Professional Documents
Culture Documents
DISUSUN OLEH
PEMBIMBING
dr. Tri Kunjana , Sp.THT
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan karunia-Nya penyusun
dapat menyelesaikan referat yang berjudul “ Efek Kortikosteroid Pada Rinosinusitis”.
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di RSUD dr.Soesilo.
Selain itu penyusunan referat ini juga bertujuan agar penyusun lebih memahami pengguanaan
kortikosteroid pada rinosinusitis.
Dalam penyusunan referat ini, penyusun banyak mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penyusun menyampaikan rasa terima kasih
kepada dr. Tri Kunjana, Sp.THT selaku pembimbing.
Akhir kata, penyusun menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membaca referat
ini sangat diharapkan guna menjadi pelajaran bagi penyusun dalam menyusun referat di
waktu yang akan datang. Dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua yang
membacanya.
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Rinitis dan sinusitis umumnya terdapat bersamaan pada sebagian besar individu,
sehingga istilah yang tepat adalah rinosinusitis.(5)
2.1 Rinosinusitis
2.1.1 Definisi
Rinosinusitis adalah proses inflamasi pada hidung dan sinus paranasal. Berdasarkan
klasifikasi rinosinusitis dibagi menjadi dua yaitu rinosinusitis akut dan kronik. Disebut
rinosinusitis akut bila terdapat gejala rinosinusitis selama kurang dari 12 minggu dan adanya
resolusi gejala secara komplit pada periode bebas gejala. Sedangkan, rinosinusitis kronik
(CRS) bila gejala yang ditemukan terjadi lebih dari 12 minggu desertai gejala (5,6)
4
Gambar 2.1 Anatomi Sinus Paranasal(8)
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan daerah yang rumit, sempit dan berperan
penting bagi transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup
untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Dibentuk oleh anatomi yang penting seperti prosesus
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, resesus frontalis dan sel-sel
etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila. Kompleks ostiomeatal
merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus maksila,
sinus etmoid anterior, dan sinus frontal. (7,9)
Rongga hidung, konka inferior, media, dan superior dilapisi oleh mukosa yang terdiri
dari epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (pseudostratified columnar ciliated
epithelium) dan sel goblet. Secara histologi, mukosa kavum nasi dan mukosa sinus
mempunyai sejumlah kesamaan. Palut lendir sinus berhubungan dengan kavum nasi. Pada
lapisan bawah epitel terdapat lamina propia yang banyak mengandung pembuluh darah, saraf,
dan jaringan limfoid (gambar 1).(6,7)
Sistem transpor mukosiliar merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung terhadap
virus, bakteri, jamur, atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Sistem
transpor mukosiliar terdiri dari gabungan epitel bersilia dan palut lendir, fungsinya untuk
proteksi dan melembabkan udara inspirasi. . Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim
5
(muramidase) dimana enzim ini dapat merusak beberapa bakteri. Enzim tersebut sangat mirip
dengan imunoglobulin A (IgA) dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari
sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG) dan interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung
sewaktu serangan akut infeksi virus. Silia dalam rongga hidung selalu bergerak ke arah
nasofaring untuk mengangkut benda asing yang terperangkap, dan kemudian ditelan atau
dibatukkan. Transpor mukosiliar disebut juga bersihan mukosiliar. (6,7)
Fungsi hidung dan sinus paranasal adalah sebagai fungsi respirasi untuk mengatur
kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi, penyeimbangan dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal; fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara, membantu
proses bicara dan mencegah hantaran suara snediri melalui konduksi tulang; fungsi penghidu
karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu; fungsi stastik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas; dan reflek nasal.(6,7,8,10)
2.1.3 Epidemiologi
Insidens dari rinosinusitis akut sangat tinggi. Hal ini telah diperkirakan, orang dewasa
menderita dua sampai lima kali per tahun sedangkan anak-anak menderita tujuh sampai 10
kali per tahun. Menurut pedoman Amerika Serikat, dilaporkan satu dari tujuh orang dewasa
menderita rinosinusitis. Insidens pastinya sulit untuk diukur karena banyak pasien dengan
penyakit ini tidak berobat kepada dokter. Di Amerika Serikat tahun 2007, rinosinusitis akut
terjadi pada 26 juta individu dan 12.9 juta yang datang berobat. Survey dari Kanada,
prevalensi rinosinusitis kronik pada rumah tangga sebesar 5%. Prevalensi tinggi pada wanita
dibandingkan pria (5,7% dan 3,4% pada subjek penelitian usia ≥ 12 tahun) dan meningkat
dengan bertambahnya usia.(6)
Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005
menyebutkan jumlah pasien rinologi yang menderita rinosinusitis kronik sebesar 300 orang
(69%) dari jumlah total pasien sebesar 435 orang.(4) Di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK
Universitas Hasanuddin Makasar, jumlah kasus rinologi periode 2003 sampai 2007 adalah
12.557 pada pasien rawat jalan, dan 1.092 kasus pada pasien rawat inap. Kasus rinosinusitis
terbanyak pada pasien rawat inap yaitu 41,5% dan kasus pada kelompok umur 30-39 tahun
sebanyak 23,3%.
