg
- Injeksi citicolin 2x250 mg
- Rawat drain
- Transfusi PRC 1 bag sampai Hb>10g/dL
- Aff NGT > nutrisi adekuat via oral

08 Mei 2017 (Hari Perawatan III)


S : kontak (+)
Nyeri kepala (+)
O : T : 92/749mmHg N : 82 kali/menit
R : 18 kali/menit S : 36,8 o C
GCS : E4V5M6 SpO2 : 99%

Kepala: pupil bulat anisokor kanan 4 mm kiri 3 mm, refleks cahaya (+)
normal

Luka operasi terawat; drain: + 8 cc/24jam


A : Post kraniektomy dekompresi ec EDH temporoparietal dextra

Fraktur linier os temporal dextra

Anemia

P : - Aff drain

- Pindah ruangan biasa (Irina A bawah)

- Transfusi PRC 1 bag sampai Hb >10g/dL

- O2 4 L/menit via nasal kanul

- Elevasi Head of Bed 30o


- IVFD NaCl 0.9% 500 cc + Ikaneuron 1 amp 8 gtt
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr (H4)
- Injeksi Ranitidin 2x30 mg
- Injeksi citicolin 2x250 mg
- As.Folat 1x1
- SF 2x1
- Rawat drain

09 Mei 2017 (Hari Perawatan IV)


S : kontak (+)
Nyeri kepala (-)
O : T : 110/70 mmHg N : 80 kali/menit
R : 20 kali/menit S : 36,8 o C
GCS : E4V5M6 SpO2 : 99%

Kepala : pupil bulat anisokor kanan 4 mm kiri 3 mm, refleks cahaya (+)
normal

Luka operasi terawat;

A : Post kraniektomy dekompresi ec EDH temporoparietal dextra


Fraktur linier os temporal dextra

Anemia

P : - O2 4 L/menit via nasal kanul

- Elevasi Head of Bed 30o


- IVFD NaCl 0.9% 500 cc + Ketorolac 1 amp + ikaneuron 1 amp 8 gtt
- IVFD Ringer Fudin : totofusin 14gtt
- Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr (H5)
- Injeksi Ranitidin 2x50 mg
- Injeksi Citicolin 2x250 mg
- Transfusi PRC 1 bag sampai Hb >10 gr/dL
- Rawat luka

10 Mei 2017 (Hari Perawatan V)


S : kontak (+)
Nyeri kepala (-)
O : T : 90/60 mmHg N : 81 kali/menit
R : 16 kali/menit S : 36,8 o C
GCS : E4V5M6 SpO2 : 99%

Kepala : pupil bulat anisokor kanan 4 mm kiri 3 mm, refleks cahaya (+)
normal

Luka operasi terawat.

A : Post kraniektomy dekompresi ec EDH temporoparietal dextra

Fraktur linier os temporal dextra

Anemia

P : - Rawat luka

- Aff Infus
- Rawat Jalan (11-05-2017)
- Paracetamol 3x2 cth
- Cefixime syr 2x1 cth
- As.Folat 1x1
- Sulfasferosus 2x1
- Cek DL

Hasil lab 10-05-2017

Pemeriksaan Hasil Nilai normal


Leukosit 8441/Ul 4000-10000/Ul
Eritrosit 3.83x106/Ul (4,00-6,00)x106/ uL
Hemoglobin 10.1 g/Dl 12,0-16,0 g/dL
Hematokrit 29.2% 37,0-48,0%
Trombosit 335x103/Ul 150000-450000/uL
MCH 26.3 pg 27-35 pg
MCHC 34.6 g/Dl 30-40 g/dL
MCV 76.2 Fl 80-100Fl
BAB IV

PEMBAHASAN

Epidural hematom (EDH) terjadi akibat benturan hebat yang dapat merobek
pembuluh darah meningen dan mengakibatkan perdarahan. Perdarahan yang terjadi
biasanya berasal dari arteri sehingga keadaan neurologi dapat memburuk dengan
2,1
cepat. Cedera pada kepala terbanyak terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Sekitar
60 % penderita EDH berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur kurang
dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Pada kasus ini penderita berusia 18 tahun dan
mengalami cedera otak akibat kecelakaan lalu lintas saat sedang mengendarai motor.

Gejala klasik EDH berupa penurunan kesadaran singkat yang diikuti


dengan periode sadar kembali (lucid interval). Gejala lain termasuk nyeri kepala,
muntah dan kejang. Pada kasus ini, penderita mengalami nyeri kepala akibat terjatuh
buah kelapa 4 hari SMRS. Muntah ada. Pada primary survey ditemukan jalan nafas
bersih. Breathing didapati nafas spontan 18 kali per menit dengan bantuan O2 4
liter/menit, SpO2 99%. Circulation akral hangat, isi cukup, pulsasi: (+), frekuensi:
98x/menit reguler, TD: 90/70 mmHg. Disability dijumpai alert; GCS: 14 (E3V5M6
pupil bulat anisokor kanan 4 mm dan kiri 3 cm, RC (+), kejang tidak dijumpai.

