You are on page 1of 8

DIABETES JUVENIL

1. PENGERTIAN

Penyakit diabetes milletus juvenil adalah penyakit yang disebabkan defisiensi


insulin yang absolut. Hal itu terjadi karena kerusakan total dari sel beta pancreas
yang merupakan sel-sel penghasil insulin,penyakit ini terjadi pada orang muda
dengan usia dibawah 30 tahun atau bahkan sejak usia anak-anak sehingga disebut
juvenil onset diabetes milletus.
Secara umum insiden IDDM akan meningkat sejak bayi hingga mendekati pubertas,
namun semakin kecil setelah pubertas. Terdapat dua puncak masa kejadian IDDM
yang paling tinggi, yakni usia 4-6 tahun serta usia 10-14 tahun. Diagnosis yang telat
tentunya akan menimbulkan kematian dini
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang memerlukan pengobatan
jangka panjang dengan biaya tinggi untuk mengontrol dan mencegah perburukan
akibat komplikasi, tutur para pakar endokrinologi Indonesia, terutama Prof. Dr.
Sidartawan Soegondo, Sp.PD, KEMD, FACE, ketua Persatuan Diabetes Indonesia
(PERSADIA) tahun 2005-2008. Berdasarkan konsensus Perkumpulan Endokrinolog
Indonesia (PERKENI), diabetes mellitus dibagi menjadi tiga tipe; tipe 1, diabetes
mellitus akibat defisiensi hormon insulin sel beta pulau-pulau Langerhans. Tipe 2,
diabetes mellitus akibat resistensi insulin di membran sel. Serta tipe 3, diabetes
mellitus yang tidak terklasifikasikan.
Insulin merupakan hormon anabolik yang diproduksi di sel-sel beta pulau-
pulau Langerhans pankreas. Inadekuat, hilang, destruksi, atau berkurangnya jumlah
sel-sel ini akan menyebabkan diabetes mellitus tipe 1 yang membutuhkan insulin
(insulin-dependent diabetes mellitus IDDM). Hampir sebagian besar anak-anak
dengan diabetes mellitus tergolong dalam tipe ini.
Diabetes mellitus tipe 2, yang tidak tergantung insulin, noinsulin-dependent
diabetes mellitus NIDDM bisa juga terjadi akibat kelainan genetik. Hampir semua
penderita NIDDM memiliki resistensi insulin dan sel-sel beta tidak dapat mengkom-
pensasi resistensi ini. Meskipun sebelumnya tipe ini jarang ditemui di anak-anak,
namun kecenderungan saat ini sekitar 20% dari total anak-anak penderita diabetes
mellitus menderita NIDDM karena tingkat obesitas pada anak yang semakin tinggi.
Selain itu resistensi insulin juga memang bisa terjadi akibat kelainan genetik yang
menyebabkan Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY).

2. ETIOLOGI

Pada IDDM sebanyak 57% berasal dari keluarga DM (Ranakusuma,1992).


Virus.Dalam studi epidemiologi di Inggris dan Swedia menunjukkan akibat penyakit
parotis (infeksi virus yang menyerang sel beta pancreas) menimbulkan prevalensi
DM meningkat pada anak-anak.

Hampir semua (95%) kasus IDDM terjadi karena kombinasi genetik dan
faktor lingkungan. Interaksi ini menyebabkan terjadinya destruksi autoimun pada sel
beta pulau-pulau Langerhans. Defisiensi insulin baru terjadi saat 90% sel beta sudah
mengalami destruksi.