Berdasarkan penelitian di poliklinik THT-KL RS Hasan Sadikin Bandung periode
Januari 2007 sampai Desember 2007, terdapat pasien rinosinusitis sebanyak 168 pasien
(64,29%) dari seluruh pasien rinologi. Di bagian THT KL Fakultas Kedokteran UGM/RS
6
Sardjito Yogyakarta tahun 2006-2007 didapatkan 118 penderita (42%) rinosinusitis kronik
dari seluruh pasien rinologi.
7
c. Alergi
Peran alergi terhadap rinosinusitis akut merupakan topik yang banyak diperdebatkan
pada literatur, baik mendukung atau tidak mendukung adanya peran alergi pada
pencetus rinosinusitis.(5)
Beberapa penelitian menyatakan bahwa rinitis alergi berhubungan dengan gangguan
pembersihan mukosiliar.
Inflamasi alergi pada hidung merupakan predisposisi atopi individu dalam
perkembangan rinosinusitis kronik. Alergi menyebabkan edema mukosa pada hidung
sehingga menekan ventilasi dan terjadi obstruksi sinus. Yang akan menimbulkan
penumpukan sekret dan memudahkan pertumbuhan bakteri.
d. Gangguan fungsi silia
Silia memiliki peranan penting dalam pembersihan hidung, sinus dan mencegah
inflamasi kronik. Pada rinosinusitis virus dan bakteri, fungsi silia akan mengalami
gangguan sehingga akan menyebabkan terjadinya penumpukan sekret mukosa.
Penumpukan sekret mukosa inilah yang memudahkan terjadinya infeksi bakteri.
Diskinesia silia sekunder ditemukan pada pasien dengan rinosinusitis kronik, dan
kemungkinan dapat bersifat reversibel, meskipun proses perbaikannya dapat memakan
waktu lama. Ketidakmampuan silia untuk mentranspor mukus kental pada pasien
fibrosiskistik menyebabkan terjadinya rinosinusitis. Pada pasien dengan Kartagener’s
syndrome dan diskinesia silia primer, rinosinusitis kronik merupakan masalah umum
dan biasanya pasien tersebut memiliki riwayat infeksi saluran pernafasan yang lama.(5)
Paparan terhadap asap rokok dan alergi juga telah menunjukkan adanya gangguan
pada fungsi silia, meskipun demikian dibutuhkan penelitian lagi untuk mengetahui
proses ini lebih lanjut.
e. Refluks laringofaring
Telah diketahui sedikit mengenai hubungan antara rinosinusitis akut dan refluks
laringoesofageal.
