You are on page 1of 4

HUBUNGAN TERAPI BERMAIN ORIGAMI TERHADAP

TINGKAT PERKEMBANGAN ANAK USIA PRASEKOLAH

FENOMENA

WHO (World Health Organitation) melaporkan bahwa 5-25% dari anak-


anak usia prasekolah menderita disfungsi otak minor, termasuk gangguan
perkembangan motorik halus. Menurut Depkes RI (2006), bahwa 0,4 Juta (16%)
balita Indonesia mengalami gangguan perkembangan, baik perkembangan
motorik halus dan kasar, gangguan pendengaran, kecerdasan kurang dan
keterlambatan bicara sedangkan menurut Dinkes (2006) sebesar 85.779 (62,02%)
anak usia prasekolah mengalami gangguan perkembangan. Hasil studi
pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Oktober 2011 di TK Aisyiyah 24
BP Wetan menunjukkan bahwa dari 24 anak usia prasekolah (4-5 tahun), 17 anak
(70%) memiliki perkembangan motorik halus terlambat (belum lancar
menggunting mengikuti pola gambar) dan perkembangan kognitif terlambat
(hanya dapat menyebutkan 2 warna), hanya 7 anak (30%) yang memiliki
perkembangan motorik halus dan kognitif yang baik.
Jumlah anak usia prasekolah di Indonesia tahun 2016 mencapai 30% dari
total penduduk Indonesia atau sekitar 9,5 jiwa. Jumlah anak di Daerah Istimewa
Yogyakarta diperkirakan mencapai 157,894 jiwa atau sekitar 0,095%. Sedangkan
di Kabupaten Bantul mencapai sekitar 62,32 jiwa (Dinas Kesehatan Bantul, 2014).
Pada tahun 2014 dilaporkan bahwa, jumlah anak di Indonesia sangat besar yaitu
sekitar 10% (3,5 jiwa) yang memiliki akses pada program PAUD, dan kira-kira 62
% anak usia 3 sampai 6 tahun belum pernah berpartisipasi dalam program
pendidikan anak usia dini atau prasekolah (Departemen Kesehatan RI, 2015).
Anak prasekolah banyak mengalami permasalahan kesehatan yang sangat
menentukan kualitas anak dikemudian hari. Masalah kesehatan tersebut meliputi
kesehatan umum, gangguan perkembangan, gangguan perilaku, dan gangguan
belajar. Permasalahan kesehatan tersebut pada umumnya akan menghambat
pencapaian prestasi pada peserta didik disekolah (Dermawan, 2012). Kelompok
anak usia prasekolah harus diberikan perhatian khusus tentang kebersihan dan
kesehatan karena ikut menentukan kualitas generasi yang akan datang.
Secara global, masalah kesehatan pada anak menurun dari 39,7% pada
tahun 1990 menjadi 26,7% pada tahun 2010. Tahun 2010, diperkirakan bahwa
167 juta anak-anak, yang diantaranya berasal dari negara berkembang, mengalami
keterlambatan pertumbuhan dan masalah kesehatan. Sementara di Afrika, masalah
kesehatan pada anak telah mengalami penurunan sejak tahun 1990 sekitar 40%
pada tahun 1990 menjadi 28% pada tahun 2010, yaitu dari 190 juta anak menjadi
100 juta anak mengalami masalah kesehatan dan keterlambatan tumbuh kembang
(World Health Organization (WHO), 2012). Menurut Departemen Kesehatan RI
(2012) data tahun 2012, dari 70 juta anak terdapat 766 ribu anak yang mengalami
masalah kesehatan dan keterlambatan tumbuh kembang.
HUBUNGAN ANTARA STINGMA MASYARAKAT TERHADA
KOPING ORANG TUA DENGAN ANAK

FENOMENA

Gangguan jiwa sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang serius di dunia.
WHO (World Health Organization) (2013) menegaskan jumlah klien gangguan jiwa di
dunia mencapai 450 juta orang dan paling tidak ada 1 dari 4 orang di dunia mengalami
masalah gangguan jiwa. Di Indonesia jumlah klien gangguan jiwa mencapai 1,7 juta yang
artinya 1 sampai 2 orang dari 1.000 penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa dan
di Jawa Barat sendiri klien gangguan jiwa mencapai 465.975 orang serta tiap tahunnya
akan terus meningkat (Riskesdas 2013). Banyaknya kasus tentang gangguan jiwa ini bisa
menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang besar bagi pemerintah.
Pemerintah dalam menanggulangi gangguan jiwa masih banyak mengalami
hambatan. Agusno (2011) mengatakan akar permasalahan pada kesehatan mental berasal
dari tiga inti pokok. Pertama adalah pemahaman masyarakat yang kurang mengenai
gangguan jiwa, kedua adalah stigma mengenai gangguan jiwa yang berkembang di
masyarakat dan terakhir tidak meratanya pelayanan kesehatan mental. Mestdagh dan
Hansen (2013) menyatakan masyarakat yang memiliki stigma negatif terhadap klien
gangguan jiwa cenderung menghindari dan tidak mau memberikan bantuan terhadap
orang yang menderita gangguan jiwa sehingga mempersulit dalam proses penyembuhan.
Stigma dipengaruhi oleh beberapa komponen. Menurut Taylor dan Dear (1981)
menjelaskan bahwa ada empat dimensi atau domain stigma gangguan jiwa di masyarakat,
yaitu otoriterisme, kebajikan, pembatasan sosial dan ideologi komunitas kesehatan
mental. Pengertian stigma sendiri menurut Goffman (2003) merupakan tanda atau tanda
yang dibuat pada tubuh seseorang untuk diperlihatkan dan menginformasikan kepada
masyarakat bahwa orang-orang yang mempunyai tanda tersebut merupakan seorang
budak, kriminal, atau seorang penghianat serta suatu ungkapan atas ketidakwajaran dan
keburukan status moral yang dimiliki oleh seseorang. Jadi stigma ini mengacu kepada
atribut yang memperburuk citra seseorang.
Kegiatan Pemerintah untuk mengurangi stigma gangguan jiwa masih tidak
berjalan dengan lancar. Masyarakat masih banyak yang mendiskriminasi orang yang
terkena gangguan jiwa. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Mestdagh (2013)
mengatakan masih banyak pasien yang mengalami perlakuan diskriminasi meskipun
mereka sudah dalam perawatan kesehatan mental berbasis komunitas. Hal ini ditunjang
juga dengan penelitian yang dilakukan Muhlisin (2015) yang mengatakan pasien yang
kembali ke masyarakat setelah dinyatakan sembuh tidak mendapatkan dukungan dari
rekan-rekan, keluarga dan lingkungan masyarakat, karena mereka beranggapan takut
penyakitnya kambuh lagi. Pratiwi dan Nurlaily (2010) menambahkan keluarga yang
mempunyai anggota keluarga yang menderita penyakit mental, mereka tidak dilibatkan
dalam masalah keluarga, mereka dikurung dan dirantai saat kambuh atau mengamuk.

You might also like