You are on page 1of 19

A.

Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller pada nasofaring yang merupakan
daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel squamosa (National
Cancer Institude, 2009).
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring
dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di
Indonesia. (Efiaty, dkk, 2011)
Kanker ganas nasofaring (karsinoma nasofaring)adalah sejenis kanker yang
dapatmenyerang dan membahayakan jaringan yang sehat dan bagian-bagian organ di
tubuh kita. Nasofaring mengandung beberapa tipe jaringan, dan setiap jaringan
mengandung beberapa tipe sel. Dan kanker ini dapat berkembang pada tipe sel yang
berbeda.Dengan mengetahui tipe sel yang berbeda merupakan hal yang pentingkarena
hal tersebut dapat menentukan tingkat seriusnya jenis kanker dan tipe terapi yangakan
digunakan (Patrick & Robert, 2012).
B. Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang
dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Nasofaring terletak di antara
basis cranial dan palatum mole, menghubungkan rongga hidung dan orofaring.3,4
Rongga nasofaring menyerupai sebuah kubus yang tidak beraturan, diameter atas-
bawah dan kiri-kanan masing-masing sekitar 3 cm, diameter depan-belakang 2-3 cm,
dapat dibagi menjadi dinding anterior, superior, posterior, inferior dan 2 dinding
lateral yang simetris bilateral.

Batas nasofaring di bagian superior adalah dasar tengkorak, dibagian inferior


adalah palatum mole. Ke anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana
dan tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang
sering timbul. Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior
dan terletak di bawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan
dengan ruang retrofaring, fasia pre vertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada
dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustachius dimana orifisium ini
dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke
lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan mengganggu
pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller
yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering
terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa,
dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal
ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid.

Pembuluh darah nasofaring berasal dari percabangan level I atau level II arteri
karotis eksterna, masing-masing adalah (1) arteri faringeal asendens, cabamg terkecil
arteri karotis eksterna; (2) arteri palatine asendens; (3) arteri faringea, salah satu
cabang terminal dari arteri maksilaris interna; (4) arteri pterigoideus, juga adalah
cabang akhir arteri maksilaris interna.

Gambar 1. Anatomi Nasofaring


C. Etiologi dan Faktor risiko
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit multifaktorial dan belum diketahui
secara pasti penyebabnya. Beberapa faktor risiko yang kini masih diteliti di
antaranya: faktor genetik, infeksi Epstein-Barr virus, diet, dan lingkungan.
1. Faktor genetik
Karsinoma nasofaring tercatat sebagai keganasan yang jarang terjadi di sebagian
besar populasi dunia. Namun, keganasan ini tercatat sering terjadi di Cina selatan,
Asia Tenggara, Kutub Utara, dan Timur Tengah / Afrika Utara. Distribusi ras / etnis
dan geografis khas pada KNF di seluruh dunia menunjukkan bahwa faktor
lingkungan dan sifat-sifat genetik berkontribusi untuk perkembangan keganasan ini.
KNF cenderung teragregasi dalam suatu keluarga pada penelitian di Canton, Provinsi
Guangdong, Cina, dengan tidak ada peningkatan pada keganasan lain.Pada penelitian
lain di China KNF HLA (human leukocyte antigen) dikaitkan dengan KNF.
Keberadaan gen Cina Selatan yang spesifik terkait erat dengandaerah HLA sebagai
penentu utama risiko Cina untuk penyakit ini. Risiko relative KNF pada generasi
pertama dari penderita KNF adalah 8.0 pada 766 subyek penelitian yang dilakukan di
Taiwan. Tendensi familial KNF bisa disebabkan karena faktor genetik dan/atau faktor
risiko lingkungan