Pada hal ini, tidak ada cukup bukti untuk mempertimbangkan penggunaan terapi
anti-refluks pada pasien dewasa yang mengidap rinosinusitis kronik berulang, dan juga
tidak ada bukti bahwa refluks asam merupakan faktor penyebab yang signifikan pada
rinosinusitis kronik non polip.(5)
f. Ansietas dan depresi
8
Kesehatan mental yang rendah, ansietas, atau depresi berhubungan dengan
kerentanan terhadap kejadian rinosinusitis akut, meskipun mekanisme yang mendasari
tidak jelas.(8)
g. Resistensi obat
Bakteri yang sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut adalah S.pneumoniae,
H.influenzae, S.Pyrogenes, M.Catarrhalis, dan S.aureus. Amoksisilin merupakan
antibiotik yang paling sering digunakan untuk rinosinusitis akut ringan. Bagaimanapun
juga, terdapat peningkatan resistensi terhadap amoksisilin, khususnya pada infeksi
S.pneumoniae dan H.influenzae. Selanjutnya, perubahan pada patogenesitas bakteri
pada rinosinusitis bakterial akut masih perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
h. Defisiensi imunitas
Disfungsi kongenital memberikan manifestasi gejala sejak usia dini dan
berhubungan dengan kejadian rinosinusitis.
i. Faktor genetik
Faktor genetik sangat berpengaruh terhadap kejadian rinosinusitis. Telah dilaporkan
bahwa insiden polip hidung tinggi pada pasien yang yang mempunyai riwayat keluarga
penyakit sinus.(10)
j. Kehamilan dan endokrin
Mukosa hidung pada wanita hamil berbeda dengan wanita yang tidak hamil. Hal
tersebut disebabkan oleh efek langsung dan tidak langsung kelenjar pituitary pada
kehamilan. Efek hormon estrogen, progesteron dan placental growth hormone
menyebabkan perubahan mukosa hidung dengan meningkatkan vaskularisasi dan
peningkatan produksi mukus. Meskipun demikian, hubungan rinitis pada kehamilan
dengan rinosinusitis masih belum jelas.
9
mengeksaserbasi terjadinya inflamasi mukosa sementara dan menurunnya mukosa,
menyebabkan disfungsi yang lebih lanjut pada siliaris. Siklus ini akan susah untuk
diputuskan, dan jika kondisi tersebut terjadi terus menerus, dapat menjadi rinosinusitis kronik
(gambar 3).(9)
10
Keluhan utama rinosinusitis adalah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tertekan pada
muka dan ingus purulen, yang sering kali turun ke tenggorokan (post nasal drip). Dapat
disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu.(7)
Keluhan nyeri atau rasa tertekan di daerah sinus merupakan ciri khas rinosinusitis,
kadang-kadang nyeri terasa di tempat lain (reffered pain). Nyeri pipi menandakan
rinosinusitis maksila, nyeri diantara atau di belakang kedua bola mata menandakan
rinosinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan rinosinusitis frontal. Pada
rinosinusitis sfenoid nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata, dan daerah
mastoid.(7)
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak.(7)
2.1.7 Diagnosis
11
gambaran tomografi komputer dapat ditemukan perubahan mukosa di kompleks osteomeatal
dan/atau di sinus.(5,15,17)
Tingkat berat gejala dapat ditentukan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS)
dengan membagi tiga derajat, yaitu: ringan (VAS 0-3), sedang (VAS 3-7), dan berat(VAS 7-
10). Untuk mengevaluasi tingkat berat gejala, pasien harus menjawab pertanyaan “Seberapa
mengganggunya gejala rinosinusitis yang dirasakan dari angka 0-10?”. Bila hasil VAS lebih
dari 5 diartikan bahwa ada gangguan terhadap kualitas hidup.(5)
Menurut durasi terjadinya, rinosinusitis akut bila gejala terjadi kurang dari 12 minggu.
Sedangkan rinosinusitis kronik bila gejala lebih dari 12 minggu. Pertanyaan mengenai
keluhan alergi (bersin, hidung berair, hidung gatal, mata gatal dan berair) sebaiknya ikut
disertakan.
2.1.8 Terapi
Prinsip pengobatan membuka sumbatan di kompleks ostiomeatal dan ventilasi sinus-
sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada
rinosinusitis bakteri akut. Antibiotik yang biasa digunakan adalah amoksisilin.(7)
Pada rinosinusitis kronik dapat digunakan antibiotik yang sesuai untuk kuman gram
negatif dan anaerob. Selain itu, dapat diberikan analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, dan
pencucian rongga hidung dengan NaCl.(7)
2.1.9 Komplikasi
Insiden komplikasi dari rinosinusitis akut dan kronik menurun pada saat ini karena
penggunaan antibiotik. Komplikasi rinosinusitis dapat terjadi di tiga tempat yaitu orbita,
intrakranial, dan tulang.