Diabetes Tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas. Kombinasi


faktor genetik, imunologi dan mungkin pula lingkungan (misalnyaa, infeksi virus)
diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta.

a. Faktor-faktor Genetik. Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu


sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah
terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu
yang memiliki tipe antigen HLA (human Leucocyte Antigen) tetantu. HLA
merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan
proses imun lainnya. 95% pasien berkulit putih (Caucasian) dengan dibetes tipe I
memperlihatkan tipe HLA yang spesifik (DR3 atau DR4). Resiko terjadinya
diabetes tipe I meningkat 3-5 kalia lipat pada individu yang memiliki salah satu
dari kedua tipe HLA ini. Resiko tersebut meningkat sampai 10 hingga 20 kali
lipat pada individu yang memiliki tipe HLA DR3 maupun DR4 (jika
dibandingkan dengan populasi umum).
b. Faktor-faktor Imunologi. Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon
autoimun. Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang
dianggapnya solah-olah sebagai jaringan asing. Otoantibody terhadap sel-sel
pulau langerhans dan insulin endogen (intrenal) terdeteksi pada saat diagnosis
dibuat dan bahakan beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-tanda klinis
diabetes tipe I. Riset dilakukan untuk mengevaluasi efek preparat imunosupresif
terhadap perkembangan penyakit pada pasien diabetes tipe I yang baru
terdiagnosis atau pada pasien pradiabetes (pasien dengan atibodi yang terdeteksi
tetapi tidak memeperlihatkan gejala klinis diabetes). Riset lainnya menyelidiki
efek protektif yang ditimbulkan insulin dnegan dosis kecil terhadap funsi sel
beta.
c. Faktor-faktor Lingkungan. Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap
kemungkinan faktor-faktor ekstrenal yang dapat memicu destruksi sel beta
sebagai contoh, hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin
tertentui dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi sel beta.
Interaksi antara faktor-faktor genetik, imunologi dan lingkungan dalam etologi
diabetes tipe I merpan pokok perhatian riset yang terus berlanjut. Meskipun
kejadian yang menimbulkan dentruksis sel beta tidak dimengerti sepenuhnya,
namun pernyataan bahwa kerentanan genetik merupakan faktor dasar yang
melandasi proses terjadinya diabetes tipe I merupakan hal yang secara umum
dapat diterima.

3. MANIFESTASIKLINIK

Tanda-tanda yang paling mudah dikenali ialah tanda-tanda akibat


hiperglikemia, glikosuria, dan ketoasidosis.

a. Hiperglikemia itu sendiri bisa tidak menimbulkan gejala apa-apa, meskipun


kadang ditemukan malaise, sakit kepala, dan kelemahan tubuh. Anak-anak juga
menjadi irritable, mudah marah, dan sering ngambek, namun gejala utama
hiperglikemia ialah akibat diuresis osmotik dan glikosuria. Glikosuria itu sendiri
merupakan peningkatan frekuensi dan volume urin (poliuri) sehingga sering
membuat anak-anak sering mengompol di malam hari. Gejala ini mudah dikenali
pada bayi karena sering sekali minum dan banyak sekali urin pada diapernya.
b. Polidipsia terjadi karena terdapat diuresis osmotik sehingga menyebabkan
dehidrasi. Penurunan berat badan terjadi karena terjadi pemecahan lemak dan
protein dalam jumlah banyak, meskipun nafsu makan anak relatif normal.
Kegagalan tumbuh mungkin menjadi tanda utama yang membuat orang tua
khawatir dengan anaknya sehingga memeriksakan ke dokter dan biasanya akan
ditemukan hiperglikemia primer.
c. Malaise yang nonspesifik dapat terjadi kapan saja, terutama sebelum ditemukan-
nya tanda-tanda hiperglikemia, atau mungkin dapat menjadi petanda tersendiri
selain hiperglikemia, sehingga bukan sebagai tanda klinis yang khas. Gejala lain
yang sangat perlu dikenali ialah gejala-gejala pada ketoasidosis, yakni dehidrasi
berat, tercium bau keton di mulut, napas asidosis (Kussmaul) yang mirip res-
piratory distress, nyeri abdomen, muntah, somnolen hingga koma. Selain itu
anak juga akan rentan terhadap infeksi karena terdapat penurunan imunitas
akibat hiperglikemia, terutama infeksi saluran napas, saluran kemih, dan kulit,
sehingga dapat ditemukan kandidosis. Yang paling sering dan mudah dikenali
ialah kandidosis di daerah selangkangan.
Selain gejala malaise dan dehidrasi, anak-anak dengan diabetes dini tidak
memiliki tanda yang khas pada tubuhnya. Mengingat penyakit endokrin autoimun
banyak terjadi pada anak dengan IDDM, mungkin dapat ditemukan gejala
endokrinopati lain, misalnya hipertiroidisme dengan gejala overaktivitas, cepat
lelah, atau teraba gondok. Katarak dapat terjadi namun sangat jarang, kalaupun
ada biasanya pada anak perempuan dengan hiperglikemia pada jangka waktu
lama. Dapat ditemukan nekrobiosis lipoidika, berupa daerah atrofi berwarna
merah yang berbatas tegas. Kondisi ini terjadi akibat luka pada kolagen kulit dan
sulit untuk diobati.