Pemeriksaan laboratorium darah rutin, elektrolit dan profil hemostasis juga


diperlukan. Selanjutnya, pemeriksaan penunjang CT-Scan dapat menunjukkan lokasi
volume, efek, dan potensi cedera intrakranial. Pada EDH akan terlihat bentuk
bikonveks, berbatas tegas, midlineshift terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula
garis fraktur pada area epidural, paling sering terjadi di daerah temporoparietal. Pada
kasus ini, hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin menunjukkan leukosit sebesar
7600/uL. Pada foto toraks tidak dijumpai adanya kelainan. Pada CT-scan otak
memberi kesan EDH pada regio termporoparietal dextra dengan volume perdarahn
56 cc dan fraktur linier os temporal dextra. Pasien didiagnosa dengan CKR (GCS 14)
+ hematom temporal dextra + EDH regio temporoparietal dextra + fraktur linier os
temporal dextra.

Tindakan operatif pada trauma kepala, terutama trauma kepala yang


menyebabkan cedera otak trumatik, diindikasikan bila terjadi efek masa yang
bermakna. Hal ini didefinisikan pada adanya herniasi serebral atau pergeseran garis
tengah (midline shift) 5 mm atau lebih. EDH dengan volume lebih dari 30 cc harus di
evakuasi, walaupun pasiennya asimptomatik. Pasien EDH dengan GCS kurang dari 9
disertai dilatasi pupil, harus dilakukan tindakan evakuasi perdarahan dan dekompresi
segera. Perdarahan akut pada EDH dapat dievakuasi dengan kraniotomi ataupun
kraniektomi. Pada kasus ini, dilakukan kraniektomi dekompresi,drainase dan
duraplasty emergensi berdasarkan hasil CT-Scan penderita didapatkan volume
perdarahan 56 cc.

Tindakan-tindakan umum seperti perpindahan posisi pasien, dan pencegahan


infeksi tetap dilakukan untuk mengurangi resiko dan komplikasi yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Pasien dirawat di Ruangan Perawatan Intensif (RPI)
selama 3 hari sebelum dipindahkan ke ruangan. Pasien dirawat selama 3 hari di
ruangan perawatan biasa. Dalam perawatan, posisi kepala penderita head up 300.
Cairan rumatan diberikan ringerfudin 1500ml dan Nacl 0.9% 500 ml + ikaneuroon 1
ampul. Ringerfudin diberikan sebagai cairan intraoperatif untuk membantu
menurunkan tekanan intrakranial dengan sifatnya yang hiperosmolar. Sifat
Ringerfudin ini membantu menarik cairan dari intertitial otak masuk dalam pembuluh
darah otak. Meskipun memiliki sifat yang hampi sama dengan Nacl 0.9%, ringerfudin
lebih dipilih untuk menghindari terjadinya hiperkloremik asidosis saat resusitasi
cairan.
Pengobatan yang diberikan selama perawatan yaitu ranitidine iv 50 mg/ 12jam,
ceftriaxone iv 1 gram/12 jam, citicoline 500mg/ 8 jam. Pasien dirawat selama 3 hari
di ruangan perawatan biasa sebelum dipulangkan. Pasien dipulangkan dengan kondisi
kesadaran kompos mentis, GCS E4V5M6
.

BAB V

PENUTUP

Epidural hematom (EDH) merupakan salah satu kedaruratan bedah saraf yang
sangat penting dan harus dikelola dengan cepat. Evakuasi dan kontrol perdarahan
dengan segera sangat penting untuk keselamatan pasien dan menghindari cedera
neurologis yang permanen dan kematian.

Diagnosis pasti EDH ditegakkan dengan pemeriksaan CT-Scan kepala yang


memberikan gambaran hiperdens bentuk bikonveks berada diantara tulang tengkorak
dan duramater pada. Penanganan EDH dengan kraniektomi untuk dekompresi dan
evakuasi hematom.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adriman S, Rahardjo S dan Saleh SC. Penatalaksanaan perioperative pada


epidural hemorrhage dengan herniasi serebral. JNI 2015;4(3): 187-92
2. Soertidewi L. Penatalaksanaan kedaduratan cedera kranioserebral. Bagian Ilmu
Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
3. Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D.
EGC, Jakarta, 2004, 818-819
4. De Jong, Wim. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC. 2006.
5. Ulman JS. Epidural Hematomas. Diakses dari: http://emedicine.medscape.com/
6. pada tanggal 18 Maret 2017
7. National Institute for Health and Care Excellenge. Head Injury: Early
management of head injury. NICE Clinical Guideline. 2014
8. Sidharta P, Mardjono M. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat
9. Wilson LM, Price SA. Patofisiologi. Ed. 6 vol.2. Jakarta: EGC
10. Nn. Epidural dan subdural hematom. Fakultas Kedokteran Unhas
11. Purwirantono T. Akurasi tanda dan gejala klinik dalam menegakkan diagnosis
hematoma epidural pada kasus cedera otak. Fakultas Kedokteran Undip. 2002
12. Perdossi. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal. 2006
13. Ellis, Harold. Applied anatomy for students and junior doctors (Eleventh edition).
Blackwell Publishing, 2006.
14. Markam S. Trauma kapitis. Dalam:Harsono, editor. Kapita selekta neurologi
(Edisi kedua). Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005. h. 314.

You might also like