2. Infeksi Virus Eipstein-Barr (EBV)


Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang termasuk dalam famili Herpesvirus
yang menginfeksi lebih dari 90 % populasi manusia di seluruh dunia dan merupakan
penyebab infeksi mononukleosis. Infeksi EBV berasosiasi dengan beberapa penyakit
keganasan jaringan limfoid dan epitel seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T,
Hodgkin disease, karsinoma nasofaring (KNF), karsinoma mammae dan karsinoma
gaster.KNF adalah neoplasma epitel nasofaring yang sangat konsisten dengan infeksi
EBV.Infeksi primer pada umumnya terjadi pada anak-anak dan asymptomatik.
Infeksi primer dapat menyebabkan persistensi virus dimana virus memasuki periode
laten di dalam limfosit B memori. Periode laten dapat mengalami reaktivasi spontan
ke periode litik dimana terjadi replikasi DNA EBV, transkripsi dan translasi genom
virus, dilanjutkan dengan pembentukan (assembly) virion baru dalam jumlah besar
sehingga sel pejamu (host) menjadi lisis dan virion dilepaskan ke sirkulasi. Sel yang
terinfeksi EBV mengekspresikan antigen virus yang spesifik untuk masing-masing
periode infeks
3. Diet
Beberapa penelitian juga menunjukkan, bahwa mengonsumsi ikan asin menjadi
salah satu faktor penyebab timbulnya kanker atau karsinoma nasofaring (KNF).Salah
satu zat yang terkandung dalam ikan asin yang disebut nitrosamin adalah faktor
penyebabnya. KNF ditemukan endemik di negara China selatan yang sebagian besar
penduduknya mengonsumsi ikan asin.Dalam suatu penelitian di China selatan,
terungkap bahwa penduduk desa yang banyak makan ikan asin ternyata tinggi pula
angka penderita karsinoma nasofaringnya. Khusus di Eropa, angka kejadian
karsinoma nasofaring sangat jarang, bahkan sampai sekarang belum ditemukan kasus
KNF pada orang kulit putih.Ikan asin di China selatan dan Indonesia memang ada
perbedaan. Yang jelas, kadar toksinnya itu. Di Indonesia belum ada penelitian yang
mengatakan kalau ikan asin sebagai faktor penyebab. Penelitian lain menunjukan
bahwa konsumsi mentega tengik, lemak dan daging domba tengik yang
diawetkan(quaddid) di Afrika, dikaitkan dengan peningkatan risiko KNF yang
signifikan.Selain itu, konsumsi sayuran matang dan ikan yang diawetkan secara
industry dikaitkan dengan penurunan risiko. Dalam analisis multivariat, hanya
mentegatengik, sayuran lemak domba tengik yang secara signifikan terkait dengan
KNF.Kebiasaan penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan seperti daging
dan ikan, terutama pada musim dingin juga meningkatkan kadar kejadian karsinoma
nasofaring ini.Dalam kaitan dengan zat penyebab yang mungkin, dinyatakan bahwa
terdapat keterlibatan asam butirat, yang merupakan aktivator potensial EBV
4. Lingkungan
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis
kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan
kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam
air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya
hubungan dengan keganasan lain tidak jelas.

D. Manifestasi Klinis
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan daraf, serta metastasis atau gejala di
leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung. Untuk
itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop,
karena sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak
tampak karena masih terdapat di bawah mukosa (creeping tumor).
Gejala pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal
tumor dekat muara tuba Eustachius (fossa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa
tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak
jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari bahwa
penyebabnya adalah karsinoma nasofaring.
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala
lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak
ke II, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopialah yang
membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala
yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII
jika penjalaran melalui foramen jugular, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari
nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila surah
mengenai seluruh sarah otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan
destruksi tulang tengkorak dan bila telah demikian, biasanya prognosisnya buruk.
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong
pasien untuk berobat karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Nasofaringoskopi
a. Rinoskopi posterior dengan atau tanpa kateter
b. Biopsi multiple
c. Radiologi :Thorak PA, Foto tengkorak, Tomografi, CT Scan, Bone
scantigraphy (bila dicurigai metastase tulang)
d. Pemeriksaan Neuro-oftalmologi : untuk mengetahui perluasan tumor
kejaringan sekitar yang menyebabkan penekanan atau infiltrasi kesaraf
otak, manifestasi tergantung dari saraf yang dikenai.
2. Dapat dilakukan pemeriksaan diantaranya yaitu :