4. PATOFISIOLOGI

Secara umum di dunia terdapat 15 kasus per 100.000 individu pertahun yang
menderita DM tipe 1. Tiga dari 1000 anak akan menderita IDDM pada umur 20
tahun nantinya. Insiden DM tipe 1 pada anak-anak di dunia tentunya berbeda.
Terdapat 0.61 kasus per 100.000 anak di Cina, hingga 41.4 kasus per 100.000 anak
di Finlandia. Angka ini sangat bervariasi, terutama tergantung pada lingkungan
tempat tinggal. Ada kecenderungan semakin jauh dari khatulistiwa, angka
kejadiannya akan semakin tinggi. Meski belum ditemukan angka kejadian IDDM di
Indonesia, namun angkanya cenderung lebih rendah dibanding di negaranegara
eropa.

Lingkungan memang mempengaruhi terjadinya IDDM, namun berbagai ras


dalam satu lingkungan belum tentu memiliki perbedaan. Orang-orang kulit putih
cenderung memiliki insiden paling tinggi, sedangkan orang-orang cina paling
rendah. Orang-orang yang berasal dari daerah dengan insiden rendah cenderung
akan lebih berisiko terkena IDDM jika bermigrasi ke daerah penduduk dengan
insiden yang lebih tinggi. Penderita laki-laki lebih banyak pada daerah dengan
insiden yang tinggi, sedangkan perempuan akan lebih berisiko pada daerah dengan
insiden yang rendah.

Secara umum insiden IDDM akan meningkat sejak bayi hingga mendekati
pubertas, namun semakin kecil setelah pubertas. Terdapat dua puncak masa kejadian
IDDM yang paling tinggi, yakni usia 4-6 tahun serta usia 10-14 tahun. Kadang-
kadang IDDM juga dapat terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan, meskipun
kejadiannya sangat langka. Diagnosis yang telat tentunya akan menimbulkan
kematian dini. Gejala bayi dengan IDDM ialah napkin rash, malaise yang tidak jelas
penyebabnya, penurunan berat badan, senantiasa haus, muntah, dan dehidrasi.

Insulin merupakan komponen vital dalam metabolisme karbohidrat, lemak,


dan protein. Insulin menurunkan kadar glukosa darah dengan cara memfasilitasi
masuknya glukosa ke dalam sel, terutama otot serta mengkonversi glukosa menjadi
glikogen (glikogenesis) sebagai cadangan energi. Insulin juga menghambat
pelepasan glukosa dari glikogen hepar (glikogenolisis) dan memperlambat
pemecahan lemak menjadi trigliserida, asam lemak bebas, dan keton. Selain itu,
insulin juga menghambat pemecahan protein dan lemak untuk memproduksi glukosa
(glukoneogenesis) di hepar dan ginjal. Bisa dibayangkan betapa vitalnya peran
insulin dalam metabolisme.