Komplikasi orbita biasanya disebabkan oleh rinosinusitis yag berasal dari etmoid,
frontal dan maksila. Hal ini dikarenakan letak sinus yang berdekatan dengan mata (orbita)
sehingga infeksi pada sinus dapat menyebar ke mata melalui tromboflebitis dan
perkontinuitatum. Kelainan yang timbul yaitu berupa edema palpebra, selulitis orbita, abses
subperiostal, dan abses orbita. (10)
Komplikasi intrakranial biasanya berasal dari rinosinusitis etmoid, frontal, dan
sphenoid. Kelainan yang dapat terjadi seperti meningitis, abses epidural, abses subdural,
abses intraserebral, dan venosus thromboplebitis.
Sedangkan komplikasi pada tulang yang disebut juga osteomielitis tulang frontal atau
Pott’s puffy tumor biasanya disebabkan oleh rinosinusitis yang berasal dari sinus frontal.(10)
12
2.2 KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian
korteks kelenjar adrenal sebagai respon atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, dan rangsangan angiotensin II. Hormon ini berperan pada
berbagai sistem fisiologis pada tubuh, misalnya sebagai respon terhadap stres, sistem
kekebalan tubuh, dan reaksi inflamasi, metabolisme karbohidrat, katabolisme protein, kadar
elektrolit darah, serta prilaku seseorang.(11)
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang
menonjol darinya, yakni(11)
1. Glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan dalam pengendalian metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein, memiliki efek anti inflamasi dengan cara menghambat
enzim fosfolipase A2, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil.
2. Mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan
air, dengan cara retensi air dan garam di ginjal.
2.2.1 FARMAKOKINETIK
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik. Kadar
kortikosteroid yang tinggi dapat dicapai dengan cepat dalam cairan tubuh, jika ester kortisol
dan derivat sintetiknya diberikan secara IV. Efek kortisol dan ester memiliki durasi yang lama
dapat diberikan secara IM. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan
absorpsi, mula kerja dan lama kerja karena perubahan struktur juga mempengaruhi afinitas
terhadap reseptor, dan ikatan protein.
Pada keadaan normal, 90% kortisol terikat pada dua jenis protein plasma yaitu
globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Afinitas globulin tinggi tetapi kapasitas ikatnya
rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas ikatnya relatif tinggi. Oleh karena
itu, kortikosteroid pada kadar rendah atau normal, sebagian besar kortikosteroid terikat pada
globulin. Bila kadar kortikosteroid meningkat jumlah hormon yang terikat albumin dan bebas
juga meningkat, sedangkan yang terikat globulin sedikit mengalami perubahan.
Kortikosteroid berkompetisi sesamanya untuk berikatan dengan globulin pengikat
kortikosteroi; kortisol mempunyai afinitas tinggi sedangkan metabolit yang terkonyugasi
dengan asam glukuronat dan aldosteron afinitasnya rendah.(11)
13
Kehamilan atau penggunaan estrogen dapat meningkatkan kadar globulin pengikat
kortikosteroid, kortisol plasma total dan kortisol bebas sampai beberapa kali, namun hal ini
tidak terlalu bermakna terhadap fungsi tubuh.
Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya merupakan
senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Semua kortikosteroid yang aktif memiliki ikatan
rangkap pada atom C4,5 dan gugus keton pada atom C3. Reduksi ikatan rangkap C4,5 terjadi di
dalam hati dan jaringan ekstrahepatik serta menghasilkan senyawa inaktif. Perubahan gugus
keton menjadi gugus hidroksil hanya terjadi di hati. Sebagian besar hasil reduksi gugus keton
pada atom C3 melalui gugus hidroksinya secara enzimatik bergabung dengan asam sulfat atau
asam glukuronad membentuk ester yang mudah larut dan kemudian diekskresi. Reaksi ini
terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil di ginjal.(12)
Oksidasi gugus 11- hidroksil yang reversibel terjadi secara cepat di hepar dan secara
lambat di jaringan ekstrahepetik. Kortikosteroid dengan gugus keton untuk aktifitas
biologiknya pada atom C11 harus direduksi menjadi senyawa 11-hidroksil; sedangkan reduksi
gugus keton pada atom C20 hanya memberikan senyawa dengan aktifitas biologik yang
lemah.(13)
Kortikosteroid dengan gugus hidroksil pada atom C17 akan dioksidasi menjadi 17-
ketosteroid yang tidak mempunyai aktifitas kortikosteroid tetapi bersifat androgenik. Sekresi
17-ketosteroid dalam urin dapat digunakan sebagai ukuran aktifitas hormon kortikosteroid
dalam tubuh.
Steroid radioaktif setelah penyuntikan IV sebagian besar di ekskresi dalam urin dalam
waktu 72 jam, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak ada. Metabolisme kortisol
diperkirakan paling sedikit 70% dari kortisol yang di ekskresi mengalami metabolismenya di
hepar. Masa paruh eliminasi kortisol sekitsr 1,5 jam. Ikatan rangkap dan atom C1-2 atau
subtitusi atom flour memperlambat proses metabolism dan karenanya dapat memperpanjang
masa paruh eliminasi.(13)
2.2.2 FARMAKODINAMIK(12)
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki sel jaringan melalui membran plama secara difusi pasif di jaringan target,
kemudian bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel jaringan dan
membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konfirmasi, lalu
bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi
14
RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek
fisiologis steroid.
15
prostaglandin. Steroid topikal menyebabkan kapiler-kapiler di lapisan superfisial dermis
berkonstraksi, sehingga mengurangi edema.
2.2.5 KONTRAINDIKASI
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid.
Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang
mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama pada keadaan
yang mengancam jiwa pasien. Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atau beberapa
minggu, kontraindikasi relatif yaitu diabetes mellitus, tukak peptik/duodenum, infeksi berat,
hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lain patut diperhatikan. Keadaan-keadaan
tersebut membutuhkan pertimbangan matang antara risiko dan keuntungan sebelum obat
diberikan.
2.2.6 DOSIS
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan untuk
jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif. Dosis ini ditentukan
secara trial and error. Pada keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, misalnya untuk
mengurangi nyeri pada arthritis rheumatoid, dosis awal harus kecil kemudian secara bertahap
ditingkatkan sampai keadaan tersebut mereda dan dapat ditoleransi pasien. Kemudian dalam
periode singkat dosis harus diturunkan bertahap sampai tercapai dosis minimal dimana gejala
17
semula timbul kembali. Bila penggunaannya bertujuan mengatasi keadaan yang dapat
mengancam pasien, misalnya pemfigus maka dosis awal haruslah cukup besar. Bila dalam
beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis dapat dilipatgandakan. Dalam hal ini, sebelum
mengambil keputusan, dokter harus dapat mempertimbangkan antara bahaya pengobatan dan
bahaya akibat penyakit sendiri.(13)
Kortikosteroid dosis besar dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada
kontraindikasi spesifik untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien. Besarnya dosis
glukokortikoid yang dapat menyebabkan supresi hipofisis dan korteks adrenal ternyata sangat
bervariasi dan belum dapat dipastikan dengan tepat. Dosis kortikosteroid yang makin besar
dan makin lama waktu pengobatan, makin besar kemungkinan terjadinya supresi tersebut.
Oleh karena itu, pengurangan risiko supresi hipofisis adrenal ini, dapat dilakukan modifikasi
cara pemberian obat, misalnya dosis tunggal selang 1 atau 2 hari.
18
Kortikosteroid (KS) efektif dalam mengurangi gejala pada infeksi saluran pernafasan
bagian atas seperti croup, radang tenggorok, dan infeksi mononukleosis. Efek
antiinflamasinya juga dapat membantu mengurangi kongesti sinus dan menfasilitasi drainase
pada sinusitis. Namun saat ini, belum jelas apakah KS menyediakan keuntungan yang
signifikan pada pasien dengan rinosinusitis akut. Salah satu penelitian menunjukan adanya
dugaan bahwa steroid intranasal tidak membantu dalam mengobati sinusitis akut. Penelitian
Cochrane menunjukan, pada 100 pasien yang diberikan terapi, hanya 7 pasien yang
memperlihatkan keuntungan dari pengunaan KS intranasal, sehingga hal ini membutuhkan
penelitian lainnya untuk melihat efektifitasnya.