a. Foto tengkorak, yaitu foto bagian/ potongan anteriposterior, lateral, dan


waters menunjukkan massa jaringan lunak didaerah nasofaring
b. Foto dasar tengkorak dapat terlihat destruksi atau erosi tulang didaerah
fosa serebri media.
c. CT scan daerah kepala dan leher terlihat adanya massa dengan terlihat
adanya kesuraman. CT scan dengan kontras menunjukkan massa yang
besar mengisi sisi posterior dari rongga hidung dan nasofaring dengan
perluasan ke sisi kiri dalam daerah nasofaring.
d. Biopsi dari hidung dan mulut. Biopsi sedapat mungkin diarahkan pada
tumor/ daerah yang dicurigai. Biopsi minimal dilakukan pada dua tempat
(kiri dan kanan), melalui rinoskopi anterior, bila perlu dengan bantuan
cermin melalui rinoskopi posterior. Bila perlu Biopsi dapat diulang sampai
tiga kali. Bila tiga kali Biopsi hasil negatif, sedang secara klinis
mencurigakan dengan karsinoma nasofaring, biopsi dapat diulang dengan
anestesi umum. Biopsi melalui nasofaringoskopi dilakukan bila klien
trismus atau keadaan umum kurang baik. Biopsi kelenjar getah bening
leher dengan aspirasi jarum halus dilakukan bila terjadi keraguan apakah
kelenjar tersebut suatu metastasis.
e. Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal
untuk melihat/mendeteksi metastasis
F. Histopatologi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), dibagi atas 3 tipe, yaitu:
 Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan
buruk.
 Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini
dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa
jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
 Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel
tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau
bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan
jelas.