Defisiensi insulin yang dibiarkan akan menyebabkan tertumpuknya glukosa di


darah dan terjadinya glukoneogenesis terusmenerus sehingga menyebabkan kadar
gula darah sewaktu (GDS) meningkat drastis. Batas nilai GDS yang sudah
dikategorikan sebagai diabetes mellitus ialah 200 mg/dl atau 11 mmol/l. Kurang dari
itu dikategorikan normal, sedangkan angka yang lebih dari itu dites dulu dengan Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) untuk menentukan benar-benar IDDM atau kategori
yang tidak toleran terhadap glukosa oral.

5. KOMPLIKASI

Semua jenis diabetes mellitus memiliki gejala yang mirip dan komplikasi pada
tingkat lanjut. Hiperglisemia sendiri dapat menyebabkan dehidrasi dan ketoasidosis.
Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan
kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan
kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren
dengan risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar
gula darah buruk.

6. PEMERIKSAANDIAGNOSTIK

Tidak diperlukan pemeriksaan radiologi secara rutin, yang lebih berperan ialah
pemeriksaan lab. Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu (GDS) dan Glukosa Darah
Puasa (GDP) paling sering dilakukan. Batasnya 200 mg/dl (11 mmol/l) untuk GDS
dan 120 mg/ml (7 mmol/l) untuk GDP. Selain darah, glukosa urin dapat menunjang
diagnosis dan keton urin dapat menjadi petanda Ketoasidosis Diabetik (KAD),
meskipun keton urin normal ditemukan pada orang yang lapar dan puasa. Ketonuria
dapat menjadi marker jika terdapat defisiensi insulin dan gejala klinis yang
menunjang KAD.

Hemoglobin yang terglikosilasi (HbA1a, HbA1b, dan HbA1c) merupakan


hasil reaksi glukosa dengan hemoglobin yang nonenzimatik. Jika terjadi
hiperglikemia pada waktu yang lama maka permukaan hemoglobin akan
terglikosilasi tanpa enzim tertentu, sehingga akan terbentuk ikatan glikosilat pada
minggu ke 8-10. Petanda ini menjadi penting karena dapat memantau perjalanan
penyakit, biasanya diperiksa setiap tiga bulan sekali. Kisaran angka normal ialah 7-
9%. Di bawah 7 berarti telah terjadi hipoglikemia dalam waktu lama, sedangkan di
atas 9 berarti makin rentan terdapat komplikasi diabetes mellitus jangka panjang.

Pemeriksaan fungsi ginjal tidak perlu dilakukan sebagai pemeriksaan rutin,


sementara pemeriksaan kimia darah lain yang tersier, misalnya antibodi anti sel beta
dan antibodi anti insulin tidak harus dilakukan karena bukan merupakan maker yang
spesifik IDDM. Anak-anak dengan IDDM juga kadang memiliki endokrinopati
autoimun lainnya, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan kadar tiroid. Pada daerah
dengan makanan pokok gandum, IDDM juga dapat menyebabkan penyakit celiac
dan dapat ditemukan antibodi antigliadin (mis. Antiendomysial dan
antitransglutaminase).
Tes lain yang sering dilakukan ialah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO).
Dengan tes ini diabetes mellitus dapat disingkirkan jika terdapat hiperglikemia atau
glukosuria tanpa adanya penyebab tipikal (penyakit kronis, terapi steroid) atau saat
kondisi pasien memang mengalami glukosuria. Tes ini dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan GDP kemudian memberikan glukosa oral (2 g/kg untuk anak <3 tahun,
1.75 g/kg untuk anak 3-10 tahun, atau 75 g untuk anak >10 tahun) dan dites dua jam
kemudian. Angka GDP di atas 120 mg/dl (6,7 mmol/l) dan GDS 2 jam PP di atas
200 mg/dl (11 mmol/l) merupakan petanda diabetes mellitus. OGTT yang
dimodifikasi juga dapat dikerjakan untuk mengenali MODY. Pada MODY dan DM
tipe 2, selain peningkatan GDP-GDS, dapat ditentukan insulin atau c-peptide
(termasuk prekursor) dalam kadar yang bervariasi.