KS topikal merupakan terapi lini pertama pada tatalaksana rhinosinusitis kronik.
Terapi jangka panjang dengan KS intranasal telah menunjukan adanya penurunan inflamasi
sinus dan pengurangan ukuran polip hidung serta memperbaiki gejala-gejala yang
berhubungan dengan CRS. Bila dibandingkan dengan penggunaan NSAID sebagai
antiinflamasi ...beberapa penelitian mengatakan bahwa terdapat penurunan gejala yang
signifikan pada intensitas nyeri kepala, nyeri badan, dan demam, tetapi tidak pada sensitifitas
sinus terhadap nyeri tekan dan radang tenggorok. Pada penelitian Cochrane menunjukkan
bahwa NSAID tidak mengurangi total skor gejala atau durasi common cold. Bagaimanapun
juga, efek dari penggunaan NSAID tersebut berhubungan dengan efek analgesik dari NSAID
seperti nyeri kepala, nyeri telinga, dan nyeri otot serta sendi. Peneliti merekomendasikan
penggunaan NSAID sebagai pelega nyeri yang disebabkan karena common cold.
19
2.3.1 Kortikosteroid nasal topikal
Penggunaan KS intranasal telah digunakan secara luas sebagai terapi pada CRS.
Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa kortikosteroid intranasal memberikan manfaat
dalam pengobatan polip dengan ukuran kecil hingga sedang, dan mengurangi gejala-gejala
rhinitis. Pada penggunaan KS intranasal menunjukan adanya penurunan kekambuhan polip
setelah prosedur operasi. Namun, manfaat penggunaan KS intranasal belum dapat ditunjukan
pada CRS dengan tipe nonpolipoid.
20
Berbeda dengan penelitian Zalmanovici, dimana pemberian mometasone furoate yang
digunakan sebesar 200 μg dua kali sehari. Hal tersebut merupakan penelitian pertama yang
menunjukkan penggunaan kortikosteroid topikal dua kali sehari memiliki efektivitas sebagai
terapi tunggal dalam rinosinusitis akut dan lebih efektive daripada pemberian amoxicilin
sehari dua kali. (5)
Efek samping seperti iritasi nasal,hidung kering, perdarahan mukosa merupakan efek
samping yang umum pada penggunan steroid intranasal (5)
KS oral umum digunakan dalam mengobati CRS dengan atau tanpa polip nasal.
Penelitian terdahulu telah memiliki bukti dari kegunaan steroid oral pada beberapa macam
subtipe CRS. Penggunaan steroid oral sangat direkomendasikan pada pengobatan jangka
pendek CRS dengan polip hidung. Pada pengobatan CRS tanpa nasal polip, penggunaan KS
oral bersifat optional karena kurangnya bukti. Selain itu steroid oral jangka pendek juga dapat
diberikan pada kasus CRS berat dimana diperlukan adanya perbaikan secara cepat.(5)
Gehanno dkk mencoba memberikan metilprednisolon 8mg tiga kali sehari selama 5
hari sebagai terapi tambahan pada 10 hari pemberian amoxicilin clavunate potasium pada
pasien rinosinusitis akut dengan penelitian kontrol dengan plasebo. Tidak ada hasil sampai
hari ke 14 pada kedua grup tetapi pada hari ke 4 ada penurunan signifikan terhadap gejala
sakit kepala dan nyeri wajah pada grup steroid.(5)
KS oral efektif dalam mengobati rhinitis alergi, mengurangi ukuran polip hidung dan
mengobati sinusitis akibat alergen jamur. Lennard dan kolega telah membuktikan peranan
steroid dalam mengurangi sitokin inflamasi pada pasien-pasien dengan CRS dengan
menggunakan biopsi sebelum dan setelah pemberian steroid. Peneliti menemukan adanya
penurunan signifikan pada IL-6 dan TNF-α setelah terapi. Pada penelitian pada 25 pasien
CRS dengan polip hidung masif, pengobatan dengan prednisolon oral dosis tinggi telah
menunjukan adanya perbaikan baik secara subjektif maupun objektif, serta involusi dari nasal
polip. Efek yang terbaik didapatkan pada sinusitis daerah sinus frontal serta sfenoid.(15)
Woodworth dan kolega mengobati 21 pasien CRS dengan nasal polip dengan 60mg
prednison tapered selama 3 minggu. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa steroid oral
21
menurunkan semua kemokin dan sitokin yang diukur dibadingkan dengan plasebo, dan
terjadi perbaikan SNOT-20 (sino nasal outcome test-20).(15)
Dengan data-data yang tersedia, dapat disimpulkan bahwa penggunaan KS oral dapat
mengobati CRS secara jangka pendek khususnya dengan nasal polip serta mengobati kasus
CRS berat dimana diperlukan adanya perbaikan secara cepat.