G. Klasifikasi
1. Sadium 0 = Tumor terbatas di nasofaring, tidak ada pembesaran, tidak ada
metastasis jauh.
2. Stadium II = Tumor terbatas di nasofaring, metastasis kelenjar getah bening
unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa
supraklavikula, tidak ada metastasis jauh. Terjadi perluasan tumor ke rongga
hidung tanpa perluasan ke parafaring, metastasis kelenjar getah bening
unilateral. Disertai perluasan ke parafaring, tidak ada pembesaran dan
metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang
atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula, tidak ada metastasis jauh.
3. Stadium III = Tumor terbatas di nasofaring, metastasis kelenjar getah bening
bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa
supraklavikula, dan tidak ada metastasis jauh.
4. Stadium IVA = Tumor dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat
keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang
mastikator. Tidak ada pembesaran dan metastasis kelenjar getah bening
unilateral serta metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran
terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula. Tidak
ada metastasis jauh.
5. Stadium IVB = Tumor primer, tidak tampak tumor, tumor terbatas di
nasofaring, tumor meluas ke jaringan lunak, perluasan tumor ke orofaring dan
/ atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring, disertai perluasan ke
parafaring, tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal, tumor
dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat keterlibatan saraf kranial,
fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator. Metastasis
kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau
terletak di dalam fossa supraklavikula. Tidak ada pembesaran.
6. Stadium IVC = Tumor primer, tidak tampak tumor, tumor terbatas di
nasofaring, tumor meluas ke jaringan lunak, perluasan tumor ke rongga
hidung tanpa perluasan ke parafaring. Bisa jadi disertai perluasan ke
parafaring, tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal, tumor
dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat keterlibatan saraf kranial,
fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator. Selain itu dapat
juga pembesaran kelenjar getah bening regional, pembesaran kelenjar getah
bening tidak dapat dinilai, tidak ada pembesaran, metastasi kelenjar getah
bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm,
diatas fossa supraklavikula, metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan
ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula,
Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6
cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula, ukuran lebih dari 6 cm, di
dalam supraklavikula, dan terdapat metastasis jauh (Iskandar, Soepardi &
Bashiruddin,, 2007).
H. Penatalaksanaan
Radioterapi merupakan metode terapi paling utama, radioterapi dikombinasi
dengan kemoterapi dapat meningkatkan efektifitas terapi kanker nasofaring.
Stadium I : Radioterapi
Stadium II & III: Kemoradiasi
Stadium IV dengan N<6cm: Kemoradiasi
Stadium IV dengan N> 6cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi
Terapi medik yang dapat digunakan untuk mengobati karsinoma nasofaring
ialah :
1. Radioterapi
Terapi radiasi adalah mengobati penyakit dengan menggunakan gelombang atau
partikel energi radiasi tinggi yang dapat menembus jaringan untuk menghancurkan
sel kanker (Kelvin dan Tyson, 2011). Radio terapi masih memegang peranan
terpenting dalam pengobatan karsinoma nasofaring. Radioterapi merupakan
pengobatan utama, sedangkan pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa
diseksi leher, pemberian tetra siklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi,
seroterapi, vaksin dan anti virus (Soepardi et al, 2012).
2. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pengobatan kanker dengan obatobatan. Kemoterapi dapat
menjalar melalui tubuh dan dapat membunuh sel kanker dimanapun di dalam tubuh.
Kemoterapi juga dapat merusak sel normal dan sehat, terutama sel sehat dalam
lapisan mulut dan sistem gastrointestinal, sumsung tulang serta kantung rambut
(Kelvin dan Tyson, 2011).
3. Terapi kombinasi
Merupakan terapi kombinasi dari beberapa terapi. Seperti kombinasi antara kemo-
radioterapi dengan motomycin C dan 5-fluorouracil memberikan hasil yang cukup
memuaskan dan memperlihatkan hasil yang memberi harapan kesembuhan total
pasien karsinoma nasofaring.
4. Operasi
Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa
kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor
primer sudah dinyatakan bersih. Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh
(residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi
(Soeperdi et al, 2012).
I. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
 Data dasar ; nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, alamat, golongan
darah, penghasilan
 Riwayat kesehatan ; apakah klien pernah terpajan zat zat kimia tertentu,
riwayat tumor pada keluarga, penyakit yang mendahului seperti sklerosis TB
dan penyakit neurofibromatosis, kapan gejala mulai timbul