Profil lipid juga sebaiknya dikerjakan. Albumin urin (albumin excretion rate)
dapat dites untuk mmantau terjadinya mikroalbuminuria, petanda dini nefropati DM.

7. PANATALAKSANAAN MEDIS

Semua penderita IDDM membutuhkan terapi insulin. Hanya anak-anak


dengan dehidrasi berat, muntah terus-menerus, kelainan metabolk, atau anak dengan
penyakit kronis yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dengan rehidrasi
intravena. Pengobatan pun harus dilaksanakan secara terpadu; orang tua dan anak
diajarkan untuk senantiasa mengecek sendiri kadar gula darah, menginjeksi insulin,
serta untuk mengenali dan mengobati hipoglikemia. Diperlukan konsultasi ke ahli
gizi, ahli diabetes, ahli oftalmologi, serta kadang psikolog.

Diet untuk anak dengan IDDM merupakan komponen yang sangat esensial.
Tujuan diet pada IDDM ialah menyeimbangkan asupan makanan dengan dosis
insulin dan aktivitas dengan cara menjaga kadar glukosa dalam rentang normal.
Sebaiknya dapat diperkirakan jumlah karbohidrat yang dikandung dalam suatu
makanan terutama bagi yang menggunakan insulin kerja cepat secara injeksi atau
pompa ketika makan. Karbohidrat kompleks (mis. Sereal) dapat dikonsumsi sebelum
tidur untuk mencegah terjadinya hipoglikemia nokturnal, terutama bagi yang
mengkonsumsi insulin dua kali sehari.

DM merupakan kelainan metabolisme energi sehingga asupan makanan harus


dijaga agar sebisa mungkin membatasi nutrisi yang membutuhkan metabolisme
energi. Saat ini makanan yang dianjurkan ialah tinggi serat dan karbohidrat namun
rendah lemak. Karbohidrat sebaiknya 50-60% dari total asupan energi, tidak lebih
dari 10% dari sukrosa. Lemak harus kurang dari 30% dan protein sebanyak 10-20%.
Tidak ada pantangan untuk beraktivitas bagi penderita IDDM, namun kadang setelah
melakukan aktivitas berat dapat terjadi hipoglikemia yang meliputi tungkai,
menyebabkan sulit berjalan, lari, atau bersepeda. Setelah beraktivitas berat
disarankan mengkonsumsi kudapan dalam jumlah agak banyak sebelum tidur.
Insulin mutlak diperlukan bagi penderita IDDM dengan rute pemberian yang
beraneka macam. Januari 2006 lalu US-FDA telah menyetejui penggunaan insulin
inhaler untuk dewasa yang diekstrak dari manusia (rDNA), namun dicabut kembali
karena harganya tidak dapat dijangkau semua kalangan.

Terdapat tiga golongan insulin secara klinis, yakni short-acting (mis. Regular,
soluble, lispro, aspart, glulisine), medium dan intermediate-acting (isophane, lente,
dentemir), serta lon-acting (ultralente, glargine). (Baca Terapi Insulin untuk Praktek
Sehari-hari). Selain insulin, obat-obatan lain yang perlu diwaspadai mengurangi efek
hipoglikemik insulin ialah asetazolamid, ARV, asparaginase, fenitoin, isoniazid,
diltiazem, diuretik, kortikosteroid, tiasid, estrogen tiroid, kalsitonin, kontrasepsi oral,
diazoxide, dobutamin, fenotiazin, siklofosfamid, litium karbonat, epinefrin, morfin,
dan niasin.

Sedangkan obat yang meningkatkan efek hipoglikemik insulin ialah ACE-


inhibitor, alkohol, tetrasklin, penyekat beta, steroid anabolik, piridoksin, salisilat,
MAO-inhibitor, mebendazole, sulfonamid, fenilbutazon, klorokuin, klofibrat,
fenfluramin, guanethidine, octreotide, pentamidine, dan sulfinpyrazone.

Diposkan oleh Rita's tamadi 16.48

You might also like