BAB III
22
KESIMPULAN
Rinosinusitis adalah proses inflamasi pada hidung dan sinus paranasal. Berdasarkan
klasifikasi rinosinusitis dibagi menjadi dua yaitu rinosinusitis akut dan kronik. Kompleks
ostiomeatal memegang peranan yang paling utama dalam terjadinya rinosinusitis. Inflamasi
akut mukosa sinus, disebabkan oleh hipersekresi mukosa dan edema, yang menyebabkan
obstruksi kompleks osteomeatal. Oleh karena itu , prinsip pengobatan membuka sumbatan di
kompleks ostiomeatal dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
DAFTAR PUSTAKA
23
1. Sami AS dan Scadding GK. Rinosinusitis in Secondary School Children-Part 1: Pilot
study of the MSNOT-20 Young Person Questionnaire (MSYPQ)*. Rhinology 2014;
52: 215-24.
2. Ottaviano G, Staffieri A, Stritoni P, Ermolao A, Coles S, Zaccaria M, et al. Nasal
dysfunction induced by chlorinate water in competitive swimmers. Rhinology
2012;50: 294-8.
3. Meltzer EO, Hamilos DL. Rinosinusitis Diagnosis and Management for The
Clinician: A Synopsis of Recent Consensus Guidelines. Mayo Clinic proceedings
Mayo Clinic. 2011;86(5):427-43.
4. Data Poli Rawat Jalan Sub Bagian Rinologi 2000-2005. Jakarta: Bagian THT FKUI-
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
5. Fokkens W, Lund VJ, Mullol J, et al. European Position Paper on Nasal Polyps 2012.
Rhinology. 2012; Suppl23:1-198.
6. Dykewicz MS, Hamilos DL. Rhinitis and sinusitis. J Allergy Clin Immunol. 2010;125
Suppl2:S103-155.
7. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tengorok, Kepala & Leher. 6 th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
8. Baroody FM. Nasal and Paranasal Sinus Anatomy and Physiology. Clin Allergy
Immunol. 2007;19:1-21.
9. Suryadi S. Analisi Perubahan Waktu Transportasi Mukosilia Hidung Penderita
Sinusitis Kronis pada Pengobatan Gurah (skripsi). Fakultas Kedokteran Universitas
Diponogoro;2012.
10. Bailey BJ, Johnson JT, eds. Head and neck surgery otolaryngology. 4th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins; 2006.p.405-15.
11. Guyton, A.C. dan Hall, J.E., 1995, Efek Anti-inflamasi Kortisol, Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran, 9th ed, EGC, Jakarta: 1212 – 1213.
12. Szefler SJ: Pharmacokinetics of intranasal steroids. J Allergy Clin Immunol. 2001,
108: S26-S31. 10.1067/mai.2001.115563.
13. Meltzer EO. The Treatment of Vasomotor Rhinitis With Intranasal
Corticosteroids. World Allergy Organization Journal.2009;2:166
24
15. Suh JD, Kennedy DW. Treatment Options for Chronic Rhinosinusitis.Proceedings of
the American Thoracic Society.2011. pp. 132-140.
25