 Aktivitas / istirahat, Gejala : Kelemahan atau keletihan.Perubahan pada pola
istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri,
ansietas.. Tanda : perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadriplegi,
ataksia, masalah dalam keseimbangan, perubaan pola istirahat, adanya faktor
faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, cemas, keterbatasan dalam hobi
dan dan latihan
 Sirkulasi, gejala : nyeri kepala pada saat beraktivitas. Kebiasaan : perubahan
pada tekanan darah atau normal, perubahan frekuensi jantung.
 Integritas Ego, Gejal : faktor stres, perubahan tingkah laku atau kepribadian,
Tanda : cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
impulsif.
 Eliminasi : Inkontinensia kandung kemih/ usus mengalami gangguan fungsi.
makanan / cairan , Gejala : mual, muntah proyektil dan mengalami perubahan
selera. Tanda : muntah ( mungkin proyektil ), gangguan menelan ( batuk, air
liur keluar, disfagia )
 Neurosensori, Gejala : Amnesia, vertigo, synkop, tinitus, kehilangan
pendengaran, tingling dan baal pad aekstremitas, gangguan pengecapan dan
penghidu. Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status
mental, perubahan pupil, deviasi pada mata ketidakmampuan mengikuti,
kehilangan penginderaan, wajah tidak simetris, genggaman lemah tidak
seimbang, reflek tendon dalam lemah, apraxia, hemiparese, quadriplegi,
kejang, sensitiv terhadap gerakan
 Nyeri / Kenyamanan, Gejala : Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri
telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat
penyinaran. Tanda : wajah menyeringai, respon menarik dri rangsangan nyeri
yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat / tidur.
 Pernapasan, Tanda : perubahan pola napas, irama napas meningkat, dispnea,
potensial obstruksi.
 Hormonal : Amenorhea, rambut rontok, dabetes insipidus.
 Sistem Motorik : scaning speech, hiperekstensi sendi, kelemahan, keamanan,
Gejala : pemajanan bahan kimia toksisk, karsinogen, pemajanan sinar
matahari berlebihan. Tanda : demam, ruam kulit, ulserasi, seksualitas, gejala:
masalah pada seksual (dampak pada hubungan, perubahan tingkat kepuasan)
 Interaksi sosial : ketidakadekuatan sitem pendukung, riwayat perkawinan
(kepuasan rumah tangga, dudkungan ), fungsi peran ( Doenges, 2003 ).
 pemeriksaan fisik
Keadaan umum
a. keadaan sakit
menggambarkan keparahan sakit yang dirasakan oleh pesien dan
kesadaran pasien
b. tanda-tanda vital
yang meliputi tekanan darah,suhu, BB, RR, nadi,TB
c. Head to toe
1. kepala dan rambut : Distribusi rambut merata, tidak terdapat lesi dan
benjolan, rambut tampak bau dan kotor.
2. Hidung : ada pendarahan hidung, tidak ada lesi, ada pernafasan cuping
hidung,
3. Telinga : gangguan pendengaran (-), serumen (-), tidak ada lesi, dan
telinga kanan dan kiri simetris.
4. Mata : mata kanan dan kiri simetris, konjungtivis anemis (-), sclera
tidak ikterik, pupil isokor, dan reflek cahaya (-).
5. mulut, lidah, tonsil, dan faring
a. mulut:mulut kering, kebersihan mulut bersih, caries gigi (+), tidak
ada pembengkakan gusi, dan bau mulut (-)
b. gigi : gigi berjumlah 32 buah, caries gigi (+)
c. tonsil : tidak ada pembesaran tonsil
d. faring : terdapat sumbatan sekret
6. leher dan tenggorokan
a. leher : peningkatan JVP, warna kulit leher merata dan pembesaran
kelenjar tyroid dan limfe
b. tenggorokan : reflek menelan (-)
7. dada/thorax
a. pemeriksaan paru
 inspeksi : gerakan dada simetris, retraksi dada (+), warna kulit
merata, sesak napas (+), RR: >20x/menit, bentuk dada normal
 palpasi : akral hangat
 perkusi : suara perkusi paru sonor
 auskultasi : suara napas ronkie
b. pemeriksaan jantung
 inspeksi : warna kulit merata, tidak ada lesi , bentuk dada normal
 palpasi : terdapat kardiomegali
 perkusi :suara perkusi redup
 auskultasi :suara mur-mur (-)
c. pemeriksaan payudara
 inspeksi : rabas (-), warna kulit merata, putting menonjol,
payudara kiri lebih besar daripada payudara kanan.
 palpasi :tidak ada massa, tida ada lesi dan rabas, akral hangat,
tidak ada pembesaran limfe di axilla
8. Abdomen dan Pelvis
 Inspeksi : tidak ada asites, warna kulit merata, tidak ada lesi dan
jaringan parut, pelvis tampak kotor
 palpasi : peristeltik >35x/menit
 perkusi : tidak ada hepatomegali dan splenomegali
 auskultasi :suara abdomen timpani
9. ekstermitas, kuku, kekuatan otot
 ektermitas : terpasang infuse di tangan kiri, terpasang sensor
tekanan darah di tangan kanan, CRT< 2 detik
 kuku : clubbing finger (-), kuku sianosis, sianosis (-).
 kekuatan otot lemah
10. genetalia dan anus : kebersihan genetalia dan anus terjaga, tidak
terpasang poli kateter urine, tidak ada lesi
11. pemeriksaan neurologis
 kesadaran GCS komposmentis
 respon AVPU : alert
 reflek pupil isokor
 reflek cahaya (+)
Contoh Gambar pemeriksaan fisik
2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan pembengkakan jaringan dan kekakuan otot
leher.
2. perubahan nutrisi kurang dari tubuh berhubungan dengan kemampuan
menelan terganggu
3. Gangguan sensori persepsi (pendengaran ) berubungan dengan gangguan
status organ sekunder metastase tumor

No Diagnosa kriteria hasil dan tujuan Intervensi Rasionlisasi


keperawatan
1 nyeri (Akut) Setelah dilakukan 1. kaji TTV pasien 1. untuk mengetahui
berhubungan asuhan keperawatan 2. Kaji skala nyeri keadaan umum
dengan selama 1x6 jam jam pasien pasien
pembengkakan diharapkan nyeri pasien 3. Kaji penyebab 2. untuk mengetahui
jaringan dan berkurang bahkan nyeri pasien tingkat nyeri pasien
kekakuan otot hilang dengan criteria 4. latih pasien 3. untuk menentukan
leher hasil Dengan kriteria : untuk melakukan tindakan yang akan
 Pasien melaporkan latihan napas dilakukan
keluhan nyeri hilang dalam 4. untuk mengurangi
atau berkurang 5. kolaborasokan rasa nyeri
 Skala nyeri dengan dokter 5. untuk menurunkan
berkurang untuk pemberian rasa nyer
 ekspresi wajah analgesic 6. Untukmemenuhi
tenang 6. Pasang IV line kebutuhan cairan
 klien mampu dan oksigen dan oksigen dalam
istirahat dan tidur tubuh
 TTV normal
a) TD 120/80 mmHg
b) Suhu 36,6-37oC
c) Nadi 60-
100x/menit
d) RR 16-20x/menit

2 perubahan nutrisi Setelah dilakukan 1. kaji kemampuan 1. untuk menentukan


kurang dari keperawatan selama menelan pasien cara pemberian
tubuh 1x24 jam diharapkan 2. kaji TTV pasien nutrisi kepada pasien
berhubungan pemenuhan kebutuhan 3. kaji pola makan 2. untuk mengetahui
dengan nutrisi pasien dapat pasien keadaan umum
kemampuan terpenuhi dengan 4. kaji makanan pasien
menelan criteria hasil , yaitu: kesukaan pasien 3. untuk mengatahui
terganggu  TTV normal 5. kolaborasikan untuk melakukan
e) TD 120/80 mmHg dengan ahli gizi tindakan
f) Suhu 36,6-37oC untuk 4. untuk meningkatkan
g) Nadi 60- menentukan nafsu makan pasien
100x/menit kebutuhan 5. untuk memenuhi
h) RR 16-20x/menit protein kebutuhan protein
 Menunjukan status pasien
nutrisi yang baik 6. berikan oral 6. untuk membersihkan
 Mempertahankan higieni mulut pasien
berat badan
 Nilai laboratorium
yang dalam batas
normal
DAFTAR PUSTAKA

Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al. (2007). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke- 6.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
National Cancer Institute,2009. Nasopharyngeal Cancer Treatment.U.S.A:National
CancerInstitute.Availablefrom:http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treat
ment/nasopharyngeal/HealthProf essional/page9.[Accesed 17April2010]
Lucente, F. E. 2011. Ilmu THT Esensial. Edisi ke-5. Dialihbahasakan oleh Hartanto,
Huriawati. Jakarta: EGC.
Patrick, N. & Robert.G. (2012). Dasar-dasar Ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat. R dan De jong Wim (ed). 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2.
Jakarta: EGC.
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B,. & Alwi, I., et al (ed).2013. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing.
WHO-SEARO. Situation review and update on deafness, hearing loss and
intervention programmes. New Delhi: WHO-SEARO.2007.
Djaafar, Z.A, Soepardi, E.A, Iskandar, N. Kelainan Telinga Tengah dalam Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi V.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001.
Efiaty, Nurbaiti, Jenny, & Ratna. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VI. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2011.
Pathway

You might also like